AI MAHMUDATUSSA’ADAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Ai Mahmudatussa’adah
NIM F261090021
RINGKASAN
Antosianin merupakan salah satu kelompok zat warna alami yang terdapat
pada tanaman, seperti daun, bunga, umbi, buah atau sayur. Antosianin muncul
dalam warna bervariasi merah, ungu, biru, dan kuning tergantung nilai pH-nya.
Warna dan konsentrasi antosianin di dalam tumbuhan dapat berubah karena
pengaruh panas, pH, oksigen, enzim, asam askorbat, gula, garam sulfit, ion besi,
dan kopigmen. Ubi jalar ungu merupakan salah satu sumber antosianin yang
mengandung lebih dari 98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin umbi.
Antosianin terasilasi bersifat relatif stabil terhadap perubahan pH, suhu dan
cahaya. Ubi jalar ungu banyak dikonsumsi dalam bentuk goreng, rebus, atau
panggang, kadang-kadang ubi jalar ungu diolah menjadi selai atau mie. Ubi jalar
biasanya disimpan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Penyimpanan dapat
menimbulkan profil sensori yang diinginkan ataupun profil sensori yang tidak
diinginkan. Tempat budidaya ubi jalar ungu di Jawa Barat diantaranya Cilembu-
Sumedang, Banjaran-Bandung, dan Pakembangan-Kuningan. Cilembu merupakan
salah satu daerah yang mendapatkan indikasi geografis atau mendapatkan
perlindungan wilayah penghasil perkebunan spesifik yaitu ubi jalar Cilembu.
Salah satu potensi pemanfaatan ubi jalar ungu adalah diolah menjadi flakes
dengan warna khas dari antosianin. Flakes merupakan sediaan kering atau
serpihan yang dibuat melalui tahapan pembuatan pasta ubi jalar kukus atau rebus
kemudian dikeringkan dengan pengering drum. Flakes dapat digunakan sebagai
bahan baku industri pangan.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik antosianin dan
profil sensori ubi jalar ungu yang dibudidayakan pada tiga lokasi berikut :
Cilembu, Sumedang; Banjaran, Bandung; dan Pakembangan, Kuningan. Pengaruh
lokasi budidaya terhadap jumlah antosianin monomerik; warna dan spektra
ekstrak antosianin pada pH 1-14; aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak
antosinin pada pH 1, 4.5 dan 7, dan profil sensori ubi jalar ungu panggang telah
dipelajari. Penelitian ini mengkaji juga mengenai kecenderungan model
penurunan konsentrasi antosianin ubi jalar ungu segar dan flakes rehidrasi yang
disebabkan oleh panas selama pemanggangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah total antosianin monomerik di
dalam ekstrak anto sianin yang dibudidayakan di Cilembu adalah 3.78 ± 0.08 mg
CyE (setara sianidin-3-glukosida/g berat kering, bk); lebih tinggi dibandingkan
dari Banjaran (3.18 ± 0.01mg CyE/g bk) dan Pakembangan (2.25 ± 0.01 mgCyE/g
bk). Perbedaan jumlah antosianin dari ubi jalar ungu yang dibudidayakan pada
tiga lokasi berbeda secara nyata (p<0.05). Warna ekstrak antosianin berubah dari
merah, ungu, biru, hijau ke kuning seiring dengan meningkatnya pH dari 1 sampai
14. Stabilitas, aktivitas penangkapan radikal bebas dan kekuatan mereduksi
ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1 lebih tinggi dibandingkan pada pH 4.5
dan pH 7. Ekstrak antosianin ubi jalar ungu lebih stabil disimpan pada suhu
rendah. Pola warna, spektra, aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak antosianin
dipengaruhi oleh pH, tidak dipengaruhi oleh tempat budidaya.
Analisis kuantitatif deskriptif dari ubi jalar ungu panggang menghasilkan
lima belas deskriptor termasuk warna ungu, rasa manis, rasa tepung, rasa karamel,
rasa getir, rasa pahit, cita rasa khas ubi jalar, lanas, cita rasa karamel, cita rasa
panggang, tekstur pulen, berpasir, berserat, basah dan lembut. Lokasi budidaya
seperti halnya waktu penyimpanan ubi jalar segar selama tujuh dan 30 hari
sebelum dipanggang mempengaruhi profil sensori ubi jalar ungu panggang. Ubi
jalar ungu panggang dari Cilembu, Sumedang memperlihatkan atribut sensori
berkaitan dengan warna ungu, manis, cita rasa ubi jalar ungu, dan tekstur pulen.
Karakteristik atribut sensori dari ubi jalar ungu panggang dari Banjaran, Bandung
adalah warna ungu, manis, cita rasa ubi jalar ungu, basah dan lembut.
Karakteristik atribut sensori dari ubi jalar ungu panggang dari Pakembangan,
Kuningan adalah warna ungu, citarasa tepung, dan berpasir.
Untuk pengujian model kecenderungan penurunan konsentrasi antosianin
karena pengaruh pengolahan panas digunakan ubi jalar ungu Ayamurasaki yang
dibudidayakan di Cilembu dan sudah disimpan 7 hari setelah panen. Warna ubi
jalar ungu segar adalah ungu dengan notasi warna : L*=23.38±0.71, C=9.84±0.98,
dan Hue=12.25±1.61. Konsentrasi antosianin monomerik ubi jalar segar adalah
1.45±0.00 mg setara sianidin (CyE)/g basis kering (bk). Secara umum, warna dan
konsentrasi antosianin ubi jalar ungu berubah selama proses pembuatan flakes.
Ubi jalar ungu yang dikukus selama 7 menit berubah menjadi ungu cerah
(L*=25.88±0.47, C=24.64±0.25, Hue=348.83±0.33). Konsentrasi antosianin
monomerik ubi jalar ungu kukus 3.76±0.01 mgCyE/g bk, lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi antosianin monomerik ubi jalar ungu segar. Flakes ubi
jalar ungu berwarna ungu sangat cerah (L*=36.12±0.11, C=9.97±0.18,
Hue=359.29±0.31) dan jumlah antosianin monomerik sedikit lebih rendah
dibandingkan setelah dikusus (3.19±0.12 mg CyE/g bk). Jumlah antosianin
monomerik ubi jalar ungu segar dan flakes rehidrasi menurun seiring waktu
pemanasan.
Kata kunci: aktivitas antioksidan, antosianin, profil sensori, ubi jalar ungu
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK ANTOSIANIN DAN PROFIL SENSORI
UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L) YANG DIBUDIDAYAKAN
PADA TIGA DAERAH BERBEDA
AI MAHMUDATUSSA’ADAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Dede R Adawiyah, MSi
Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Dr Elvira Syamsir, STP MSi Dr Ir Drajat Martianto,
MS Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi DIA
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Dr Ir Naresworo Nugroho, MS
Judul Disertasi: Karakteristik Antosianin dan Profil Sensori Ubi Jalar Ungu
(Ipomoea batatas L) yang Dibudidayakan pada Tiga Daerah
Berbeda
Nama : Ai Mahmudatussa’adah
NIM : F261090021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Ai Mahmudatussa’adah
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
Daftar Pustaka 5
2 KARAKTERISTIK WARNA, AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN
STABILITAS EKSTRAK ANTOSIANIN UBI JALAR UNGU
Abstrak 9
Pendahuluan 10
Bahan dan Metode 11
Hasil dan Pembahasan 13
Kesimpulan 22
Daftar Pustaka 23
3 SENSORY PROFILE OF BAKED PURPLE SWEET POTATO
CULTIVATED FROM THREE DIFFERENT LOCATIONS
Abstract 27
Introduction 27
Materials and Method 28
Result and Discussion 29
Conclution 32
References 35
4 PENGARUH PENGOLAHAN PANAS TERHADAP KONSENTRASI
ANTOSIANIN MONOMERIK UBI JALAR UNGU(Ipomoea batatas L)
Abstrak 38
Pendahuluan 39
Metode Penelitian 40
Hasil dan Pembahasan 43
Kesimpulan 47
Daftar Pustaka 47
5 PEMBAHASAN UMUM
Antosianin Ubi Jalar Segar 50
Warna Ekstrak Antosianin 50
Spektra Ekstrak Antosianin 51
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Antosianin 52
Stabilitas Ekstrak Antosianin 53
Profil Sensori Ubi Jalar Ungu Panggang 53
Pengaruh Pengolahan Panas Terhadap Jumlah Antosianin Monomerik 55
Simpulan dan Saran 56
Daftar Pustaka 57
RIWAYAT HIDUP 59
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
antosianin yang diasilasi (Tsukui et al. 2002). Antosianin terasilasi pada ubi jalar
ungu relatif stabil terhadap perubahan pH, panas, dan cahaya (Cevallos-Casals
dan Cisneros-Zevallos 2004; Jie et al. 2013).
Ubi jalar biasanya disimpan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi atau diolah.
Perubahan sifat sensori selama penyimpanan sangat penting, dan perubahan
tersebut mungkin diinginkan atau tidak diinginkan (van Oirschot et al. 2003).
Perubahan tekstur yang lembut dan lembab selama penyimpanan dianggap
diinginkan di Amerika Serikat (Hamann et al. 1980). Di Indonesia ubi jalar
biasanya disimpan terlebih dahulu untuk mendapatkan rasa ubi jalar yang lebih
manis.
Ubi jalar ungu banyak dikonsumsi dalam bentuk goreng, rebus, atau
panggang; kadang-kadang diolah menjadi tepung, dodol, selai atau mie instan. Di
antara potensi pemanfaatan lain dari ubi jalar ungu adalah diolah menjadi bentuk
flakes dengan warna khas dari antosianin. Flakes merupakan sediaan kering atau
serpihan yang dibuat melalui tahapan pembuatan pasta dari ubi jalar rebus atau
kukus, kemudian dikeringkan dengan pengering drum. Flakes umumnya dibuat
dari kentang, dikenal dengan potato flakes. Flakes dapat diolah lebih lanjut
sebagai ingredien pangan untuk pembuatan french fried potatoes atau potato chips
(Lamberti et al. 2004).
