Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

Asuhan Keperawatan Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa Dengan
Komplikasi Hipertensi

1. Penyakit Gagal Ginjal Kronik


1.1 Definisi
Berdasarkan pedoman dari Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI),
gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal selama 3 bulan atau lebih disebabkan oleh
abnormalitas struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan GFR (Carrol, 2006).
GGK adalah keadaan penurunan fungsi ginjal yang progresif selama beberapa bulan
sampai bertahun-tahun. Dan terjadi penggantian sel normal dengan fibrosis (Dipiro et al.,
2009). Ginjal tidak bisa bekerja secara normal untuk menyaring produk sampah dari darah
(Novoa et al.,2010).
Hipertensi didefinsikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanansistoliknya
di atas 40 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas
90mmHg.Sebagian besar hipertensi pada penyakit GGK disebabkan hipervolemia akibat r
etensinatrium dan air. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi renin-angiotensin dan
kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Hipertensi bisa berakibat gagal ginjal. Sedangkan bila sudah menderitagagal ginjal
sudah pasti terkena hipertensi. Bahkan hipertensi pada gilirannya menjadi salah satu
faktor risiko meningkatnya kematian pada pasien hemodialisis (pasien ginjal yang
menjalani terapi pengganti ginjal dengan cara cucidarah/hemodialisis di rumah sakit).
Pasien hipertensi pada GGK diharapkan dapatsecara rutin mengontrol tekanan darah
(usahakan tekanan darah dibawah 130/80mmHg) dan pengaturan pola makan yang
sesuai dengan kondisi ginjalnya.
Bila seseorang tekanan darah sistolik dan diastoliknya lebih di atas batas normal
yaitu 140/80 mmHg, sudah terkena hipertensi. Meski tekanan darah seseorang masih
dibawah definisi normal tersebut tidak secara otomatis terbebas dari kemungkinan terkena
hipertensi. Tetapi dianggap berpotensi terkena hipertensi jika ditemukan beberapa faktor
risiko mengalami kegemukan atau karena kolesterol. Pada kelompok ini tetap perlu
diberikan pengobatan untuk mengatasi hipertensi. Di dalam darah antara lain dialiri
asupan-asupan lemak ke sel-sel pembuluh darah. Selanjutnya dinding pembuluh darah
yang makin tebal karena lemak tersebut bisa mempersempit pembuluh darah.

1.2 Klasifikasi
Pada penderita chronic kindey disease, klasifikasi stadium ditentukan dua hal,
yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas
asar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus
Kockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah (K/DOQI, 2002).
Cara menghitung GFR :
1. Pria
LFG ((ml/mnt/ 1,73m2) = (140 – umur) X berat badan )
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
2.Wanita
pada wanita sedikit berbeda,

LFG (ml/mnt/1,73m2 (140 - umur) x berat badan x 0,85


72 × kreatinin plasma (mg/dl)
Berdasarkan Stadium menurut Lemon, 2016
1) Stadium 1
Laju filtrasi glomerulus >90mL/menit/1,73m2
2) Stadium 2
Laju filtrasi glomerulus 60-89mL/menit/1,73m2
3) Satdium 3
Laju filtrasi glomerulus 30-59 mL/menit/1,73m2
4) Stadium 4
Laju filtrasi glomerulus 15- 29 mL/menit/1,73m2
5) Stadium 5
Laju filtrasi glomerulus <15mL/menit/1,73m2

