Anda di halaman 1dari 21

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Pembimbing :
Dr. Evalina Asnawi, Sp.KJ (K)

Oleh :
Elseyra Rebecca Parhusip

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 6 November 2017 – 9 Desember 2017
BAB I
Pendahuluan

Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada seseorang yang


muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa
yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau
penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak,
peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu
lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan
akan mengalami gangguan stres.
Supaya pasien dapat diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stres pascatraumatik,
mereka harus mengalami suatu stres emosional yang besar yang akan traumatik bagi setiap
orang.
Gangguan stres pascatraumatik terdiri dari :
 Pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan ( waking
thought ).
 Penghindaran yang yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpukan
responsivitas pada penderita tersebut.
 Kesadaran berlebihan ( hyperararousal ) yang persisten.
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pascatraumatik adalah depresi, kecemasan dan
kesulitan kognitif (sebagai contohnya, pemusatan perhatian yang buruk). Di dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM IV), lama gejala minimal untuk
gangguan stres pascatraumatik adalah satu bulan.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita
paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan sangat mungkin terjadi pada
mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan ekonomi atau menarik diri secara
sosial. Gangguan Stres Pasca Trauma termasuk dalam gangguan cemas. Gangguan cemas
disebabkan oleh situasi atau obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan
situasi atau obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam.
Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap tidak
berbahaya atau mengancam. Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang
berlebihan, ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan
berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung
berdebar, serta dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi
dan mungkin terdapat gejala yang lain.
BAB II
Gangguan Stress Pasca Trauma

Definisi
Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat
didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul
setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan
atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan
murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan
yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat
dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.1
Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :
1. Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam mimpi atau pikiran-pikiran waktu terjaga.
2. Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan interpersonal
3. Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil, depresi dan gangguan kognitif (seperti
kesukaran konsentrasi)

Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stres emosional / trauma psikologik yang
besar yang berada di luar batas - batas pengalaman manusia yang lazim.
Gangguan stres pascatraumatik dapat terjadi dengan segera, hal ini dapat dilihat langsung
pada bencana alam, pengalaman seseorang terhadap reaksi dari trauma tersebut merespon
kejadian yang baru dialaminya di luar kontrol dirinya, menangis, hilang ingatan sesaat, menjerit-
jerit, histeria dan sebagainya. Gangguan stres pascatraumatik juga dapat disebabkan oleh stres
ringan yang pada awalnya, akan tetapi stres berlangsung secara kontinu, stres tersebut
berlangsung sampai berminggu-minggu, bulan dan bahkan tahunan.

Epidemiologi
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum diperkirakan dari 1
sampai 3 persen dimana 0,5 % untuk pria dan 1,2 % pada wanita, anak-anak juga mengalami
gangguan tersebut. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual,
serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti :
gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh.
Walaupun gangguan stres pascatraumatik dapat tampak pada setiap usia, gangguan ini
paling menonjol pada dewasa muda, karena sifat situasi yang mencetuskannya. Tetapi, anak-
anak dapat mengalami gangguan stres pascatraumatik.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita
paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan sangat mungkin terjadi pada
mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan ekonomi atau menarik diri secara
sosial.

Etiologi
Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pascatraumatik.
Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pascatraumatik setelah suatu peristiwa
traumatik. Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan
gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual,
faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Penelitian terakhir pada gangguan stres pascatraumatik sangat menekankan pada respon
subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala
gangguan stres pascatraumatik pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya
stresor, penelitian empiris telah membuktikan sebaliknya. Jika dihadapkan dengan trauma yang
berat, sebagian orang tidak akan mengalami gangguan stres pascatraumatik. Sebaliknya peristiwa
yang mungkin tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin dapat
menyebabkan gangguan stres pascatraumatik pada beberapa orang karena arti subjektif dari
peristiwa tersebut.2
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting
dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal
7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan.

Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma psikis yang
parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau
mengungkapakan keadaaan perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada
masa anak- anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma terjadi
pada masa dewasa, regresi emosional sering kali terjadi. Mereka tidak mampu menenangkan
dirinya jika dalam keadaan stress.

BAGAN STRES DAN STRES PASCA TRAUMA

Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang
terkena stres pascatraumatik tidak mampu memproses atau merasionalkan trauma yang
mencetuskan gangguan.
Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk tidak mengalami kembali stres dengan
teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara
kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-
ganti.
Model perilaku dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan
memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan)
adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat
fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien
mengambangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang
tidak dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi
konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma
masa anak-anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi,
penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha
menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia
luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan
tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan
stres pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi
yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara
berganti-ganti.

Faktor biologis
Teori biologis tentang gangguan stres pascatraumatik telah dikembangkan dari penelitian
praklinik dari model stres pada binatang dan dari pengukuran variable biologis dari populasi
klinis dengan gangguan stres pascatraumatik. Banyak system neurotransmitter telah dilibatkan
dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan,
pembangkitan, dan sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin,
dopamine, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus, hipofisis
adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa system noradrenergik dan
opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal, adalah hiperaktif pada
sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stres pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas system
saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan pembacaan
tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi tidur dan
peningkatan latensi tidur).

Gambaran Klinis dan Diagnosis


Gambaran klinis utama dari gangguan stres pascatraumatik adalah pengalaman ulang
peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan kekakuan emosional dan kesadaran
yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan mungkin tidak berkembang sampai berbulan-
bulan atau bertahun-tahun setelah peristiwa. Pemeriksaaan status mental seringkali
mengungkapkan rasa bersalah, penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin juga
menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi mungkin ditemukan.
Tes kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien memiliki gangguan daya ingat dan
perhatian.
Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan , pengendalian impuls yang buruk dan
depresi. Berbagai ciri anti sosial mungkin ditemukan termasuk penyalahgunaan dan
ketergantungan alkohol dan obat, perasaan bersalah yang menonjol, insomnia, ilusi dan
halusinasi, disosiasi, serangan panik, agresi, kekerasan dan gangguan daya ingat serta gangguan
memusatkan perhatian (konsentrasi).
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stres pascatraumatik ditulis untuk
memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R.
Pertama DSM-III-R menggambarkan stresor di luar rentang pengalaman manusia pada
umumnya. Karena kriteria adalah tidak jelas dan tidak dapat dipercaya, DSM-IV memperjelas
artinya (Kriteria A).
Dalam DSM-IV, kriteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R, bahwa pasien secara
menetap mengalami kembali peristiwa traumatik.
Kriteria C dan D pada DSM IV tetap sama dengan DSM-III-R, mereka menyebutkan
penghindaran persisten terhadap situasi tertentu dan peningkatan kesadaran pada pasien.
DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang (reexperiencing), menghindar
dan kesadaran yang berlebihan (hiperarousal) harus berlangsung lebih dari 1 bulan. Bagi pasien
yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat mungkin adalah
gangguan stres akut. Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stres pascatraumatik yang
memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika berlangsung kurang dari
tiga bulan ) atau kronis (jika gejala berlangsung tiga bulan atau lebih). DSM-IV juga
memungkinkan klinisi menentukan bahwa gangguan adalah dengan onset lambat jika onset
gejala adalah enam bulan atau lebih setelah peristiwa stres.3

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik :

A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
terdapat :
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri
atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :
1. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian,
termasuk angan pikiran atau persepsi.
2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali
(termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman kembali pengalaman, ilusi,
halusinasi dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat terbangun
atau saat terintoksikasi).
4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
5. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku
karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan
oleh tiga (atau lebih) berikut ini :
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang
berhubungan trauma
2) Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang
menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna
5) Rentang afek yang terbatas
6) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma ) yang
ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut :
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3) Sulit berkonsentrasi
4) Kewaspadaan berlebihan
5) Respon kejut yang berlebihan
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Sebutkan jika :
Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
Sebutkan jika :
Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor

Tabel dari DSM- IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disoerder, ed 4. Hak cipta American Psychiatric
Association, Washington 1994.3
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut PPDGJ III :
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak di dapati alternatif kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback).
3. Gangguan otonomik gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai
diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu ’sequelae’ menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja
beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan
kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stres Akut


A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
ditemukan :
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau
orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan,
individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
2. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan
tidak sadar)
3. derelisasi
4. depersonalisasi
5. amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari
trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut :
bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan
hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan mengingat kejadian
traumatik
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya,
pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur, iritabilias,
konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan, dan
kegelisahan motorik).
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan individu untuk
mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau
menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang
pengalaman traumatic.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam
4 minggu setelah traumatik
H. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan,
medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik
singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah
ada sebelumnya.

Perjalanan penyakit dan Prognosis4


Gangguan stres pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah trauma,
dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan berjalannya
waktu dan mungkin paling kuat selama periode stres. Kira-kira 30% pasien piulih secara
lengkap, 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap
tidak berubah atau menjadi buruk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat
(kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat dan tidak
adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan
dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan. Kecacatan
psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang
lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu.
Tersedinya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan dan durasi
gangguan stres pasca traumatik. Pada umumnya, pasien yang mendapat dukungan sosial yang
baik kemungkinan tidak mengalami gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk
yang parah.

Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan
kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala
adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan dengan zat
lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis
yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai
gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus
mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada pasien yang menderita gangguan nyeri
(pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental
organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat
gejala sekarang ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau berpura-pura
juga harus dipertimbangkan.
Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan stress
pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling
berhubungan sebab akibat.
Gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran
berlebih otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stres
pascatraumatik.5

Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stres pascatraumatik dalam
berita populer, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan
berpura – pura.

Penatalaksanaan1

Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma

Terdapat tiga pendekatan terapetik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan
yaitu:

1. Manajemen krisis
2. Psikoterapi
3. Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :

1. Peredaan gejala
2. pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek
3. Suportif (dukungan)

Psikoterapi6

Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan
pengalaman ulang trauma. Rekosntruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis yang
menyertai mungkin bersifat terapeutik.

Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah terapi perilaku, terapi
kognitif dan hipnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban trauma.
Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan
jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas.
Masalah kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli terapi
harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatik, mendorong mereka untuk
santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress. Pasien harus didorong untuk tidur,
menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan
sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan
perasaan emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan
di masa depan.

Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan
dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika
gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama dapat
diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatik melalui teknik pembayangan
(imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi implosif,
atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua adalah mengajarkan pasien
metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stres, termasuk teknik relaksasi dan
pendekatan kognitif. Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan
stress adalah efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan
adalah lebih lama. 5

Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah dilaporkan
efektif pada kasus gangguan stres pascatraumatik. Keuntungan terapi kelompok adalah berbagi
berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi
kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu
mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejala yang mengalami eksaserbasi.
Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah cukup parah atau jika terdapat
risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.7

Farmakoterapi

Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan
akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.

1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)

Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan


gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)

Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal


daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang
selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif.

Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat


pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari.

3. Benzodiazepin

Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum.


Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga
pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan
tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu
periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan.

Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin dalam


gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak
berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami
gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah berada dalam
risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin

4. Obat-obat lainnya

Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas


noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka. Selain itu
juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-agonis Guanfacine
pada wanita muda. Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk
kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60 mg/hari atau
lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal.

Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan


berguna untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress
pascatrauma. Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan
stress pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress
pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien
dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan
opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma. Ada beberapa laporan mengenai
kegunaan Thymoleptics-lithium Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress
pascatrauma.

