Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Pioderma adalah infeksi kulit disertai pembentukan pus yang biasanya

disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemoliticus.

Pioderma menempati urutan empat besar jumlah kunjungan rawat jalan di

Indonesia. Data dari 8 rumah sakit di 6 kota besar di Indonesia pada tahun 2001

didapatkan 1237 (13,86%) pasien pioderma dari 8919 kunjungan baru pasien kulit

dan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia 1-4 tahun. Di Poliklinik

Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar didapatkan angka kejadian pioderma

pada tahun2006, 2007, 2008 berturut-turut adalah 6,5% (287 kasus),6,23% (267

kasus), 4,5% (175 kasus) dari seluruh kunjungan pasien baru dan urutan tertinggi

pada kelompok usia di bawah lima tahun.

Staphylococcus aureus merupakan sumber utama infeksi pada manusia

dan penyebab pioderma tersering diseluruh dunia dengan gambaran klinis

bervariasi.5 Selaininfeksi pada kulit, Staphylococcus aureus juga sering

menyebabkan infeksi lain pada manusia, misalnya osteomielitis, artritis septik,

endokarditis infektif, dan pneumonia komplikata.

Sebelum ditemukan antibiotik, infeksi invasif Staphy-lococcus aureus

sering berakibat fatal. Perubahan besar terjadi pada prognosis pasien dengan

ditemukannya penisilin pada tahun 1950. Beberapa tahun kemudian ditemukan

galur bakteri yang resisten terhadap penisilin karena kemampuannya membentuk

B-lactamase. Pada awal tahun 1960 diperkenalkan metisilin sebagai obat yang

efektif untuk infeksi Staphylococcus aureus yang resisten terhadap penisilin.

1
Tetapi penemuan metisilin tersebut diikuti oleh munculnya galur yang resisten

terhadap metisilin(methicillin-resistant Staphylococcus aureus). Galur ini pertama

kali dilaporkan pada tahun 1961 di Inggris dan penyebarannya meningkat pesat ke

seluruh dunia, bahkan menjadi endemis di beberapa daerah pada awal tahun 1990.

Sampai saat ini pengobatan pioderma seringkali hanya berdasarkan gejala klinis

saja. Pemeriksaan kultur kuman dan uji sensitivitas obat tidak secara rutin

dilakukan. Untuk menghindari terjadinya resistensi dalam pengobatan pioderma,

perlu ditingkatkan pengetahuan mengenai pioderma dan penatalaksanaannya.1,2

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. J

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Luka pada tungkai

Anamnesis Terpimpin :

Pasien laki-laki datang dengan keluahan luka disertai bengkak pada kedua

tungkai. Pasien mengatakan lesinya muncul setelah banjir beberapa hari yang lalu.

Awalnya lesi terjadi di tungkai sebelah kanan lalu muncul di sebelah kiri. Lesi

awalnya berukuran kecil berisi cairan jernih dan keruh/bernanah. Lesi sangat gatal

dan tidak nyeri. Pasien sering menggaruknya sehingga membuat lesi pecah. Tidak

ada riwayat penggunaan obat. Tidak ada riwayat alergi makanan, maupun obat.

Tidak ada riwayat penyakit yang sama dikeluarga.

C. STATUS PRESENS

Keadaan Umum : Sakit (Ringan)

Kesadaran (Composmentis)

3
Gizi (Baik)

Hygiene (Sedang)

Kepala : Sclera = Ikterus (-),

Konjungtiva = Anemia (-),

Bibir = Sianosis (-)

Status Lokalis : Extremitas Inferior

D. STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi : Daerah tungkai kiri dan kanan bawah, pergelangan tungkai kiri,

dan punggung tungkai kiri.

Distribusi : Bilateral

Ukuran : Lentikular – nummular

Efloresensi : Krusta, eritema, skuama.

4
E. RESUME

Pasien laki-laki datang ke balai kulit dengan keluahan kaki bengkak

dan luka pada tungkai kirinya. Pasien mengatakan lesinya muncul setelah

banjir beberapa hari yang lalu. Awalnya lesi terjadi di tungkai sebelah kanan

lalu muncul di sebelah kiri. Lesi awalnya berukuran kecil berisi cairan jernih

dan keruh/bernanah. Lesi sangat gatal dan tidak nyeri. Pasien sering

menggaruknya sehingga membuat lesi pecah. Tidak ada riwayat penggunaan

obat. Tidak ada riwayat alergi makanan, maupun obat. Tidak ada riwayat

penyakit yang sama dikeluarga.

Keadaan umum penderita baik. Higiene sedang. Lokasi lesi daerah

tungkai kiri dan kanan bawah, pergelangan tungkai kiri, dan punggung tungkai

kiri, dengan effloresensi krusta, eritema, skuama dan hiperpigmentasi.