1.3 Etiologi
Etiologi chronic kindey disease sangat bervariasi antara satu negara dengan negara
lain. Penyebab utama chronic kindey disease tahun 1995-1999 di AS (Switra, 2009) :
Penyakit diabetes mellitus, yakni angka insiden 44% (DM tipe 1 sebesar 7%, DM tipe 2
sebesar 37%), hipertensi dan pembuluh darah besar dengan angka insiden 27%,
gloerulonefritis dengan insiden 10%, nefritis Interstitialis dengan insiden 4%, kista dan
penyakit bawaan lain dengan insiden 3%, penyakit sistemik (mis: lupus, dan vaskulitis)
dengan insiden 2%, neoplasma dengan insiden 2%, tidak diketahui dengan insiden 4%,
dan penyakit lain dengan insiden 4%. Penyebab GGK yang menjalani hemodialisis di
Indonesia tahun 2000 (Suwitra, 2009), glomerulonefritis dengan angka insiden 46,39%,
diabetes mellitus dengan angka insiden 18,65%, Obstruksi dan infeksi dengan angka
insiden 12,85%, hipertensi dengan angka insiden 8,46% dan sebab lain dengan angka
insiden 13,65%. Menurut O’ Callaghan, penyebab penyakit ginjal stadium akhir yang
membutuhkan terapi pengganti ginjal; diabetes mellitus 40%, hipertensi 25%,
glomerulonefritis 15%, penyakit ginjal polokistik 4%, urologis 6% dan tidak diketahui
sebanyak 10% (0’ Callaghan, 2007).
Orang yang mengidap kondisi atau memiliki kebiasaan tertentu lebih berisiko
mengidap hipertensi, yaitu: kurang berolahraga, kebiasaan merokok, stres, obesitas,
mengonsumsi minuman keras berlebihan, usia tua, terdapat anggota keluarga yang dulu
mengidap hipertensi, terlalu banyak garam dan lemak dalam makanan yang dikonsumsi.

1.4 Manifestasi Klinis


Karena pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan
usia pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti kulit
menjadi pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan bersisik terjadi
akibat atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan penguapa sehingga terjadi
penumpukan kristal urea di kulit. Akibatnya kulit menjadi terasa gatal (pruritus). kuku
dan rambut juga menjadi kering dan pecah-pecah sehungga mudah rusak dan patah.
Perubahan pada kuku tersebut merupakan ciri khas kehilangan protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal ersebut terjadi akibat
gagal ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga
mengaktivasi apparatus juxtaglomerular untuk memproduksi enzim rennin yang
menstimulasi angiotensin I dan II serta menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Angiotensin II merangsang produksi aldosteron dan korteks adreanl, meningkatkan
reabsorbsi sodium dan ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan
sodium dalam ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium
dalam darah. Manifestasi lain yang dapat ditemukan adalah gagal jantung kongestif
dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin uremik).
c. Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia yang sering
menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan. Gejala lainnya adalah
pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.
d. Sistem gastrointestinal
Gejala yang sering terjadi adalah anoreksia, mual, muntah, kelaianan periodontal dan
ulserasi pada saluran gastrointestinal. Perdarahan saluran cerna juga bisa terjadi dan
akan menjadi berbahaya pada pasien dengan kelainan pembekuan darah.
e. Sistem sirkulasi dan imun
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6 g/dL
atau hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis, hematokrit
berkisar antara 39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, memendeknya usia sel darah mera, defisiensi nutrisi (seperti zat besi,
asam folat dan vitamin B12) atau kehilangan nutrisi selama hemodialisa dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama
dari saluran gastrointestinal. Selain sering mengalami anemia, pasien gagal ginjal
tahap akhir juga renan terhadap infeksi akibat adanya defisiensi immunoglobulin.
f. Sistem saraf
Retensi produk sampah dalam darah dan ketidakseimbangan elektrolit
menurunkan kemampuan neurotransmisi dalam berbagai oragan yang bisa berlanjut
kepada gangguan sistem saraf perifer yang menyebabkan burning pain, restless leg
syndrome, spasme otot dan kram.
g. Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak teraturnya
atau berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi akibat perubahan
psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ reproduksi dan kehilangan hasrat
seksual.
h. Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut
osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata merah
akibat terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga bisa
mengalami edema akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan
sampah metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf dan
menyebabkan restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah satu
bentuk gangguan tidur dan penyebab insomnia pada pasien hemodialisis. Pasien gagal
ginjal kronis yang menjalani hemodialisis sering mengalami gangguan tidur berupa
kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur dan bangun terlalu dini.

Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-10%
dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita sindrom uremik,
yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen
akibat gagal ginjal.

1.5 Diagnosa Penyakit


1.5.1 Patofisiologi
Terjadi apabila GFR turun menjadi kurang dari 5% dari normal.
Hanyasedikit nefron fungsional yang tersisa.
Akumulasi sisa metabolik dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam
darah. Ginjal sudah tidak mampumempertahankan homeostatis dan pengobatannya
dengan dialisa atau penggantian ginjal. Dalam perjalanan penyakitnya, terdapat 5
tahap gagal ginjal kronik:
- Pada stadium paling dini (tahap I) gagal ginjal , terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reserve), dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) basal masih lebih
dari 90%.. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum.
- Pada tahap II, LFG 60 - 89 %, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan urea dan kreatinin serum.
- Pada tahap III, LFG 30 – 59%, mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
- Pada tahap IV, LFG 15 -29%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual dan muntah. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas maupun saluran
cerna, juga akan terjadi gangguan keseimbangan air, hipo atau hipervolumia,
gangguan keseimbangan elektrolit natrium dan kalium.
- Pada tahap V, dengan LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal, pada keadaan ini pasien dikatakan berada
pada stadium gagal ginjal terminal.
Hipertensi pada dasarnya merusak pembuluh darah. Jika
pembuluhdarahnya ada pada ginjal, tentu ginjalnya yang mengalami kerusakan.
Belum lagi salah satu kerja ginjal adalah memproduksi enzim angio
tension.Selanjutnya diubah menjadi angio tension II yang menyebabkan
pembuluhdarah mengkerut atau menjadi keras. Pada saat seperti inilah
terjadihipertensi.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus
keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Smeltzer, Bare, 2002).
Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya
tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak
mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam
tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.
Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan tahanan perifer.
Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga meningkatkan curah
jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah. Selain itu, kerusakan nefron
akan memacu sekresi renin yang akan mempengaruhi tahanan perifer sehingga
semakin meningkat.
Jika penyempitan pembuluh darah terjadi pada ginjal, tentu akan terjadi
kerusakan ginjal yang berakibat kepada penyakit gagal ginjal. Hipertensi pada
dasarnya merusak pembuluh darah. Jika pembuluh darahnya ada pada ginjal, tentu
ginjalnya yang mengalami kerusakan. Belum lagi salah satu kerja ginjal adalah
memproduksi enzim angio tension. Selanjutnya diubah menjadi angio tension II
yang menyebabkan pembuluh darah mengkerut atau menjadi keras. Pada saat
seperti inilah terjadi hipertensi.
Hipertensi bisa berakibat gagal ginjal. Sedangkan bila sudah menderita
gagal ginjal sudah pasti terkena hipertensi. Bahkan hipertensi pada gilirannya
menjadi salah satu faktor risiko meningkatnya kematian pada pasien hemodialisis
(pasien ginjal yang menjalani terapi pengganti ginjal dengan cara cuci
darah/hemodialisis di rumah sakit). Naiknya tekanan darah di atas ambang batas
normal bisa merupakan salah satu gejala munculnya penyakit pada ginjal.
Beberapa gejala-gejala lainnya seperti berkurangnya jumlah urine atau sulit
berkemih, edema (penimbunan cairan) dan meningkatnya frekuensi berkemih
terutama pada malam hari. Bila sudah dinyatakan gagal ginjal tahap akhir, maka
pasien harus menjalankan terapi pengganti ginjal seumur hidupnya. Ada 3 jenis
terapi pengganti pengganti ginjal yaitu Transplantasi (cangkok ginjal),
Hemodialisis (sering disebut cuci darah), Peritoneal Dialisis (CAPD = continous
ambulatory peritoneal dialysis) yang semuanya membutuhkan dana yang cukup
besar.
Patofosiologi berdasarkan penyebab menurut Lemon, 2016: 1064
a. Nefropati diabetik
Peningkatan awal laju aliran glomerulus menyebabkan hiperfiltrasi
dengan akibat kerusakan glomerulus, penebalan dan sklerosis membran
basalis glomerulus dan glomerulus kerusakan bertahap nefron menyebabkan
penurunan GFR
b. Nefrosklerosis hipertensi
Hipertensi jangka panjang menyebabkan skelrosis dan penyempitan
arteriol ginjal dan arteri kecil dengan akibat penurunan aliran darah yang
menyebabkan iskemia, kerusakan glomerulus, dan atrofi tubulus.
c. Glomerulonefritis kronik
Inflamasi interstisial kronik pada parenkim ginjal menyebabkan
obstruksi dan kerusakan tubulus dan kapiler yang mengelilinginya,
memengaruhi filtrasi glomerulus dan sekresi dan reabsorbsi tubulus,dengan
kehilangan seluruh nefron secara bertahap.
d. Pielonefritis kronik
Infeksi kronik yang biasa dikaitkan dengan obstruksi atau reluks
vesikoureter menyebabkan jaringan parut dan deformitas kaliks dan pelvis
ginjal , yang menyebabkan refluks intrarenal dan nefropati
e. Penyakit ginjal polisistik
kista bilateral multipel menekan jaringan ginjal yang merusak perfusi
ginjal dan menyebabkan iskemia, remodeling vaskular ginjal, dan pelepasan
mediator inflamasi, yang merusak dan menghancurkan jaringan ginjal normal.
f. Eritematosa lupus kompleks
kompleks imun terbentuk di membaran basalis kapiler yang menyebabkan
inflamasi dan sklerosis dengan glomerulonefritis fokal, lokal, atau difus.
1.5.2 WOC

