Anda di halaman 1dari 7

60

BAB IV
JUSTIFIKASI ETIK

4.1 Landasan Saintifik Penelitian


Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah dan kelainan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein (Alberti dan Zimmet, 1999). Dasar dari kelainan pada metabolisme ini
karena kurangnya kerja insulin pada jaringan target. Kurangnya kerja insulin ini
disebabkan karena inadekuat sekresi insulin dan/atau kurangnya respon jaringan
terhadap insulin pada satu atau lebih jalur aksi hormon. Penurunan sekresi insulin
dan defek aksi insulin lebih sering terjadi pada pasien yang sama. Jika hal ini
hanya muncul salah satu, maka inilah yang menjadi penyebab utama
hiperglikemia (ADA, 2004).
Pada orang normal, pengaturan besarnya konsentrasi glukosa darah pada
saat puasa yang pengukurannya dilakukan sebelum sarapan pagi adalah 80 dan 90
mg/100ml darah. Konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140 satu jam
setelah makan, namun konsentrasi gula darah akan kembali normal setelah 2 jam
makan. Pada saat kelaparan fungsi glukoneogenesis dari hati menyediakan
glukosa yang dibutuhkan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa
(Guyton and Hall, 2007).
Pada individu dengan metabolisme normal, insulin dilepaskan dari sel ß
pulau Langerhans pankreas setelah makan (post-prandial) yang kemudian
mengirim sinyal ke jaringan yang sensitif insulin untuk menyerap glukosa. Sel-sel
β akan mengurangi output insulin saat kadar glukosa turun (Arum et.al., 2013).
Salah satu penatalaksanaan pada diabetes melitus tipe 2 dengan cara
membatasi jumlah glukosa yang beredar dalam darah (Anneke, 2012).
Karbohidrat yang telah dicerna dalam lambung masuk ke dalam usus dan
mengalami penyerapan. Penyerapan ini dipermudah dengan adanya enzim
pemecah ikatan glikosida yaitu enzim α-glukosidase dan α-amilase yang terdapat
pada batas pertemuan (brush border) sel usus (Katzung, 2002).
61

Aktivitas enzim α-glukosidase seperti maltase dan sukrase dalam


menghidrolisis oligosakarida menjadi glukosa, fruktosa dan monosakarida lain
pada dinding usus halus dapat dihambat oleh senyawa obat inhibitor α-
glukosidase. Penghambatan aktivitas enzim ini efektif dalam mengurangi
pencernaan karbohidrat dan proses absorbsinya dalam usus halus sehingga dapat
menurunkan kadar gula darah post prandial penderita diabetes melitus (Ichwan
et.al., 2013).
Daun Aquilaria malaccensis atau yang dikenal dengan nama gaharu
memiliki potensi sebagai antihiperglikemik. Hasil penelitian Aqmarina
menunjukkan bahwa ekstrak A. malaccensis memiliki potensi sebagai
antihiperglikemik dengan nilai IC50 di bawah 100 ppm (Aqmaria, 2015).
Sehubungan dengan hal tersebut banyak usaha yang telah dilakukan untuk
menemukan α-glukosidase inhibitor dari sumber alami untuk mengobati diabetes.
Meskipun telah ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efek
pemberian daun gaharu pada model diabetes melitus, belum ada penelitian tentang
efek pemberian fraksi aktif daun gaharu (Aquilaria malaccensis) terhadap
aktivitas α-glukosidase.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang ditemukan :
Apakah fraksi aktif daun gaharu (Aquilaria malaccensis) efektif terhadap aktivitas
α-glukosidase pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur jantan model diabetes.
Rancangan penelitian yang digunakan untuk pengelompokan dan
pemberian perlakuan terhadap hewan uji adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Penelitian akan dilaksanakan mulai februari sampai maret 2016 di Laboratorium
Ekperimental Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
Laboratorium Kimia Bahan Alam Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi
Palembang. Untuk menilai aktivitas dari α-glukosidase pada usus dapat diperiksa
salah satunya dengan metode ELISA sedangkan untuk menilai gula darah
postprandial digunakan metode glucose oxidase.
62

