Anda di halaman 1dari 75

KARAKTERISTIK ANTOSIANIN DAN PROFIL SENSORI

UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L) YANG DIBUDIDAYAKAN


PADA TIGA DAERAH BERBEDA

AI MAHMUDATUSSA’ADAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakteristik


Antosianin dan Profil Sensori Ubi Jalar Ungu yang dibudidayakan pada Tiga
Daerah Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tiap bab disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Ai Mahmudatussa’adah
NIM F261090021
RINGKASAN

AI MAHMUDATUSSA’ADAH. Karakteristik Antosianin dan Profil Sensori Ubi


Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) yang Dibudidayakan pada Tiga Daerah Berbeda.
Dibimbing oleh DEDI FARDIAZ, NURI ANDARWULAN dan FERI
KUSNANDAR.

Antosianin merupakan salah satu kelompok zat warna alami yang terdapat
pada tanaman, seperti daun, bunga, umbi, buah atau sayur. Antosianin muncul
dalam warna bervariasi merah, ungu, biru, dan kuning tergantung nilai pH-nya.
Warna dan konsentrasi antosianin di dalam tumbuhan dapat berubah karena
pengaruh panas, pH, oksigen, enzim, asam askorbat, gula, garam sulfit, ion besi,
dan kopigmen. Ubi jalar ungu merupakan salah satu sumber antosianin yang
mengandung lebih dari 98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin umbi.
Antosianin terasilasi bersifat relatif stabil terhadap perubahan pH, suhu dan
cahaya. Ubi jalar ungu banyak dikonsumsi dalam bentuk goreng, rebus, atau
panggang, kadang-kadang ubi jalar ungu diolah menjadi selai atau mie. Ubi jalar
biasanya disimpan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Penyimpanan dapat
menimbulkan profil sensori yang diinginkan ataupun profil sensori yang tidak
diinginkan. Tempat budidaya ubi jalar ungu di Jawa Barat diantaranya Cilembu-
Sumedang, Banjaran-Bandung, dan Pakembangan-Kuningan. Cilembu merupakan
salah satu daerah yang mendapatkan indikasi geografis atau mendapatkan
perlindungan wilayah penghasil perkebunan spesifik yaitu ubi jalar Cilembu.
Salah satu potensi pemanfaatan ubi jalar ungu adalah diolah menjadi flakes
dengan warna khas dari antosianin. Flakes merupakan sediaan kering atau
serpihan yang dibuat melalui tahapan pembuatan pasta ubi jalar kukus atau rebus
kemudian dikeringkan dengan pengering drum. Flakes dapat digunakan sebagai
bahan baku industri pangan.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik antosianin dan
profil sensori ubi jalar ungu yang dibudidayakan pada tiga lokasi berikut :
Cilembu, Sumedang; Banjaran, Bandung; dan Pakembangan, Kuningan. Pengaruh
lokasi budidaya terhadap jumlah antosianin monomerik; warna dan spektra
ekstrak antosianin pada pH 1-14; aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak
antosinin pada pH 1, 4.5 dan 7, dan profil sensori ubi jalar ungu panggang telah
dipelajari. Penelitian ini mengkaji juga mengenai kecenderungan model
penurunan konsentrasi antosianin ubi jalar ungu segar dan flakes rehidrasi yang
disebabkan oleh panas selama pemanggangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah total antosianin monomerik di
dalam ekstrak anto sianin yang dibudidayakan di Cilembu adalah 3.78 ± 0.08 mg
CyE (setara sianidin-3-glukosida/g berat kering, bk); lebih tinggi dibandingkan
dari Banjaran (3.18 ± 0.01mg CyE/g bk) dan Pakembangan (2.25 ± 0.01 mgCyE/g
bk). Perbedaan jumlah antosianin dari ubi jalar ungu yang dibudidayakan pada
tiga lokasi berbeda secara nyata (p<0.05). Warna ekstrak antosianin berubah dari
merah, ungu, biru, hijau ke kuning seiring dengan meningkatnya pH dari 1 sampai
14. Stabilitas, aktivitas penangkapan radikal bebas dan kekuatan mereduksi
ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1 lebih tinggi dibandingkan pada pH 4.5
dan pH 7. Ekstrak antosianin ubi jalar ungu lebih stabil disimpan pada suhu
rendah. Pola warna, spektra, aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak antosianin
dipengaruhi oleh pH, tidak dipengaruhi oleh tempat budidaya.
Analisis kuantitatif deskriptif dari ubi jalar ungu panggang menghasilkan
lima belas deskriptor termasuk warna ungu, rasa manis, rasa tepung, rasa karamel,
rasa getir, rasa pahit, cita rasa khas ubi jalar, lanas, cita rasa karamel, cita rasa
panggang, tekstur pulen, berpasir, berserat, basah dan lembut. Lokasi budidaya
seperti halnya waktu penyimpanan ubi jalar segar selama tujuh dan 30 hari
sebelum dipanggang mempengaruhi profil sensori ubi jalar ungu panggang. Ubi
jalar ungu panggang dari Cilembu, Sumedang memperlihatkan atribut sensori
berkaitan dengan warna ungu, manis, cita rasa ubi jalar ungu, dan tekstur pulen.
Karakteristik atribut sensori dari ubi jalar ungu panggang dari Banjaran, Bandung
adalah warna ungu, manis, cita rasa ubi jalar ungu, basah dan lembut.
Karakteristik atribut sensori dari ubi jalar ungu panggang dari Pakembangan,
Kuningan adalah warna ungu, citarasa tepung, dan berpasir.
Untuk pengujian model kecenderungan penurunan konsentrasi antosianin
karena pengaruh pengolahan panas digunakan ubi jalar ungu Ayamurasaki yang
dibudidayakan di Cilembu dan sudah disimpan 7 hari setelah panen. Warna ubi
jalar ungu segar adalah ungu dengan notasi warna : L*=23.38±0.71, C=9.84±0.98,
dan Hue=12.25±1.61. Konsentrasi antosianin monomerik ubi jalar segar adalah
1.45±0.00 mg setara sianidin (CyE)/g basis kering (bk). Secara umum, warna dan
konsentrasi antosianin ubi jalar ungu berubah selama proses pembuatan flakes.
Ubi jalar ungu yang dikukus selama 7 menit berubah menjadi ungu cerah
(L*=25.88±0.47, C=24.64±0.25, Hue=348.83±0.33). Konsentrasi antosianin
monomerik ubi jalar ungu kukus 3.76±0.01 mgCyE/g bk, lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi antosianin monomerik ubi jalar ungu segar. Flakes ubi
jalar ungu berwarna ungu sangat cerah (L*=36.12±0.11, C=9.97±0.18,
Hue=359.29±0.31) dan jumlah antosianin monomerik sedikit lebih rendah
dibandingkan setelah dikusus (3.19±0.12 mg CyE/g bk). Jumlah antosianin
monomerik ubi jalar ungu segar dan flakes rehidrasi menurun seiring waktu
pemanasan.

Kata kunci: aktivitas antioksidan, antosianin, profil sensori, ubi jalar ungu
SUMMARY

AI MAHMUDATUSSA’ADAH. Characterization of Anthocyanin and Sensory


Profile of Purple Sweet Potato (Ipomoea batatas L) Cultivated from Three
Different Locations. Supervised by DEDI FARDIAZ, NURI ANDARWULAN
and FERI KUSNANDAR.

Anthocyanins are groups of natural pigments found in plants, such as leaves,


flowers, roots, fruits or vegetables. Anthocyanins appear in varying colors of red,
purple, blue, and yellow depending on their medium pH. The color and
anthocyanin content in plant may change as affected by heat, pH, oxygen,
enzymes, ascorbic acid, sugar, sulfite salts, iron ions, and copigment. Purple sweet
potato is one sources of anthocyanins that contain more than 98% of acylated
anthocyanin in total tuber anthocyanins. Acylated anthocyanins are relatively
stable to pH, temperature and light changes. Purple sweet potato is widely
consumed in the form of fried, boiled or baked food, some time it used for making
jam or noodle. One other potential use of purple sweet potato is for making dry
flakes which retain the typical anthocyanin color. Flakes may be prepared by
mashing boiled or steamed tuber followed by drying in a drum dryer.
This research was conducted to observe the characteristics of anthocyanin
and sensory profile of purple sweet potato cultivated in the following locations:
Cilembu, Sumedang; Banjaran, Bandung; and Pakembangan, Kuningan. The
effects of cultivated locations on total monomeric anthocyanin; the color and
spectra of anthocyanin extracts at pH 1-14; and antioxidant activity and stability
of anthocyanin extracts at pH 1, 4.5 and 7 were studied. Other observations were
also conducted on kinetic reaction model of anthocyanin in rehydration flakes and
fresh tuber as affected by heat during baking; and sensory profile of baked tuber.
The results showed that total number of monomeric anthocyanins in the
anthocyanin extract cultivated in Cilembu was 3.78 ± 0.08 mg (equivalent
sianidin-3-glucoside / g dry weight, db) which was higher than that of Banjaran
(3.18 ± 0.01mg CyE / g db) and that of Pakembangan (2.25 ± 0.01 mg CyE / g
db). The different in anthocyanins content of purple sweet potato cultivated from
three different locations seemed to be significant (P<0.05). The color of
anthocyanin extract changes from red, purple, blue, green to yellow with
increasing pH from 1 to 14. Free radical scavenging activity and reducing power
of purple sweet potato anthocyanin extracts at pH 1 was higher than that at pH 4.5
and pH 7. Purple sweet potato anthocyanin extract is more stable at low
temperature.
Quantitative descriptive analysis (QDA) of baked purple sweet potato
generated fifteen sensory descriptors which include purple, sweet, floury, caramel
taste, after taste, bitter, sweet potato flavor, off flavor, caramel flavor, baked
flavor, sticky, grainy, fibrous, moist, and soft. Cultivations locations as well as
storage time of seven and 30 days before baking influenced the sensory profile of
baked purple sweet potato. Baked purple sweet potato from Cilembu, Sumedang
was indicated by the following specific sensory attributes purple color, sweet,
sweet potato flavor and sticky. Prominent sensory attributes of baked purple sweet
potato from Banjaran - Bandung are associated with purple color, sweet, sweet
potato flavor, moist and soft. Prominent sensory attributes of baked purple sweet
potato from Pakembangan - Kuningan are associated with purple color, floury,
and grainy.
The color of fresh sweet potato was purple as shown in the following color
notation: L * = 23.38 ± 0.71, C = 9.84 ± 0.98, Hue = 12.25 ± 1.61. Total
monomeric anthocyanin in fresh purple sweet potato was 1.45 ± 0.00 mg cyanidin
equivalent (CyE)/g dry basis (db). In general, the color and anthocyanin content in
purple sweet potato changed during flaking. While, steaming of the tuber for 7
minutes changed its color into a bright purple (L * = 25.88 ± 0.47, C = 24.64 ±
0.25, Hue = 348.83 ± 0.33). The total monomeric anthocyanin content is 3.76 ±
0.02 CyE mg/g db after steaming. The flakes showed bright purple color (L * =
36.12 ± 0.11, C = 9.97 ± 0.18, Hue = 359.29 ± 0.31) and the total monomeric
anthocyanin content was slightly lower than that of steamed sweet potato (3.19 ±
0.12 mg CyE / g db). Total monomeric anthocyanin in fresh and rehydrated flakes
decrease during baking time.

Keywords: antioxidant activity, anthocyanin, sensory profile, purple sweet potato.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK ANTOSIANIN DAN PROFIL SENSORI
UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L) YANG DIBUDIDAYAKAN
PADA TIGA DAERAH BERBEDA

AI MAHMUDATUSSA’ADAH

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Dede R Adawiyah, MSi
Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Dr Elvira Syamsir, STP MSi Dr Ir Drajat Martianto,
MS Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi DIA
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Bram Kusbiantoro MS


Peneliti Pasca Panen Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi, Kementerian Pertanian
Dr Ir Didah Nur Faridah MS Prof Dr Ir Marimin,
MS Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

Dr Ir Naresworo Nugroho, MS
Judul Disertasi: Karakteristik Antosianin dan Profil Sensori Ubi Jalar Ungu
(Ipomoea batatas L) yang Dibudidayakan pada Tiga Daerah
Berbeda
Nama : Ai Mahmudatussa’adah
NIM : F261090021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dedi Fardiaz, MSc


Ketua

Prof Dr Ir Nuri Andarwulan, MSi Dr Feri Kusnandar MSc


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 27 Agustus 2014 Tanggal Lulus: 28 Agustus 2014


PRAKATA
Puji dan syukur kepada Alloh Subhanahu Wata’ala Yang Maha Esa
karena atas rahmat-Nya sehingga disertasi dengan judul ‖Karakteristik Antosianin
dan Profil Sensori Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) yang Dibudidayakan pada
Tiga Lokasi Berbeda‖ dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan
salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sebagian hasil penelitian dalam disertasi ini telah diajukan sebagai artikel
ilmiah pada beberapa jurnal, yaitu: 1) ―Karakteristik Warna dan Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Antosianin Ubi Jalar ungu‖ telah diajukan untuk dipublikasi
pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Departemen ITP IPB Bogor dan sudah
sampai pada tahap hasil telaah satu; 2) “Sensory Profile of Baked Purple Sweet
Potato Cultivated from Three Different Locations‖ telah didaftarkan untuk di
publikasi pada Journal of Sensory Studies Wiley online Library dan sudah pada
tahap pertimbangan dewan redaksi; dan 3) “Pengaruh Pengolahan Panas terhadap
Konsentrasi Antosianin Monomerik Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L)‖ telah
diajukan untuk dipublikasi pada Agritech Jurnal Teknologi Pertanian Fakultas
Pertanian UGM Yogyakarta dan sudah sampai pada tahap hasil telaah dua.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Dedi Fardiaz,
MSc., selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Nuri Andarwulan, MSi., dan
Dr. Feri Kusnandar., MSc. sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah
banyak memberikan arahan, bimbingan dan dukungan hingga terselesaikannya
draf disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dede R
Adawiyah, M.Si dan Dr. Elvira Syamsir, STP., MSi atas masukan dan koreksinya
sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup. Terima kasih penulis sampaikan
kepada Dr. Ir. Didah Nur Faridah, M.Si dan Dr. Ir Bram Kusbiantoro, M.Si atas
masukan dan penguji luar komisi pada ujian terbuka. Terima kasih kepada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas bantuan
beasiswa BPPS tahun 2009-2013, dan bantuan dana penelitian melalui skim
Hibah Disertasi Doktor 2014. Terima kasih kepada seluruh staf dan laboran
laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, dan Seafast center -
IPB, yang telah mengakomodir jalannya penelitian ini. Terima kasih kepada
seluruh staf dan dosen PKK, khususnya Program Studi Pendidikan Tata Boga
FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, atas izin studi dan keringanan
menjalankan tugas yang telah diberikan. Terima kasih untuk teman-teman IPN
2009, 2010, 2011, atas kebersamaannya. Terima kasih untuk semua keluarga, Ema,
Abah, Suami, Anak, Ibu, kakak dan kepada semua pihak yang telah membantu
baik dalam pelaksanaan serangkaian penelitian ini maupun dalam penyusunan
disertasi ini disampaikan terima kasih.
Penulis mengharapkan masukan dan saran untuk lebih memperbaiki
Disertasi ini. Semoga hasil penelitian dalam disertasi ini bermanfaat untuk
pengembangan ilmu dan pengetahuan di bidang Ilmu Pangan dan bidang terkait
lainnya.
Bogor, Agustus 2014

Ai Mahmudatussa’adah
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
Daftar Pustaka 5
2 KARAKTERISTIK WARNA, AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN
STABILITAS EKSTRAK ANTOSIANIN UBI JALAR UNGU
Abstrak 9
Pendahuluan 10
Bahan dan Metode 11
Hasil dan Pembahasan 13
Kesimpulan 22
Daftar Pustaka 23
3 SENSORY PROFILE OF BAKED PURPLE SWEET POTATO
CULTIVATED FROM THREE DIFFERENT LOCATIONS
Abstract 27
Introduction 27
Materials and Method 28
Result and Discussion 29
Conclution 32
References 35
4 PENGARUH PENGOLAHAN PANAS TERHADAP KONSENTRASI
ANTOSIANIN MONOMERIK UBI JALAR UNGU(Ipomoea batatas L)
Abstrak 38
Pendahuluan 39
Metode Penelitian 40
Hasil dan Pembahasan 43
Kesimpulan 47
Daftar Pustaka 47
5 PEMBAHASAN UMUM
Antosianin Ubi Jalar Segar 50
Warna Ekstrak Antosianin 50
Spektra Ekstrak Antosianin 51
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Antosianin 52
Stabilitas Ekstrak Antosianin 53
Profil Sensori Ubi Jalar Ungu Panggang 53
Pengaruh Pengolahan Panas Terhadap Jumlah Antosianin Monomerik 55
Simpulan dan Saran 56
Daftar Pustaka 57
RIWAYAT HIDUP 59
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Antosianin merupakan komponen bioaktif kelompok flavonoid dengan


warna bervariasi mulai merah, ungu, biru, pada bunga, daun, umbi, buah dan
sayur yang tergantung pada pH-nya (Torskangerpoll dan Andersen 2005;
Burdullis et al. 2009; Jensen et al. 2011). Antosianin adalah senyawa yang terdiri
dari antosianidin dan gugus gula. Antosianidin yang banyak ditemukan di dalam
buah, sayur atau umbi adalah pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin,
petunidin dan malvidin (Kim et al. 2012). Antosianin larut dalam air dan aman
untuk dikonsumsi, sehingga umumnya digunakan sebagai pewarna alami untuk
produk makanan dan minuman (Chiste et al. 2010). Antosianin memiliki fungsi
yang baik untuk kesehatan seperti mencegah risiko kanker usus kolon (Lim 2012),
kanker hati (Choi et al. 2011). Antosianin juga diketahui sebagai antidiabetes
(Sancho dan Pastore 2012) dan antioksidan (Takahata et al. 2011; Jiao et al. 2012).
Sifat antosianin, termasuk perubahan warna, dan aktivitas antioksidan dipengaruhi
oleh pH dan struktur dari antosianin (Marco et al. 2011). Struktur antosianin
berubah pada pH 1, pH 4.5 dan pH 7 (Lee et al. 2005). Berbagai macam sayur,
buah, bunga, dan umbi sudah ditemukan mengandung antosianin seperti kubis
merah (Wiczkowsi et al. 2013), kulit leci (Ruenroengklin et al. 2008), beras hitam,
paria, paprika, kulit bawang, kulit anggur, mulberry, buah bit, (Boo et al. 2012),
rosella (Duangmall et al. 2008), buah duwet (Sari et al. 2012), bunga teleng
(Marpaung 2012) dan ubi jalar ungu (Jiao et al. 2012).
Ubi jalar mudah dibudidayakan, dapat tumbuh pada berbagai macam jenis
tanah, produktifitasnya tinggi, dengan masa tanam yang relatif pendek, 3-6 bulan,
dan membutuhkan sedikit pupuk (George et al. 2011). Tempat budidaya ubi jalar
ungu di Jawa Barat diantaranya Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung, dan
Pakembangan-Kuningan. Ketiga tempat ini memiliki karakteristik geografis dan
iklim yang relatif berbeda. Desa Cilembu, Sumedang memiliki ketinggian wilayah
600 m di atas permukaan laut (dpl), suhu rata-rata 28 oC. Desa Banjaran, Bandung
600 m dpl, suhu udara rata-rata 29 oC. Desa Pakembangan Kuningan ketinggian
400 m dpl, suhu rata-rata 31 oC. Beberapa peneliti sebelumnya menemukan bahwa
letak geografis tempat tumbuh dan suhu lingkungan tumbuh mempengaruhi
kandungan total antosianin kentang (Reyes et al. 2004; Brown et al. 2008),
bilberries (Burdullis et al. 2007), ceri (Pedisic et al. 2010), dan kedelai (Kim et al.
2014). Wilayah Cilembu-Sumedang sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
sebagai salah satu daerah yang mendapatkan Perlindungan Wilayah Geografis
Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi PP No. 31 Tahun 2009.
Ubi jalar ungu (UJU) mengandung lebih dari 98% antosianin terasilasi dari
konsentrasi antosianin yang terkandung di dalam umbi (Jie et al. 2013). Jenis
antosianin yang ditemukan di dalam ubi jalar ungu adalah sianidin 3-kafeol-
sophorosida-5-glukosida dan peonidin 3-kafeol-sophorosida-5-glukosida (Odake
et al. 1992; Goda et al. 1997; Terahara et al. 2004; Montilla et al. 2011; Jie et al.
2013). Varietas Ayamurasaki mengandung 74% peonidin dan 19% sianidin dari
2

antosianin yang diasilasi (Tsukui et al. 2002). Antosianin terasilasi pada ubi jalar
ungu relatif stabil terhadap perubahan pH, panas, dan cahaya (Cevallos-Casals
dan Cisneros-Zevallos 2004; Jie et al. 2013).
Ubi jalar biasanya disimpan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi atau diolah.
Perubahan sifat sensori selama penyimpanan sangat penting, dan perubahan
tersebut mungkin diinginkan atau tidak diinginkan (van Oirschot et al. 2003).
Perubahan tekstur yang lembut dan lembab selama penyimpanan dianggap
diinginkan di Amerika Serikat (Hamann et al. 1980). Di Indonesia ubi jalar
biasanya disimpan terlebih dahulu untuk mendapatkan rasa ubi jalar yang lebih
manis.
Ubi jalar ungu banyak dikonsumsi dalam bentuk goreng, rebus, atau
panggang; kadang-kadang diolah menjadi tepung, dodol, selai atau mie instan. Di
antara potensi pemanfaatan lain dari ubi jalar ungu adalah diolah menjadi bentuk
flakes dengan warna khas dari antosianin. Flakes merupakan sediaan kering atau
serpihan yang dibuat melalui tahapan pembuatan pasta dari ubi jalar rebus atau
kukus, kemudian dikeringkan dengan pengering drum. Flakes umumnya dibuat
dari kentang, dikenal dengan potato flakes. Flakes dapat diolah lebih lanjut
sebagai ingredien pangan untuk pembuatan french fried potatoes atau potato chips
(Lamberti et al. 2004).
Pembuatan flakes secara umum melalui tahapan proses pembuatan pasta
dengan cara dikukus, direbus, digoreng atau dipanggang, kemudian pasta tersebut
dikeringkan dengan pengering drum. Konsentrasi dan warna antosianin dapat
berubah karena pengaruh pemanasan (Truong et al. 2010, Kim et al. 2012,
Lachman et al. 2012, Burgos et al. 2013). Pengaruh panas merupakan masalah
yang banyak ditemukan dapat menurunkan konsentrasi antosianin selama
pengolahan.