Pembuatan flakes secara umum melalui tahapan proses pembuatan pasta
dengan cara dikukus, direbus, digoreng atau dipanggang, kemudian pasta tersebut
dikeringkan dengan pengering drum. Konsentrasi dan warna antosianin dapat
berubah karena pengaruh pemanasan (Truong et al. 2010, Kim et al. 2012,
Lachman et al. 2012, Burgos et al. 2013). Pengaruh panas merupakan masalah
yang banyak ditemukan dapat menurunkan konsentrasi antosianin selama
pengolahan.
Perumusan Masalah
2012), identifikasi jumlah monomer antosianin (Terahara et al. 2004, Truong et al.
2010), stabilitas antosianin (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2004, Jie et
al. 2013), aktivitas antioksidan (Kano et al. 2005; Takahata et al. 2011; Jiao 2012),
mencegah kanker usus (Lim 2012), pengaruh pengolahan terhadap kadar
antosianin (Burgos et al. 2013). Belum ditemukan penelitian mengenai
karakteristik antosianin dan profil sensori ubi jalar ungu yang dibudidayakan pada
daerah berbeda. Informasi mengenai perubahan warna dan konsentrasi antosianin
sebagai akibat proses pengolahan panas ubi jalar menjadi flakes ubi jalar juga
belum tersedia.
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
kesehatan. Sebagai negara agraris beriklim tropis setiap wilayah akan memberikan
karakteristik hasil tanam yang memiliki ciri khas. Informasi dari penelitian ini
dapat menjadi referensi dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51
Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, dan PP No. 31 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi
(WGPPPSL).
Ruang Lingkup Penelitian
Kadar air
Antosianin monomerik
Model penurunan
jumlah antosianin
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah
kajian mengenai jumlah antosianin monomerik; pengaruh pH terhadap warna,
spektra warna; aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak antosianin ubi jalar
ungu Ayamurasaki yang dibudidayakan pada tiga lokasi yang berbeda. Ubi jalar
ungu yang dibudidayakan di Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung, dan
Pakembangan-Kuningan disimpan selama 7 hari, diblansir kukus, dan diukur
kadar air, jumlah antosianin monomerik; dilihat perubahan warna; diukur spektra
warna ekstrak antosianin pada pH 1-14; dianalisis aktivitas antioksidan dan
stabilitas ekstrak antosianin pada pH 1, 4.5 dan 7.
Tahap ke dua mengkaji mengenai profil sensori ubi jalar ungu
Ayamurasaki panggang yang dibudidayakan di Cilembu-Sumedang, Banjaran-
Bandung, dan Pakembangan-Kuningan. Ubi jalar ungu disimpan selama 7 hari
dan 30 hari pada suhu ruang (± 30 oC), kelembaban (±80%). Ubi jalar ungu
panggang kemudian diukur profil sensori dengan metode QDA (Quantitative
Descriptive Analysis) oleh panelis terlatih.
Tahap ke tiga mengkaji mengenai model penurunan konsentrasi antosianin
monomerik ubi jalar ungu segar dan flakes rehidrasi selama pemanggangan. Ubi
jalar ungu yang digunakan sebagai sampel adalah ubi jalar ungu Ayamurasaki
yang dibudidayakan di Cilembu. Ubi jalar ungu dibuat flakes dengan cara ubi jalar
ungu dibersihkan, dikupas dengan pengupas abrasive, dipotong, dikukus, dan
dikeringkan dengan pengering drum. Flakes ditambahkan air 65%, diaduk sampai
membentuk pasta, ditimbang, dan dibentuk kubus dengan panjang sisi 4 cm,
kemudian dibungkus dengan aluminium foil. Ubi jalar segar dicuci, dikeringkan,
dipotong kubus dengan panjang sisi 4 cm, kemudian dibungkus dengan
aluminium foil. Semua sampel dipanggang dengan oven listrik pada suhu 150 oC
(120 menit), suhu 200 oC (90 menit) dan suhu 250 oC (60 menit). Dari setiap suhu
pemanggangan diambil 6 titik sampel, kemudian dianalisa jumlah antosianin
monomerik.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
Anthocyanin is a natural pigment with color varying from red, purple, blue to
yellow. The stability of its anthocyanin color is affected by pH, temperature and
light. Purple sweet potato is rich in anthocyanin, particularly a stable acylated
anthocyanin. This research was conducted to study the effect of pH on color and
antioxidative activity of anthocyanin extracted from purple sweet potatoes
harvested from Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung and Pakembangan-
Kuningan. The results showed that the total number of monomeric anthocyanin in
purple sweet potato harvested from Cilembu was higher than that of Banjaran and
Pakembangan. The color of purple sweet potato anthocyanin extract was pH
dependent. The color changed from red, faded red, purple, blue, green and yellow
along with the increase of pH from 1 to 14. The content of anthocyanin from three
locations of purple sweet potatoes differed from each other (P<0.05). Radical
scavenging activity and reducing power of purple sweet potato anthocyanins
extract at pH 1 was higher than that at pH 4.5 and pH 7. Stability of extract
anthocyanin at pH 7 was lowest than that at pH 4.5 and pH 1.
ABSTRAK
Antosianin merupakan pewarna alami dengan warna bervariasi dari merah, ungu,
biru, dan kuning tergantung nilai pH-nya. Stabilitas warna antosianin dipengaruhi
pH, suhu dan cahaya. Ubi jalar ungu mengandung antosianin terasilasi yang
bersifat stabil. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh pH pada
warna, dan aktivitas antioksidan ekstrak antosianin ubi jalar ungu yang
dibudidayakan di Cilembu - Sumedang; Banjaran - Bandung; dan Pakembangan -
Kuningan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah total antosianin monomer
dalam ekstrak antosianin ubi jalar ungu yang dibudidayakan di Cilembu (3.78 ±
0.08 mg setara sianidin-3-glukosida/g berat kering, bk); dan lebih tinggi
dibandingkan dari Banjaran (3.18 ± 0.01mg/g bk) dan lebih tinggi dibandingkan
dari Pakembangan (2.25 ± 0.01 mg/g bk). Jumlah antosianin dari ubi jalar ungu
yang berasal dari tiga lokasi berbeda secara nyata (p<0.05). Warna ekstrak
antosianin ubi jalar ungu berubah dari merah, merah pudar, ungu, biru, hijau dan
kuning seiring dengan meningkatnya pH dari 1 sampai 14. Aktivitas penangkapan
radikal bebas dan kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1
lebih tinggi dibandingkan pada pH 4.5 dan pH 7. Stabilitas ekstrak antosianin
pada pH 7 adalah yang paling rendah dibandingkan pada pH 4.5 dan pH 1.
1
Sebagian dari Bab 2 ini sudah melalui telaah satu pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
10
PENDAHULUAN
Bahan
Ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki telah diverifikasi karakteristik
taksonominya di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi),
Malang, diperoleh dari Petani di Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung dan
Pakembangan-Kuningan dengan masa tanam 5 bulan (November 2012 – April
2013). Bahan kimia pro-analis metanol, KCl, CH3COONa, NaOH, HCl, 1.1-
diphenil-2-picrylhydrazyl (DPPH), L-ascorbic acid, kuersetin dari Sigma-Aldrich.
Dalam penelitian ini dilakukan dua kali ulangan dan tiga kali pengukuran.
Persiapan sampel
Ubi jalar ungu dari tiga lokasi tumbuh (Cilembu-Sumedang, Banjaran-
Bandung dan Pakembangan-Kuningan.) dibersihkan, dicuci dengan air mengalir,
kemudian dibuang kulitnya dengan menggunakan pengupas abrasif. Ubi jalar
selanjutnya dipotong dengan pisau baja tahan karat. Ubi jalar dipotong dengan
panjang ± 3 cm, kemudian masing-masing potongan dibelah empat. Terhadap
sampel dilakukan blanching dengan menggunakan steam blancher selama 7 menit.
Sampel selanjutnya dihancurkan dan dibekukan pada suhu -27oC.
( )
sinar sampel diukur setiap 2 hari selama 10 hari untuk penyimpanan suhu 4oC dan
untuk penyimpanan pada suhu ruang penyerapan sinarnya diukur setiap hari
selama 7 hari.
Cilembu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Banjaran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pakembangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gambar 1. Warna ekstrak antosianin pada pH 1-14
Ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH asam kuat 1-3 berwarna merah,
pada asam lemah pH 4-6 berwarna ungu, pH 7 berwarna biru, pada pH basa lemah
8-9 berwarna hijau, dan pada pH 10, 11, 12, 13 dan 14 berwarna kuning. Hasil
penelitian Cevallos – Casals dan Cisneros Zevallos (2004), menunjukkan warna
ekstrak antosianin ubi jalar merah pada pH 0.9 sampai pH 4 berwarna merah, pada
pH 5 sampai 7 berwarna ungu, pada pH 8 dan pH 9 berwarna biru, dan pada pH
10.7 dan 11.7 berwarna hijau. Warna ekstrak antosianin bunga teleng pada pH 1
dan pH 2 berwarna merah, pada pH 3 berwarna ungu, pada pH 4 sampai pH 9
berwarna biru, pada pH 10 sampai pH 12 berwarna hijau dan pada pH 13, dan pH
14 berwarna kuning (Nikijuluw 2013). Perbedaan pola warna ubi jalar ungu dan
bunga teleng, dikarenakan berbeda senyawa penyusunnya. Antosianin dominan
15
B OH OH OH
HO O+ O O O O
A
OH OH OH
O O O
O - O - O
O OH O OH O
OH + OH O OH + OH
OH O H H OH O
OH O O OH O O OH O
O
OH HO OH HO OH
HO
O O HH O O - OHHO O
OHHO OH
O C af O C af O C af
pH 1-2 pH 6.5 - 8 pH > 8
+
K ation F laviliu m (A H ) O H +H 2 O K uin onoid al A nid robasa(A ) O H -
Ion K uinon oidal (A ) O H
+ - -H 2 O - OCH3 OCH3
H OH OCH3 OH
- - -
-H 2 O +H 2 O O H
+ OH O
OH
OH OH OH
OH OH HO O O O
HO O
OH
O OH
OH O
O O
O
O O O OH O-
O - OH
OH - OH OH OH O
OH O OH O
O O HO H O OH O
O OH O
HO HO O HO OH
HO OH
O Caf
OH O HH O O
OHHO O -
OH O C af
O C af OH
pH > 9 H
+
p H > 10
pH < 6
C is - K alkon (C c ) 2- O H
K arb inol (B ) OH OH D i Ion K uinonoidal (A )
OH
OH OCH3
-
OH O O
-
O O OH
-
O O
HO O OH
HO O OH O OH
O
OH
O O OCH3 O
-O
OH HO O C af
O OCH3 -
-O O- OH O OH
OH O
HO HO O C af -
O + O OH O
O H
HO OH
-O
O OHHO O
OH O C af
O
O OH
OH O -
OH
O - OH HO
OH
HO pH > 12
OH p H > 12 -
pH > 9 Ion C is-K alkon (C c )
-
T rans-K alkon (C t ) Ion T rans-K alkon (C t )
2
1.5 520 nm
1
0.5
0
200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700
Panjang gelombang (nm)
Penyerapan sinar ekstrak ubi jalar ungu pada panjang gelombang 322 nm
adalah tiga kali lebih besar (300%) dari penyerapan sinar pada panjang gelombang
maksimum sinar tampak, menunjukkan adanya antosianin terasilasi. Peneliti
sebelumnya Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) menemukan
penyerapan sinar ekstrak ubi jalar merah pada panjang gelombang 330 nm adalah
tiga kali lebih besar (391%) dari penyerapan sinar pada panjang gelombang
maksimum sinar tampak, menunjukkan adanya antosianin terasilasi oleh gugus
asil asam aromatik.
