Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Oftalmia Neonatorum, yang disebut juga konjungtivitis neonatal atau


blenore, merupakan infeksi mukopurulen akut yang terjadi pada 4 minggu
pertama kehidupan.1 Istilah ini dulunya hanya digunakan pada kasus dimana
Neisseria gonorrhoea merupakan agen penyebab. Saat ini, istilah tersebut
dimaknai sebagai konjungtivitis yang disebabkan oleh zat kimia, bakteri, ataupun
virus. Sebelum tahun 1880, oftalmia neonatorum oleh Neisseria gonorrhoea
merupakan penyebab utama kebutaan pada neonatus. Epidemiologi oftalmia
neonatorum berubah ketika larutan AgNO3 diperkenalkan oleh Crede pada tahun
1881 sebagai profilaksis oftalmia gonokokal.2,3
Saat ini, prevalensi oftalmia neonatorum bervariasi di berbagai belahan
dunia. berkisar dari 0,1% di negara-negara yang maju dengan perawatan prenatal
yang efektif, hingga 10% di daerah dengan pelayanan medis minimal seperti
Afrika Timur. Dalam satu rumah sakit di Pakistan, kejadian oftalmia neonatorum
dilaporkan 17%. Insiden oftalmia neonatorum di Amerika berkisar antara 1-2%,
tergantung pada karakter sosial ekonomi wilayah tertentu.3,4
Meskipun saat ini frekuensi dari penyakit ini telah menurun diseluruh
dunia, prognosis dari kasus-kasus yang tidak mendapat penanganan tetaplah
buruk.5 Oleh sebab itu, penting bagi seorang klinisi untuk dapat mengidentifikasi
dan menangani penyakit ini dengan baik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konjungtiva
2.1.1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
melapisi permukaan posterior dari kelopak mata dan permukaan anterior dari
sklera. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:5
-
Konjungtiva palpebral.
-
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
-
Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dan
konjungtiva bulbi.

Gambar 2.1. Anatomi Konjungtiva5

2
2.1.2. Histologi Konjungtiva
Secara histologis, konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang disebut:5
1. Epitel
Lapisan dari sel epitel pada konjungtiva berbeda pada tiap-tiap regionya
seperti:
-
Konjungtiva marginal mempunya lima lapis sel epitel gepeng bertingkat.
-
Konjungtiva tarsalis mempunyai dua lapis sel epitel. Sel silindris pada
bagian superfisial dan sel gepeng pada bagian basal.
-
Konjungtiva forniks dan bulbar mempunyai tiga lapis sel epitel. Sel
silindris pada bagian superfisial, polihedral pada bagian tengah, dan sel
kuboid pada bagian basal.
-
Konjungtiva limbal mempunyai lima sampai enam lapis sel epitel
gepeng bertingkat.
Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel
basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat
mengandung pigmen.
2. Adenoid
Disebut juga lapisan limfoid yang terdiri dari jaringan ikat, terdapat sel
limfosit di antaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Lapisan ini
belum terbentuk pada saat kelahiran sampai usia 3-4 bulan kehidupan. Oleh
sebab itu peradangan konjungtiva pada bayi ttidak menghasilkan reaksi
folikular.
3. Fibrosa
Terdiri dari jalinan kolagen dan serat elastin. Pada lapisan ini terdapat
pembuluh darah dan saraf. Lapisan ini lebih tebal dari adenoid, kecuali pada
bagian konjungtiva tarsal dimana lapisan ini sangat tipis.

3
Gambar 2.2. Histologi Konjungtiva5

2.2. Oftalmia Neonatorum


2.2.1. Definisi
Oftalmia neonatorum adalah radang konjungtiva yang terjadi pada
neonatus dengan onset munculnya manifestasi dalam 28 hari pertama kehidupan.
Infeksi ini umumnya diperoleh oleh neonatus selama perjalanan melalui jalan
lahir yang terinfeksi. Kondisi ini juga dikenal sebagai konjungtivitis neonatal
yang dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi visual.6
Kejadian oftalmia neonatorum dapat disebabkan oleh agen infeksius
maupun non-infeksius. Penyebab infeksius seperti bakteri, klamidia dan virus,
sedangkan penyebab non-infeksius adalah bahan kimia yang biasanya diberikan
sebagai profilaksis mata pada bayi baru lahir.6