Perumusan Masalah

Antosianin merupakan komponen bioaktif yang memiliki warna yang


menarik, dapat berubah karena pH dan memiliki sifat fungsional yang baik untuk
kesehatan. Konsentrasi dan warna antosianin dapat berubah diantaranya
dipengaruhi oleh pH, dan panas. Salah satu sumber antosianin yang potensial
adalah ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu dibudidayakan pada berbagai lokasi. Lokasi
dan kondisi tempat budidaya dapat mempengaruhi karakteristik dari tanaman yang
dibudidayakan. Lokasi budidaya ubi jalar ungu di Jawa Barat diantaranya Desa
Cilembu Kabupaten Sumedang, Desa Banjaran Kabupaten Bandung, dan Desa
Pakembangan Kabupaten Kuningan. Ubi jalar ungu biasanya disimpan terlebih
dahulu pada suhu ruang sebelum diolah dan dikonsumsi. Teknik pengolahan ubi
jalar ungu diantaranya dikukus, direbus, digoreng dan dipanggang. Proses
pengolahan dapat merubah jumlah dan warna antosianin. Dengan demikian dalam
penelitian ini dikaji mengenai jumlah antosianin monomerik, warna, spektra,
aktivitas antioksidan, dan stabilitas ekstrak antosianin, juga profil sensori ubi jalar
ungu panggang yang ditanam pada berbagai daerah. Selain itu di dalam penelitian
ini juga dikaji mengenai model penurunan jumlah antosianin monomerik ubi jalar
ungu segar dan flakes rehidrasi dari Cilembu selama pemanggangan.
Penelitian ubi jalar ungu yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya
diantaranya : optimasi ekstraksi antosianin (Huang et al. 2010, Truong et al.
3

2012), identifikasi jumlah monomer antosianin (Terahara et al. 2004, Truong et al.
2010), stabilitas antosianin (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2004, Jie et
al. 2013), aktivitas antioksidan (Kano et al. 2005; Takahata et al. 2011; Jiao 2012),
mencegah kanker usus (Lim 2012), pengaruh pengolahan terhadap kadar
antosianin (Burgos et al. 2013). Belum ditemukan penelitian mengenai
karakteristik antosianin dan profil sensori ubi jalar ungu yang dibudidayakan pada
daerah berbeda. Informasi mengenai perubahan warna dan konsentrasi antosianin
sebagai akibat proses pengolahan panas ubi jalar menjadi flakes ubi jalar juga
belum tersedia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mempelajari karakteristik


antosianin dan profil sensori ubi jalar ungu yang dibudidayakan pada tiga lokasi
berbeda. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk:
1) Mempelajari pengaruh lokasi budidaya terhadap jumlah antosianin
monomerik.
2) Mempelajari pengaruh lokasi budidaya terhadap warna, spektra warna,
aktivitas antioksidan, dan stabilitas ekstrak antosianin ubi jalar ungu.
3) Mempelajari profil sensori ubi jalar ungu Ayamurasaki yang dibudidayakan
di Cilembu, Sumedang; Banjaran, Bandung; dan Pakembangan, Kuningan.
4) Mempelajari pengaruh pemanasan terhadap jumlah antosianin monomerik ubi
jalar ungu segar dan flakes rehidrasi.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah:


1) Ubi jalar ungu yang ditanam di lokasi yang berbeda memiliki jumlah
antosianin monomerik berbeda.
2) Warna, spektra warna, aktivitas antioksidan, dan stabilitas ekstrak antosianin
ubi jalar ungu dipengaruhi lokasi budidaya.
3) Ubi jalar ungu yang ditanam di lokasi yang berbeda memiliki profil sensori
yang berbeda.
4) Model penurunan jumlah antosianin monomerik ubi jalar ungu segar dan
flakes rehidrasi selama pemanggangan mengikuti orde satu.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai


pengaruh lokasi budidaya ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki terhadap
karakteristik antosianin dan profil sensori dari ubi jalar ungu. Antosianin dapat
digunakan sebagai pewarna alami yang memiliki fungsi yang baik untuk
kesehatan. Informasi mengenai pengaruh pH terhadap warna, spektra, stabilitas
dan aktivitas antioksidan ekstrak antosianin ubi jalar ungu diharapkan dapat
membantu masyarakat dalam mengaplikasikan ekstrak antosianin ubi jalar ungu
sebagai pewarna alami yang dapat memberikan manfaat yang baik untuk
4

kesehatan. Sebagai negara agraris beriklim tropis setiap wilayah akan memberikan
karakteristik hasil tanam yang memiliki ciri khas. Informasi dari penelitian ini
dapat menjadi referensi dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51
Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, dan PP No. 31 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi
(WGPPPSL).
Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian mengenai karakteristik


antosianin dan profil sensori ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki yang
dibudidayakan pada tiga lokasi berbeda. Ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki
telah diverifikasi karakteristik taksonominya di Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang. Kajian tahap pertama adalah analisis
kandungan antosianin ubi jalar ungu yang dibudidayakan di Cilembu, Sumedang;
Banjaran, Bandung dan Pakembangan, Kuningan. Selain itu dianalisa juga
mengenai pengaruh pH terhadap warna, spektra dan aktivitas antioksidan ekstrak
antosianin. Kajian kelompok kedua adalah profil sensori ubi jalar ungu panggang
yang dibudidayakan di Cilembu, Sumedang; Banjaran, Bandung dan
Pakembangan Kuningan. Kajian kelompok ketiga adalah pembuatan ingredient
pangan berupa flakes ubi jalar ungu dan mengkaji pengaruh pemanggangan
terhadap jumlah antosianin monomerik ubi jalar segar dan flakes rehidrasi
(Gambar 1)

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

UJU Cilembu-Sumedang UJU Cilembu-Sumedang UJU Cilembu-Sumedang


UJU Banjaran-Bandung UJU Banjaran-Bandung
UJU Pakembangan-Kuningan UJU Pakembangan-Kuningan
Disimpan 7 hari

Disimpan 7 hari Disimpan Disimpan


7 hari 30 Hari
Flakes Segar
Kadar air + air
Antosianin monomerik Dipanggang pada suhu
Warna ekstrak antosianin 200oC selama 90 menit Dipanggang T 150 oC, t : 120’
Spektra ekstrak antosianin pH 1-14 Dipanggang T 200 oC,t : 90’
Aktivitas antioksidan pH 1, 4.5, dan 7 Dipanggang T 250 oC, t : 60’
Stabilitas ekstrak antosianin pH 1,4.5,dan 7 QDA Profil sensori

Kadar air
Antosianin monomerik

Model penurunan
jumlah antosianin

Gambar 1. Alur penelitian


5

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah
kajian mengenai jumlah antosianin monomerik; pengaruh pH terhadap warna,
spektra warna; aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak antosianin ubi jalar
ungu Ayamurasaki yang dibudidayakan pada tiga lokasi yang berbeda. Ubi jalar
ungu yang dibudidayakan di Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung, dan
Pakembangan-Kuningan disimpan selama 7 hari, diblansir kukus, dan diukur
kadar air, jumlah antosianin monomerik; dilihat perubahan warna; diukur spektra
warna ekstrak antosianin pada pH 1-14; dianalisis aktivitas antioksidan dan
stabilitas ekstrak antosianin pada pH 1, 4.5 dan 7.
Tahap ke dua mengkaji mengenai profil sensori ubi jalar ungu
Ayamurasaki panggang yang dibudidayakan di Cilembu-Sumedang, Banjaran-
Bandung, dan Pakembangan-Kuningan. Ubi jalar ungu disimpan selama 7 hari
dan 30 hari pada suhu ruang (± 30 oC), kelembaban (±80%). Ubi jalar ungu
panggang kemudian diukur profil sensori dengan metode QDA (Quantitative
Descriptive Analysis) oleh panelis terlatih.
Tahap ke tiga mengkaji mengenai model penurunan konsentrasi antosianin
monomerik ubi jalar ungu segar dan flakes rehidrasi selama pemanggangan. Ubi
jalar ungu yang digunakan sebagai sampel adalah ubi jalar ungu Ayamurasaki
yang dibudidayakan di Cilembu. Ubi jalar ungu dibuat flakes dengan cara ubi jalar
ungu dibersihkan, dikupas dengan pengupas abrasive, dipotong, dikukus, dan
dikeringkan dengan pengering drum. Flakes ditambahkan air 65%, diaduk sampai
membentuk pasta, ditimbang, dan dibentuk kubus dengan panjang sisi 4 cm,
kemudian dibungkus dengan aluminium foil. Ubi jalar segar dicuci, dikeringkan,
dipotong kubus dengan panjang sisi 4 cm, kemudian dibungkus dengan
aluminium foil. Semua sampel dipanggang dengan oven listrik pada suhu 150 oC
(120 menit), suhu 200 oC (90 menit) dan suhu 250 oC (60 menit). Dari setiap suhu
pemanggangan diambil 6 titik sampel, kemudian dianalisa jumlah antosianin
monomerik.

DAFTAR PUSTAKA

Boo H, Hwang S, Baec C, Park S, Heod B, Gorinsteine S. 2012. Extraction and


characterization of some natural plant pigments. Ind Crop Prod 40:129 – 135.
DOI:10.1016/j.indcrop.2012.02.042.
Brown CR, Durst RW, Wrolstad R, De Jong W. 2008. Variability of phytonutrient
content of potato in relation to growing location and cookingmethod. Potato
Research 51: 259–270. DOI 10.1007/s11540-008-9115-0
Burdulis D, Ivanauskas L, Dirsė V, Kazlauskas S, Ražukas A. 2007. Study of
diversity of anthocyanin composition in bilberry (Vaccinium myrtillus L.) fruits.
Medicina (Kaunas) 43(12): 971-977.
Burdulis D, Sarkinas A, Jasutiené I, Stackevicené E, Nikolajevas L, Janulis V.
2009. Comparative study of anthocyanin composition, antimicrobial and
antioxidant activity in bilberry (Vaccinium myrtillus L.) and blueberry
(Vaccinium corymbosum L.) fruits. Acta Pol Pharm 66: 399–408.
Burgos G, Amoros W, Munoa, Sosa P, Cayhualla E, Sanchez C, Dı´az C,
Bonierbale M. 2013. Total phenolic, total anthocyanin and phenolic acid
6

concentrations and antioxidant activity of purple-fleshed potatoes as affected


by boiling. J Food Comp Anal 30 : 6–12. DOI: 10.1016/j.jfca.2012.12.001
Cevallos-Casals BA, Cisneros-Zevallos L. 2004. Stability of anthocyanin based
aqueous extracts of Andean purple corn and red-fleshed sweet potato
compared to synthetic and natural colorants. Food Chem 86: 69–77.
Chisté RC, Lopes AS, de Faria LJG. 2010. Thermal and light degradation kinetics
of anthocyanin extracts from mangosteen peel (Garcinia mangostana L.). Int J
Food Sci Tech 45: 1902–1908. DOI: 10.1111/j.1365-2621.2010.02351
Choi JH, Hwang YP, Choi CY, Chung YC, Jeong HG. 2010. Anti-fibrotic effects
of the anthocyanins isolated from the purple-fleshed sweet potato on hepatic
fibrosis induced by dimethylnitrosamine administration in rats. Food Chem
Toxicol 48: 3137–3143. DOI:10.1016/j.fct.2010.08.009.
Duangmall K, Saicheua B, Sueeprasan S.2008. Colour evaluation of freeze-dried
roselle extract as a natural food colorant in a model system of a drink. LWT
(41): 1437–1445. DOI:10.1016/j.lwt.2007.08.014.
George NA, Pecota KV, Bowen BD, Schultheis JR, Yencho GC. 2011. Root piece
planting in sweetpotato – a synthesis of previous research and directions for
the future. Hort Tech 21: 703–711.
Goda, Y., Shimizu, T., Kato, Y., Nakamura, M., Maitani, T., Yamada, T.,
Terahara, N., dan Yamaguchi, M. (1997). Two acylated anthocyanins from
purple sweet potato. Phytochemistry 44: 183–186.
Huang CL, Liao WC, Chan CF, Lai YC. 2010. Optimization for extraction
anthocyanin from purple sweet potato roots using response surface
methodology. J Taiwan Agric Res 59(3) : 143-150
Jensen MB, Bergamo CA, Payet RM, Liu X, Konczak I. 2011. Influence of
copigment derived from Tasmannia pepper leaf on Davidson’s plum
anthocyanins. J Food Sci 76: C447–C453.
Jiao Y, Jiang Y, Zhai W dan Yang Z. 2012. Studies on antioxidant capacity of
anthocyanin extract from purple sweet potato (Ipomoea batatas L.). Afr J
Biotechnol 11(27): 7046-7054. DOI: 10.5897/AJB11.3859.
Jie L, Xiao-ding L, Yun Z, Zheng-dong Z, Zhi-ya O, Meng L, Shao-hua Z, Shuo
L, Meng W, Lu O. 2013. Identification and thermal stability of purple-
fleshed sweet potato anthocyanins in aqueous solutions with various pH
values and fruit juices. Food Chem 136: 1429–1434. DOI:
10.1016/j.foodchem.2012.09.054
Kano M, Takayanagi T, Harada K, Makino K, Ishikawa F. 2005. Antioxidative
activity of anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea batatas cultivar
Ayamurasaki. Biosci Biotechnol Biochem 69: 979-988
Kim EH, Lee OK, Kim JK, Kim SL, Lee J, Kim SH, Chung IM. 2014.
Isoflavones and anthocyanins analysis in soybean (Glycine max (L.) Merill)
from three different planting locations in Korea. Field Crops Res 156: 76–
83. DOI: 10.1016/j.fcr.2013.
Kim HW, Kim JB, Cho SM, Chung MN, Leen YM, Chu SM, Che JH, Kim SN,
Kim SY, Cho YS, Kim JH, Park HJ, Lee DJ. 2012. Anthocyanin changes in
the Korean purple-fleshed sweet potato, Shinzami, as affected by steaming
and baking. Food Chem. 130: 966–972.
Lachman J, Hamouz K, Orsak M, Pivec V, Hejtmankova K, Pazderu K, dan
Dvorˇak P, Cˇepl J. 2012. Impact of selected factors – Cultivar, storage,
7

cooking and baking on the content of anthocyanins in coloured-flesh potatoes.


Food Chem. 133: 1107–1116.
Lamberti M, Geiselman A, Conde-Petit B, Escher F. 2004. Starch transformation
and structure development in production and reconstitution of potato flakes.
Lebensm.-Wiss. u.-Technology 37: 417– 427.
Lee J, Durst W, Wrolstad RE. 2005. Determination of total monomeric
anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and
wines by the pH differential method: Collaborative study. J AOAC Int 88:
1269–1278.
Lim S. 2012. Anthocyanin-enriched Purple Sweet Potato for Colon Cancer
Prevention [Disertasi]. Kansas: Department of Human Nutrition, Kansas State
University Manhattan.
Março PH, Poppi RJ, Scarminio IS, Tauler R. 2011. Investigation of the pH effect
and UV radiation on kinetic degradation of anthocyanin mixtures extracted
from Hibiscus acetosella. Food Chem 125: 1020–1027. DOI:
10.1016/j.foodchem.2010.10.005
Marpaung AM. 2012. Optimasi Proses Ekstraksi Antosianin Pada Bunga Teleng
(Clitoria ternatea L.) dengan Metode Permukaan Tanggap [Tesis]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Montilla EC, Hillebrand S, Winterhalter P. 2011. Anthocyanins in Purple Sweet
Potato (Ipomoea batatas L.) Varieties. Fruit, Vegetable and Cereal Science
and Biotechnology 5 (Special Issue 2), 19-24.
Odake K, Terahara N, Saito N, Toki K, Honda T. 1992. Chemical structures of
two anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea batatas. Phytochemistry
31: 2127-2130.
Pedisic S, Dragovi-Uzelac V, Levaj B, Skevin D. 2010. Effect of Maturity and
Geographical Region on Anthocyanin Content of Sour Cherries (Prunus
cerasus var. marasca). Food Technol Biotechnol 48 (1): 86–93.
Reyes LF, Miller JC, Cisneros-Zevallos L. 2004. Environmental conditions
influence the content and yield of anthocyanins and total phenolics in
purple- and red-flesh potatoes during tuber development. Am J Potato Res
81: 187–193.
Reyes LF, Cisneros-Zevallos L. 2007. Degradation kinetics and colour of
anthocyanins in aqueous extracts of purple and red-flesh potatoes (Solanum
tuberosum L.). Food Chem 100: 885–894.
DOI:10.1016/j.foodchem.2005.11.002
Ruenroengklin N, Zhong J, Duan J, Yang B, Li J, Jiang Y. 2008. Effects of
various temperatures and pH values on the extraction yield of phenolics
from litchi fruit pericarp tissue and the antioxidant activity of the extracted
anthocyanins. Int J Mol Sci 9: 1333-1341. DOI: 10.3390/ijms9071333
Sancho RAS, Pastore GM. 2012. Evaluation of the effects of anthocyanins in type
2 diabetes. Food Res Int 46: 378–386. DOI: 10.1016/j.foodres.2011.11.021.
Sari P, Wijaya CH, Sajuthi D, Supratman U. 2012. Colour properties, stability,
and free radical scavenging activity of jambolan (Syzygium cumini) fruit
anthocyanins in a beverage model system: Natural and copigmented
anthocyanins. Food Chem 132: 1908–1914.
DOI:10.1016/j.foodchem.2011.12.025.
8

Takahata Y, Kai Y, Tanaka M, Nakayama H, Yoshinaga M. 2011. Enlargement of


the variances in amount and composition of anthocyanin pigments in
sweetpotato storage roots and their effect on the differences in DPPH
radical-scavenging activity. Sci Hortic-Amsterdam 127: 469–474.
doi:10.1016/j.scienta.2010.10.010
Terahara N, Konczak I, Ono H, Yoshimoto M, Yamakawa O. 2004.
Characterization of acylated anthocyanins in callus induced from storage
root of purple-fleshed sweet potato, Ipomoea batatas L. J Biomed
Biotechnol 2004: 279-286.
Torskangerpoll K, Andersen OM. 2005. Colour stability of anthocyanins in
queous solutions at various pH values. Food Chem 89(3): 427–440.
DOI:10.1016/j.foodchem.2004.03.002.
Truong VD, Deighton N, Thompson RT, McFeeters RF, Dean LO, Pecota KV,
Yencho GC. 2010. Characterization of anthocyanins and anthocyanidins in
purple-fleshed sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESI-MS/MS. J Agr Food
Chem 58: 404–410. DOI:10.1021/jf902799.
Truong VD. Hua Z, Thompson RL, Yencho GC, Pecota KV. 2012. Pressurized
liquid extraction and quantification of anthocyanins in purple-fleshed sweet
potato genotypes. J Food Compos Anal 26 : 96–103. DOI:
10.1016/j.jfca.2012.03.006.
Tsukui A, Murakami T, Shiina R, dan Hayashi K. 2002. Effect of alcoholic
fermentation on the stability of purple sweet potato anthocyanins. Food Sci
Technol Res. 8: 4-7.
Van Oirschot QEA, Ress D, Aked J. 2003. Sensory characteristics of five sweet
potato cultivars and their changes during storage under tropical conditions.
Food Qual Prefer. 14, 673–680.
Wiczkowski W, Szawara-Nowak D, Topolska J. 2013. Red cabbage anthocyanins:
Profile, isolation, identification, and antioxidant activity. Food Res Int. 51:
303–309. DOI: 10.1016/j.foodres.2012.12.015
9

2 KARAKTERISTIK WARNA, AKTIVITAS ANTIOKSIDAN


DAN STABILITAS EKSTRAK ANTOSIANIN UBI JALAR
UNGU1

ABSTRACT

Anthocyanin is a natural pigment with color varying from red, purple, blue to
yellow. The stability of its anthocyanin color is affected by pH, temperature and
light. Purple sweet potato is rich in anthocyanin, particularly a stable acylated
anthocyanin. This research was conducted to study the effect of pH on color and
antioxidative activity of anthocyanin extracted from purple sweet potatoes
harvested from Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung and Pakembangan-
Kuningan. The results showed that the total number of monomeric anthocyanin in
purple sweet potato harvested from Cilembu was higher than that of Banjaran and
Pakembangan. The color of purple sweet potato anthocyanin extract was pH
dependent. The color changed from red, faded red, purple, blue, green and yellow
along with the increase of pH from 1 to 14. The content of anthocyanin from three
locations of purple sweet potatoes differed from each other (P<0.05). Radical
scavenging activity and reducing power of purple sweet potato anthocyanins
extract at pH 1 was higher than that at pH 4.5 and pH 7. Stability of extract
anthocyanin at pH 7 was lowest than that at pH 4.5 and pH 1.

Keywords: anthocyanin, antioxidant activity, purple sweet potato

ABSTRAK
Antosianin merupakan pewarna alami dengan warna bervariasi dari merah, ungu,
biru, dan kuning tergantung nilai pH-nya. Stabilitas warna antosianin dipengaruhi
pH, suhu dan cahaya. Ubi jalar ungu mengandung antosianin terasilasi yang
bersifat stabil. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh pH pada
warna, dan aktivitas antioksidan ekstrak antosianin ubi jalar ungu yang
dibudidayakan di Cilembu - Sumedang; Banjaran - Bandung; dan Pakembangan -
Kuningan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah total antosianin monomer
dalam ekstrak antosianin ubi jalar ungu yang dibudidayakan di Cilembu (3.78 ±
0.08 mg setara sianidin-3-glukosida/g berat kering, bk); dan lebih tinggi
dibandingkan dari Banjaran (3.18 ± 0.01mg/g bk) dan lebih tinggi dibandingkan
dari Pakembangan (2.25 ± 0.01 mg/g bk). Jumlah antosianin dari ubi jalar ungu
yang berasal dari tiga lokasi berbeda secara nyata (p<0.05). Warna ekstrak
antosianin ubi jalar ungu berubah dari merah, merah pudar, ungu, biru, hijau dan
kuning seiring dengan meningkatnya pH dari 1 sampai 14. Aktivitas penangkapan
radikal bebas dan kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1
lebih tinggi dibandingkan pada pH 4.5 dan pH 7. Stabilitas ekstrak antosianin
pada pH 7 adalah yang paling rendah dibandingkan pada pH 4.5 dan pH 1.

Kata Kunci : aktivitas antioksidan, antosianin, ubi jalar ungu.

1
Sebagian dari Bab 2 ini sudah melalui telaah satu pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
10

PENDAHULUAN

Antosianin merupakan komponen aktif kelompok flavonoid yang dapat


memberikan warna merah, ungu, biru, pada bunga, daun, umbi, buah dan sayur
(Torskangerpoll dan Andersen, 2005; Burdullis et al. 2009; Jensen et al. 2011).
Antosianin larut dalam air dan aman untuk dikonsumsi, sehingga umumnya
digunakan sebagai pewarna alami untuk produk makanan dan minuman (Chiste et
al. 2010). Antosianin memiliki fungsi yang baik untuk kesehatan seperti
mencegah risiko kanker usus kolon (Lim, 2012), kanker hati (Choi et al. 2011).
Antosianin juga diketahui sebagai antidiabetes (Sancho dan Pastore, 2012) dan
antioksidan (Takahata et al. 2011; Jiao et al. 2012). Sifat antosianin, termasuk
perubahan warna, dan aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh pH dan struktur dari
antosianin (Marco et al. 2011).
Struktur antosianin berubah pada pH 1, pH 4.5 dan pH 7 (Lee et al. 2005).
Aktivitas antioksidan antosianin dari bunga teleng dan ekstrak lowbush blueberry
tertinggi adalah pada pH 1, diikuti oleh pH 4.5 dan 7 (Marpaung, 2012). Berbagai
macam sayur, buah, bunga, dan umbi sudah ditemukan mengandung antosianin
seperti kubis merah (Wiczkowsi et al. 2013), kulit leci (Ruenroengklin et al.
2008) beras hitam, paria, paprika, kulit bawang, kulit anggur, mulberry, buah bit,
(Boo et al. 2012), rosella (Duangmall et al. 2008), buah duwet (Sari et al. 2012),
bunga teleng (Marpaung 2012) dan ubi jalar ungu (Jiao et al. 2012).
Ubi jalar mudah dibudidayakan, dapat tumbuh pada berbagai macam jenis
tanah, produktifitasnya tinggi, dengan masa tanam yang relatif pendek, 3-6 bulan,
dan membutuhkan pupuk yang sedikit (George et al. 2011). Tempat budidaya ubi
jalar ungu di Jawa Barat diantaranya Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung, dan
Pakembangan-Kuningan. Ketiga tempat ini memiliki karakteristik geografis dan
iklim yang relatif berbeda. Desa Cilembu-Sumedang memiliki ketinggian wilayah
600 m di atas permukaan laut (dpl), suhu rata-rata 28 oC. Desa Banjaran Bandung
650 m dpl, suhu udara rata-rata 29 oC. Desa Pakembangan Kuningan ketinggian
400 m dpl, suhu rata-rata 31 oC. Beberapa peneliti sebelumnya menemukan bahwa
letak geografis tempat tumbuh dan suhu lingkungan tumbuh mempengaruhi
kandungan total antosianin kentang (Reyes et al. 2004; Brown et al. 2008),
bilberries (Burdullis et al. 2007), ceri (Pedisic et al. 2010), dan kedelai (Kim et al.
2014).
Belum ditemukan penelitian yang mengkaji karakteristik warna dan
aktivitas antioksidan ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1, 4.5 dan 7.
Penelitian mengenai ubi jalar ungu yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya
diantaranya adalah optimasi ekstraksi antosianin (Huang et al. 2010, Truong et al.
2012), identifikasi jumlah monomer antosianin (Terahara et al. 2004, Truong et al.
2010), stabilitas antosianin (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2004, Jie et
al. 2013), aktivitas antioksidan (Kano et al. 2005,Takahata et al. 2011, Jiao 2012),
mencegah kanker usus (Lim, 2012), pengaruh pengolahan terhadap kadar
antosianin (Burgos et al. 2013).
Penelitian ini mengkaji mengenai kandungan antosianin monomerik ubi
jalar ungu yang dibudidayakan di Cilembu, Banjaran dan Pakembangan;
perubahan warna dan spektra ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1-14;
aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak antosianin pada pH 1, 4.5 dan 7.
11

BAHAN DAN METODE

Bahan
Ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki telah diverifikasi karakteristik
taksonominya di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi),
Malang, diperoleh dari Petani di Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung dan
Pakembangan-Kuningan dengan masa tanam 5 bulan (November 2012 – April
2013). Bahan kimia pro-analis metanol, KCl, CH3COONa, NaOH, HCl, 1.1-
diphenil-2-picrylhydrazyl (DPPH), L-ascorbic acid, kuersetin dari Sigma-Aldrich.
Dalam penelitian ini dilakukan dua kali ulangan dan tiga kali pengukuran.