1.6 Komplikasi
Komplikasi GGk menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwita (2006)
Antara lain :
a. Hiperkalemia akibat penurunan sekresi asidosis metabolik.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiostension aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritopoitin.
e. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
f. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebih
g. Malnutrisi akibat anoreksia, mual, muntah.
h. Hiperparatiroid, hiperkalemia, hiperfosfate
1.7 Pencegahan
1.7.1 Pencegahan Primordial
Upaya dilakukan dengan cara menciptakan kondisi pada masyarakat yang
memungkinkan penyakit Penyakit Ginjal Kronik tidak mendapat dukungan dari kebiasaan,
gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Pada prinsipnya upaya pencegahan primordial yang
dapat dilakukan adalah melakukan penyesuaian terhadap risiko yang ada dalam masyarakat
dengan cara membentuk pola pikir masyarakat agar mengatur pola makan yang sehat dan
minum air yang banyak (dianjurkan 2 liter per hari) agar kesehatan ginjal terjaga (Bustan,
2007).
1.7.2 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha yang dilakukan pada orang yang sudah memiliki
risiko menderita GGK (Budiarto, 2002). Orang yang berisiko tinggi mengalami GGK
adalah penderita DM, hipertensi, pasien dengan proteinuria dan lainnya (Simardibrata,
2003). Perncegahan primer yang dapat dilakukan (Lumenta, 1992) :
1) Mengatur pola konsumsi protein.
2) Sedikit mengkonsumsi garam. Pola konsumsi garam yang tinggi akan meningkatkan
ekskresi kalsium dan air kemih yang dapat menumpuk dan membentuk kristal.
3) Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi.
1.7.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah tahap pencegahan untuk komplikasi. Adapun yang
dilakukan adalah mendeteksi dini penyakit dan pengobatan secara cepat dan tepat
(Budiarto, 2002). Usaha yang dapat dilakukan yakni pengobatan konservatif berupa
pemberian obat dan pengaturan diit makanan. Tujuan pengobatan konservatif ini adalah
untuk mempertahankan agar penderita tetap berada dalam kondisi fisik sebaik mungkin
pada saat penderita masuk ke dalam stadium terminal untuk mendapatkan dialisis atau
transplantasi ginjal (Suandi, 1999).
Prinsip – prinsip pengaturan diit penderita GGK yang penting adalah dengan
memberikan nutrien yang diperlukan guna kebutuhan tubuh dan melanjutkan pertumbuhan
tanpa melampaui batas kemampuan ginjalnya (Suandi,1999),