4
2.2.2. Epidemiologi

Insiden ophthalmia neonatorum tergantung pada banyak faktor yang


berbeda. Faktor risiko utama untuk ophthalmia neonatorum asal infeksi
adalah adanya penyakit menular seksual pada ibu. Organisme biasanya
menginfeksi neonatus melalui kontak langsung saat melewati jalan lahir.
Oleh karena itu, insiden tinggi di daerah dengan tingkat penyakit menular
seksual yang tinggi [34]. Pemisahan ketuban yang berkepanjangan pada
saat persalinan juga dianggap meningkatkan risiko infeksi. Itu juga
tergantung pada faktor sosial ekonomi; Insiden bervariasi di negara-negara
yang sangat maju dengan perawatan prenatal yang baik dibandingkan
dengan bagian-bagian dunia yang sedang berkembang [35]. Patogen yang
menyerang bervariasi secara geografis karena perbedaan dalam prevalensi
infeksi ibu dan penggunaan profilaksis. Di AS dan Eropa insiden telah
dilaporkan 1-2% tergantung pada karakter sosial ekonomi daerah tersebut.
Namun di belahan dunia lain, insiden dilaporkan setinggi 17%. Dalam
penelitian terbaru dalam insiden Pakistanthe telah 17% dan dalam
Kenya setinggi 23% [36, 37]. Ada penurunan tajam dalam kejadian
ophthalmia neonatorum dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara
maju karena banyak alasan. Pada tahun 1800, profilaksis (perak nitrat)
untuk ophthalmia neonatorum di negara-negara maju digunakan untuk
pertama kalinya.
Sejak itu telah terjadi penurunan insiden secara bertahap. Perawatan
pralahir yang lebih baik juga telah menyebabkan deteksi dan pengobatan
penyakit menular seksual sehingga mengurangi risiko penularan ke bayi
baru lahir.

Etiologi
Ophthalmia neonatorum dapat dibagi menjadi dua jenis, septik dan
aseptik. Jenis aseptik (konjungtivitis kimia) umumnya sekunder akibat

5
instilasi tetes perak nitrat untuk profilaksis okuler. Konjungtivitis
neonatal septik terutama disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus.
Penyebab termasuk [38]:
Dari jalan lahir:
- Bakteri: Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Group B beta-
haemolytic streptococci

- Virus: Herpes Simplex Virus (HSV)


Dari infeksi silang:

- Staphylococcus aureus
- Coliforms
- Pseudomonas aeruginosa

1. Gonokokal
Bentuk yang paling serius dari oftalmia neonatorum disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae. Manifestasi dari oftalmia neonatorum yang disebabkan
bakteri gonokokal yaitu:2,10
-
Onset penyakit biasanya terjadi dalam 3 - 4 hari pertama kelahiran tetapi
mungkin tertunda sampai 3 minggu.
-
Dapat terjadi unilateral maupun bilateral.
-
Mata penderita akan kelihatan merah dan membengkak disertai keluarnya
sekret purulen.
-
Pada kasus berat ditandai dengan kemosis, sekret yang berlebihan, dan
ulserasi kornea yang progresif dan dapat berlanjut menjadi perforasi.

6
Gambar 2.3. Neisseria gonorrhoeae conjunctivitis
(American Academy of Ophthalmology. 2011. Infectious and Allergic Ocular
Disease. In Pediatric Ophthalmology and Strabismus Section 6. Page187)

Oftalmia neonatorum dari Neisseria meningitidis juga telah dilaporkan.


Dua organisme Neisseria tersebut tidak dapat dibedakan dengan pewarnaan gram.
Diagnosis definitif didasarkan pada kultur dari eksudat konjungtiva. Bayi yang
terinfeksi harus diperiksa untuk infeksi bersamaan dengan HIV, klamidia, dan
sifilis.2

2. Klamidia
Bakteri golongan Klamidia yang paling sering menyebabkan
konjungtivitis neonatal adalah spesies Chlamydia trachomatis, disebut juga
Trachoma Inclusion Conjungtivitis (TRIC). Bakteri ini adalah organisme
intraselular obligat. Onset dari konjungtivitis pada bayi biasanya muncul sekitar
usia 1 minggu, walaupun ada kemungkinan onset bisa muncul lebih cepat
terutama pada kasus ketuban pecah dini.2
Karakteristik dari infeksi pada mata berupa:10
-
Edema ringan pada palpebra, konjungtiva hiperemis dan reaksi papiler
dengan eksudat ringan sampai sedang.

