Anda di halaman 1dari 30

INFLAMASI PERIOPERATIF DAN MODULASINYA

OLEH ANESTESI
Rossaint, Jan., dan Alexander Zarbock. 2017. Perioperative Inflammation and Its
Modulation by Anesthetics. International Anesthesia Research Society: 30(30)
hal.1-7.

ABSTRAK
Pembedahan dan prosedur invasif lainnya, yang secara rutin dilakukan
selama anestesi umum, dapat menginduksi respon inflamasi pada pasien. Respon
inflamasi ini merupakan jawaban dari tubuh terhadap intervensi yang dilakukan,
hasilnya dapat menguntungkan dan berpotensi membahayakan. Sistem kekebalan
menggambarkan pencapaian evolusi yang unik dimana organisme yang lebih
tinggi dilengkapi dengan mekanisme pertahanan yang efektif untuk melawan
patogen eksogen. Namun, tidak hanya bakteri yang dapat membangkitkan respons
imun tetapi juga rangsangan non infeksius lainnya seperti trauma bedah atau
ventilasi mekanik juga dapat menginduksi respon inflamasi dengan berbagai
tingkatan. Dalam kasus ini, aktivasi sistem kekebalan tidak selalu bermanfaat bagi
pasien karena secara bersamaan mungkindapat terjadi efek yang pada sel host,
jaringan, atau bahkan sistem organ secara keseluruhan. Penelitian selama
beberapa dekade terakhir telah berkontribusi terhadap informasi penting tentang
bagaimana kemungkinan pasien bedah dipengaruhi oleh reaksi inflamasi.
Modulasi sistem kekebalan pasien dapat ditimbulkan melalui penggunaan agen
anestesi, sifat trauma bedah dan penggunaan terapi suportif selama periode
perioperatif. Efek pada pasien dapat bermacam-macam, termasuk berbagai efek
proinflamasi. Ulasan ini terfokus pada penyebab dan efek peradangan selama
periode perioperatif. Selain itu, kami juga menyoroti kemungkinan pendekatan-
pendekatan tentang bagaimana modulasi peradangan selama perioperatif di masa
depan. (Anesth Analg 2017;XXX:00–00)
PENDAHULUAN
Kerusakan jaringan selama operasi besar umumnya tidak dapat dihindari
dan dapat menyebabkan respon imun kekebalan tubuh yang kompleks. Selain itu,
tindakan invasif lainnya (misalnya, ventilasi mekanik, transfusi produk darah, atau
penggunaan sirkulasi ekstra korporeal) mungkin juga memicu peradangan selama
prosedur bedah. Respon inflamasi ini ditimbulkan oleh penginderaan receptor-
mediated molekul intraseluler spesifik yang berasal dari sel-sel yang rusak atau
sel-sel di bawah tekanan yang disebut alarmins. Umumnya, alarmins mampu
memulai sebuah kaskade inflamasi, di mana akhirnya adalah infeksi yang tahan
lama, pemulihan integritas jaringan dan homeostasis organ. Namun, pelepasan
alarmins yang berlebihan setelah trauma jaringan yang luas (misalnya, setelah
prosedur bedah besar pada pasien trauma) mungkin juga merugikan organisme itu
sendiri. Menariknya, repon host terhadap alarmins tidak selalu sama, tetapi
perbedaan interindividual dapat terjadi di antara pasien yang berbeda. Perekrutan
sel imun yang berlebihan atau yang salah dalam merespon trauma jaringan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang berlebihan dan membawa risiko cedera
organ perifer serta memperpanjang keadaan immunoparesis. Bahkan, penelitian
sebelumnya dapat menunjukkan bahwa gangguan perekrutan sel kekebalan tubuh
dan jalur inflamasi pada periode perioperatif terkait dengan terjadinya berbagai
macam kondisi pasca operasi, termasuk infeksi, komplikasi paru, delirium dan
disfungsi kognitif pasca operasi, cedera ginjal, dan kekambuhan kanker. Namun,
di luar pengaruh langsung, kerusakan jaringan operatif, faktor-faktor lebih lanjut
mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap pengembangan respon imun
perioperatif (misalnya, pemberian agen anestesi, anestesi regional, analgesik,
penggunaan antiemetik, administrasi produk darah, dan proses penyakit yang
mendasarinya). Ulasan ini akan fokus pada perkembangan terbaru pada
pemahaman tentang respon imun perioperatif, pemicu potensial yang terlibat
dalam proses ini dan implikasi klinis dari imunitas perioperatif yang berubah.
TRAUMA BEDAH DAN RESPON INFLAMASI

Telah diketahui bahwa selama operasi besar akan disertai oleh trauma jaringan,
hal ini dapat mengarah pada pengembangan respon oleh sistem kekebalan
endogen. Peristiwa lebih lanjut seperti transfusi komponen darah, hipoperfusi
jaringan perioperatif dengan cedera reperfusi, dan perubahan neuroinflammatory-
mediated pada pasien dengan cedera otak dan tengkorak dapat berkontribusi pada
tingkat respon imun perioperatif (Gambar 1). Namun, jalur molekuler umum yang
menjadi dasar penyebab kerusakan jaringan (lokal) hingga inisiasi respons
inflamasi adalah pelepasan alarmin. Kelompok alarmins juga sering disebut
sebagai molekul "Damage-Associated Molecular Pattern" (DAMPs). DAMPs
menyerupai kelompok yang sangat berbeda dari berbagai molekul struktural, yang
biasanya dilepaskan setelah cedera sel (jaringan). Pelepasan DAMPs tidak harus
terjadi setelah kematian sel, sel bisa secara aktif mengeluarkan mediator yaitu
alarmins yang berfungsi sebagai DAMPs. Aktivasi sel imun terjadi sebagai respon
untuk melawan pathogen yang dikenali oleh sistem imun, hal ini berguna untuk
menghindari, mengontrol dan melawan penyakit infeksi, komponen pathogen
tersebut biasa dikenal dengan Pathogen-associated molecular patterns (PAMPs).
Namun jika sel mengalami nekrosis dan kehilangan integritasnya di lingkungan
yang steril seperti karena adanya cedera/kerusakan organ atau dipacu oleh
gangguan fisik, kimia atau metabolik maka hal ini menjadi suatu sinyal bahaya,
sehingga sel-sel inflamasi bergerak ke daerah tersebut dan menyebabkan respon
imun yang massive, komponen bahaya tersebut berasal dari sel itu sendiri dan
akan dikenali oleh sel imun saat sel kehilangan integritas dan
kompartementilisasinya pada kejadian nekrosis sel, komponen itu dikenal sebagai
Danger-Associated Molecular Patterns (DAMPs)/ Alarmins. Alarmins disebut
sebagai Dual-function proteins karena berfungsi sebagai sitokin sekaligus
menjalankan fungsi nuklear. Alarmins terdapat di sel somatic dan dilepaskan
secara pasif saat terjadi nekrosis primer, biasanya saat terjadi apoptosis alarmins
akan ditahan oleh nucleus atau di-inaktivasi oleh apoptotic-related caspases
seperti caspase-3/7, guna menghentikan sinyal inflamasi. Apoptotic bodies atau
nekrosis sekunder dapat menyebabkan pelepasan alarmins dan menstimulasi
inflamasi steril yang terbatas. Contoh dari alarmins adalah IL-1 alpha, IL-33 dan
HMGB1.