Persiapan sampel
Ubi jalar ungu dari tiga lokasi tumbuh (Cilembu-Sumedang, Banjaran-
Bandung dan Pakembangan-Kuningan.) dibersihkan, dicuci dengan air mengalir,
kemudian dibuang kulitnya dengan menggunakan pengupas abrasif. Ubi jalar
selanjutnya dipotong dengan pisau baja tahan karat. Ubi jalar dipotong dengan
panjang ± 3 cm, kemudian masing-masing potongan dibelah empat. Terhadap
sampel dilakukan blanching dengan menggunakan steam blancher selama 7 menit.
Sampel selanjutnya dihancurkan dan dibekukan pada suhu -27oC.

Ekstraksi antosianin (Modifikasi Huang et al. 2010)


Sebanyak 1g sampel beku disuspensikan dalam 32 mL larutan asam-
metanol 15 % HCl (HCl, 1.5 M di dalam metanol). Suspensi diaduk dalam alat
penangas air goyang pada suhu 50 oC selama 60 menit. Suspensi sampel
disentrifusi pada kecepatan 4042.7 g selama 15 menit. Supernatan dipisahkan dan
disaring dengan kertas saring Whatman no. 1. Endapan diekstrak kembali dengan
larutan asam-metanol 15% sebanyak dua kali lagi, kemudian supernatan
dikumpulkan dalam botol berkaca gelap. Supernatan diuapkan dengan evaporator
putar pada suhu 40oC sampai diperoleh ekstrak antosianin pekat. Volume ekstrak
antosianin yang diperoleh adalah 4-6.5 mL, kemudian disimpan dalam botol gelap
pada suhu -27oC sampai digunakan untuk analisis.
Analisis antosianin monomerik (Lee et al. 2005)
Sebanyak 1 mL ekstrak antosianin dimasukkan kedalam labu ukur 5 mL,
kemudian ditambahkan larutan buffer kalium klorida (0.025 M) pH 1 sampai
volume menjadi 5 mL. Sebanyak 1 mL ekstrak antosianin dimasukkan ke dalam
labu ukur 5 mL yang lain, kemudian ditambahkan larutan buffer natrium asetat
(0.4 M) pH 4.5 sampai volume menjadi 5 mL. Kedua labu tersebut kemudian
ditempatkan di tempat gelap selama 60 menit. Penyerapan sinar dari setiap larutan
setelah mencapai kesetimbangan diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 700 nm dengan blanko air destilasi. Konsentrasi antosianin
monomerik dinyatakan sebagai mg CyE (cyanidin-3-glukosida equivalent) per
gram bahan kering sampel.
12

Karakterisasi spektra warna antosianin pada berbagai pH (Cevallos - Casals


dan Cisneros-Zevallos, 2004)
Spektra warna sampel antosianin diukur pada kisaran pH 1-14. Setiap 7.35
mg/L ekstrak antosianin ubi jalar ungu disiapkan pada pH 1-14 dengan cara 1 mL
sampel dimasukkan kedalam labu takar 5 mL kemudian ditambahkan 4 mL
larutan buffer kalium klorida (0.025 M) untuk pH 1-4, dan buffer natrium asetat
(0.4 M) untuk pH 5-14. Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan larutan
NaOH (0.5 M, 2 M atau 16 M) atau HCl 1.5 M. Sampel disimpan di ruang
tertutup pada suhu kamar selama 60 menit untuk kemudian dilakukan pengukuran
spektra pada panjang gelombang 200-700 nm.

Analisis aktivitas penangkapan radikal DPPH (Jiao et al. 2012)


Sebanyak 2 µL ekstrak antosianin (7.35 mg/L) dimasukkan ke dalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan 2 mL DPPH 0.2 µM dalam etanol, kemudian
divorteks. Larutan didiamkan di dalam ruang gelap selama 30 menit. Larutan
segera diukur penyerapan sinarnya dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 517 nm. Sebagai kontrol digunakan larutan DPPH tanpa
sampel dan tanpa standar. Untuk pembuatan kurva standar digunakan asam
askorbat atau kuersetin dengan konsentrasi bertingkat 6.25 ppm, 12.5 ppm, 25
ppm, 50 ppm, 75 ppm, dan 100 ppm. Aktivitas penangkapan terhadap radikal
DPPH dinyatakan sebagai sebagai % penghambatan terhadap radikal DPPH.
Persen penghambatan dihitung dengan rumus :

( )

Ao = absorbans tanpa penambahan sampel/standar


As = absorbans dengan penambahan sampel/standar

Analisis kekuatan mereduksi besi (III) sianida (Jiao et al. 2012)


Sebanyak 1 mL sampel (7.35 mg/L) dicampur dengan 3.0 mL 0.5 M buffer
fosfat (pH 6.6) dan 2.5 mL 1% kalium besi (III) sianida diinkubasi pada suhu
50oC selama 20 menit. Sebanyak 2.5 mL asam trikloro asetat (10% b/v)
ditambahkan ke dalam campuran untuk memberhentikan reaksi, kemudian
disentrifus pada kecepatan 2274 g selama 10 menit. Sebanyak 1 mL supernatan
ditambah dengan 1 mL air destilasi dan 0.2 mL 0.1% (b/v) FeCl3. Campuran
larutan didiamkan 10 menit, kemudian diukur penyerapan sinarnya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 700 nm. Kekuatan mereduksi
ditandai dengan meningkatnya penyerapan sinar.

Pengaruh pH terhadap Stabilitas Warna Antosianin Selama Penyimpanan


Pengaruh pH terhadap stabilitas warna antosianin dilakukan dengan cara 7.35
mg/L ekstrak antosianin ubi jalar ungu Cilembu, Pakembangan dan Banjaran
dikondisikan pada pH 1, 4.5 dan 7. Setelah pH nya sesuai, larutan sampel di
dalam botol gelap tertutup di masukkan kedalam kotak tertutup dan disimpan pada
suhu 4oC dan sampel yang lain disimpan pada suhu ruang (±26 oC). Penyerapan
13

sinar sampel diukur setiap 2 hari selama 10 hari untuk penyimpanan suhu 4oC dan
untuk penyimpanan pada suhu ruang penyerapan sinarnya diukur setiap hari
selama 7 hari.

t = waktu; At = absorbans setelah perlakuan waktu t; Ao = absorbans sebelum


perlakuan (waktu 0) (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2004)
Analisis statistik
Data hasil pengujian dianalisis secara statistik dengan menghitung nilai rata-
rata dan standar deviasi dengan Microsoft Office Excel 2010. Semua data yang
diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata ± standar deviasi. Data dianalisis
sidik ragamnya (ANOVA), kemudian dihitung nilai bedanya dengan uji beda
Duncan pada taraf 5% (p<0.05) dengan menggunakan aplikasi SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Antosianin monomerik
Kandungan total antosianin monomerik ekstrak ubi jalar ungu Cilembu,
Banjaran dan Pakembangan berturut-turut adalah 3.78 ± 0.08; 3.18 ± 0.01; dan
2.25 ± 0.01 mg (CyE)/g (bk). Secara nyata total antosianin monomerik berbeda
(p<0.05) diantara daerah asal tanam. Antosianidin yang dominan di dalam ubi
jalar ungu adalah sianidin yang dominan memberikan warna biru, dan peonidin
yang dominan memberikan warna merah. Antosianin yang dominan pada ubi jalar
ungu varietas Ayamurasaki berupa peonidin-3-(6‖ caffeol)-sophorosida-5-
glukosida (Suda et al. 2003).
Kandungan total antosianin monomerik ini berbeda dengan penelitian yang
dilaporkan sebelumnya, yaitu berkisar 0-6.63 mg/g (bk) dari 335 genotip ubi jalar
(Truong et al. 2012), 1.88 mg sianidin-3-glukosida/g tepung ubi jalar
Ayamurasaki (Husnah 2010), dan 1.38 mg/g (bk) dalam ubi jalar ungu (Jiao et al.
2012). Perbedaan ini disebabkan perbedaan varietas, tempat dan lingkungan
tumbuh (Burdullis et al. 2007; Pedisic et al., 2010).
Jumlah antosianin monomerik ubi jalar ungu yang dibudidayakan di
Cilembu-Sumedang adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan jumlah
antosianin monomerik ubi jalar ungu yang dibudidayakan di Banjaran-Bandung
dan Pakembangan-Kuningan. Rata-rata suhu lingkungan di Cilembu-Sumedang
lebih rendah (28oC) dibandingkan suhu lingkungan di Banjaran-Bandung (29oC)
dan Pakembangan-Kuningan (31oC). Suhu lingkungan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi biosintesis antosianin disamping faktor intensitas
cahaya, curah hujan, dan kandungan hara tanah (Reyes et al. 2004, Pedisic et al.
2010, Kim et al. 2014).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah antosianin dan
total fenolat dari kentang yang ditanam pada suhu rendah dan harinya lebih
panjang adalah lebih tinggi 2.5 dan 1.4 kali dibandingkan dengan yang ditanam
pada suhu lebih tinggi (Reyes et al. 2004). Hal ini diperkuat oleh laporan Kim et
al. (2014) yang menunjukkan bahwa lingkungan yang dingin lebih cocok untuk
produksi antosinin dan isoflavon kedelai.
14

Menurut Brown et al. (2008) semakin tinggi dataran tempat tumbuh


semakin tinggi kandungan antosianinnya. Kumar et al. (2013) melaporkan iklim
dan tempat tumbuh mempengaruhi komponen bioaktif dan aktivitas antioksidan
dari tapak dara (Catharanthus roseus). Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Jansen
dan Flamme (2006) yang menunjukkan bahwa lokasi tempat tumbuh kentang
tidak berpengaruh terhadap kandungan antosianin kentang, tetapi antosianin lebih
dipengaruhi oleh faktor genotif

Warna ekstrak antosianin


Pola warna ekstrak antosianin ubi jalar ungu yang dibudidaya pada tiga
daerah yang berbeda yaitu Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung, dan
Pakembangan-Kuningan, pada pH 1-14 menunjukkan pola warna yang sama.
Warna ekstrak antosianin cenderung berubah seiring dengan kenaikan pH 1-14
dari warna merah, ungu, biru, hijau sampai kuning (Gambar 1).

Cilembu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Banjaran

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Pakembangan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gambar 1. Warna ekstrak antosianin pada pH 1-14

Ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH asam kuat 1-3 berwarna merah,
pada asam lemah pH 4-6 berwarna ungu, pH 7 berwarna biru, pada pH basa lemah
8-9 berwarna hijau, dan pada pH 10, 11, 12, 13 dan 14 berwarna kuning. Hasil
penelitian Cevallos – Casals dan Cisneros Zevallos (2004), menunjukkan warna
ekstrak antosianin ubi jalar merah pada pH 0.9 sampai pH 4 berwarna merah, pada
pH 5 sampai 7 berwarna ungu, pada pH 8 dan pH 9 berwarna biru, dan pada pH
10.7 dan 11.7 berwarna hijau. Warna ekstrak antosianin bunga teleng pada pH 1
dan pH 2 berwarna merah, pada pH 3 berwarna ungu, pada pH 4 sampai pH 9
berwarna biru, pada pH 10 sampai pH 12 berwarna hijau dan pada pH 13, dan pH
14 berwarna kuning (Nikijuluw 2013). Perbedaan pola warna ubi jalar ungu dan
bunga teleng, dikarenakan berbeda senyawa penyusunnya. Antosianin dominan
15

pada ubi jalar ungu adalah 3-sophorosida-5-glukosida turunan peonidin dan


sianidin (Montilla et al.2011) sedangkan senyawa antosianin dominan bunga
teleng adalah ternatin A1 (Terahara et al. 1990).
Pada dasarnya, perubahan warna ekstrak antosianin ubi jalar ungu seiring
dengan naiknya pH dikarenakan adanya perubahan struktur antosianin dari kation
flavilium menjadi pseudobasa hemiketal karbinol, kuinonoidal atau kalkon
(Brouillard 1982, Reyes dan Cisneros-Zevallos 2007, Marco et al. 2011).
Perubahan struktur antosianin akibat perubahan pH (Marco et al. 2011) yang
kemudian dijadikan rujukan untuk memperkirakan perubahan struktur antosianin
ubi jalar ungu peonidin-3-(6‖-kaffeol)-sophorosida-5-glukosida (Suda et al. 2003)
karena pengaruh pH ditunjukkan pada Gambar 2.

OCH3 OCH3 OCH3


-
OH OH O

B OH OH OH
HO O+ O O O O

A
OH OH OH
O O O
O - O - O
O OH O OH O
OH + OH O OH + OH
OH O H H OH O

OH O O OH O O OH O
O
OH HO OH HO OH
HO
O O HH O O - OHHO O
OHHO OH
O C af O C af O C af
pH 1-2 pH 6.5 - 8 pH > 8
+
K ation F laviliu m (A H ) O H +H 2 O K uin onoid al A nid robasa(A ) O H -
Ion K uinon oidal (A ) O H
+ - -H 2 O - OCH3 OCH3
H OH OCH3 OH
- - -
-H 2 O +H 2 O O H
+ OH O
OH
OH OH OH
OH OH HO O O O
HO O

OH
O OH
OH O
O O
O
O O O OH O-
O - OH
OH - OH OH OH O
OH O OH O
O O HO H O OH O
O OH O
HO HO O HO OH
HO OH
O Caf
OH O HH O O
OHHO O -
OH O C af
O C af OH
pH > 9 H
+
p H > 10
pH < 6
C is - K alkon (C c ) 2- O H
K arb inol (B ) OH OH D i Ion K uinonoidal (A )
OH

OH OCH3
-
OH O O
-
O O OH
-
O O
HO O OH
HO O OH O OH
O
OH
O O OCH3 O
-O
OH HO O C af
O OCH3 -
-O O- OH O OH
OH O
HO HO O C af -
O + O OH O
O H
HO OH
-O
O OHHO O
OH O C af
O
O OH
OH O -
OH
O - OH HO
OH
HO pH > 12
OH p H > 12 -
pH > 9 Ion C is-K alkon (C c )
-
T rans-K alkon (C t ) Ion T rans-K alkon (C t )

Gambar 2. Perkiraan perubahan struktur peonidin-3-(6’’-kaffeol)-sophorosida-5-


glukosida karena pH (Suda et al. 2003, Marco et al. 2011)
16

Marco et al. (2011) menyatakan bahwa pada pH 1-2 antosianin dominan


dalam bentuk kation flavilium yang berwarna merah, pada pH < 6 berubah
menjadi karbinol dan sebagian menjadi kuinonoidal yang berwarna biru, pada pH
6.5-9 dominan kuinonoidal yang berwarna biru, dan pada pH >9 antosianin
dominan dalam struktur kalkon yang berwarna kuning (Gambar 2). Warna ekstrak
antosianin pada pH 1-7 relatif memiliki warna yang berbeda yaitu merah, ungu
dan biru (Gambar 1). Warna ekstrak antosianin pada berbagai pH adalah sebagai
berikut: pH 1-2 (merah), pH 3 (merah memudar), pH 4 (merah keunguan), pH 5-6
(ungu), dan pH 7 (ungu biru). Menurut Brouillard (1982) antosianin berubah
warna dari merah, menjadi berkurang warnanya pada asam lemah. Pada pH
rendah antosianin berada dalam bentuk kation flavilium yang merupakan bentuk
paling stabil (pH 1-2). Pada pH 3 kation flavilium ada yang berubah menjadi
karbinol yang tidak berwarna sehingga muncul warna merah pudar. Pada pH>3
warna merah terang kation flavilium kemudian berubah bentuk menjadi basa
kuinonoidal yang berwarna biru atau menjadi karbinol pseudobase yang tidak
berwarna sejalan dengan naiknya pH sampai pH 7.

Spektra ekstrak antosianin


Spektrum penyerapan sinar dari ketiga esktrak antosianin menunjukkan pola
spektra yang sama yaitu memiliki empat puncak penyerapan sinar maksimum
pada empat panjang gelombang yang berbeda 220 nm, 290 nm, dan 322 nm pada
kisaran sinar ultraviolet dan 520 nm pada kisaran sinar tampak (Gambar 3).
Peneliti sebelumnya menemukan ekstrak antosianin bunga teleng memiliki 4
absorbansi maksimum yaitu pada panjang gelombang 264 nm, 287 nm, 574 nm
dan 519 nm (Marpaung, 2012). Jika dihubungkan dengan struktur antosianin pada
Gambar 2, penyerapan pada kisaran ultra violet 250-275 nm terkait dengan
penyerapan cincin A pada struktur antosianin. Penyerapan pada kisaran sinar
tampak 465-560 nm terkait dengan penyerapan cincin B dan C (Delgado-Vargas
et al. 2000).
Pakembangan Cilembu Banjaran
220 nm 290 nm
3
322 nm
2.5
Penyerapan Sinar

2
1.5 520 nm

1
0.5
0
200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700
Panjang gelombang (nm)

Gambar 3. Spektra ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1


17

Penyerapan sinar ekstrak ubi jalar ungu pada panjang gelombang 322 nm
adalah tiga kali lebih besar (300%) dari penyerapan sinar pada panjang gelombang
maksimum sinar tampak, menunjukkan adanya antosianin terasilasi. Peneliti
sebelumnya Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) menemukan
penyerapan sinar ekstrak ubi jalar merah pada panjang gelombang 330 nm adalah
tiga kali lebih besar (391%) dari penyerapan sinar pada panjang gelombang
maksimum sinar tampak, menunjukkan adanya antosianin terasilasi oleh gugus
asil asam aromatik.
Sebelumnya ditemukan ubi jalar merah banyak mengandung turunan dari
asilasi sianidin dan peonidin 3-glukosida (Truong et al. 2010). Jie et al. (2013)
menemukan bahwa komponen utama antosianin ubi jalar ungu kultivar Jihei No. 1
adalah 3-sophorosida-5-glukosida turunan dari sianidin dan peonidin yang
diasilasi dengan asam p-hidroksibenzoat, asam ferulat, atau asam kafeat.
Spektra ekstrak antosianin pada pH 1-7
Spektra ekstrak antosianin mengalami pergeseran (shifting) sejalan dengan
perubahan pH. Gambar 4 menunjukkan spektra ekstrak antosianin ubi jalar
Cilembu pada pH 1-7. Pada pH 1-3 antosianin memiliki puncak penyerapan sinar
maksimum pada kisaran panjang gelombang 520-525 nm. Dengan meningkatnya
pH hingga mencapai pH 3, pergeseran hipokromik (hypochromic shift) terjadi
dimana penyerapan maksimumnya menurun. Perubahan spektra ini adalah karena
perubahan struktur antosianin dari bentuk kation flavilium menjadi hemiketal atau
kuinonoidal (Brouillard 1982). Jika pH dinaikkan dari pH 4 ke pH 7 terjadi
pergeseran batokromik (bathocromic shift) dari kisaran panjang gelombang 520 -
525 (pH 3) ke panjang gelombang 535 nm (pH 4), 540 nm (pH 5), 582 nm (pH 6)
dan 590 nm (pH 7).

pH 1 pH 2 pH 3
2.5

pH 4 pH 5 pH 6
Penyerapan Sinar

pH 7
1.5

0.5

0
200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700
Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4. Spektra ekstrak antosianin ubi jalar ungu Cilembu pH 1-7


18

Spektra ekstrak antosianin pada pH 8-14


Pola spektra ekstrak antosianin pada pH 8-14 mempunyai pola yang relatif
berbeda dengan pH 1-7. Pada pH 8-9 penyerapan sinar terjadi pada panjang
gelombang antara 600-630 nm (Gambar 5). Pada Gambar 5 dapat dilihat, pada pH
8-11 antosianin memiliki puncak penyerapan sinar maksimum pada kisaran
panjang gelombang 350-400 nm. Semakin naik pH dari 8 sampai pH 11, terjadi
pergeseran hiperkromik (hyperchromic shift), yaitu penyerapan maksimumnya
meningkat. Begitu juga pada pH 12 sampai pH 14, terjadi pergeseran hipokromik
(hypochromic shift), yaitu penyerapan maksimumnya menurun. Perubahan spektra
terjadi karena perubahan struktur antosianin dari bentuk kuinonoidal menjadi
kalkon (Brouillard 1982). Jika pH dinaikkan dari pH 11-14 terjadi pergeseran
hipsokromik (hypsocromic shift) dari kisaran panjang gelombang 365 (pH 11) ke
panjang gelombang 355 (pH 12), 353 nm (pH 13), dan 350 nm (pH 14).

3
pH 8 pH 9 pH 10 pH 11

2.5
pH 12 pH 13 pH 14

2
Penyerapan Sinar

1.5

0.5

0
200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700
Panjang Gelombang (nm)

Gambar 5. Spektrum antosianin ubi jalar ungu Cilembu pH 8-14

Aktivitas antioksidasi ekstrak antosianin


Pengujian aktivitas antioksidasi ekstrak antosianin dilakukan terhadap
ekstrak ubi jalar ungu pada pH 1, 4.5 dan 7. Pengujian aktivitas antioksidasi
ekstrak antosianin dilakukan dengan metode penangkapan radikal bebas DPPH
dan analisa kekuatan mereduksi besi (III) sianida. Antioksidan sebagai standar
digunakan kuersetin dan asam askorbat, sehingga hasil penelitian ini dinyatakan
sebagai setara kuersetin dan setara asam askorbat.
Aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH ekstrak antosianin ubi jalar
ungu dari Cilembu, Banjaran, dan Pakembangan tidak berbeda nyata (p>0.05).
Gambar 6 menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH
ekstrak antosianin dipengaruhi oleh pH. Aktivitas penangkapan radikal bebas
19

DPPH ekstrak antosianin ubi jalar ungu tertinggi pada pH 1, diikuti oleh aktivitas
penangkapan radikal bebas DPPH pada pH 4.5 dan pH 7. Hasil ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang menemukan aktivitas antioksidan ekstrak lowbush
blueberry (Kalt et al. 2000), ekstrak bunga teleng (Marpaung 2012) lebih tinggi
pada pH 1 dan diikuti oleh pH 4.5 dan pH 7. Hasil penelitian ini berbeda dengan
yang dilaporkan oleh Ruenroengklin et al. (2008) yang menunjukkan bahwa
aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH ekstrak antosianin kulit litchi pada pH
3-5 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pH 1 dan 7.
Antosianin dari ubi jalar ungu mempunyai aktivitas penangkapan radikal
bebas DPPH mendekati kemampuan penangkapan radikal bebas dari asam
askorbat (Terahara et al. 2004, Jiao et al. 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan
konsentrasi ekstrak antosianin ubi jalar ungu dari Cilembu 7.35 ppm pada pH 1,
4.5, dan 7 memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH setara dengan
kuersetin secara berurutan 100.8 mg/L, 9.06 mg/L dan 7.32 mg/L. Konsentrasi
ekstrak antosianin ubi jalar ungu dari Banjaran 7.35 mg/L pada pH 1, 4.5, dan 7
memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH setara dengan kuersetin
secara berurutan 98.23 mg/L, 8.38 mg/L dan 7.09 mg/L. Konsentrasi ekstrak
antosianin ubi jalar ungu dari Pakembangan 7.35 mg/L pada pH 1, 4.5, dan 7
memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH setara dengan kuersetin
secara berurutan 94.21 mg/L, 10.09 mg/L dan 7.51 mg/L.

