Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Segmen Usus

Gambar 2.1 Intususepsi usus halus yang masuk ke usus besar.

Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang


membentang dari pilorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup
panjang usus halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat relaksasi).
Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah rongga abdomen. Ujung
proksimalnya bergaris tengah sekitar 3,8 cm, tetapi semakin ke bawah
lambat laun garis tengahnya berkurang sampai menjadi sekitar 2,5 cm.3
Struktur usus halus terdiri dari bagian-bagian berikut ini :
a. Duodenum: bentuknya melengkung seperti kuku kuda. Pada lengkungan
ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan duodenum merupakan tempat
bermuaranya saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas
(duktus pankreatikus), tempat ini dinamakan papilla vateri. Dinding
duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar
brunner untuk memproduksi getah intestinum. Panjang duodenum sekitar
25 cm, mulai dari pilorus sampai jejunum. b. Jejunum: Panjangnya 2-3
meter dan berkelok-kelok, terletak di sebelah kiri atas intestinum minor.

3
4

Dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas


(mesentrium) memungkinkan keluar masuknya arteri dan vena mesentrika
superior, pembuluh limfe, dan saraf ke ruang antara lapisan peritoneum.
Penampang jejunum lebih lebar, dindingnya lebih tebal, dan banyak
mengandung pembuluh darah. c. Ileum: ujung batas antara ileum dan
jejunum tidak jelas, panjangnya ±4-5 m.3
Ileum merupakan usus halus yang terletak di sebelah kanan bawah
berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang orifisium
ileosekalis yang diperkuat sfingter dan katup valvula ceicalis (valvula
bauchini) yang berfungsi mencegah cairan dalam kolon agar tidak masuk
lagi ke dalam ileum.3
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang
sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai
kanalisani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus
kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus
diameternya semakin kecil. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar
adalah selaput lendir, lapisan otot yang memanjang, dan jaringan ikat.
Ukurannya lebih besar daripada usus halus, mukosanya lebih halus
daripada usus halus dan tidak memiliki vili. Serabut otot longitudinal
dalam muskulus ekterna membentuk tiga pita, taenia coli yang menarik
kolon menjadi kantong-kantong besar yang disebut dengan haustra.
Dibagian bawah terdapat katup ileosekal yaitu katup antara usus halus dan
usus besar. Katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon
gelombang peristaltik sehingga memungkinkan kimus mengalir 15 ml
masuk dan total aliran sebanyak 500 ml/hari.3
Bagian-bagian usus besar terdiri dari: a. Sekum adalah kantong
tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal apendiks. Pada
sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung
sekum. Apendiks vermiform, suatu tabung buntu yang sempit yang berisi
jaringan limfoit, menonjol dari ujung sekum. b. Kolon adalah bagian usus
besar dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga divisi.
5

i. Kolon ascenden : merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hati di


sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
ii. Kolon transversum: merentang menyilang abdomen di bawah hati
dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke
bawah fleksura splenik.
iii. Kolon desenden : merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan
menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum. c.
Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang
12-13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke
eksterior di anus.3

2.2 Intususepsi
2.2.1. Definisi
Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk
ke dalam segmen lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan
terjadinya obstruksi ataupun strangulasi. Invaginasi sering disebut
juga sebagai intussusepsi. Umumnya bagian yang proximal
(intussuseptum) masuk ke bagian distal (intususepien).1
Intususepsi adalah masuknya salah satu bagian ke bagian
yang lain atau invaginatio dari salah satu bagian usus kedalam
lumen dan bergabung dengan bagian tersebut. Biasanya bagian
proksimal masuk ke distal, jarang terjadi sebaliknya.1
Bagian usus yang masuk (menginvaginasi) disebut
intussusceptum dan bagian yang menerima intussusceptum
(diinvaginasi) disebut intussuscipiens. Sinonim dari intussusception
adalah telescoping usus dan invaginasi usus. Intususepsi
diklasifikasikan berdasarkan lokasi dari traktus alimentary yaitu :
ileoocolic, cecocolic, enteroenteric, duodenogastric, dan
gastroesophageal.4
6

2.2.2. Epidemiologi
Insiden penyakit ini tidak diketahui secara pasti, masing-
masing penulis mengajukan jumlah penderita yang berbeda-beda.
Kelainan ini umumnya ditemukan pada anak-anak dibawah 1 tahun
dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia. Umumnya
invaginasi ditemukan lebih sering pada laki-laki dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2.2
Di negara maju, outcome dari pasien dengan intususepsi
memiliki prognosis yang lebih baik karena diagnosis yang tegak
secara dini diikuti dengan prosedur terapi yang kurang invasif
seperti reduksi barium enema. Sebaliknya, di negara berkembang,
banyak anak dengan intususepsi dilaporkan mengalami
keterlambatan untuk mendapatkan terapi definitif. Tertundanya
diagnosis yang berlanjut menjadi nekrosis usus, diikuti dengan
terapi reduksi operasi, memiliki angka fatalitas yang tinggi,
misalnya 18% di Nigeria, 20% di Indonesia dan hingga 54% di
Ethiopia.2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan angka kematian anak-
anak dengan intususepsi di pedesaan Indonesia jauh lebih tinggi
daripada di perkotaan di Indonesia atau di Belanda, mungkin
karena pengobatan yang terlambat, yang menghasilkan lebih
banyak pasien yang menjalani operasi dalam kondisi fisik yang
buruk. Mortalitas intususepsi meningkat secara signifikan (lebih
dari 10 kali) pada pasien intususepsi yang baru datang berobat
setelah 48 jam sejak onset gejala dibandingkan dengan pasien
intususepsi yang datang berobat sejak 24 jam onset gejala.2
7