Sebelumnya ditemukan ubi jalar merah banyak mengandung turunan dari
asilasi sianidin dan peonidin 3-glukosida (Truong et al. 2010). Jie et al. (2013)
menemukan bahwa komponen utama antosianin ubi jalar ungu kultivar Jihei No. 1
adalah 3-sophorosida-5-glukosida turunan dari sianidin dan peonidin yang
diasilasi dengan asam p-hidroksibenzoat, asam ferulat, atau asam kafeat.
Spektra ekstrak antosianin pada pH 1-7
Spektra ekstrak antosianin mengalami pergeseran (shifting) sejalan dengan
perubahan pH. Gambar 4 menunjukkan spektra ekstrak antosianin ubi jalar
Cilembu pada pH 1-7. Pada pH 1-3 antosianin memiliki puncak penyerapan sinar
maksimum pada kisaran panjang gelombang 520-525 nm. Dengan meningkatnya
pH hingga mencapai pH 3, pergeseran hipokromik (hypochromic shift) terjadi
dimana penyerapan maksimumnya menurun. Perubahan spektra ini adalah karena
perubahan struktur antosianin dari bentuk kation flavilium menjadi hemiketal atau
kuinonoidal (Brouillard 1982). Jika pH dinaikkan dari pH 4 ke pH 7 terjadi
pergeseran batokromik (bathocromic shift) dari kisaran panjang gelombang 520 -
525 (pH 3) ke panjang gelombang 535 nm (pH 4), 540 nm (pH 5), 582 nm (pH 6)
dan 590 nm (pH 7).
pH 1 pH 2 pH 3
2.5
pH 4 pH 5 pH 6
Penyerapan Sinar
pH 7
1.5
0.5
0
200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700
Panjang Gelombang (nm)
3
pH 8 pH 9 pH 10 pH 11
2.5
pH 12 pH 13 pH 14
2
Penyerapan Sinar
1.5
0.5
0
200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700
Panjang Gelombang (nm)
DPPH ekstrak antosianin ubi jalar ungu tertinggi pada pH 1, diikuti oleh aktivitas
penangkapan radikal bebas DPPH pada pH 4.5 dan pH 7. Hasil ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang menemukan aktivitas antioksidan ekstrak lowbush
blueberry (Kalt et al. 2000), ekstrak bunga teleng (Marpaung 2012) lebih tinggi
pada pH 1 dan diikuti oleh pH 4.5 dan pH 7. Hasil penelitian ini berbeda dengan
yang dilaporkan oleh Ruenroengklin et al. (2008) yang menunjukkan bahwa
aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH ekstrak antosianin kulit litchi pada pH
3-5 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pH 1 dan 7.
Antosianin dari ubi jalar ungu mempunyai aktivitas penangkapan radikal
bebas DPPH mendekati kemampuan penangkapan radikal bebas dari asam
askorbat (Terahara et al. 2004, Jiao et al. 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan
konsentrasi ekstrak antosianin ubi jalar ungu dari Cilembu 7.35 ppm pada pH 1,
4.5, dan 7 memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH setara dengan
kuersetin secara berurutan 100.8 mg/L, 9.06 mg/L dan 7.32 mg/L. Konsentrasi
ekstrak antosianin ubi jalar ungu dari Banjaran 7.35 mg/L pada pH 1, 4.5, dan 7
memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH setara dengan kuersetin
secara berurutan 98.23 mg/L, 8.38 mg/L dan 7.09 mg/L. Konsentrasi ekstrak
antosianin ubi jalar ungu dari Pakembangan 7.35 mg/L pada pH 1, 4.5, dan 7
memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH setara dengan kuersetin
secara berurutan 94.21 mg/L, 10.09 mg/L dan 7.51 mg/L.
86.1a
80
60
40 pH 1
20 9.06b 8.38b 10.09b b
6.463.33 7.36b pH 4.5
7.32c 7.51c c 5.87b c 3.37c
7.09c 3.3
0 pH 7
Cilembu
Cilembu
Pakembangan
Pakembangan
Banjaran
Banjaran
dipengaruhi oleh pH. Kekuatan mereduksi ekstrak antosianin ubi jalar ungu
tertinggi pada pH 1, diikuti oleh kekuatan mereduksi pada pH 4.5 dan pH 7. Hasil
ini sejalan dengan temuan peneliti sebelumnya yang menemukan kekuatan
mereduksi antosianin ekstrak ubi jalar ungu (Jiao et al. 2012), dan antosianin kulit
leci (Duan et al. 2007) lebih besar dibandingkan kekuatan mereduksi asam
askorbat. Antosianin yang dominan pada pH 1 adalah kation flavilium, sehingga
lebih mudah mendonorkan elektron dibandingkan karbinol (pH 4.5) dan
kuinonoidal (pH 7).
100
80
60
pH 1
40
pH 4.5
20 12.22b
10.2c
11.8b 11.86b 11.02b c 10.8b 10.66b pH 7
10.28c 9.75c 8.12 8.18c 8.55c
0
Cilembu
Cilembu
Pakembangan
Pakembangan
Banjaran
Banjaran
0 hari
100
Retensi penyerapan sinar
95 pH 1 R
90
pH 1RF
pada λ max (%)
85
80 pH 4.5 R
75
70 pH 4.5 RF
65
60 pH 7 R
55 pH 7 RF
50
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)
Gambar 9. Kecepatan penurunan retensi penyerapan sinar pada λ maksimum
ektsrak antosianin ubi jalar ungu dari Cilembu selama penyimpanan, R (suhu
ruang, ± 26 oC), RF (suhu 4oC).
22
Kemiringan kurva relatif makin besar sejalan dengan naiknya pH, dan
relatif kemiringannya lebih besar pada penyimpanan selama 7 hari pada suhu
ruang dibandingkan dengan penyimpanan 10 hari pada suhu 4oC (Gambar 9).
Stabilitas ekstrak antosianin terhadap pH selama penyimpanan pada suhu 4oC
diukur berdasarkan penyerapan sinarnya setiap 2 hari sampai 10 hari dan setiap
hari pada suhu ruang selama 7 hari, dinyatakan sebagai % retensi warna (Gambar
9). Retensi warna menyatakan penurunan penyerapan sinar sampel yang diukur
pada panjang gelombang maksimum selama penyimpanan. Gambar 9 terlihat jelas
kecepatan penurunan retensi penyerapan sinar selama penyimpanan adalah pada
pH 7. Pada pH 7 yang dominan adalah kuinonoidal yang bersifat tidak stabil,
sehingga retensi warna semua sampel pada pH 7 adalah yang paling rendah.
Penurunan persen retensi warna antosianin pada pH 7 paling besar dibandingkan
pH 4.5 dan pH 1.
Pada pH 1 struktur antosianin yang dominan adalah kation flavilium, pada
pH 4.5 yang dominan hemiketal karbinol, dan kuinonoidal dan pada pH 7 yang
dominan adalah kuinonoidal (Lee et al. 2005). Hasil penelitian ini sejalan dengan
pendapat Cevallos-Casals dan Cisneros – Zevallos (2004) yang mengemukakan
bahwa retensi warna ekstrak antosianin ubi jalar merah pada pH 3 lebih rendah
dari pada pH 1. Hal ini dikarenakan rendahnya penyerapan sinar awal dari ekstrak
pada pH 3 yang menunjukkan rendahnya kandungan kation flavilium
dibandingkan pH 1.
Tingkatan pH dapat mempengaruhi stabilitas antosianin. Meningkatnya
pH 1-6 mempercepat degradasi antosianin, terutama sianidin-3,5-diglukosida
(Hou et al. 2013). pH lebih besar dari 3 menurunkan stabilitas antosianin.
Antosianin paling stabil pada pH 2, meningkatnya pH menurunkan stabilitas
warna (Cevallos-Casals dan Cisneros – Zevallos 2004). Torskangerpoll dan
Andersen (2005) melaporkan bahwa stabilitas warna antosianin sangat tergantung
pada pH dan struktur antosianin. Stabilitas antosianin meningkat dengan
meningkatnya jumlah metoksil pada cincin B dan menurun seiring dengan
meningkatnya hidroksil. Secara umum antosianin stabil pada pH asam (Escribano-
Bailón et al. 2004). Antosianin lebih tahan terhadap panas ketika antosianin
berada pada kondisi asam (Hou et al. 2013).
KESIMPULAN
Kandungan antosianin monomerik ubi jalar yang berasal dari Cilembu
Kabupaten Sumedang lebih tinggi dibandingkan dari Banjaran Kabupaten
Bandung dan Pakembangan Kabupaten Kuningan. Warna ekstrak antosianin ubi
jalar ungu berubah dari merah, merah pudar, ungu, biru, hijau dan kuning seiring
dengan kenaikan pH 1 hingga pH 14. Spektra warna ekstrak antosianin dari pH 1
sampai pH 3 mengalami penurunan konsentrasi (hypochromic shift), pada pH 4
sampai pH 7 mengalami bathocromic shift, pada pH 8 sampai pH 11 mengalami
hyperchromic shift, dan pada pH 12 sampai pH 14 mengalami hypsochromic shift.
