Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Ginekomastia merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu

gyvec yang berarti perempuan dan mastos yang berarti payudara, yang dapat

diartikan sebagai payudara seperti perempuan. Ginekomastia berhubungan

dengan beberapa kondisi yang menyebabkan pembesaran abnormal dari jaringan

payudara pada pria. Ginekomastia merupakan pembesaran jinak payudara laki-

laki yang diakibatkan proliferasi komponen kelenjar. Ginekomastia biasanya

ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan kesehatan rutin atau dapat

dalam bentuk benjolan yang terletak dibawah regio areola baik unilateral maupun

bilateral yang nyeri saat ditekan, atau pembesaran payudara yang progresif yang

tidak menimbulkan rasa sakit.1,2

Ginekomastia merupakan kelainan bentuk jinak yang terjadi sekitar 60% dari

seluruh kelainan payudara pada laki-laki dan sekitar 85% dari kelainan benjolan

pada payudara laki-laki.2 Berbagai studi populasi banyak menemukan

ginekomastia. Ada tiga distribusi periode usia tersering terjadinya

ginekomastia atau perubahan payudara yang pada umumnya dipengaruhi

hormon. Periode pertama ditemukan saat neonatus yang terjadi sekitar 60-90%

dari seluruh kelahiran akibat penyaluran estrogen melalui plasenta. Periode kedua

terjadi saat puberitas, yaitu dimulai saat umur 10 tahun dan puncaknya antara usia

13-14 tahun. Periode ketiga ditemukan pada orang dewasa yang terjadi antara

usia 50-80 tahun. Faktor ras tidak berpengaruh terhadap kejadian ginekomastia2,3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. EPIDEMIOLOGI

Ginekomastia merupakan kelainan bentuk jinak yang terjadi sekitar 60% dari

seluruh kelainan payudara pada laki-laki dan sekitar 85% dari kelainan benjolan

pada payudara laki-laki.2 Berbagai studi populasi banyak menemukan

ginekomastia. Ada tiga distribusi periode usia tersering terjadinya

ginekomastia atau perubahan payudara yang pada umumnya dipengaruhi

hormon. Periode pertama ditemukan saat neonatus yang terjadi sekitar 60-90%

dari seluruh kelahiran akibat penyaluran estrogen melalui plasenta. Periode kedua

terjadi saat puberitas, yaitu dimulai saat umur 10 tahun dan puncaknya antara usia

13-14 tahun. Periode ketiga ditemukan pada orang dewasa yang terjadi antara

usia 50-80 tahun. Faktor ras tidak berpengaruh terhadap kejadian ginekomastia.1,2,3

Tabel 2.2 Prevalensi terjadinya ginekomastia berdasarkan penelitian 2

2
II. ETIOLOGI

Ginekomastia dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya. Ginekomastia

idiopatik terjadi sekitar 75% dari kasus. Keadaan fisiologis terjadi pada bayi baru

lahir dan usia dewasa saat memasuki pubertas. Pada bayi baru lahir, jaringan

payudara yang membesar berasal dari interaksi estrogen ibu melalui transplasenta.

Ginekomastia pada orang dewasa sering ditemukan saat puberitas dan sering bersifat

bilateral. Ginekomastia pada masa remaja terjadi pada 2/3 remaja. Dan bertahan

sampai beberapa bulan. Jika ginekomastia selama masa puber ini menetap maka

disebut ginekomastia esensial. 2, 4

Kondisi patologik diakibatkan oleh defisiensi testosteron, peningkatan

produksi estrogen atau peningkatan konversi androgen ke estrogen. Kondisi patologik

juga didapatkan pada anorchia kengenital, klinefelter sindrom, karsinoma adrenal,

kelainan hati dan malnutrisi.2

Penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan ginekomastia. Obat-obat

penyebab ginekomastia dapat dikategorikan berdasarkan mekanisme kerjanya.

Tipe pertama adalah yang bekerja seperti estrogen, seperti diethylstilbestrol,

digitalis, dan juga kosmetik yang mengandung estrogen. Tipe kedua adalah obat-

obat yang meningkatkan pembentukan estrogen endogen, seperti gonadotropin.

