Anda di halaman 1dari 806

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR.

GREGORIUS
DR. ALVIN | DR. AYU | DR. CEMARA

OFFICE ADDRESS:

Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan Medan :


(belakang pasaraya manggarai) Jl. Setiabudi no. 65 G, medan P
phone number : 021 8317064 Hone number : 061 8229229
pin BB 5a999b9f/293868a2 Pin BB : 24BF7CD2
WA 081380385694/081314412212 Www.Optimaprep.Com
1. Infeksi Dengue
Diagnosis DBD secara Klinis
• 1. Kasus DBD
– Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
– Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa
• Uji tourniquet positif
• Petekia, ekimosis, atau purpura
• Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
• Hematemesis atau melena
– Trombositopenia < 100.000/uL
– Kebocoran plasma yang ditandai dengan
– Peningkatan nilai hematrokrit
• ≥ 20 % dari nilai baku sesuai umur & jenis kelamin.
• Penurunan nilai hematokrit ≥ 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat
Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
• Efusi pleura, asites, hipoproteinemi

• 2. Sindrom syok dengue (SSD)


– Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :
• Nadi cepat, lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, perfusi perifer menurun
• Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.
Serologi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi
sejak hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan,
IgG muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau
bersamaan dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika
titer awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi
sekunder.
WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.
Dengue

Shock
Bleeding
Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset • IgG: detectable at high levels in the initial
of illness,  by about 2 weeks & phase, persist from several months to a
undetectable after 2–3 months. lifelong period.
• IgG: detectable at low level by the end of • IgM: significantly lower in secondary
the first week & remain for a longer period infection cases.
(for many years).
Infeksi Dengue
• Tatalaksana SSD
Infeksi Dengue
Tatalaksana DBD
2-3. ACUTE CORONARY SYNDROME

Penyakit jantung koroner diawali dengan timbulnya Fatty streak


(lesi awal aterosklerosis yang dapat terlihat secara makroskopis,
berupa area berwarna kuning pada permukan dinding arteri).
Patologi ini dapat ditemukan di aorta dan arteri koroner pada usia
20 tahun, tidak memberikan gejala, dan dapat beregresi.
SINDROM KORONER AKUT

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Faktor risiko
• Dislipidemia (khsususnya kolesterol LDL)
• Merokok (meningkatkan modifikasi LDL oksidatif,
menurunkan HDL darah)
• Hipertensi (Tekanan darah sistolik memberikan
prediksi prognosis yang lebih baik dibanding
tekanan darah diastolik, terutama pada populasi
tua. Tekanan darah yang meningkat dapat
merusak dinding endotel dan meningkatkan
permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap
lipoprotein)
• Diabetes Mellitus dan Sindrom Metabolik
Faktor risiko
• Aktivitas fisik yang kurang. Aktivitas fisik dapat
memperbaiki profil lipid (meningkatkan HDL dan
menurunkan trigliserida), menurunkan tekanan darah,
meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan
produksi NO
• Status estrogen. Sebelum menopause, perempuan
memiliki insidens yang rendah untuk terjadinya
penyakit jantung koroner dibandingkan laki-laki.
Setelah menopause, risiko terjadinya penyakit jantung
koroner antara perempuan dan laki-laki sama. Kadar
estrogen fisiologis pada perempuan memiliki efek
meningkatkan HDL dan menurunkan LDL.
SINDROM KORONER AKUT

• Gejala khas
– Rasa tertekan/berat /diremas/ ditusuk di bawah dada, menjalar ke lengan
kiri/leher/rahang/punggung/bahu/ulu hati.
– Berlangsung beberapa menit atau persisten > 20 menit
– Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.

• Gejala tidak khas:


– Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati).
– Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah
yang sulit dijabarkan.
– Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit
ginjal kronik/demensia.

• Angina stabil:
– Umumnya dicetuskan aktivtias fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
– Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.
Penatalaksanaan STEMI, PERKI
2-3. Acute Coronary Syndrome
SINDROM KORONER AKUT
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Sindrom Koroner Akut

Henry’s clinical diagnosis & management by laboratory method.


Pathophysiology of heart disease.
Sindrom Koroner Akut
• CK-MB or troponin I/T are a marker for infark miocard & used as a
diagnostic tool.
• Given their high sensitivity & specificity, cardiac troponins are the
preferred serum biomarkers to detect myocardial necrosis.
4. HEPATITIS
• Hepatitis adalah inflamasi hepar yang
disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
• Penyebab hepatitis bervariasi, dimulai dari
autoimun, hepatitis imbas obat, virus, alkohol,
dan lain-lain.
• Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik
yang dominan menyerang hepar. Hepatitis
jenis ini paling sering disebabkan oleh virus
hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E).
Hepatitis A
• Hepatitis A Virus (HAV) ditularkan melalui
fekal oral, dengan kata lain dari konsumsi air
dan makanan yang terkontaminasi oleh HAV.
Virus terkandung dalam tinja penderita mulai
dari 2-3 minggu sebelum dan 1 minggu
sesudah timbulnya ikterik.
• Semua hepatitis virus akut, apapun virus penyebabnya dapat dibagi
ke dalam 4 fase:
• fase inkubasi
• tidak bergejala
• Infektifitas tertinggi
• Terjadi mulai dari akhir fase asimtomatik pada periode inkubasi hingga fase
awal gejala klinis.
• fase simtomatik preikterik
• Gejala konstitusional seperti malaise, mual, dan penurunan nafsu makan
• Penurunan berat badan, demam subfebris, nyeri kepala, mialgia, nyeri sendi,
muntah, dan diare  tidak selalu muncul
• fase simtomatik ikterik (jaundice dan sklera ikterik)
• Gejala konstitusional akan menghilang
• Ikterik lebih didominasi oleh peningkatan bilirubin direk (terkonjugasi).
• Oleh karena itu, akan ditemui tanda urine yang berwarna gelap
• Kerusakan hepatosit akan menyebabkan gangguan pada konjugasi bilirubin
indirek
• Fase ikterik pada hepatitis A biasa terjadi pada orang dewasa, tetapi tidak pada
anak-anak.
• fase konvalesen
• Dalam beberapa minggu hingga bulan semua gejala dan tanda hepatitis
menghilang
HEPATITIS VIRUS
Serologi Hepatitis akut
Marker Hepatitis B
5. PENYAKIT HEPATOBILIER
PENYAKIT HEPATOBILIER
• Kolelitiasis:
– Nyeri kanan atas/epigastrik mendadak,
hilang dalam 30 menit-3 jam, setelah
makan berlemak.
– Fat (ekskresi kolesterol ), female, fourty,
fertile (estrogen menghambat perubahan
kolesterol  empedu, sehingga kolesterol
menjadi jenuh)

• Kolesistitis:
– Nyeri kanan atas  bahu/punggung,
mual, muntah, demam
– Nyeri tekan kanan atas (murphy sign)

• Koledokolitiasis:
– Nyeri kanan atas, ikterik, pruritis, mual.

Pathophysiology of disease. 2nd ed. Lange; 2006.


• Kolangitis:
– Triad Charcot: nyeri kanan atas, ikterik,
demam/menggigil
– Reynold pentad: charcot + syok &
penurunan kesadaran
PENYAKIT HEPATOBILIER
Lokasi Nyeri Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Diagnosis Terapi
Fisis Penunjang
Urea breath test (+): H.
pylori
Membaik dgn makan PPI: ome/lansoprazol
Endoskopi:
Nyeri epigastrik (ulkus duodenum), H. pylori:
Tidak spesifik eritema (gastritis akut) Dispepsia
Kembung Memburuk dgn makan klaritromisin+amoksili
atropi (gastritis kronik)
(ulkus gastrikum) n+PPI
luka sd submukosa
(ulkus)

Nyeri tekan & defans,


Gejala: mual &
perdarahan
muntah, Demam Peningkatan enzim Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik retroperitoneal
Penyebab: alkohol amylase & lipase di Pankreatitis Nutrisi enteral
menjalar ke punggung (Cullen: periumbilikal,
(30%), batu empedu darah Analgesik
Gray Turner:
(35%)
pinggang), Hipotensi

Prodromal (demam,
Nyeri kanan atas/ Transaminase, Serologi
malaise, mual)  Ikterus, Hepatomegali Hepatitis Akut Suportif
epigastrium HAV, HBSAg, Anti HBS
kuning.
Risk: Female, Fat,
Fourty, Hamil Nyeri tekan abdomen
Nyeri kanan atas/ USG: hiperekoik dgn Kolesistektomi
Prepitasi makanan Berlangsung 30-180 Kolelitiasis
epigastrium acoustic window Asam ursodeoksikolat
berlemak, Mual, TIDAK menit
Demam

Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik/ USG: penebalan dinding
Mual/muntah, AB: sefalosporin gen.
kanan atas menjalar Murphy Sign kandung empedu Kolesistitis
Demam 3 + metronidazol
ke bahu/ punggung (double rims)
Kolesistektomi
6. GRAVES DISEASE
Tirotoksikosis: manifestasi peningkatan hormon
tiroid dalam sirkulasi.
Hipertiroidisme: tirotoksikosis yang disebabkan oleh
kelenjar tiroid hiperaktif.