2.2.3. Etiologi
Invaginasi terbagi atas Idiopatik dan Kausatif:
1. Idiopatik: Pada kepustakaan 95% invaginasi pada anak
umur 1 bulan sampai 3 tahun sering tidak dijumpai
penyebab yang jelas, sehingga digolongkan ”Infatil
idiophatic intususseption”. Pada saat operasi hanya
ditemukan penebalan dari dinding ileum terminal berupa
hyperplasia jaringan follikel submukosa yang diduga
sebagai infeksi rotavirus. Penebalan ini merupakan titik
awal (lead point) terjadinya invaginasi.
Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di
antara penelitian terkait intususepsi. Sebagian besar
peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’ untuk
menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas
spesifik dari usus yang diketahui dapat menyebabkan
intususepsi seperti diverticulum meckel atau polip yang
dapat diidentifikasi saat pembedahan.
Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan yang teliti dapat
mengungkapkan hipertrofi jaringan limfoid mural (Peyer
patch), yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau
rotavirus.
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas.
Salah satu teori untuk menjelaskan kemungkinan etiologi
intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi karena
Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3
pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi
saluran pernapasan atas, (2) wilayah ileokolika memiliki
konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di
mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah bening
sering dijumpai pada pasien yang memerlukan operasi.
Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi
8

terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi,


masih tidak jelas.5

2. Kausatif : Pada penderita invaginasi yang berumur lebih 2


tahun biasanya ditemukan adanya kelainan usus sebagai
penyebab terjadinya invaginasi, seperti: Inverted Meckel’s
Divertikulum, Hemangioma, Lymphoma, Duplikasi usus,
Polip Usus.
Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab
intususepsi pada anak yang berusia di atas enam tahun.
Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang
biasanya timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal ini
terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan
manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi
retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.5
Ein’s dan Raffensperger (2003), pada pengamatannya
mendapatkan “Specific leading points” berupa eosinophilik,
granuloma dari ileum, papillary lymphoid hyperplasia dari ileum
hemangioma dan perdarahan submukosa karena hemophilia atau
Henoch’s purpura.6

2.2.4. Jenis – jenis Intususepsi


Invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya yaitu pada bagian
usus mana yang terlibat:
1. Ileo-ileal, adalah bagian ileum masuk ke bagian ileum.
2. Ileo-colica, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian kolon.
3. Ileo-caecal, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian apex
dari invaginasi.
4. Appedicial-colica, adalah bagian caput dari caecum
terinvaginasi.
5. Colo-colica, adalah bagian colon masuk ke bagian kolon.(7)
9

Gambar 2.2 Gambaran Intususepsi tipe Ileo-caecal

Pada kolon dikenal dengan jenis colo colica dan sekitar ileo
caecal dan ileo colica, jenis-jenis yang disebutkan di atas dikenal
dengan invaginasi tunggal dimana dindingnya terdiri dari tiga
lapisan. Jika dijumpai dindingnya terdiri dari lima lapisan, hal ini
sering pada keadaan yang lebih lanjut disebut tipe invaginasi
ganda, sebagai contoh adalah tipe invaginasi ileo-ileo colica atau
colo colica.7

2.2.5. Patogenesis
Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari
ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding
intestinal. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya
massa yang bertindak sebagai “lead point” atau oleh pola yang
10

tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi).


Gangguan elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah
kesehatan yang dapat mengakibatkan motilitas intestinal yang
abnormal, dan mengarah pada terjadinya invaginasi. Beberapa
penelitian terbaru pada binatang menunjukkan pelepasan nitrit
oksida pada usus, suatu neurotransmitter penghambat,
menyebabkan relaksasi dari katub ileocaecal dan mempredisposisi
intususepsi ileocaecal. Penelitian lain telah mendemonstrasikan
bahwa penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu dapat
menyebabkan hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas intestinal
dengan intususepsi.8
Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus
terinvaginasi ke dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan
diikuti area proximal dari intestinal, dan mengakibatkan
intususeptum berproses sepanjang lumen dari intususipiens.
Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial,
akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium
masuk ke dalam caecum dan colon, akan dijumpai mukosa
intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi
yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan
perforasi usus.8
11