Tipe ketiga adalah obat yang menghambat sintesis dan kerja

testosteron, seperti ketokonazole,metronidazole, dan cimetidine. Tipe terakhir

adalah obat yang tidak diketahui mekanismenya seperti captopril, antidepresan

trisiklik, diazepam dan heroin.2,4

3
III. PATOGENESIS

Jaringan payudara pada kedua jenis kelamin pria dan wanita secra

histologi sama saat lahir dan cenderung untuk pasif selama masa anak-anak

sampai pada saat puberitas. Pada kebanyakan pria, proliferasi sementara duktus

dan jaringan mesenkim sekitar terjadi saat masa pematangan seksual, yang

kemudian diikuti involusi dan atrofi duktus. Sebaliknya, duktus payudara dan

jaringan periduktal pada wanita terus membesar dan membentuk terminal acini, yang

memerlukan estrogen dan progesteron.4,5

Karena stimulasi estrogen terhadap jaringan payudara dilawan dengan efek

androgen, ginekomastia dipertimbangkan sejak dulu akibat ketidakseimbangan

antar hormone tersebut. Masa transisi dari prepuber ke post-puber diikuti oleh

peningkatan 30 kali lipat hormon testosteron dan 3 kali lipat hormon estrogen.

Ketidakseimbangan relatif antara level estrogen dan androgen menghasilkan

ginekomastia. Perubahan rasio estrogen dan androgen ditemukan pada pasien

ginekomastia yang berhubungan dengan obat-obatan, neoplasma adrenal dan testis,

sindrom Klinefelter, tirotoksikosis, sirosis, hipogonadisme, malnutrisi, dan

penuaan.5

Estradiol adalah hormon pertumbuhan pada payudara, yang dapat

meningkatkan proliferasi jaringan payudara. Sebagian estradiol pada pria didapat dari

konversi testosteron dan adrenal estrone. Mekanisme dasar ginekomastia adalah

penurunan produksi androgen, peningkatan produksi estrogen dan peningkatan

availabilitas prekursor estrogen untuk konversi estradiol.6

4
1. Peningkatan konsentrasi estrogen serum

Normalnya testis pria dewasa menghasilkan 15 persen estradiol dan kurang

dari 5 persen estron dalam sirkulasi. Dan 85 persen estradiol dan lebih dari 95

persen estron diproduksi di jaringan ekstragonad melalui aromatisasi prekusor.

Prekusor utama dari estradiol adalah testosterone, 95% dihasilkan oleh testis.

Androstenedion, androgen yang disekresikan oleh kelenjar adrenal, menjadi

prekursor pada pembentukan estron. Tempat ekstragrandular yang penting terhadap

aromatisasi adalah jaringan adipose, hati, dan otot. Derajat intervensi substasial

antara estron dan estradiol terjadi melalui reduktase enzim 17-kortikosteroid, yang

juga mengkatalis konversi andostenedion ke testosteron. 7

Peningkatan patologis dari konsentrasi estrogen dalam serum ditemukan pada

beberapa keadaan. Tumor sel Leydig dan neoplasma adrenokortikal feminis

mensintesis dan menghasilkan jumlah estrogen yang meningkat. Aromatisasi

prekusor estrogen yang meningkat terjadi pada sel sertoli atau tumor seksual testis,

tumor sel-germ testis terdiri dari jaringan tropoblastik, beberapa kanker

nontropoblastik, dan pada pasien obesitas, penyakit hati, hipertiodisme, feminisasi

testicular, atau pada sindrom Klinefelter, pria yang mengkonsumsi spironolakton.

Peningkatan aromatisasi juga ditemukan ditemukan pada penuaan, yang

menggambarkan peningkatan lemak tubuh. Peningkatan idiopatik pada aromatisasi

ekstraglandular, biasanya berhubungan dengan aromatase janin yang

mengakibatkan produksi estrogen perifer yang masif.7

Meskipun globulin pengikat hormone seksual sama-sam mengikat estrogen

dan androgen, afinitas pengikatan terhadap androgen lebih besar daripada estrogen.