Trias:
• Hipertirioidsme: pembesaran tiroid hiperfungsional difus.
• Optalmopati infiltratif menghasilkan exophthalmos.
• Dermopati infiltratif terlokalisasi disebut mixedema pretibial.
Indeks Wayne utk pasien dengan hipertiroidisme

• Skor>19
hipertiroid
• Skor<11
eutiroid
• Antara 11-
19equivocal
Faktor Risiko & Etiologi
• Kerentanan Genetis
• Infeksi
• Gender
• Stress
• Kehamilan
• Iodin dan obat-obatan
• Iradiasi
Human Physiology.
Guyton and Hall textbook of medical physiology.
Patofisiologi
• Autoimunitas sel limfosit B & T ke antigen:
– Tiroglobulin
– Peroksidase tiroid
– Na+I- simporter
– Reseptro tirotropin
10. PENYAKIT ENDOKRIN
Hipertiroidisme

Kumar and Clark Clinical Medicine


Tes Fungsi Tiroid

↑TSH, ↓T4 Hipotiroid


↑TSH, T4 normal Hipotiroid subklinis,
hipotiroid dalam
perawatan.
↑TSH, ↑ T4 TSH secreting tumor,
resistensi hormon tiroid
↓TSH, ↑T4 atau ↑T3 Hipertiroid
↓TSH, T4 & T3 normal Hipertiroid subklinis
Preferensi tes dengan fT4 dan fT3 ↓TSH, ↓T4 dan ↓T3 Sick euthyriodism,
dibanding T4 dan T3 total karena gangguan pituitari
tidak dipengaruhi level TBG TSH normal, T4 abnormal Perubahan TBG, gangguan
laboratorium,
amiodaron,tumor TSH
pituitari.
20.
Radioactive Iodine
Cara Kerja Obat Tiroid
• Kerja karbimazol:
1. Setelah dikonversi ke
metimazol (bentuk
aktif) mencegah enzim
peroksidase
melakukan dan
iodinasi gugus tirosil
tiroglobulin dan
kopling iodotirosin
menjadi T4/tiroksin &
T3.
• PTU juga
menghambat konversi
T4 menjadi T3 di
perifer

Color atlas of pharmacology. 2nd ed. 2000. http://www.drugbank.ca/drugs/DB00389 https://www.medicines.org.uk/emc/medicine/26934


Obat Tirotoksikosis
Efek Berbagai Obat yang digunakan alam pengobatan Tirotoksikosis
Kelompok Obat Efek Indikasi
Obat Anti Tiroid (OAT) Menghambat sintesis hormon tiroid dan Pengobatan lini pertama pada
Propiltiourasil (PTU) berefek imunosupresif (PTU juga Graves. Obat janga pendek
Metimazol (MTZ/MMI) menghambat konversi T4 T3) prabedah/pra-RAI
Karbimazol
Antagonis adrenergik beta
Antagonis adrenergik beta Mengurangi dampak hormon tiroid pada Obat tambahan, kadang sebagia obat
Propanolol jaringan. tunggul pada tiroiditis.
Metoprolol
Atenolol
Nadolol
Bahan mengandung Iodin Menghambat keluarnya T4 dan T3 Persiapkan tirodektomi. Pada krisis
Kalium Iodida Menghambat T4 dan T3 serta produksi T3 tiroid, bukan untuk penggunaan rutin.
Solisio Lugol ekstratiroidal
Natriom Ipodat
Asam Iopanoat
Obat lainya Menghambat transpor iodium, sintesis, dan Bukan indikasi rutin.
Kalium Perklorat keluarnya hormon. Pada tiroidtis subakut berat dan krisis
Litium Karbonat Memperbaiki efek hormon di jaringan dan tiroid.
Glukokortikoid sifat imunologis.
7. GOITER SIMPLEKS
• Goiter simpleks (goiter
nontoksik) Faktor Risiko:
• pembesaran tirod yang tidak • Defisiensi iodin
berkaitan dengan hipertiroid
atau hipotiroid dan bukan • Goitrogen
merupakan hasil proses • Faktor herediter
peradangan atau neoplastik.
• Goiter dapat dikaitkan dengan • Peningkatan
kondisi normal, peningkatan konsentrasi estrogen
atau penurunan sekresi
sehingga dikenal goiter • imunoglobulin
hipofungsional,
hiperfungsional, dan
eufungsional.
Fisiologi
Biosintesis hormon tiroid
1. Penangkapan iodida
2. Sintesis tiroglobulin (TGB) di
retikulum endoplasma kasar,
dimodifikasi oleh kompleks
Golgi dan dimuat dalam vesikel
sekretori.
3. Iodida menjadi iodium
4. Organifikasi iodium ke tirosin
TGB membentuk MIT dan DIT
5. Coupling. 2 molekul T2
membentuk T4. Gabungan T1
dan T2 membentuk T3.
6. Pinositosis dan digesti koloid
7. Pelepasan hormon
8. Transport di darah
Patofisiologi
• Defisiensi iodin, peningkatan konsumsi
goitrogenHiperplasia kronis goiter koloid
difus.
• Namun jika dalam proses rangsangan terjadi
hiperplasi dan involusi berulang  terbentuk
nodul
Diagnosis
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
– Gejala kadang asimtomatis dan hanya berupa
pembesaran massa, tetapi dapat juga menunjukkan
gejala obstruktif seperti disfagia. Pemeriksaan fisik
menentukan derajat goiter dan tanda-tanda lain
terkait tiroid hiperfungsional atau hipofungsional
• Pemeriksaan penunjang:
• fungsi tiroid
• USG Tiroid untuk mengetahui jumlah, ukuran, dan
karakter sonografik nodul tiroid
Terapi
• Pilihan terapi mencakup tiroidektomi jika
ukuran goiter signifikan, radioaktif iodium
dengan iodine-131, dan levothyroxine (L-
thyroxine atau T4) therapy.
8. Penyakit Paru
• Bronkiektasis:
– Penyebab utama: obstruksi dan infeksi.

– Obstruksi/inflamasi bronkial  inflamasi  gangguan mekanisme


klirens  sekret tertimbun di distal dari obstruksi.

– Bronkiektasis mengakibatkan batuk persisten yang berat, dahak


berbau, kadang berdarah, sesak napas dan orthopnea pada kasus
berat, & kadang hemoptisis yang mengancam nyawa.

– Batuk paroksismal di pagi hari sering terjadi ketika bangun tidur,


karena terkumpulnya pus dan sekret di bronki.

Robbins & Cotran pathologic basis of disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders; 2010.
Berbagai penyebab Bronkiektasis
Penyakit Paru
Manifestasi klinis
• Pasien biasanya mengeluh batuk produktif
• Hemoptisis (50-70% pasien, akibat perdarahan
dari mukosa yang rapuh)
• Gejala pneumonia, khususnya jika bronkiektasis
disebabkan oleh agen infeksi
• Pada pemeriksaan fisik dijumpai rhonki, wheezing
yang menunjukkan kerusakan bronkus yang
mengandung sekret.
• Pasien dengan hypoxemia kronik juga akan
memperlihatkan gejala seperti clubbing finger.
Pemeriksaan Penunjang
• Pada pemeriksaan rontgen akan dijumpai
berbagai variasi foto rontgen
– penebalan dinding saluran pernafasan
– sekresi yang banyak juga dapat menyebabkan
gambaran opaq pada tubular.
• Pada bronkiektasis sakular akan
memeprlihatkan ruangan cystic dengan atau
tanpa air fluid level.
Penyakit Paru
• Bronkiektasis
– Tatalaksana difokuskan pada kontrol infeksi, perbaikan bersihan sekret
dan higiene bronkial untuk menurunkan jumlah mikroba di jalan
napas.