F. DIAGNOSIS

DD/ Ektima

Furunkulosis

G. TERAPI

R/ Asam Fusidat 2 % No. I

∫ u.e

R/ Cefadroxil monohydrate cap (Vroxil®) No.XX

∫ 2 dd 1

5
BAB III

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Ektima adalah pioderma ulseratif kulit yang umumnya disebabkan oleh

Streptococcus β-hemolyticus. Penyebab lainnya bisa Staphylococcus aureus

atau kombinasi dari keduanya. Menyerang epidermis dan dermis membentuk

ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat pada

tungkai bawah. Gambaran ektima mirip dengan impetigo, namun kerusakan

dan daya invasifnya pada kulit lebih dalam daripada impetigo. Lesi pada

ektima awalnya mirip dengan impetigo, berupa vesikel atau pustul. Kemudian

langsung ditutupi dengan krusta yang lebih keras dan tebal daripada krusta

pada impetigo, dan ketika dikerok nampak lesi berupa ulkus yang dalam dan

biasanya berisi pus.3

B. ETIOLOGI

Streptococcus merupakan organisme yang biasanya menyebabkan

infeksi pada ektima. Penyebab lainnya bisa Staphylococcus aureus atau

kombinasi dari keduanya . 3,4

C. EPIDEMIOLOGI

Secara epidemiologi ektima sering ditemukan pada orang-orang

dengan higiene kurang seperti pengemis, para prajurit perang, dan pada

daerah dengan kelembapan tinggi. Lesi umumnya ditemukan pada daerah

ekstremitas bawah, tetapi bisa juga didapatkan pada ekstremitas atas.

6
Ektima terdapat baik pada anak maupun dewasa, tempat predileksi di

tungkai bawah, dan dasarnya ialah ulkus.5,6

D. PATOFISIOLOGI

Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp. Juga

terkenal sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup A, B, C,

D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada

manusia. Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini

resisten terhadap fagositosis Staphylococcus aureus dan Staphylococcus

pyogenes menghasilkan beberapa toksin yang dapat menyebabkan

kerusakan lokal atau gejala sistemik. 4

Impetigo yang disebabkan oleh streptococcus dan staphylococcus

yang tidak diterapi bisa menyerang ke lapisan kulit lebih dalam. Melalui

penetrasi ke lapisan epidermis, sehingga menyebabkan ulkus yang dangkal

dengan krusta diatasnya. Lesi ektima bisa mengikuti lesi awal pioderma,

bisa juga tanpa didahului lesi dermatosis. 5

Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan

atopik memainkan peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi

Staphylococcus. Adanya trauma ataupun inflamasi dari jaringan (luka

bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor

yang berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh

bakteri ini. 4

7
E. GEJALA KLINIS

Tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, biasanya berlokasi

di tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika

krusta diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus yang dangkal. 7

Tempat predileksi ektima pada ekstremitas bawah, sering

menyerang anak-anak, orang-orang tua yang kurang memperhatikan

kebersihan, serta bisa juga pada pasien-pasien diabetes. Lesi ektima yang

tidak diterapi akan meluas dalam minggu maupun bulan. Diameternya

sekitar dua sampai tiga sentimeter. 5

Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit

yang eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 – 3 cm) dan

beberapa hari kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar

dilepas dari dasarnya. Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul.

Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus superficial dengan gambaran

“punched out appearance” atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan

tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi sembuh setelah beberapa minggu

dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi dapat ditemukan pada daerah

ekstremitas bawah. 4

F. FAKTOR RESIKO

1. Usia muda terutama anak-anak

2. Higiene yang kurang

3. Sistem imun yang rendah

4. Trauma 8

8
G. DIAGNOSIS

Diagnosis ektima dibuat berdasarkan dari anamnesis, gejala klinik

yang ditemukan pada pasien, serta ditunjang dengan pemeriksaan

laboratorium yaitu pengecatan gram yang diambil dari dasar ulkus untuk

memastikan kuman yang menginfeksi.

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Impetigo Krustosa

Gambaran klinis impetigo krustosa ditunjukan dengan terdapat

makula atau papula menyendiri berwarna merah yang secara cepat

berubah menjadi vesikel. Vesikel ini mudah pecah sehingga

membentuk sebuah erosi, dan ketika isi dari vesikel ini mengering

terbentuk sebuah krusta dengan warna kekuningan seperti madu.