5
Kemudian, obat-obatan seperti spironolakton dan ketokonazol, yang dapat

memecah ikatan steroid dengan globulin, memecah estrogen lebih mudah daripada

endrogen pada konsentrasi yang rendah. Situasi lain dimana level sirkulasi estrogen

bebas dapat meningkat antara lain metabolism estrogen yang menurun, sebuah

mekanisme yang menyebabkan ginekomastia pada pasien dengan sirosis. Hal ini

tidak sepenuhnya benar karena laju klearens metabolic dari estrogen normal pada

pasien sirosis. Konsumsi estrogen baik sengaja maupun sebagai obat, juga dapat

memicu peningkatan dari konsentrasi estrogen total dan bebas dan menimbulkan

ginekomastia pada beberapa pasien. Aktivasi dari reseptor estrogen pada jaringan

payudara dapat terjadi pada konsumsi obat yang memiliki struktur yang sama

dengan esterogen seperti digoksin. 7

2. Penurunan konsentrasi androgen serum

Peningkatan rasio estrogen-androgen akan ditemukan pada pasien dengan

level estrogen yang normal atau meningkat tapi mengalami penurunan konsentrasi

androgen. Penurunan sekresi androgen biasanya ditemukan pada pria tua sebagai

akibat dari proses penuaan, pasien dengan hipogonadisme primer atau sekunder,

pasien dengan kekurangan enzim testikuler, atau pada konsumsi obat seperti

spironolakton dan ketokonazol yang menginhibisi biosintesis testosterone.

Penurunan sekresi juga ditemukan pada keadaan hiperesterogenik, baik pada

supresi hormone LH hipofisis yang diinduksi estrogen, yang menghasilkan supresi

sekresi hormone testosterone, maupun pada inhibisi aktivitas enzim sitokrom P-

450c 17 di testis yang diiduksi estrogen yang dibutuhkan pada biosintesis

testosterone. Efek yang sama terlihat pada stimulasi LH pada sel interstisial testis

6
yang terjadi pada hipogonadisme primer, gonadotropin korionik yang dihasilkan

oleh tumor germ-sel testikuler dan ekstragonad dan pada beberapa neoplasma

nontropoblastik, seperti tumor paru-paru, abdomen, hati, atau ginjal. Level

gonadotropin serum yang tinggi menstimulasi aktivitas aromatase sel interstisial

dan peningkatan sekresi estradiol yang kemudian menginhibisi aktivitas enzim

sitokrom P-450c 17. Level testosterone serum juga dapat turun sebagai akibat

peningkatan aromatase testosterone ke estradiol pada beberapa kondisi

berhubungan dengan ginekomastia atau peningkatan klirens dari sirkulasi melalui

aktivitas reduktase cincin reduktase-A testosterone hepatic sebagai akibat konsumsi

alcohol. Karena androgen terikat erat dengan globulin pengikatan hormon seks,

maka kondisi-kondisi yang meningkatkan level dari protein ini dapat

mengakibatkan konsentrasi androgen bebas rendah, terutama jika kondisi tersebut

juga menurunkan produksi androgen.7

3. Masalah reseptor androgen

Defek pada struktur dan fungsi dari reseptor androgen, yang ada pada pasien

dengan sindrom insensitivitas androgen komplit atau parsial, atau pelepasan

androgen dari reseptor androgen payudara oleh obat seperti spironolakton,

cyproterone asetat, flutamide, atau cimetidine mengakibatkan efek yang tidak

diinginkan pada jaringan payudara.7

4. Hipersensitivitas pada jaringan payudara

Ginekomastia terjadi jika jaringan payudara pada pria memiliki sensitivitas

yang meningkat pada estrogen. Meskipun, peningkatan aktivitas aromatase

ditemukan pada pasien ginekomastia. Aromatase androgen ke estrogen dalam

7
jaringan payudara merupakan penyebab dari ginekomastia idiopatik. Ginekomastia

yang terjadi pada neonatus biasanya diikuti pada masa pubertas yang mendukung

bahwa jaringan glanduler payudara lebih sensitif terhadap stimulasi estrogen pada

beberapa pria dibandingkan pria lainnya.6,7

Hormon utama pada laki-laki adalah testosteron, yang dihasilkan testis . Pada

wanita hormon utama adalah estrogen, yang dikeluarkan oleh ovarium. Kedua

hormon tersebut masing-masing diproduksi oleh kedua kelenjar. Estrogen juga

diproduksi di testis dan sejumlah testosteron juga diproduksi di ovarium.

