Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

Teori adalah sebuah konsep abstrak yang memberikan indikasi adanya

suatu hubungan antara konsep-konsep untuk membantu memahami sebuah

Permasalahan. Deskripsi teori menjelaskan tentang variabel penelitian yang

dimulai dari definisi, konsep, asumsi-asumsi dan indikator yang digunakan

untuk mengukur variabel. Deskripsi diperlukan agar didapatkan pandangan

yang sistematik dari fenomena yang diterangkan variabel tersebut sehingga

dipahami dengan jelas. Deskripsi teori pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Sekolah Menengah Kejuruan

Sekolah Menengah Kejuruan merupakan lembaga pendidikan

menengah yang mengutamakan penyiapan peserta didiknya agar memiliki

kecakapan hidup (life skill) untuk memasuki lapangan kerja sesuai dengan

bidangnya. Definisi ini didasarkan pada Undang-Undang SISDIKNAS

yang menyatakan bahwa pendidikan menengah kejuruan merupakan

pendidikan yang menyiapkan peserta didiknya agar siap bekerja dalam

bidang tertentu. Sependapat dengan penjelasan tersebut Wina Sanjaya

(2008:159) mengartikan pendidikan menengah kejuruan adalah

pendidikan yang bertujuan meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,

kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan.


Kesimpulan dari definisi-definisi ahli tersebut adalah SMK

dirancang untuk mempersiapkan siswanya menjadi tenaga kerja yang

berkompeten sesuai dengan apa yang dipersyaratkan oleh pihak industri

dan juga untuk meningkatkan profesionalisme siswa dalam bekerja.

Masriam Bukit (2014:13) memberikan empat ciri-ciri pada

pendidikan kejuruan agar dapat dibedakan dengan pendidikan yang

lainnya, yaitu sebagai berikut:

“(1) Pendidikan kejuruan lebih berorientasi kepada praktik, kurang


berorientasi pada akademik, (2) Pendidikan kejuruan lebih
menggambarkan pendidikan dan pelatihan kerja, (3) Pendidikan
kejuruan lebih menggambarkan pada pendidikan luar sekolah, (4)
Pendidikan kejuruan sebagai program pendidikan untuk
perencanaan kerja.”

Keempat karakteristik dari pendidikan kejuruan tersebut

memberikan makna bahwa pendidikan kejuruan mempunyai fokus kepada

siswa dalam dunia kerja dan juga terhadap perkembangan teknologi yang

ada di dunia kerja. Putut Sudira berpendapat (2012:39) dimana “kunci

pokok keberhasilan pendidikan kejuruan terletak pada kemampuannya

dalam memahami dan menterjemahkan kebutuhan masyarakat pengguna

pendidikan kejuruan dan membaca jenis-jenis jabatan dan jumlah

lapangan kerja yang ada di masyarakat”. Selanjutnya menurut Evans

dalam Basuki Wibawa (2005:21) menyatakan bahwa “tujuan pendidikan

kejuruan yaitu: (1) memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja,

(2) meningkatkan pilihan pendidikan bagi setiap individu, (3)

menumbuhkan motivasi untuk belajar sepanjang hayat”. Makna dari

pendapat tersebut adalah siswa lulusan pendidikan kejuruan dituntut untuk


memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan bidangnya,

keterampilan sosial dan keterampilan akademik untuk jabatan dibidang

pekerjaanya agar menjadi tenaga kerja terlatih.

Dengan demikian dalam penyelenggaraan SMK selayaknya

disusun Kurikulum yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh

sekolah maupun dunia industri. Dalam proses pembentukan kompetensi

tersebut terdapat landasan dasar yang lebih dikenal dengan 16 landasan

filsafat proser yang dikutip oleh Putut Sudira (2012:42) diantaranya adalah

“Sekolah kejuruan harus mengenal kondisi kerja dan harapan pasar, proses

pemantapan akan sangat tergantung dari proporsi sebagaimana latihan

memberikan kesempatan untuk mengenal pekerjaan yang sesungguhnya,

yang dalam hal ini dapat diartikan pembekalan kompetensi sangat

berpengaruh terhadap pekerjaan yang akan dilakukan”. Sukamto (2001:

16) dalam pidatonya mengatakan bahwa pendidikan kejuruan dianggap

efektif kalau semaksimal mungkin merupakan replika dari dunia kerja,

baik ditinjau dari pokok-pokok kurikulumnya, rencana pembelajarannya,

sampai kepada evaluasinya.