1.8 Penatalaksanaan
1.8.1 Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal sedini
mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan gejala yang
mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal. Yang termasuk
pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
1) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan
kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari protein.
Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan
memperlambat terjadinya gagal ginjal. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan
sampai 60-80 g/hari, apabila penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
2) Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium
dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari. Penggunaan makanan dan obat-
obatan yang tinggi kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.
3) Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium
yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru,
hipertensi dan gagal jantung kongestif.
4) Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengelurana cairan
yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Asupan yang bebas
dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema. Sedangkan asupan
yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal.
Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin
yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Asupan cairan membutuhkan
regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal kronik, karena rasa haus pasien merupakan
panduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien (Wilson, 2006).
1.8.2 Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)
Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit gagal
ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan
memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialisis
(hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al, 2008).

a. Dialisis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan fungsi tersebut. Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan
kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Dialisis
dilakukan dalam penanganan pasien dengan edema yang tidak responsif terhadap
terapi, koma hepatikum, hiperkalemia, hiperkalsemia, hipertensi dan uremia.
Dialisis akut diperlukan bila terdapat kadar kalium yang tinggi dan meningkat,
kelebihan muatan cairan atau edema pulmoner yang mengancam, asidosis yang
meningkat, perikarditis dan konfusi yang berat. Dialisis kronis atau pemeliharaan
dibutuhkan pada gagal ginjal kronis dalam keadaan berikut : (1) terjadi tanda dan
gejala uremia yang mengenai seluruh sistem tubuh (mual muntah, anoreksia berat,
letargi, dan konfusi mental) ; (2) kadar kalium serum yang meningkat ; (3) muatan
cairan berlebih yang tidak responsif terhadap terapi diuretik serta pembatasan
cairan ; dan (4) penurunan status kesehatan yang umum. Selain itu, terdengarnya
suara gesekan perikardium (pericardial friction rub) merupakan hasil aukultasi
yang merupakan indikasi yang mendesak untuk dilakukan dialisis untuk pasien
gagal ginjal kronis (Brunner & Suddarth, 2002).
1) Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser). Dialiser ini
memiliki fungsi seperti nefron yang dapat mengeluarkan produk sisa
metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasien gagal ginjal (Black, 2005; Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi,
2011).
Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat
nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan
(Suharyanto, 2002). Tujuan hemodialisis yang lain yaitu mempertahankan
keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa, mengembalikan beberapa
manifestasi kegagalan ginjal yang irreversibel (Smeltzer & Bare, 2008; Black
& Hawk, 2009). Walaupun hemodialisis dapat mencegah kematian namun
demikian tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal, tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan
oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal (Sulistyaningsih, 2011).
Prinsip dari pelaksanaan hemodialisis adalah darah dikeluarkan dari
tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk ke dalam sebuah mesin
besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang yang dipisahkan oleh sebuah
membran semipermeabel. Darah dimasukkan ke salah satu ruang, sedangkan
ruang yang lain diisi oleh cairan perdialisis dan diantara keduanya akan terjadi
difusi. Darah dikembalikan ke tubuh melalui sebuah pirau vena (Corwin,
2009).
Indikasi pemberian hemodialisa pada sindrom uremia, terlihat pada laju
GFR yang hanya tersisa sebesar 15% dari normal atau kurang dari 15
mL/mnt/1,73 m2. Kemudian dalam pemeriksaan laboratorium, ditandai dengan
peningkatan kadar ureum hingga lebih dari 200 mg/dL, kreatinin serum > 6
mEq/L, pH < 7,1 dan ditambah dengan timbulnya gejala-gejala klinis yang
nyata seiring dengan perburukan fungsi ginjal (Rahardjo dkk, 2006).
Proses hemodialisis yang dilakukan dalam waktu cukup lama setiap 1
kali prosesnya (3-4 jam) dapat menyebabkan jumlah cairan dan penggantian
solusi menjadi besar. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan yang besar
terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga berkontribusi terhadap
ketidakseimbangan hemodinamik. Ketidakseimbangan ini dapat ditandai
dengan hipotensi dan aritmia jantung. Komplikasi jenis ini dialami sekitar 20-
50% pasien hemodialisis (Reeves et.al, 2001). Komplikasi terapi dialisis dapat
mencakup hal- hal berikut :
1. Hipotensi dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara dapat terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus terjadi ketika selama terapi dialisis produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
6. Kram otot yang nyeri dapat terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah.
(Brunner & Suddarth, 2002)
2) Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal dilakukan dengan cara menanamkan sampai 2 L
larutan glukosa isotonik atau hipertonik dalam rongga peritoneal pasien
melalui pemasangan kateter Silastic permanen. Terjadi ekuilibrium cairan,
melalui membran peritoneal seluas 2 m2 dengan darah di kapiler peritoneum.
Setelah beberapa jam cairan yang mengandung sisa buangan toksik ditarik
keluar. Prosedur ini diulangi tiga atau empat kali sehari. Kelebihan cairan
diambil oleh larutan hipertonik. Komplikasi utama adalah peritonitis, biasanya
akibat Staphylococcus epidermidis atau S.aureus (Rubenstein et.al, 2007).
b. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu terapi
definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal
yang sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah
pencangkokan ginjal sehat ke dalam tunuh pasien. ginjal sehat tersebut bisa didapatkan
dari donor manusia yang sehat dan masih hidup atau bisa juga dari donor yang baru saja
meninggal. Permasalahan yang paling sering dihadapi dalam cangkok ginjal adalah
adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien sebagai resepien terhadap ginjal baru yang
dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih
ginjal yang paling cocok sehingga memberikan reaksi penolakan yang paling minimal.
Setelah pelaksanaan transplantasipun, resepien juga masih harus minum obat
imunosupresan seumur hidupnya untuk menekan reaksi penolakan oleh tubuhnya
terhadap ginjal baru dalam tubuhnya (Aziz, 2008).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI

2.1 Pengkajian
2.1.1 Pengkajian Umum
a) Biodata Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia
muda,dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria
b) Keluhan utama : kecing sedikit, gelisah, tidak selera makan, mual,muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, gatal pada kulit.
c) Riwayat Penyakit
Sekarang : Diare, muntah, reaksi anafilaksis
Dahulu : Riwayat penyakit GGA, ISK, payah jantung, hipertensi, pengunaan obat
nefrotoksik, hiperplasia.
Keluarga : adanya penyakit keturunan DM, hipertensi
d) Tanda vital: Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi,
nafascepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
2.1.2 Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah
pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini
meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau
tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktivitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya
adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran
seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi
tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam
hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri
jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan
tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan
perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
2.1.3 Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi
peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung
kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa
mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi
basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan
terjadi perikarditis.
2.1.4 Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah, bakteri,
lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya
darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine
/ ureum sering 1:1.
2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap
akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang
dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti
pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular
(asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan
EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Magnesium terjadi
peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum
menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa ,
kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obtruksi (batu).
6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk
kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi
kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada
asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi, obat
diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai
selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

2.2 Diagnosa
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan serta natrium.
2) Nyeri akut: sakit kepala b.d agen injuri : fisik (peningkatan tekananvaskuler serebral)