Gambar 2.3 Gambaran Intususepsi pada Laparoskopi

Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit


mengakibatkan gangguan venous return sehingga terjadi kongesti,
oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus. Hal
inilah yang mendasari terjadinya salah satu manifestasi klinis
intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga red currant
jelly stool.8
Penyakit ini sering terjadi pada umur 3-12 bulan, dimana
pada saat itu terjadi perubahan diet makanan dari cair ke padat,
perubahan pemberian makanan ini dicurigai sebagai penyebab
terjadi intususepsi. Intususepsi kadang-kadang terjadi
setelah/selama enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan
peristaltik usus. Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi,
ternyata ditemukan kuman rotavirus menjadi agen penyebabnya,
dimana pengamatan 30 kasus intususepsi bayi ditemukan virus ini
dalam feses sebanyak 37%. Pada beberapa penelitian terakhir ini
didapati peninggian insidens adenovirus dalam feses penderita
intususepsi.8
12

2.2.6. Manifestasi Klinis


Gejala klinis dan perkembangan penyakit dapat dibedakan
berdasarkan lokasi intussusseption, adanya hubungan dengan
sistem vascular dan obstruksi yang kompleks. Manifestasi penyakit
mulai tampak dalam waktu 3 - 24 jam setelah terjadi
intussusseption. Gejala-gejala sebagai tanda-tanda obstruksi usus
yaitu nyeri perut, muntah dan perdarahan. Nyeri perut bersifat
serangan setiap 15-30 menit, lamanya 1-2 menit. Biasanya nyeri
disusul oleh muntah, gejala muntah lebih sering pada invaginasi
usus halus bagian atas jejunum dan ileum daripada ileo-colica.
Setelah serangan kolik yang petama, tinja masih normal, kemudian
disusul oleh defekasi darah bercampur lendir, perdarahan terjadi
dalam waktu 12 jam. Darah lendir berwarna segar pada awal
penyakit, kemudian berangsur-angsur bercampur jaringan nekrosis,
disebut terry stool oleh karena terjadi kerusakan jaringan dan
pembuluh darah. Gejala klinisnya lainnya distensi abdomen,
demam, dehidrasi dan lethargy. Secara umum, intussusseption yang
tinggi gejala klinisnya akut.9
Penemuan klinis tergantung dari lamanya invaginasi terjadi.
Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Mungkin
beberapa hari sebelumnya menderita radang saluran nafas atau
diare. Bayi tiba-tiba menangis seperti menahan sakit untuk
beberapa menit kemudian diam, main-main atau tidur kembali.
Sering disertai muntah berupa minuman/makanan yang masuk.9
Gejala klinis dari invaginasi adalah TRIAS gejala yang terdiri
dari: 1) Nyeri perut yang bersifat kolik, 2) Muntah, dan 3) Berak
lendir darah (red currant jelly = selai kismis merah). 9
Adapula yang menyebutkan bahwa TRIAS gejala tersebut
adalah: 1) Nyeri perut yang bersifat kolik, 2) Teraba massa tumor
diperut seperti sosis (sausage’s sign), dan 3) Berak lendir darah. 9
13

2.2.7. Diagnosis Banding


1. Gastro – enteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat
ditandai jika dijumpai perubahan rasa sakit, muntah dan
perdarahan.
2. Diverticulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak
ada rasa nyeri.
3. Disentri amoeba, pada keadaan ini diare mengandung lendir
dan darah, serta adanya obstipasi, bila disentri berat
disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.
4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang
hebat.
5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi
berulang kali. Pada colok dubur didapati hubungan antara
mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada invaginasi
didapati adanya celah. 10

2.2.8. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis invaginasi didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi, tetapi
diagnosis pasti dari suatu invaginasi adalah ditemukannya suatu
keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya,
pada saat dilakukan operasi laparotomi. 11
Gejala klinis yang menonjol dari invaginasi dikenal dengan
“Trias Invaginasi”, yang terdiri dari:
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat
serang serangan, nyeri menghilang selama 10-20 menit,
kemudian timbul lagi serangan (colicky abdominal pain).
2. Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian
kanan atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri
atas (palpebra abdominal mass).
14

3. Buang air besar campur darah dan lendir ataupun terjadi


diare (red currant jelly stools). 11
Bila penderita terlambat datang ke rumah sakit, sumbatan
atau obstruksi pada usus yang disebabkan oleh invaginasi dapat
menyebabkan perut sangat menggembung atau distensi sehingga
pada saat pemeriksaan sukar untuk meraba adanya massa tumor,
oleh karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang
kepada gejala trias invaginasi yang lainnya. 11
Mengingat invaginasi sering terjadi pada anak berumur di
bawah 1 tahun, sedangkan penyakit diare umumnya juga terjadi
pada anak usia di bawah 1 tahun maka apabila ada pasien datang
berumur di bawah satu tahun dengan keluhan sakit perut yang
bersifat kolik sehingga anak menjadi rewel sepanjang hari atau
malam, ada muntah, buang air besar campur darah dan lendir maka
dapat dipikirkan kemungkinan terjadinya invaginasi. 11