Pada buku konsep dan model pengembangan kurikulum, Zainal

Arifin (2011: 3) mengatakan kurikulum merupakan alat untuk mencapai

tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan menengah khususnya SMK TKR

dapat dengan mudah terwujud apabila ditunjang dengan kurikulum yang

relevan terhadap tuntutan kompetensi yang dibutuhkan industri. Pendapat

tersebut diperkuat oleh Basuki Wibawa (2005: 45) yang mengatakan


bahwa ketidakserasian antara hasil pendidikan dengan kebutuhan tenaga

kerja antara lain disebabkan oleh kurikulum.

Berdasarkan rumusan tujuan penyelenggaraan SMK, landasan-

landasan filsafat yang telah dikemukakan, maka diperlukan pembelajaran

yang dapat merangkum pengalaman belajar selama menempuh studi

sebagai bekal dalam menjadi tenaga kerja. Terdapat berbagai macam

model pembelajaran di SMK. Dan beberapa model pembelajaranpun

sudah ada dalam KTSP. Pelaksanaan KTSP pada tingkat SMK, khususnya

SMK dengan Program Studi Keahlian Teknik Otomotif pada Kompetensi

Keahlian Teknik Kendaraan Ringan mengembangkan kompetensi peserta

didiknya melalui beberapa program pembelajaran. Program pembelajaran

tersebut terbagi menjadi: Progam Normatif, Program Adaptif, Program

Produktif (Dasar Kejuruan dan Kejuruan), Muatan Lokal, Pengembangan

Diri, Kunjungan Industri, dan Praktik Kerja Industri.

2. Work Based Learning

Banyak definisi yang dikemukakan terkait pengertian work-based

learning. Beberapa definisi menjelaskan bahwa work-based learning

sebagai semua bentuk pembelajaran melalui tempat kerja, apakah

berwujud pengalaman kerja (work experience) atau kerja dalam bimbingan

(work shadowing) dalam waktu tertentu. Definisi lain menyatakan bahwa

WBL adalah semua pembelajaran yang terjadi sebagai hasil aktivitas di

tempat kerja (Little, 2006).


Pembelajaran berbasis tempat kerja atau Work-Based Learning

(WBL) sebagai pendekatan pembelajaran memainkan peran dalam

meningkatkan pengembangan profesi dan pembelajaran. WBL digunakan

sebagai terminologi di berbagai negara untuk program-program pada

sekolah/perguruan tinggi untuk memperoleh pengalaman dari dunia kerja

(WBL Guide, 2002). Juga digunakan untuk para remaja agar siap dalam

transisi dari sekolah ke dunia kerja untuk belajar realitas dunia

kerja/pekerjaan dan menjadi siap untuk membuat pilihan yang tepat dalam

pekerjaan (Paris & Mason, 1995).

David Boud (2001) mendeskripsikan bahwa program-program

WBL secara tipikal memiliki karakteristik: (1) merupakan kemitraan

antara organisasi eksternal dengan institusi pendidikan yang ditetapkan

dengan kontrak; (2) pembelajar dilibatkan sebagai pekerja (dengan

membuat perencanaan belajar yang dinegosiasikan); (3) program

pembelajaran dirumuskan dari kebutuhan tempat kerja dan peserta, dan

tidak hanya dari kurikulum akademik yang telah disusun; (4) program

pembelajaran diadaptasi secara individu setiap pembelajar sesuai

pengalaman pendidikan/kerja/latihan mereka sebelumnya; (5) program

pembe-lajaran sebagai proyek/tugas-tugas yang terintegrasi di tempat

tugas; (6) luaran pembelajaran diukur oleh institusi pendidikan.

Menurut Work-Based Learning Guide (2002) karakteristik kunci

dalam pelaksanaan program Work-Based Learning: (1) program

dikoordinasikan oleh koordinator yang ”kualified” dan memiliki dedikasi;