2.3 Intervensi Keperawatan


1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan serta natrium.
2) Nyeri akut: sakit kepala b.d agen injuri : fisik (peningkatan tekananvaskuler serebral)

Dx
NO Tujuan dan KH Intervensi Rasional
kep
1 1 Tujuan - Kaji status cairan : - Pengkajian merupakan
Mempertahankan • Timbang berat badan dasar dan data dasar
berat tubuh ideal harian berkelanjutan untuk
tanpa kelebihan • Keseimbangan memantau perubahan dan
cairan. masukan dan haluaran mengevaluasi intervensi.
• Turgor kulit dan Keperawatan Medikal
Kriteria hasil : adanya oedema Bedah edisi 8 vol 2,
• Menunjukkan • Distensi vena leher Brunner & Suddart, hal
pemasukan dan • Tekanan darah, denyut 1452)
pengeluaran dan irama nadi
mendekati seimbang - Batasi masukan cairan
- Pembatasan cairan akan
• Turgor kulit baik
menentukan berat badan
• Membran mukosa
ideal, haluaran urine dan
lembab
respons terhadap terapi.
• Berat badan dan
(Keperawatan Medikal
tanda vital stabil
Bedah edisi 8 vol 2,
• Elektrolit dalam
Brunner & Suddart, hal
batas normal
1452).
- Sumber kelebihan cairan
yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi.
(Keperawatan Medikal
- Jelaskan pada pasien
Bedah edisi 8 vol 2,
dan keluarga rasional
Brunner & Suddart, hal
pembatasan
1452).

- Pemahaman
meningkatkan kerjasama
pasien dan keluarga dalam
- Pantau kreatinin dan
pembatasan cairan
BUN serum
(Keperawatan Medikal
Bedah edisi 8 vol 2,
Brunner & Suddart, hal
1452).

- Perubahan ini
menunjukkan kebutuhan
dialisa segera. (Rencana
Asuhan Keperawatan
1. Lakukan pengkajian
Medikal Bedah, vol 1,
menyeluruh pada nyeri
2 2 Barbara Ensram, hal 156).
termasuk lokasi,
Tujuan :
karakteristik,durasi,
Nyeri dapat 1. Pengkajian menyeluruh
frekuensi.
berkurang pada nyeri termasuk
lokasi, frekuensi, durasi,
Kriteria Hasil : karakteristik untuk
2. Minta klien untuk
Mampu mengontrol menentukanpenyebab
menjelaskan
nyeri (tahu penyebab nyeri
pengalaman nyeri
nyeri, mampu
sebelumnya,
menggunakanteknik
keefektifanintervensi
nonfarmakologi 2. untuk mengetahui
manajemen nyeri,
untuk mengurangi riwayat nyeri dari pasien
respon pengobatan
nyeri, mencari
analgetik termasuk
bantuan) b)
efek samping, dan
informasi yang
Melaporkan bahwa
dibutuhkan.
nyeri berkurang
dengan menggunakan 3. observasi TTV 3. untuk mengobservasi
manajemennyeric) pasien

Mampu mengenali 4. untuk menurunkan


4.kolaborasi pemberian
nyeri (skala, tekanan darah.
obat hipertensi.
intensitas, frekuensi,
dan tanda nyeri)d)

Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang.
Daftar Pustaka

Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 2. Jakarta
: EGC

Corwin, Elizabeth. J. 2000. Buku Saku Phatofisiologi. Jakarta ; EG

Marlyn E. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi Tiga BukuKedokteran. Jakarta:
EGC.

Muttaqien A, Kumala S. 2010. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:


Salemba Medika.

Nurarif AH, Hardhi K. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan
Nanda Nic Noc. Edisi Revisi. Yogyakarta:Mediaction.

Rahardjo P. Hubungan Hipertensi dan Penyakit Ginjal. Indonesian Kidney CareClub. Diakses
pada tanggal 28 Oktober 2017.http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=498

Anda mungkin juga menyukai