Konsep DAMPs sangat mirip dengan konsep molekul “Pathogen-


Associated Molecular Pattern” (PAMPs). PAMPs adalah bagian dari molekul
eksogen bakteri, virus, jamur, dan parasit yang memiliki kemampuan untuk
memulai respon imun host, misalnya dalam kasus infeksi eksogen (Gambar 1)
DAMPs High-Mobility-Group Box 1 (HMGB-1) dan DNA mitokondria
menunjukkan kesamaan struktural tingkat tinggi dibandingkan dengan analog
PAMP masing-masing dan mungkin beraksi melalui reseptor yang sama yaitu
Pattern Recognition Receptors (PRRs; Gambar 3). Fakta ini juga bisa menjadi
alasan lain mengapa hasil akhir inflamasi yang disebabkan oleh rangsangan
inflamasi yang berbeda, misalnya inflamasi steril berat dan sepsis sebagai contoh
untuk inflamasi non steril, sangat mirip dan sangat sulit untuk menegakkan
diagnosis hanya dengan berdasarkan gejala klinis. PRRs yang dikenal adalah
cytoplasmic nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors dan
membrane-bound toll-like receptors (TLRs). Pada tingkat molekuler, ikatan
ligan-PRRs mengarah kepada inisiasi sinyal cascade intraseluler, yang meliputi
aktivasi molekul target dan fosforilasi faktor transkripsi seperti Nuclear Factor
kappa-light-chain-enhancer dari sel B yang aktif (NF-kB). Sebagai konsekuensi
dari aktivasi NF-kB, transkripsi dan pola pelepasan sel sitokin dapat berubah.
Sub-populasi sel imun seperti makrofag jaringan, sel dendritik serta sel-sel
endotel diaktifkan (Gambar 4). Pola aktivasi stimulus yang terikat oleh alarmins
sangat tergantung pada ekspresi PRRs di permukaan sel individu dengan subtipe
sel tertentu. Menariknya, peran alarmin tidak sepenuhnya terbatas pada inisiasi
respon imun bawaan dan perekrutan inisial sel imun. Selain itu, aksi molekuler
alarmins juga dapat mengaktivasi sistem imun adaptif melalui aktivasi Antigen-
Presenting Cells (APC), termasuk sel dendritik dan monosit. Dengan demikian,
alarmins seperti protein dari S100-Family dapat langsung bertindak pada leukosit
yang menyebabkan aktivasi dan perekrutan sel-sel ini ke jaringan perifer. Namun
terlepas dari hal itu, seperti interleukin (IL) -1, tumor necrosis factor α (TNFα),
IL-33, IL-16, dan HMGB-1 mungkin juga secara tidak langsung memodulasi
respon inflamasi seluler dengan mengaktifkan jaringan makrofag, sel dendritik,
dan aktivasi sel endotel vaskular yang menyebabkan sel-sel ini beradaptasi dengan
fenotipe inflamasi.

Gambar 2 . Pelepasan DAMP dalam Periode Perioperatif. DAMP


mengindikasikan damage-associated molecular patterns; HMGB-1, high-mobility
group protein B1; IL-1, interleukin 1; IL-6, interleukin 6; TNFα, tumor nekrosis
faktor α; PRR, patern recognition receptor

Dalah hal ini termasuk juga induksi produksi sitokin dan pelepasan pada
sel mast, mengembalikan sel dendritik ke kelenjar limfa, dan aktivasi silang sel T,
maturasi sel T naive menuju sel T-helper tipe 2 (Th2) dan ekspresi molekul adhesi
permukaan seperti E-selectin, P-selectin, dan molekul adhesi interselular 1 di sel-
sel endotel vaskular (Gambar 5)
Gambar 4

Gambar 5.
NEUTROFIL SEBAGAI MEDIATOR DARI RESPON INFLAMASI
PEMBEDAHAN YANG DIINDUKSI

Neutrofil adalah sel efektor utama dari sistem imun bawaan dan mewakili
garis pertahanan pertama melawan invasi, patogen eksogen. Mereka dilengkapi
dengan langkah-langkah yang sangat efektif untuk melawan dan mengeliminasi
bakteri. Secara khusus, mereka mampu melepaskan enzim proteolitik dan spesies
oksigen reaktif (ROS) ke patogen fagosit. Baru-baru ini, generasi dan pelepasan
netrophil extracellular traps (NETs) telah diidentifikasi sebagai ukuran ketiga
pertahanan antibakteri neutrofil. Namun, jaringan juga dirilis dalam konteks
respon inflamasi sistemik yang steril. Jaringan terdiri dari DNA nuklir yang padat
dikelilingi dengan protein granular neutrofil. Jaringan dapat langsung menelan
dan membunuh patogen yang bersirkulasi. Sementara semua fungsi neutrofil yang
disebutkan di atas sangat penting untuk pertahanan terhadap patogen eksogen,
semuanya membawa risiko bawaan kerusakan jaringannya, yang dapat
menyebabkan disfungsi organ membuat aktivasi neutrofil menjadi pedang
bermata dua. Secara khusus, neutrofil juga direkrut dan diaktifkan selama
peradangan aseptik (steril), termasuk injuri iskemia-reperfusi dan kerusakan
jaringan yang berlebihan selama prosedur pembedahan. Aktivasi dan rekrutmen
neutrofil pasti terkait dengan proses inflamasi, dan meningkatkan stres oksidatif
yang ditimbulkan oleh neutrofil aktif setelah prosedur pembedahan. Implikasi
aktivasi sistem kekebalan seluler dengan pelepasan sitokin berlebihan dan inisiasi
aktivasi neutrofil secara mendalam pada prosedur pembedahan menggunakan
sirkulasi ekstrakorporeal (misalnya operasi bypass jantung). Di sini, kontak
dengan permukaan extracorporeal yang besar menyebabkan inisiasi aktivasi
neutrofil, ROS meningkat, dan pelepasan sitokin sistemik, yang dapat mengarah
pada pengembangan sistem respon inflamasi sistemik yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular, membutuhkan terapi vasopressor dan
akhirnya menghasilkan disfungsi organ yang mendalam. Menariknya, aktivasi
neutrofil awal dengan cepat beralih pada keadaan hipo-responsif neutrofil dengan
penurunan penahanan yang chemokine-induce yang bahkan berlangsung selama
24 jam setelah akhir sirkulasi ekstrakorporeal. Namun, cakupan lengkap dari efek
sirkulasi ekstrakorporeal pada respon imun peri- dan pasca operasi berada di luar
lingkup tinjauan ini.
Endotelium vaskular memainkan peran integral dalam proses peradangan
perioperatif. Dengan adanya DAMPs (misalnya, lipopolisakarida [LPS], peptida
formilasi) atau kemokin (misalnya, IL-1β, TNFα), sel-sel endotel
mengekspresikan fenotipe inflamasi dan molekul adhesi untuk sirkulasi leukosit
serta kemokin yang ditujukan pada glikosaminoglikan pada permukaan luminal,
memungkinkan perekrutan dan transmigrasi leukosit dari sirkulasi ke jaringan
sekitarnya. Selanjutnya, endotelium ditutupi oleh glikokaliks yang terdiri dari
proteoglikan dan glikoprotein yang terikat pada membran yang dikelilingi dengan
struktur molekul branch-sugar yang tergabung pada plasma dan komponen larut
endotelium yang solubel. Glikokaliks yang utuh mencegah molekul adhesi pada
permukaan sel darah yang bersirkulasi dari potensi mencapai binding-ligan pada
permukaan endotel. Namun, di bawah kondisi peradangan, glikokaliks cepat
terdegradasi oleh shedding enzim endogen (misalnya, heparanase dan
hyaluronidase [Gambar 2]). Khususnya, glycocalyx shedding terjadi sebagai
respons terhadap hipoperfusi sementara. Pembuangan glikokaliks ini selama
operasi umum dapat berkontribusi untuk aktivasi sistem kekebalan perioperatif
dan peradangan. Menariknya, sebagai trauma yang diinduksi operasi telah terbukti
secara khusus menginduksi pembentukan NET, NET yang beredar ini bersifat
sitotoksik dan dapat menyebabkan kerusakan sel endotel, yang menyebabkan
degradasi glikokaliks, gangguan integritas endotel vaskular, dan kemudian
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah (Gambar 2). ). Mekanisme ini
adalah salah satu mekanisme pembentukan edema jaringan dan berkontribusi
terhadap disfungsi organ akhir pasca operasi, seperti cedera ginjal akut atau paru-
paru.
Gambar 2. Mekanisme Peningkatan Permeabilitas Vaskular. NET
mengindikasikan neutrophil extracellular traps