(2) pembelajar mengikuti program berdasarkan sikap, kebutuhan, interes,

dan tujuan okupasi yang jelas; (3) tempat-tempat pelatihan di tempat kerja

dikembangkan oleh koordinator untuk menyediakan penga-laman on-the-

job/di tempat kerja yang langsung berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan

karir pembelajar; (4) bimbingan karir yang dilakukan mencakup

informasi-informasi tentang okupasi-okupasi tradisional dan non-

tradisional. Karakteristik selanjutnya: (5) instruksi yang relevan

direncanakan dan langsung berkait dengan pengalaman dan kebutuhan

OJT pembelajar; (6) aturan-aturan yang dikembangkan ditentukan secara

jelas dan tanggungjawab yang tepat diukur dari pedoman/panduan

program; (7) aktivitas evaluasi memungkinkan para koordinator guru

untuk memonitor program; (8) komite penasehat untuk menyeimbangkan

aspek jender/etnik/komunitas okupasi memberi sa-ran dan penugasan

dalam perencanaan, pengembangan dan implementasi; (9)

kesepakatan/perjanjian pelatihan tertulis dan rencana-rencana pembelajar

perseorangan dikembangkan secara cermat dan disetujui oleh

pengusaha/pemilik perusahaan, sponsor pelatihan, pembelajar dan

koordinator; (10) pengusaha memberi kompensasi dan penghargaan kredit

(sks) pada para pembelajar untuk penyelesaian pengalaman OJT yang

lengkap; (11) tempat-tempat pelatihan WBL melekat/mengacu pada

ketentuan hukum negara bagian ataupun federal dalam hal praktik-praktik

ketenagakerjaan.
Enam karakteristik berikutnya adalah: (12) waktu yang cukup

(minimum satu setengah jam per minggu per orang) disediakan untuk

koordinator guru untuk mengadakan koordinasi dan supervisi; (13) para

koordinator guru menyediakan kontrak yang diperluas untuk membantu

para sponsor pelatihan, mengembangkan rencana pelatihan,

memperbaharui catatan, mensupervisi pembelajar dan

menangani/mengem-bangkan program/kegiatan; (14) para

penasehat/pembimbing dan koordinator guru bekerja sama secara erat

dalam upaya pelaksanaan WBL; (15) hasil studi tindak lanjut yang

diadakan oleh koordiantor guru dan pembimbing dimanfaatkan untuk

meningkatkan program dan rencana kedepan; (16) fasilitas yang cukup

disediakan untuk para koordinator guru termasuk kantor, telepon, dan

kelas instruksional yang cukup; (17) para koordinator guru harus

mengetahui manfaat WBL dan mempromosikan pengalaman WBL ke

berbagai kalangan termasuk ke para siswa, orangtua, pengusaha, dan

komunitas mereka.

3. Pengelolaan Work Based Learning

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengelolaan dapat

diartikan sebagai proses yang memberikan pengawasan pada semua hal

yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.

Menurut Budi Tri Siswanto (2011) Pendekatan work-based

learning (WBL) pada pendidikan vokasi di tingkat pendidikan menengah

di Indonesia tidaklah asing dan telah berlangsung lama. Keterlibatan dunia


kerja khususnya dunia usaha/industri terus dikembangkan dalam

penerapan kebijakan pengembangan sistem pendidikan vokasi.

Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) dalam berbagai model sebagai implementasi dari

kebijakan Link & Match merupakan bukti adanya keterlibatan aktif pihak

dunia usaha/industri dalam penyelenggaraan pendidikan vokasi.

Dalam hal ini untuk melaksanakan pengelolaan work-based

learning (WBL) di Sekolah berarti harus melaksanakan sebuah proses

yang dapat memberikan pengawasan kepada seluruh pihak yang terkait

dengan keterlibatan dunia kerja di Sekolah.

4. Implementasi

Menurut Nurdin Usman dalam bukunya yang berjudul

KonteksImplementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan pendapatnya

mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut :

“Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan,


atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan
sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk
mencapai tujuan kegiatan”(Usman, 2002:70).
Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat

dikatakan bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu

kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh

berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh

karena itu implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek

berikutnya.
Menurut Guntur Setiawan dalam bukunya yang berjudul

Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan

pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut :

“Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling


menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk
mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi
yang efektif”(Setiawan, 2004:39).

Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat

dikatakan bahwa implementasi yaitu merupakan proses untuk

melaksanakan ide, proses atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan

orang lain dapat menerima dan melakukan penyesuaian dalam tubuh

birokrasi demi terciptanya suatu tujuan yang bisa tercapai dengan jaringan

pelaksana yang bisa dipercaya.

5. Kemitraan

Kemitraan (Partnership) adalah bentuk kerjasama sebagai

perilaku hubungan yang bersifat intim antara dua pihak atau lebih yang

saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Kemitraan tidak hanya

sebatas kumpulan aturan formal yang tertulis ataupun kontrak kerja,

melainkan jenis hubungan antar dua atau beberapa pihak dengan sifat-sifat

dasar jangka panjang, berorientasi pemecahan persoalan bersama/tujuan

bersama, dilandasi nilai-nilai luhur dan adanya saling ketergantungan.