– Antibiotik
• AB diberikan sesuai patogen penyebab/terduga (umumnya Haemophilus
influenzae & P. aeruginosa), minimal 7-10 hari pada eksaserbasi akut.

– Bronchial Hygiene
• Cara untuk meningkatkan bersihan sekret, antara lain hidrasi, mukolitik,
nebulisasi bronkodilator & agen hiperosmotik (saline hipertonik), dan
fisioterapi.

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.


Penyakit Paru

Robbins & Cotran pathologic basis of disease.


9. KAD
• Keadaan dekompensasi metabolik terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut, tetapi bisa juga terjadi pada defisiensi
insulin relatif.
• Trias:
• Hiperglikemia
• Asidosis
• ketosis
• Infeksi/insulin tidak adekuat/infark pada pasien DM  hormon
kontraregulasi insulin (glukagon, epinefrin, kortisol, GH) meningkat
 glukoneogenesis di hepar (terjadi hiperglikemia) & lipolisis.
• Rasio insulin/glukoagon rendah  produksi benda keton dari asam
lemak hasil lipolisis.
• Benda keton bersifat asam sehingga menimbulkan asidosis
metabolik dengan anion gap tinggi.
DIABETES MELLITUS

American Diabetes Association. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus.


Diabetes care, Vol 24, No 1, January 2001
DIABETES MELLITUS

• Diagnosis KAD:
– Kadar glukosa 250
mg/dL
– pH <7,35
– HCO3 rendah
– Anion gap tinggi
– Keton serum (+)

Harrison’s principles of internal medicine


Diabetes Mellitus
• Prinsip pengobatan KAD:
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang
2. Menekan lipolisis & glukoneogenesis dengan
pemberian insulin kerja cepat. Dimulai setelah
diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai.
3. Mengatasi stres pencetus KAD
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal,
pemantauan & penyesuaian terapi

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


DIABETES MELLITUS

• Hyperglycemic hyperosmolar state


– Tipe pasien: lansia dengan DM tipe 2, riwayat poliuria
lama, turun berat badan, intake oral berkurang, & berakhir
dengan penurunan kesadaran.

– Pemeriksaan: dehidrasi & hiperosmol, hipotensi,


takikardia, gangguan status mental.

– Gejala yang tidak ada pada HHS: mual, muntah, nyeri


abdomen, napas Kussmaul yang merupakan ciri KAD.

– HHS sering dipresipitasi penyakit berat seperti SKA, stroke,


sepsis, pneumonia.

Harrison’s principles of internal medicine


10. Diabetes Mellitus
• Kriteria diagnosis DM:
1. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

2. Glukosa darah-2 jam ≥200 mg/dL pada Tes Toleransi


Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram, atau

3. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan


keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, unexplained
weight loss), atau

4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan metode HPLC yang


terstandarisasi NGSP

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


Diabetes Mellitus
• Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria
normal atau DM digolongkan ke dalam
prediabetes (TGT & GDPT):
– Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
• GDP 100-125 mg/dL, dan
• TTGO-2 jam <140 mg/dL
– Toleransi glukosa terganggu (TGT):
• Glukosa darah TTGO-2 jam 140-199 mg/dL, dan
• Glukosa puasa <100 mg/dL
– Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
– Diagnosis prediabetes berdasarkan HbA1C: 5,7-6,4%

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


Diabetes Melitus
• Modifikasi Gaya hidup • Mulai
HbA1c <7% monoterapi oral

HbA1c • Modifikasi Gaya hidup • Kombinasi 2 obat


• Monoterapi oral obat Evaluasi 3 dengan mekanisme
7-9% golongan (a)/(b) bulan, kerja yang berbeda
bila HbA1c
• Diberikan Kombinasi >7%
2 obat lini pertama HbA1c> • Kombinasi 3 obat

HbA1c ≥9%
dan obat lain 7%
dengan mekanisme
kerja yang berbeda

Insulin basal Tidak


plus/bolus mencapai
HbA1c ≥10% atau premix target
atau • Metformin + insulin
GDS>300 dgn basal ± prandial atau
Gejala • Metformin + insulin
metabolik basal + GLP-1 RA
Kombinasi 3 obat
a. Obat efek samping minimal/ a. Metformin + SU + TZD atau
keuntungan lebih banyak a. DPP-4i
• Metformin b. SGLT-2i
• Alfa glukosidase inhibitor c. GLP-1 RA
• Dipeptidil peptidase 4- d. Insulin basal
inhibitor b. Metformin + TZD + SU atau
• Agonis glucagone like a. DPP-4i
peptide-1 b. SGLT-2i
c. GLP-1 RA
d. Insulin basal
c. Metformin + DPP 4i + SU atau
b. Obat yang harus digunakan a. TZD
dengan hati-hati b. SGLT-2i
• Sulfonil urea c. Insulin basal
• Glinid d. Metformin + SGLT 2i +SU
• Tiazolidinedion a. TZD
• SGLT 2-i b. DPP-4i
c. Insulin basal
e. Metformin + GLP 1-RA + SU
a. TZD
b. Insulin basal
f. Metformin + insulin basal +TZD atau
a. DPP-4i
b. SGLT-2i
c. GLP-1 RA
Efek Samping Pengobatan Diabetes
Keadaan Penggunaan Insulin Pada
Diabetes
• Penurunan berat badan yang cepat
• KAD/ HONK
• Gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis
optimal
• Stress berat berupa infeksi, operasi besar, stroke.
• Kehamilan dengan DM yang tidak terkontrol
dengan perubahan pola hidup
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Alergi atau kontraindikasi OHO
Intensive Insulin Therapy
11. Penyakit Paru
11. Penyakit Paru
• Definisi PPOK
– Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel
– Bersifat progresif & berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/berbahaya
– Disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat penyakit

• Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan


antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) & obstruksi
parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu.

• Bronkitis kronik & emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:


– Emfisema merupakan diagnosis patologi (pembesaran jalan napas distal)
– Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis (batuk berdahak selama 3 bulan
berturut-turut, dalam 2 tahun)
11. Penyakit Paru
A. Gambaran Klinis PPOK
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis (PPOK dini umumnya tidak ada kelainan)
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai

PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011


11. Penyakit Paru
b. Pemeriksaan fisis PPOK
• Palpasi:
- pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi:
- pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai

1. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011


11. Penyakit Paru
• Gambaran rontgen PPOK:
– Pada emfisema terlihat:
• Hiperinflasi
• Hiperlusen
• Ruang retrosternal melebar
• Diafragma mendatar
• Jantung menggantung (jantung pendulum)

– Pada bronkitis kronik:


• Normal
• Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.
11. Penyakit Paru
• Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.

• Gejala eksaserbasi :
– Sesak bertambah
– Produksi sputum meningkat
– Perubahan warna sputum

• Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :


a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline

PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011


Spirometri
• Spirometri merupakan
pemeriksaan aliran udara dalam Klasifikasi Keterbatasan Aliran Udara Pada
jalan nafas yang paling baik dan Pasien PPOK
dapat dipercaya.
GOLD 1: Ringan FEV1 ≥ 80% prediksi
• Yang diukur dari spirometri GOLD 2:Sedang 50 % ≤ FEV1< 80% prediksi
adalah: GOLD 3: Berat 30% ≤ FEV1< 50% prediksi
– FEV 1 (volume ekspiratori paksa 1 GOLD 4: Sangat Berat FEV1 <30% prediksi
detik)
– FVC (kapasitas vital paksa)
– FEV1/FVC
– FEV1/FVC <0,7konfirmasi PPOK
• Untuk mengetahui kesesuaian terapi dengan
keadaan pasien maka penting diketahui
mengenai kategori pasien PPOK yaitu:
Kategori Karakteristik Klasifikasi Eksaserbasi per
Pasien Spirometri tahun
A Risiko Rendah, GOLD 1,2 ≤1
Gejala Minim
B Risiko Rendah, GOLD 1,2 ≤1
Gejala Lebih Banyak