100.8a 98.23a 94.21a


100 92.41a 89.89a
Aktivitas penangkapan radikal bebas

86.1a
80

60

40 pH 1
20 9.06b 8.38b 10.09b b
6.463.33 7.36b pH 4.5
7.32c 7.51c c 5.87b c 3.37c
7.09c 3.3
0 pH 7
Cilembu

Cilembu
Pakembangan

Pakembangan
Banjaran

Banjaran

Setara Kuersetin (mg/L) Setara Asam Askorbat (mg/L)

Gambar 6. Aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH ekstrak antosianin


ubi jalar ungu (konsentrasi 7.35 mg/L). Notasi berbeda dalam kelompok
menunjukkan kedua nilai berbeda signifikan (P<0.05)

Pengujian kekuatan mereduksi dilakukan terhadap ekstrak ubi jalar ungu


pada pH 1, 4.5 dan 7. Sebagai standar kekuatan mereduksi digunakan kuersetin
dan asam askorbat, sehingga hasil penelitian ini dinyatakan sebagai setara
kuersetin dan setara asam askorbat. Kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi
jalar ungu dari Cilembu, Banjaran, dan Pakembangan tidak berbeda nyata
(p>0.05) (Gambar 7). Kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi jalar ungu
20

dipengaruhi oleh pH. Kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi jalar ungu
tertinggi pada pH 1, diikuti oleh kekuatan mereduksi pada pH 4.5 dan pH 7. Hasil
ini sejalan dengan temuan peneliti sebelumnya yang menemukan kekuatan
mereduksi antosianin ekstrak ubi jalar ungu (Jiao et al. 2012), dan antosianin kulit
leci (Duan et al. 2007) lebih besar dibandingkan kekuatan mereduksi asam
askorbat. Antosianin yang dominan pada pH 1 adalah kation flavilium, sehingga
lebih mudah mendonorkan elektron dibandingkan karbinol (pH 4.5) dan
kuinonoidal (pH 7).

120 110.57a 115.35a 114.15a


109.51a 109.37a 108.31a
Aktivitas kekuatan mereduksi

100

80

60
pH 1
40
pH 4.5
20 12.22b
10.2c
11.8b 11.86b 11.02b c 10.8b 10.66b pH 7
10.28c 9.75c 8.12 8.18c 8.55c

0
Cilembu

Cilembu
Pakembangan

Pakembangan
Banjaran

Banjaran

Setara kuersetin (mg/L) Setara asam askorbat (mg/L)

Gambar 7. Aktivitas kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi jalar ungu


(konsentrasi 7.35 mg/L). Notasi berbeda pada satu kelompok menunjukkan kedua
nilai berbeda signifikan (P<0.05)

Stabilitas Ekstrak Antosianin terhadap pH


Pengujian stabilitas ekstrak antosianin ubi jalar ungu dilakukan pada pH 1,
4.5 dan 7 selama disimpan 10 hari pada suhu 4oC dan 7 hari pada suhu ruang.
Pertimbangan pH 1, 4.5 dan 7 yang digunakan dalam uji stabilitas ini karena pH
tersebut merupakan titik kritis terjadinya perubahan struktur antosinin dari
flavilium, hemiketal/pseudobase, dan kuinonoidal (Lee et al. 2005). Konsentrasi
ekstrak antosianin yang digunakan untuk pengujian stabilitas terhadap pH adalah
7.35 mg/L. Pola warna ekstrak antosianin pada pH 1, 4.5 dan 7 untuk ekstrak
antosianin ubi jalar ungu dari Cilembu, Banjaran dan Pakembangan memiliki pola
warna yang sama yaitu merah pada pH 1, ungu pada pH 4.5 dan biru pada pH 7
(Gambar 8). Warna ekstrak antosianin ubi jalar ungu relatif lebih stabil disimpan
pada suhu rendah, dan pada pH 1 dari pada pH 4.5, dan 7 dan disimpan pada suhu
ruang.
21

Cilembu Banjaran Pakembangan

0 hari

1 4.5 7 4 1 4.5 7 41 4.5 7 4


.5
Cilembu Banjaran .5 Pakembangan
.5

10 hari disimpan 4oC

1 4.5 7 4 1 4.5 7 41 4.5 7 4


.5
Cilembu .5
Banjaran .5
Pakembangan
7 hari suhu ruang

1 4.5 7 1 4.5 7 1 4.5 7


Gambar 8. Warna ekstrak antosianin ubi jalar ungu selama penyimpanan 10 hari
pada suhu 4 oC dan 74 hari pada suhu4ruang 4
.5 .5 .5
Stabilitas warna antosianin dipengaruhi oleh pH yang dapat menyebabkan
reaksi protonasi atau reaksi hidrasi sehingga terjadi perubahan struktur antara
kation flavilium berwarna merah, kuinonoidal berwarna biru, karbinol pseudobase
yang tidak berwarna dan kalkon yang berwarna kuning (Mazza dan Brouillard
1987). Warna ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1 tetap merah selama
percobaan baik disimpan pada suhu ruang, maupun disimpan pada suhu dingin.
Warna ekstrak antosianin yang terlihat berubah banyak adalah pada pH 7, diawal
penelitian berwarna biru, dan diakhir penelitian berwarna hijau kekuningan baik
ekstrak antosianin yang disimpan pada suhu ruang maupun yang disimpan pada
suhu dingin. Karakteristik warna ini didukung oleh data kecepatan penurunan
retensi penyerapan sinar selama penyimpanan pada suhu 4 oC dan suhu ruang
(Gambar 9).

100
Retensi penyerapan sinar

95 pH 1 R
90
pH 1RF
pada λ max (%)

85
80 pH 4.5 R
75
70 pH 4.5 RF
65
60 pH 7 R
55 pH 7 RF
50
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)
Gambar 9. Kecepatan penurunan retensi penyerapan sinar pada λ maksimum
ektsrak antosianin ubi jalar ungu dari Cilembu selama penyimpanan, R (suhu
ruang, ± 26 oC), RF (suhu 4oC).
22

Kemiringan kurva relatif makin besar sejalan dengan naiknya pH, dan
relatif kemiringannya lebih besar pada penyimpanan selama 7 hari pada suhu
ruang dibandingkan dengan penyimpanan 10 hari pada suhu 4oC (Gambar 9).
Stabilitas ekstrak antosianin terhadap pH selama penyimpanan pada suhu 4oC
diukur berdasarkan penyerapan sinarnya setiap 2 hari sampai 10 hari dan setiap
hari pada suhu ruang selama 7 hari, dinyatakan sebagai % retensi warna (Gambar
9). Retensi warna menyatakan penurunan penyerapan sinar sampel yang diukur
pada panjang gelombang maksimum selama penyimpanan. Gambar 9 terlihat jelas
kecepatan penurunan retensi penyerapan sinar selama penyimpanan adalah pada
pH 7. Pada pH 7 yang dominan adalah kuinonoidal yang bersifat tidak stabil,
sehingga retensi warna semua sampel pada pH 7 adalah yang paling rendah.
Penurunan persen retensi warna antosianin pada pH 7 paling besar dibandingkan
pH 4.5 dan pH 1.
Pada pH 1 struktur antosianin yang dominan adalah kation flavilium, pada
pH 4.5 yang dominan hemiketal karbinol, dan kuinonoidal dan pada pH 7 yang
dominan adalah kuinonoidal (Lee et al. 2005). Hasil penelitian ini sejalan dengan
pendapat Cevallos-Casals dan Cisneros – Zevallos (2004) yang mengemukakan
bahwa retensi warna ekstrak antosianin ubi jalar merah pada pH 3 lebih rendah
dari pada pH 1. Hal ini dikarenakan rendahnya penyerapan sinar awal dari ekstrak
pada pH 3 yang menunjukkan rendahnya kandungan kation flavilium
dibandingkan pH 1.
Tingkatan pH dapat mempengaruhi stabilitas antosianin. Meningkatnya
pH 1-6 mempercepat degradasi antosianin, terutama sianidin-3,5-diglukosida
(Hou et al. 2013). pH lebih besar dari 3 menurunkan stabilitas antosianin.
Antosianin paling stabil pada pH 2, meningkatnya pH menurunkan stabilitas
warna (Cevallos-Casals dan Cisneros – Zevallos 2004). Torskangerpoll dan
Andersen (2005) melaporkan bahwa stabilitas warna antosianin sangat tergantung
pada pH dan struktur antosianin. Stabilitas antosianin meningkat dengan
meningkatnya jumlah metoksil pada cincin B dan menurun seiring dengan
meningkatnya hidroksil. Secara umum antosianin stabil pada pH asam (Escribano-
Bailón et al. 2004). Antosianin lebih tahan terhadap panas ketika antosianin
berada pada kondisi asam (Hou et al. 2013).

KESIMPULAN
Kandungan antosianin monomerik ubi jalar yang berasal dari Cilembu
Kabupaten Sumedang lebih tinggi dibandingkan dari Banjaran Kabupaten
Bandung dan Pakembangan Kabupaten Kuningan. Warna ekstrak antosianin ubi
jalar ungu berubah dari merah, merah pudar, ungu, biru, hijau dan kuning seiring
dengan kenaikan pH 1 hingga pH 14. Spektra warna ekstrak antosianin dari pH 1
sampai pH 3 mengalami penurunan konsentrasi (hypochromic shift), pada pH 4
sampai pH 7 mengalami bathocromic shift, pada pH 8 sampai pH 11 mengalami
hyperchromic shift, dan pada pH 12 sampai pH 14 mengalami hypsochromic shift.
Aktivitas antioksidasi ekstrak antosianin ubi jalar ungu lebih tinggi pada pH 1
dibandingkan pada pH 4.5 dan pH 7. Warna ekstrak antosianin ubi jalar ungu
lebih stabil disimpan pada suhu rendah dibandingkan disimpan pada suhu ruang
(± 26 oC). Ekstrak antosianin paling stabil pada pH 1 dibandingkan pH 4.5 dan pH
7. Jumlah antosianin monomerik dipengaruhi lokasi budidaya. Pola warna, spektra,
dan aktivitas antioksidan ekstrak antosianin ubi jalar ungu tidak dipengaruhi
23

lokasi budidaya ubi jalar. Pola warna, spektra, aktivitas antioksidasi dan stabilitas
ekstrak antosianin ubi jalar ungu dipengaruhi oleh pH.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada DIKTI dan Universitas Pendidikan Indonesia atas dana
penelitian Hibah Disertasi Doktor 2014.

DAFTAR PUSTAKA

Boo H, Hwang S, Baec C, Park S, Heod B, Gorinsteine S. 2012. Extraction and


characterization of some natural plant pigments. Ind Crop Prod 40:129 – 135.
DOI:10.1016/j.indcrop.2012.02.042.
Brouillard R. 1982. Chemical Structure of Anthocyanins. In P. Markakis (Ed.),
Anthocyanins as Food Colours. 26–28. Academic Press, New York.
Brown CR, Durst RW, Wrolstad R, De Jong W. 2008. Variability of phytonutrient
content of potato in relation to growing location and cookingmethod. Potato
Research 51: 259–270. DOI 10.1007/s11540-008-9115-0.
Burdulis D, Ivanauskas L, Dirsė V, Kazlauskas S, Ražukas A. 2007. Study of
diversity of anthocyanin composition in bilberry (Vaccinium myrtillus L.)
fruits. Medicina (Kaunas) 43(12): 971-977.
Burdulis D, Sarkinas A, Jasutiené I, Stackevicené E, Nikolajevas L, Janulis V.
2009. Comparative study of anthocyanin composition, antimicrobial and
antioxidant activity in bilberry (Vaccinium myrtillus L.) and blueberry
(Vaccinium corymbosum L.) fruits. Acta Pol Pharm 66: 399
Burgos G, Amoros W, Munoa, Sosa P, Cayhualla E, Sanchez C, Dı´az C,
Bonierbale M. 2013. Total phenolic, total anthocyanin and phenolic acid
concentrations and antioxidant activity of purple-fleshed potatoes as affected
by boiling. J Food Comp Anal 30 : 6–12. DOI: 10.1016/j.jfca.2012.12.001
Cevallos-Casals BA, Cisneros-Zevallos L. 2004. Stability of anthocyanin based
aqueous extracts of Andean purple corn and red-fleshed sweet potato
compared to synthetic and natural colorants. Food Chem 86: 69–77.
Chisté RC, Lopes AS, de Faria LJG. 2010. Thermal and light degradation kinetics
of anthocyanin extracts from mangosteen peel (Garcinia mangostana L.). Int
J Food Sci Tech 45: 1902–1908. DOI: 10.1111/j.1365-2621.2010.02351
Choi JH, Hwang YP, Choi CY, Chung YC, Jeong HG. 2010. Anti-fibrotic effects
of the anthocyanins isolated from the purple-fleshed sweet potato on hepatic
fibrosis induced by dimethylnitrosamine administration in rats. Food Chem
Toxicol 48: 3137–3143. DOI:10.1016/j.fct.2010.08.009.
Delgado-Vargas F, Jiménez AR, Paredes-López O. 2000. Natural Pigments:
Carotenoids, Anthocyanins, and Betalains — characteristics, biosynthesis,
processing, and stability. Crit Rev Food Sci 40(3):173–289. DOI:
10.1080/10408690091189257.
Duangmall K, Saicheua B, Sueeprasan S.2008. Colour evaluation of freeze-dried
roselle extract as a natural food colorant in a model system of a drink. LWT
(41): 1437–1445. DOI:10.1016/j.lwt.2007.08.014.
24

George NA, Pecota KV, Bowen BD, Schultheis JR, Yencho GC. 2011. Root piece
planting in sweetpotato – a synthesis of previous research and directions for
the future. Hort Tech 21: 703–711.
Green RC. 2007. Physicochemical properties and phenolic composition of
selected Saskatchewan fruits: buffaloberry, chokecherry and sea buckthorn
[Thesis]. Saskatchewan (Canada): University of Saskatchewan).
Huang CL, Liao WC, Chan CF, Lai YC. 2010. Optimization for extraction
anthocyanin from purple sweet potato roots using response surface
methodology. J Taiwan Agric Res 59(3) : 143-150.
Husnah S. 2010. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas varietas
Ayamurasaki) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar. [Skripsi].
Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian B. Bogor.
Jensen MB, Bergamo CA, Payet RM, Liu X, Konczak I. 2011. Influence of
copigment derived from Tasmannia pepper leaf on Davidson’s plum
anthocyanins. J Food Sci 76: C447–C453.
Jiao Y, Jiang Y, Zhai W dan Yang Z. 2012. Studies on antioxidant capacity of
anthocyanin extract from purple sweet potato (Ipomoea batatas L.). Afr J
Biotechnol 11(27): 7046-7054. DOI: 10.5897/AJB11.3859.
Jie L, Xiao-ding L, Yun Z, Zheng-dong Z, Zhi-ya O, Meng L, Shao-hua Z, Shuo
L, Meng W, Lu O. 2013. Identification and thermal stability of purple-fleshed
sweet potato anthocyanins in aqueous solutions with various pH values and
fruit juices. Food Chem 136: 1429–1434. DOI:
10.1016/j.foodchem.2012.09.054.
Kano M, Takayanagi T, Harada K, Makino K, Ishikawa F. 2005. Antioxidative
activity of anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea batatas cultivar
Ayamurasaki. Biosci Biotechnol Biochem 69: 979-988.
Kim EH, Lee OK, Kim JK, Kim SL, Lee J, Kim SH, Chung IM. 2014.
Isoflavones and anthocyanins analysis in soybean (Glycine max (L.) Merill)
from three different planting locations in Korea. Field Crops Res 156: 76–83.
DOI: 10.1016/j.fcr.2013.10.020.
Lee J, Durst W, Wrolstad RE. 2005. Determination of total monomeric
anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and
wines by the pH differential method: Collaborative study. J AOAC Int 88:
1269–1278.
Lim S. 2012. Anthocyanin-enriched Purple Sweet Potato for Colon Cancer
Prevention [Disertasi]. Kansas: Department of Human Nutrition, Kansas State
University Manhattan.
Março PH, Poppi RJ, Scarminio IS, Tauler R. 2011. Investigation of the pH effect
and UV radiation on kinetic degradation of anthocyanin mixtures extracted
from Hibiscus acetosella. Food Chem 125: 1020–1027. DOI:
10.1016/j.foodchem.2010.10.005.
Marpaung AM. 2012. Optimasi Proses Ekstraksi Antosianin Pada Bunga Teleng
(Clitoria ternatea L.) dengan Metode Permukaan Tanggap [Tesis]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nikijuluw C. 2013. Color Characteristic of Butterfly Pea (Clitoria ternatea L.)
Anthocyanin Extracts and Briliant Blue [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
25

Pedisic S, Dragovi-Uzelac V, Levaj B, Skevin D. 2010. Effect of Maturity and


Geographical Region on Anthocyanin Content of Sour Cherries (Prunus
cerasus var. marasca). Food Technol Biotechnol 48 (1): 86–93.
Reyes LF, Miller JC, Cisneros-Zevallos L. 2004. Environmental conditions
influence the content and yield of anthocyanins and total phenolics in purple-
and red-flesh potatoes during tuber development. Am J Potato Res 81: 187–
193.
Reyes LF, Cisneros-Zevallos L. 2007. Degradation kinetics and colour of
anthocyanins in aqueous extracts of purple and red-flesh potatoes (Solanum
tuberosum L.). Food Chem 100: 885–894.
DOI:10.1016/j.foodchem.2005.11.002.
Ruenroengklin N, Zhong J, Duan J, Yang B, Li J, Jiang Y. 2008. Effects of
various temperatures and pH values on the extraction yield of phenolics from
litchi fruit pericarp tissue and the antioxidant activity of the extracted
anthocyanins. Int J Mol Sci 9: 1333-1341. DOI: 10.3390/ijms9071333.
Sancho RAS, Pastore GM. 2012. Evaluation of the effects of anthocyanins in type
2 diabetes. Food Res Int 46: 378–386. DOI: 10.1016/j.foodres.2011.11.021.
Sari P, Wijaya CH, Sajuthi D, Supratman U. 2012. Colour properties, stability,
and free radical scavenging activity of jambolan (Syzygium cumini) fruit
anthocyanins in a beverage model system: Natural and copigmented
anthocyanins. Food Chem 132: 1908–1914.
DOI:10.1016/j.foodchem.2011.12.025.
Suda I, Oki T, Masuda M, Kobayashi M, Nishiba Y, Furuta S. 2003.
Physiological functionality of purple-fleshed sweet potatoes containing
anthocyanins and their utilization in foods. Review. JARQ 37 (3): 167 – 173.
Takahata Y, Kai Y, Tanaka M, Nakayama H, Yoshinaga M. 2011. Enlargement of
the variances in amount and composition of anthocyanin pigments in
sweetpotato storage roots and their effect on the differences in DPPH radical-
scavenging activity. Sci Hortic-Amsterdam 127: 469–474.
doi:10.1016/j.scienta.2010.10.010.
Terahara N, Saito N, Honda T, Toki K, Osajima Y. 1990. Structure of ternatin A1,
the largest ternatin in the major blue anthocyanins from Clitoria ternatea
flowers. Tetrahedron Lett. 31 (20): 2921-2924. DOI: 10.1016/0040-
4039(90)80185-O.
Terahara N, Konczak I, Ono H, Yoshimoto M, Yamakawa O. 2004.
Characterization of acylated anthocyanins in callus induced from storage root
of purple-fleshed sweet potato, Ipomoea batatas L. J Biomed Biotechnol
2004: 279-286.
Torskangerpoll K, Andersen OM. 2005. Colour stability of anthocyanins in
queous solutions at various pH values. Food Chem 89(3): 427–440.
DOI:10.1016/j.foodchem.2004.03.002.
Truong VD, Deighton N, Thompson RT, McFeeters RF, Dean LO, Pecota KV,
Yencho GC. 2010. Characterization of anthocyanins and anthocyanidins in
purple-fleshed sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESI-MS/MS. J Agr Food Chem
58: 404–410. Doi:10.1021/jf902799.
Truong VD. Hua Z, Thompson RL, Yencho GC, Pecota KV. 2012. Pressurized
liquid extraction and quantification of anthocyanins in purple-fleshed sweet
26

potato genotypes. J Food Compos Anal 26: 96–103. DOI:


10.1016/j.jfca.2012.03.006.
Wiczkowski W, Szawara-Nowak D, Topolska J. 2013. Red cabbage anthocyanins:
Profile, isolation, identification, and antioxidant activity. Food Res Int. 51:
303–309. DOI: 10.1016/j.foodres.2012.12.015.
27

3 SENSORY PROFILE OF BAKED PURPLE SWEET POTATO


CULTIVATED FROM THREE DIFFERENT LOCATIONS2

ABSTRACT
This study was aimed to observe the sensory profile of baked purple sweet potato
cultivated in three different locations. Quantitative Descriptive Analysis (QDA)
was used to describe the key sensory attributes of the baked purple sweet potato.
Harvested purple sweet potato were stored at room temperature for seven and 30
days before baking. Fifteen sensory descriptors generated in the brainstorming
session include purple, sweet, floury, caramel taste, after taste, bitter, sweet potato
flavor, off flavor, caramel flavor, baked flavor, sticky, grainy, fibrous, moist, and
soft. The results of this study indicated that the differences in purple sweet potato
cultivation location affected the purple color, sweetness and stickiness of the
baked purple sweet potato. Storage time affected the purple color, sweetness, and
bitterness as well as the texture of the baked purple sweet potato. Principal
component analysis (PCA) explained two principal components (PC1 and PC2),
with diversity of 79.10% on sensory attributes. The main component PC1
explained 55.53% variation on sensory attributes associated with the sweetness,
floury, caramel taste, bitterness, after taste, sweet potato flavor, off flavor, caramel
flavor, baked flavor, and grainy. While PC2 explained 23.57% variation on
sensory attribute associated with the purple color, stickiness, moistness, softness
and fibrous.