Kemitraan menurut Webster's Dictionary, merupakan sebuah

hubungan yang dibangun oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya

yang memiliki karakteristik khusus yang dibutuhkan oleh pihak lainnya


dan biasanya melibatkan kerja sama yang erat dan tanggung jawab

bersama. Gagasan penting dalam definisi ini adalah bahwa pembagian dan

tanggung jawab bersama.

Kedua belah pihak dengan latar belakang berbeda berbagi minat

yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama untuk saling

menguntungkan, setiap langkah yang direncanakan harus selaras dengan

masing-masing gerak lainnya dan akan disinkronisasi, sehingga masing-

masing menyadari langkah-langkah lainnya Asumsi dasar mekanisme

kolaborasi antara komunitas dengan lembaga pendidikan kejuruan (SMK)

adalah hubungan kemitraan yang dibangun agar memiliki manfaat yaitu

meningkatnya partisipasi aktif masyarakat khususnya dunia industri dan

keberhasilan program pendidikan kejuruan. Kerjasama kemitraan

(colaboration partnership) menurut Rosalind Foskett (2005) dapat

dipahami secara sederhana sebagai sebuah ikatan kerja sama antara

personal atau organisasi sehingga menghasilkan manfaat bersama.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kemitraan

merupakan bentuk kerjasama yang dibangun oleh dua pihak atau lebih

dalam upaya untuk mencapai tujuan bersama melalui peningkatan

partisipasi dari pihak-pihak tersebut.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya

saing lembaga pendidikan adalah pengembangan jaringan kerjasama.

Melalui jaringan kerjasama ini akan terjadi penguatan posisi tawar para

stakeholder dalam mengembangkan pendidikan. Peningkatan jalinan kerja


sama dengan lembaga lain baik swasta atau negeri, baik berskala lokal,

regional maupun internasional merupakan suatu keharusan.

Salah satu kelemahan lembaga pendidikan secara umum pada saat

ini adalah kurangnya keberanian dalam melakukan terobosan-terobosan

dalam membentuk jaringan kerja sama. Padahal banyak manfaat yang

dapat diambil dengan adanya kerja sama tersebut. Dalam rangka

membentuk kualitas sumber daya manusia yang unggul di era global,

kerjasama antar lembaga menjadi sesuatu yang tidak dapat dinafikkan, dan

harus digarap secara intens, serius oleh lembaga itu sendiri.

Bentuk-bentuk kerjasama dengan dunia kerja yang selama ini

banyak dimanfaatkan oleh sekolah (SMK) (Pardjono, 2011) adalah

Industri sebagai tempat Praktek , magang kerja siswa, Sebagai Tempat

Belajar Manajemen Industri dan Wawasan Dunia Kerja. Lebih lanjut

Pardjono menegaskan implikasi kerjasama dunia kerja (DUDI) bagi SMK

adalah munculnya beberapa pendekatan pendidikan baru dalam

pendidikan kejuruan mempunyai implikasi pada pentingnya dibangun

kolaborasi yang lebih erat antara SMK dengan dunia kerja dan industri,

kerjasama sekolah dan industri harus dibangun berdasarkan kemauan dan

saling membutuhkan, perumusan dari prakerin (Praktek kerja Industri)

yang lebih jelas dan proporsional dan perlu langkah konkrit bagaimana

mengatur dunia usaha dan industri agar membantu SMK dalam

melaksanakan program bersama dalam upaya menyiapkan tenaga kerja

siap pakai.
B. Penelitian yang relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Musfaul Lailul Bait (2015) di SMK PIRI

Sleman dengan judul “Partisipasi Industri Dalam Pelaksanaan Praktik Kerja

Industri Program Keahlian Teknik Kendaraan Ringan SMK PIRI Sleman”.