C Risiko Tinggi, Gejala GOLD 3,4 ≥2


Minim
D Risiko Tinggi, Gejala GOLD 3,4 ≥2
Lebih Banyak
Terapi PPOK Stabil
• Non Farmakologis
– Berhenti merokok serta pengurangan paparan terhadap
debu, udara polusi dalam dan luar ruangan.
– Aktifitas fisik direkomendasikan serta rehabilitasi fisik dan
vaksinasi untuk pencegahan.
• Farmakologis
• Terapi sesuai dengan kategori pasien:
– Grup A: bronkodilator kerja cepat atau kombinasi dengan
bronkodilator jangka panjang sesuai kebutuhan
– Grup B:bronkodilator jangka panjang sesuai kebutuhan
– Grup C: kombinasi kortikosteroid inhalasi dengan beta
agonist jangka panjang atau anti kolinergis jangka panjang.
– Grup D: kortikosteroid inhalasi dengan beta agonist jangka
panjang dan anti kolinergist jangka panjang (triple therapy)
juga bisa digunakan inhibitor phophodiesterase-4
• Terapi Eksaserbasi
– Penunjang Pernafasan
– Terapi Oksigen
– Ventilasi bantuan
– Terapi Farmakologis
– Bronkodilator
– Inhalasi beta2 agonist masih merupakan terapi utama,
namun apabila tidak terdapat respon baik terhadap inhalasi
maka dapat digunakan methylxantine IV (theophyllin atau
aminophyllin)
– Kortikosteroid
– Prednisolon 30-40 mg per hari selama 10-14 hari.
– Antibiotik
• Antibiotik yang disaranakan sesuai dengan pola resistensi local,
terapi awal biasanya dari kelas aminopenicillin dengan atau tanpa
asam klavulanat, makrolid, atau tetrasiklin.
12. Acute Kidney Injury
12. Tubulointersisial Disease
Intrinsic Kidney Diseases
• ATN - Acute Tubular Necrosis
– Usually occurs after an ischemic event or exposure to nephrotoxic
agents.
– Look for muddy brown casts and FeNa>2%
• AIN - Acute Interstitial Nephritis
– Classic presentation is fever, rash, eosinophilia and Cr bump 7-10 days
after drug exposure.
– Urine may show leukocytes, leukocyte casts and erythrocytes, cultures
will be negative.
• CIN - Contrast Induced Nephropathy
– Increased Cr of 0.5mg/dl or 25% 48hrs after contrast administration.
– Prevent with NS or isotonic fluid+sodium bicarb, hold NSAIDs,
metformin and diuretics (in patients without fluid overload).
• Others – Glomerular Disease, Pigmented Nephropathy,
Thrombotic Microangiopathy
Acute Interstitial nephritis
• Term first used by • Drug-induced AIN is secondary
Councilman in 1898 to immune reaction
– AIN occurs only in a small
– Noted the histopathologic percentage of individuals taking
changes in autopsy specimens the drug
of patients with diptheria and – AIN is not dose-dependent
scarlet fever – Association with extrarenal
• Immune-mediated cause of manifestations of
hypersensitivity
acute renal failure – Recurrencence after re-exposure
– Characterized by presence of to the drug
an inflammatory cell infiltrate • Experimental models
in the renal interstitium and – Suggest that drugs responsible
tubules for AIN induce an immune
reaction directed against
endogenous renal antigens
Symptoms
• Medication associated AIN:
• Renal dysfunction – Penicillin
– Oliguria – Methicillin
– Edema – Ampicillin
– Decreased renal consentrating – Cephalosporin
ability – Sulfonamides
– Decreased GFR – NSAIDs
• Fever – Thiazide
• Skin rash • Urinalysis:
• Symptoms tend to develop – Hematuriamacros and
microscopic
approximately 2 weeks after – Proteinuriamild to moderate
medication, it can also – WBCs particularly eosinophiluria
develops 3 to 21 days after
– WBCs cast without bacteria
medication and results in
injury to the renal tubules • Therapy:
and interstitium. – Discontinued the medication
– Steroids
– Renal dialysis
NEKROSIS TUBULAR AKUT
• Definisi
– AKI yang disebabkan oleh cedera iskemia atau
nefrotoksik pada epitel tubulus ginjal, sehingga dapat
terjadi kerusakan dan kematian epitel tubulus
– Belum ada kriteria baku untuk pendekatan diagnosis
NTA dan pada umumnya hanya dapat ditentukan
dengan biopsi.
• Kriteria diagnostik yang sering dipakai:
– penurunan laju filtrasi glomerulus sebesar 50%
– peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 0,5 mg/dL
(40 μmol/L).
Perjalanan penyakit NTA dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
• Fase inisiasi
• Paparan nefrotoksin atau iskemia
• Terjadi kerusakan epitel tubulus
• Laju filtrasi glomerulus menurun
• Jumlah urin berkurang.
• Fase kerusakan menetap (maintenance)
• cedera tubulus ginjal semakin lanjut
• laju filtrasi glomerulus di bawah normal
• jumlah urin sedikit atau tidak ada
• berlangsung 1-2 minggu tapi bisa juga berlanjut hingga
beberapa bulan.
• Fase penyembuhan (Recovery)
• Poliuri
• Berangsur-angsur laju filtrasi glomerulus menjadi normal.
• Muddy brown cast:
• Silinder eritrosit yang
mengalami degenerasi,
sehingga sudah tidak
berbentuk dan berwarna coklat
• FENa = Fractional excretion of Na
• BUN = blood urea nitrogen, dihitung dari kadar Urea x 0,46
Brunzel, Nancy A. Fundamentals of Urine and Body Fluid Analysis. 3rd ed. 2013
13. SLE
• Merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis  peradangan pada kulit, sendi, ginjal,
paru-paru, sistem saraf dan organ tubuh
lainnya
• Kebanyakan mengenai
– wanita : pria 9-14:1
– usia reproduksi, 20 sampai 30 tahun
– kelompok kulit hitam dan Asia.
ETIOLOGI
• Faktor genetik
• imunologik
• hormonal serta
• lingkungan

• pemicu kacaunya sistem toleransi


imunologis sehingga respon imun melawan
antigen diri sendiri.
SLE
TANDA DAN GEJALA
• Kompleks imun beredar dan menimbulkan kerusakan pada berbagai
target organ:
– Muskuloskeletal: sering dijumpai nyeri pada sendi,
– Kulit : reaksi fotosensitifitas, diskoid LE, subacute cutaneus lupus
erythematosus, lupus profundus, telangiektasia, fenomena raynaud.
– Paru : pneumonitis lupus dengan gejala sesak, batuk kering, ronki di
basal
– Kardiologi : perikarditis, miokarditis, lesi katup endokarditis Libman-
Sacks dan penyakit jantung koroner.
– Renal : kerusakan ginjal disertai proteinuria.
– Gastrointestinal : gejalanya tidak khas ; dispepsia, vaskulitis mesentrik
dapat menyebabkan perforasi, IBD, pankreatitis, hepatomegali.
– Neuropsikiatri : masih belum diketahui dengan pasti; mikroinfark
serebral
– Hemik-limfatik: limfadenopati splenonegali, anemia.
Diagnosis
(Diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria)
TATALAKSANA
Tatalaksana Umum
• Pilar pengobatan lupus eritematosus sistemik
– Edukasi dan konseling
– Program rehabilitasi
– Pengobatan medikamentosa
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. 2011.
• Pemberian Kortikosteroid
– Dosis rendah sampai sedang digunakan pada
lupus yang relatif tenang.
– Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk lupus
yang aktif.
– Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan
untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis
luas, nephritis lupus, lupus cerebral.
• Cara pengurangan dosis kortikosteroid
– Dosis kortikosteroid mulai dikurangi segera setelah
penyakitnya terkontrol.
– Tapering dilakukan hati-hati untuk menghindari
kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol
akibat penekanan aksis HPA kronis.
– Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison > 40
mg sehari , dilakukan penurunan 5-10 mg/ 1-2
minggu penurunan 5 mg/ 1-2 minggu pada dosis
antara 40-20 mg/hari penurunan 1-2,5 mg/ hari /2-3
minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari dosis
rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.
14. Asma
• Definisi:
– Gangguan inflamasi kronik
saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya.
– Inflamasi kronik mengakibatkan
hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik
berulang:
• mengi, sesak napas, dada terasa
berat, dan batuk-batuk terutama
malam dan atau dini hari.
– Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang
luas, bervariasi & seringkali
bersifat reversibel.
PDPI, Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
GINA 2005
Asma
• Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
– Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
– Reversibilitas: perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu.
– Menilai derajat berat asma

• Manfaat arus puncak ekspirasi dengan spirometri atau peak


expiratory flow meter:
– Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu
– Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Juga dapat digunakan menilai derajat
asma.

PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. 2004


Asma
Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan dokter paru indonesia. 2004.
Pengobatan Asma
Pengobatan
Asma
15. Syok Anafilaktik
www.resus.org.uk/pages/reacti
on.pdf
2012.