7
-
Pada kasus-kasus berat yang biasanya jarang terjadi, diikuti dengan
munculnya sekret yang banyak serta terbentuknya pseudomembran.
Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis adalah kultur dari kerokan
konjungtiva yang terinfeksi. Pada material yang akan dikultur harus terdapat sel
epitel didalamnya karena kuman ini merupakan organisme obligat intraselular.
Tes amplifikasi asam nukleat (reaksi rantai polymerase) lebih sensitif dari
pemeriksaan kultur. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah tes fluoresens
antibodi langsung dan enzim immunoassay.2

3. Infeksi Bakteri Lain


Bakteri-bakteri lain yang dapat menyebabkan oftalmia neonatorum adalah
spesies gram positif seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,
Streptococcus viridans, dan Staphylococcus epidermidis. Bakteri-bakteri ini
merupakan penyebab 30-50% dari seluruh kasus oftamia neonatorum.2,4
Organisme Gram negatif, seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Serratia marcescens, Proteus, Enterobacter, dan spesies Pseudomonas, juga telah
diteliti sebagai penyebab oftalmia neonatorum.4

4. Herpes simpleks
Infeksi yang disebabkan virus herpes simpleks (HSV) biasanya jarang
terjadi. Manifestasi klinis pada infeksi HSV biasanya lebih lama muncul dari pada
infeksi gonokokal yaitu pada minggu pertama atau kedua kehidupan.2,5

5. Konjungtivitis Kimiawi
Konjungtivitis karena bahan kimia biasanya ditandai dengan iritasi ringan
dan dapat sembuh dengan sendirinya, serta munculnya kemerahan pada
konjungtiva muncul pada 24 jam pertama setelah pemberian larutan perak nitrat
(AgNO3) atau antibiotik yang biasanya digunakan sebagai profilaksis mata.2,5

2.2.3. Patofisiologi

8
Konjungtiva merupakan selaput lendir tipis, berdasarkan lokasi dapat
dibagi menjadi tarsal, bulbi, dan forniks. Konjungtiva terdiri dari epitel skuamosa
non-keratin, yang kaya vaskularisasi pada substantia propria (mengandung
pembuluh limfatik dan sel, seperti limfosit, sel plasma, sel mast, dan makrofag).
konjungtiva ini juga memiliki kelenjar lakrimal dan sel goblet.4
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang
meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah
sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin
yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan
berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat
menyebabkan infeksi pada konjungtiva.11
Konjungtiva pada neonatus berada dalam kondisi steril saat lahir tapi
mudah menjadi tempat kolonisasi oleh berbagai mikroorganisme yang dapat
berupa patogenik atau non-patogen. Konjungtiva neonatus rentan terhadap infeksi,
bukan hanya karena ada rendahnya tingkat agen antibakteri dan protein seperti
lisozim dan immunoglobulin A dan G, tetapi karena kelenjar air mata dan
salurannya yang baru mulai berkembang.12
Patologi konjungtivitis neonatal dipengaruhi oleh anatomi dari jaringan
konjungtiva pada bayi baru lahir. Peradangan pada konjungtiva dapat
menyebabkan pelebaran pembuluh darah, kemosis, dan sekresi berlebihan.
Eksotoksin dari bakteri seperti yang dapat ditemukan pada spesies Streptococcus
dan Staphylococcus dapat menginduksi terjadi nekrosis, terutama bagi sel epitel
konjungtiva. Hasil nekrosis dari epitel tersebut akan menghasilkan sekret pada
mata.1,4
Walaupun pada fase akut sebagian besar patogen akan tereliminasi, tapi
beberapa spesies dapat bertahan dari reaksi imun tersebut. Seperti pada spesies
Chlamydia trachomatis yang dapat bertahan dan hidup pada sel fagosit.1

2.2.4. Manifestasi Klinis

Tabel 2.1. Manifestasi Oftalmia Neonatorum17

9
Hasil
Penyebab Onset Temuan Klinis Laboratorium
dan Sitologi
Bahan Kimia (perak Dalam beberapa - Hiperemis Kultur negatif
nitrat sebagai jam - sekret cair maupun
profilaksis) mukoid

Gonokokus 2-4 hari setelah Akut Purulen Gram negatif


lahir Konjungtivitis diplokokus
intraselular pada
agar coklat dan
agar darah

Klamidia 5-14 hari setelah - Konjungtivitis Giemsa-positif


lahir mukopurulen lebih inklusi sitoplasma
jarang dari purulen sel epitel.
- Mukus kental Kultur negatif

