Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
J P A Baak, G L Mutter
diklasifikasikan sebagai “polyclonal”, hal ini kemungkin hasil dari kesalahan teknis
yang mengakibatkan kontaminasi jaringan poliklonal normal yang diencerkan oleh
komponen monoklonal. Gen PTEN adalah gen yang paling tidak aktif dalam kanker
endometrium tipe endometrioid,8,21 berbeda dengan kanker jenis serosa papillary yang
jarang menunjukkan inaktivasi PTEN,
Gambar 1. Morfometri dan diagnosis WHO94 dari endometrium, hasil klonal (dimodifikasi dari Mutter et
al) .19 Bagian kiri: prediktor endometrium putatif (silang merah, monoklonal) dan jaringan non-neoplastik
poliklonal (lingkaran biru, poliklonal) digambarkan dalam hematoksilin. dan bagian-bagian histopatologi
pulasan eosin dan mengarah ke salah satu dari lima kelompok diagnostik (ca, karsinoma; ah, hiperplasia
atipikal; ch, hiperplasia non-atipikal kompleks; sh, hiperplasia non-atipikal sederhana; dan endometrium
non-hiperplastik jinak) oleh empat ahli patologi ginekologi, dan D-Score dihitung dengan analisis
morfometrik terkomputerisasi. Sumbu vertikal menunjukkan rata-rata empat patolog yang mendiagnosis.
Garis putus-putus menggambarkan zona komputer yang dipastikan lesi berisiko tinggi di sebelah kiri
(D-Score< 1; endometrial intraepithelial neoplasia) dari lesi risiko rendah di sebelah kanan (D-Score.> 1).
Morfologi yang meragukan dinilai sebagai poliklonal (lingkaran di kuadran kiri atas) dapat dijelaskan oleh
hasil negatif palsu dalam deteksi genetik monoklonalitas yang disebabkan oleh kontaminasi stroma
poliklonal. Perhatikan bahwa hiperplasi non-atipikal di wilayah mid-horizontal dapat monoklonal atau
poliklonal, dan ini juga dipisahkan oleh D-Score. Spesimen ‘‘ b ’’ bukanlah prekanker, karena salinan
kromosom X yang tidak aktif berbeda dari kanker yang dihasilkan. Jaringan ‘‘ a ’’ hanya memiliki beberapa
kelenjar neoplastik yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar normal yang lebih banyak didistribusikan
(precancer yang dilewatkan oleh morfometri sebagai akibat dari kesalahan sampling). Sisi kanan
menunjukkan 55% volume persentase batas cutoff stroma antara monoclonal (titik biru) dan poliklonal
(titik merah) endometrium.
walaupun sering terlihat kelainan pada p53.22 Inaktivasi fungsional PTEN menghasilkan
peningkatan regulasi proliferasi yang berhubungan dengan hiperplasia endometrium dan
kanker telah dikonfirmasi pada tikus knockout.23Baru-baru ini, antibodi monoklonal
6h2.1 telah digunakan untuk evaluasi imunohistokimia rutin dari aktivitas PTEN, untuk
memastikan bahwa hingga 83% kanker endometrium tipe endometrioid, dan 63% dari
lesi EIN adalah PTEN yang menyimpang.21 Kehilangan fungsi PTEN bukanlah
biomarker yang sangat berguna untuk diagnosis klinis, namun inaktivasinya melebihi
semua perubahan histologis yang ditunjukkan oleh mikroskop cahaya. PTEN kelenjar
getah bening langka terjadi di hampir setengah dari arus rutin ‘‘normal’’ poliferasi
endometrium dari siklus premenopause wanita secara endogen.
Karena PTEN kelenjar kosong PTEN umum pada banyak endometria '' normal '',
dan setidaknya sepertiga lesi EIN terus mengekspresikan protein PTEN,
imunohistokimia PTEN bukanlah uji tunggal yang spesifik maupun sensitif untuk
identifikasi lesi endometrium yang kemungkinan berlanjut ke arah kanker. Namun, data
PTEN ini memberikan wawasan tentang perkembangan endometrium normal melalui
EIN ke kanker.
“Dengan demikian, EIN adalah seri WHO94 ‘hiperplasia’ dengan
D-Score < 1 atau VPS < 55%.”