Aktivitas antioksidasi ekstrak antosianin ubi jalar ungu lebih tinggi pada pH 1
dibandingkan pada pH 4.5 dan pH 7. Warna ekstrak antosianin ubi jalar ungu
lebih stabil disimpan pada suhu rendah dibandingkan disimpan pada suhu ruang
(± 26 oC). Ekstrak antosianin paling stabil pada pH 1 dibandingkan pH 4.5 dan pH
7. Jumlah antosianin monomerik dipengaruhi lokasi budidaya. Pola warna, spektra,
dan aktivitas antioksidan ekstrak antosianin ubi jalar ungu tidak dipengaruhi
23
lokasi budidaya ubi jalar. Pola warna, spektra, aktivitas antioksidasi dan stabilitas
ekstrak antosianin ubi jalar ungu dipengaruhi oleh pH.
DAFTAR PUSTAKA
George NA, Pecota KV, Bowen BD, Schultheis JR, Yencho GC. 2011. Root piece
planting in sweetpotato – a synthesis of previous research and directions for
the future. Hort Tech 21: 703–711.
Green RC. 2007. Physicochemical properties and phenolic composition of
selected Saskatchewan fruits: buffaloberry, chokecherry and sea buckthorn
[Thesis]. Saskatchewan (Canada): University of Saskatchewan).
Huang CL, Liao WC, Chan CF, Lai YC. 2010. Optimization for extraction
anthocyanin from purple sweet potato roots using response surface
methodology. J Taiwan Agric Res 59(3) : 143-150.
Husnah S. 2010. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas varietas
Ayamurasaki) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar. [Skripsi].
Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian B. Bogor.
Jensen MB, Bergamo CA, Payet RM, Liu X, Konczak I. 2011. Influence of
copigment derived from Tasmannia pepper leaf on Davidson’s plum
anthocyanins. J Food Sci 76: C447–C453.
Jiao Y, Jiang Y, Zhai W dan Yang Z. 2012. Studies on antioxidant capacity of
anthocyanin extract from purple sweet potato (Ipomoea batatas L.). Afr J
Biotechnol 11(27): 7046-7054. DOI: 10.5897/AJB11.3859.
Jie L, Xiao-ding L, Yun Z, Zheng-dong Z, Zhi-ya O, Meng L, Shao-hua Z, Shuo
L, Meng W, Lu O. 2013. Identification and thermal stability of purple-fleshed
sweet potato anthocyanins in aqueous solutions with various pH values and
fruit juices. Food Chem 136: 1429–1434. DOI:
10.1016/j.foodchem.2012.09.054.
Kano M, Takayanagi T, Harada K, Makino K, Ishikawa F. 2005. Antioxidative
activity of anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea batatas cultivar
Ayamurasaki. Biosci Biotechnol Biochem 69: 979-988.
Kim EH, Lee OK, Kim JK, Kim SL, Lee J, Kim SH, Chung IM. 2014.
Isoflavones and anthocyanins analysis in soybean (Glycine max (L.) Merill)
from three different planting locations in Korea. Field Crops Res 156: 76–83.
DOI: 10.1016/j.fcr.2013.10.020.
Lee J, Durst W, Wrolstad RE. 2005. Determination of total monomeric
anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and
wines by the pH differential method: Collaborative study. J AOAC Int 88:
1269–1278.
Lim S. 2012. Anthocyanin-enriched Purple Sweet Potato for Colon Cancer
Prevention [Disertasi]. Kansas: Department of Human Nutrition, Kansas State
University Manhattan.
Março PH, Poppi RJ, Scarminio IS, Tauler R. 2011. Investigation of the pH effect
and UV radiation on kinetic degradation of anthocyanin mixtures extracted
from Hibiscus acetosella. Food Chem 125: 1020–1027. DOI:
10.1016/j.foodchem.2010.10.005.
Marpaung AM. 2012. Optimasi Proses Ekstraksi Antosianin Pada Bunga Teleng
(Clitoria ternatea L.) dengan Metode Permukaan Tanggap [Tesis]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nikijuluw C. 2013. Color Characteristic of Butterfly Pea (Clitoria ternatea L.)
Anthocyanin Extracts and Briliant Blue [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
25
ABSTRACT
This study was aimed to observe the sensory profile of baked purple sweet potato
cultivated in three different locations. Quantitative Descriptive Analysis (QDA)
was used to describe the key sensory attributes of the baked purple sweet potato.
Harvested purple sweet potato were stored at room temperature for seven and 30
days before baking. Fifteen sensory descriptors generated in the brainstorming
session include purple, sweet, floury, caramel taste, after taste, bitter, sweet potato
flavor, off flavor, caramel flavor, baked flavor, sticky, grainy, fibrous, moist, and
soft. The results of this study indicated that the differences in purple sweet potato
cultivation location affected the purple color, sweetness and stickiness of the
baked purple sweet potato. Storage time affected the purple color, sweetness, and
bitterness as well as the texture of the baked purple sweet potato. Principal
component analysis (PCA) explained two principal components (PC1 and PC2),
with diversity of 79.10% on sensory attributes. The main component PC1
explained 55.53% variation on sensory attributes associated with the sweetness,
floury, caramel taste, bitterness, after taste, sweet potato flavor, off flavor, caramel
flavor, baked flavor, and grainy. While PC2 explained 23.57% variation on
sensory attribute associated with the purple color, stickiness, moistness, softness
and fibrous.
PRACTICAL APLICATIONS
Purple sweet potato (PSP) is an important food crop for nutrient and anthocyanin
content which are beneficial for health. PSP contains acylated anthocyanin which
is essential to reduce the risk of colon cancer, and acts as anti-diabetic and
antioxidant. People usually prefer to eat fresh PSP or after being stored and
cooked. PSP is commonly baked, steamed, or boiled before consumption. The
cultivation locations of PSP may affect the anthocyanin content. Changes in
sensory properties during storage resulted in different sensory characteristics
either desirable or undesirable. The results of this study provide information on
the effect of cultivation location and storage time on the sensory profile of baked
purple sweet potato.
Keywords: sensory profile, purple sweet potato, Quantitative Descriptive Analysis
INTRODUCTION
Sweet potato (Ipomoea batatas L) is an important crop beside rice, wheat,
potatoes, corn and cassava. Sweet potato is easy to cultivate, it can grow on
various soil types including marginal land. The plant is drought resistant. It
requires low chemical fertilizers and has high productivity with a relatively short
growing season of three to six months (George et al. 2011). Based on the tuber
flesh color, there are four types of sweet potatoes, as follows: cream, yellow,
2
Artikel ini sudah didaftarkan untuk dipublikasi pada Journal of Sensory Studies
28
orange and purple sweet potatoes. Purple sweet potato is rich in anthocyanin
which give its attractive colors. Sweet potato cultivation widely spreads in West
Java, Indonesia, such as in Cilembu-Sumedang, Banjaran-Bandung, and
Pakembangan-Kuningan. These three locations different in geographical and
climatic characteristics. Cilembu village in Sumedang is located at 600 m above
sea level with temperature average of 28 ° C (Ismet 2014). The village of
Banjaran in Bandung is located at 650-700 m above sea level with average
temperature of 29 oC. The altitude Pakembangan village in Kuningan is 400 m
above sea level with temperature average of 31 °C (Anonymous 2014). Several
researchers previously reported that the geographical location and ambient
temperature affect the growth and total anthocyanin content of potato (Reyes et al.
2004; Brown et al. 2008), bilberry (Burdullis et al. 2007), cherry (Pedisic et al.
2010) , and soybean (Kim et al. 2014).
Sweet potato is usually stored before consumption or processed. Changes
in sensory properties during storage are very important, and these changes may be
desirable or undesirable (van Oirschot et al. 2003). Changes in texture and
moistness during storage is considered desirable in the United States (Hamann et
al. 1980). Previous research conducted on sweet potato includes: the relationship
between carotenoids and sensory (Tomlins et al. 2012), a decrease in β-carotene
during storage of sweet potato (Bridgers et al. 2010), biochemical changes during
storage (Zhang et al. 2002), the characteristics sensory of five sweet potato
cultivars during storage (van Oirschot et al. 2003), and sensory attributes and
consumer acceptance of sweet potato (Leksrisompong et al. 2012). No studies
have been done on the effect of cultivations location on the sensory profile of
baked purple sweet potato.
Quantitative Descriptive Analysis (QDA) is a type of sensory evaluation
that help to explain the key sensory attributes of the sample being evaluated. Key
sensory attributes are usually generated in a brainstorming session, followed by a
discussion among panelists. The specific objective of this study is to develop
suitable vocabulary to characterize the sensory properties of baked PSP, and use
the resulting attributes to develop the sensory profile. PSP of Ayamurasaki
varieties were obtained from farmers in Cilembu village in Sumedang, Banjaran
village in Bandung and Pakembangan village in Kuningan. Principal component
analysis was used to simplify the characterization of the main sensory attributes of
baked PSP.
Storage
Harvested PSPs were stored for seven days (identified as CS7, BB7, BK7)
and 30 days (identified as CS30, BB30, BK30) before being baked. Storage was
done at room temperature with air circulation, enough light and relative humidity
of about 80%.
29
Baking Preparation
As many as 150-200 g PSP was randomly selected from the storage pile,
washed, dried and then baked at 200 °C for about 90 minutes. Sweet potato was
baked, peeled, and cut into pieces with the thickness of 3 cm. Pieces of baked PSP
were presented on a small round white plate to the panelists within 45 minutes
after baking at a room temperature. Each plate was marked with three digit
random numbers.