4.2 Penggunaan Hewan dan Perlakuan terhadap Tikus dalam Penelitian


Hewan tikus putih jantan (Rattus norvegicus) yang digunakan sebagai
populasi penelitian karena secara fisiologis lebih dekat dengan manusia, memiliki
sifat tenang meski mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan. Jumlah
populasi penelitian sebanyak 30 ekor.
Tikus jantan diambil secara homogen yaitu umur 2-3 bulan dengan berat
badan 180-220 gram. Hewan ini diperoleh dari perternakan bapak Aam di
Bandung. Tikus jantan yang digunakan adalah yang sehat serta belum pernah
digunakan pada penelitian sebelumnya. Pemberian makan dan minum dilakukan
secara teratur, dikondisikan pada lingkungan dan perlakuan yang sama di Animal
House Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tikus ditempatkan pada
kadang berukuran 40x30x18 cm yang ditutup dengan kawat kasa. Cahaya ruangan
dikontrol setiap hari. Suhu dan kelembapan ruangan diatur berkisar 23-39°C.
Pemberian makan tikus dilakukan secara adlibitum.
Semua tikus diambil secara random dan dibagi menjadi 5 kelompok.
Masing-masing kelompok terdiri dari 6 tikus dan setiap keranjang di isi dengan 2
ekor tikus. Selanjutnya masing-masing kelompok diberi perlakuan sebagai
berikut:
- Kelompok I (kontrol negatif), diberikan placebo (aquadest)
- Kelompok II, diberikan fraksi aktif daun gaharu dengan dosis 50 mg/200 gr BB
- Kelompok III, diberikan fraksi aktif daun gaharu dengan dosis 100 mg/200 gr
BB
- Kelompok IV, diberikan fraksi aktif daun gaharu dengan dosis 200 mg/200 gr
BB
- Kelompok V (kontrol positif), diberikan acarbose 0,1134 mg/ 200 gr BB

Semua kelompok diberi perlakuan selama 14 hari berturut-turut. Pada hari


ke-15, tikus dikorbankan dengan cara melakukan anestesi menggunakan ketamine
secara intramuscular hingga kehilangan kesadarannya. Lalu tikus didekapitasi
untuk membunuh hewan uji. Proses ini dilakukan di pagi hari untuk menghindari
perbedaan hasil yang diakibatkan ritme sirkadian. Setelah tikus mati, tikus
ditempatkan pada papan otopsi dengan perut menghadap ke atas, dilakukan fiksasi
pada jari-jari, lalu dibuat irisan linier mediana dan kulit dilepaskan secara halus
dari jaringan dibawahnya kemudian perut dibuka, dilakukan identifikasi pada usus
63

lalu diambil untuk dilanjutkan dengan pembuatan sediaan histokimia enzimatik


untuk pengukuran aktivitas alpha glukosidase inhibitor dengan metode ELISA.
Setelah dilakukan pembedahan, bagian tikus yang tidak digunakan dikubur di area
animal house.
Semua penelitian yang akan dilaksanakan di lingkungan FK Unsri harus
dimintakan secara tertulis ethical clearance-nya, terlepas apakah dinyatakan layak
etik pada Seminar Proposal. Penelitian ini dilakuan izin layak etik yang diberikan
dari UBH Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

4.3 Analisis Kelayakan Etik


Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas fraksi
aktif daun gaharu (Aquilaria malaccensis) terhadap penghambatan aktivitas α-
glukosidase pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan model diabetes.
Manfaat praktis dari penelitian ini untuk memberikan dasar ilmiah dari
penggunaan daun gaharu (Aquilaria malaccensis) sebagai obat hipoglikemiadan
memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat tanaman yang dapat
dipakai sebagai pengobatan alternatif pada diabetes melitus.
Sebagian penelitian biomedik dapat diselesaikan di laboratorium dengan
cara kerja invitro atau dengan menggunakan bahan hidup, seperti galur sel dan
biakan jaringan. Pada tahap berikutnya seringkali diperlukan penelitian dengan
menggunakan makhluk hidup utuh agar keseluruhan interaksi yang terjadi dalam
tubuhnya dapat diamati dan dikaji. Keamanan dan khasiat obat misalnya, perlu
diteliti dengan menggunakan hewan percobaan sebelum penelitian layak
dilanjutkan dengan mengikutsertakan relawan manusia. Obat baru tidak boleh
digunakan untuk pertama kali langsung pada manusia, sekalipun tanpa uji coba
pada hewan percobaan telah dapat diduga dengan wajar keamanannya. Hewan
percobaan akan mengalami berbagai keadaan luar biasa yang menyebabkan
penderitaan, seperti rasa nyeri, ketidaknyamanan, ketidaksenangan dan pada
akhirnya kematian. Sebagai bangsa yang beradab hewan percobaan yang
menderita untuk kebaikan manusia, wajib dihormati hak azasinya dan
diperlakukan secara manusiawi.
64

