Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
2.2 Intususepsi
2.2.1. Definisi
Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk
ke dalam segmen lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan
terjadinya obstruksi ataupun strangulasi. Invaginasi sering disebut
juga sebagai intussusepsi. Umumnya bagian yang proximal
(intussuseptum) masuk ke bagian distal (intususepien).1
Intususepsi adalah masuknya salah satu bagian ke bagian
yang lain atau invaginatio dari salah satu bagian usus kedalam
lumen dan bergabung dengan bagian tersebut. Biasanya bagian
proksimal masuk ke distal, jarang terjadi sebaliknya.1
Bagian usus yang masuk (menginvaginasi) disebut
intussusceptum dan bagian yang menerima intussusceptum
(diinvaginasi) disebut intussuscipiens. Sinonim dari intussusception
adalah telescoping usus dan invaginasi usus. Intususepsi
diklasifikasikan berdasarkan lokasi dari traktus alimentary yaitu :
ileoocolic, cecocolic, enteroenteric, duodenogastric, dan
gastroesophageal.4
6
2.2.2. Epidemiologi
Insiden penyakit ini tidak diketahui secara pasti, masing-
masing penulis mengajukan jumlah penderita yang berbeda-beda.
Kelainan ini umumnya ditemukan pada anak-anak dibawah 1 tahun
dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia. Umumnya
invaginasi ditemukan lebih sering pada laki-laki dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2.2
Di negara maju, outcome dari pasien dengan intususepsi
memiliki prognosis yang lebih baik karena diagnosis yang tegak
secara dini diikuti dengan prosedur terapi yang kurang invasif
seperti reduksi barium enema. Sebaliknya, di negara berkembang,
banyak anak dengan intususepsi dilaporkan mengalami
keterlambatan untuk mendapatkan terapi definitif. Tertundanya
diagnosis yang berlanjut menjadi nekrosis usus, diikuti dengan
terapi reduksi operasi, memiliki angka fatalitas yang tinggi,
misalnya 18% di Nigeria, 20% di Indonesia dan hingga 54% di
Ethiopia.2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan angka kematian anak-
anak dengan intususepsi di pedesaan Indonesia jauh lebih tinggi
daripada di perkotaan di Indonesia atau di Belanda, mungkin
karena pengobatan yang terlambat, yang menghasilkan lebih
banyak pasien yang menjalani operasi dalam kondisi fisik yang
buruk. Mortalitas intususepsi meningkat secara signifikan (lebih
dari 10 kali) pada pasien intususepsi yang baru datang berobat
setelah 48 jam sejak onset gejala dibandingkan dengan pasien
intususepsi yang datang berobat sejak 24 jam onset gejala.2
7
2.2.3. Etiologi
Invaginasi terbagi atas Idiopatik dan Kausatif:
1. Idiopatik: Pada kepustakaan 95% invaginasi pada anak
umur 1 bulan sampai 3 tahun sering tidak dijumpai
penyebab yang jelas, sehingga digolongkan ”Infatil
idiophatic intususseption”. Pada saat operasi hanya
ditemukan penebalan dari dinding ileum terminal berupa
hyperplasia jaringan follikel submukosa yang diduga
sebagai infeksi rotavirus. Penebalan ini merupakan titik
awal (lead point) terjadinya invaginasi.
Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di
antara penelitian terkait intususepsi. Sebagian besar
peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’ untuk
menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas
spesifik dari usus yang diketahui dapat menyebabkan
intususepsi seperti diverticulum meckel atau polip yang
dapat diidentifikasi saat pembedahan.
Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan yang teliti dapat
mengungkapkan hipertrofi jaringan limfoid mural (Peyer
patch), yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau
rotavirus.
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas.
Salah satu teori untuk menjelaskan kemungkinan etiologi
intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi karena
Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3
pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi
saluran pernapasan atas, (2) wilayah ileokolika memiliki
konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di
mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah bening
sering dijumpai pada pasien yang memerlukan operasi.
Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi
8
Pada kolon dikenal dengan jenis colo colica dan sekitar ileo
caecal dan ileo colica, jenis-jenis yang disebutkan di atas dikenal
dengan invaginasi tunggal dimana dindingnya terdiri dari tiga
lapisan. Jika dijumpai dindingnya terdiri dari lima lapisan, hal ini
sering pada keadaan yang lebih lanjut disebut tipe invaginasi
ganda, sebagai contoh adalah tipe invaginasi ileo-ileo colica atau
colo colica.7
2.2.5. Patogenesis
Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari
ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding
intestinal. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya
massa yang bertindak sebagai “lead point” atau oleh pola yang
10
2.2.8. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis invaginasi didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi, tetapi
diagnosis pasti dari suatu invaginasi adalah ditemukannya suatu
keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya,
pada saat dilakukan operasi laparotomi. 11
Gejala klinis yang menonjol dari invaginasi dikenal dengan
“Trias Invaginasi”, yang terdiri dari:
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat
serang serangan, nyeri menghilang selama 10-20 menit,
kemudian timbul lagi serangan (colicky abdominal pain).
2. Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian
kanan atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri
atas (palpebra abdominal mass).
14
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan peningkatan
jumlah neutrofil segmen (>70%).