Quantitative Descriptive Analysis (QDA)
QDA was conducted to develop the sensory profile of baked PSP. The QDA
panelist were selected, trained, and introduced to baked PSP. QDA panel selection
was done in three stages: pre-screening, the test of ability to distinguish, and the
personal interview. As many as 73 prospective panelists consisted of 53 students
and 20 employees at the Department of Food Science and Technology were pre-
screened (Regiyana 2011). Selected panelists were tested for aquity based on
description and detection test. Based on personal interview as many as 12
panelists were selected to participate in the training phase. Finally six panelists
were appointed as QDA panel for this study which consisted of two men and four
women, ranging from 25-40 years of age.
All QDA panelists were introduced to baked PSP and requested to build
vocabulary of their sensory profile. In principle, the QDA panelists were able to
determine purple color, taste, flavor, and texture. Intensity ratings were conducted
using an unstructured line scale with a length of 15 cm, in four replications and
replicates performed on different days. A forty gram baked PSP samples were
served on white paper plate and labeled with random three digit code then tested
by panelists. Three samples were served per session with mineral water given
between sessions. The tests were performed in the QDA laboratory at room
temperature with enough air circulation and ventilation.
Data Analysis
All data were analyzed statistically, and microsoft office excel 2010 used
for processing statistical data, including spider webs of QDA results. SPSS 16 was
selected for testing differences between the respective average measured
parameters. Principal component analysis (PCA) was performed using XLSTAT
2014 Addinsoft.
potato. Off flavor describes the bad smell such as that caused by beetle Cylas
formycarius Fab. Baked flavor describes the flavor of burning baked product.
Sticky describes a smooth texture, and soft. Grainy describes the texture baked
sweet potato when pressed on finger or sand like taste. Fibrous describes fiber like
taste. Moist describes the texture of wet watery. Soft describe a soft texture.
Descriptors chosen by panelist for this study are basically derived from the
sensory attributes selected and agreed upon by all the panelists with the help of
panel leader. All descriptors generated associated with color, taste, flavor, and
texture attributes.
Sticky Bitter
CS BB PK
In general the result show that baked purple sweet potato harvested from
Cilembu-Sumedang specifically has richer sensory attributes than those harvested
from Banjaran-Bandung and Pakembangan-Kuningan. It seems harvest location
including its soil and climate characteristics influences the sensory profiles of
baked purple sweet potato.
Correlations between sensory attributes were analyzed as shown in Table 2.
Pairs of sensory attributes that show high correlation are as follows: moist and
soft (0.990), off flavor and after taste (0.974), off flavor and bitter (0.935), sweet
potato flavor and caramel taste (0.907), caramel flavor and baked flavor (0.887),
and sweet potato flavor and floury (0.884).
29
32
TABEL 2. CORRELATIONS BETWEEN SENSORY ATTRIBUTES OF BAKED PURPLE SWEET POTATO*.
A Sweet
Carame fter potato Off Carame Baked
Variables Purple Sweet Floury l taste taste Bitter flavor flavor l flavor flavor Sticky Grainy Fibrous Moist Soft
- 0 - 0
Purple 1 0.255 -0.773 0.562 0.689 -0.915 0.841 0.771 0.343 0.006 0.470 -0.519 -0.511 -0.013 -0.074
- 0 - 0
Sweet 1 -0.640 0.502 0.525 -0.377 0.507 0.468 0.233 0.400 0.741 -0.748 0.118 0.044 -0.096
0 0 0 -
Floury 1 -0.620 .868 -0.844 0.899 0.811 -0.185 0.134 -0.418 0.689 -0.054 -0.400 -0.291
- 0 - 0
Caramel taste 1 0.899 -0.762 0.907 0.941 0.874 0.817 0.295 -0.949 0.069 0.382 0.299
- 0 -
After taste 1 0.915 0.950 0.974 -0.585 0.546 -0.216 0.866 -0.192 -0.581 -0.490
- 0 -
Bitter 1 0.956 0.935 -0.454 0.251 -0.309 0.708 0.138 -0.358 -0.281
- 0
Sweet potato flavor 1 0.989 0.663 0.500 0.412 -0.874 -0.121 0.313 0.221
-
Off flavor 1 -0.703 0.577 -0.298 0.883 0.003 -0.425 -0.340
0
Caramel flavor 1 0.887 0.224 -0.769 -0.119 0.100 0.060
Baked flavor 1 0.111 -0.780 0.288 0.318 0.264
Sticky 1 -0.513 -0.572 -0.578 -0.687
Grainy 1 -0.073 -0.280 -0.165
Fibrous 1 0.836 0.831
Moist 1 0.990
Soft 1
*
Data were collected during sensory evaluation of baked PSP from three different cultivated locations, storage for 7 and 30 days
33
Purple Purple
15.00 Soft 15.00 Sweet
Soft Sweet
Moist Floury Moist 10.00 Floury
10.00
0.00 0.00
Grainy After taste Grainy After taste
Sticky Bitter
1.5
BB7
1 BB30
Soft Fibrous
0.5 Moist
F2 (23,57 %)
-1
PK7
-1.5
CS7
-2
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
F1 (55,53 %)
DISCUSSION
Previous researchers found that during storage, brown spots causes a bitter
taste (Miyazaki and Ino, 1991), after taste (Ravi and Aked, 1996) was more
pronounced as after cooked. According to Zhang et al. (2002) sweet potato starch
content decreased during storage of 0-180 days, alpha-amylase activity increased
during the first 2 months of storage. The decrease in starch content associated
with α-amylase activity during the first 60 days of storage (r = 0.80, P = 0.06).
Glucose and sucrose concentration increased at the beginning of storage and then
remained constant after 5 weeks of storage. According to van Oirschot et al.
(2003) storage affects the sweetness of sweet potato and chesnut but does not
affect the texture. The content of anthocyanin PSP decreases with storage time.
(Grace et al. 2014).
PSP Cilembu-Sumedang grows in colder local environment than PSP in
Banjaran-Bandung and Pakembangan-Kuningan, West Java Indonesia. According
to previous research, potato anthocyanin was affected by variety and soil-climatic
condition (Hejtmankova et al. 2013; Ieri et al. 2011). Low temperature and high
light intensity induce anthocyanin synthesis (Ieri et al. 20011). Sensory
differences between cultivars of sweet potato are mainly determined by the texture
component (van Oirschot et al. 2003).
CONCLUSION
This study used QDA to describe the key attributes of the sensory baked
PSP. As many as fifteen descriptors were generated to describe the sensory
attributes of baked sweet potato : purple, sweet, floury, caramel taste, after taste,
bitter, sweet potato flavor, off flavor, caramel flavor, baked flavor, sticky, grainy,
fibrous, moist, and soft. The differences in PSP cultivation location affected the
purple color, sweetness, and stickiness of the baked PSP. Storage time affects the
purple color, sweetness, and bitterness as well as the texture of the baked PSP.
Acknowledgements
The authors would like to thank the Directorate General of Higher Education,
Ministry of Education and Culture, Republic of Indonesia, for funding this
research through doctoral dissertation research grant 2014.
REFERENCES
ABSTRAK
Antosianin merupakan salah satu kelompok zat warna alami yang terdapat
pada tanaman, seperti daun, bunga, umbi, buah atau sayur. Salah satu sumber
antosianin pada tanaman adalah ubi jalar ungu (UJU) yang mengandung lebih dari
98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin umbi. Warna antosianin
bervariasi mulai dari merah, ungu, biru, sampai kuning. Warna dan konsentrasi
antosianin dapat berubah karena pengaruh panas. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari perubahan warna dan konsentrasi antosianin monomerik sebagai
akibat proses pengolahan dalam pembuatan flakes UJU. Penelitian ini mengkaji
juga mengenai model kinetika reaksi pengaruh suhu dan waktu panggang terhadap
konsentrasi antosianin UJU segar dan flakes rehidrasi. Penelitian menggunakan
rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Warna dan konsentrasi
antosianin dari UJU segar, setelah proses pengukusan dan setelah menjadi flakes
dibandingkan. UJU segar berwarna ungu kecoklatan (L*=23.38±0.71,
C=9.84±0.98, Hue=12.25±1.61). Konsentrasi antosianin monomerik pada UJU
segar adalah 1.45±0.00 mg setara sianidin (CyE)/g basis kering (bk). Secara
umum, warna dan konsentrasi antosianin UJU berubah selama proses pembuatan
flakes. UJU yang dikukus selama 7 menit berubah menjadi ungu cerah
(L*=25.88±0.47, C=24.64±0.25, Hue=348.83±0.33) dengan konsentrasi
antosianin monomerik meningkat menjadi 3.76±0.01 mg CyE/g bk. Flakes UJU
berwarna ungu sangat cerah (L*=36.12±0.11, C=9.97±0.18, Hue=359.29±0.31)
dan konsentrasi antosianin monomerik sedikit lebih rendah dibandingkan ubi jalar
setelah dikusus (3.19±0.12 mg CyE/g bk). Jumlah antosianin monomerik UJU
segar dan flakes rehidrasi menurun seiring dengan waktu dan suhu pemanggangan.
Kata kunci : Warna, antosianin, ubi jalar ungu, flakes, kecepatan penururunan
ABSTRACT
3
Bab 4 ini sudah didaftarkan untuk dipublikasi pada Jurnal Agritech Fakultas Teknologi Pertanian
UGM, sudah hasil telaah dua
39
PENDAHULUAN
Antosianin merupakan zat warna larut air yang banyak ditemukan pada
tanaman, yaitu di bagian bunga, daun, umbi, buah atau sayur. Antosianin adalah
senyawa yang terdiri dari antosianidin dan gugus gula. Antosianidin yang banyak
ditemukan di dalam buah, sayur atau umbi adalah pelargonidin, sianidin,
delfinidin, peonidin, petunidin dan malvidin (Kim et al., 2012). Antosianin dapat
memberikan warna yang berbeda (merah, ungu, biru, atau kuning), tergantung
pada pHnya. Pada kondisi pH asam antosianin berwarna merah atau ungu, pada
pH basa berwarna hijau atau kuning, dan pada pH netral berwarna biru.
Antosianin sebagai pewarna banyak digunakan sebagai pewarna alami pada
produk minuman, minuman fermentasi, jus, sari buah, dan mie instan. Di samping
sebagai zat warna alami, antosianin juga dapat berperan sebagai antioksidan,
antiinflamasi, antikanker (kanker kolon), dan mempunyai kemampuan untuk
menurunkan glukosa darah (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2004; Wu et
al., 2004; Jiao et al., 2012; Burgos et al., 2013).