Di luar peran host dalam pertahanannya, neutrofil juga terkait dengan


sistem koagulasi oleh kemampuannya untuk berinteraksi dengan trombosit.
Trombosit diaktifkan dan neutrofil secara fisik dapat berinteraksi satu sama lain
selama kondisi peradangan. Interaksi ini dimediasi oleh molekul adhesi khusus
pada kedua sel (misalnya, P-selectin, glikoprotein IIbIIIa, dan glikoprotein Ibα
pada trombosit, dan P-selectin glikoprotein ligan 1 dan makrofag antigen 1 pada
neutrofil). Pembentukan kompleks yang termasuk neutrofil dan trombosit melalui
interaksi molekuler ini lebih lanjut memicu pelepasan mediator proinflamasi dan
prothrombotic. Mediator ini menyebabkan rekrutmen leukosit lebih lanjut selama
proses inflamasi dan aktivasi pembentukan kaskade koagulasi dan trombus dalam
mikrosirkulasi. Memang, respon inflamasi yang diinduksi operasi juga merupakan
mekanisme penyebab untuk thromboembolisme vena pasca operasi.

IMUNOSUPRESI PASCAOPERASI

Penelitian yang dilakukan untuk mencari tahu hubungan trauma bedah, inflamasi
dan timbulnya respon imunosupresi adalah untuk menghubungkan antara
pelepasan mediator-mediator dengan manifestasi klinis yang ditimbulkan
(misalnya, infeksi pasca operasi, pneumonia, atau kerusakan organ). Namun hasil
dari penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan tingkatan variasi yang
signifikan tergantung pada hasil akhir yang dipilih dan metedologi yang
digunakan. Contohnya, setelah terjadinya kerusakan jaringan maka akan terjadi
peningkatan IL-6 dan IL-10 di plasma. Peningkatan kadar IL-6 dan IL-1β juga
berhubungan dengan tingkat infeksi nosokomial pascaoperasi, infeksi ini dapat
menuju ke arah SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) hingga Syok
sepsis yang meningkatkan angka mortalitas dimana immunosupresi sebagai faktor
predisposisi terjadinya sepsis pasca operasi (10,11) .

Peningkatan regulasi IL-6 (proinflamasi) dan IL-10 (anti-inflamasi) terjadi


secara bersamaan, sehingga menunjukkan adanya mekanisme aktivasi yang
berlawanan. Namun, peningkatan kadar IL-10 umumnya dikaitkan dengan infeksi
selanjutnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh aksi inisiasi anti-inflamasi dari IL-
10 sebagai sitokin anti-inflamasi yang mampu menekan kemampuan sel dendritik
dan makrofag untuk menstimulasi proliferasi Sel T CD4(12) (Gambar A). IL-6
memiliki banyak sifat proinflamasi, namun IL-6 juga menyebabkan peningkatan
regulasi Supressor Of Cytokine Signaling (SOCS)-1 yang menghambat sinyal
(13)
IFNgamma dan perkembangan sel TH1 (Gambar B) . Oleh karena itu IL-6
juga mungkin berkontribusi dalam imunosupresi.

Gambar A. Skema mekanisme interaksi IL-10 dengan reseptor spesifik. Ikatan IL-10 memulai jalur
sinyal yang melibatkan STAT3 sebagai kunci translokasi faktor nuklear. Hal ini mempengaruhi
aktivasi enkoding gen spesifik sebagai faktor anti-inflamasi (14).
Gambar B. Interleukin-6 Pathway
Sumber: http://saweb2.sabiosciences.com/pathway.php?sn=IL-6_Pathway

Pada pasien trauma menunjukkan bahwa tingkat IL-6 dan IL-10 serta rasio
IL-6 : IL-10 yang tinggi secara langsung berkorelasi dan meningkatkan insidensi
kegagalan multi organ dan mortalitas. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa
penurunan drastis IL-6, IL-10 dan rasio IL-6 : IL-10 dari nilai yang tinggi selama
perjalanan klinis adalah indikator lebih lanjut untuk hasil yang buruk hingga
kematian (15). Selain itu, peningkatan kadar IL-6 dalam fase perioperatif dikaitkan
dengan gangguan fungsi kognitif pada fase pasca operasi, terutama pada pasien
usia lanjut karena.
Sebagai respon dari kerusakan jaringan, terjadi penurunan dari Human
Leukocyte antigen- antigen D related (HLA-DR) yang diekspresikan pada
permukaan monosit (Gambar C), hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat
infeksi nosokomial. Munculnya molekul Major Histocompatibility Complex
(MHC-II) pada APCs, termasuk HLA-DR, dibutuhkan untuk respon imun adaptif
yang adekuat (Gambar D) .
Gambar C. Tahapan respon sel T