BAB IV

KESIMPULAN

Gangguan Stres Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :

1. Pengalaman tentang trauma melalui mimpi dan pikiran yang datang runtun beruntun
2. penghindaran terhadap trauma dan
3. kesadaran berlebihan yang persisten sifatnya
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum yaitu 0,5% untuk pria
dan 1,2% untuk wanita. Anak-anak dapat mengalami gangguan tersebut.

Etiologi dari gangguan stres pascatraumatik antara lain :

1. Stresor
2. Faktor psikodinamik
3. Faktor biologis
4. Stresor merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress pascatrauma.
DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan kesadaran yang
berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan.

Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat
adalah gangguan stress akut.

Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik memungkinkan klinisi


menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala berlangsung kurang dari tiga bulan) atau
kronis (lebih dari tiga bulan).

Manfaat Imipramin dan Amitriptilin, dua obat Trisiklik, dalam pengobatan gangguan
stress pascatraumatik didukung oleh sejumlah uji coba klinisi terkontrol baik.

Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan gangguan stress pascatraumatik
adalah Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), Mono-Amine Oxidase Inhibitors (MAOI),
dan anti konvulsan (carbamazepin). Clonidin dan Propanol dianjurkan.

Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik adalah terapi perilaku,


terapi kognitif, dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban
trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan
dukungan dan jaminan.

Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan
pengalaman ulang trauma.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model intervensi krisis
dengan dukungan pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan
peristiwa.

Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapi


utama dapat diambil.

Pertama adalah pemaparan engan peristiwa traumatic melalui teknik pembayangan


(imaginal technique) atau pemaparan invivo. Pemaparan dapat menjadi kuat, seperti pada terapi
implosif, atau bertahap, seperti pada desentisasi sistemik.8

Pendekatan kedua adalah dengan cara mengajarkan kepada pasien metode pelaksanaan
stress, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi stress.8

BAB IV

PENUTUP

Keadaan stres, konflik-konflik yang kompleks menjadikan pencetus stres bagi individu
maupun masyarakat sendiri. Secara subyektif kecemasan itu bagi kebanyakan orang adalah
perasaan yang tidak enak, yang perlu secepat-cepatnya dihalaukan.

Secara objektif kecemasan itu merupakan suatu pola psikobiologik dengan fungsi
pemberitahu (alarm) adanya bahaya, dengan mengakibatkan suatu perencanaan tindakan yang
efektif, ialah suatu usaha penyesuaian diri terhadap trauma psikis, krisis dan konflik. Apabila
perencanaan dalam penyesuaian diri ini berjalan dengan baik maka kecemasan akan berkurang,
tetapi apabila perencanaan ini berlangsung tidak baik kecemasan bahkan akan bertambah hebat.
Untuk itu dalam menghadapi kecemasan orang dapat mengadakan reaksi sebagai berikut
: secara sadar menghadapinya dan berusaha meniadakan atau memperkecil kekuatannya dengan
jalan rasionalisasi.
Secara tidak sadar orang dapat menghadapinya dan berusaha meniadakan atau memperkecil
kekuatannya dengan jalan rasionalisasi
Secara tidak sadar orang dapat menempuh 2 jalan :
a. Dengan menggunakan mekanisme pembelaan, yang kita lihat pada reaksi fobik dan reaksi
obsesi.
b. Dengan menggunakan mekanisme konversi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric Press,


Washington, 1994
2. Kaplan, Sadock : Synopsis of Psychiatry, 7th Edition, William & Wilkins, Baltimore, 2013
3. Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric Press,
Washington, 1994
4. Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta, 2003
5. Andreasen. N.C and Black. D.W, 2014, “Introductory Textbook of Psychiatry. 3rd ed, British
Libarry, USA: 335-342.
6. http: // med linux.blogspot.com/2007/08/gangguan Stres Pasca Trauma.html
7. http://psiko-indonesia.blogspot.com/2007/01/ gangguan Stres Pasca Trauma.html
8. http:// www.pulih.or.id/?lang=&page=self

Anda mungkin juga menyukai