Ginekomastia terjadi karena ketidakseimbangan antara estrogen (yang menstimuli

jaringan payudara) dan androgen (yang menghambat stimulus).6,7

Gambar 2.1 Proses terbentuknya estrogen yang menyebabkan ginekomastia7

8
IV. DIAGNOSIS

Langkah pertama dalam evaluasi klinik adalah menetapkan bahwa

benjolan ini adalah ginekomastia. Keadaan yang paling sulit dibedakan dengan

ginekomastia adalah pembesaran jaringan lemak subareolar payudara tanpa

proliferasi kelenjar (psuedoginekomastia). 1,3,6

Pasien dengan pseudoginekomastia memiliki badan obesitas menyeluruh

dan tidak mengeluhkan nyeri. Dan sebagai tambahan dapat dilakukan

pemeriksaan payudara. Pemeriksaan yang baik dengan meletakkan tangan

pasien dibelakang kepala sambil pasien baring. Pemeriksa meletakkan ibu jari

pada sisi yang satu dan jari kedua diletakkan pada sisi lain lalu memeriksa dengan

seksama. Pada pasien ginekomastia akan didapatkan benjolan yang kenyal dan

berbatas tegas dan berada di tengah dan puting susu serta mudah dipalpasi.

Sedangkan pada pseudoginekomastia tidak ada hambatan saat kedua jari

dipertemukan.1,6

Gambar 2.2 Cara pemeriksaan fisis dalam mendiagnosis ginekomastia7

9
Biasanya ginekomastia terjadi asimetrik. Ginekomastia unilateral biasanya

menandakan adanya pertumbuhan ginekomastia bilateral. Meskipun kelainan

seperti neurofibroma, limpangioma, hematoma, lipoma, dan kistra dermoid dapat

mengakibatkan pembesaran unilateral, namun yang paling harus dibedakan ialah

dengan karsinoma payudara yang terjadi pada pria kurang dari 1%. Kanker

payudara pada pria biasanya massanya unilateral, keras, terfiksasi pada jaringan

dibawahnya, adanya dimpling, retraksi atau crusting puting susu, keluarnya cairan

dari puting susu, atau adanya limfadenopati aksilla. 1,8,9

Gambar 2.3. Ginekomastia asimetris 9

Setelah diagnosis ginekomastia dapat dibuat, beberapa etiologi lain dapat

diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan rasa

sakit pada payudara. Riwayat penggunaan obat-obatan dan juga riwayat kelainan

hati dan ginjal menjadi hal penting dalam menetapkan etiologi. Riwayat

penurunan berat badan, takikardi, gemetar, diaporesis, dan hiperdefekasi dapat

membantu ke arah hipertirod. Pada pemeriksaan fisis dilakukan palpasi pada

payudara untuk membedakan dengan pembesaran akibat jaringan lemak.

10
Pemeriksaan palpasi pada testis juga perlu dilakukan untuk menilai apakah ada rasa

sakit atau tidak. Gejala-gejala dan hipogonadisme juga perlu di periksa, seperti

penurunan libido, impotensi, penurunan kekuatan, dan juga atrofi testis.

Pemeriksaan yang teliti terutama untuk massa di abdomen, dapat membantu dalam

menemulcan kanker adrenocortical.1,6,9

Mammografi atau FNA sangat membantu dalam membedakan kanker atau

ginekomastia, meskipun biopsy bedah harus dilakukan jika kedua prosedur

sebelumnya tidak menunjukkan adanya proses keganasan.. Pada pasien dengan

kemungkinan neoplasma testikular dapat dilakukan USG testis. 7,8

Pada pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan pemeriksaan kadar serum

hormon-hormon tertentu untuk dapat menentukan etiologi, seperti pemeriksaan

gonadotropin korionik serum (hCG), testosterone, estradiol dan LH. Algoritma

pemeriksaan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.1,6,,7

V. PENATALAKSANAAN

Penanganan ginekomastia dilakukan berdasarkan penyebabnya.4 Secara umum

tidak ada pengobatan bagi ginekomastia fisiologis. Tujuan utama pengobatan adalah