Gambar D. Aktivasi sel T

Hasil penelitian ini harus diinterpretasikan secara hati-hati karena mungkin


terdapat beberapa faktor pengganggu, seperti perhitungan inisiasi resusitasi, oleh
karena itu tidak bisa diaplikasikan secara bebas pada pasien perioperative. Pada
penelitian lain, Perhitungan pada sampel klinis dari perubahan sistem imun yang
diinduksi oleh kegiatan operasi berhubungan dengan proses penyembuhan post-
operatif. Sinyal imun bergantung pada waktu dan aktivasi tipe sel yang spesifik
saat trauma terjadi, berdasarkan trimodal of death theory, puncak pertama terjadi
dalam hitungan detik-menit setelah cedara, puncak kedua terjadi setelah 24 jam
dimana terjadi peningkatan risiko kematian pada syok hemoragik, puncak ketiga
terjadi 48 jam-beberapa minggu dimana penyebab kematian pada periode ini
adalah multiple organ dysfuntion syndrome (MODS) dan multiple organ failure
(MOF)(16). Peningkatan sel-NK bersama dengan meningkatnya monosit neutrophil
dan CD14+ bisa diobservasi pada fase awal postoperative, diikuti dengan
penurunan drastis sel-T CD4+ dan CD8 setelah 24 jam dan meningkatnya
pelepasan Myeloid-Derived Suppressor cells (MDSCs) dari sumsum tulang
belakang. MDSCs adalah subset leukosit dengan kemampuan sebagai
immunosuppressor yang termasuk dalam grup heterogen sel imun immature yang
berasal dri sumsum tulang belakang dan dilepaskan ke sirkulasi sehingga
meningkatkan keadaan patologis, contohnya pada saat terjadi infeksi akut dan
kronis. MDSCs bisa memodulasi fungsi sel-T secara langsung melalaui berbagai
macam mekanisme, termasuk melalui pelepasan sitokin anti-inflamasi IL-10,
Transforming Growth Factor beta (TGFβ) yang berfungsi mencegah proliferasi
dan aktivasi limfosit dan leukosit laiinya, dan produksi arginase-1 (Gambar
E&F). Pada pasien post-operative, MDSCs mungkin berperan dalam menginduksi
immunosupresi setelah terjadinya pelepasan alarmin. Analisa terbaru mencari tahu
tentang perubahan dari sinyal fosforilase protein intraseluler pada berbagai subset
sel imun yang di pengaruhi oleh operasi. Peneliti dapat menunjukkan terdapat
perkembangan respon sinyal imun post-operative yang sama di 32 pasien yang
telah melakukan hip replacement. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 60%
dari variasi pemulihan post-operative terdapat aktivasi dari Signal Transducer and
Activator of Transcription 3(STAT3), Camp Response Element-Binding protein
(CREB), dan NF-Kb di CD14+HLADRlow monosit yang berhubungan dengan
gangguan fungsional post-operative dan nyeri. Penelitian lain menujukkan bahwa
variasi jalur sinyal STAT monosit pre-operative mungkin berhubungan kejadian
komplikasi post-operative.

Gambar E. Aktivasi dan/ induksi MDSCs oleh berbagai mediator proinflamasi

Gambar F. Mekanisme supresi imunitas antitumor oleh MDSC


Mitokondria adalah organelle metabolik sel yang utama. Disfungsi
mitokondria mungkin dapat diinduksi oleh anestesi. Contohnya, propofol
menurunkan aliran elektorn di rantai transport elektron mitokondria yang
menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi oksigen dan produksi ATP.
Barbiturat juga menunjukkan efek inhibisi pada rantai transport elektron
mitokondria dimana ia menghambat aktivitas kompleks I. Anestesi inhalasi yang
biasa digunakan (contoh: sevoflurane) juga menghambat kompleks I. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa anestesi lokal juga menurunkan fosforilasi oksidatif
di membrane mitokondria, jadi hampir semua agen anestesi yang digunakan
mempengaruhi metabolisme energi di mitokondria. Perubahan fungsi mitokondria
berhubungan dengan fungsi imun, dimana kondisi ini juga ditemukan pada
gangguan inflamasi. Penurunan metabolism energi di mitokondria mengaktivasi
AMP-activated protein kinase yang bisa menurunkan aktivasi neutorfil menjadi
TLR4 ligand binding dan sel imun innate lainnya, mungkin hal ini yang
berkontribusi pada immunosupresi perioperative.
Penelitian-penelitian ini mendukung konsep bahwa kerusakan jaringan
yang berasal dari prosedur operasi berperan terhadap respon imun. Jelas bahwa
kejadian imunosupresi post-operatif disebabkan oleh beberapa faktor, terutama
efek dari metabolisme energi seluler, pelepasan dan aktivasi dari sub-populasi sel
imun, induksi perubahan homeostasis kemokine, ekspresi molekul adhesi
permukaan, dan jalur sinyal intraseluler yang berkontribusi terhadap supresi imun
selama periode perioperative (Gambar F). Hal ini mungkin bisa membantu kita
untuk mengidentifikasi prediksi biomarker yang baru dan pemilihan pengobatan.
Gambar F. Imunosupresi Pasca-Pembedahan

PERAN miRNAS SEBAGAI MODULATOR RESPON INFLAMASI


TERHADAP OPERASI
Micro RNAs (miRNAs) adalah fragmen kecil RNA yang mengandung
kurang lebih 22 nukleotida, miRNAs adalah nonprotein ckoding yang berfungsi
untuk melenyapkan Mrna dan regulasi gen post-transkripsional, miRNAs terdapat
di berbagai macam spesies seperti mamalia, tumbuhan, hewan bahkan virus.
miRNAs yang diekspresikan di sel atau ditransfer ke target sel (melalui transport
eksosomal) mempunyai kemampuan untuk memodulasi pola ekspresi gen
tersebut. Hasilnya mungkin berupa perubahan pola ekspresi protein, dan mungkin
dipertimbangkan sebagai bentuk pemrograman ulang fenotip sel. Oleh karena itu
miRNAs punya kemampuan untuk memodifikasi ekspresi gen tanpa merubah
sekuen DNA. Penelitian tentang miRNA berasal dari penelitian kanker, penelitian
terbaru juga mengindikasikan bahwa miRNA berperan penting dalam mediasi
immunosupresi postoperative dan persepsi dari nyeri akut dan kronis. Penggunaan
opioid sebagai tatalaksana nyeri perioperative diketahui memediasi metilasi DNA
di leukosit yang bersirkulasi, namun miRNA yang berperan dalam hal ini masih
belum diketahui. Modifikasi DNA yang dimediasi oleh miRNAs bertahan lebih
lama di genome sel target. Telah didemonstrasikan bahwa perubahan level sitokin
setelah terjadinya kerusakan jaringan berhubungan dengan peningkatan level
miRNAs, hal ini menunjukkan terdapat sekuen analogi terhadap masing-masing
sitokin, yang berarti bahwa mediator-mediator ini diregulasi oleh miRNAs.
Respon inflamasi dari trauma operasi perioperative mungkin diatur oleh pelepasan
miRNA dari transkripsi target sel di sel imun.
miRNA miR-146a adalah jenis pertama yang ditemukan, ia mempunyai
kemampuan untuk memodulasi respon imun melalui aksiny yang meregulasi sel-T
(Tregs), subset sel-T secara spesifik terlibat dalam regulasi toleransi-diri dan
resolusi inflamasi. Jika miR-146a tidak ada maka level dari sinyal STAT 1 akan
meningkat dan terjadi penurunan produski sel-T untuk menghambat produksi dan
pelepasan sitokin proinflamatori IFNγ oleh sel Th1. miR-146 berperan dalam
menurunkan aktivasi NF-Kb melalui TNF receptor associated factors 6 (TRAF6)
(17)
dan IL-1 receptor associated kinase 1 (IRAK 1) Selain mR-146A, terdapat
miR-233 yang juga mampu untuk meregulasi respon imun. Ia meregulasi fungsi
leukosit yang bersirkulasi, maturisasi dan juga pelepasannya dari sumsum tulang
belakang. MiR-233 juga diketahui sebagai regulator penting untuk kumpulan
inflamasome seperti NACHT, LRR, dan PYD domain-containing protein 3
(NLRP3) yang terlibat dalan respon imun terhadap stimulus inflamasi. MiR-233
menghambat ekspresi dan penggabungan dari NLRP3 yang menurunkan
pelepasan caspase-1-mediated IL-1β dan induksi apoptosis leukosit, yang
selanjutnya menyebabkan respon inflamasi. miRNAs bisa menjadi marker
prognosis dan alat terapeutik. Selama periode periopeatif, ekspresi miRNA
digunakan sebagai marker untuk mengidentifikasi pilihan terapi individu agar
efek samping dan kerusakan organ spesifik bisa dihindari. Hal ini menunjukkan
bahwa harus ada penelitain yang lebih lanjut terhadap miRNAs selama fase peri-
dan postoperative.
EFEK AGEN HIPNOTIK DAN OPIOID PADA FUNGSI SEL IMUN