Tanda klinis ini biasa terdapat di daerah wajah (terutama disekitar

hidung dan mulut), leher, punggung, dan ekstremitas. 9

Gambar 1. Impetigo Krustosa pada wajah. Krusta Khas. 3

9
2. Antraks

Antraks pada manusia dibedakan menjadi tipe kulit, tipe

pencernaan, tipe pulmonal dan tipe meningitis . Pada tipe kulit, B.

anthracis masuk melalui kulit yang lecet, abrasi, luka atau melalui

gigitan serangga dengan masa inkubasi 2 sampai 7 hari . Gejala klinis

yang terlihat adalah demam tinggi, sakit kepala, ulcus dengan jaringan

nekrotik warna hitam di tengah dan dikelilingi oleh vesikel-vesikel dan

oedema. 10,11

Gambar 2. Antraks pada wajah 11

10
3. Ecthyma Gangrenosum

Muncul sebagai lesi yang khas berupa papulovesikel yang dengan

cepat berkembang sebagai ulkus nekrotik dengan eritema di sekitarnya

disertai eskhar hitam di tengahnya. 12,13

Gambar 3. Ektima gangrenosum pada wajah. P.aeuroginosa sebagai

etiologi dari lesi

4. Furunkulosis

Ialah radang folikel rambut dengan keluhan nyeri, dengan kelainan

berupa nodus eritematosa berbentuk kerucut, ditengah terdapat pustule.

Kemudian melunak menjadi abses yang berisi pus dan jaringan

nekrotik, lalu memecah membentuk fistel. Tempat predileksi ialah

tempat yang banyak friksi, misalnya aksila dan bokong. 7

11
Gambar 4. Furunkel. Jaringan nekrosis hitam menempel erat di atas

ulkus.3

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pewarnaan Gram dan kultur untuk memperlihatkan kokkus

gram positif yang dapat menggambarkan Streptococcus Grup A ,

dengan atau tanpa Staphylococcus aureus. Infeksi streptokokus

kelompok A sebelumnya dapat dideteksi dengan anti-beta DNase.

b. Histologi

Lesi ektima menunjukkan nekrosis dan radang pada dermal.

Granulomatous yang dalam dan superficial disertai infiltrasi

perivaskular terjadi bersamaan dengan edema endotel. Kerak tebal

menutupi permukaan ulkus pada ektima. 14

12
J. PENGOBATAN

a. Sistemik

Pengobatan Lini Pertama (8 BOLOGNIA)

- Diklosasilin : Dewasa 250-500 mg 4 kali sehari. Anak 12,5-50

mg/kgBB/dosis 4 kali/hari.

- Cefadroxil : Dewasa 1-2 gr/hari. Anak 30 mg/kgBB/dosis, 2

kali/hari.

b. Topikal

- Mupirocin

- Retapamulin

- Bacitracin, masing-masing 2 kali sehari

- Sulconazol atau miconazol memberikan hasil yang memuaskan. 5,15

K. PROGNOSIS

Ektima sembuh secara perlahan, tetapi biasanya meninggalkan

jaringan parut (skar). 5

L. KOMPLIKASI

Komplikasi dari infeksi streptococcus yang invasiv pada kulit

dapat berupa selulitis, erysipelas, gangrene, limfangitis, limfadenitis

supuratif, bursitis, pneumonia lobaris dan bakterimia. 14

13
DISKUSI

Pada anamnesis di dapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan luka dan

bengkak pada kedua tungkai yang dialami sejak banjir beberapa hari yang lalu.

Luka yang dirasakan tidak nyeri dan awalnya hanya berupa lesi kecil yang berisi

air yang sangat gatal kemudian di garuk sehingga menghasilkan krusta dan

berkerak.

Dari status dermatologi didapatkan ulkus pada tungkai kanan dan kiri yang

ditutupi oleh krusta tebal yang berwarna coklat kehitaman, eritema area sekitar

dan skuama pada pinggir lesi. Dengan ukuran yang bervariasi dari lentikular

sampai nummular dengan batas yang jelas. Dari kasus diatas dapat disimpulkan

bahwa sesuai dengan tinjuan pustaka gambaran klinis dari penyakit ektima yaitu

adanya ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berwarna coklat kehitaman.

Dalam mendiagnosis ektima kita dibingungkan dengan impetigo krustosa,

yang memberikan gambaran yang dominan ialah krusta yang khas, berwarna

kuning kecoklatan seperti madu yang berlapis-lapis. Dengan dasar erosi

sedangkan ektima dasarnya adalah ulkus.

Diagnosis banding yang kedua adalah antraks. Dimana pada lesi antraks

yang berupa ulkus dengan jaringan nekrotik warna hitam di tengah dan dikelilingi

oleh vesikel-vesikel dan oedema. Namun, pada pasien tidak di dapatkan adanya

gejala konstitusi seperti pada pasien antraks, dan tidak ada riwayat kontak dengan

binatang sebelumnya.