PRACTICAL APLICATIONS
Purple sweet potato (PSP) is an important food crop for nutrient and anthocyanin
content which are beneficial for health. PSP contains acylated anthocyanin which
is essential to reduce the risk of colon cancer, and acts as anti-diabetic and
antioxidant. People usually prefer to eat fresh PSP or after being stored and
cooked. PSP is commonly baked, steamed, or boiled before consumption. The
cultivation locations of PSP may affect the anthocyanin content. Changes in
sensory properties during storage resulted in different sensory characteristics
either desirable or undesirable. The results of this study provide information on
the effect of cultivation location and storage time on the sensory profile of baked
purple sweet potato.
Keywords: sensory profile, purple sweet potato, Quantitative Descriptive Analysis

INTRODUCTION
Sweet potato (Ipomoea batatas L) is an important crop beside rice, wheat,
potatoes, corn and cassava. Sweet potato is easy to cultivate, it can grow on
various soil types including marginal land. The plant is drought resistant. It
requires low chemical fertilizers and has high productivity with a relatively short
growing season of three to six months (George et al. 2011). Based on the tuber
flesh color, there are four types of sweet potatoes, as follows: cream, yellow,
2
Artikel ini sudah didaftarkan untuk dipublikasi pada Journal of Sensory Studies
28

orange and purple sweet potatoes. Purple sweet potato is rich in anthocyanin
which give its attractive colors. Sweet potato cultivation widely spreads in West
Java, Indonesia, such as in Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung, and
Pakembangan-Kuningan. These three locations different in geographical and
climatic characteristics. Cilembu village in Sumedang is located at 600 m above
sea level with temperature average of 28 ° C (Ismet 2014). The village of
Banjaran in Bandung is located at 650-700 m above sea level with average
temperature of 29 oC. The altitude Pakembangan village in Kuningan is 400 m
above sea level with temperature average of 31 °C (Anonymous 2014). Several
researchers previously reported that the geographical location and ambient
temperature affect the growth and total anthocyanin content of potato (Reyes et al.
2004; Brown et al. 2008), bilberry (Burdullis et al. 2007), cherry (Pedisic et al.
2010) , and soybean (Kim et al. 2014).
Sweet potato is usually stored before consumption or processed. Changes
in sensory properties during storage are very important, and these changes may be
desirable or undesirable (van Oirschot et al. 2003). Changes in texture and
moistness during storage is considered desirable in the United States (Hamann et
al. 1980). Previous research conducted on sweet potato includes: the relationship
between carotenoids and sensory (Tomlins et al. 2012), a decrease in β-carotene
during storage of sweet potato (Bridgers et al. 2010), biochemical changes during
storage (Zhang et al. 2002), the characteristics sensory of five sweet potato
cultivars during storage (van Oirschot et al. 2003), and sensory attributes and
consumer acceptance of sweet potato (Leksrisompong et al. 2012). No studies
have been done on the effect of cultivations location on the sensory profile of
baked purple sweet potato.
Quantitative Descriptive Analysis (QDA) is a type of sensory evaluation
that help to explain the key sensory attributes of the sample being evaluated. Key
sensory attributes are usually generated in a brainstorming session, followed by a
discussion among panelists. The specific objective of this study is to develop
suitable vocabulary to characterize the sensory properties of baked PSP, and use
the resulting attributes to develop the sensory profile. PSP of Ayamurasaki
varieties were obtained from farmers in Cilembu village in Sumedang, Banjaran
village in Bandung and Pakembangan village in Kuningan. Principal component
analysis was used to simplify the characterization of the main sensory attributes of
baked PSP.

MATERIALS AND METHODS


Purple Sweet Potatoes
Purple sweet potato (Ipomoea batatas L. Varieties Ayamurasaki) was
harvested from three different locations: Cilembu-Sumedang (CS), Banjaran-
Bandung (BB) and Pakembangan-Kuningan (BK) of West Java, Indonesia. Good
PSPs were selected for research purposes.

Storage
Harvested PSPs were stored for seven days (identified as CS7, BB7, BK7)
and 30 days (identified as CS30, BB30, BK30) before being baked. Storage was
done at room temperature with air circulation, enough light and relative humidity
of about 80%.
29

Baking Preparation
As many as 150-200 g PSP was randomly selected from the storage pile,
washed, dried and then baked at 200 °C for about 90 minutes. Sweet potato was
baked, peeled, and cut into pieces with the thickness of 3 cm. Pieces of baked PSP
were presented on a small round white plate to the panelists within 45 minutes
after baking at a room temperature. Each plate was marked with three digit
random numbers.
Quantitative Descriptive Analysis (QDA)
QDA was conducted to develop the sensory profile of baked PSP. The QDA
panelist were selected, trained, and introduced to baked PSP. QDA panel selection
was done in three stages: pre-screening, the test of ability to distinguish, and the
personal interview. As many as 73 prospective panelists consisted of 53 students
and 20 employees at the Department of Food Science and Technology were pre-
screened (Regiyana 2011). Selected panelists were tested for aquity based on
description and detection test. Based on personal interview as many as 12
panelists were selected to participate in the training phase. Finally six panelists
were appointed as QDA panel for this study which consisted of two men and four
women, ranging from 25-40 years of age.
All QDA panelists were introduced to baked PSP and requested to build
vocabulary of their sensory profile. In principle, the QDA panelists were able to
determine purple color, taste, flavor, and texture. Intensity ratings were conducted
using an unstructured line scale with a length of 15 cm, in four replications and
replicates performed on different days. A forty gram baked PSP samples were
served on white paper plate and labeled with random three digit code then tested
by panelists. Three samples were served per session with mineral water given
between sessions. The tests were performed in the QDA laboratory at room
temperature with enough air circulation and ventilation.

Data Analysis
All data were analyzed statistically, and microsoft office excel 2010 used
for processing statistical data, including spider webs of QDA results. SPSS 16 was
selected for testing differences between the respective average measured
parameters. Principal component analysis (PCA) was performed using XLSTAT
2014 Addinsoft.

RESULTS AND DISCUSSIONS


Generation of Descriptors
In four brainstorming sessions done by six panelists, 15 descriptors were
generated to describe the sensory attributes of baked (PSP). The descriptors are as
follows: purple, sweet, floury, caramel taste, after taste, bitter, sweet potato flavor,
off flavor, caramel flavor, baked flavor, sticky, grainy, fibrous, moist, and soft.
Purple is used to describe the color of sweet potato flesh. Sweet describes the
sweetness of sugar or sucrose. Floury describes the taste which is starchy-like
flour. Caramel taste describes the taste of caramel which is burnt sugar like taste.
After taste describes bitter in pole tongue. Bitter describes the bitterness of the
food tasted. Sweet potato flavor describes the distinctive flavor of baked sweet
30

potato. Off flavor describes the bad smell such as that caused by beetle Cylas
formycarius Fab. Baked flavor describes the flavor of burning baked product.
Sticky describes a smooth texture, and soft. Grainy describes the texture baked
sweet potato when pressed on finger or sand like taste. Fibrous describes fiber like
taste. Moist describes the texture of wet watery. Soft describe a soft texture.
Descriptors chosen by panelist for this study are basically derived from the
sensory attributes selected and agreed upon by all the panelists with the help of
panel leader. All descriptors generated associated with color, taste, flavor, and
texture attributes.

Sensory Profile of Baked PSP Cultivated from Different Locations


Sensory profile of baked PSP cultivated from different locations; which
are Cilembu village in Sumedang, Banjaran village in Bandung and Pakembangan
village in Kuningan, are presented in Fig. 1 and Table 1. Fig. 1 shows the sensory
attributes that dominant in baked PSP from Cilembu - Sumedang are associated
with purple color, sweet, sweet potato flavor and sticky. Prominent sensory
attributes of baked PSP from Banjaran - Bandung are associated with purple color,
sweet, sweet potato flavor, moist and soft. Prominent sensory attributes of baked
PSP from Pakembangan - Kuningan are associated with purple color, floury and
grainy.
Furthermore, based on data in Fig 1, we are able to characterize specific
sensory of baked PSP according to 14 descriptors, excluding purple color,
generated by QDA panelist. Specific sensory of baked PSP from Cilembu-
Sumedang can be characterized by sweet, caramel taste, sweet potato flavor,
caramel flavor, baked flavor, and sticky. While specific sensory of baked PSP
from Banjaran-Bandung can be characterized by moist and soft. Specific sensory
of baked PSP from Pakembangan-Kuningan can be characterized by floury, and
grainy fibrous.
Purple
Soft14.00 Sweet
12.00
Moist 10.00 Floury
8.00
6.00
Fibrous 4.00 Caramel taste
2.00
0.00
Grainy After taste

Sticky Bitter

Baked flavor Sweet potato flavor


Caramel flavor Off flavor

CS BB PK

FIG. 1. SENSORY PROFILE OF PSP CULTIVATED FROM THREE


DIFFERENT LOCATIONS: CILEMBU - SUMEDANG (CS), BANJARAN -
BANDUNG (BB), AND PAKEMBANGAN - KUNINGAN (PK).
31

Based on ANOVA test, there is no significant difference (P>0.05) in


purple color of PSP from Cilembu-Sumedang and PSP from Banjaran-Bandung,
as well as PSP from Banjaran-Bandung and PSP from Pakembangan-Kuningan
(Table 1). However, according to sensory data PSP from Cilembu-Sumedang has
the greatest purple color followed by PSP from Banjaran-Bandung and PSP from
Pakembangan-Kuningan.

TABLE 1. SENSORY PROFILE OF BAKED PSP*


Cultivation Location
Sensory Attribute
Cilembu-Sumedang Banjaran-Bandung Pakembangan-Kuningan
Purple 12.62±0.49a 12.11±0.76 ab 11.9±1.51b
Sweet 10.98±0.93a 8.7±0.85b 6.68±0.90c
Floury 2.23±0.31b 2.07±0.28b 5.55±0.69a
Caramel taste 2.01±0.25a 1.89±0.24a 1.15±0.14b
After taste 0.61±0.02b 0.33 ±0.14c 0.77±0.20a
Bitter 0.19±0.19c 0.31±0.17b 1.02±0.23a
Sweet potato flavor 10.69±0.89a 10.17±0.94b 7.72±0.85c
Off flavor 0.36±0.05c 1.63±0.24b 3.76±0.54a
Caramel flavor 1.89±0.23a 1.35±0.17b 1.07±0.13c
Baked flavor 3.27±0.36a 2.76±0.25b 2.52±0.35c
Sticky 10.80±1.32a 9.25±0.95b 6.58±1.28c
Grainy 1.16±0.16c 1.34±0.17b 2.22±0.27a
Fibrous 1.14±0.17c 1.60±0.24b 1.90±0.14a
Moist 2.69±0.37b 7.62±0.79a 2.05±0.26c
Soft 2.66±0.32b 7.88±0.82a 2.30±0.23c
*PSP stored seven days after harvest before baking
Note : a, b, and c shows significant difference (P>0.05) at the same row

In general the result show that baked purple sweet potato harvested from
Cilembu-Sumedang specifically has richer sensory attributes than those harvested
from Banjaran-Bandung and Pakembangan-Kuningan. It seems harvest location
including its soil and climate characteristics influences the sensory profiles of
baked purple sweet potato.
Correlations between sensory attributes were analyzed as shown in Table 2.
Pairs of sensory attributes that show high correlation are as follows: moist and
soft (0.990), off flavor and after taste (0.974), off flavor and bitter (0.935), sweet
potato flavor and caramel taste (0.907), caramel flavor and baked flavor (0.887),
and sweet potato flavor and floury (0.884).
29

32
TABEL 2. CORRELATIONS BETWEEN SENSORY ATTRIBUTES OF BAKED PURPLE SWEET POTATO*.

A Sweet
Carame fter potato Off Carame Baked
Variables Purple Sweet Floury l taste taste Bitter flavor flavor l flavor flavor Sticky Grainy Fibrous Moist Soft
- 0 - 0
Purple 1 0.255 -0.773 0.562 0.689 -0.915 0.841 0.771 0.343 0.006 0.470 -0.519 -0.511 -0.013 -0.074
- 0 - 0
Sweet 1 -0.640 0.502 0.525 -0.377 0.507 0.468 0.233 0.400 0.741 -0.748 0.118 0.044 -0.096
0 0 0 -
Floury 1 -0.620 .868 -0.844 0.899 0.811 -0.185 0.134 -0.418 0.689 -0.054 -0.400 -0.291
- 0 - 0
Caramel taste 1 0.899 -0.762 0.907 0.941 0.874 0.817 0.295 -0.949 0.069 0.382 0.299
- 0 -
After taste 1 0.915 0.950 0.974 -0.585 0.546 -0.216 0.866 -0.192 -0.581 -0.490
- 0 -
Bitter 1 0.956 0.935 -0.454 0.251 -0.309 0.708 0.138 -0.358 -0.281
- 0
Sweet potato flavor 1 0.989 0.663 0.500 0.412 -0.874 -0.121 0.313 0.221
-
Off flavor 1 -0.703 0.577 -0.298 0.883 0.003 -0.425 -0.340
0
Caramel flavor 1 0.887 0.224 -0.769 -0.119 0.100 0.060
Baked flavor 1 0.111 -0.780 0.288 0.318 0.264
Sticky 1 -0.513 -0.572 -0.578 -0.687
Grainy 1 -0.073 -0.280 -0.165
Fibrous 1 0.836 0.831
Moist 1 0.990
Soft 1

*
Data were collected during sensory evaluation of baked PSP from three different cultivated locations, storage for 7 and 30 days
33

Sensory Attribute Changes as Affected by Raw Material Storage


Storing of harvested purple sweet potato seven and 30 days before baking
affected the sensory profile of the baked products as shown in Fig. 2. In general,
longer storage time slightly reduces the purple color, sweet potato flavor, and
stickiness. In the other way, the sweetness, after taste, bitterness, and off flavor
increases. Baked purple sweet potato from Cilembu-Sumedang is more moist and
softer in longer storage compared to those from Banjaran–Bandung and
Pakembangan-Kuningan.

Purple Purple
15.00 Soft 15.00 Sweet
Soft Sweet
Moist Floury Moist 10.00 Floury
10.00

Fibrous 5.00 Caramel taste Fibrous 5.00 Caramel taste

0.00 0.00
Grainy After taste Grainy After taste

Sticky Bitter Sticky Bitter


Sweet potato Sweet potato
Baked flavor Baked flavor
Caramel flavor flavor
Off flavor Caramel flavor Off flavor
flavor

CS7 CS30 BB7 BB30


Purple
Soft 12.00 Sweet
10.00
Moist 8.00 Floury
6.00
Fibrous 4.00 Caramel taste
2.00
0.00
Grainy After taste

Sticky Bitter

Baked flavor Sweet potato flavor


Caramel flavor Off flavor
PK7 PK30

FIG. 2. SENSORY PROFILE OF BAKED PURPLE SWEET POTATO AS


AFFECTED BY RAW MATERIAL STORAGE FOR SEVEN AND 30 DAYS.
CS (CULTIVATED IN CILEMBU-SUMEDANG), BB (BANJARAN-
BANDUNG), PAKEMBANGAN-KUNINGAN (PK). STORAGE TIME IN
DAYS IS INDICATED BY NUMBER 7 AND 30.
34

Results of Principal Component Analysis (PCA)


PCA was used to describe a variety of data in much simpler presentation
as group of data (Setyaningsih et al. 2010). In Fig. 3 the first two principal
components explain 79.10% variation in the data; where, the first component
(PC1) explains 55.53% of the variation (eigenvalue 8.24) and second component
(PC2) explains 23.57% variation (eigenvalue 3.53). Eigen value is a number that
describes the main components diversity (F). The relationship between sensory
attributes and the main components can be seen by the location of the sensory
attributes. Fig. 3 also indicates that characteristics of baked PSP from Cilembu-
Sumedang (CS) based on sensory attributes were : sticky, purple, sweet, sweet
potato flavor, caramel flavor, and caramel taste. For baked PSP from Banjaran-
Bandung (BB) sensory atribute were dominated by caramel flavor, caramel taste,
baked flavor, moist, soft, and fibrous; while sensory atribute of baked PSP from
Pakembangan-Kuningan (PK) were dominated by floury, and grainy. This
information is some what similar to that explained in Table 1.
Fig. 3 showed the combined F1 and F2 biplot results of principal
component analysis of sensory attributes. Biplot is a combination of loading plots
and score plots. Sensory attributes which can be explained by the principal
components PC1 (F1) 55.53% were the sweet potato flavor, caramel flavor,
caramel taste, baked flavor, sweet, bitter, off flavor, after taste, grainy, and floury.
Sensory attributes which can be explained by the principal component PC2 (F2)
23.30% were sticky, purple, moist, soft and fibrous.
2
Biplot (axes F1 and F2: 79,10 %)

1.5
BB7

1 BB30

Soft Fibrous
0.5 Moist
F2 (23,57 %)

Baked flavor Bitter


Caramel taste Grainy
0 Caramel Flavor Floury
Sweet potato flavor Off Flavor
Sweet CS30 After taste
Purple
-0.5
Sticky PK30

-1
PK7

-1.5
CS7

-2
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
F1 (55,53 %)

FIG. 3. RELATIONSHIP AMONG SENSORY ATTRIBUTES OF BAKED


PURPLE SWEET POTATO FROM DIFFERENT CULTIVATION
LOCATIONS. STORAGE TIME IN DAYS IS INDICATED BY NUMBER 7
AND 30
35

DISCUSSION
Previous researchers found that during storage, brown spots causes a bitter
taste (Miyazaki and Ino, 1991), after taste (Ravi and Aked, 1996) was more
pronounced as after cooked. According to Zhang et al. (2002) sweet potato starch
content decreased during storage of 0-180 days, alpha-amylase activity increased
during the first 2 months of storage. The decrease in starch content associated
with α-amylase activity during the first 60 days of storage (r = 0.80, P = 0.06).
Glucose and sucrose concentration increased at the beginning of storage and then
remained constant after 5 weeks of storage. According to van Oirschot et al.
(2003) storage affects the sweetness of sweet potato and chesnut but does not
affect the texture. The content of anthocyanin PSP decreases with storage time.
(Grace et al. 2014).
PSP Cilembu-Sumedang grows in colder local environment than PSP in
Banjaran-Bandung and Pakembangan-Kuningan, West Java Indonesia. According
to previous research, potato anthocyanin was affected by variety and soil-climatic
condition (Hejtmankova et al. 2013; Ieri et al. 2011). Low temperature and high
light intensity induce anthocyanin synthesis (Ieri et al. 20011). Sensory
differences between cultivars of sweet potato are mainly determined by the texture
component (van Oirschot et al. 2003).

CONCLUSION
This study used QDA to describe the key attributes of the sensory baked
PSP. As many as fifteen descriptors were generated to describe the sensory
attributes of baked sweet potato : purple, sweet, floury, caramel taste, after taste,
bitter, sweet potato flavor, off flavor, caramel flavor, baked flavor, sticky, grainy,
fibrous, moist, and soft. The differences in PSP cultivation location affected the
purple color, sweetness, and stickiness of the baked PSP. Storage time affects the
purple color, sweetness, and bitterness as well as the texture of the baked PSP.

Acknowledgements
The authors would like to thank the Directorate General of Higher Education,
Ministry of Education and Culture, Republic of Indonesia, for funding this
research through doctoral dissertation research grant 2014.

REFERENCES

BRIDGERS, E.N., CHINN, M.S. and TRUONG, V.D. 2010. Extraction of


anthocyanins from industrial purple-fleshed sweet potatoes and enzymatic
hydrolysis of residues for fermentable sugars. Ind. Crop. Prod. 32, 613–620.
BROWN, C.R., DURST, R.W., WROLSTAD, R. and DE JONG, W. 2008.
Variability of phytonutrient content of potato in relation to growing location
and cooking method. Potato Res. 51, 259–270. DOI 10.1007/s11540-008-
9115-0.
36

BURDULIS, D., IVANAUSKAS, L., DIRSĖ, V., KAZLAUSKAS, S., and


RAŽUKAS A. 2007. Study of diversity of anthocyanin composition in bilberry
(Vaccinium myrtillus L.) fruits. Medicine (Kaunas). 43, 971-977.
GEORGE, N.A., PECOTA, K.V., BOWEN, B.D., SCHULTHEIS, J.R., AND
YENCHO, G.C. 2011. Root piece planting in sweetpotato – a synthesis of
previous research and directions for the future. Hort. Tech. 21, 703–711.
GRACE, M.H., YOUSEF, G.G., GUSTAFSON, S.J. TRUONG, V.D. YENCHO,
G.C. and LILA, M.A. 2014. Phytochemical changes in phenolics, anthocyanins,
ascorbic acid, and carotenoids associated with sweet potato storage and
impacts on bioactive properties. Food Chem. 145, 717–724.
HAMANN, D. D., MILLER, N. C., and PURCELL, A. E. 1980. Effects of curing
on the flavor and texture of baked potatoes. J. Food Sci. 45, 992–994.
HEJTMANKOVA, K., KOTIKOVA, Z., HAMOUZ, K., PIVEC, V., VACEK, J.,
and LACHMAN, J. 2013. Influence of flesh colour, year and growing area on
carotenoid and anthocyanin content in potato tubers. J. Food Comp. Anal. 32,
20–27.
KIM, E.H., LEE, O.K., KIM, J.K., KIM, S.L., LEE, J., KIM, S.H. and CHUNG
I.M. 2014. Isoflavones and anthocyanins analysis in soybean (Glycine max (L.)
Merill) from three different planting locations in Korea. Field Crop. Res. 156,
76–83.
LEKSRISOMPONG, P.P., WHITSON, M.E., TRUONG, V.D., and DRAKE1,
M.A. 2012. Sensory attributes and consumer acceptance of sweet potato
cultivars with varying flesh colors. J. Sensory Studies. 27, 59–69.
IERI, F., INNOCENTI, M., ANDRENELLI, L., VECCHIO, V., and
MULINACCI, N., 2011. Rapid HPLC/DAD/MS method to determine phenolic
acids, glycoalkaloids and anthocyanins in pigmented potatoes (Solanum
tuberosum L.) and correlations with variety and geographical origin. Food
Chem. 125, 750–759.
MIYAZAKI, T., and INO, M. 1991. Effects of root quality and storage conditions
on internal brown spot symptoms in stored sweet potatoes. Bulletin of the
Chiba Prefectural Agricultural Experiment Station. 32, 65–72.
PEDISIC, S., DRAGOVI-UZELAC, V., LEVAJ, B., and SKEVIN, D. 2010.
Effect of Maturity and Geographical Region on Anthocyanin Content of Sour
Cherries (Prunus cerasus var. marasca). Food Technol. Biotechnol. 48, 86–93.
RAVI, V., and AKED, J. 1996. Review on tropical root and tuber crops. II.
Physiological disorders in freshly stored roots and tubers. Critical reviews in
Food Science and Nutrition. 36, 711–731.
REGIYANA, Y. 2011. Sensory Profile Relationship with Physicochemical
Properties Indonesian Sweet Soy Products. [Thesis]. Bogor : Graduate School
of Bogor Agricultural University.
REYES, L.F., MILLER, J.C., and CISNEROS-ZEVALLOS, L. 2004.
Environmental conditions influence the content and yield of anthocyanins and
total phenolics in purple- and red-flesh potatoes during tuber development. Am.
J. Potato Res. 81, 187–193.
SETYANINGSIH, D., APRIYANTONO, A., and SARI, M.P. 2010. Sensory
Analysis for Food and Agro Industries. IPB Pres. Bogor-Indonesia.
37

TOMLINS, K., OWORI, C., BECHOFF, A., MENYA G, WESTBY A. 2012.


Relationship among the carotenoid content, dry matter content and sensory
attributes of sweet potato. Food Chem. 131, 14–21.
VAN OIRSCHOT, Q.E.A., RESS, D. dan AKED, J. 2003. Sensory characteristics
of five sweet potato cultivars and their changes during storage under tropical
conditions. Food Qual. Prefer. 14, 673–680.
ZHANG, Z., WHEATLEY, C.C., and CORKE, H. 2002. Biochemical changes
during storage of sweet potato roots differing in dry matter content. Postharvest
Biol. Tec. 24, 317–325.
38

4 PENGARUH PENGOLAHAN PANAS TERHADAP


KONSENTRASI ANTOSIANIN MONOMERIK UBI JALAR
UNGU (Ipomoea batatas L)3

ABSTRAK

Antosianin merupakan salah satu kelompok zat warna alami yang terdapat
pada tanaman, seperti daun, bunga, umbi, buah atau sayur. Salah satu sumber
antosianin pada tanaman adalah ubi jalar ungu (UJU) yang mengandung lebih dari
98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin umbi. Warna antosianin
bervariasi mulai dari merah, ungu, biru, sampai kuning. Warna dan konsentrasi
antosianin dapat berubah karena pengaruh panas. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari perubahan warna dan konsentrasi antosianin monomerik sebagai
akibat proses pengolahan dalam pembuatan flakes UJU. Penelitian ini mengkaji
juga mengenai model kinetika reaksi pengaruh suhu dan waktu panggang terhadap
konsentrasi antosianin UJU segar dan flakes rehidrasi. Penelitian menggunakan
rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Warna dan konsentrasi
antosianin dari UJU segar, setelah proses pengukusan dan setelah menjadi flakes
dibandingkan. UJU segar berwarna ungu kecoklatan (L*=23.38±0.71,
C=9.84±0.98, Hue=12.25±1.61). Konsentrasi antosianin monomerik pada UJU
segar adalah 1.45±0.00 mg setara sianidin (CyE)/g basis kering (bk). Secara
umum, warna dan konsentrasi antosianin UJU berubah selama proses pembuatan
flakes. UJU yang dikukus selama 7 menit berubah menjadi ungu cerah
(L*=25.88±0.47, C=24.64±0.25, Hue=348.83±0.33) dengan konsentrasi
antosianin monomerik meningkat menjadi 3.76±0.01 mg CyE/g bk. Flakes UJU
berwarna ungu sangat cerah (L*=36.12±0.11, C=9.97±0.18, Hue=359.29±0.31)
dan konsentrasi antosianin monomerik sedikit lebih rendah dibandingkan ubi jalar
setelah dikusus (3.19±0.12 mg CyE/g bk). Jumlah antosianin monomerik UJU
segar dan flakes rehidrasi menurun seiring dengan waktu dan suhu pemanggangan.