Selama operasi banyak faktor yang dapat memodulasi aktivasi sistem


imun, seperti kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tindakan dokter dan
ventilasi mekanik. Bagaimanapun, penggunaan agen anestesi juga berdampak
pada sistem imun, namun kenyataannya sulit untuk membedakan respon imun
yang disebabkan oleh tindakan operasi dan anestesi. Berdasarkan penelitian,
kebanyakan agen anestesi bisa menekan respon imum secara langsung maupun
tidak langsung. Mekanisme cara anestesi memodulasi sistem imun sangat
kompleks, termasuk apoptosis limfosit dan fagositosis neutrophil yang rusak.
Immunosupresi lainnya mungkin dipengaruhi oleh modulasi dari sirkuit immune-
regulatory syaraf. Sebagai tambahan, aktivasi jalur anti-inflamasi kolinergik
mungkin mempengaruhi modulasi fungsi adrenokortikal.
Opioid diberikan hampir di semua tindakan untuk mencukupi anelgesi.
Terdapat hal-hal yang menghambat opioid di sistem imun innate dan adaptif.
Opioid sintetik digunakan untuk analgetik selama operasi mungkin mengganggu
fungsi leukosit. Kebanyakan efek dari opioid dalam sistem imun dimediasi oleh μ
reseptor yang terdapat di leukosit. Aktivasi dari μ reseptor opioid di makrofag
menyebabkan desensitisasi reseptor chemokine, termasuk CXC- motif chemokine
receptor ½ dan C-C motif receptor ½. Opioid juga berdampak pada homeostasis
chemokine melalui supresi NF-kB sehingga terjadi penurunan induksi NF-kB-
dependent gene transcription (contoh: [C-X-C motif] ligand [CXCL2]). Diluar
aktivasi leukosit, sinyal μ opioid reseptor juga memodulasi fungsi efektor
granulosit dengan cara menurunkan produksi ROS dan kapasitas fagosit. Opioid
tidak hanya berdampak pada fungsi instrinsik sel tapi juga kematian sel,
penggunaan morfin dengan dosis tinggi bisa menginduksi apoptosis di toll-like
receptor 9 (TLR9) dan p38 mitogen- activated protein kinase (MAPK)-dependent
fashion. Sebagai konsekuensinya, penggunaan opioid mungkin berperan dalam
modulasi sitokin inflamasi milieu dengan implikasi klinis yang belum diketahui,
Respon sinyal opioid tidak hanya mempengaruhi sistem imun innate tapi juga
mengubah fungsi adaptif respon imun. Aktivasi μ opioid reseptor menurunkan
ekspresi molekul MHC-II di permukaan APCs dan sel-B, Konsekuensi fungsional
dari proses ini adalah penuruan atkivasi dan proliferasi sel-T, dan juga aktivasi μ
opioid reseptor menyebabkan sel-T berdiferensiasi menjadi fenotip GATA3-
mediated TH2 (T-helper cell) yang melibatkan aktivasi intrasel p38 MAPK dan
CREB. Faktanya, transisi fenotip terhadap sel TH2 ini dianggap sebagai alasan
utama untuk penurunan respon imun adaptif yang dimediasi oleh opioid (Gambar
4). Keadaan dimana sel T dan sel limfosit mulai lelah akibat kerja berlebihan yang
biasanya terlihat dalam periode perioperatif, hal ini akan turut mengembangkan
komplikasi infeksi pada pasien.

Gambar 4. Efek Opioid. APCs mengindikasikan antigen-presenting cells;


CXCR2, CXC-motif chemocine receptor 2; NF-κB, nuclear factor kappa-light-
chain-enhancer of activated B cells; ROS, reactive oxygen species; MHC, major
histocompatibility complex