Ubi jalar ungu merupakan sumber antosianin, yaitu mengandung lebih dari
98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin yang terkandung di dalam
umbi (Jie et al., 2013). Jenis antosianin yang ditemukan di dalam ubi jalar ungu
adalah sianidin 3-kafeol-sophorosida-5-glukosida dan peonidin 3-kafeol-
sophorosida-5-glukosida (Odake et al., 1992; Goda et al., 1997; Terahara et al.,
2004; Montilla et al., 2011; Jie et al., 2013). Varietas Ayamurasaki mengandung
74% peonidin dan 19% sianidin dari antosianin yang diasilasi (Tsukui et al.,
2002). Antosianin terasilasi pada ubi jalar ungu stabil terhadap perubahan pH,
panas, mempunyai aktivitas antioksidan dan antimutagenetik (Yoshimoto et al.,
1999; Yoshimoto et al., 2001; Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2004;
Kano et al., 2005; Jie et al., 2013).
Ubi jalar ungu (UJU) banyak dikonsumsi dalam bentuk goreng/rebus atau
diolah menjadi dodol dan selai. UJU juga mulai dikembangkan menjadi tepung
untuk digunakan sebagai ingredien pangan, misalnya untuk mie telo. Di antara
potensi pemanfaatan lain dari UJU adalah diolah menjadi bentuk flakes dengan
warna khas dari antosianin. Flakes merupakan sediaan kering atau serpihan yang
dibuat melalui tahapan pembuatan pasta dan dikeringkan dengan pengering drum.
40
Umumnya flakes diproses dari bahan baku kentang, yaitu dikenal dengan potato
flakes. Flakes dapat diolah lebih lanjut sebagai ingredient pangan untuk
pembuatan french fried potatoes atau potato chips (Lamberti et al., 2004).
Ubi jalar secara alami mengandung fenol dan enzim fenolase (Walter dan
Pucell, 1980; Thompson, 1981), sehingga setelah proses pengupasan sangat
mudah mengalami proses pencoklatan secara enzimatis (Krishnan et al., 2010)
yang dipercepat dengan paparan terhadap oksigen. Proses pencoklatan dapat
mempengaruhi warna ubi jalar, sehingga enzim perlu diinaktivasi. Inaktivasi
enzim dapat dilakukan dengan cara pengukusan, perebusan, penggorengan, atau
pemanggangan.
Pembuatan flakes secara umum melalui tahapan proses pembuatan pasta
dengan cara dikukus, direbus, digoreng atau dipanggang, kemudian pasta tersebut
dikeringkan dengan pengering drum. Konsentrasi dan warna antosianin dapat
berubah karena pengaruh pemanasan (Truong et al., 2010, Kim et al., 2012,
Lachman et al., 2012, Burgos et al., 2013). Informasi mengenai perubahan warna
dan konsentrasi antosianin sebagai akibat proses pengolahan panas ubi jalar
menjadi flakes ubi jalar belum tersedia. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi seberapa besar perubahan warna dan konsentrasi antosianin
yang terjadi selama tahap pemanasan pada proses pembuatan flakes ubi jalar ungu.
Perubahan konsentrasi antosianin monomerik dari UJU segar dan flakes rehidrasi
oleh proses pemanggangan juga dipelajari.
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah UJU varietas Ayamurasaki yang didapatkan
dari petani di Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. UJU
varietas Ayamurasaki (dengan masa tanam 5 bulan, Juni – Nopember 2013) telah
diverifikasi karakteristik taksonominya di Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang. Setelah dipanen UJU dicuci bersih,
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan kemudian disimpan selama 7 hari pada
ruangan berventilasi dengan kelembaban 80%. Ubi jalar ungu sampai tahap ini
disebut sebagai UJU segar. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis di
antaranya metanol, KCl, CH3COONa, NaOH, dan HCl dari Merck Jerman. Setiap
perlakuan dibuat dua ulangan dengan analisis triplo.
Peralatan utama yang digunakan untuk pembuatan flakes UJU adalah
pengupas abrasive Hobart, pengukus, mesin penghancur Alexanderwerk, dan
pengering drum. Alat analisis yang digunakan di antaranya sentrifuse (Hermle
Z383K), pengering beku (Labconco), evaporator putar Buchi Switzerland R210,
colorimeter (Minolta CR 310) dan Spektrofotometer UV-Vis (2450 Shimadzu).
UJU, lalu diaduk dan dikeringkan dengan pengering drum pada suhu 141.5oC
dengan kecepatan putaran 1 rpm. Flakes UJU dikemas dalam kantong plastik,
UJU segar dan UJU kukus dikeringbekukan dengan freeze dryer pada suhu -51 oC
selama 48 jam. Sampel disimpan pada suhu -27 oC hingga dianalisis.
Ekstraksi Antosianin
Ekstraksi antosianin sampel UJU segar, UJU kukus, flakes UJU, UJU segar
panggang dan flakes rehidrasi mengikuti metode Huang et al. (2010) dengan
modifikasi pada perbandingan jumlah sampel dengan pelarut, dan jenis pelarut
yang digunakan. Sebanyak 1 gram sampel disuspensikan dalam 32 mL larutan
asam-metanol 15% HCl (HCl, 1.5 M di dalam metanol). Suspensi diaduk dalam
alat penangas air goyang pada suhu 50 oC selama 60 menit. Selanjutnya suspensi
sampel disentrifus pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Supernatan
dipisahkan dan disaring dengan kertas saring Whatman no. 1. Endapan diekstrak
kembali dengan larutan asam-metanol 15% sebanyak dua kali lagi, kemudian
supernatan dikumpulkan dalam botol gelap. Sebanyak 88 mL supernatan diuapkan
dengan evaporator putar Buchi Switzerland R210 pada suhu 40 oC, 4 rpm selama
20 menit sampai diperoleh ekstrak antosianin pekat yang ditandai dengan mulai
terbentuknya endapan. Sebanyak 5-7 mL ekstrak antosianin pekat disimpan di
dalam botol gelap, disimpan pada suhu -27 oC sampai digunakan untuk analisis.
Pengukuran Warna
Warna sampel UJU segar, UJU kukus dan flakes UJU diukur dengan
colorimeter dengan sistem pengukuran CIELAB (Truong et al., 2012). Parameter
yang diukur meliputi L* (Lightness), a* = merah (+) sampai hijau (-), b* = kuning
(+) sampai biru (-). Chromacity (C) menunjukkan intensitas warna yang dihitung
dengan rumus √(a^(*2)+ b^(*2) ). Hue angle (H*) dihitung sebagai tan-1 (b*/a*).
Hue diekspresikan sebagai derajat sudut mulai dari 0o – 360o, dimana 0o (merah)
dalam kuadran +a*, diputar berlawanan arah jarum jam 90o (kuning) untuk +b*,
180o (hijau) untuk –a*, 360o (biru) untuk –b*. Colorimeter dikalibrasi dengan L*
= 92.75, a* = - 0.76, b* = - 0.07. Sampel dimasukkan ke dalam cawan petri,
diratakan permukaannya, kemudian diukur dengan colorimeter Minolta CR 310.
Nilai parameter warna tersebut dihitung dari rata-rata tiga kali ulangan
pengukuran.
Analisis Data
Data-data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata ± standar
deviasi (Mean SD). Data analisis warna dan konsentrasi antosianin monomerik
dari perlakuan pemanasan UJU (segar, kukus dan flakes ) duji sidik ragamnya
(AVOVA) kemudian dilakukan uji jarak berganda Duncan dengan menggunakan
aplikasi SPSS untuk menentukan perbedaan antar perlakuan.
Perubahan Warna
UJU segar mengandung air sebanyak 65%. Setelah proses pengukusan,
kadar air meningkat menjadi 72%, dan setelah pengeringan dengan pengering
drum menurun kembali menjadi 6%. UJU segar memiliki warna merah ungu
kecoklatan (Gambar 1A). Warna UJU berubah setelah proses pengukusan selama
7 menit menjadi ungu kemerahan (Gambar 1B). Proses lebih lanjut dengan
pengering drum drier pada suhu 141.5oC menghasilkan flakes UJU berwarna
ungu cerah (Gambar 1C).
Proses pengukusan dapat menginaktifkan enzim antosianase, polifenol
oksidase, dan peroksidase sehingga tidak mendegradasi antosianin (Shi et al.,
1992; Jang et al., 2005; Truong et al., 2010). Enzim alami yang terdapat dalam
UJU inaktif, maka tidak akan terjadi proses oksidasi dan pencoklatan, sehingga
warna dari UJU kukus adalah ungu kemerahan. Proses pengeringan pasta UJU
dapat menghilangkan sebagian besar dari kandungan air pasta, sehingga flakes
UJU berwarna ungu cerah.
A B C
Gambar 1. Ubi jalar ungu A: segar, B: kukus, dan C: Flakes
44
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Truong et al.
(2010), yaitu pemasakan dengan pengukusan selama 25 menit pada beberapa
varietas ubi jalar ungu dapat meningkatkan konsentrasi antosianin monomerik,
walaupun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
konsentrasi antosianin total. Demikian juga Lachman et al. (2012) melaporkan
bahwa konsentrasi antosianin monomerik pada kentang ungu meningkat 3.34 kali
setelah dipanggang, 4.2 kali setelah direbus, dan 4.5 kali setelah dikukus. Namun
Kim et al. (2012) melaporkan hasil yang berbeda, yaitu konsentrasi antosianin
UJU varietas Shinzami berkurang hampir setengahnya ketika dikukus vakum (121
o
C, 10 menit) dan hanya sedikit berkurang setelah dipanggang pada 200 oC selama
40-50 menit.
Konsentrasi antosianin monomerik UJU segar paling rendah yang
menunjukkan adanya aktivitas enzim antosianase, polifenol oksidase dan
peroksidase yang menurunkan kandungan antosianin dan merubah warna
antosianin melalui reaksi oksidasi. Menurut Shi et al. (1992), perubahan warna
pada ubi jalar ungu pada suhu ruang berhubungan dengan adanya penurunan
polifenol oleh aktivitas enzim antosianase, polifenol oksidase dan peroksidase.