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan peningkatan
jumlah neutrofil segmen (>70%).
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen: didapatkan distribusi udara didalam
usus tidak merata, usus terdesak ke kiri atas, bila telah
lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran
“air fluid level”. Dapat terlihat “free air“ bila terjadi
perforasi. Barium enema: dikerjakan untuk tujuan
diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila
gejala-gejala klinik meragukan, pada barium enema akan
tampak gambaran cupping, coiled spring appearance.
Ultrasonografi: pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan
15

gambaran target sign pada potongan melintang invaginasi


dan pseudo kidney sign pada potongan longitudinal
Invaginasi.12

2.2.9. Tatalaksana
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh
cepatnya pertolongan diberikan, jika pertolongan sudah diberikan
kurang dari 24 jam dari serangan pertama maka akan memberikan
prognosis yang lebih baik. Penatalaksanaan dari invaginasi pada
umumnya meliputi resusitasi, kofirmasi diagnostik melalui
ultrasonografi, reduksi hidrostasis, reduksi dengan barium enema
(kecuali anak mengalami tanda-tanda peritonitis), dengan
intervensi bedah merupakan pilihan terakhir kecuali pada kasus
khusus.13
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada
bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua tindakan penanganan
yang dinilai berhasil dengan baik yaitu:
1. Reduksi dengan barium enema
Reduksi dengan barium enema merupakan terapi awal pada
invaginasi pada anak, namun kontroversi terhadap terapi ini
masih terus diperdebatkan. Sebelum dilakukan tindakan reduksi,
maka terhadap penderita: dipuasakan, resusitasi cairan,
dekompresi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah
dijumpai tanda gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan
laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah leukosit dan
neutrofil segmen maka antibiotika berspektrum luas dapat
diberikan. Narkotik seperti Demerol dapat diberikan (1mg/kg
BB) untuk menghilangkan rasa sakit. 13
Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema
berfungsi dalam diagnostik dan terapi. Reduksi invaginasi
dengan nonoperatif telah menunjukkan lama rawat inap,
16

pemulihan yang lebih cepat, mengurangi biaya rumah sakit, dan


mengurangi kompilkasi yang berhubungan dengan operasi
abdomen. 13
Telah dilaporkan bahwa reduksi hidrostatis kurang berguna
bagi pasien dengan gejala invaginasi lebih dari 48 jam, dan
khususnya pasien dengan keadaan umum yang jelek dan
membutuhkan operasi reduksi sebagai penanganannya. Menurut
Syamsuhidayat tahun 2005 barium enema dapat diberikan bila
tidak dijumpai kontra indikasi seperti:
1. Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis
maupun pada foto abdomen.
2. Dijumpai tanda-tanda peritonitis.
3. Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam.
4. Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.
5. Usia penderita dibawah 1 tahun.(14)
Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan
tenang tidak menangis atau gelisah karena kesakitan oleh karena
itu pemberian sedatif sangat membantu. Kateter yang telah
diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi dengan
plester, melalui kateter bubur barium dialirkan dari kontainer
yang terletak 3 kaki di atas meja penderita dan aliran bubur
barium dideteksi dengan alat fluoroskopi sampai meniskus
intussusepsi dapat di identifikasi dan dibuat foto. Meniskus
sering dijumpai pada kolon transversum dan bagian proksimal
kolon descendens. Bila kolom bubur barium bergerak maju
menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi bila kolom
bubur barium berhenti dapat diulangi 2-3 kali dengan jarak
waktu 3-5 menit. Reduksi dinyatakan gagal bila tekanan barium
dipertahankan selama 10-15 menit tetapi tidak dijumpai
kemajuan. 13
17

Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, bubur


barium dievakuasi terlebih dahulu.
Reduksi barium enema dinyatakan berhasil, apabila:
1. Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar
dengan disertai massa feses dan udara.
2. Pada fluoroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh
kolon dan sebagian usus halus, jadi adanya refluks ke
dalam ileum.
3. Hilangnya massa tumor di abdomen.
4. Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak
menjadi tertidur serta norit test positif.
Penderita perlu dirawat inap selama 2-3 hari karena sering
dijumpai kekambuhan selama 36 jam pertama. Keberhasilan
tindakan ini tergantung kepada beberapa hal antara lain, waktu
sejak timbulnya gejala pertama, penyebab invaginasi, jenis
invaginasi dan teknis pelaksanaan-nya. Jika reduksi dengan
enema gagal untuk mengatasi keadaan ini, intervensi bedah
dapat dilakukan. 13