If there are symptoms of


airway obstructionconsider
early intubation
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
16. MULTIPLE MYELOMA
• Malignansi sel B  Ab monoklonal IgM
• Gejala:
– Proliferasi sel plasma di sumsum tulang  anemia
– Lesi litik tulang  nyeri tulang, fraktur kompresi,
hiperCa2+
– Infeksi berulang ec hipogammaglobulinemia
– Ginjal  protein light chain  toksik thd ginjal 
gagal ginjal, sindroma nefrotik
• Elektroforesis Hb: Bence-Jones protein (light
chain)
• Hapus darah tepi: rouleaux
• Biopsi sumsum tulang: plasmasitosis >10%
• Multiple myeloma represents a
malignant proliferation of plasma
cells derived from a single clone.
• The classic triad of myeloma:
– marrow plasmacytosis (>10%),
– lytic bone lesions,
– serum and/or urine M component. "punched out" lesions represents
a purely osteolytic lesion with
little or no osteoblastic activity
• Protein electrophoresis:
17. Pielonefritis
• Pielonefritis ringan:
– Demam ringan dengan/tanpa nyeri CVA.

• Pielonefritis berat:
– Demam tinggi,
– rigors,
– Mual, muntah,
– Nyeri pinggang.

• Gejala umumnya akut, gejala sistitis bisa ada/tidak.

• Demam adalah tanda utama yang membedakan


pielonefritis dari sistitis.

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill;


Pielonefritis
• Indikasi rawat inap:
– Tidak bisa menjaga
hidrasi oral & minum
obat,
– Keadaan sosial atau
komplians yang tidak
pasti atau komplians,
– Diagnosis belum pasti,
– Demam tinggi, nyeri
yang berat, & debilitatif.

Comprehensive clinical nephrology. 5th ed. 2015


Pielonefritis

• Untuk pasien dengan respons yang cepat (demam & gejala hilang di awal terapi),
terapi dapat dibatasi selama 7 hari.
• Pada beberapa penelitian pemberian golongan β-lactam kurang dari 14 hari
berkaitan dengan angka kegagalan yang tinggi.
• Satu penelitian menunjukkan keunggulan siprofloksasin selama 7 hari
dibandingkan TMP-SMX selama 14 hari.

Comprehensive clinical nephrology. 5th ed. 2015


Parenteral untuk pasien indikasi rawat inap

Pielonefritis
• Jika Gram negatif 
Ceftriaxone

• Jika kemungkinan enterococci


 ampicillin plus gentamicin,
ampicillin-sulbactam, and
piperacillin-tazobactam

• Jika prevalensi kuman resisten


TMP-SMX tinggi, maka jangan
digunakan sebagai terapi
empirik.

• Terapi parenteral dapat


diswitch menjadi terapi oral
setelah 24-48 jam bebas
demam (Sanford guide).

Comprehensive clinical nephrology. 5th ed. 2015


18. Keracunan Sianida
• Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik 
garam sianida dosis kecil dapat menyebabkan kematian
dengan cepat
• Kematian akibat keracunan CN  umumnya pada
pembunuhan atau bunuh diri
• Adanya racun dalam umbi gadung sudah sejak lama
diketahui. Jenis racun yang ada antara lain:
– Dioscorin: Dioskorin dilaporkan memiliki sifat sebagai
antioksidan, antiinflamatori, anti serangga, antipatogen
serta memperlihatkan aktivitas inhibisi terhadap tripsin.
– HCN (sianida) dikenal sebagai racun yang mematikan. HCN
akan menyerang langsung dan menghambat sistem antar
ruang sel, yaitu menghambat sistem cytochroom oxidase
dalam sel-sel, hal ini menyebabkan zat pembakaran
(oksigen) tidak dapat beredar ketiap-tiap jaringan sel-sel
dalam tubuh
• Hidrogen sianida (HCN) atau racun asam biru  adanya
bercak warna biru pada singkong
• Menjadi toksin (racun) bila dikonsumsi pada kadar HCN
lebih dari 50 ppm.
• Mekanisme kerja sianida dalam tubuh
– Hidrogen sianida menginaktivasi enzim sitokrom oksidase
dalam mitokondria sel dengan mengikat Fe3 + / Fe2 + yang
terkandung dalam enzim  penurunan dalam
pemanfaatan oksigen dalam jaringan oksigen menurun
terutama jaringan otak  asfiksia, hipoksia dan kejang.
– Sianida menyebabkan peningkatan glukosa darah dan kadar
asam laktat dan penurunan ATP / ADP rasio yang
menunjukkan pergeseran dari aerobik untuk metabolisme
anaerobik.
• Penatalaksanaan pasien keracunan sianida oleh
petugas medis adalah sbb :
– Stabilisasi pasien melalui penatalaksanaan jalan nafas,
fungsi pernafasan dan sirkulasi
– Rangsang muntah dan kumbah lambung dilakukan tidak
boleh dari 4 jam setelah mengkonsumsi singkong beracun.
– Pemberian arang aktif dengan dosis 1 g/kg atau 30-100
gram dan anak-anak 15 – 30 gram
– Antidotum : antidotum diberikan jika pasen mengalami
penurunan kesadaran atau koma
• Natrium siosulfat 25% melalui intravena
• Amyl nitrit
• Natrium nitrit 3%
• Larutan hydroxocobalamin 40%
• Dimethylaminophenol (4-DMAP) 5%
• Larutan Dicobalt edetat 1,5%
18. ASIDOSIS DAN ALKALOSIS
Disorder Problem Etiology Physical findings
Metabolic Gain of H+ or Diarrhea, RTA, KAD, lactic Kussmaul respiratory, dry
acidosis loss of HCO3- acidosis mucous membrane,
specific physical finding
to its cause
Metabolic Gain of HCO3- Loss of gastric secretion Tetany, Chvostek sign,
alkalosis or loss of H+ (vomiting), thiazide/loop specific physical finding
diuretics to its cause
Respiratory Hypoventilation COPD, asthma, CNS disease, Dyspnea, anxiety,
acidosis (CO2 retention) OSA cyanosis, specific physical
finding to its cause
Respiratory Hiperventilation Hypoxia  tachypnea Hyperventilation, cardiac
alkalosis (CO2 loss), high pneumonia, pulm. rhythm disturbance
altitude Edema, PE, restrictive lung
disease
Keseimbangan Asam-Basa
128
129
H-H EQUATION

[HCO3-] [Base] [metabolik]


pH ∞ ∞ ∞
d CO2 Acid [respiratorik]
Respiratory
Acidosis
Respiratory
Alkalosis
Metabolic
Acidosis
Metabolic
Alkalosis
19. Siklus hidup plasmodium
Pencegahan
1. Barrier method:
– Tidur menggunakan kelambu yang telah dicelup
pestisida
– Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquito
repellants)
– Menggunakan proteksi saat keluar dari rumah
(baju lengan panjang, kaus/stocking)
– Memproteksi kamar atau ruangan menggunakan
kawat anti nyamuk.
2. Kemoprofilaksis saat akan bepergian ke daerah
endemis malaria.
– Daerah klorokuin resisten
– Doksisiklin 100mg/hari
– Meflokuin 250mg/minggu
– Klorokuin 2 tablet/ minggu ditambah proguanil 200mg/hari.
– Berdsarkan panduan malaria di Indonesia doksisiklin
merupakan anjuran untuk kemoprofilaksis.
– Daerah klorokuin sensitif
– 2 tablet klorokuin (250mg) tiap minggu 1 minggu sebelum
berangkat dan 4 minggu setelah kembali
– Kemoprofilaksis ini juga digunakan pada ibu hamil dan orang
dengan imunitas rendah.tingkat resistensi tinggi sehingga
tidak umum digunakan
20. AV Blok derajat 1

• Gambaran EKG pada AV block derajat 1,


adalah (1) Pemanjangan interval PR (>0,20
detik); (2) Gelombang P dan QRS normal,
serta P berhubungan dengan QRS.
AV Blok derajat 2 Mobits type I

• Pada EKG, AV block derajat 2 Mobitz tipe I


memberikan gambaran pemanjangan
interval PR secara progresif hingga terdapat
gelombang P yang tidak diikuti kompleks
QRS.
AV Blok derajat 2 Mobits tipe II

• Karakteristik EKG pada AV block derajat 2


Mobitz tipe II, adalah interval PR tampak
normal, namun sewaktu-waktu dapat terjadi
gelombang P yang tidak diikuti kompleks QRS
AV Blok derajat 3 / total AV blok

• Pada EKG,(1) ditemukan gelombang P dan kompleks


QRS, namun keduanya tidak berhubungan (nodus SA
menghasilkan impuls namun tidak dapat diteruskan ke
ventrikel, sehingga tercetus escape beat untuk
mengkontraksikan ventrikel); (2) Atrial rate tidak
berhubungan dengan ventricle rate; (3) Kompleks QRS
dapat tampak normal (bila berasal dari nodus AV) atau
tampak melebar (bila berasal dari sistem His-Purkinje).
21. ANEMIA
• Standard WHO
– kadar Hb < 12,5 g/dL
• Amerika
– Hb < 13,5 g/ dL untuk laki-laki
– <12,5 dL untuk perempuan.
Anemia
Anaemia
21. Anemia Mikrositik

• Pada pasien belum dapat ditentukan penyebab anemia hemolitik


• Pada Anemia hemolitik autoimun akan didapatkan Tes Coomb +

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


22. Anemia Makrositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


Anemia Makrositik
• Anemia makrositik megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vit B12 dan asam folat. Keduanya
memberi gambaran makro-ovalosit dan neutrofil hipersegmentasi.