Jang et al. (2005) menunjukkan juga bahwa enzim polifenol oksidase yang
terdapat pada kentang berdaging ungu sangat aktif pada suhu ruang dan
terdegradasi pada suhu lebih tinggi dari 70 oC. Proses pengukusan atau
pembekuan potongan ubi jalar segar sebelum ekstraksi antosianin dapat
meminimalkan kerusakan antosianin dan fenolat (Truong et al., 2010).
Konsentrasi antosianin monomerik dari flakes UJU lebih tinggi
dibandingkan dengan UJU segar dan lebih kecil dibandingkan dengan UJU kukus.
Flakes UJU mengalami dua kali proses pemanasan, yaitu pengukusan dan
pengeringan dengan pengering drum. Proses pengeringan pasta UJU dengan
pengering drum 1 rpm, lebih cepat dibandingkan dengan teknik pengeringan
dengan pengering kabinet, sehingga pengeringan dengan pengering drum dapat
mempertahankan konsentrasi antosianin monomerik. Teknik pengeringan yang
dilakukan dengan cepat dapat mempertahankan kandungan nutrisi dari bahan yang
dikeringkan (Afzal et al., 1999).
Beberapa peneliti terdahulu menemukan bahwa konsentrasi antosianin
monomerik dari flakes kentang ungu adalah 4.01 mg/g bubuk (Han et al., 2007);
antosianin di dalam tepung ubi jalar Ayamurasaki tertinggi 1.88 mg Cy-3-
glukosida/g tepung (Husnah, 2010). Menurut Jiao et al. (2012) konsentrasi
antosianin UJU 1.38 mg/g bk. Jumlah antosianin monomerik flakes UJU hasil
penelitian ini lebih rendah dari jumlah antosianin flakes kentang ungu (Han et al.,
2007), namun lebih tinggi dari jumlah antosianin tepung UJU Ayamurasaki
(Husnah, 2010). Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan bahan baku flakes
46
dan teknik pengeringan flakes dengan tepung yang berbeda. Konsentrasi UJU
segar dalam penelitian ini hampir sama dengan jumlah antosianin UJU yang
ditemukan oleh Jiao et al. (2012).
3.2
2.8
2.6
2.4
2.2
2
0 20 40 60 80 100 120
Waktu (menit)
S 150 S 200 S 250 F 150 F 200 F 250
Gambar 2. Perubahan konsentrasi antosianin monomerik pada UJU segar (S) dan
flakes rehidrasi (F) pada berbagai suhu dan waktu pemanggangan
ubi jalar ungu pada pH 6 adalah 89.38 kJ/mol, dan Ea nya menurun ketika
ditambahkan ke dalam jus buah (Jie et al., 2013).
KESIMPULAN
Proses pengolahan UJU menjadi flakes UJU menyebabkan perubahan
warna dan konsentrasi antosianin monomerik. Proses pengukusan selama 7 menit
dapat mempertahankan karakteristik warna alami dan konsentrasi antosianin dari
UJU. Pembuatan flakes UJU dengan pengering drum pada suhu 141.5 oC
mengubah warna menjadi ungu cerah dan konsentrasi antosianin monomerik lebih
tinggi dibandingkan UJU segar. Perubahan konsentrasi UJU segar dan Flakes
rehidrasi selama proses pemanggangan mengikuti model orde reaksi nol dan satu.
Flakes rehidrasi relatif lebih stabil dibandingkan UJU segar.
DAFTAR PUSTAKA
Afzal, T. M., Abe, T., dan Hikida, Y. (1999). Energy and quality aspects during
combined FIR-convection drying of barley. Journal of Food Engineering 42:
177-182.
Burgos, G., Amoros, W., Munoa, Sosa, P., Cayhualla, E., Sanchez, C., Dı´az C.,
dan Bonierbale, M. (2013). Total phenolic, total anthocyanin and phenolic
acid concentrations and antioxidant activity of purple-fleshed potatoes as
affected by boiling. Journal of Food Composition and Analysis 30: 6–12.
Cevallos-Casals, B.A. dan Cisneros-Zevallos, L. (2004). Stability of anthocyanin
based aqueous extracts of Andean purple corn and red-fleshed sweet potato
compared to synthetic and natural colorants. Food Chemistry 86: 69–77.
Goda, Y., Shimizu, T., Kato, Y., Nakamura, M., Maitani, T., Yamada, T.,
Terahara, N., dan Yamaguchi, M. (1997). Two acylated anthocyanins from
purple sweet potato. Phytochemistry 44: 183–186.
Han, K-H., Matsumoto, A., Ken-ichiro, Shimada., Mitsuo, S. dan Michihiro, F.
(2007). Effects of anthocyanin-rich purple potato flakes on antioxidant status
in F344 rats fed a cholesterol-rich diet. British Journal of Nutrition 98: 914–
921.
Hou, Z., Qin, P., Zhang, Y., Cui, S., dan Ren, G. (2013). Identification of
anthocyanins isolated from black rice (Oryza sativa L.) and their degradation
kinetics. Food Research International 50: 691–697.
48
Huang, C.L., Liao, W.C., Chan, C.F., dan Lai, Y.C. (2010). Optimization for
extraction anthocyanin from purple sweet potato roots using response surface
methodology. Journal of Taiwan Agricultural Research 59: 143-150.
Husnah, S. (2010). Pembuatan tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas varietas
Ayamurasaki) dan aplikasinya dalam pembuatan roti tawar. [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Jang, J., Ma, Y., Shin, J., dan Song, K. (2005). Characterization of
polyphenoloxidase extracted from Solanum tuberosum Jasim. Food Science
Biotechnologhi 14: 117–122.
Jiao, Y., Jiang, Y., Zhai, W. dan Yang, Z. (2012). Studies on antioxidant capacity
of anthocyanin extract from purple sweet potato (Ipomoea batatas L.) African
Journal of Biotechnology 11: 7046-7054.
Jie, L., Xiao-ding, L., Yun, Z., Zheng-dong, Z., Zhi-ya, O., Meng, L., Shao-hua,
Z., Shuo, L., Meng, W., dan Lu, O. (2013). Identification and thermal
stability of purple-fleshed sweet potato anthocyanins in aqueous solutions
with various pH values and fruit juices. Food Chemistry 136: 1429–1434.
Kano, M., Takayanagi, T., Harada, K., Makino, K., dan Ishikawa, F. (2005).
Antioxidative activity of anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea
batatas cultivar Ayamurasaki. Bioscience, Biotechnology and Biochemistry
69: 979-988.
Kim, H.W., Kim, J.B., Cho, S.M., Chung, M.N., Leen, Y.M., Chu, S.M., Che,
J.H., Kim, S.N., Kim, S.Y., Cho, Y.S., Kim, J.H., Park, H.J., dan Lee, D.J.
(2012). Anthocyanin changes in the Korean purple-fleshed sweet potato,
Shinzami, as affected by steaming and baking. Food Chemistry 130: 966–972.
Krishnan, J.G., Padmaja, G., Moorthy, S.N., Suja, G., dan Sajeev, M.S. (2010).
Effect of pre-soaking treatments on the nutritional profile and browning index
of sweet potato and yam flours. Innovative Food Science and Emerging
Technologies 11: 387–393.
Lachman, J., Hamouz, K., Orsak, M, Pivec, V., Hejtmankova, K., Pazderu, K.,
dan Dvorˇak, P., Cˇepl J. (2012). Impact of selected factors – Cultivar,
storage, cooking and baking on the content of anthocyanins in coloured-flesh
potatoes. Food Chemistry 133: 1107–1116.
Lamberti, M., Geiselman, A., Conde-Petit, B., dan Escher, F. (2004). Starch
transformation and structure development in production and reconstitution of
potato flakes. Lebensm.-Wiss. u.-Technology 37: 417– 427.
Lee, J., Durst, W., dan Wrolstad, R.E. (2005). Determination of total monomeric
anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and
wines by the pH differential method: Collaborative study. Journal of AOAC
International 88: 1269–1278.
Montilla, E.C., Hillebrand, S., dan Winterhalter P. (2011). Anthocyanins in Purple
Sweet Potato (Ipomoea batatas L.) Varieties. Fruit, Vegetable and Cereal
Science and Biotechnology 5 (Special Issue 2): 19-24.
Odake, K., Terahara, N., Saito, N., Toki, K., dan Honda, T. (1992). Chemical
structures of two anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea batatas.
Phytochemistry 31: 2127-2130.
Oki, T., Masuda, M., Furuta, S., Nishiba, Y. Terahara, N. dan Suda, I. (2002).
Involvement of anthocyanins and other phenolic compounds in radical-
49
5 PEMBAHASAN UMUM
dibandingkan dengan warna ungu pada ubi jalar ungu panggang yang
dibudidayakan di Banjaran dan Pakembangan. Hal ini memperkuat hasil
penelitian sebelumnya yang menunjukkan jumlah antosianin monomerik ubi jalar
ungu dari Cilembu adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan jumlah
antosianin monomerik ubi jalar ungu dari Banjaran dan Pakembangan.
Tabel 1. Deskripsi atribut sensori ubi jalar ungu panggang dan cara mengevaluasi
Atribut Sensori Penjelasan Atribut sensori
Warna ungu Warna ungu dari daging ubi jalar
Kemanisan Rasa manis menyerupai rasa gula atau sukrosa
Bertepung Rasa seperi tepung berpati
Rasa karamel Rasa seperti gula terbakar
Getir Rasa pahit diujung pangkal tenggorokan
Pahit Rasa pahit di pangkal lidah
Rasa ubi jalar Rasa khas ubi jalar
Lanas Bau seperti serangga Cylas formycarius
Cita rasa karamel Cita rasa seperti gula terbakar
Cita rasa panggang Cita rasa seperti ubi jalar panggang
Pulen Tekstur lembut dimulut
Berserat Tekstur berserat seperti serat
Berpasir Tekstur seperti berpasir ketika ditekan jari
Lembab Tekstur basah seperti berair
Lembut Tekstur lembek
jalar ungu hasil penelitian ini lebih rendah dari jumlah antosianin flakes kentang
ungu (Han et al. 2007), namun lebih tinggi dari jumlah antosianin tepung ubi jalar
ungu Ayamurasaki (Husnah 2010). Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan
bahan baku flakes dan teknik pengeringan flakes dengan tepung yang berbeda.