Anestesia regional secara luas digunakan untuk mengerjakan beberapa


proses pembedahan, baik yang dilakukan dengan hanya anestesia regional saja
maupun dengan kombinasi anestesia general. Hal tersebut mungkin membantu
mengurangi respon vegetatif dari proses pembedahan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pengurangan reduksi anestesia general yang tidak dapat
dihindari mungkin dapat menurunkan respon imun perioperatif dan menurunkan
level kortisol dalam serum. Studi pada pasien yang dijadwalkan untuk knee
arthroplasty menunjukkan bahwa terdapat penurunan angka kejadian infeksi
postoperatif pada penggunaan anestesia regional neuroaksial jika dibandingkan
dengan anestesia general. Dengan demikian, beberapa strategi telah
diimplementasikan untuk mengkombinasikan teknik anestesia neuroaksial
(epidural) dengan anestesia general yang diinduksi oleh zat volatil dan obat-
obatan anestesia intravena. Keuntungan dari pendekatan metode ini ditunjukkan
dengan penurunan durasi imunosupresi postoperatif serta penurunan jumlah sel
limfosit T dan proporsi relatif subset sel TH1, TH2, dan T-regulator (Treg). Namun
sejauh ini, efek klinis dari kombinasi teknik anestesi masih belum jelas.
Kortikosteroid (umunya golongan Glukokortikoid seperti Dexametason)
memainkan peran penting dalam periode perioperatif, diantaranya sebagai
profilaksis dan terapi PONV (Post-Operatif Nausea and Vomiting). Selanjutnya,
kortikosteroid terkadang diberikan untuk mencegah dan menangani pembentukan
edema pada daerah operasi yang dimanipulasi. Bagaimanapun juga, penggunaan
kortikosteroid yang poten selalu diasosiasikan dengan resiko efek samping berupa
imunomodulatori, walaupun bukti klinis yang cukup untuk insiden infeksi
postoperatif setelah pemberian glukokortikoid perioperatif masih belum jelas.
Selain kortikosteroid, NSAID dan Gabapentinoid (seperti Gabapentin dan
Pregabalin) juga memiliki potensi imunomodulatori. Namun, penggunaan NSAID
dan Gabapentinoid tidak menunjukkan asosiasi terhadap peningkatan insiden
infeksi postoperatif.
Selama operasi besar, transfusi darah seringkali dibutuhkan. Telah
diketahui bahwa pemberian darah alogenik dapat memodulasi sistem imun.
Sebagai contoh, frekuensi transfusi darah alogenik pada periode perioperatif
secara langsung berhubungan dengan insiden infeksi postoperatif dan juga
mempengaruhi insiden relaps pada kanker. Menariknya, hal ini tidak bergantung
pada tipe operasi yang dilakukan, dapat terlihat pada hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa ekspresi gen imunosupresi seiring dengan perubahan
produksi sitokin oleh transfusi darah pada pasien yang mengalami operasi
gastrontestinal serupa jika dibandingkan pada pasien yang mengalami cedera
kepala (traumatic brain injury). Hal ini juga memicu peningkatan insiden infeksi
postoperatif. Selanjutnya, masa hidup (umur) dari produk darah juga memainkan
peran penting dalam memodulasi sistem imun pada periode perioperatif.
Tentunya, transfusi RBC yang telah berumur tua akan meningkatkan progresi
tumor dan mengembangan keadaan imunosupresi pasca pembedahan.
Efek Anestesi Terhadap Respon Stres Pada Pembedahan
Anestesi Umum
1. Opioid
Telah diketahui selama bertahun-tahun opioid menghambat sekresi
dari hormon pada hipotalamus dan pituitari. McDonald dan rekannya
menunjukkan efek supresi dengan dosis terapi dari morfin pada aksis
33
hipotalamus-pituitari manusia. Morfin menekan pelepasan dari
kortikotrofin, dan selanjutnya pelepasan kortisol baik dalam keadaam
normal maupun sebagai respon stres, namun kelenjar adrenal juga
diketahui berespon terhadap ACTH eksogen yang diberikan. Efek inhibisi
dari morfin terjadi pada level hipotalamus.
Dalam pembedahan jantung, efek dari morfin dan opioid lainnya
dalam respon stres terhadap pembedahan telah didokumentasikan. Dosis
morfin yang besar (4mg/kg) menghambat sekresi dari faktor pertumbuhan
dan menghambat pelepasan kortisol hingga bypass kardiopulmonar
berlangsung (CPB). Fentanyl (50-100 μg/kg), sufentanil (20μg/jam) dan
alfentanil (1,4mg/kg) menghambat sekresi hormon pituitari hingga CPB.
Setelah CPB, perubahan fisiologis dari tubuh sangat drastis sehingga
respon hipotalamus dan pituitari tidak dapat dihambat sepenuhnya dengan
opioid. Opioid dosis tinggi dapat berujung pada depresi nafas setelah
pembedahan, sehingga pasien membutuhkan bantuan dari ventilator
setelah operasi berlangsung.
Pada pembedahan abdomen bagian bawah, fentanyl 50 μg/kg dapat
menghambat produksi hormon pertumbuhan,kortisol dan perubahan
glikemik yang terjadi pada pembedahan pelvis.18 Dalam penelitian ini,
opioid diberikan pada saat induksi anestesi. Ketika fentanyl 50μg/kg
diberikan 60 menit setelah mulainya pembedahan pelvis, tidak ditemukan
5
efek signifikan dari respon endokrin yang telah terbentuk. pemberian
fentanyl sebanyak 15 μg/kg cukup untuk menghambat respon kortisol dan
glukosa terhadap pembedahan abdomen bagian bawah. 26
Pada pembedahan abdomen bagian atas, opioid sistemik relatif
tidak efektif dalam mencegah respon stres terhadap pembedahan. Fentanyl
100 μg/kg menghentikan perubahan hormonal setelah kolesistektomi,
namun teknik ini berakibat depresi nafas yang membutuhkan bantuan
ventilator dalam periode post-operasi.

2. Etomidate dan benzodiazepin


Agen penginduksi anestesi etomidat merupakan imidazole yang
mengalami karboksilasi dan menghambat proses produksi dari steroid pada
korteks adrenal dengan cara inhibisi reversible dari enzim 11β-hidroksilase
dan enzim pemotong rantai samping kolesterol. Sintesis dari aldosteron
maupun kortisol kemudian dihambat. Dosis induksi tunggal dari obat ini
48
akan menghambat produksi dari hormon selama 6-12 jam, dan dengan
infuse selama 1-2 jam menghambat sintesis kortisol hingga 24 jam 37. Pada
pasien yang sehat, tidak ditemukan efek samping kardiovaskular seperti
pada saat infus dalam pembedahan pelvis, sehingga efek dari
penghambatan kortisol ini hanya berupa penurunan respon glikemik.35
Penggunaan etomidate dengan cara infus sebagai bagian dari sedasi
intravena pada pasien sakit kritis diketahui meningkatkan angka
mortalitas.27 Dengan demikian, obat ini tidak lagi direkomendasikan
sebagai sedasi jangka panjang. Suatu studi terbaru telah meneliti fungsi
adrenokortikal pada pasien sakit kritis setelah induksi anestesi dengan
etomidat maupun thiopental.3 Konsentrasi kortisol sebelum diinduksi
diukur dan juga dilakukan tes stimulasi singkat ACTH dalam 24 jam untuk
menilai fungsi dari kelenjar adrenal. Konsentrasi kortisol sebelum induksi
anestesi tinggi, dengan mengesampingkan penelitian lain tentang fungsi
adrenal pada pasien kritis. Pasien yang mendapatkan etomidat cenderung
memiliki respon kortisol yang lebih rendah terhadap stimulasi ACTH
dibandingkan dengan grup kontrol berupa thiopental. Meskipun penilaian
terhadap fungsi adrenokortikal pada pasien sakit kritis menggunakan
konsentrasi kortisol tunggal dan tes stimulasi ACTH merupakan
kontroversi yang hebat, penelitian ini mendukung bahwa etomidate
menganggu sintesis kortisol pada pasien ini.
Midazolam, merupakan salah satu jenis benzodiazepine yang
memiliki rantai imidazole sebagai tambahan pada struktur dasar
benzodiazepine, mempengaruhi respon kortisol baik pada pembedahan
9,14
abdomen perifer maupun atas. Midazolam dan diazepam keduanya
menghambat produksi kortisol dari sel adrenokortikal in vitro. Crozier dan
rekannya menunjukkan subjek yang menghasilkan kortisol sebagai respon
terhadap ACTH eksogen, yang kemudian mendukung tempat kerja dari
benzodiazepin yakni pada level hipotalamus-pituitari, dimana efek
penghambatan langsung dari produksi steroid tidak dapat disingkirkan.

3. Klonidin
Klonidin merupakan obat antihipertensi yang bekerja secara sentral
dengan mengaktifkan reseptor α2-adrenergik.1 Klonidin menjaga stabilitas
hemodinamik melalui aktivitas simpatolitik, dan juga menurunkan
kebutuhan obat-obat anestesi dan analgetik, serta menyebabkan sedasi.
Dengan menurunkan respon simpatoadrenal dan kardiovaskular yang
muncul akibat stimuli pembedahan nosiseptif, α2 agonis menghambat
respon stress yang dimediasi oleh sistem saraf simpatis.