Dengan demikian, EIN adalah seri WHO94 ‘hiperplasia’ dengan D-Score < 1 (lihat
dibawah) atau VPS < 55%. Hal ini merupakan lesi monoklonal yang benar-benar
neoplastik alami; yang jika dibiarkan saja, hanya masalah waktu, banyak yang akan
berkembang menjadi kanker. Sebaliknya, WHO94 “hiperplasia” dengan D-Score >
1merupakanlesi non-neoplastik, poliklonal, non-progresif, yang diinduksi estrogen dan
harus dianggap sebagai tidak berbahaya dan diperlakukan sesuai. Penting untuk
mengetahui bahwa tidak ada terjemahan yang kaku dari klasifikasi hiperplasia WHO94
ke diagnosis EIN, karena kriteria yang berbeda digunakan dalam setiap sistem. Dua
hingga lima persen simple hyperplasia, 40% CH, dan 59% atypical hyperplasia
diklasifikasikan sebagai EIN. Lesi lokalisasi diskret terkadang salah didiagnosis dalam
WHO94 sesuai dengan pola dominan atau latar belakangnya, sedangkan pengakuan asal
monoklonal dalam EIN mendukung diagnosis pada '‘daerah terburuk’. Sistem EIN
menafsirkan sitologi berbeda dari WHO94. Meskipun perubahan sitologi adalah aspek
konsisten kelenjar yang membentuk lesi EIN, cara perubahan sangat bervariasi antara
pasien dan tidak identik dengan ”atypia” di klasifikasi WHO94. Pada EIN murni,
perubahan bentuk dan sitologi berkesinambungan dalam populasi umum lesi glandular.
Perubahan sitomorfologi di kelenjar epitel biasanya paling jelas dalam morfologi nuklear,
tetapi mungkin melibatkan bagian sitoplasmik juga.
Persyaratan diagnostik EIN secara arsitektural dan sitologi dapat dinilai secara
bertahap selama pemantauan spesimen endometrium dengan mikroskop. Pembesaran
kecil cukup untuk perubahan karakteristik arsitektur (bentuk dan struktur) EIN:
kerumunan kelenjar-kelenjar ke titik di mana area kelenjar melebihi stroma. Dalam
banyak kasus, fokus arsitektur yang padat disebut lesi lokalisir, secara jelas dari dasar
kelenjar longgar yang teratur. Setelah arsitektur diidentifikasi pada daya rendah,
perbesaran tinggi digunakan untuk memeriksa tampakan sitologi kelenjar-kelenjar penuh
yang relatif berhubungan satu sama lain terhadap kelenjar yang longggar disekitarnya.
Interpretasi subyektif dari sitologi EIN menggunakan kriteria yang sangat berbeda
dari atypia WHO94 dan perhitungan matematis dari standar deviasi aksis nuklear
terpendek dalam D-Score. Kelompok kelenjar padatyang muncul pada lesi EIN selalu
memiliki dasar sitologi yang berbeda, tetapiperubahannya juga berbeda antara pasien.
Selain perubahan sitoplasmik, perubahan sitologi substantif EIN dapat mencakup
perubahan dalam bentuk dan ukuran nuklearis, stratifikasi nuklearis dan orientasi, tekstur
kromatin nukleolus.Tampakan stologi pada tiap pasien dapat bervariasi tergantung
keadaan hormonal. Dalam beberapa lesi EIN, inti dapat menjadi memanjang, dapat juga
lebih bulat. Untuk lesi EIN yang telah menyebar ke seluruh kompartemen endometrium,
standar relatif tidak lagi dapat diakses, tetapi stadiumini nantinya cenderung memiliki
sitologi yang tidak normal yang bukan merupakan masalah diagnostik tertentu.
”Selain perubahan sitoplasmik, perubahan sitologi substantif EIN
dapat mencakup perubahan dalam bentuk dan ukuran nuklearis,
stratifikasi nuklearis dan orientasi, tekstur kromatin nukleolus.“
Eksklusi yang mirip adalah bagian paling sulit dalam diagnosis EIN, karena ada
banyak wujud yang memenuhi beberapa, tetapi tidak semua, kriteria EIN. Hal ini
biasanya dapat dikenali oleh ahli patologi berpengalaman dalam sekejap, tetapi
menimbulkan kesulitan yang lebih besar dengan ahli patologi dan peserta pelatihan yang
kurang berpengalaman, yang mungkin tidak akrab dengan berbagai temuan umum
endometrium. Karsinoma harus didiagnosis ketika lesi tidak lagi tersusun oleh kelenjar
indiidu, yang merupakan kasus rumit seperti labirin yang dapat saling berhubungan
secara ekstensif, atau lesi dengan epitel neoplastik padat.