untuk mengurangi kesakitan dan menghindari komplikasi. Penanganan ginekomastia

meliputi tiga hal yaitu observasi, medikamentosa dan operasi.6,8

11
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : TN. R
Tanggal Lahir : 15-Juli-1988
Agama : Islam
Usia : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Sampit
Tanggal Masuk RS : 03 juli 2017
II. EVALUASI PRE-ANESTESI
1. Anamnesis (Autoanamnesis 03 juli 2017)
 Keluhan Utama
Benjolan pada payudara kanan
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli klinik RSUD dr Doris sylvanus pada tanggal 03
juli 2017 dengan keluhan benjolan pada payudara kanan, benjolan
terjadi kurang lebih 10 tahun, benjolan semakin lama semakin
membesar, tidak nyeri, demam (-), penurunan berat badan (-),
penggunaan obat-obatan mengandung hormon (-).
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat asma (-), riwayat sakit
jantung (-), riwayat alergi obat (-) dan riwayat alergi makanan (-).

12
 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit yang sama.

2. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan Umum : sakit sedang


- Kesadaran : compos mentis
- Skala nyeri :0
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- RR : 19x/menit
- Suhu : 36,60C
- Tinggi Badan : 170 cm
- Berat Badan : 56 kg
- Kepala : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
- Thorak : simetris +/+, retraksi -/-, ves +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-, S1,S2 tunggal reguler mur-mur (-), galop (-).
- Mammae : teraba masa ukuran 3x3 cm, nyeri tekan (-),
mobile (+), merah (-)
- Abdomen : Bu (+), hepar/lien tidak teraba membesar
- Ekastremitas : akral hangat, CRT <2’
3. Pemeriksaan Penunjang
USG tanggal 8 juni 2017 kesimpulan ginekomastia mammae dextra
Laboratorium (19 Oktober 2010):
o Hb : 15,4 gr/dl
o Ht : 43%
o WBC: 6.400 /mm3
o trombosit: 284.000/mm3
o GDS : 99 mg/dl
o Ur/Cr: 19,/1,1 g/dl
o SGOT/PT: 15/70 mg/ dl
4. ASA : 1
5. Terapi Pre-anestesi: puasa 6 jam pre-operatif, Infus RL

13
III. INTRAOPERATIF (04 juli 2017)
- Tindakan Operasi : mastektomi
- Tindakan Anestesi : Anestesi umum
- Posisi : Supine
- Obat Anestesi :
1. Midazolam: 0,1- 0,4 mg/kgBB IV 2 mg
2. Fentanyl: 2-150 mcg/kgBB IV  120 mcg
3. Propofol: 1,5-2,5 mg/kgBB IV  100 mg
4. Rocuronium: 0, 45- 0,9 mg/kgBB IV  40 mg
- Intubasi : 1. Laringoskop
2. Tube: oral 7,5 cuff (+)
3. Benda Asing Dalam Saluran Pernapasan: guedel
- Ventilasi : - TV : 450 ml
- RR : 12 x/ menit
- Volatile agent : sevoflurane
- IV Line : tangan kiri No.20 G
- Artery Line : -
- Keseimbangan Cairan : Input: kristaloid : 1000 mL
Blood loss : 50 mL

- Tekanan Darah : - Pasien masuk dengan tekanan darah


140/90 mmHg

- Setelah induksi, tekanan darah berkisar 120/85 mmHg, hingga operas


selesai

- Denyut Jantung : 90 kali/menit

- RR : 12 kali/menit.

- Obat Lain : 1. Ondancentron 4 mg


2. ketorolac 30 mg
3. Asam tranexamat 500 mg
4. Dexamethason 10 mg

14
BAB IV

PEBAHASAN

Kasus ini di diagnosis dengan ginekomastia dilakukan operasi mastektomi

dengan anestesi umum intubasi endotrakeal tube. Anastesi yang dilakukan pada

pasien ini bertujuan untuk meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya

kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).10 Intubasi adalah memasukan

pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2

yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi

endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui

rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-

kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi

nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing

ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.

Indikasi dilakukan intubasi endotrakeal pada pasien ini yaitu untuk

mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk

ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan

proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat

sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan

thoracoabdominal pada saat pembedahan.