Anestesi Regional
Analgesi epidural ekstensif dengan menggunakan agen anestesi lokal
dapat mencegah respon endokrin dan metabolik terhadap pembedahan pada
panggul dan ekstremitas bawah. Blok epidural berlangsung dari segmen
dermatom T4 hingga S5, yang dibuat sebelum mulainya pembedahan, dapat
mencegah peningkatan dari kortisol dan konsentrasi glukosa sebagai akibat dari
17
histerektomi. Baik input aferen dari lokasi operasi menuju pusat sistem saraf
dan aksis hipotalamus-pituitari dan juga neuron autonom eferen menuju ke hati
dan medulla adrenal telah diblok. Akibatnya respon adrenokortikal dan glikemik
terhadap pembedahan dihilangkan. Blokade neuronal yang kurang ekstensif
mungkin tidak dapat meniadakan sepenuhnya perubahan metabolik dan hormonal.
Pada pembedahan abdomen bagian atas dan thorax, tidak dimungkinkan
mencegah respon hormon pituitari secara lengkap, meskipun dengan blockade
anestesi epidural ekstensif. Dalam studi yang dilakukan Bromage dan rekannya,
blok epidural diatas dari dermatom C6 menghambat perubahan glikemik namun
tidak menghambat peningkatan konsentrasi kortisol sebagai respon dari
pembedahan abdomen atas dan thorax.7 Penelitian lain mendukung penemuan ini.
Banyak pendapat mencoba menjelaskan kegagalan untuk menghilangkan respon
stress pada penelitian ini. Beberapa pendapat ini berpusat pada tidak adekuatnya
atau tidak sempurnanya blok neuron simpatis dan aferen somatic yang kemudian
memungkinkan aktivasi dari pituitari dan selanjutnya melepaskan kortisol dari
korteks adrenal dibawah pengaruh ACTH, dilain pihak, blokade eferen dari saraf
yang menuju medulla adrenal dan hati menghambat respon glikemik. Percobaan
dilakukan untuk meningkatkan blok aferen diantaranya, blockade nervus vagus,
blok nervus splancnicus, ataupun lokal anestesi intraperitoneal terus menerus,
namun tidak ada teknik yang berhasil secara konsisten menghilangkan respon
stress terhadap pembedahan abdomen atas dan thorax.

Bedah Jantung
Anestesi epidural thoraks telah sukses digunakan dalam menangani pasien
yang menjalani pembedahan coronary artery bypass 28,46 Peneliti telah memeriksa
efek dari analgesi epidural thoraks dalam hubungan dengan sekresi neuroendokrin
dan juga variabel fisiologis. Dimungkinkan untuk mencegah perubahan pada
respon katekolamin saat CPB dan selama 24 jam setelah memulai pembedahan
jantung menggunakan analgesi epidural yang dikombinasikan dengan anestesi
umum.36 Hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan menggunakan opioid saja.
Respon kortisol dalam CPB dapat juga dihilangkan dengan menggunakan analgesi
epidural thoraks, meskipun beberapa penelitian memberikan hasil yang berbeda-
beda.
Meskipun tidak ada hubungan langsung antara adanya respon hormon dan
metabolik serta hasil akhir post-operasi, penggunaan analgesi epidural thoraks
dalam pembedahan jantung dapat memperlihatkan keuntungan dalam
meningkatkan fungsi organ. Analgesi epidural thoraks menyediakan analgesi yang
dalam, menghindari penggunaan opioid sistemik dan meningkatkan fungsi paru
pasca-operasi.28 Selain itu, juga menurunkan insiden komplikasi trombotik dengan
menurunkan kecenderungan mengalami hiperkoagulabilitas pada periode pasca-
operasi.45
Protein kontraktil otot jantung, troponin T, merupakan biomarker yang
sangat spesifik terhadap kerusakan otot miokardium. Pengukuran konsentrasi
serum dari protein ini dapat digunakan untuk menilai ischemi miokardium.
Penelitian terakhir menunjukkan anestesi epidural thoraks dan anestesi umum
pada pembedahan jantung menjaga respon simpatis miokardium dan dikaitkan
juga dengan penurunan dari kerusakan miokardium yang ditentukan dengan
rendahnya pelepasan dari troponin T.30 Pada pasien, analgesi epidural thoraks
telah digunakan untuk mengobati angina refrakter. Efek simpatolitik dari blokade
aferen dan eferen simpatis dapat meningkatkan keseimbangan oksigen dan
konsumsinya. Penggunaan anestesi epidural thoraks pada pasien dengan penyakit
jantung telah dijadikan sebagai subjek penelitian terbaru.
Selain efek positif dari anestesi epidural thoraks, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam blok saraf pada pasien yang telah diberikan
antikoagulan karena peningkatan resiko pembentukan hematoma. Panduan
prosedural dapat digunakan untuk meminimalisir resiko dan komplikasi
neurologis.3 Anestesi epidural thorax bukanlah tanpa adanya efek samping,
diantaranya kemungkinan blok epidural ini menyebar hingga ke cranial. Hal ini
mengakibatkan tangannya melemah dan apnea dapat terjadi jika diafragma terlibat
dan menghambat saraf C3-C5. Mencoba menggerakkan tangan digunakan untuk
mengetahui penyebaran ke kepala dari anestesi epidural thoraks.2
KONTROL NEURAL PADA INFLAMASI PERIOPERATIF DAN
PERUBAHANNYA OLEH ANESTESI