Hasil penelitian menyatakan bahwa kompetensi produktif yang dapat

diimplementasikan dalam pelaksanaan Praktik Kerja Industri berdasarkan

pekerjaan-pekerjaan yang diberikan di industri merupakan komptensi dasar

yang umumnya sudah dipraktikkan di sekolah. Belum terlihat adanya

pengembangan-pengembangan dalam implementasinya. Kompetensi yang

terlaksana tersebut berupa dasar kompetensi kejuruan dengan rerata

kelompok sebesar 9,2 (37%) dalam implementasinya, kelompok

kompetensi bidang engine dengan rerata kelompok sebesar 9,1 (37%)

dalam implementasinya. pada kelompok kompetensi sistem pemindah

tenaga rerata kelompok sebesar 8,9 (36%) dalam implementasinya,

sedangkan kelompok kompetensi chasis dalam implementasinya diperoleh

nilai rerata kelompok sebesar 11,2 (45%) dan kelompok kompetensi bidang

kelistrikan didapatkan nilai rerata kelompok sebesar 9,2 (37%). Dengan

demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi produktif yang

terlaksana dalam pelaksanaan Praktik Kerja Industri secara keseluruhan

rata-rata sebesar 38% dari total keseluruhan butir kompetensi.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Budi Tri Siswanto (2011) dengan judul

“Pengembangan Model Penyelenggaraan Work Based Learning Pada

Pendidikan Vokasi Diploma III Otomotif”. Hasil penelitian menyatakan


bahwa Luaran (output) dari model WBL Rolling Terpadu yaitu:

pengetahuan mekanik otomotif, sikap profesional, kesiapan mental kerja,

dan kemandirian mahasiswa pada kelas model lebih tinggi secara signifikan

dibanding kelas konvensional. Hasil uji coba model WBL Rolling Terpadu

sudah memenuhi persyaratan penelitian dan pengembangan yang meliputi:

akurasi, realistik, dan segi manfaat. Data dan informasi eksperimen

dianalisis sesuai dengan teknik-teknik ilmiah seperti validitas dan

reliabilitas instrumen, persyaratan responden, pengelompokan kelas

eksperimen dan kontrol, dokumentasi, dan pemenuhan ketentuan atau

persyaratan penelitian lainnya.

C. Kerangka berfikir

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana

teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai

masalah yang penting, kerangka berfikir yang baik akan menjelaskan secara

teoritis bertautan antara variabel yang akan diteliti (Sugiyono, 2010). Dalam

kutipannya Sugiyono dijelaskan bahwa kerangka pemikiran ini merupakan

penjelasan sementara terhadap gejala–gejala yang menjadi obyek

permasalahan (Suria Sumantri, 1986)

Penyelenggaraan pendidikan kejuruan harus berpegang pada konsep

link and macth. Konsep tersebut mengandung makna bahwa harus ada

kesesuaian antara pendidikan kejuruan dengan industri. sehingga keluaran

yang dihasilkan oleh lulusan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan

industri. namun dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat


menjadikan kesesuaian tersebut menjadi sangat lemah karena adanya berhagai

keterbatasan yang dimiliki oleh pihak sekolah. Salah satunya yaitu SMK

otomotif dimana perkembangan teknologi otomotif begitu cepat. Untuk itu

dilakukan berbagai pendekatan pembelajaran dilakukan untuk melaksanakan

konsep link and macth. salah satunya adalah pendekatan pembelajaran work

based learning.

work based learning merupakan pendekatan pembelajaran yang

dilaksanakan secara langsung di dunia usaha atau dunia industri. hal ini

dilakukan untuk memberikan bekal kemampuan kepada siswa agar sesuai

dengan yang dibutuhkan oleh pihak industri. maka dari itu perlu adanya sebuah

implementasi tentang work based learning dalam pembelajaran disekolah.

Namun dari data dan hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat

indikasi bahwa implementasi work based learning di sekolah masih kurang.

Dikarenakan secara umum tidak ada suatu pengelolaan yang jelas tentang work

based learning di sekolah.

Dengan demikian diperlukan suatu penelitian yang dapat

mendeskripsikan dengan jelas tentang Implementasi work based learning di

Sekolah. Serta bentuk-bentuk work based learning sekolah. Disisi lain,

penelitian tentang Implementasi work based learning di SMK program

keahlian teknik kendaraan ringan DIY belum pernah dilakukan. Hal ini akan

memberikan suatu masukan kepada pihak sekolah tentang bagaimana

seharusnya dalam pelaksanaan work based learning sehingga dapat

menguntungkan kedua belah pihak antara sekolah dengan industri.


D. Pertanyaan penelitian

Berdasarkan kerangka berfikir yang telah disusun sebelumnya maka

dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk implementasi Work Based Learning (WBL) di

SMK Negeri Program Keahlian Teknik Kendaraan Ringan DIY?

2. Bagaimana bentuk-bentuk Work Based Learning (WBL) di SMK Negeri

Program Keahlian Teknik Kendaraan Ringan DIY?

Anda mungkin juga menyukai