Secara umum, ubi jalar ungu segar dan flakes ubi jalar ungu rehidrasi yang
dipanggang pada suhu yang lebih rendah memiliki kandungan antosianin
monomerik yang lebih tinggi pada waktu pemanasan yang sama. Antosianin
monomerik yang dipanggang pada suhu yang sama cenderung menurun dengan
semakin lamanya waktu proses. Penurunan konsentrasi antosianin monomerik ubi
jalar ungu segar dan flakes ubi jalar ungu rehidrasi cenderung mengikuti model
reaksi orde nol dan orde satu. Peneliti sebelumnya menemukan bahwa stabilitas
panas dari ekstrak antosianin ubi jalar ungu (Jie et al. 2013) dan ekstrak
antosianin beras hitam (Hou et al. 2013) adalah mengikuti model kinetika reaksi
orde satu.
Energi aktivasi antosianin flakes rehidrasi lebih rendah dibandingkan dengan
energi aktivasi ubi jalar ungu segar. Hal ini menunjukkan antosianin ubi jalar
ungu segar lebih sensitif terhadap perubahan panas. Energi aktivasi ekstrak
antosianin ubi jalar ungu pada pH 6 adalah 89.38 kJ/mol (Jie et al. 2013) jauh
lebih besar dibandingkan energi aktivasi antosianin flakes ubi jalar ungu rehidrasi
(7.39 kJ/mol) dan ubi jalar ungu segar (5.35 kJ/mol) dalam penelitian ini. Hal ini
menunjukkan antosianin dalam bentuk ekstrak lebih sensitif terhadap perubahan
panas dibandingkan antosianin yang masih didalam bahan pangan asalnya.
Di dalam penelitian ini suhu yang diukur adalah suhu oven, bukan suhu di
dalam sampel ubi jalar ungu segar atau pun flakes rehidrasi. Dengan demikian
untuk mengetahui pasti model kinetika reaksi penurunan antosianin ubi jalar ungu
segar maupun flakes rehidrasi perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan desain
yang tepat, sehingga suhu yang diukur adalah suhu di dalam pusat sampel
sehingga didapatkan model reaksi kinetiknya.
Simpulan
Jumlah total antosianin monomerik dalam ekstrak antosianin ubi jalar ungu
yang dibudidayakan di Cilembu paling tinggi. Jumlah antosianin ubi jalar ungu
dari tiga lokasi budidaya berbeda secara nyata (p<0.05). Warna, spektra warna,
aktivitas antioksidan dan stabilitas ekstrak antosianin ubi jalar ungu tidak
dipengaruhi oleh lokasi budidaya, tetapi lebih dipengaruhi pH. Warna ekstrak
antosianin berubah dari merah, ungu, biru, hijau sampai kuning seiring dengan
meningkatnya pH dari 1 sampai 14. Aktivitas penangkapan radikal bebas,
kekuatan mereduksi dan stabilitas ekstrak antosianin ubi jalar ungu pada pH 1
lebih tinggi dibandingkan pada pH 4.5 dan pH 7. Profil sensori ubi jalar ungu
panggang dipengaruhi lokasi budidaya. Ciri khas atribut sensori ubi jalar ungu
panggang Cilembu, Sumedang berkaitan dengan warna ungu, manis, cita rasa ubi
jalar ungu, dan tekstur pulen. Karakteristik atribut sensori ubi jalar ungu panggang
dari Banjaran, Bandung adalah warna ungu, manis, cita rasa ubi jalar ungu, basah
dan lembut. Karakteristik atribut sensori dari ubi jalar ungu panggang dari
Pakembangan, Kuningan adalah warna ungu, citarasa tepung, dan berpasir.
Atribut sensori ubi jalar ungu panggang yang berubah selama penyimpanan ubi
jalar segar adalah berkaitan dengan intensitas warna ungu menurun, intensitas rasa
57
manis, getir, pahit dan tekstur basah meningkat. Penurunan konsentrasi antosianin
monomerik ubi jalar ungu segar dan flakes rehidrasi ubi jalar ungu mengikuti
model orde reaksi nol dan satu. Ubi jalar ungu segar lebih sensitif terhadap
perubahan panas dibandingkan dengan flakes rehidrasi.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Afzal TM, Abe T, Hikida, Y. 1999. Energy and quality aspects during combined
FIR-convection drying of barley. J Food Eng. 42(4): 177-182. doi:
10.1016/S0260-8774(99)00117-X.
Brouillard R. 1982. Chemical Structure of Anthocyanins. Di dalam: Markakis P,
editor. Anthocyanins as Food Colours. Academic Press, New York.
Bridgers EN, Chinn MS, Truong VD. 2010. Extraction of anthocyanins from
industrial purple-fleshed sweet potatoes and enzymatic hydrolysis of residues
for fermentable sugars. Ind. Crop. Prod. 32, 613–620. doi:
10.1016/j.indcrop.2010.07.020
Cevallos-Casals BA, Cisneros-Zevallos L. 2004. Stability of anthocyanin based
aqueous extracts of Andean purple corn and red-fleshed sweet potato compared
to synthetic and natural colorants. Food Chem 86: 69–77.
Chalker-Scott, L., 1999. Environmental significance of anthocyanins in plant
stress responses. Photochem. Photobiol. 70: 1–9.
Delgado-Vargas F, Jiménez AR, Paredes-López O. 2000. Natural Pigments:
Carotenoids, Anthocyanins, and Betalains — characteristics, biosynthesis,
processing, and stability. Crit Rev Food Sci 40(3):173–289. doi:
10.1080/10408690091189257.
Grace MH, Yousef GG, Gustafson SJ, Truong VD, Yencho GC, Lila MA. 2014.
Phytochemical changes in phenolics, anthocyanins, ascorbic acid, and
carotenoids associated with sweet potato storage and impacts on bioactive
properties. Food Chem. 145: 717–724. doi: 10.1016/j.fcr.2013.10.020.
Han KH, Matsumoto A, Ken-ichiro, Shimada., Mitsuo S, Michihiro F. 2007.
Effects of anthocyanin-rich purple potato flakes on antioxidant status in F344
rats fed a cholesterol-rich diet. Brit J Nut. 98: 914–921.
Hinneburg I, Damien-Dorman HJ, Hiltunen R. 2006. Antioxidant activities of
extracts from selected culinary herbs and spices. Food Chem. 97: 122-129.
Hou Z, Qin P, Zhang Y, Cui S, Ren G. 2013. Identification of anthocyanins
isolated from black rice (Oryza sativa L.) and their degradation kinetics. Food
Res Int. 50: 691–697. doi:10.1016/j.foodres.2011.07.037.
58
Husnah S. 2010. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas varietas
Ayamurasaki) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar. [Skripsi].
Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian B. Bogor.
Jang J, Ma Y, Shin J, Song K. 2005. Characterization of polyphenoloxidase
extracted from Solanum tuberosum Jasim. Food Sci Biotechnol. 14: 117–122.
Jiao Y, Jiang Y, Zhai W dan Yang Z. 2012. Studies on antioxidant capacity of
anthocyanin extract from purple sweet potato (Ipomoea batatas L.). Afr J
Biotechnol 11(27): 7046-7054. DOI: 10.5897/AJB11.3859.
Jie L, Xiao-ding L, Yun Z, Zheng-dong Z, Zhi-ya O, Meng L, Shao-hua Z, Shuo
L, Meng W, Lu O. 2013. Identification and thermal stability of purple-fleshed
sweet potato anthocyanins in aqueous solutions with various pH values and
fruit juices. Food Chem 136: 1429–1434. DOI:
10.1016/j.foodchem.2012.09.054.
Kim EH, Lee OK, Kim JK, Kim SL, Lee J, Kim SH, Chung IM. 2014.
Isoflavones and anthocyanins analysis in soybean (Glycine max (L.) Merill)
from three different planting locations in Korea. Field Crops Res 156: 76–83.
DOI: 10.1016/j.fcr.2013.
Março PH, Poppi RJ, Scarminio IS, Tauler R. 2011. Investigation of the pH effect
and UV radiation on kinetic degradation of anthocyanin mixtures extracted
from Hibiscus acetosella. Food Chem 125: 1020–1027. DOI:
10.1016/j.foodchem.2010.10.005.
Mazza G, Brouillard R. 1987. Recent development in the stabilization of
anthocyanins in food products. Food Chem. 25: 207-225.
Miyazaki T, Ino M. 1991. Effects of root quality and storage conditions on
internal brown spot symptoms in stored sweet potatoes. Bulletin of the Chiba
Prefectural Agricultural Experiment Station. 32: 65–72.
Reyes LF, Cisneros-Zevallos L. 2007. Degradation kinetics and colour of
anthocyanins in aqueous extracts of purple and red-flesh potatoes (Solanum
tuberosum L.) Food Chem 100: 885–894.
DOI:10.1016/j.foodchem.2005.11.002
Reyes LF, Miller JC, Cisneros-Zevallos L. 2004. Environmental conditions
influence the content and yield of anthocyanins and total phenolics in purple-
and red-flesh potatoes during tuber development. Am J Potato Res 81: 187–
193.
Shi Z, Bassa IA, Gabriel SL, Francis FJ. 1992. Anthocyanin pigments of
sweetpotatoes Ipomoea batatas. J Food Sci. 57: 755–770.
Torskangerpoll K, Andersen OM. 2005. Colour stability of anthocyanins in
queous solutions at various pH values. Food Chem 89(3): 427–440.
DOI:10.1016/j.foodchem.2004.03.002.
Truong VD, Deighton N, Thompson RT, McFeeters RF, Dean LO, Pecota KV,
Yencho GC. 2010. Characterization of anthocyanins and anthocyanidins in
purple-fleshed sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESI-MS/MS. J Agr Food Chem
58: 404–410. DOI:10.1021/jf902799.
Zhang Z, Wheatley CC, Corke H. 2002. Biochemical changes during storage of
sweet potato roots differing in dry matter content. Postharvest Biol. Technol.
24: 317–325.
59
RIWAYAT HIDUP