Nervus Vagus (CNX) merupakan bagian dari saraf kranialis yang secara
langsung berasla dari otak dan menginervasi hepar, organ splenikus (organ
viscera), serta pulmonari melalui serabut saraf sensorik dan motorik. CNX
mentransmisikan sinyal dari reseptor mekanik dan kimia menuju otak, termasuk
sinyal dari proses inflamasi yang terjadi di perifer. Tentunya, memotong CNX di
bawah diafragma akan menurunkan respon serebral (pelepasan hormon stres dan
induksi pusat demam) dalam respon terhadap pelepasan IL-1β secara sistemik.
Sebagai tambahan, pemberian IL-1β pada hepar secara intraportal akan memicu
aktivitas aferen CNX secara lokal pada cabang CNX dari hepar, hal ini juga dapat
terjadi sebagai respon terhadap paparan bakteri. Selanjutnya, pemberian patogen
eksogen (bakteri, fungi) secara sistemik pada model tikus dengan segera akan
memicu bradikardi dan aritmia pada model tikus yang telah mendapat aktivasi
nukleus CNX pada batang otak. Dengan demikian, dapat diidentifikasi bahwa
salah satu fungsi dari CNX adalah untuk mentransmisikan sinyal sensoris dari
inflamasi dan sistem imun pada sistem saraf pusat. Masih belum jelas apakah
CNX dapat secara langsung memberikan respon terhadap mediator inflamasi atau
komponen patogen atau apakah proses transmisi sinyal lebih lanjut yang melalui
perantara impuls saraf juga terlibat dalam proses ini (Gambar 5). Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa beberapa regio di batang otak tidak hanya menerima
sinyal sensoris inflamasi dari CNX, tapi juga terintegrasi dengan konten O2, CO2,
dan sinyal pH dalam darah yang diterima dari Badan Carotis dan Nervus
Glosofaringeal (CNIX). TLR merupakan bagian dari PRR yang mungkin dapat
mengidentifikasi sinyal bahaya baik yang berasal dari endogen maupun eksogen.
Menariknya, sensor neuron primer pada akar ganglia dorsalis di Medula Spinalis
dan di ganglia trigeminal mengekspresikan TLR sama baiknya dan mungkin
menyediakan sensor pada sistem saraf pusat yang secara langsung dapat
mengidentifikasi adanya proses inflamasi (Gambar 5). Hal ini juga didukung
dengan temuan bahwa ablasi spesifik secara genetik yang terjadi pada media
proses downstream (transmisi sinyal dari reseptor menuju otak) yang terlibat
dalam proses transmisi sinyal TLR (seperti pada myeloid differentiation primary
response gene 88; My88) pada sistem saraf juga mempengaruhi respon imun.
Sebagai konsekuensinya, stimulus inflamasi (seperti paparan neuron pada PAMP)
dapat mempengaruhi tingkat eksitabilitas neuron. Telah diketahui bahwa secara in
vivo, stimulus CNX mengakibatkan penurunan level peredaran TNFα pada proses
inflamasi. Asetilkolin (ACh) merupakan neurotransmiter utama yang dilepaskan
pada sinpas setelah stimulasi CNX. Dalam penelitian CNX secara in vitro, terapi
ACh pada makrofag yang telah teraktivasi akan menurunkan aktivitas reseptor
terhadap produksi sitokin dan dilepaskan oleh sel tersebut. CNX mengandung
serabut saraf pertama dari Nervus Splenikus (saraf yang menginervasi organ
viscera), sedangkan serabut saraf kedua berasal dari Ganglia Celiac dan berjalan
menuju Lien (Gambar 5). Disini, neurotransmiter norepinephrine (NE) dilepaskan
pada sinaps serabut saraf kedua. Sel T spleen-resident merespon stimulasi NE
dengan melepaskan Ach dari subset sel T spleen-resident. Dalam gilirannya, Ach
berperan sebagai agonis dari subtipe α7 nicotinic acetylcholine receptor
(α7nAChR) neuron homomerik pada sel imun (contohnya, spleen-resident
makrofag). Sel tersebut memberikan respon terhadap aktivasi α7nAChR dengan
menurunkan produksi TNFα, IL1β, dan HMGB-1 serta sekresinya dalam ruang
ekstraseluler. Mekanisme molekuler memodulasi pelepasan sitokin pada aktivasi
α7nAChR pada sistem imun, termasuk diantaranya proses transmisi sinyal Januse
kinase 2/STAT 3, aktivasi phosphatidylinositol-4,5-biphosphate 3-kinase, dan
modulasi nuclear factor κB (NF-κB). Dalam model tikus, ekspresi yang
berlebihan dari gen α7nAChR menyebabkan level TNFα yang tinggi di sirkulasi
selama proses inflamasi. Hasil tersebut membuat refleks inflamasi dan pathway
dari proses transmisi sinyal yang terlibat menjadi target yang menarik untuk
intervensi terapi dalam tatalaksana kelainan pada proses inflamasi.
Gambar 5. Sirkuit Refleks Neuroinflamatori. α7nAChR mengindikasikan α7
nicotinic acetylcholine receptor, CNS, central nervous system; DAMP, damage-
associated molecular patterns; HMGB-1, high-mobility group protein B1; IL-1,
interleukin 1; IL-6, interleukin 6; NE, norepinephrin; TNFα, tumor necrosis
factor α
KESIMPULAN
Pemahaman mengenai proses inflamasi yang diinduksi oleh intervensi
terapi dan tindakan pembedahan dalam fase perioperatif telah dipelajari melalui
bukti klinis dan studi eksperimental dalam beberapa dekade terakhir. Oleh karena
inflamasi mempengaruhi progresifitas penyakit dan outcome bagi pasien pada
level yang bervariasi, pengetahuan mengenai mekanisme molekuler secara detail
dan pathway yang terlibat dalam proses tersebut sepenuhnya penting untuk
perkembangan pendekatan terapi terbaru untuk meningkatkan outcome bagi
pasien. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa stimulus inflamasi pada fase
perioperatif sangat subjektif tergantung dari jenis trauma operatif yang diterima
pasien. Sejauh ini, agen anestesi yang digunakan untuk prosedur pembedahan
memiliki potensi imunomodulatori yang kuat. Dengan ini, kombinasi dengan
variabel lain seperti pathway feedback neuronal, dapat menyebabkan
perkembangan imunosupresi postoperatif dalam derajat yang bervariasi.
Penemuan tersebut mungkin menjelaskan bahwa pasien postoperatif sering
bahkan cenderung untuk mengalami komplikasi berupa infeksi setelah proses
pembedahan. Pengetahuan secara detail mengenai mekanisme patofisiologi hal
tersebut juga merupakan kunci untuk mengembangkan pendekatan terapi yang
baru. Konteks ini bertujuan untuk mengidentifikasi pathway dan gabungan
beberapa proses yang terlibat yang menyebabkan respon spesifik dan regulasi
yang baik terhadap stimulus inflamasi dan untuk menurunkan dampak dari faktor
perioperatif serta dampak akibat trauma pembedahan pada pasien. Tujuan utama
dari penyusunan jurnal ini agar dapat membedakan antara respon imun yang
bermanfaat yang diperlukan untuk menjamin homeostatis dan pertahanan tubuh
selama berlangsungnya proses regulasi terhadap respon imun yang tidak sesuai
atau berlebihan, yang membawa resiko kerusakan jaringan masif dan akhirnya
menyebabkan kerusakan organ. Penanda diagnostik yang membantu membedakan
secara khusus dari dua keadaan kesatuan sistem imun tersebut dan terapi untuk
mengintervensi serta meregulasi dengan baik respon ini nantinya akan memiliki
peran penting dalam proses pembedahan baik dalam periode perioperatif maupun
periode postoperatif.
10. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J
Med 2003; 348: 138–50

11. Faist E, Wichmann M, Kim C. Immunosuppression and immunomodulation in


surgical patients. Curr Opin Crit Care 1997; 3: 293–98

12. Mittal SK, Roche PA. Suppression of antigen presentation by IL-10. Curr
Opin Immunol. 2015 Jun;34:22-7

13. Diehl S, Rincón M. The two faces of IL-6 on Th1/Th2 differen- tiation. Mol
Immunol. 2002;39:531–536.

14. Fioranelli M, Maria GR. Twenty-five years of studies and trials for the
therapeutic application of IL-10 immunomodulating properties from high doses
administration to low dose medicine new paradigm. J Integr
Cardiol,2014.1(1);2-6

15. Sapan HB, Paturusi I, Jusuf I, et al. Pattern of cytokine (IL-6 and IL-10) level
as inflammation and anti-inflammation mediator of multiple organ dysfunction
syndrome (MODS) in polytrauma. Int J Burns Trauma. 2016;6:37–43.

16. Pathophysiology of the systemic inflammatory response after major accidental


trauma. Brøchner AC, Toft P Scand J Trauma Resusc Emerg Med. 2009 Sep
15; 17():43.

17. Zhang, G. & Ghosh, S. Toll-like receptor–mediated NF-κB activation: a


phylogenetically conserved paradigm in innate immunity. J. Clin. Invest. 107,
13–19 (2001).

Anda mungkin juga menyukai