Bakteri lain 4-5 hari setelah Konjungtivitis Kultur positif


(Pseudomonas lahir mukopurulen pada agar darah,
aeruginosa, gram positif
Staphylococcus maupun negatif.
aureus,
Streptococcus
pneumoniae,
Haemophilus)

Herpes simpleks 5-7 hari setelah - Blepharoconjunctivitis Multinucleated


lahir - Keterlibatan kornea Giant Cell, positif
- Manifestasi sistemik inklusi
sitoplasma, kultur
negatif.
(Lang, G.K. & Lang, G.E. 2000. Conjungtiva. Ophthalmology A Short Textbook.
Thieme Stuttgart. New York. Page 96-98)

2.2.5. Diagnosis
Studi laboratorium untuk konjungtivitis neonatal sangat penting untuk
penegakan diagnosis dan pengelolaan yang baik.
 Pemeriksaan kultur awal pada agar coklat atau agar Thayer-Martin
untuk N. gonorrhoeae harus dilakukan. Pada N.gonorrhoeae dalam
24 jam kultur akan didapat koloni mukoid cembung, mengkilat dan
menonjol dengan diameter 1-5 mm. Koloni dapat transaparan atau
opak, tidak berpigmen dan tidak hemolitik.9

10
 Infeksi klamidia dapat dikesampingkan dengan mengambil goresan
konjungtiva kemudian diperiksa dengan pewarnaan Giemsa yang
akan memberikan hasil ungu atau pewarnaan Macchiavello yang
menghasilkan warna merah, dimana hasil tersebut kontras dengan
sel inang yang berwarna biru. Selain itu juga dapat dilakukan
pemeriksaan uji antibodi langsung immunofluorescent.9,14
 Pada konjungtivitis herpes, pewarnaan gram dapat menunjukkan
hasil sel raksasa multinukleat atau Pewarnaan Papanicolaou dapat
menunjukkan inklusi eosinofilik intranukleat pada sel epitel.14

2.2.6. Penatalaksanaan
 Profilaksis
Pada tahun 1881 untuk pertama kalinya perak nitrat digunakan sebagai
pengobatan profilaksis untuk mengurangi kejadian oftalmia neonatorum. Nitrat
perak secara khusus lebih efektif terhadap konjungtivitis gonorrhoeal. Ini
menonaktifkan gonococci oleh aglutinasi. Tidak efektif melawan konjungtivitis
Klamidia. Namun penggunaan perak nitrat juga menyebabkan peradangan
konjungtiva ringan, robek dan kemerahan yang biasanya teratasi dalam waktu 48
jam. Konjungtivitis kimia adalah kondisi self-limiting, oleh karena itu tidak
diperlukan pengobatan. Namun air mata buatan telah digunakan dalam beberapa
kasus. Baru-baru ini tetes povidone-yodium digunakan sebagai profilaksis, bukan
perak nitrat. Ini terbukti lebih efektif terhadap konjungtivitis gonococcal dan
klamidial dan juga kurang beracun. Di Amerika Serikat, eritromisin digunakan
sebagai alternatif untuk perak nitrat dan povidone iodineIni juga ditoleransi
dengan baik dan efektif terhadap agen TRIC dan gonococci.

 Pengobatan
Pengobatan konjungtivitis neonatal awalnya harus didasarkan pada riwayat
perjalana penyakit, manifestasi klinis dan hasil apusan. Ketika telah terdapat hasil
laboratorium maka terapi spesifik dapat dialkukan.