Secara konseptual dirumuskan dalam bentuk azas dasar (basic principles)


etik penelitian biomedik, yaitu:
1. Azas menghormati otonomi (principle of respect of the autonomy)
Subjek penelitian mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan
apa yang akan dilakukan terhadapnya, termasuk menolak ikut dalam
penelitian. Oleh karena itu dilakukan informed consent. Karena penelitian ini
menggunakan hewan yaitu tikus putih maka peneliti tidak perlu melakukan
informed consent kepada subjek yang akan dilakukan uji tetapi peneliti tetap
akan melakukan sesuai dengan uji kelayakan etika penelitian pada subjek.
2. Azas manfaat (principle of beneficence)
Penelitian ini bermanfaat sebagai dasar untuk dilakukan uji klinis manusia
dan merupakan dasar untuk memperoleh data klinis yang aman
penggunaannya pada manusia. Sehingga memperkaya data ilmiah tentang
penggunaan obat alami yang keamananya dapat dipertanggungjawabkan serta
dapat dijadikan bahan dasar penelitian lebih lanjut.
3. Azas kejujuran (principle of veracity)
Penelitian ini disampaikan dengan sejujurnya, tanpa adanya manipulasi data
serta hasil yang akan diperoleh nanti akan dijabarkan sesuai hasil penelitian
yang diperoleh.
4. Azas tidak merugikan (principle of non maleficence)
Penelitian ini menggunakan hewan percobaan yaitu tikus putih jantan (Rattus
novergicus) sehingga penelitian ini tidak merugikan secara fisik, secara
psikologik, secara sosial dan secara ekonomis.
5. Azas kerahasiaan (principle of confidentiality)
Penelitian menjamin kerahasiaan subyek penelitian, termasuk hasil
pemeriksaanya. Seluruh data yang diperoleh hanya akan dipergunakan
sebagai bahan penelitian yang hasilnya dapat dijadikan sebagai sumber
informasi yang bermanfaat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
manusia.

6. Azas keadilan (principle of justice)


65

Peneliti bersifat adil, tidak mementingkan sekelompok dan memihak dalam


melibatkan subjek dalam penelitian

Penelitian kesehatan dengan menggunakan hewan percobaan secara etis


hanya dapat dipertanggungjawabkan, jika:
1. Tujuan penelitian dinilai cukup bermanfaat.
2. Desain penelitian dapat menjamin bahwa penelitian akan mencapai tujuannya.
3. Tujuan penelitian tidak dapat dicapai dengan menggunakan subjek atau
prosedur alternatif.
4. Manfaat yang akan diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan
penderitaan yang dialami hewan percobaan.

4.4 Prosedur Informed Consent


Penelitian ini bersifat eksperimental dengan subjek adalah hewan yaitu
tikus putih maka peneliti tidak perlu melakukan informed consent kepada subjek
yang akan dilakukan uji tetapi peneliti tetap akan melakukan sesuai dengan uji
kelayakan etika penelitian pada subjek.
Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus
diterapkan prinsip 3 R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction
dan refinement. Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan.
Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit
mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Refinement adalah
memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi (humane), mengurangi
ketidaknyamanan yang diderita oleh hewan percobaan sebelum, selama, dan
setelah penelitian.

4.7 Simpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
mempunyai landasan ilmiah yang kuat, bermanfaat untuk dilaksanakan dengan
cara baik, tidak membahayakan serta menempatkan subjek penelitian pada tempat
yang terhormat. Peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini layak etik untuk
dilaksanakan.
66

Anda mungkin juga menyukai