Sebelum pemasangan ET terlebih dahulu dilakukan persiapan pasien yaitu

pemasangan elektroda EKG, SpO2 dan tensi meter bertujuan untuk memonitoring

tanda vital pasien selama dilakukan operasi. Pertama di berikan premedikasi yaitu

15
ondancentron 4 mg sebagai anti emetik untuk mencegah muntah, jika terjadi

muntah akan menyebabkan aspirasi sehingga menganggu pernapasan. Midazolam

dengan dosis 0,1- 0,4 mg/kgBB IV diberikan 2 mg yang memberikan efek untuk

sedasi, menenangkan pasien (anxiolitik) dan menciptakan amnesia. Selanjutnya

Peberian induksi dengan obat Fentanyl dosis 2-150 mcg/kgBB IV diberikan 120

mcg bekerja pada reseptor  (paling efektif untuk menghasilkan analgesia),

terdapat efek depresi napas, penurunan denyut jantung, dan aliran darah ke otak

dan di berikan juga propofol dengan dosis 1,5-2,5 mg/kgBB IV di berikan 100 mg

memberikan efek sedasi, menurunkan refleks saluran napas, inhibisi transmisi

sinaps melalui efek terhadap reseptor GABA, pemulihan cepat, menurunkan rasa

muntah dan mual serta memiliki efek bronkodilatasi. Kemudian diberikan obat

Rocuronium dengan dosis 0,45- 0,9 mg/kgBB IV diberikan 40 mg relaksan otot

non-depolarisasi durasi kerja sedang (60 menit). Dipilih karena onsentya cepat (1-

3 menit) sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, posisikan pasien

dengan triple airway manuver, sungkup muka ditempatkan pada muka beri

ventilasi dengan tidal volume 560 L selama kurang lebih 3 menit.

Dilakukan intubasi dengan endotrakeal tube non kinking no 7.5

memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan

mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan

trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. ETT dihubungkan dengan mesin

anestesi dan kantong udara dipompa. Kemudian Suara napas kanan dan kiri

diperiksa dengan stetoskop dan hasilnya simetris. Selanjutnya ETT difiksasi

dengan tape di sudut mulut pasien supaya tidak terlepas. Dilakukan pemeliharaan

16
menggunakan ventilator dengan TV 450 dengan RR 12x/menit dan sevofluran

dibuka yang memiliki efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil dan jarang

menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan

oleh tubuh. menggunakan ETT. Dipasang Guedel untuk mencegah ETT digigit.

Kemudian letakkan tape di kedua kelopak mata supaya mata tidak terbuka.

Disebabkan pasien dalam keadaan tidak sadar, matanya biasa tidak menutup

sempurna sehingga dapat menyebabkan kornea menjadi kering.

Saat mulai pembedahan di berikan obat asam tranexamat 500 mg golongan

anti trombolitik yang berfungsi untuk menghentikan perdarahan dari luka operasi.

lama pembedahan kurang lebih 1 jam 20 menit dilakukan monitoring tensi rata-

rata 120-130/80-90 mmHg, nadi 80-90x/menit, respirasi 12x/menit dan SpO2

99%. Sesaat sebelum selesai operasi di berikan suntikan obat ketorolac 30 mg

adalah golongan obat NSAID yang berfungsi sebagai penatalaksanaan nyeri akut

yang berat jangka pendek (<5 hari) dan di berikan suntikan dexamethason 10 mg

merupakan obat kortikosteroid jenis glukokortikoid sintetis yang digunakan

sebagai anti alergi, anti iflamasi dan iunosupresan yang kuat.

Setelah selesai operasi dilakukan persiapan untuk ekstubasi, peberian

sevofluran di hentikan, di berikan reverse yang digunakan Prostigmin

(Neostigmine-antikolinesterase) 0,5 mg dan Atropin 0,5 mg (antikolinergik).

Diusahakan nafas spontan dengan cara mesin anestesi di set menjadi ventilasi

manual. pernafasan pasien dibantu dengan memompa balon udara tetapi dilakukan

hipoventilasi 6-8x/menit untuk memancing pasien bernapas sendiri. Jika balon

mulai kembang kempis sendiri tetapi volume masih kecil, napas dibantu dengan

17
memompa balon saat inspirasi. Dilakukan sehingga balon kembang kempis

dengan volume adekuat. Jika pasien masih tidak bernapas spontan dapat diberikan

obat reverse untuk menghentikan kerja obat muscle relaxant yang masih bekerja.