11
Risiko penularan patogen chlamydial, gonococcal, herpetic, dan streptokokus
ke janin selama proses kelahiran harus dipertimbangkan. Jika perlu, kultur serviks
harus dilakukan untuk mengkonfirmasi keberadaan penyakit menular seksual pada
neonatus, periksa dan obati ibu serta pasangan seksualnya. Jika perlu, terapi dapat
dimodifikasi ketika hasil kultur dan sensitivitas diketahui.
Konjungtivitis bakteri - konjungtivitis klamidia diobati dengan 14 hari
eritromisin oral dua kali sehari (50 mg/kg/hari). Terapi sistemik penting pada
konjungtivitis Chlamydia, karena tingginya insiden infeksi ekstra-okular pada
neonatus. Ini telah terbukti menghilangkan infeksi Chlamydia pada 80-100%
pasien. Eritromisin topikal dapat digunakan sebagai tambahan dengan terapi oral.
Jika tidak ada respon terhadap terapi ini, maka dapat diberikan 14 hari lagi
sebelum mencari antibiotik alternatif.
Gonococcal conjunctivitis dapat diobati dengan intramuskular atau ceftriaxone
intravena 50 mg/kg/hari atau sebagai pengobatan dosis tunggal 125mg. Sebagai
alternatif, cefotaxime 100mg dapat diberikan secara intramuskular atau 25 mg / kg
diberikan baik intramuscular atau intravena setiap 12 jam selama 7 hari.
Neonatus dengan konjungtivitis yang disebabkan oleh virus simpleks herpes
harus diobati dengan asiklovir sistemik untuk mengurangi kemungkinan infeksi
sistemik. Dosis efektif adalah 60 mg/kg/hari dibagi dalam empat dosis. Durasi
minimal yang disarankan adalah 14 hari, tetapi terapi selama 21 hari mungkin
diperlukan. Bayi dengan keratitis HSV neonatal harus menerima obat oftalmik
topikal, paling sering 1% trifluridine tetes atau 3% salep vidarabine.

2.2.7. Komplikasi
Komplikasi konjungtivitis neonatal bervariasi. Ada dua jenis komplikasi
utama, komplikasi okular dan sistemik. Ini dapat dicegah dengan diagnosis dan
pengobatan yang cepat. Komplikasi okuler termasuk formasi pseudomembran,
pembentukan pannus perifer, konjungtiva palpebra yang menebal, kornea edema,
kekeruhan kornea, perforasi kornea, staphyloma, endophthalmitis, kehilangan
mata, dan kebutaan.

12
Komplikasi sistemik dari konjungtivitis klamidia termasuk pneumonitis,
otitis, dan kolonisasi faring dan rektal. Pneumonia telah dilaporkan pada 10-20%
bayi dengan konjungtivitis klamidia. Komplikasi konjungtivitis gonokokal dan
sistemik berikutnya. Keterlibatan termasuk arthritis, meningitis, infeksi anorektal,
septikemia, dan kematian.
Ophthalmia neonatorum adalah penyebab kebutaan pada anak yang dapat
dicegah dan dengan segera di-
agnosis, pengobatan dan upaya pada semua tingkatan, ini dapat diberantas.

2.2.8. Pencegahan
Ibu hamil yang mengetahui dirinya menderita klamidia, gonorrhea,
ataupun herpes genital perlu berkonsultasi kepada dokter mengenai perlunya
pengobatan tambahan sebelum melahirkan. Umumnya oftalmia neonatorum dapat
dicegah dengan mengobati atau menghambat penularan penyakit melalui seksual
ibu. Pada akhirnya dokter kebidanan perlu mempertimbangkan kelahiran melalui
seksiosesaria bila ibu menderita infeksi vagina berat saat menjelang kelahiran
bayinya.6

13
BAB III
KESIMPULAN

Oftalmia neonatorum merupakan penyakit infeksi pada bayi baru lahir


yang insidensinya tinggi terutama pada daerah dengan insidensi penyakit menular
seksual yang tinggi pula.
Oftalmia neonatorum adalah suatu infeksi pada konjungtiva yang melapisi
kelopak mata pada neonatus dibawah usia 1 bulan. Sementara itu agen penyebab
yang paling sering menyebabkan timbulnya infeksi pada konjungtiva bayi baru
lahir ini adalah diantaranya, kuman gonokokal, klamidia, virus herpes simpleks,
serta bahan kimia seperti perak nitrat, Gejala dan perjalanan penyakit yang dapat
ditimbulkan bervariasi berdasarkan agen penyebab masing-masing.
Proses transmisi dari penyakit ini biasanya terjadi pada saat proses
kelahiran bayi dari ibu yang sudah terinfeksi sebelumnya. Maka dari itu,
pencegahan penyakit ini apat dilakukan dengan menjaga higienisitas jalan lahir
pada saat proses persalinan dan penggunaan aseptik atau pemilihan persalinan
melalui operasi seksiosesaria.
Namun pencegahan merupakan cara paling efektif untuk mengurangi
insidensi penyakit ini. Yaitu pada ibu yang sudah mengetahui bahwa dirinya
menderita penyakit genital sebaiknya segera mengkonsultasikan pada dokter
kebidanan mengenai terapi lanjutan yang akan dilakukan serta metode persalinan

14
yang akan dipilih guna mencegah terjadinya penulara infeksi pada bayi yang akan
dilahirkan.

15

Anda mungkin juga menyukai