Kata kunci : Warna, antosianin, ubi jalar ungu, flakes, kecepatan penururunan

ABSTRACT

Anthocyanin is a natural pigment found in plants, such as leaves, flowers,


roots, fruits or vegetables. Purple sweet potato (PSP) is a one source of antocyanin
consisting of 98% acylated anthocyanin of the total anthocyanin content in tuber.
Anthocyanin color varies from red, purple, blue to yellow. The color and amount
of anthocyanin may change due to heating processings. The purpose of this
research was to observe the changes in color and anthocyanin monomeric content
in PSP during heat processing of flakes. The other purpose of this reseach was to
observe the order kinetics model of effect temperature and time baking on total
anthocyanin monomeric of fresh PSP and rehydration PSP flakes. The

3
Bab 4 ini sudah didaftarkan untuk dipublikasi pada Jurnal Agritech Fakultas Teknologi Pertanian
UGM, sudah hasil telaah dua
39

experimental applied a completely randomized design with three replications. The


color and amount of anthocyanin from fresh PSP, after steaming process and
processed into a flake were compared. Fresh PSP had browny purple color (L * =
23.38 ± 0.71, C = 9.84 ± 0.98, Hue = 12.25 ± 1.61). Total monomeric anthocyanin
in fresh PSP was 1.45 ± 0.00 mg cyanidin equivalent (CyE)/g dry basis (db). In
general, the color and the amount of PSP anthocyanin changed during the flakes
processing. Steamed PSP for 7 minutes turned its color into a bright purple (L * =
25.88 ± 0.47, C = 24.64 ± 0.25, Hue = 348.83 ± 0.33) with the amount of
monomeric anthocyanin increased to 3.76 ± 0.01 CyE mg/g db. Flakes PSP was
very bright purple (L * = 36.12 ± 0.11, C = 9.97 ± 0.18, Hue = 359.29 ± 0.31) and
the amount of monomeric anthocyanin was slightly lower than that of steamed
sweet potato (3.19 ± 0.12 mg CyE / g db). Total monomeric anthocyanin of fresh
PSP and rehydration flakes PSP decrease during baking time.

Keywords: color, anthocyanin, purple sweet potato, flakes

PENDAHULUAN
Antosianin merupakan zat warna larut air yang banyak ditemukan pada
tanaman, yaitu di bagian bunga, daun, umbi, buah atau sayur. Antosianin adalah
senyawa yang terdiri dari antosianidin dan gugus gula. Antosianidin yang banyak
ditemukan di dalam buah, sayur atau umbi adalah pelargonidin, sianidin,
delfinidin, peonidin, petunidin dan malvidin (Kim et al., 2012). Antosianin dapat
memberikan warna yang berbeda (merah, ungu, biru, atau kuning), tergantung
pada pHnya. Pada kondisi pH asam antosianin berwarna merah atau ungu, pada
pH basa berwarna hijau atau kuning, dan pada pH netral berwarna biru.
Antosianin sebagai pewarna banyak digunakan sebagai pewarna alami pada
produk minuman, minuman fermentasi, jus, sari buah, dan mie instan. Di samping
sebagai zat warna alami, antosianin juga dapat berperan sebagai antioksidan,
antiinflamasi, antikanker (kanker kolon), dan mempunyai kemampuan untuk
menurunkan glukosa darah (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2004; Wu et
al., 2004; Jiao et al., 2012; Burgos et al., 2013).
Ubi jalar ungu merupakan sumber antosianin, yaitu mengandung lebih dari
98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin yang terkandung di dalam
umbi (Jie et al., 2013). Jenis antosianin yang ditemukan di dalam ubi jalar ungu
adalah sianidin 3-kafeol-sophorosida-5-glukosida dan peonidin 3-kafeol-
sophorosida-5-glukosida (Odake et al., 1992; Goda et al., 1997; Terahara et al.,
2004; Montilla et al., 2011; Jie et al., 2013). Varietas Ayamurasaki mengandung
74% peonidin dan 19% sianidin dari antosianin yang diasilasi (Tsukui et al.,
2002). Antosianin terasilasi pada ubi jalar ungu stabil terhadap perubahan pH,
panas, mempunyai aktivitas antioksidan dan antimutagenetik (Yoshimoto et al.,
1999; Yoshimoto et al., 2001; Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2004;
Kano et al., 2005; Jie et al., 2013).
Ubi jalar ungu (UJU) banyak dikonsumsi dalam bentuk goreng/rebus atau
diolah menjadi dodol dan selai. UJU juga mulai dikembangkan menjadi tepung
untuk digunakan sebagai ingredien pangan, misalnya untuk mie telo. Di antara
potensi pemanfaatan lain dari UJU adalah diolah menjadi bentuk flakes dengan
warna khas dari antosianin. Flakes merupakan sediaan kering atau serpihan yang
dibuat melalui tahapan pembuatan pasta dan dikeringkan dengan pengering drum.
40

Umumnya flakes diproses dari bahan baku kentang, yaitu dikenal dengan potato
flakes. Flakes dapat diolah lebih lanjut sebagai ingredient pangan untuk
pembuatan french fried potatoes atau potato chips (Lamberti et al., 2004).
Ubi jalar secara alami mengandung fenol dan enzim fenolase (Walter dan
Pucell, 1980; Thompson, 1981), sehingga setelah proses pengupasan sangat
mudah mengalami proses pencoklatan secara enzimatis (Krishnan et al., 2010)
yang dipercepat dengan paparan terhadap oksigen. Proses pencoklatan dapat
mempengaruhi warna ubi jalar, sehingga enzim perlu diinaktivasi. Inaktivasi
enzim dapat dilakukan dengan cara pengukusan, perebusan, penggorengan, atau
pemanggangan.
Pembuatan flakes secara umum melalui tahapan proses pembuatan pasta
dengan cara dikukus, direbus, digoreng atau dipanggang, kemudian pasta tersebut
dikeringkan dengan pengering drum. Konsentrasi dan warna antosianin dapat
berubah karena pengaruh pemanasan (Truong et al., 2010, Kim et al., 2012,
Lachman et al., 2012, Burgos et al., 2013). Informasi mengenai perubahan warna
dan konsentrasi antosianin sebagai akibat proses pengolahan panas ubi jalar
menjadi flakes ubi jalar belum tersedia. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi seberapa besar perubahan warna dan konsentrasi antosianin
yang terjadi selama tahap pemanasan pada proses pembuatan flakes ubi jalar ungu.
Perubahan konsentrasi antosianin monomerik dari UJU segar dan flakes rehidrasi
oleh proses pemanggangan juga dipelajari.

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah UJU varietas Ayamurasaki yang didapatkan
dari petani di Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. UJU
varietas Ayamurasaki (dengan masa tanam 5 bulan, Juni – Nopember 2013) telah
diverifikasi karakteristik taksonominya di Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang. Setelah dipanen UJU dicuci bersih,
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan kemudian disimpan selama 7 hari pada
ruangan berventilasi dengan kelembaban 80%. Ubi jalar ungu sampai tahap ini
disebut sebagai UJU segar. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis di
antaranya metanol, KCl, CH3COONa, NaOH, dan HCl dari Merck Jerman. Setiap
perlakuan dibuat dua ulangan dengan analisis triplo.
Peralatan utama yang digunakan untuk pembuatan flakes UJU adalah
pengupas abrasive Hobart, pengukus, mesin penghancur Alexanderwerk, dan
pengering drum. Alat analisis yang digunakan di antaranya sentrifuse (Hermle
Z383K), pengering beku (Labconco), evaporator putar Buchi Switzerland R210,
colorimeter (Minolta CR 310) dan Spektrofotometer UV-Vis (2450 Shimadzu).

Penyiapan UJU Segar, Kukus dan Flakes


Pembuatan flakes UJU mengikuti metode Lamberti et al. (2004) dengan
sedikit modifikasi pada tahap pengukusan. Sebanyak 5 kg sampel UJU dikupas
dengan pengupas abrasive, dicuci dalam air yang mengalir, dipotong dengan
panjang 3 cm (UJU segar), dan ditiriskan. Potongan UJU dikukus selama 7 menit
untuk menghasilkan UJU kukus. Flakes UJU disiapkan dengan cara
menghancurkan UJU kukus dengan mesin penghancur sehingga diperoleh pasta
41

UJU, lalu diaduk dan dikeringkan dengan pengering drum pada suhu 141.5oC
dengan kecepatan putaran 1 rpm. Flakes UJU dikemas dalam kantong plastik,
UJU segar dan UJU kukus dikeringbekukan dengan freeze dryer pada suhu -51 oC
selama 48 jam. Sampel disimpan pada suhu -27 oC hingga dianalisis.

Ekstraksi Antosianin
Ekstraksi antosianin sampel UJU segar, UJU kukus, flakes UJU, UJU segar
panggang dan flakes rehidrasi mengikuti metode Huang et al. (2010) dengan
modifikasi pada perbandingan jumlah sampel dengan pelarut, dan jenis pelarut
yang digunakan. Sebanyak 1 gram sampel disuspensikan dalam 32 mL larutan
asam-metanol 15% HCl (HCl, 1.5 M di dalam metanol). Suspensi diaduk dalam
alat penangas air goyang pada suhu 50 oC selama 60 menit. Selanjutnya suspensi
sampel disentrifus pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Supernatan
dipisahkan dan disaring dengan kertas saring Whatman no. 1. Endapan diekstrak
kembali dengan larutan asam-metanol 15% sebanyak dua kali lagi, kemudian
supernatan dikumpulkan dalam botol gelap. Sebanyak 88 mL supernatan diuapkan
dengan evaporator putar Buchi Switzerland R210 pada suhu 40 oC, 4 rpm selama
20 menit sampai diperoleh ekstrak antosianin pekat yang ditandai dengan mulai
terbentuknya endapan. Sebanyak 5-7 mL ekstrak antosianin pekat disimpan di
dalam botol gelap, disimpan pada suhu -27 oC sampai digunakan untuk analisis.

Pengukuran Warna
Warna sampel UJU segar, UJU kukus dan flakes UJU diukur dengan
colorimeter dengan sistem pengukuran CIELAB (Truong et al., 2012). Parameter
yang diukur meliputi L* (Lightness), a* = merah (+) sampai hijau (-), b* = kuning
(+) sampai biru (-). Chromacity (C) menunjukkan intensitas warna yang dihitung
dengan rumus √(a^(*2)+ b^(*2) ). Hue angle (H*) dihitung sebagai tan-1 (b*/a*).
Hue diekspresikan sebagai derajat sudut mulai dari 0o – 360o, dimana 0o (merah)
dalam kuadran +a*, diputar berlawanan arah jarum jam 90o (kuning) untuk +b*,
180o (hijau) untuk –a*, 360o (biru) untuk –b*. Colorimeter dikalibrasi dengan L*
= 92.75, a* = - 0.76, b* = - 0.07. Sampel dimasukkan ke dalam cawan petri,
diratakan permukaannya, kemudian diukur dengan colorimeter Minolta CR 310.
Nilai parameter warna tersebut dihitung dari rata-rata tiga kali ulangan
pengukuran.

Analisis Antosianin Monomerik


Analisis antosianin monomerik mengacu metode Jie et al. (2013) yaitu atas
metode yang digunakan oleh Lee et al. (2005). Metode ini didasarkan pada
perbedaan struktur antosianin pada pH 1 dan pH 4.5. Sebanyak 1 mL ekstrak
antosianin dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL, kemudian ditambahkan larutan
buffer KCl (0.025 M) pH 1 sampai volume menjadi 5 mL. Selanjutnya 1 mL
ekstrak antosianin dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL yang lain, kemudian
ditambahkan larutan buffer Na-asetat (0.4 M) pH 4.5 sampai volume menjadi 5
mL. Kedua labu tersebut ditempatkan di ruang gelap selama 60 menit. Absorbansi
dari setiap larutan setelah mencapai kesetimbangan diukur dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang yang memberikan absorbansi
42

maksimal dan pada panjang gelombang 700 nm dengan blanko akuabides.


Selanjutnya antosianin monomerik (CyE) dihitung dengan menggunakan dua
persamaan (1) dan (2) (Jie et al., 2013). Monomer antosianin dihitung dan
dinyatakan sebagai ekuivalen sianidin-3-glukosida (CyE, C21H21O11, mg/L).

A (Aλvis-max – A700)pH1.0 - (Aλvis-max – A700)pH4.5 …………………. (1)


Antosianin monomerik (CyE, mg/L) : ……………..(2)

dimana Aλvis-max (absorbansi pada panjang gelombang penyerapan


maksimum di daerah sinar tampak); A (absorbansi), BM (Berat molekul sianidin-
3-glukosida, 449.2 g/mol), FP (faktor pengenceran), ɛ (absorptivitas molar
sianidin – 3 - glukosida, 26900 L/cm /mol), l panjang sel kuvet (1 cm) dan 1000
faktor konversi g ke mg.
Semua pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Untuk mendapatkan
absorbansi maksimum, spektrum dari larutan sampel diukur pada panjang
gelombang 350–700 nm. Sampel ini menunjukkan λvis-max pada panjang
gelombang 521 nm untuk pH 1 dan 544 nm untuk pH 4.5.

Penurunan Konsentrasi Antosianin Monomerik Akibat Pemanggangan


Penurunan konsentrasi antosianin monomerik akibat pemanggangan
dilakukan pada UJU segar dan flakes yang telah direhidrasi. UJU segar
dibersihkan, dikupas, dipotong-potong berbentuk kubus dengan panjang sisi 4 cm,
kemudian setiap potongan dibungkus dengan aluminium foil. Rehidrasi flakes
dilakukan dengan cara menambahkan air pada flakes sesuai kadar air pada UJU
segar (65%), kemudian diaduk hingga membentuk pasta. Pasta dibentuk di dalam
cetakan berbentuk kubus dengan panjang sisi 4 cm kemudian dibungkus
aluminium foil.
Sampel UJU segar dan flakes rehidrasi dipanggang dalam oven pada suhu
dan waktu yang berbeda, yaitu 150 oC selama 0-120 menit, 200 oC selama 0-90
menit, dan 250 oC selama 0-60 menit. Pada setiap suhu pemanggangan diambil 7
titik sampel, yaitu pada 150 oC (0, 20, 40, 60, 80, 100 dan 120 menit), pada 200
o
C (0, 15, 30, 45, 60, 75 dan 90 menit) dan pada 250 oC (0, 10, 20, 30, 40, dan 60
menit). Sampel didinginkan di dalam cooler box yang sudah dilengkapi dry ice,
kemudian dikeringbekukan, digiling membentuk tepung dan disaring dengan
saringan berukuran 80 mesh. Sampel disimpan pada suhu -27oC sampai
digunakan untuk analisis konsentrasi antosianin monomerik. Orde reaksi
penurunan konsentrasi antosianin ditentukan dengan cara memplotkan data
sebagai fungsi dari waktu pemanggangan dan konsentrasi antosianin, kemudian
ditentukan nilai konstanta laju reaksinya (k) pada masing-masing suhu pada orde
reaksi nol dan satu.

Persamaan kinetika reaksi ordo nol : ……………….……(3)


Persamaan kinetika reaksi ordo satu : ……………………..(4)
[ ]
Waktu paruh (t1/2) ordo nol : [ ] ………………………………………(5)
Waktu paruh (t1/2) ordo satu : …………………………………… .(6)
43

Pengaruh suhu terhadap penurunan konsentrasi antosianin selama


pemanggangan, ditentukan dengan menghitung energi aktivasi menggunakan
persamaan Arhenius :
…………….……………(7)

Co = konsentrasi antosinin pada waktu 0; Ct = konsentrasi antosinin pada


waktu ke t; kT = konstanta laju reaksi, ko = faktor pre-eksponensial (mol/L/s); Ea :
Energi aktivasi (kJ/mol), R konstanta gas ideal (8.314 J/mol K) dan T : suhu
(Kelvin). Energi aktifasi dan faktor pre-eksponensial masing-masing ditentukan
dari slop dan intersep hasil regresi linier antara ln k dan 1/T (Jie et al., 2013).

Analisis Data
Data-data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata ± standar
deviasi (Mean  SD). Data analisis warna dan konsentrasi antosianin monomerik
dari perlakuan pemanasan UJU (segar, kukus dan flakes ) duji sidik ragamnya
(AVOVA) kemudian dilakukan uji jarak berganda Duncan dengan menggunakan
aplikasi SPSS untuk menentukan perbedaan antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Warna
UJU segar mengandung air sebanyak 65%. Setelah proses pengukusan,
kadar air meningkat menjadi 72%, dan setelah pengeringan dengan pengering
drum menurun kembali menjadi 6%. UJU segar memiliki warna merah ungu
kecoklatan (Gambar 1A). Warna UJU berubah setelah proses pengukusan selama
7 menit menjadi ungu kemerahan (Gambar 1B). Proses lebih lanjut dengan
pengering drum drier pada suhu 141.5oC menghasilkan flakes UJU berwarna
ungu cerah (Gambar 1C).
Proses pengukusan dapat menginaktifkan enzim antosianase, polifenol
oksidase, dan peroksidase sehingga tidak mendegradasi antosianin (Shi et al.,
1992; Jang et al., 2005; Truong et al., 2010). Enzim alami yang terdapat dalam
UJU inaktif, maka tidak akan terjadi proses oksidasi dan pencoklatan, sehingga
warna dari UJU kukus adalah ungu kemerahan. Proses pengeringan pasta UJU
dapat menghilangkan sebagian besar dari kandungan air pasta, sehingga flakes
UJU berwarna ungu cerah.

A B C
Gambar 1. Ubi jalar ungu A: segar, B: kukus, dan C: Flakes
44

Perubahan warna secara visual pada Gambar 1, dikonfirmasi dengan


pengukuran secara obyektif dengan colorimeter (Tabel 1). Parameter warna (L*,
a*, b*, C dan Hue) berbeda secara nyata (P<0.05) pada UJU segar, UJU kukus
dan flakes UJU. Dari parameter L* dan b*, flakes UJU menunjukkan warna paling
cerah dan paling ungu biru, sedangkan berdasarkan parameter intensitas warna (C),
dan a* UJU kukus menunjukkan kekuatan warna paling tinggi dibandingkan
dengan UJU segar dan flakes UJU. UJU segar menunjukkan warna merah
kekuningan, dengan a*, b* positif dan derajat Hue yang cenderung menunjukkan
warna merah oranye. UJU kukus menunjukkan warna merah kebiruan (a* positif,
b* negatif ), dan derajat Hue yang cenderung menunjukkan warna ungu.

Tabel 1. Karakteristik warna UJU segar, kukus, dan flakes


Sampel UJU L* a* b* C Hue (o)
Segar 23.38 ± 0.71c 9.60 ± 0.9c 2.11 ± 0.48a 9.84 ± 0.98c 12.25 ± 1.61c
Kukus 25.88 ± 0.47b 24.17± 0.22a -4.77 ± 0.18b 24.64 ± 0.25a 348.83 ± 0.33b
Flakes 36.12 ± 0.11a 9.97 ± 0.18b -0.13±0.06c 9.97 ± 0.18b 359.29 ± 0.31a
L* (Lightness, kecerahan), a*(redness) b*.(yellowness), C (chromacity). Angka yang diikuti oleh
huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0.05).

Ubi jalar ungu segar menunjukkan warna merah kekuningan cenderung


coklat. UJU kukus dan flakes UJU menunjukkan warna merah kebiruan cenderung
ungu. Nilai C dari UJU kukus menunjukkan intensitas warna yang lebih kuat
(24.64 ± 0.25) dibandingkan dengan sampel yang lainnya. Flakes UJU lebih cerah
dibandingkan segar dan kukus. Hal ini disebabkan proses pengeringan dengan
pengering drum berlangsung pada suhu tinggi dengan waktu yang singkat,
sehingga flakes UJU memiliki warna ungu yang lebih cerah.
Peneliti sebelumnya (Oki et al., 2002) mengemukakan bahwa karakteristik
warna dari tepung ubi jalar ungu Ayamurasaki adalah L* : 44.0, a* : 21.6, b* : -
6.7 dan hue : - 0.3, radian : 342.88 o, dan menurut Husnah (2010) karakteristik
warna tepung UJU Ayamurasaki adalah L: 42.08, a*: 13.04, b*: -2.88, dan hue:
347.7, hampir sama dengan karakteristik warna UJU kukus dalam penelitian ini.
Antosianidin yang dominan di dalam ubi jalar ungu adalah sianidin yang dominan
memberikan warna biru, dan peonidin yang dominan memberikan warna merah
(Montilla et al., 2011).

Perubahan Konsentrasi Antosianin Monomerik Akibat Pemanasan


Perubahan konsentrasi antosianin monomerik dari UJU segar, kukus dan
flakes disajikan pada Tabel 2. Konsentrasi antosianin monomerik UJU segar,
kukus, dan flakes berbeda nyata (P<0.05). Konsentrasi antosianin monomerik
UJU kukus lebih besar dibandingkan dengan flakes UJU dan juga UJU segar
dengan konsentrasi antosianin monomerik secara berurutan 3.76 ± 0.01 mg
CyE/gram (bk), 3.19 ± 0.12 mg CyE/gram (bk), dan 1.45 ± 0.01 mg CyE/gram
(bk). Dalam kajian ini UJU segar yang sudah dikupas dan dipotong kemudian
disimpan pada suhu dingin, dibekukan dan dikering bekukan. Pada saat proses
pendinginan diperkirakan enzim peroksidase, polifenol oksidase dan antosianase
masih aktif mengoksidasi antosianin, sehingga jumlah antosianinnya paling
rendah.
45

Tabel 2. Konsentrasi antosianin monomerik UJU segar, kukus, dan flakes


Sampel UJU Konsentrasi antosianin mg CyE/g (bk)
Segar 1.45 ± 0.00c
Kukus 3.76 ± 0.02a
Flakes 3.19 ± 0.12b
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil
uji berbeda nyata (P<0.05).

