RUANG 1 (GGK STD.5 + HT) Bru-2-1
RUANG 1 (GGK STD.5 + HT) Bru-2-1
Asuhan Keperawatan Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa Dengan
Komplikasi Hipertensi
1.2 Klasifikasi
Pada penderita chronic kindey disease, klasifikasi stadium ditentukan dua hal,
yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas
asar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus
Kockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah (K/DOQI, 2002).
Cara menghitung GFR :
1. Pria
LFG ((ml/mnt/ 1,73m2) = (140 – umur) X berat badan )
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
2.Wanita
pada wanita sedikit berbeda,
1.3 Etiologi
Etiologi chronic kindey disease sangat bervariasi antara satu negara dengan negara
lain. Penyebab utama chronic kindey disease tahun 1995-1999 di AS (Switra, 2009) :
Penyakit diabetes mellitus, yakni angka insiden 44% (DM tipe 1 sebesar 7%, DM tipe 2
sebesar 37%), hipertensi dan pembuluh darah besar dengan angka insiden 27%,
gloerulonefritis dengan insiden 10%, nefritis Interstitialis dengan insiden 4%, kista dan
penyakit bawaan lain dengan insiden 3%, penyakit sistemik (mis: lupus, dan vaskulitis)
dengan insiden 2%, neoplasma dengan insiden 2%, tidak diketahui dengan insiden 4%,
dan penyakit lain dengan insiden 4%. Penyebab GGK yang menjalani hemodialisis di
Indonesia tahun 2000 (Suwitra, 2009), glomerulonefritis dengan angka insiden 46,39%,
diabetes mellitus dengan angka insiden 18,65%, Obstruksi dan infeksi dengan angka
insiden 12,85%, hipertensi dengan angka insiden 8,46% dan sebab lain dengan angka
insiden 13,65%. Menurut O’ Callaghan, penyebab penyakit ginjal stadium akhir yang
membutuhkan terapi pengganti ginjal; diabetes mellitus 40%, hipertensi 25%,
glomerulonefritis 15%, penyakit ginjal polokistik 4%, urologis 6% dan tidak diketahui
sebanyak 10% (0’ Callaghan, 2007).
Orang yang mengidap kondisi atau memiliki kebiasaan tertentu lebih berisiko
mengidap hipertensi, yaitu: kurang berolahraga, kebiasaan merokok, stres, obesitas,
mengonsumsi minuman keras berlebihan, usia tua, terdapat anggota keluarga yang dulu
mengidap hipertensi, terlalu banyak garam dan lemak dalam makanan yang dikonsumsi.
Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-10%
dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita sindrom uremik,
yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen
akibat gagal ginjal.
1.6 Komplikasi
Komplikasi GGk menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwita (2006)
Antara lain :
a. Hiperkalemia akibat penurunan sekresi asidosis metabolik.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiostension aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritopoitin.
e. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
f. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebih
g. Malnutrisi akibat anoreksia, mual, muntah.
h. Hiperparatiroid, hiperkalemia, hiperfosfate
1.7 Pencegahan
1.7.1 Pencegahan Primordial
Upaya dilakukan dengan cara menciptakan kondisi pada masyarakat yang
memungkinkan penyakit Penyakit Ginjal Kronik tidak mendapat dukungan dari kebiasaan,
gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Pada prinsipnya upaya pencegahan primordial yang
dapat dilakukan adalah melakukan penyesuaian terhadap risiko yang ada dalam masyarakat
dengan cara membentuk pola pikir masyarakat agar mengatur pola makan yang sehat dan
minum air yang banyak (dianjurkan 2 liter per hari) agar kesehatan ginjal terjaga (Bustan,
2007).
1.7.2 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha yang dilakukan pada orang yang sudah memiliki
risiko menderita GGK (Budiarto, 2002). Orang yang berisiko tinggi mengalami GGK
adalah penderita DM, hipertensi, pasien dengan proteinuria dan lainnya (Simardibrata,
2003). Perncegahan primer yang dapat dilakukan (Lumenta, 1992) :
1) Mengatur pola konsumsi protein.