Selain itu dapat diagnosis banding juga dengan ektima gangrenosum yang

penyebabnya adalah P.aeuroginosa yang muncul sebagai lesi yang khas berupa

14
papulovesikel yang dengan cepat berkembang sebagai ulkus nekrotik dengan

eritema di sekitarnya disertai eskhar hitam di tengahnya. Hanya saja pada ektima

gangrenosum ini juga didapatkan adanya gejala konstitusi. Dan pada ektima ulkus

nya tidak terlalu hitam seperti ektima gangrenosum.

Diagnosis banding yang menyerupai kasus di atas selanjutnya adalah

furunkulosis dengan kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk kerucut,

ditengah terdapat pustule. Kemudian melunak menjadi abses yang berisi pus dan

jaringan nekrotik, lalu memecah membentuk fistel.

Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah topikal dan

sistemik, obat topikal yang diberikan adalah Fusidic Acid 2%. Selain diberikan

obat topikal pasien juga diberikan obat sistemik berupa Cefadroxyl , meskipun lini

pertama dari penyakit ini adalah Dikloksasilin namun obat tersebut tidak tersedia

di Indonesia.

Selain terapi obat, KIE juga sangat penting untuk kesembuhan pasien

karena penyakit ini dapat diperparah oleh beberapa faktor, seperti menggaruk lesi

hingga pecah dan luka, menurunnya kondisi tubuh penderita, serta tidak

melakukan pengobatan sesuai anjuran dokter. KIE yang diberikan kepada pasien

ini yaitu menjaga kebersihan agar tidak mudah terinfeksi oleh bakteri.

15
BAB V

KESIMPULAN

Ektima adalah penyakit pioderma ulseratif kulit yang umumnya

disebabkan oleh Streptococus Beta Hemolyticus. Menyerang epidermis dan

dermis membentuk ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya

terdapat pada tungkai bawah. Gejala klinis ektima diawali dengan adanya vesikel

atau pustule di atas kulit sekitar mengalami inflamasi, membesar yang kemudian

berlanjut pada pecahnya pustule mengakibatkan kulit mengalami ulserasi dengan

ditutupi oleh krusta. Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus superficial

Penatalaksanaan dari penyakit ektima ini bertujuan untuk mengatasi

infeksi dan eradikasi kuman penyebab. Pengobatan yang utana adalah dengan

pemberian antibiotika secara topikal maupun sistemik

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiani LD, Adiguna MD. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. 2014.85-90

2. Fahriah, Pandaleke H.E.J, Kapantow GM. Profil Pioderma pada Orang

Dewasa di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP PROF.DR.R.D.KANDOU

MANADO tahun 2012. 2015.526-30

3. Siregar R.S,ed. Pioderma, Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.

Jakarta: EGC; 2002. p. 46-62.

4. Craft, Noah, et al. Superficial Cutaneous Infections and Pyoderma. In:

Wolff Klause, Goldsmith Lowell, Katz Stephen, eds. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill

Companies; 2008. P. 1694-1701.

5. James William, Berger Timothy, Elston Dirk, eds. Andrews’ Disease of

The Skin Clinical Dermatology 11th ed. USA: Saunders Elsevier;

2006.254

6. Hunter John, eds. Bacterial Infections. In: Clinical Dermatology 5th Ed.

USA: Blackwell Science; 2015. p. 215

7. Djuanda Adhi, Pioderma, Dalam : Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W

(editors). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 7. Jakarta. Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015.74

8. Bolognia J.L., Jorizzo J.L., dkk. Dermatology. 3rd rev. Ed. USA; Saunders

Elsevier; 2012.1189-91, 2110-2

17
9. Oktadiputra E, Darmada IGK, Rusyati LMM. Laporan Kasus : Impetigo

Krustosa.

10. Adji RS, Natalia L. Pengendalian Penyakit Antraks: Diagnosis, Vaksinasi

dan Investigasi. 2006.198-205

11. Cunha BA. Medscape : Anthrax Clinical Presentation. 2016

12. Ramalingam, V. Ramesh S. Ramanathan. Ecthyma Gangrenosum: A Rare

Cutaneous Manifestation Caused by Pseudomonas Aeruginosa in a

Previously Healthy Newborn. 2014. 1-4

13. Vaiman M, Lasarovitch, Heller L, Lotan G. Ecthyma gangrenosum versus

ecthyma-like lesions: should we separate these conditions?. 2015;24:69-72

14. Davis Loretta. Medscape : Ecthyma. 2016

15. Hay R.J, Adriaans BM. Bacterial Infection in : Burns T, Breathnach S,

Cox N, Griffiths S, eds. Rook’s Textbook of Dermatology 8th ed. 2010.

30.17

18

Anda mungkin juga menyukai