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Truong et al.
(2010), yaitu pemasakan dengan pengukusan selama 25 menit pada beberapa
varietas ubi jalar ungu dapat meningkatkan konsentrasi antosianin monomerik,
walaupun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
konsentrasi antosianin total. Demikian juga Lachman et al. (2012) melaporkan
bahwa konsentrasi antosianin monomerik pada kentang ungu meningkat 3.34 kali
setelah dipanggang, 4.2 kali setelah direbus, dan 4.5 kali setelah dikukus. Namun
Kim et al. (2012) melaporkan hasil yang berbeda, yaitu konsentrasi antosianin
UJU varietas Shinzami berkurang hampir setengahnya ketika dikukus vakum (121
o
C, 10 menit) dan hanya sedikit berkurang setelah dipanggang pada 200 oC selama
40-50 menit.
Konsentrasi antosianin monomerik UJU segar paling rendah yang
menunjukkan adanya aktivitas enzim antosianase, polifenol oksidase dan
peroksidase yang menurunkan kandungan antosianin dan merubah warna
antosianin melalui reaksi oksidasi. Menurut Shi et al. (1992), perubahan warna
pada ubi jalar ungu pada suhu ruang berhubungan dengan adanya penurunan
polifenol oleh aktivitas enzim antosianase, polifenol oksidase dan peroksidase.
Jang et al. (2005) menunjukkan juga bahwa enzim polifenol oksidase yang
terdapat pada kentang berdaging ungu sangat aktif pada suhu ruang dan
terdegradasi pada suhu lebih tinggi dari 70 oC. Proses pengukusan atau
pembekuan potongan ubi jalar segar sebelum ekstraksi antosianin dapat
meminimalkan kerusakan antosianin dan fenolat (Truong et al., 2010).
Konsentrasi antosianin monomerik dari flakes UJU lebih tinggi
dibandingkan dengan UJU segar dan lebih kecil dibandingkan dengan UJU kukus.
Flakes UJU mengalami dua kali proses pemanasan, yaitu pengukusan dan
pengeringan dengan pengering drum. Proses pengeringan pasta UJU dengan
pengering drum 1 rpm, lebih cepat dibandingkan dengan teknik pengeringan
dengan pengering kabinet, sehingga pengeringan dengan pengering drum dapat
mempertahankan konsentrasi antosianin monomerik. Teknik pengeringan yang
dilakukan dengan cepat dapat mempertahankan kandungan nutrisi dari bahan yang
dikeringkan (Afzal et al., 1999).
Beberapa peneliti terdahulu menemukan bahwa konsentrasi antosianin
monomerik dari flakes kentang ungu adalah 4.01 mg/g bubuk (Han et al., 2007);
antosianin di dalam tepung ubi jalar Ayamurasaki tertinggi 1.88 mg Cy-3-
glukosida/g tepung (Husnah, 2010). Menurut Jiao et al. (2012) konsentrasi
antosianin UJU 1.38 mg/g bk. Jumlah antosianin monomerik flakes UJU hasil
penelitian ini lebih rendah dari jumlah antosianin flakes kentang ungu (Han et al.,
2007), namun lebih tinggi dari jumlah antosianin tepung UJU Ayamurasaki
(Husnah, 2010). Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan bahan baku flakes
46

dan teknik pengeringan flakes dengan tepung yang berbeda. Konsentrasi UJU
segar dalam penelitian ini hampir sama dengan jumlah antosianin UJU yang
ditemukan oleh Jiao et al. (2012).

Kinetika Penurunan Konsentrasi Antosianin Monomerik Akibat


Pemanggangan
Perubahan konsentrasi antosianin monomerik dari UJU segar dan flakes
rehidrasi yang dipanggang pada suhu 150 oC, 200 oC dan 250 oC pada waktu yang
berbeda-beda disajikan pada Gambar 2. Secara umum, UJU segar dan flakes
rehidrasi yang dipanggang pada suhu yang lebih rendah memiliki kandungan
antosianin monomerik yang lebih tinggi pada waktu pemanasan yang sama. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai konstanta laju reaksi yang semakin kecil pada suhu
pemanggangan yang lebih rendah (Tabel 3).
[Antosianin monomerik mgCyE/g]

3.2

2.8

2.6

2.4

2.2

2
0 20 40 60 80 100 120
Waktu (menit)
S 150 S 200 S 250 F 150 F 200 F 250

Gambar 2. Perubahan konsentrasi antosianin monomerik pada UJU segar (S) dan
flakes rehidrasi (F) pada berbagai suhu dan waktu pemanggangan

Antosianin monomerik yang dipanggang pada suhu yang sama cenderung


menurun dengan semakin lamanya waktu proses. Gambar 2 juga menunjukkan
bahwa pemanggangan pada suhu lebih tinggi tetapi dengan waktu yang lebih
cepat memiliki konsentrasi antosianin monomerik yang lebih tinggi. Analisis data
lebih lanjut menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi antosianin monomerik
UJU segar dan flakes rehidrasi cenderung mengikuti model reaksi orde nol dan
satu, karena memberikan nilai R2 yang hampir sama antara orde nol dan orde 1
(Tabel 3).
Peneliti sebelumnya menemukan bahwa stabilitas panas dari antosianin UJU
(Jie et al., 2013) dan antosianin beras hitam (Hou et al., 2013) adalah mengikuti
model kinetika reaksi orde satu. Semakin tinggi suhu pemanggangan semakin
kecil waktu paruh, berarti antosianin semakin mudah rusak. Energi aktivasi UJU
segar lebih tinggi dibandingkan energi aktivasi flakes rehidrasi, menunjukkan
flakes rehidrasi lebih stabil terhadap perubahan panas dibandingkan UJU segar.
Peneliti sebelumnya menemukan bahwa energi aktivasi (Ea) ekstrak antosianin
47

ubi jalar ungu pada pH 6 adalah 89.38 kJ/mol, dan Ea nya menurun ketika
ditambahkan ke dalam jus buah (Jie et al., 2013).

Tabel 3. Kinetika perubahan konsentrasi antosianin monomerik UJU segar dan


flakes rehidrasi pada berbagai suhu pemanggangan
Sampel Suhu Model Orde Reaksi 0 Model Orde reaksi 1
UJU (oC) Ea Ea
k R2 t1/2 k R2 t1/2
(kJ/mol) (kJ/mol)
Segar 150 0.0077 0.9847 208.7 0.0028 0.9909 248.03
7.39
200 0.0097 0.9779 178.4 8.3 0.0034 0.9833 203.96
250 0.0122 0.9786 133.1 0.0042 0.9838 164.97
Flakes 150 0.0087 0.9876 185.7 0.0032 0.9934 193.84
5.35
rehidrasi 200 0.0105 0.9893 153.2 6.6 0.0038 0.9926 165.14
250 0.0125 0.9689 129.8 0.0043 0.9773 144.92

KESIMPULAN
Proses pengolahan UJU menjadi flakes UJU menyebabkan perubahan
warna dan konsentrasi antosianin monomerik. Proses pengukusan selama 7 menit
dapat mempertahankan karakteristik warna alami dan konsentrasi antosianin dari
UJU. Pembuatan flakes UJU dengan pengering drum pada suhu 141.5 oC
mengubah warna menjadi ungu cerah dan konsentrasi antosianin monomerik lebih
tinggi dibandingkan UJU segar. Perubahan konsentrasi UJU segar dan Flakes
rehidrasi selama proses pemanggangan mengikuti model orde reaksi nol dan satu.
Flakes rehidrasi relatif lebih stabil dibandingkan UJU segar.

DAFTAR PUSTAKA

Afzal, T. M., Abe, T., dan Hikida, Y. (1999). Energy and quality aspects during
combined FIR-convection drying of barley. Journal of Food Engineering 42:
177-182.
Burgos, G., Amoros, W., Munoa, Sosa, P., Cayhualla, E., Sanchez, C., Dı´az C.,
dan Bonierbale, M. (2013). Total phenolic, total anthocyanin and phenolic
acid concentrations and antioxidant activity of purple-fleshed potatoes as
affected by boiling. Journal of Food Composition and Analysis 30: 6–12.
Cevallos-Casals, B.A. dan Cisneros-Zevallos, L. (2004). Stability of anthocyanin
based aqueous extracts of Andean purple corn and red-fleshed sweet potato
compared to synthetic and natural colorants. Food Chemistry 86: 69–77.
Goda, Y., Shimizu, T., Kato, Y., Nakamura, M., Maitani, T., Yamada, T.,
Terahara, N., dan Yamaguchi, M. (1997). Two acylated anthocyanins from
purple sweet potato. Phytochemistry 44: 183–186.
Han, K-H., Matsumoto, A., Ken-ichiro, Shimada., Mitsuo, S. dan Michihiro, F.
(2007). Effects of anthocyanin-rich purple potato flakes on antioxidant status
in F344 rats fed a cholesterol-rich diet. British Journal of Nutrition 98: 914–
921.
Hou, Z., Qin, P., Zhang, Y., Cui, S., dan Ren, G. (2013). Identification of
anthocyanins isolated from black rice (Oryza sativa L.) and their degradation
kinetics. Food Research International 50: 691–697.
48

Huang, C.L., Liao, W.C., Chan, C.F., dan Lai, Y.C. (2010). Optimization for
extraction anthocyanin from purple sweet potato roots using response surface
methodology. Journal of Taiwan Agricultural Research 59: 143-150.
Husnah, S. (2010). Pembuatan tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas varietas
Ayamurasaki) dan aplikasinya dalam pembuatan roti tawar. [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Jang, J., Ma, Y., Shin, J., dan Song, K. (2005). Characterization of
polyphenoloxidase extracted from Solanum tuberosum Jasim. Food Science
Biotechnologhi 14: 117–122.
Jiao, Y., Jiang, Y., Zhai, W. dan Yang, Z. (2012). Studies on antioxidant capacity
of anthocyanin extract from purple sweet potato (Ipomoea batatas L.) African
Journal of Biotechnology 11: 7046-7054.
Jie, L., Xiao-ding, L., Yun, Z., Zheng-dong, Z., Zhi-ya, O., Meng, L., Shao-hua,
Z., Shuo, L., Meng, W., dan Lu, O. (2013). Identification and thermal
stability of purple-fleshed sweet potato anthocyanins in aqueous solutions
with various pH values and fruit juices. Food Chemistry 136: 1429–1434.
Kano, M., Takayanagi, T., Harada, K., Makino, K., dan Ishikawa, F. (2005).
Antioxidative activity of anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea
batatas cultivar Ayamurasaki. Bioscience, Biotechnology and Biochemistry
69: 979-988.
Kim, H.W., Kim, J.B., Cho, S.M., Chung, M.N., Leen, Y.M., Chu, S.M., Che,
J.H., Kim, S.N., Kim, S.Y., Cho, Y.S., Kim, J.H., Park, H.J., dan Lee, D.J.
(2012). Anthocyanin changes in the Korean purple-fleshed sweet potato,
Shinzami, as affected by steaming and baking. Food Chemistry 130: 966–972.
Krishnan, J.G., Padmaja, G., Moorthy, S.N., Suja, G., dan Sajeev, M.S. (2010).
Effect of pre-soaking treatments on the nutritional profile and browning index
of sweet potato and yam flours. Innovative Food Science and Emerging
Technologies 11: 387–393.
Lachman, J., Hamouz, K., Orsak, M, Pivec, V., Hejtmankova, K., Pazderu, K.,
dan Dvorˇak, P., Cˇepl J. (2012). Impact of selected factors – Cultivar,
storage, cooking and baking on the content of anthocyanins in coloured-flesh
potatoes. Food Chemistry 133: 1107–1116.
Lamberti, M., Geiselman, A., Conde-Petit, B., dan Escher, F. (2004). Starch
transformation and structure development in production and reconstitution of
potato flakes. Lebensm.-Wiss. u.-Technology 37: 417– 427.
Lee, J., Durst, W., dan Wrolstad, R.E. (2005). Determination of total monomeric
anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and
wines by the pH differential method: Collaborative study. Journal of AOAC
International 88: 1269–1278.
Montilla, E.C., Hillebrand, S., dan Winterhalter P. (2011). Anthocyanins in Purple
Sweet Potato (Ipomoea batatas L.) Varieties. Fruit, Vegetable and Cereal
Science and Biotechnology 5 (Special Issue 2): 19-24.
Odake, K., Terahara, N., Saito, N., Toki, K., dan Honda, T. (1992). Chemical
structures of two anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea batatas.
Phytochemistry 31: 2127-2130.
Oki, T., Masuda, M., Furuta, S., Nishiba, Y. Terahara, N. dan Suda, I. (2002).
Involvement of anthocyanins and other phenolic compounds in radical-
49

scavenging activity of purple-fleshed sweetpotato cultivars. Journal of Food


Science 67: 1752–1756.
Shi, Z., Bassa, I. A., Gabriel, S. L., dan Francis, F. J. (1992). Anthocyanin
pigments of sweetpotatoes Ipomoea batatas. Journal of Food Science 57:
755–770.
Terahara, N., Konczak, I., Ono, H., Yoshimoto, M., dan Yamakawa, O. (2004).
Characterization of acylated anthocyanins in callus induced from storage root
of purple-fleshed sweet potato, Ipomoea batatas L. Journal of Biomedicine
and Biotechnology 5: 279-286.
Thompson, D. P. (1981). Chlorogenic acid and other phenolic compounds in
fourteen sweet potato cultivars. Journal of Food Science 46: 738−740.
Truong, V.D., Deighton, N., Thompson, R.T., Mc Feeters, R.F., Dean, L.O.,
Pecota, K.V., dan Yencho, G.C. (2010). Characterization of anthocyanins and
anthocyanidins in purple-fleshed sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESI-MS/MS.
Journal of Agriculture and Food Chemistry 58: 404–410.
Truong, V.D., Hua, Z., Thompson, R.L., Yencho, G.C., dan Pecota, K.V. (2012).
Pressurized liquid extraction and quantification of anthocyanins in purple-
fleshed sweet potato genotypes. Journal of Food Composition and Analysis
26 : 96–103.
Tsukui, A., Murakami, T., Shiina, R., dan Hayashi, K. (2002). Effect of alcoholic
fermentation on the stability of purple sweet potato anthocyanins. Food
Science and Technology Research 8: 4-7.
Walter, W. M., dan Purcell, A. E. (1980). Effect of substrate levels and
polyphenol oxidase activities on darkening in sweet potato cultivars. Journal
of Agricultural and Food Chemistry 28: 941−944.
Wu, X., Beecher, G.R., Holden, J.M., Haytowitz, D.B., Gebhardt, S.E. dan Prior,
R.L. (2004). Lipophilic and hydrophilic antioxidant capacities of common
foods in the United States. Journal of Agricultural and Food Chemistry 52:
4026–4037.
Yoshimoto, M., Okuno, S., Yoshinaga, M., Yamakawa, O., Yamaguchi, M. dan
Yamada, J. (1999). Antimutagenicity of sweetpotato (Ipomoea batatas) roots.
Bioscience Biotechnology Biochemistry 63: 537-541.
Yoshimoto, M., Okuno, S., Yamaguchi, M. dan Yamakawa, O. (2001).
Antimutagenicity of deacylated anthocyanins in purple-fleshed sweetpotato.
Bioscience Biotechnology Biochemistry 65: 1652- 1655.
50

5 PEMBAHASAN UMUM

Antosianin Ubi Jalar Segar


Antosianin termasuk metabolit sekunder polifenol dari kelompok flavonoid,
larut dalam air, dapat digunakan sebagai pewarna alami dengan warna yang
menarik mulai dari merah, ungu, biru, sampai kuning. Antosianin memiliki fungsi
yang baik untuk kesehatan tubuh, diantaranya sebagai antioksidan, antiinflamasi
antidiabetes dan perlindungan dari sinar UV. Warna dan spektra ekstrak
antosianin dapat berubah karena pengaruh pH. Stabilitas antosianin dipengaruhi
oleh pH, oksigen, cahaya, panas, enzim, ion besi, asam askorbat, garam sulfit,
gula, hidroksi, metoksi dan kopigmen. Ubi jalar ungu merupakan salah satu
sumber antosianin yang potensial. Ubi jalar ungu mudah dibudidayakan, dapat
tumbuh pada berbagai jenis tanah, masa tanam relatif pendek 3-6 bulan dan
produktivitas yang cukup tinggi 20 ton / ha. Tempat budidaya ubi jalar ungu di
Jawa Barat diantaranya Desa Cilembu Kabupaten Sumedang, Desa Banjaran
Kabupaten Bandung, dan Desa Pakembangan Kabupaten Kuningan. Desa
Cilembu merupakan salah satu desa yang mendapatkan indikasi geografis dengan
produk khas ubi jalar Cilembu.
Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah antosianin monomerik ubi jalar
ungu yang dibudidayakan di Cilembu-Sumedang adalah 132.1 mg CyE/100g
umbi segar (bb), Banjaran-Bandung 104.7 mg CyE/100g umbi segar (bb) dan
Pakembangan-Kuningan 89.5 mg CyE/100g umbi segar (bb), berbeda nyata
(P<0.05). Peneliti terdahulu menemukan kandungan antosianin dalam ubi jalar
ungu 186.1 sianidin-3-glukosida/100 g bb (Bridgers et al. 2010).
Biosintesis antosianin di dalam tumbuhan dipengaruhi oleh suhu lingkungan,
intensitas sinar ultraviolet, curah hujan dan komposisi zat hara di dalam tanah
tempat tumbuh. Rata-rata suhu lingkungan di Cilembu-Sumedang lebih rendah
(28oC) dibandingkan suhu lingkungan di Banjaran-Bandung (29oC) dan
Pakembangan-Kuningan (31oC). Jumlah antosianin monomerik ubi jalar ungu
yang dibudidayakan di Cilembu-Sumedang adalah yang paling tinggi
dibandingkan dengan jumlah antosianin monomerik ubi jalar ungu yang
dibudidayakan di Banjaran-Bandung dan Pakembangan-Kuningan. Suhu
lingkungan yang rendah diperkirakan mendorong sintesis antosianin kentang
(Reyes et al. 2004); antosianin shorgum, dan jagung (Chalker-Scott 1999); dan
meningkatkan jumlah antosianin kedelai pada tahap pematangan (Kim et al. 2014).
Untuk lebih mengetahui pengaruh lingkungan terhadap biosintesis antosianin
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan memperhatikan secara seksama
komposisi zat hara, intensitas paparan sinar ultraviolet, suhu siang dan malam,
juga curah hujan.

Warna Ekstrak Antosianin


Ekstrak antosianin sering digunakan sebagai pewarna makanan. Untuk
penggunaan sebagai pewarna makanan, maka perlu diketahui karakteristik ekstrak
antosianin ubi jalar ungu. Warna ekstrak antosianin diantaranya dipengaruhi oleh
pH. Pola warna ekstrak antosianin ubi jalar ungu yang dipanen di Cilembu-
Sumedang, Banjaran-Bandung, dan Pakembangan-Kuningan pada pH 1-14,
51

menunjukkan karakteristik warna yang sama sehingga dapat diperkirakan jenis


antosianinnya pun sama. Perubahan warna ekstrak antosianin berhubungan
dengan perubahan struktur antosianin dari kation flavilium menjadi pseudobasa
hemiketal karbinol, kuinonoidal dan kalkon (Brouillard 1982, Reyes dan
Cisneros-Zepallos, 2007, Marco et al. 2011).
Ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH asam kuat 1-3 berwarna merah,
menunjukkan struktur antosianin yang dominan adalah kation flavilium. Pada
asam lemah pH 4-6 berwarna ungu menunjukkan struktur antosianin
berkesetimbangan antara kation flavilium berwarna merah, karbinol tidak
berwarna dan kuinonoidal berwarna biru. Pada pH 7 ekstrak antosianin berwarna
biru menunjukkan struktur antosianin yang dominan adalah kuinonoidal yang
berwarna biru. Pada pH basa lemah 8-9 berwarna hijau menunjukkan struktur
antosianin yang dominan adalah dalam bentuk kuinonoidal berwarna biru dan
kalkon yang berwarna kuning. Pada pH 10, 11, 12, 13 dan 14 ekstrak antosianin
berwarna kuning yang menunjukkan struktur antosianin yang dominan adalah
kalkon. Marco et al. (2011) menyatakan bahwa pada pH 1-2 antosianin dominan
dalam bentuk kation flavilium, kemudian mengalami hidrasi membentuk karbinol
pada pH < 6, dan berkesetimbangan dengan kuinonoidal anidrobas pada pH 6.5-8,
dan pada pH > 9 antosianin berada dalam bentuk kalkon yang berwarna kuning.
Menurut Brouillard (1982) antosianin berubah warna dari merah, menjadi
berkurang warnanya pada asam lemah. Pada pH rendah antosianin berada dalam
bentuk kation flavilium yang merupakan bentuk paling stabil (pH 1-2). Pada pH 3
kation flavilium ada yang berubah menjadi karbinol yang tidak berwarna sehingga
muncul warna merah pudar. Pada pH>3 warna merah terang kation flavilium
kemudian berubah bentuk menjadi basa kuinonoidal yang berwarna biru atau
menjadi karbinol pseudobase yang tidak berwarna sejalan dengan naiknya pH
sampai pH 7. Meningkatnya pH menyebabkan terjadinya hidrasi secara cepat dari
gugus hidroksil C-4, C-5 atau C-7 kation flavilium membentuk kuinonoidal yang
berwarna biru. Sedangkan kehilangan proton hidrogen pada C-2 kation flavilium
menyebabkan terbentuknya karbinol pseudobasa yang tidak berwarna dan
berkesetimbangan dengan bentuk kalkon berwarna kuning (Brouillard 1982,
Marco et al. 2011)
Perubahan warna ekstrak antosianin pada berbagai pH dikarenakan adanya
perubahan struktur antosianin. Perubahan struktur antosianin dapat diperkirakan
dengan melihat spektra ekstrak antosianin. Spektrum penyerapan sinar dari ketiga
esktra antosianin menunjukkan pola spektra yang sama, sehingga memperkuat
dugaan jenis antosianin dari semua sampel adalah sama. Hasil penelitian ini
menunjukkan penyerapan sinar ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada panjang
gelombang 322 nm adalah tiga kali lebih besar (300%) dari penyerapan sinar pada
panjang gelombang maksimum sinar tampak, menunjukkan adanya antosianin
terasilasi. Antosianin dominan yang terdapat pada ubi jalar ungu varietas Jiehei
No.1 adalah turunan peonidin dan sianidin 3-sophorosida-5glukosida yang
diasilasi oleh asam parahidroksi benzoat, asam kapeat atau asam ferulat (Jie et al.,
2013).

Spektra Ekstrak Antosianin


Spektra ekstrak antosianin mengalami pergeseran (Shifting) sejalan dengan
perubahan pH. Spektra ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1-7 memiliki
52

puncak penyerapan sinar maksimum pada kisaran panjang gelombang 520-525


nm. Semakin naik pH sampai pH 3, terjadi pergeseran hipokromik (hypochromic
shift), yaitu penyerapan maksimumnya menurun. Adanya pergeseran hipokromik
menunjukkan terjadinya hidrasi kation flavilium menjadi karbinol yang tidak
berwarna, sehingga absorbansinya menurun (Brouillard 1982, Marco et al. 2011).
Jika pH dinaikkan dari pH 4 ke pH 7 terjadi pergeseran batokromik (bathocromic
shift) dari kisaran panjang gelombang 520 -525 (pH 3) ke panjang gelombang 535
nm (pH 4), 540 nm (pH 5), 582 nm (pH 6) dan 590 nm (pH 7). Pergeseran
batokromik menunjukkan pelepasan proton kation flavilium menjadi kuinonoidal
yang berwarna biru, sehingga terjadi pergeseran panjang gelombang penyerapan
maksimum kea rah sinar tampak (Brouillard 1982, Marco et al. 2011). Penyerapan
pada kisaran sinar tampak 465-560 nm terkait dengan penyerapan cincin B dan C
antosianin (Delgado-Vargas et al. 2000). Spektra ekstrak antosianin mengalami
pergeseran (shifting) sejalan dengan perubahan pH.
Penyerapan sinar ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 8 - 11 memiliki
puncak penyerapan sinar maksimum pada kisaran panjang gelombang 350-400
nm. Semakin naik pH dari 8 sampai pH 11, terjadi pergeseran hiperkromik
(hyperchromic shift), yaitu penyerapan maksimumnya meningkat. Hal ini
menunjukkan adanya perubahan struktur antosianin dari karbinol yang tidak
berwarna menjadi kuinonoidal berwarna biru dan kalkon berwarna kuning. Begitu
juga pada pH 12 sampai pH 14, terjadi pergeseran hipokromik (hypochromic shift),
yaitu penyerapan maksimumnya menurun. Hal ini menunjukkan terjadi perubahan
struktur antosianin dari kuinonoidal yang berwarna biru menjadi kalkon yang
berwarna kuning (Brouillard 1982, Marco et al. 2011). Perubahan struktur kimia
antosianin akan mempengaruhi sifat fungsional, aktivitas antioksidan dan
stabilitas ekstrak antosianin.