• Gangguan pembentukan DNA akibat defisiensi vitamin tersebut mengakibatkan kematian sel
darah di sumsum tulang, yang dapat memberi gambaran pansitopenia serta ikterus
(hiperbilirubinemia indirek)

• Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.

• Gangguan neurologi hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12, tidak pada defisiensi folat.
Gejala neurologi yang ditemukan:
– Neuropati perifer: kesemutan, kebas, lemas
– Kehilangan sensasi proprioseptif (posisi) dan getaran
– Gangguan memori, depresi, iritabilitas
– Neuropati optik: penglihatan kabur, gangguan lapang pandang
Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)

Makro-ovalosit pada anemia


makrositik megaloblastik
Anemia Makrositik

• Folate is present in most foods including


eggs, milk, yeast, mushrooms, and liver
but is especially abundant in green leafy
vegetables.
• Cobalamin is present in most foods of
animal origin including milk, eggs, and
meat.
Clinical laboratory hematology. 3rd ed.
23. LEPTOSPIRA
• Penyakit infeksi zoonotik yang disebabkan oleh
Leptospira patogen
• Faktor risiko:
– Pekerjaan; berkontak secara langsung & tidak
langsung dengan urin atau jaringan binatang yang
infeksius
– Bidang pertanian, konstruksi, pembersih selokan,
laboratorium, dokter hewan, pekerja tambang, dan
tentara
– Aktivitas berenang, memancing,di dalam air
terkontaminasi & bencana alam (banjir)
Perjalanan penyakit leptospira
Gejala
• Keluhan demam yang tidak diketahui sebabnya
• Ruam kulit
• Sakit kepala terutama bagian frontal
• Nyeri otot
• Mata merah
• Batuk, nyeri dada
• Mual dan muntah
• Kadang ikterik
• Penggalian riwayat aktivitas atau pekerjaan
Infeksi
• Anicteric leptospirosis (90%), • Icteric leptospirosis or Weil's
follows a biphasic course:
– Initial phase (4–7 days):
disease (10%), monophasic
• sudden onset of fever, course:
• severe general malaise,
• muscular pain (esp calves), – Prominent features are renal and
conjunctival congestion, liver malfunction, hemorrhage and
• leptospires can be isolated from impaired consciousness,
most tissues.
– The combination of a direct bilirubin
– Two days without fever follow.
< 20 mg/dL, a marked  in CK, & 
– Second phase (up to 30 days): ALT & AST <200 units is suggestive of
• leptospires are still detectable in the diagnosis.
the urine.
• Circulating antibodies emerge, – Hepatomegaly is found in 25% of
meningeal inflammation, uveitis & cases.
rash develop.
– Therapy is given for 7 days: – Therapy is given for 7 days :
• Doxycycline 2x100 mg (DOC)
• Penicillin (1.5 million units IV
• Amoxicillin 3x500 mg
or IM q6h) or
• Ampicillin 3x500 mg
• Ceftriaxone (1 g/d IV) or
• Cefotaxime (1 g IV q6h)
Tata laksana
• Tata laksana suportif  pemantauan ketat tanda-tanda vital,
tanda-tanda dehidrasi, perdarahan, keseimbangan cairan,
elektrolit, asam basa
• Indikasi rawat inap  ikterus, gagal ginjal, atau trombositopeni
Antibiotik:
• Leptospirosis ringan
– Doxycycline 100 mg PO atau
– Amoxicillin 500 mg PO atau
– Ampicillin 500 mg PO
• Leptospirosis sedang/berat
– Penicillin 1,5 juta unit IV/IM per 6 jam atau
– Ceftriaxone 1 gram/hari IV atau
– Cefotaxime 1 gram IV per 6 jam
24. CIRRHOSIS
• Ammonia is derived mainly from
amino acid & nucleic acid metabolism.

• Impairment of the liver's ability to


detoxify ammonia to urea leads to
hepatic encephalopathy.

• Hyperammonemia in cirrhosis can be


caused by:
– GI bleeding  breakdown of blood
protein by GI tract microbes 
ammonia
– Increased protein intake (eg, a
cheeseburger eaten by a patient with
cirrhosis).
– sepsis  increased endogenous
protein catabolism

Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.


24. Cirrhosis
• Therapy
– improve mental status by
diminishing the
absorption of ammonia &
other noxious substances
from the GI tract.

• Lactulose (nonabsorbable
carbohydrate) 
metabolized by microbes
 acidic environment 
trap ammonia as charged
NH4+  excreted by the
resultant osmotic diarrhea.

Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.


• Edema pada pasien dengan sirosis diakibatkan karena
penurunan produksi protein hati.
Hipoalbuminpenurunan tekanan onkotik plasma
penurunan kembalinya cairan interstitialedema,
ascites.
25. DEEP VEIN THROMBOSIS
• Venous thrombosis results from stasis of blood
flow, hypercoagulability, & vascular damage.
• Clinical findings:
– may be asymptomatic,
– calf or thigh discomfort when standing or
walking,
– unilateral leg swelling.
– proximal DVT: edema, localized warmth &
erythema. C
– Calf pain produced by dorsiflexion of the
foot (Homans’ sign) is a nonspecifi c and
unreliable sign of DVT
• The major complication of DVT is pulmonary
embolism .
• A chronic complication is venous insufficiency
causing chronic leg swelling & skin ulceration.

Harrison’s principles of internal medicine. McGraw-Hill; 2011.


25. Deep Vein Thrombosis
25. Deep Vein Thrombosis

• Lab:
– d-dimer rises because of the breakdown of fibrin by plasmin.
• Therapy:
– Subcutaneous low molecular weight heparin (LMWH) followed by oral anticoagulant warfarin
for 3 monthsoutpatient
– Admitted patients may be treated with a LMWH, fondaparinux, or unfractionated heparin
(UFH).
– Compression with elastic bandage minimal for 2 years.

Harrison’s principles of internal medicine. McGraw-Hill; 2011.


Aterosklerosis & Trombosis. PERKI-Cabang Banten; 2011.
Inpatient Vs Outpatient
• Outpatient therapy can be considered when patients have all of the
following features
– Hemodynamically stable
– A low risk of bleeding
– No renal insufficiency
– A practical system in place at home for the administration and
surveillance of anticoagulant therapy (eg, good living conditions,
caregiver support, phone access, understanding and ability to return
to the hospital should deterioration occur)
• Outpatient therapy is not appropriate in patients with:
– Massive DVT (eg, iliofemoral DVT, phlegmasia cerulea dolens)
– Concurrent symptomatic pulmonary embolism (PE)
– High risk of bleeding on anticoagulant therapy
– Comorbid conditions or other factors that warrant in-hospital care