2) Sedikit mengkonsumsi garam. Pola konsumsi garam yang tinggi akan meningkatkan
ekskresi kalsium dan air kemih yang dapat menumpuk dan membentuk kristal.
3) Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi.
1.7.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah tahap pencegahan untuk komplikasi. Adapun yang
dilakukan adalah mendeteksi dini penyakit dan pengobatan secara cepat dan tepat
(Budiarto, 2002). Usaha yang dapat dilakukan yakni pengobatan konservatif berupa
pemberian obat dan pengaturan diit makanan. Tujuan pengobatan konservatif ini adalah
untuk mempertahankan agar penderita tetap berada dalam kondisi fisik sebaik mungkin
pada saat penderita masuk ke dalam stadium terminal untuk mendapatkan dialisis atau
transplantasi ginjal (Suandi, 1999).
Prinsip – prinsip pengaturan diit penderita GGK yang penting adalah dengan
memberikan nutrien yang diperlukan guna kebutuhan tubuh dan melanjutkan pertumbuhan
tanpa melampaui batas kemampuan ginjalnya (Suandi,1999),
1.8 Penatalaksanaan
1.8.1 Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal sedini
mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan gejala yang
mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal. Yang termasuk
pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
1) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan
kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari protein.
Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan
memperlambat terjadinya gagal ginjal. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan
sampai 60-80 g/hari, apabila penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
2) Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium
dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari. Penggunaan makanan dan obat-
obatan yang tinggi kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.
3) Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium
yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru,
hipertensi dan gagal jantung kongestif.
4) Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengelurana cairan
yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Asupan yang bebas
dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema. Sedangkan asupan
yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal.
Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin
yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Asupan cairan membutuhkan
regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal kronik, karena rasa haus pasien merupakan
panduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien (Wilson, 2006).
1.8.2 Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)
Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit gagal
ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan
memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialisis
(hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al, 2008).
a. Dialisis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan fungsi tersebut. Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan
kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Dialisis
dilakukan dalam penanganan pasien dengan edema yang tidak responsif terhadap
terapi, koma hepatikum, hiperkalemia, hiperkalsemia, hipertensi dan uremia.
Dialisis akut diperlukan bila terdapat kadar kalium yang tinggi dan meningkat,
kelebihan muatan cairan atau edema pulmoner yang mengancam, asidosis yang
meningkat, perikarditis dan konfusi yang berat. Dialisis kronis atau pemeliharaan
dibutuhkan pada gagal ginjal kronis dalam keadaan berikut : (1) terjadi tanda dan
gejala uremia yang mengenai seluruh sistem tubuh (mual muntah, anoreksia berat,
letargi, dan konfusi mental) ; (2) kadar kalium serum yang meningkat ; (3) muatan
cairan berlebih yang tidak responsif terhadap terapi diuretik serta pembatasan
cairan ; dan (4) penurunan status kesehatan yang umum. Selain itu, terdengarnya
suara gesekan perikardium (pericardial friction rub) merupakan hasil aukultasi
yang merupakan indikasi yang mendesak untuk dilakukan dialisis untuk pasien
gagal ginjal kronis (Brunner & Suddarth, 2002).
1) Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser). Dialiser ini
memiliki fungsi seperti nefron yang dapat mengeluarkan produk sisa
metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasien gagal ginjal (Black, 2005; Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi,
2011).
Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat
nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan
(Suharyanto, 2002). Tujuan hemodialisis yang lain yaitu mempertahankan
keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa, mengembalikan beberapa
manifestasi kegagalan ginjal yang irreversibel (Smeltzer & Bare, 2008; Black
& Hawk, 2009). Walaupun hemodialisis dapat mencegah kematian namun
demikian tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal, tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan
oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal (Sulistyaningsih, 2011).