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Antosianin


Konsentrasi ekstrak antosianin yang digunakan untuk menguji aktivitas
antioksidan disamakan untuk semua sampel yaitu 7.35 mg/L. Aktivitas
penangkapan radikal bebas DPPH dan kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi
jalar ungu dari Cilembu, Banjaran, dan Pakembangan tidak berbeda nyata
(p>0.05). Patut diduga jenis antosianin dari semua sampel adalah sama. DPPH
merupakan radikal bebas yang memiliki elektron tidak berpasangan, berwarna
ungu dan mempunyai absorpsi maksimum pada panjang gelombang 517 nm.
Antioksidan dapat mendonorkan hidrogen atau elektron, sehingga elektron radikal
pada DPPH menjadi berpasangan, yang ditandai dengan berubahnya warna DPPH
dari ungu menjadi kuning. Kecepatan perubahan warna dari ungu menjadi kuning
menunjukkan kekuatan penangkapan radikal bebas dari senyawa antioksidan,
ditandai dengan semakin menurunnya absorpsi pada panjang gelombang 517 nm.
Untuk menguji aktivitas kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi jalar ungu
digunakan kalium feri sianida. Antioksidan dapat mendonorkan elektron untuk
mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Konsentrasi Fe2+ dapat dimonitor dengan mengukur
absorpsi pada panjang gelombang 700 nm (Hinneburg et al. 2006).
Aktivitas penangkapan radikal bebas dan kekuatan mereduksi ekstrak
antosianin ubi jalar ungu tertinggi pada pH 1, diikuti oleh kekuatan mereduksi
pada pH 4.5 dan pH 7. Pada pH 1 antosianin dominan dalam bentuk kation
flavilium, pH 4.5 dalam bentuk campuran kation flavilium, karbinol dan
53

kuinonoidal, dan pada pH 7 antosianin dominan dalam bentuk kuinonoidal.


Aktivitas penangkapan radikal bebas dan kekuatan mereduksi pada pH 1 paling
tinggi, dikarenakan struktur antosianin dominan dalam bentuk kation flavilium
sehingga dapat mendonorkan kation hidrogen dengan mudah untuk menstabilkan
elektron DPPH dan mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ .

Stabilitas Ekstrak Antosianin


Konsentrasi ekstrak antosianin yang digunakan untuk menguji pengaruh pH
terhadap stabilitas ekstrak antosianin disamakan untuk semua sampel yaitu 7.35
mg/L. Stabilitas warna antosianin dipengaruhi oleh pH yang dapat menyebabkan
reaksi protonasi atau reaksi hidrasi sehingga terjadi perubahan struktur antara
kation flavilium berwarna merah, kuinonoidal berwarna biru, karbinol yang tidak
berwarna dan kalkon yang berwarna kuning (Mazza & Brouillard 1987). Warna
ekstrak antosianin ubi jalar ungu relatif lebih stabil pada pH 1 dan disimpan pada
suhu rendah. Pada pH 1 ekstrak antosianin ubi jalar ungu berada dalam bentuk
kation flavilium, sehingga kation hidrogen dapat menjaga stabilitas antosianin.
Tingkatan pH dapat mempengaruhi stabilitas antosianin. Meningkatnya pH
1-6 mempercepat degradasi antosianin, terutama sianidin-3,5-diglukosida (Hou et
al. 2013). Pada pH lebih besar dari 3 menurunkan stabilitas antosianin. Menurut
Cevallos-Casals dan Cisneros – Zevallos (2004) antosianin paling stabil pada pH
2, meningkatnya pH menurunkan stabilitas warna. Begitu juga Torskangerpoll
dan Andersen (2005) melaporkan bahwa stabilitas warna antosianin sangat
tergantung pada pH dan struktur antosianin. Stabilitas antosianin meningkat
dengan meningkatnya jumlah metoksi pada cincin B dan menurun seiring dengan
meningkatnya hidroksil. Antosianin dominan di dalam ubi jalar ungu
Ayamurasaki adalah peonidin dan sianidin-3-sophorosida-5-glukosida. Peonidin
memiliki satu gugus metoksi dan satu gugus hidroksi pada cincin B antosianin,
sedangkan sianidin memiliki dua gugus hidroksi pada cincin B. Stabilitas
antosianin dipengaruhi juga oleh suhu dan waktu penyimpanan. Penyimpanan ubi
jalar ungu segar selama 7 hari dan 30 hari mempengaruhi profil sensori ubi jalar
ungu panggang.

Profil Sensori Ubi Jalar Ungu Panggang


Uji profil sensori ubi jalar ungu panggang dilakukan oleh panelis terlatih.
Atribut kunci yang didapatkan pada sesi brainstorming meliputi atribut warna,
rasa, cita rasa, dan tekstur. Lima belas deskriptor sensori dihasilkan pada sesi
brainstorming meliputi warna ungu (purple), kemanisan (sweetness), bertepung
(fluory), rasa karamel (caramel taste), getir (after taste), pahit (bitterness), rasa
ubi jalar (sweet potato flavor), lanas (off flavor), cita rasa karamel (caramel
flavor), cita rasa panggang (baked flavor), pulen (sticky), berserat (fibrous),
berpasir (grainy), lembab (moist), dan lembut (soft) (Tabel 1). Standar yang
digunakan selama pelatihan panelis adalah ubi jalar Cilembu yang berwarna
oranye dan krem. Panelis mengevaluasi atribut sensori dengan cara mencicip,
mengunyah dan menelan sampel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan tempat budidaya ubi
jalar ungu mempengaruhi warna ungu, rasa manis dan tekstur pulen. Ubi jalar
ungu panggang yang dibudidayakan di Cilembu memiliki warna ungu paling kuat
54

dibandingkan dengan warna ungu pada ubi jalar ungu panggang yang
dibudidayakan di Banjaran dan Pakembangan. Hal ini memperkuat hasil
penelitian sebelumnya yang menunjukkan jumlah antosianin monomerik ubi jalar
ungu dari Cilembu adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan jumlah
antosianin monomerik ubi jalar ungu dari Banjaran dan Pakembangan.

Tabel 1. Deskripsi atribut sensori ubi jalar ungu panggang dan cara mengevaluasi
Atribut Sensori Penjelasan Atribut sensori
Warna ungu Warna ungu dari daging ubi jalar
Kemanisan Rasa manis menyerupai rasa gula atau sukrosa
Bertepung Rasa seperi tepung berpati
Rasa karamel Rasa seperti gula terbakar
Getir Rasa pahit diujung pangkal tenggorokan
Pahit Rasa pahit di pangkal lidah
Rasa ubi jalar Rasa khas ubi jalar
Lanas Bau seperti serangga Cylas formycarius
Cita rasa karamel Cita rasa seperti gula terbakar
Cita rasa panggang Cita rasa seperti ubi jalar panggang
Pulen Tekstur lembut dimulut
Berserat Tekstur berserat seperti serat
Berpasir Tekstur seperti berpasir ketika ditekan jari
Lembab Tekstur basah seperti berair
Lembut Tekstur lembek

Waktu penyimpanan ubi jalar ungu mempengaruhi profil sensori berkaitan


dengan warna ungu relatif menurun, rasa manis dan pahit meningkat, dan tekstur
ubi jalar ungu panggang menjadi lebih basah. Warna ungu menurun diduga
berkaitan dengan aktifitas enzim polifenol oksidase dan antosianase yang
mendegradasi antosianin selama penyimpanan (Grace et al. 2014). Rasa manis
meningkat diduga berkaitan dengan aktivitas enzim amilase yang menguraikan
karbohidrat kompleks menjadi lebih sederhana (Zhang et al. 2002). Rasa pahit
meningkat diduga berkaitan dengan terbentuknya bercak hitam karena aktivitas
serangga Cylas formycarius (Miyazaki dan Ino 1991).
Berdasarkan analisis komponen utama (PCA) didapatkan dua komponen
utama (PC1 dan PC2) yang dapat menjelaskan 79.10% keberagaman atribut
sensori. Komponen utama PC1 menjelaskan 55.53% variasi atribut sensori dan
berhubungan dengan kemanisan, bertepung, rasa karamel, getir, pahit, rasa ubi
jalar, lanas, cita rasa karamel, cita rasa panggang, berpasir, dan PC2 menjelaskan
23.57% variasi dan berhubungan dengan atribut pulen, berserat, lembab, dan
lembut.
55

Pengaruh Pengolahan Panas Terhadap Jumlah Antosianin Monomerik


Pengaruh pengolahan panas terhadap jumlah antosianin monomerik
dievaluasi selama pembuatan flakes ubi jalar ungu. Flakes adalah sediaan pangan
yang diolah melalui proses precooked terlebih dahulu kemudian dikeringkan
dengan pengering drum. Flakes ubi jalar ungu dibuat melalui tahapan ubi jalar
segar dipotong, dikukus, dihancurkan sampai membentuk pasta, kemudian
dikeringkan dengan menggunakan pengering drum. Konsentrasi antosianin
monomerik pada ubi jalar ungu segar adalah 1.45±0.00 mg CyE/g basis kering
(bk) lebih rendah dibandingkan ubi jalar ungu yang dikukus selama 7 menit
(3.76±0.01 mg CyE/g bk) dan flakes rehidrasi (3.19±0.12 mg CyE/g bk). Ubi jalar
ungu segar pada kajian ini tidak mengalami steam blanch terlebih dahulu,
sehingga enzim peroksidase, polifenol oksidase dan antosianase masih aktif
mendegradasi antosianin.
Warna antosianin ubi jalar ungu segar berwarna ungu kecoklatan, ubi jalar
ungu kukus berwarna ungu cerah, dan flakes berwarna ungu sangat cerah. Warna
dan jumlah antosianin monomerik yang berbeda selama proses pembuatan flakes
diduga berkaitan dengan aktivitas enzim antosianase, polifenol oksidase, dan
peroksidase yang secara alami terdapat di dalam ubi jalar. Aktivitas enzim alami
tersebut dapat menyebabkan proses oksidasi polifenol dan antosianin sehingga
menimbulkan reaksi pencoklatan enzimatis dan menurunkan jumlah antosianin.
Proses pengukusan dapat menginaktifkan enzim antosianase, polifenol oksidase,
dan peroksidase sehingga tidak mendegradasi antosianin (Shi et al., 1992; Jang et
al., 2005; Truong et al., 2010). Menurut Shi et al. (1992), perubahan warna pada
ubi jalar ungu pada suhu ruang berhubungan dengan adanya penurunan polifenol
oleh aktivitas enzim antosianase, polifenol oksidase dan peroksidase. Jang et al.
(2005) menunjukkan juga bahwa enzim polifenol oksidase yang terdapat pada
kentang berdaging ungu sangat aktif pada suhu ruang dan terdegradasi pada suhu
lebih tinggi dari 70oC. Proses pengukusan atau pembekuan potongan ubi jalar
segar sebelum ekstraksi antosianin dapat meminimalkan kerusakan antosianin dan
fenolat (Truong et al. 2010).
Flakes ubi jalar ungu lebih cerah dibandingkan ubi jalar ungu segar dan
ubi jalar ungu kukus. Hal ini disebabkan proses pengeringan dengan pengering
drum berlangsung pada suhu tinggi dengan waktu yang singkat, sehingga flakes
memiliki warna ungu yang lebih cerah. Konsentrasi antosianin monomerik dari
flakes ubi jalar ungu lebih tinggi dibandingkan dengan ubi jalar ungu segar dan
lebih kecil dibandingkan dengan ubi jalar ungu kukus. Flakes ubi jalar ungu
mengalami dua kali proses pemanasan, yaitu pengukusan dan pengeringan dengan
pengering drum. Proses pengeringan pasta ubi jalar ungu dengan pengering drum
berjalan cepat 1 rpm, sehingga dapat mempertahankan konsentrasi antosianin
monomeric. Teknik pengeringan yang dilakukan dengan cepat dapat
mempertahankan kandungan nutrisi dari bahan yang dikeringkan (Afzal et al.
1999).
Beberapa peneliti terdahulu menemukan bahwa konsentrasi antosianin
monomerik dari flakes kentang ungu adalah 4.01 mg/g bubuk (Han et al. 2007);
antosianin di dalam tepung ubi jalar Ayamurasaki tertinggi 1.88 mg Cy-3-
glukosida/g tepung (Husnah 2010). Menurut Jiao et al. (2012) konsentrasi
antosianin ubi jalar ungu 1.38 mg/ g bk. Jumlah antosianin monomerik flakes ubi
56

jalar ungu hasil penelitian ini lebih rendah dari jumlah antosianin flakes kentang
ungu (Han et al. 2007), namun lebih tinggi dari jumlah antosianin tepung ubi jalar
ungu Ayamurasaki (Husnah 2010). Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan
bahan baku flakes dan teknik pengeringan flakes dengan tepung yang berbeda.
Secara umum, ubi jalar ungu segar dan flakes ubi jalar ungu rehidrasi yang
dipanggang pada suhu yang lebih rendah memiliki kandungan antosianin
monomerik yang lebih tinggi pada waktu pemanasan yang sama. Antosianin
monomerik yang dipanggang pada suhu yang sama cenderung menurun dengan
semakin lamanya waktu proses. Penurunan konsentrasi antosianin monomerik ubi
jalar ungu segar dan flakes ubi jalar ungu rehidrasi cenderung mengikuti model
reaksi orde nol dan orde satu. Peneliti sebelumnya menemukan bahwa stabilitas
panas dari ekstrak antosianin ubi jalar ungu (Jie et al. 2013) dan ekstrak
antosianin beras hitam (Hou et al. 2013) adalah mengikuti model kinetika reaksi
orde satu.
Energi aktivasi antosianin flakes rehidrasi lebih rendah dibandingkan dengan
energi aktivasi ubi jalar ungu segar. Hal ini menunjukkan antosianin ubi jalar
ungu segar lebih sensitif terhadap perubahan panas. Energi aktivasi ekstrak
antosianin ubi jalar ungu pada pH 6 adalah 89.38 kJ/mol (Jie et al. 2013) jauh
lebih besar dibandingkan energi aktivasi antosianin flakes ubi jalar ungu rehidrasi
(7.39 kJ/mol) dan ubi jalar ungu segar (5.35 kJ/mol) dalam penelitian ini. Hal ini
menunjukkan antosianin dalam bentuk ekstrak lebih sensitif terhadap perubahan
panas dibandingkan antosianin yang masih didalam bahan pangan asalnya.
Di dalam penelitian ini suhu yang diukur adalah suhu oven, bukan suhu di
dalam sampel ubi jalar ungu segar atau pun flakes rehidrasi. Dengan demikian
untuk mengetahui pasti model kinetika reaksi penurunan antosianin ubi jalar ungu
segar maupun flakes rehidrasi perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan desain
yang tepat, sehingga suhu yang diukur adalah suhu di dalam pusat sampel
sehingga didapatkan model reaksi kinetiknya.

Simpulan

Jumlah total antosianin monomerik dalam ekstrak antosianin ubi jalar ungu
yang dibudidayakan di Cilembu paling tinggi. Jumlah antosianin ubi jalar ungu
dari tiga lokasi budidaya berbeda secara nyata (p<0.05). Warna, spektra warna,
aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak antosianin ubi jalar ungu tidak
dipengaruhi oleh lokasi budidaya, tetapi lebih dipengaruhi pH. Warna ekstrak
antosianin berubah dari merah, ungu, biru, hijau sampai kuning seiring dengan
meningkatnya pH dari 1 sampai 14. Aktivitas penangkapan radikal bebas,
kekuatan mereduksi dan stabilitas ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1
lebih tinggi dibandingkan pada pH 4.5 dan pH 7. Profil sensori ubi jalar ungu
panggang dipengaruhi lokasi budidaya. Ciri khas atribut sensori ubi jalar ungu
panggang Cilembu, Sumedang berkaitan dengan warna ungu, manis, cita rasa ubi
jalar ungu, dan tekstur pulen. Karakteristik atribut sensori ubi jalar ungu panggang
dari Banjaran, Bandung adalah warna ungu, manis, cita rasa ubi jalar ungu, basah
dan lembut. Karakteristik atribut sensori dari ubi jalar ungu panggang dari
Pakembangan, Kuningan adalah warna ungu, citarasa tepung, dan berpasir.
Atribut sensori ubi jalar ungu panggang yang berubah selama penyimpanan ubi
jalar segar adalah berkaitan dengan intensitas warna ungu menurun, intensitas rasa
57

manis, getir, pahit dan tekstur basah meningkat. Penurunan konsentrasi antosianin
monomerik ubi jalar ungu segar dan flakes rehidrasi ubi jalar ungu mengikuti
model orde reaksi nol dan satu. Ubi jalar ungu segar lebih sensitif terhadap
perubahan panas dibandingkan dengan flakes rehidrasi.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk melakukan penelitian


lebih lanjut mengenai (1) pengaruh lokasi budidaya terhadap jumlah antosianin
atau β-karoten dan profil sensori ubi jalar yang ditanam di Cilembu dibandingkan
dengan daerah lainnya dengan memperhatikan varietas, turunan sama, dan
mencatat suhu, intensitas cahaya, curah hujan, dan zat hara dari tanah, (2) model
kinetika reaksi dari antosianin ubi jalar segar dan flakes ubi jalar dengan
memperhatikan suhu internal sampel.

DAFTAR PUSTAKA

Afzal TM, Abe T, Hikida, Y. 1999. Energy and quality aspects during combined
FIR-convection drying of barley. J Food Eng. 42(4): 177-182. doi:
10.1016/S0260-8774(99)00117-X.
Brouillard R. 1982. Chemical Structure of Anthocyanins. Di dalam: Markakis P,
editor. Anthocyanins as Food Colours. Academic Press, New York.
Bridgers EN, Chinn MS, Truong VD. 2010. Extraction of anthocyanins from
industrial purple-fleshed sweet potatoes and enzymatic hydrolysis of residues
for fermentable sugars. Ind. Crop. Prod. 32, 613–620. doi:
10.1016/j.indcrop.2010.07.020
Cevallos-Casals BA, Cisneros-Zevallos L. 2004. Stability of anthocyanin based
aqueous extracts of Andean purple corn and red-fleshed sweet potato compared
to synthetic and natural colorants. Food Chem 86: 69–77.
Chalker-Scott, L., 1999. Environmental significance of anthocyanins in plant
stress responses. Photochem. Photobiol. 70: 1–9.
Delgado-Vargas F, Jiménez AR, Paredes-López O. 2000. Natural Pigments:
Carotenoids, Anthocyanins, and Betalains — characteristics, biosynthesis,
processing, and stability. Crit Rev Food Sci 40(3):173–289. doi:
10.1080/10408690091189257.
Grace MH, Yousef GG, Gustafson SJ, Truong VD, Yencho GC, Lila MA. 2014.
Phytochemical changes in phenolics, anthocyanins, ascorbic acid, and
carotenoids associated with sweet potato storage and impacts on bioactive
properties. Food Chem. 145: 717–724. doi: 10.1016/j.fcr.2013.10.020.
Han KH, Matsumoto A, Ken-ichiro, Shimada., Mitsuo S, Michihiro F. 2007.
Effects of anthocyanin-rich purple potato flakes on antioxidant status in F344
rats fed a cholesterol-rich diet. Brit J Nut. 98: 914–921.
Hinneburg I, Damien-Dorman HJ, Hiltunen R. 2006. Antioxidant activities of
extracts from selected culinary herbs and spices. Food Chem. 97: 122-129.
Hou Z, Qin P, Zhang Y, Cui S, Ren G. 2013. Identification of anthocyanins
isolated from black rice (Oryza sativa L.) and their degradation kinetics. Food
Res Int. 50: 691–697. doi:10.1016/j.foodres.2011.07.037.
58

Husnah S. 2010. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas varietas
Ayamurasaki) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar. [Skripsi].
Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian B. Bogor.
Jang J, Ma Y, Shin J, Song K. 2005. Characterization of polyphenoloxidase
extracted from Solanum tuberosum Jasim. Food Sci Biotechnol. 14: 117–122.
Jiao Y, Jiang Y, Zhai W dan Yang Z. 2012. Studies on antioxidant capacity of
anthocyanin extract from purple sweet potato (Ipomoea batatas L.). Afr J
Biotechnol 11(27): 7046-7054. DOI: 10.5897/AJB11.3859.
Jie L, Xiao-ding L, Yun Z, Zheng-dong Z, Zhi-ya O, Meng L, Shao-hua Z, Shuo
L, Meng W, Lu O. 2013. Identification and thermal stability of purple-fleshed
sweet potato anthocyanins in aqueous solutions with various pH values and
fruit juices. Food Chem 136: 1429–1434. DOI:
10.1016/j.foodchem.2012.09.054.
Kim EH, Lee OK, Kim JK, Kim SL, Lee J, Kim SH, Chung IM. 2014.
Isoflavones and anthocyanins analysis in soybean (Glycine max (L.) Merill)
from three different planting locations in Korea. Field Crops Res 156: 76–83.
DOI: 10.1016/j.fcr.2013.
Março PH, Poppi RJ, Scarminio IS, Tauler R. 2011. Investigation of the pH effect
and UV radiation on kinetic degradation of anthocyanin mixtures extracted
from Hibiscus acetosella. Food Chem 125: 1020–1027. DOI:
10.1016/j.foodchem.2010.10.005.
Mazza G, Brouillard R. 1987. Recent development in the stabilization of
anthocyanins in food products. Food Chem. 25: 207-225.
Miyazaki T, Ino M. 1991. Effects of root quality and storage conditions on
internal brown spot symptoms in stored sweet potatoes. Bulletin of the Chiba
Prefectural Agricultural Experiment Station. 32: 65–72.
Reyes LF, Cisneros-Zevallos L. 2007. Degradation kinetics and colour of
anthocyanins in aqueous extracts of purple and red-flesh potatoes (Solanum
tuberosum L.) Food Chem 100: 885–894.
DOI:10.1016/j.foodchem.2005.11.002
Reyes LF, Miller JC, Cisneros-Zevallos L. 2004. Environmental conditions
influence the content and yield of anthocyanins and total phenolics in purple-
and red-flesh potatoes during tuber development. Am J Potato Res 81: 187–
193.
Shi Z, Bassa IA, Gabriel SL, Francis FJ. 1992. Anthocyanin pigments of
sweetpotatoes Ipomoea batatas. J Food Sci. 57: 755–770.
Torskangerpoll K, Andersen OM. 2005. Colour stability of anthocyanins in
queous solutions at various pH values. Food Chem 89(3): 427–440.
DOI:10.1016/j.foodchem.2004.03.002.
Truong VD, Deighton N, Thompson RT, McFeeters RF, Dean LO, Pecota KV,
Yencho GC. 2010. Characterization of anthocyanins and anthocyanidins in
purple-fleshed sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESI-MS/MS. J Agr Food Chem
58: 404–410. DOI:10.1021/jf902799.
Zhang Z, Wheatley CC, Corke H. 2002. Biochemical changes during storage of
sweet potato roots differing in dry matter content. Postharvest Biol. Technol.
24: 317–325.
59

RIWAYAT HIDUP

Ai Mahmudatussa’adah dilahirkan di Tasikmalaya, 16 Juli 1978, Putri


bungsu dari enam bersaudara pasangan KH. Anwar Nasihin dan Hj. Sa’adah.
Pendidikan di tempuh di MTsN Sukamanah lulus 1993, SMAN 1 Singaparna
lulus 1996, S1 Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Pendidikan Kimia lulus
2001, S2 Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Pangan lulus 2005. Sejak
tahun 2006 sampai sekarang mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia
Program Studi Pendidikan Tata Boga, dan sejak tahun 2007 sampai sekarang
mengajar di Universitas Terbuka Program Studi S-1 PGSD dan PG Kimia. Penulis
menikah dengan Muhammad Fauzan Yanis dan dikaruniai satu orang putra
bernama Hubaib Abdullah Fauzan.
Sebagian dari disertasi ini yaitu artikel dengan judul ―Karakteristik Warna
dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Antosianin Ubi Jalar ungu‖ telah diajukan
untuk dipublikasi pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Departemen ITP
IPB Bogor dan sudah sampai pada tahap hasil telaah satu; 2) “Sensory Profile of
Baked Purple Sweet Potato Cultivated from Three Different Locations‖ telah
didaftarkan untuk di publikasi pada Journal of Sensory Studies Wiley online
Library dan sudah pada tahap pertimbangan dewan redaksi; dan 3) “Pengaruh
Pengolahan Panas terhadap Konsentrasi Antosianin Monomerik Ubi Jalar Ungu
(Ipomoea batatas L)‖ telah diajukan untuk dipublikasi pada Agritech Jurnal
Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta dan sudah sampai pada
tahap hasil telaah dua.

Anda mungkin juga menyukai