Epitel lesi EIN umumnya tidak berbentuk kribiform, jika muncul harus dipikirkan
ke arah kanker. Tindakan Biopsi Invasif biasanya tidak membantu dalam mendiagnosis
karsinoma, karena invasi miometrium tidak akan terlihat dalam sampel superfisial yang
biasa, dan penilaian invasi stroma endometrium selaras dan memiliki relevansi biologis
yang meragukan.
KESIMPULAN
Sistem klasifikasi hiperplasia endometrium WHO94 akan terus memainkan peran aktif
dalam praktik sehari-hari banyak patolog, tetapi dilanda oleh hasil diagnostik yang buruk,
prediksi prognostik yang kurang optimal, kurangnya statistik yang kuat dan konteks
biologis dan terapeutik. Faktor-faktor ini bergabung untuk meningkatkan kekhawatiran
tentang kesesuaian keputusan manajemen pasien sebelumnya, meredam antusiasme
untuk penggunaannya dalam keputusan perawatan pasien saat ini, dan membatasi
kegunaannya untuk masa depan. WHO94 adalah sistem yang perlu perbaikan, yang
mungkin akan mengambil bentuk pendekatan baru dibanding revisi kecil. Ini adalah
pesan utama dari New WHO Bluebooktentang masalah ini.
Sistem klasifikasi EIN adalah naskah alternatif terbaik , berdasarkan data morfologi,
genetik molekuler, dan hasil klinis yang luas. Implementasi diagnosis EIN dengan
penentuan morfometrik dari D-Score atau VPS menawarkan metode yang sangat standar
dan terverifikasi secara klinis untuk mengelola pada wanita yang terkena penyakit
endometrium. Meskipun prosedur diagnostik EIN secara kuantitatif telah lama digunakan
untuk kriteria diagnostik subjektif, pengalaman lebih diperlukan untuk mengevaluasi
kinerja sehari-hari ahli patolog terlatih dalam lingkungan praktek yang beragam.
Sebenarnya, pendekatan kuantitatif dan subyektif tidak perlu saling melengkapi.Praktisi
dapat memilih di antara opsi berdasarkan kondisi praktik setempat. Standar diagnostik
obyektif yang sulit dari perhitungan D-Score atau VPS tentu saja akan memiliki peran
sentral dalam standardisasi, baik diterapkan secara lokal, laboratorium rujukan, atau
tempat ajar.
REFERENSI
1. Fox H. Book review: the endometrium. Histopathology 1982;6:711.
2. Winkler B, Alvarez S, Richart RM, et al. Pitfalls in the diagnosis of endometrial hyperplasia.
Obstet Gynecol 1984;64:185–94.
3. Kurman RJ, Kaminski PF, Norris HJ. The behavior of endometrial hyperplasia. A long-term
study of ‘‘untreated’’ hyperplasia in 170 patients. Cancer 1985;56:403–12.
4. Skov BG, Broholm H, Engel U, et al. Comparison of the reproducibility of the WHO
classifications of 1975 and 1994 of endometrial hyperplasia. Int J Gynecol Pathol 1997;16:33–7.
5. Kendall BS, Ronnett BM, Isacson C, et al. Reproducibility of the diagnosis of endometrial
hyperplasia, atypical hyperplasia, and well differentiated carcinoma. Am J Surg Pathol
1998;22:1012–19.
6. Bergeron C, Nogales FF, Masseroli M, et al. Multicentric European study testing the
reproducibility of the WHO classification of endometrial hyperplasia with a proposal of a
simplified working classification for biopsy and curettage specimens. Am J Surg Pathol
1999;23:1102–8.
7. Baak JPA, Wisse-Brekelmans ECM, Fleege JC, et al. Assessment of the risk on endometrial
cancer in hyperplasia, by means of morphological and morphometrical features. Pathol Res Pract
1992;188:856–9.
8. Tavassoli FA, Stratton MR, eds. WHO classification of tumors: pathology and genetics, tumors
of the breast and female genital organs. Geneva: World Health Organisation Press, 2003.
9. 9 Mutter GL, Lin MC, Fitzgerald JT, et al. Altered PTEN expression as a diagnostic marker for
the earliest endometrial precancers. J Natl Cancer Inst 2000;7:924–30.
10. Mutter GL. The Endometrial Collaborative Group. Endometrial intraepithelial neoplasia (EIN):
will it bring order to chaos? Gynecol Oncol 2000;76:287–90.
11. Baak JPA, Nauta JJP, Wisse-Brekelmans ECM, et al. Architectural and nuclear morphometrical
features together are more important prognosticators in endometrial hyperplasia than nuclear
features alone. J Pathol 1988;154:335–41.