Diberikan obat reverse prostigmin 0.1mg IV dan sulfa atrophine 0.5mg, tunggu

beberapa menit hingga napas spontan dan adekuat, lendir dikeluarkan dengan

suction. Kemudian Cuff ETT dikempiskan dan dilakukan ekstubasi. Ekstubasi

dilakukan ketika pasien masih dalam anestesi dalam dan tidak sadar supaya tidak

terjadi spasme laring. masukkan guedel ke dalam mulut untuk mempertahankan

jalan napas, pemberian O2 7 L/menit menggunakan sungkup muka +-4menit,

setelah semua peralatan dilepaskan pasien dibawa ke recovery room dengan tetap

monitoring tanda vital pasien.

Dilakukan observasi selama di recovery room posisikan pasien dengan

triple airway manuver sampai pasien sadar, perintahkan pasien mebuka mulut

untuk mengeluarkan guedel dan tetap beri pasien O2 dengan asker 6L/menit dan

tetap observasi tanda vital sampai pasien sadar penuh dan dapat di pindahkan ke

ruangangannya kembali.

18
BAB V

RANGKUMAN

Dilaporkan pasien laki-laki Tn. R, usia 29 tahun dengan diagosis

ginekomastia dan dilakukan tindakan mastektomi dengan menggunakan anestesi

umum intubasi ET, sebelum dilakukan intubasi di berikan premedikasi,

oksigenasi, sedasi saat refleks sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang,

posisikan pasien dengan triple airway manuver, sungkup muka ditempatkan pada

muka beri ventilasi, kemudian dilakukan intubasi menggunakan ET.

Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital

pasien, sehingga dalam keadaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali

dipertahankan. Pengelolaan jalan nafas ialah memastikan jalan napas terbuka,

sementara itu, tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera

melapangkan saluran pernapasan. Selama dilakukan operasi pasien di monitoring

tanda vital TD 120-130/80-90 mmHg, nadi 80-90x/menit, respirasi 12x/menit dan

SpO2 99%. Setelah selesai operasi di berikan obat ketorolac, dexaethason dan

pemberian reverse. Setelah itu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya pasien di

observasi di recovery room sabmil menjaga jalan nafas dan keadaan pasien sadar

penuh.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer A, Suprohita, Wardhani WI, Setiowulan W. Editor. Kapita Selekta


Kedokteran ed 3 Jilid 2. Media Aesculapius FK-UI Jakarta 2000
2. Glass AR. Gynecomastia In: Becker KL (editor) Principles And Practice Of
Endocrinology And Metabolism 3 rd Ed. Lippincott William & Wilkins
Publisher. 2002
3. Clarke PJ, Hands L. Abnormalities of The male breast. In: Morris PJ,
Wood WC, editors. Oxford Textbook of surgery 2nd Ed. Oxford Press :
2002 Braunstein GD.
4. Management of Gynecomastia. In Harris JR, Lippman ME, Morrow M,
Osborne CK editors. Lippmon By Lippincott Williams & Wilkins
Publishers;2000
5. Jong WD, Syamsuhidajat R. Editor. Payudara. In. Buku Ajar Ilmu Bedah
Ed 2. EGC Jakarta : 2005. p: 387-401
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit.
Ed4. Buku 2. EGC Jakarta 1995
7. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dan Sel Ke sistem Ed 2. EGC Jakarta 2001
8. Kronenberg H, Melmed S, Larsen PR, Polonsky K. Principles Of
Endocrinology. In Larsen PR, Kronenberg H, Melmed S, Polonsky K. Editors.
Williams Textbook Of Endocrinology 10th Ed.Saunders 2003
9. Suherman SK,. Estrogen, Antiestrogen„ Progestin, dan Kontrasepsi
Hormonal. Dalam Ganiswama Editor Farmakologi Dan Terapi. Gaya Baru:
Jakarta . 1995. hal 446-56
10. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology, Third
edition. McGraw-Hill, 2006
11. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.
12. Hines, R. L., Marschall, K. E. 2008. Stoelting’s Anethesia and Co-existing
Disease. 5th edition. New York: Elsevier.
13. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.
14. Miller, R. D., Erikkson, L. I., Fleisher, L. A., Wiener, J. P., Young W. L.
2009. Miller’s Anesthesia. 7th Edition. New York: Elsevier.
15. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical
Anesthesiology. 4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc

20

Anda mungkin juga menyukai