2. Reduksi dengan tindakan operasi


a. Memperbaiki keadaan umum
Tindakan ini sangat menentukan prognosis, jangan
melakukan tindakan operasi sebelum mengoptimalkan
keadaan umum pasien (pasien baru dapat dioperasi apabila
sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik, hal ini
ditandai apabila produksi urine sekitar 0,5-1 cc/kg BB/jam).
Nadi kurang dari 120x/menit, pernafasan tidak melebihi
40x/menit, akral yang tadinya dingin dan lembab telah
berubah menjadi hangat dan kering, turgor kulit mulai
membaik dan temperatur badan tidak lebih dari 38°C.
Biasanya perfusi jaringan akan baik apabila setengah dari
18

perhitungan dehidrasi telah masuk, sisanya dapat diberikan


sambil operasi berjalan dan pasca bedah.
Yang dilakukan dalam usaha memperbaiki keadaan
umum adalah:
a. Pemberian cairan dan elektrolit untuk rehidrasi
(resusitasi).
b. Tindakan dekompresi abdomen dengan pemasangan
sonde lambung.
c. Pemberian antibiotik dan sedatif.
Suatu kesalahan besar apabila langsung melakukan
operasi karena usus dapat menjadi nekrosis karena
perfusi jaringan masih buruk.
Harus diingat bahwa obat anestesi dan stress operasi
akan memperberat keadaan umum penderita serta perfusi
jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya
hasil metabolik di jaringan yang seharusnya dibuang lewat
ginjal dan pernafasan, begitu pula perfusi jaringan yang
belum baik akan mengakibatkan oksigenasi jaringan akan
buruk pula. Bila dipaksakan kelainan tersebut akan
irreversible. 13

b. Tindakan reposisi usus


Tindakan selama operasi tergantung kepada temuan
keadaan usus, reposisi manual dengan cara “milking”
dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung pada
keterampilan dan pengalaman operator. Insisi operasi untuk
tindakan ini dilakukan secara transversal (melintang), pada
anak-anak dibawah umur 2 tahun dianjurkan insisi
transversal supraumbilikal oleh karena letaknya relatif lebih
tinggi. Ada juga yang menganjurkan insisi transversal
infraumbilikal dengan alasan lebih mudah untuk eksplorasi
19

usus, mereduksi intusussepsi dan tindakan appendektomi


bila dibutuhkan. 13
Tidak ada batasan yang tegas kapan kita harus berhenti
mencoba reposisi manual itu. Reseksi usus dilakukan
apabila: pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan
cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan
kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah
usus direseksi dilakukan anastomosis ”end to end”, apabila
hal ini memungkinkan tetapi bila tidak mungkin maka
dilakukan “exteriorisasi” atau enterostomi. 13

2.2.10. Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka invaginasi dapat
menyebabkan perforasi usus dan berlanjut menjadi peritonitis. 13
20

2.3. Inflammatory Bowel Desease

2.3.1 Definisi

Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan


untuk menerangkan kelainan yang bersifat kronis akibat proses inflamasi pada
saluran cerna. Pengelompokan berbagai kelainan tersebut sangat sulit, karena
selain penyebab yang tidak diketahui secara pasti, gejala klinis yang diperlihatkan
juga hampir sama.14,15. Secara umum, istilah IBD ini digunakan pada dua
kelompok penyakit yang disebut kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Kolitis
ulseratif didefinisikan sebagai suatu penyakit inflamasi kronis dan berulang yang
mengenai mukosa kolon, sedangkan penyakit Crohn didefinisikan sebagai
penyakit inflamasi kronis yang dapat mengenai saluran cerna mulai dari mulut
sampai perianal.14,15,16 Inflammatory bowel disease sering dianggap sebagai
penyakit sistemik karena terdapat beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti ke
mata, kulit, sendi, ginjal, hati dan pembuluh darah.

2.3.2 Epidemiologi

Insidens kolitis ulseratif pada anak dilaporkan meningkat hingga tahun


1978, tetapi setelah itu relatif menetap. Insidens secara umum dilaporkan berkisar
3,9-7,3 kasus per 100.000 populasi per tahun, dengan prevalens 41,1-79,9 kasus
setiap 100.000 populasi. Pada kelompok usia 10-19 tahun, insidens dilaporkan
sebesar 2,3% per 100.000 populasi per tahun. Di Amerika, insidens IBD berkisar
antara 0,45-10 per 100.000 populasi per tahun. Saat ini, diperkirakan sekitar 1,4
juta penduduk Amerika menderita IBD. Di Inggris, insidens pada anak kurang
dari 16 tahun adalah sekitar 5,3 per 100.000 anak per tahun. 17,18,19
Data IBD pada negara di Asia masih sangat terbatas. Di Singapura
dilaporkan prevalens kolitis ulseratif 6 per 100.000 populasi dan penyakit Crohn
3,6 per 100.000 populasi. Data yang mirip juga dilaporkan oleh peneliti di Korea,
yaitu 6,8 per 100.000 populasi.20,21 Di Indonesia sendiri saat ini belum didapatkan
data mengenai insidens IBD. Data yang diambil dari Divisi Gastrohepatologi
21

Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RSCM tahun 2004- 2010 melaporkan 10


kasus IBD. Delapan dari 10 kasus tersebut termasuk dalam klasifikasi kolitis
ulseratif. Hal ini berbeda dengan berbagai laporan dari negara maju yang
menunjukkan bahwa penyakit Crohn ditemukan 2 kali lebih banyak dibandingkan
kolitis ulseratif. Namun sebuah penelitian di wilayah Asia-Pasifik memang
menunjukkan hal sebaliknya, justru tipe kolitis ulseratif lebih banyak ditemukan
di Asia.21
Penyakit ini jarang mengenai anak di bawah usia 2 tahun. Secara
epidemiologis, kejadian IBD tidak dipengaruhi jenis kelamin tetapi memang lebih
sering ditemukan di negara maju, ras Kaukasia terutama Yahudi, dan lebih tinggi
lagi pada sub kelompok Yahudi Ashkenazi. Onset tertinggi adalah pada usia 15-
30 tahun, hanya 10% kasus yang terjadi pada usia < 18 tahun.14-17

2.3.3 Patogenesis
Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Banyak
teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai penyebab
IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada
individu yang memang rentan secara genetis. IBD diyakini merupakan hasil
respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada fl ora normal
usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung
dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifi kasinya
gen CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya IBD.7 Secara genetis,
disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD1) atau CARD15 (gen
NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan terjadinya IBD (terutama untuk
PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap IBD.22
Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali adanya
infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan
dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade
proses inflamasi pada dinding usus.23
Banyak mediator inflamasi telah dikenali dalam patogenesis IBD. Sitokin
yang dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus
22

antigenik akan berikatan dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek


autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana
sel T helper-1 (Th-1) berperan dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2 (Th-2)
berperan dalam KU. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran
cerna dan memicu terjadinya kaskade proses inflamasi kronik.

Gambar 2.4. Proses Imunologi pada IBD


Banyak studi pada beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa
adanya heparan sulfate proteoglycans (HSPGs) terikat mengatur aktivitas
berbagai faktor infl amasi.10 Syndecan-1 (Sdc-1) merupakan contoh penting dari
HSPGs yang menutup permukaan sel epitel.11 Sdc-1 memiliki beragam peranan
biologis diantaranya penyembuhan luka, tumorigenesis, dan pengaturan respons
infl amasi. Peranan Sdc-1 dalam hal respons infl amasi adalah dengan mengatur
sinyal sitokin pro-infl amasi, khususnya tumor necrosis factor-α (TNF-α).11 Day
dkk (1999) mendapatkan adanya penurunan ekspresi Sdc-1 pada pasien-pasien
KU yang dikaitkan dengan gangguan penyembuhan ulkus pada kolon.
Floer dkk melakukan penelitian pada tikus percobaan dengan defi sit
ekspresi Syndecan -1 (Sdc-1).11 Ia mendapatkan bahwa Sdc-1 berperan dalam
mempertahankan integritas mukosa dengan mempengaruhi fungsi sel epitel,
proliferasi sel, ekspresi kemokin dan sitokin. Kekurangan atau penurunan ekspresi
Sdc-1 akan meningkatkan ekspresi sitokin pro-infl amasi terutama TNF-α, selain
itu juga mengganggu proses penyembuhan luka. Dalam studinya, Floer
mendapatkan bahwa pemberian enoxaparin mampu mengurangi kerusakan kolon
pada tikus dengan defisit ekspresi Sdc-1.11 Pengetahuan ini penting karena
memberikan alternatif baru dalam hal penatalaksanaan IBD.
23

Pada KU, proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke proksimal


secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon.
Lesi biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Infl amasi
hampir tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis
juga terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada KU,
tidak adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi menjadi penanda
khas KU sehingga dapat dijadikan pembeda dengan PC.
Pada PC, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna
dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas
yakni adanya peradangan, striktur, dan fi stula. Berbeda dengan KU, lesi pada PC
tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat transmural. Hal
ini menjadi penanda patologis yang khas untuk PC. Selain itu, lesi pada PC
bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip area.24

2.3.4. Diagnosis
Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah,
dan nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna
(ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran
sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi, demam, gangguan
nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat
kronik-eksaserbasi-remisiatau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase
remisi.25
Pemahaman atas proses infl amasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan
membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD.
Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada KU dibandingkan
PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon
sedangkan pada PC lebih bervariasi. Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit
membedakan gambaran IBD dengan penyakit lain yang kerap ditemukan di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia yakni kolitis infeksi dan
tuberkulosis usus.25
24

Tabel 2.1. Perbedaan antara KU dan PC

Tabel. 2.2. Manifestasi Ekstraintestinal pada IBD

Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan


pemeriksaan penunjang. Kelompok kerja IBD dari European Society for
Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) menetapkan
kriteria diagnosis yang dikenal dengan Porto criteria. Kemungkinan IBD harus
dipikirkan bila pada anamnesis terdapat keluhan diare disertai nyeri abdomen dan
berat badan turun yang persisten (> 4 minggu) atau berulang (> 2 episode dalam 6
bulan). Kecurigaan meningkat bila terdapat riwayat IBD dalam keluarga. 26
25