Prinsip dari pelaksanaan hemodialisis adalah darah dikeluarkan dari
tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk ke dalam sebuah mesin
besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang yang dipisahkan oleh sebuah
membran semipermeabel. Darah dimasukkan ke salah satu ruang, sedangkan
ruang yang lain diisi oleh cairan perdialisis dan diantara keduanya akan terjadi
difusi. Darah dikembalikan ke tubuh melalui sebuah pirau vena (Corwin,
2009).
Indikasi pemberian hemodialisa pada sindrom uremia, terlihat pada laju
GFR yang hanya tersisa sebesar 15% dari normal atau kurang dari 15
mL/mnt/1,73 m2. Kemudian dalam pemeriksaan laboratorium, ditandai dengan
peningkatan kadar ureum hingga lebih dari 200 mg/dL, kreatinin serum > 6
mEq/L, pH < 7,1 dan ditambah dengan timbulnya gejala-gejala klinis yang
nyata seiring dengan perburukan fungsi ginjal (Rahardjo dkk, 2006).
Proses hemodialisis yang dilakukan dalam waktu cukup lama setiap 1
kali prosesnya (3-4 jam) dapat menyebabkan jumlah cairan dan penggantian
solusi menjadi besar. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan yang besar
terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga berkontribusi terhadap
ketidakseimbangan hemodinamik. Ketidakseimbangan ini dapat ditandai
dengan hipotensi dan aritmia jantung. Komplikasi jenis ini dialami sekitar 20-
50% pasien hemodialisis (Reeves et.al, 2001). Komplikasi terapi dialisis dapat
mencakup hal- hal berikut :
1. Hipotensi dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara dapat terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus terjadi ketika selama terapi dialisis produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
6. Kram otot yang nyeri dapat terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah.
(Brunner & Suddarth, 2002)
2) Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal dilakukan dengan cara menanamkan sampai 2 L
larutan glukosa isotonik atau hipertonik dalam rongga peritoneal pasien
melalui pemasangan kateter Silastic permanen. Terjadi ekuilibrium cairan,
melalui membran peritoneal seluas 2 m2 dengan darah di kapiler peritoneum.
Setelah beberapa jam cairan yang mengandung sisa buangan toksik ditarik
keluar. Prosedur ini diulangi tiga atau empat kali sehari. Kelebihan cairan
diambil oleh larutan hipertonik. Komplikasi utama adalah peritonitis, biasanya
akibat Staphylococcus epidermidis atau S.aureus (Rubenstein et.al, 2007).
b. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu terapi
definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal
yang sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah
pencangkokan ginjal sehat ke dalam tunuh pasien. ginjal sehat tersebut bisa didapatkan
dari donor manusia yang sehat dan masih hidup atau bisa juga dari donor yang baru saja
meninggal. Permasalahan yang paling sering dihadapi dalam cangkok ginjal adalah
adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien sebagai resepien terhadap ginjal baru yang
dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih
ginjal yang paling cocok sehingga memberikan reaksi penolakan yang paling minimal.
Setelah pelaksanaan transplantasipun, resepien juga masih harus minum obat
imunosupresan seumur hidupnya untuk menekan reaksi penolakan oleh tubuhnya
terhadap ginjal baru dalam tubuhnya (Aziz, 2008).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI
2.1 Pengkajian
2.1.1 Pengkajian Umum
a) Biodata Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia
muda,dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria
b) Keluhan utama : kecing sedikit, gelisah, tidak selera makan, mual,muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, gatal pada kulit.
c) Riwayat Penyakit
Sekarang : Diare, muntah, reaksi anafilaksis
Dahulu : Riwayat penyakit GGA, ISK, payah jantung, hipertensi, pengunaan obat
nefrotoksik, hiperplasia.
Keluarga : adanya penyakit keturunan DM, hipertensi
d) Tanda vital: Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi,
nafascepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
2.1.2 Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah
pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini
meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau
tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktivitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya
adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran
seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi
tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam
hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri
jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan
tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan
perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
2.1.3 Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi
peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung
kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa
mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi
basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan
terjadi perikarditis.