http://www.uptodate.com/contents/overview-of-the-treatment-of-lower-extremity-deep-vein-thrombosis-dvt
Treatment ACCP Guidelines 2012
Distal leg DVT Proximal leg DVT
• Severe symptoms • Should be treated with anticoagulants.
– Treat with anticoagulants • Suggestion is to not use thrombolytics or clot
– Length of treatment: 3 months (no matter whether removal interventions (thrombectomy) routinely.
DVT was associated with a transient risk factor
(surgery, hospitalization, estrogen therapy, etc.) or was
• Treat as an outpatient, if feasible.
unprovoked (= idiopathic). • In the acute setting, i.e. the first few days: use
• No, mild or moderate symptoms (and no risk factors once daily Dalteparin (Fragmin) or Tinzaparin
for clot extension : (Innohep) or Fondaparinux (Arixtra) or twice daily
– No anticoagulation needed. Enoxaparin (Lovenox).
– Physician to obtain several (‘serial”) Doppler ultrasound • Preferred treatment beyond the first few days:
leg examinations over the next 2 weeks to make sure warfarin, rather than Dabigatran (PradaxaÒ) or
the DVT has not extended (which it does in about 15 % Rivaroxaban (XareltoÒ).
of patients).
• Length of treatment with blood thinners:
– If DVT has extended: treat with anticoagulants for 3
months. – DVT triggered by surgery: 3 months, rather than 6
or 12 months.
• If extension of clot has not occurred within the first 2 – DVT due to a mild risk factor (i.e. non-surgical risk
weeks, it is unlikely to occur subsequently. factors such as estrogen therapy, long-distance
• Risk factors for extension: travel, non-surgical hospital stay, etc): 3 months,
– positive D-dimer rather than 6 or 12 months or long-term.
– DVT that is extensive or close to the proximal veins – Unprovoked (idiopathic) DVT: long-term, if risk for
bleeding not very high. Re-evaluation every so
– no reversible provoking factor for DVT present
often (once per year?) to determine whether long-
– active cancer term treatment is still the right thing to do.
– previous history of blood clots
inpatient status.

American College of Chest Physicians (ACCP)


http://www.aafp.org/afp/1999/0315/p1607.html
26. PENYAKIT ADDISON
Insufisiensi Adrenal primer
• Insufisiensi adrenal primer disebabkan penyakit yang
merusak korteks ginjal (TCB, autoimun adrenal).
Kelainan ini disebut penyakit Addison
• Tuberkulosis adrenal merupakan manifestasi
penyebaran penyakit TBC
• Penyakit adison disebabkan oleh adanya destruksi pada
kelenjar adrenal yang mengenai >90% kelenjar
sebelum gejala insufisiensi muncul
• Kelenjar adrenal merupakan daerah paling sering untuk
penyakit granulomatosa kronik, kebanyakan TBC (70 –
90% kasus), histoplasmosis, coccidioidomycosis, dan
cryptococcosis
Penyebab defisiensi kortisol dan aldosteron
Endocrine Disorder
• Addison’s Disease
Endocrine Disorder
• Cushing Syndrome
Aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal
Individu sehat (kiri), dan cushing (kanan)
27. FEMUR FRACTURE
• Extensive musculature
displacement
• proximal fragment
abducted, flexed, and
externally rotated
• M. gluteal abduction
deformity
• iliopsoas muscle
external rotation and
flexion
National Immunization Program Centers
for Disease Control and Prevention.
Revised March 2002

28. Tetanus Wound Management


Clean, minor All other
wounds wounds
Vaccination History Td TIG Td TIG

Unknown or <3 doses Yes No Yes Yes

3+ doses No* No No** No

* Yes, if >10 years since last dose


** Yes, if >5 years since last dose
Perawatan luka
• Wound toilet
• Semua luka
harus
dibersihkan
sesegera
mungkin
• Debridement
• Bersihkan luka
dari tanah, debu
jaringan nekrotik
dan benda asing
lainnyaall foreign
bodies, soil,
dust, necrotic
tissue

Dosis Profilaksis:
• HTIG250-500 IU
• ATS  1500 IU
29. MANAGEMENT OF TRAUMA PATIENT
Inhalation Injury
• Antisipasi gangguan respirasi pada korban luka bakar yang memiliki luka
di :
– Kepala, wajah, atau dada
– Rambut hidung, atau alis terbakar
– Suara serak, takipnea atau keluar air liur yang banyak(pasien kesulitan untuk
menelan air liur)
– Kehilangan kesadaran di lokasi kejadian
– Mukosa Nasal atau Oral berwarna merah atau kering
– Jelaga pada mulut atau hidung
– Batuk dengan sputum kehitaman
– Lokasi kebakaran yang tertutup atau terdapat riw.terperangkap
• Semua pasien yang terperangkap dalam api memiliki kemungkinan
keracunan CO atau mengalami hipoksia
Inhalation Injury
• Supraglottic Injury • Subglottic Injury
– Terjadi pada kebakaran – Jarang terjadiRare injury
dengan suhu yang tinggi – Menandakan kemungkinan
– Dapat langsung kerusakan pada parenkim
mengakibatkan edema paru
faring dan laring – Usually due to superheated
• Brassy cough steam, aspiration of scalding
• Stridor liquid, or inhalation of toxic
• Suara serak chemicals
• Carbonaceous sputum – Bisa langsung menyebabkan
• Facial burns edema, tapi biasanya terjadi
lebih ambat
• Wheezing or Crackles
• Productive cough
• Bronchospasm
Inhalation Injury Management
• Airway, Oxygenation and • Circulation
Ventilation
– Tatalaksana syok
– Penilaian awal dan sering
terhadap edema jalan napas – IV Access
• LR/NS large bore, multiple IVs
– Pertimbangkan Intubasi awal
dengan RSI(rapid sequence • Titrate fluids to maintain
systolic BP and perfusion
intubation)Ventilator
• Inflamasi dari alveolimengurangi
– Avoid MAST/PASG
oxigenasi
– Bila terdapat keragu-raguan
oxygenate and ventilate
– High flow oxygen
– Bronkodilator dapat
dipertimbangkan bila terdapat
bronkospasm
– Diuretik tidak sesuai untuk
pulmonary edema
30. CONTROLLING EXTERNAL BLEEDING

• Pertolongan pertama yang harus segera


dilakukan untuk menghentikan perdarahan
– Memberikan tekanan langsung
– Menekan langsung sumber perdarahan dengan
kassa steril
Pressure Bandages
• Apply over wound on
extremity to maintain
direct pressure
• Use roller bandage to
completely cover
wound and maintain
pressure

Make sure it doesn’t cut off circulation


Check victim’s fingers and toes for circulation
31. ILEUS OBSTRUKSI
Obstruction
Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan karena
adanya kelainan struktural sehingga menghalangi gerak
peristaltik usus.
Partial or complete
Simple or strangulated
Ileus
Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari gerakan
peristaltik usus
Penyebab- Usus Halus
Luminal Mural Extraluminal
Benda asing Neoplasims Postoperative
Bezoars lipoma adhesions
Batu Empedu polyps
Sisa-sisa leiyomayoma Congenital
makanan hematoma adhesions
A. Lumbricoides
lymphoma
carcimoid Hernia
carinoma
secondary Tumors Volvulus
Crohns
TB
Stricture
Intussusception
Congenital
1. Anamnesis
The Universal Features
Nyeri kolik (Colicky abdominal pain), muntah, konstipasi (absolute),
distensi abdominal.
Anamnesis Lengkap

High Distal small bowel Colonic


•Pain is rapid •Pain: central and colicky • Preexisting change in
•Vomitus is feculunt bowel habit
•Vomiting copious and •Distension is severe •Colicky in the lower
contains bile jejunal content abdomin
•Visible peristalsis
•May continue to pass •Vomiting is late
•Abdominal distension is •Distension prominent
flatus and feacus before
limited or localized
absolute constipation •Cecum ? distended

•Rapid dehydration
Persistent pain may be a sign of strangulation
Relative and absolute constipation
2. Pemeriksaan Fisik
General Abdominal Others

•Vital signs: •Abdominal distension and it’s Systemic


pattern examination
P, BP, RR, T, Sat
•Hernial orifices If deemed necessary.
•dehydration
•Visible peristalsis •CNS
•Anaemia, jaundice, LN
•Cecal distension •Vascular
•Assessment of vomitus •Tenderness, guarding and rebound •Gynaecological
if possible •Organomegaly •muscuoloskeltal
•Full lung and heart •Bising Usus
examination –High pitched (metallic sound)
–Meningkat
–Menghilang
•Rectal examination