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen: didapatkan distribusi udara didalam
usus tidak merata, usus terdesak ke kiri atas, bila telah
lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran
“air fluid level”. Dapat terlihat “free air“ bila terjadi
perforasi. Barium enema: dikerjakan untuk tujuan
diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila
gejala-gejala klinik meragukan, pada barium enema akan
tampak gambaran cupping, coiled spring appearance.
Ultrasonografi: pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan
15
2.2.9. Tatalaksana
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh
cepatnya pertolongan diberikan, jika pertolongan sudah diberikan
kurang dari 24 jam dari serangan pertama maka akan memberikan
prognosis yang lebih baik. Penatalaksanaan dari invaginasi pada
umumnya meliputi resusitasi, kofirmasi diagnostik melalui
ultrasonografi, reduksi hidrostasis, reduksi dengan barium enema
(kecuali anak mengalami tanda-tanda peritonitis), dengan
intervensi bedah merupakan pilihan terakhir kecuali pada kasus
khusus.13
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada
bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua tindakan penanganan
yang dinilai berhasil dengan baik yaitu:
1. Reduksi dengan barium enema
Reduksi dengan barium enema merupakan terapi awal pada
invaginasi pada anak, namun kontroversi terhadap terapi ini
masih terus diperdebatkan. Sebelum dilakukan tindakan reduksi,
maka terhadap penderita: dipuasakan, resusitasi cairan,
dekompresi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah
dijumpai tanda gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan
laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah leukosit dan
neutrofil segmen maka antibiotika berspektrum luas dapat
diberikan. Narkotik seperti Demerol dapat diberikan (1mg/kg
BB) untuk menghilangkan rasa sakit. 13
Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema
berfungsi dalam diagnostik dan terapi. Reduksi invaginasi
dengan nonoperatif telah menunjukkan lama rawat inap,
16
2.2.10. Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka invaginasi dapat
menyebabkan perforasi usus dan berlanjut menjadi peritonitis. 13
20
2.3.1 Definisi
2.3.2 Epidemiologi
2.3.3 Patogenesis
Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Banyak
teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai penyebab
IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada
individu yang memang rentan secara genetis. IBD diyakini merupakan hasil
respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada fl ora normal
usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung
dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifi kasinya
gen CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya IBD.7 Secara genetis,
disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD1) atau CARD15 (gen
NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan terjadinya IBD (terutama untuk
PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap IBD.22
Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali adanya
infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan
dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade
proses inflamasi pada dinding usus.23
Banyak mediator inflamasi telah dikenali dalam patogenesis IBD. Sitokin
yang dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus
22
2.3.4. Diagnosis
Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah,
dan nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna
(ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran
sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi, demam, gangguan
nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat
kronik-eksaserbasi-remisiatau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase
remisi.25
Pemahaman atas proses infl amasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan
membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD.
Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada KU dibandingkan
PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon
sedangkan pada PC lebih bervariasi. Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit
membedakan gambaran IBD dengan penyakit lain yang kerap ditemukan di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia yakni kolitis infeksi dan
tuberkulosis usus.25
24
menganggap pemeriksaan ini tidak perlu karena tidak banyak manfaatnya untuk
menegakkan diagnosis IBD, melainkan hanya untuk membedakan penyakit Crohn
dan kolitis ulseratif. Bahkan Sabery dkk menemukan peningkatan LED dan
anemia lebih spesifik dan sensitif sebagai uji tapis IBD dibanding serologis.25
Tabel 2.4. Perbedaan KU dan PC
2.3.6 Tatalaksana
2.3.6.1. Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000
mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit,
terutama PC. Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik. Antibiotik
diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinflamasi disebabkan
28
Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan
obat pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase
peradangan aktif. Pemilihan obat steroid konvensional, seperti
prednison, metilprednisolon ataupun steroid enema, masih menjadi
primadona karena harga yang murah dan ketersediaan yang luas.
Dosis umumnya adalah setara 40 – 60 mg prednison. Namun,
jangan dilupakan efeksistemik obat-obatan ini. Idealnya, dicapai
kadar steroid yang tinggi pada dinding usus namun dengan efek
sistemik yang rendah.Umumnya, preparat yang digunakan dewasa
ini adalah budesonid. Remisi biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12
minggu yang kemudian diikuti dengan penurunan dosis (tapering
down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga tercapai dosis 40 mg
30
2.3.7 Prognosis
IBD biasanya ditandai oleh adanya periode eksaserbasi dan remisi. Hanya
1% penderita PC yang tidak mengalami kekambuhan setelah diagnosis dan
pengobatan awal. Terdapat risiko berkembangnya kanker pada penyakit usus
kronis yang risikonya sama antara PC dan KU.27
2.3.8 Komplikasi
Banyak komplikasi yang berhubungan dengan IBD yang dapat terjadi baik
pada UC maupun pada CD. Komplikasi ekstraintestinal dapat terjadi kira-kira
20% dari pasien dengan IBD. Pada beberapa kasus, komplikasi tersebut dapat
lebih menjadi masalah dibandingkan penyakitnya sendiri. Komplikasi intestinal
yang dapat terjadi adalah striktur, fistula dan abses, perforasi, megakolon toksik,
dan keganasan.25
Komplikasi ekstraintestinalnya yaitu crippling osteoporosis,
hiperkoagulasi, anemia, batu empedu, cholangitis sklerotik primer, aphtous ulcer,
iritis (uveitis), episkleritis, dan komplikasi pada kulit seperti pyoderma
gangrenosum dan eritema nodosum.25