2.1.4 Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah, bakteri,
lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya
darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine
/ ureum sering 1:1.
2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap
akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang
dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti
pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular
(asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan
EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Magnesium terjadi
peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum
menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa ,
kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obtruksi (batu).
6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk
kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi
kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada
asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi, obat
diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai
selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.
2.2 Diagnosa
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan serta natrium.
2) Nyeri akut: sakit kepala b.d agen injuri : fisik (peningkatan tekananvaskuler serebral)
Dx
NO Tujuan dan KH Intervensi Rasional
kep
1 1 Tujuan - Kaji status cairan : - Pengkajian merupakan
Mempertahankan • Timbang berat badan dasar dan data dasar
berat tubuh ideal harian berkelanjutan untuk
tanpa kelebihan • Keseimbangan memantau perubahan dan
cairan. masukan dan haluaran mengevaluasi intervensi.
• Turgor kulit dan Keperawatan Medikal
Kriteria hasil : adanya oedema Bedah edisi 8 vol 2,
• Menunjukkan • Distensi vena leher Brunner & Suddart, hal
pemasukan dan • Tekanan darah, denyut 1452)
pengeluaran dan irama nadi
mendekati seimbang - Batasi masukan cairan
- Pembatasan cairan akan
• Turgor kulit baik
menentukan berat badan
• Membran mukosa
ideal, haluaran urine dan
lembab
respons terhadap terapi.
• Berat badan dan
(Keperawatan Medikal
tanda vital stabil
Bedah edisi 8 vol 2,
• Elektrolit dalam
Brunner & Suddart, hal
batas normal
1452).
- Sumber kelebihan cairan
yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi.
(Keperawatan Medikal
- Jelaskan pada pasien
Bedah edisi 8 vol 2,
dan keluarga rasional
Brunner & Suddart, hal
pembatasan
1452).
- Pemahaman
meningkatkan kerjasama
pasien dan keluarga dalam
- Pantau kreatinin dan
pembatasan cairan
BUN serum
(Keperawatan Medikal
Bedah edisi 8 vol 2,
Brunner & Suddart, hal
1452).
- Perubahan ini
menunjukkan kebutuhan
dialisa segera. (Rencana
Asuhan Keperawatan
1. Lakukan pengkajian
Medikal Bedah, vol 1,
menyeluruh pada nyeri
2 2 Barbara Ensram, hal 156).
termasuk lokasi,
Tujuan :
karakteristik,durasi,
Nyeri dapat 1. Pengkajian menyeluruh
frekuensi.
berkurang pada nyeri termasuk
lokasi, frekuensi, durasi,
Kriteria Hasil : karakteristik untuk
2. Minta klien untuk
Mampu mengontrol menentukanpenyebab
menjelaskan
nyeri (tahu penyebab nyeri
pengalaman nyeri
nyeri, mampu
sebelumnya,
menggunakanteknik
keefektifanintervensi
nonfarmakologi 2. untuk mengetahui
manajemen nyeri,
untuk mengurangi riwayat nyeri dari pasien
respon pengobatan
nyeri, mencari
analgetik termasuk
bantuan) b)
efek samping, dan
informasi yang
Melaporkan bahwa
dibutuhkan.
nyeri berkurang
dengan menggunakan 3. observasi TTV 3. untuk mengobservasi
manajemennyeric) pasien
Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang.
Daftar Pustaka
Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 2. Jakarta
: EGC
Marlyn E. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi Tiga BukuKedokteran. Jakarta:
EGC.
Nurarif AH, Hardhi K. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan
Nanda Nic Noc. Edisi Revisi. Yogyakarta:Mediaction.
Rahardjo P. Hubungan Hipertensi dan Penyakit Ginjal. Indonesian Kidney CareClub. Diakses
pada tanggal 28 Oktober 2017.http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=498