12. Baak JPA, Kuik DJ, Bezemer PD. The additional prognostic value of morphometric nuclear
arrangement and DNA-ploidy to other morphometric and stereologic features in endometrial
hyperplasias. Int J Gynecol Cancer 1994;4:289–97.
13. Dunton CJ, Baak JPA, Palazzo JP, et al. Use of computerized morphometric analyses of
endometrial hyperplasias in the prediction of coexistent cancer. Am J Obstet Gynecol
1996;174:1518–21.
14. Ørbo A, Baak JPA, Kleivan I, et al. Computerised morphometrical analysis in endometrial
hyperplasia for the prediction of cancer development. A long term population based
retrospective study from northern Norway. J Clin Pathol 2000;53:697–703.
15. Baak JPA, Ørbo A, Diest PJ van, et al. Prospective multicenter evaluation of the morphometric
Dscore for prediction of the outcome of endometrial hyperplasias. Am J Surg Pathol
2001;25:930–5.
16. Baak JPA. Editorial perspectives. The framework of pathology: good laboratory practice by
quantitative and molecular methods, J Pathol 2002;198:277–83.
17. Mutter GL, Chaponot M, Fletcher J. A PCR assay for non-random X chromosome inactivation
identifies monoclonal endometrial cancers and precancers. Am J Pathol 1995;146:501–8.
18. Mutter GL, Boynton KA, Faquin WC, et al. Allelotype mapping of unstable microsatellites
establishes direct lineage continuity between endometrial precancers and cancer. Cancer Res
1996;56:4483–6.
19. Mutter GL, Baak JPA, Crum PC, et al. Endometrial precancer diagnosis by histopathology,
clonal analysis and computerized morphometry. J Pathol 2000;190:462–9.
20. Mutter GL. Histopathology of genetically defined endometrial precancers [review]. Int J
Gynecol Pathol 2000;19:301–9.
21. Mutter GL, Ince TA, Baak JPA, et al. Molecular identification of latent precancers in
histologically normal endometrium. Cancer Res 2001;61:4311–14.
22. Sherman ME, Bur ME, Kurman RJ. p53 in endometrial cancer and its putative precursors:
evidence for diverse pathways of tumorigenesis. Hum Pathol 1995;26:1268–74.
23. Stambolic V, Tsao MS, Macpherson D, et al. High incidence of breast and endometrial neoplasia
resembling human Cowden syndrome in pten+/ 2mice. Cancer Res 2000;60:3605–11.
24. Baak JPA, Kurver PHJ, Diegenbach PC, et al. Discrimination of hyperplasia and carcinoma of
the endometrium by quantitative microscopy—a feasibility study. Histopathology 1981;5:61–8.
25. Baak JPA, Kurver PHJ, Overdiep SH, et al. Quantitative, microscopical, computer-aided
diagnosis of endometrial hyperplasia or carcinoma in individual patients. Histopathology
1981;5:689–95.
26. Baak JPA, Kurver PHJ, Boon ME. Computeraided application of quantitative microscopy in
diagnostic pathology. Pathol Ann 1982;17:287–306.
27. Mutter GL. Diagnosis of premalignant endometrial disease. J Clin Pathol 2002;55:326–31.
28. Mutter GL. EIN central [on line]. Available: http://www.endometrium.org 1998–2002.
29. Kurman RJ, Norris HJ. Evaluation of criteria for distinguishing atypical endometrial hyperplasia
from well-differentiated carcinoma. Cancer 1982;49:2547–59.
30. Bergeron C, Nogales FF, Masseroli M, et al. A multicentric European study testing the
reproducibility of the WHO classification of endometrial hyperplasia with a proposal of a
simplified working classification for biopsy and curettage specimens. Am J Surg Pathol
1999;9:1102–8.
31. Ausems EWM, van der Kamp JK, Baak JPA. Nuclear morphometry in the determination of the
prognosis of marked atypical endometrial hyperplasia. Int J Gynecol Pathol 1985;4:180–5.
32. Hecht JL, Ince TA, Baak JPA, et al. Prediction of endometrial carcinoma by subjective
intraepithelial neoplasia diagnosis. Mod Pathol [In press.]
33. Baak JPA. A manual of quantitative pathology in cancer diagnosis and prognosis. Berlin:
Springer, 1991.
34. Baak JPA, ten Kate FBJ, Offerhaus GA, et al. Routine morphometrical analysis can improve
reproducibility of dysplasia grade in Barrett’s oesophagus surveillance biopsies. J Clin Pathol
2002;55:910–16.