Gambar 2.5 Alur Diagnosis IBD

Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn merupakan penyakit kronis yang


sering kambuh dan memerlukan pengobatan seumur hidup, karena itu kedua
penyakit ini harus dievaluasi terus menerus berdasarkan aktifitas penyakitnya.26
Klasifikasi aktifitas penyakit kolitis ulseratif dipublikasikan pertama kali
olehTruelove dan Witts pada tahun 1955. Setelah itu banyak dipublikasikan
klasifikasi aktifitas penyakit kolitis ulseratif antara lain Powell-Tuck Index,
Mayo-Clinic Score, Rachmilewitz Index, dan Lichtiger Score. Setelah sekian lama
dipakai ternyata klasifikasi yang lebih banyak digunakan pada pasien dewasa
tersebut mempunyai banyak kekurangan bila dipakai pada anak, sehingga pada
tahun 2004 dalam ‘IBD Clinical Trial workshop’ di Amerika disepakati bahwa
Pediatric Ulcerative Colitis Activity Index (PUCAI).26
26

Crohn’s disease activity index pertama kali dipublikasikan pada tahun


1976 oleh Best dkk. Klasifikasi tersebut ternyata juga banyak mempunyai
kelemahan sehingga pada tahun 1980 Harvey dan Bradshaw mempublikasikan
klasifikasi yang lebih baik dan mudah yang disebut Harvey-Bradshaw Crohn’s
disease activity index. 26
Tabel 2.3. Skor Crohn Disease Activity Index

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


Anemia, trombositosis dan peningkatan LED merupakan tiga hasil
laboratorium yang paling sering ditemukan. Pemeriksaan endoskopi (kolonoskopi/
gastroskopi) dan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis IBD serta
membedakan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.25
Saat ini telah ada metode pemeriksaan serologi khusus untuk membedakan
penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, yaitu perinuclear antineutrophilic
cytoplasmic antibody (P-ANCA) dan anti-Saccharomyces cerevisiaeantibodies
(ASCA). Pemeriksaan P-ANCA umumnya positif pada pasien kolitis ulseratif
sedangkan ASCA spesifik untuk penyakit Crohn. Namun sebagian ahli
27

menganggap pemeriksaan ini tidak perlu karena tidak banyak manfaatnya untuk
menegakkan diagnosis IBD, melainkan hanya untuk membedakan penyakit Crohn
dan kolitis ulseratif. Bahkan Sabery dkk menemukan peningkatan LED dan
anemia lebih spesifik dan sensitif sebagai uji tapis IBD dibanding serologis.25
Tabel 2.4. Perbedaan KU dan PC

Tabel 2.5 Pemeriksaan Penunjang pada IBD

2.3.6 Tatalaksana
2.3.6.1. Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000
mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit,
terutama PC. Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik. Antibiotik
diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinflamasi disebabkan
28

oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat komensal


dan tidak menginduksi reaksi inflamasi namun mereka masih mampu
memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel intestinal untuk menekan
kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi dan meningkatkan
produksi interleukin. Loperamide dan kombinasi antara diphenoxylate dan
atropine berguna untuk penyakit yang ringan dengan tujuan mengurangi
pergerakan usus dan urgensi rektum. Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal
dengan istilah disbiosis. Pemberian probiotik seperti laktobasilus berperan dalam
upaya mencapai kondisi 85% remisi klinis dan endoskopis pada pasien pasca
kolektomi.25
2.3.6.2. Rencana Teraupetik
Fokus utama rencana Terapeutik adalah upaya penghambatan kaskade
proses inflamasi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Secara umum, prinsip
terapi IBD adalah (1) mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga
tercapai remisi; (2) mencegah peradangan berulang dengan mempertahankan
remisi selama mungkin; dan (3) mengobati serta mencegah komplikasi. Sayang
tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu
algoritma penatalaksanaan terutama pada lini kesehatan primer. Tindakan bedah
dipertimbangkan pada tahap terakhir jika medikamentosa gagal atau jika terjadi
komplikasi yang tidak teratasi misalnya perforasi usus, perdarahan persisten,
stenosisusus fibrotik, obstruksi, degenerasi maligna ataupun megakolon toksik
yang sering terjadi pada KU.25

Gambar 2.6. Algoritma rencana terapeutik KU di Pelayanan Lini Kesehatan Primer


29

Gambar 2.7. Algoritma rencana terapeutik PC di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama

a) Pengobatan Radang Aktif


Dua golongan obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD
bertujuan menginduksi remisi secepat mungkin adalah kortikosteroid dan
asam amino salisilat.25

 Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan
obat pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase
peradangan aktif. Pemilihan obat steroid konvensional, seperti
prednison, metilprednisolon ataupun steroid enema, masih menjadi
primadona karena harga yang murah dan ketersediaan yang luas.
Dosis umumnya adalah setara 40 – 60 mg prednison. Namun,
jangan dilupakan efeksistemik obat-obatan ini. Idealnya, dicapai
kadar steroid yang tinggi pada dinding usus namun dengan efek
sistemik yang rendah.Umumnya, preparat yang digunakan dewasa
ini adalah budesonid. Remisi biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12
minggu yang kemudian diikuti dengan penurunan dosis (tapering
down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga tercapai dosis 40 mg
30

atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis


ditapering off 2.5 mg per minggu.25
 Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini
lebih disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya
lebih kecil meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia,
sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan tablet 250 mg dan
500 mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria 500 mg. Dosis rerata
untuk mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari4 meski ada
kepustakaan yang menyebutkan penggunaan 5-ASA ini minimal 3
gram per hari. Umumnya remisi tercapai dalam 16 – 24 minggu
yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Dosis
pemeliharaan 1,5 – 3 gram per hari. Untuk kasus-kasus usus bagian
kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin supositoria atau enema,
sedangkan untuk kasus berat, biasanya tidak cukup hanya dengan
menggunakan preparat 5-ASA.25

b) Pengobatan Pencegahan Berulang


Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan
masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang
bersifat individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut
dengan obat-obatan golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis
antibody.25
 Imunosupresan
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan metotreksat
merupakan beberapa jenis obat kelompok imunosupresan. Dosis
inisial azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai efek substitusi
lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg per kgBB. Umumnya, efek
terapeutik baru tercapai dalam 2 – 3 bulan. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah nausea, dispepsia, leukopeni, limfoma,
hepatitis hingga pankreatitis.25
31

Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus akut


KU refrakter steroid dengan angka keberhasilan 50 – 80%. Efek
samping yang sering dilaporkan meliputi gangguan ginjal dan
infeksi oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai
preparat yang efektif untuk kasus PC steroid dependent sekaligus
untuk mempertahankan remisi pada KU. Dosis induksi 25 mg
intramuskular atau subkutan per minggu hingga selesai tapering off
steroid.25
 Agen Baru
Dewasa ini beberapa obat anti-tumor yang dikenal juga sebagai
agen biologik banyak dicoba pada IBD, misalnya infl iksimab yang
memiliki anti-tumor necrosing factor (anti- TNF). Umumnya
digunakan untuk kasus-kasus PC fistulated sedang dan berat
(refrakter steroid). Studi ACCENT I dan ACCENT II adalah studi
yang meneliti dosis infliksimab sebagai pemeliharaan PC. Dalam
studi tersebut diajukan dosis infl iksimab 5 mg – 10 mg/kgbb
selama 8 minggu.25
Agen lain adalah obat yang bekerja pada interleukin 6 (IL-6)
sebagai salah satu sitokinpro inflamasi. Penggunaan tocolizumab,
suatu anti IL-6, menunjukkan respons kilnis sebesar 70% setelah 6
minggu. Terakhir,sedang dikembangkan penggunaan G-CSF
(filgrastim) dan GM-CSF (sargramostim), suatu growth factor.
Meski menjanjikan,mekanisme kerja kedua modalitas ini belum.25
2.3.6.3. Pembedahan
Pada crohn desease pembedahan dilakukan untuk mengatasi beberapa
komplikasi pada PC misalnya striktura, fistula, dan perdarahan.
Pada kolitis ulseratif indikasi pembedahan adalah inflamasi yang sulit
dikontrol, perubahan dini ke arah keganasan, striktura, dan adanya efek samping
penggunaan obat-obatan.27
32

2.3.7 Prognosis
IBD biasanya ditandai oleh adanya periode eksaserbasi dan remisi. Hanya
1% penderita PC yang tidak mengalami kekambuhan setelah diagnosis dan
pengobatan awal. Terdapat risiko berkembangnya kanker pada penyakit usus
kronis yang risikonya sama antara PC dan KU.27

2.3.8 Komplikasi
Banyak komplikasi yang berhubungan dengan IBD yang dapat terjadi baik
pada UC maupun pada CD. Komplikasi ekstraintestinal dapat terjadi kira-kira
20% dari pasien dengan IBD. Pada beberapa kasus, komplikasi tersebut dapat
lebih menjadi masalah dibandingkan penyakitnya sendiri. Komplikasi intestinal
yang dapat terjadi adalah striktur, fistula dan abses, perforasi, megakolon toksik,
dan keganasan.25
Komplikasi ekstraintestinalnya yaitu crippling osteoporosis,
hiperkoagulasi, anemia, batu empedu, cholangitis sklerotik primer, aphtous ulcer,
iritis (uveitis), episkleritis, dan komplikasi pada kulit seperti pyoderma
gangrenosum dan eritema nodosum.25

Anda mungkin juga menyukai