• Darm konturterlihatnya bentuk usus pada dinding abdomen


• Darm Steifung—terlihatnya gerakan peristaltik pada dinding
abdomen
Pemeriksaan Radiologis
Posisi: Supine, tegak dan CXR
Pola udara dalam usus:
• Gastric,
• Colonic and 1-2 small bowel
Fluid Levels:
• Gastric
• 1-2 small bowel
Periksa udara pada 4 area:
1. Caecal
2. Hepatobiliary
3. Udara bebas dibawah diaphragma
4. Rectum
Periksa adanya kalsifikasi
Periksa adanya massa, psoas shadow
Periksa adanya feses
The Difference between small
and large bowel obstruction
Large bowel Small Bowel
•Peripheral ( diameter 8 cm max) •Central ( diameter 5 cm max)
•Presence of haustration •Vulvulae coniventae
•Ileum: may appear tubeless
Radiologi: Supine dan tegak(LLD)
A. Sensitivitas: 60% (sampai 90%)
B. Yang dapat ditemukan:
1. Distensi usus pada proksimal dari obstruksi
2. Usus kolaps pada distal dari obstruksi
3. Posisi tegak atau LLD: Air-fluid levels
4. Posisi Supine
a. Sharply angulated distended bowel loops
b. Step-ladder arrangement or parallel bowel
loops
Tatalaksana Awal di UGD
• ResusitasiABC bila pasien tidak stabil
• Air way (O2 60-100%)
• Infus 2 akses vena bila dibutuhkan
• Infus kristaloid  sesuai kondis pasien
• Pemeriksaan laboratorium
• Dekompresi dengan Naso-gastric tube
• Pemasangan kateter urinmonitor output urin setiap
jambalans cairan ketat
• Antibiotik IV (tidak ada bukti yang jelas)
• Pemasangan CVPBila dikhawatirkan akan terjadi pemberian
cairan yang berlebih
• Follow-up hasil lab dan Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
• Perawatan di intermediate care
• Rectal tubes hanya dilakukan pada Sigmoid volvulus.
Indikasi operasi segera
• Adanya strangulasicontoh: hernia
• Adanya tanda-tanda peritonitis yang
disebabkan karena perforasi atau iskemia
Intussusception
• Sebagian usus masuk ke dalam bag. Usus yang
lainobstruksi usus
• Bayi sehat, tiba-tiba menangis kesakitan(crying spells),
nyeri, Lethargy
• Pada kuadran kanan atas teraba massa berbentuk sosis
dan kekosongan pada kuadran kanan bawah (Dance
sign)
• Usia 6 - 12 bulan
• Biasanya jenis kelamin laki-laki
• lethargy/irritability
• Portio-like on DRE

Triad:
• vomiting
• abdominal pain
• colicky, severe, and intermittent,drawing the legs
up to the abdomen,kicking the air, In between
attacks, calm and relieved
• blood per rectum /currant jelly stool http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/679/highlights/o
verview.html
Midgut volvulus
Klinis • Abdominal Plain Film,
• Children present with Upright
bilious emesis (93%) – Dilated stomach
and less often – Distal paucity of gas
malabsorption, failure • Contrast
to thrive, biliary – cork-screw appearance
obstruction, GERD – small bowel on the right
• In adults intermittent side of abdomen that
abdominal pain (87%) does not cross midline
and less often nausea
(31%)
Ultrasound Whirlpool sign
http://emedicine.medscape.com/
Congenital Malformation
Disorder Definition Radiologic Findings

Hirschprung Congenital Barium Enema: a transition zone that


aganglionic separates the small- to normal-diameter
megacolon aganglionic bowel from the dilated bowel
above
Intussusception A part of the Intussusception found in air or barium enema
intestine has
invaginated into
another section of
intestine
Duodenal atresia Dueodenum Plain X-ray: Double Bubble sign

Anal Atresia birth defects in Knee chest position: to determined the


which the rectum is distance of rectum stump to the skin (anal
malformed dimple)
Hypertrophic Hypertrophy and functional gastric outlet obstruction
Pyloric Stenosis hyperplasia of the Projectile vomiting, visible peristalsis, and a
muscular layers of palpable pyloric tumor(Olive sign)
Vomiting  occur after every feeding,starts 3-4
the pylorus
weeks of age
32. BPH
• The size of prostate enlarged microscopically
since the age of 40.Half of all men over the
age of 60 will develop an enlarged prostate
• By the time men reach their 70’s and 80’s,
80% will experience urinary symptoms
• But only 25% of men aged 80 will be receiving
BPH treatment
What’s LUTS?
Voiding (obstructive) Storage (irritative or
symptoms filling) symptoms
• Hesitancy • Urgency
• Weak stream • Frequency
• Straining to pass urine • Nocturia
• Prolonged micturition • Urge incontinence
• Feeling of incomplete
bladder emptying
• Urinary retention
LUTS is not specific to BPH – not everyone with
LUTS has BPH and not everyone with BPH has LUTS
Blaivas JG. Urol Clin North Am 1985;12:215–24
Diagnosis of BPH
• Symptom assessment
– the International Prostate Symptom Score (IPSS) is recommended as it is used
worldwide
– IPSS is based on a survey and questionnaire developed by the American
Urological Association (AUA). It contains:
• seven questions about the severity of symptoms; total score 0–7 (mild), 8–19
(moderate), 20–35 (severe)
• eighth standalone question on QoL
• Digital rectal examination(DRE)
– inaccurate for size but can detect shape and consistency
• PV determination- ultrasonography
• Urodynamic analysis
– Qmax >15mL/second is usual in asymptomatic men from 25 to more than 60
years of age
• Measurement of prostate-specific antigen (PSA)
– high correlation between PSA and PV, specifically TZV
– men with larger prostates have higher PSA levels 1

– PSA is a predictor of disease progression and screening tool for CaP


– as PSA values tend to increase with increasing PV and increasing age, PSA
may be used as a prognostic marker for BPH
• Pielografi Intravena
(IVP)Pemeriksaan IVP dapat
menerangkan kemungkinan
adanya:
– kelainan pada ginjal maupun
ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis
– memperkirakan besarnya
kelenjar prostat yang ditunjukkan
oleh adanya indentasi prostat
(pendesakan vesica urinaria oleh
kelenjar prostat) atau ureter di
sebelahdistal yang berbentuk
seperti mata kail
– penyulit yang terjadi pada vesica
urinaria yaitu adanya trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi vesica
urinaria
– foto setelah miksi dapat dilihat
adanya residu urin
Management
• Lifestyle modification
– Mengurangi intake cairan
– Stop diuretik bila memungkinkan
– Hindari minum air/alkohol/kafein di malam
hari
– Kosongkan kandung kemih sebelum
perjalanan atau rapat
Management
• Drug therapy  Drug therapy
 5 alpha reductase inhibitors
– Alpha blockers  Mereduksi Volume prostat
• Memperbaiki tonus  Reduces risk of prostate cancer,
increases risk of high grade
otot polos prostat disease
dan vesika urinaria  Combined therapy
• Lebih efektif  Men with large prostate > 40g
dibandingkan 5 alpha or PSA >4 or moderate to severe
symptoms combined therapy
reductase inhibitors will prevent 2 episodes of
clinical progression per 100men
• Tamsulosin and over 4yrs. Much less effective
alfuzosin require no for men with smaller prostates
dose titration
http://www.medscape.org/viewarticle/541739_2

http://www.medscape.org/viewarticle/456664
33. TRIAGE
Triage Priorities 3. Green- Dapat berjalan
1. Red- prioritas utama – Dapat menunggu beberapa jam
untuk transport
– memerlukan penanganan
segeraberkaitan dengan 4. Black- Meninggal
kondisi sirkulasi atau respirasi – Akan meninggal dalam
penanganan emergensi
2. Yellow- prioritas kedua memiliki luka yang mematikan

– Dapat menunggu lebih lama, *** mark triage priorities (tape,


sebelum transport (45 tag)
minutes)
Triage Category: Red
• Red (Highest) Priority: • Gangguan Airway dan
Pasien yang breathing
memerlukan • Perdarahan banyak dan
penanganan segera dan tidak terkontrol
transport secepat- • Decreased level of
consciousness
cepatnya
• Severe medical problems
• Shock (hypoperfusion)
• Severe burns
Yellow Green
• Yellow (Second) Priority:
Pasien yang penanganan • Green (Low) Priority:
dan traportnya dapat Pasien yang
ditunda sementara waktu penanganan dan
• Luka bakar tanpa gangguan
airway transportnya dapat
• Trauma tulang atau sendi ditunda sampai yang
besar atau trauma multiple terakhir
tulang
• Fraktur Minor
• Trauma tulang belakang
dengan atau tanpa • Trauma jaringan lunak
kerusakan medula spinalis Minor
34. GREENSTICK FRACTURE

• A Greenstick fracutre is a
fracture that is incomplete,
where the bone is bent
• When this type of fracture
occurs, only the very
outside portion of the bone
breaks, and the rest of the
bone bends to
accommodate the break
• Usually in infants/toddlers
Greenstick Fractures

http://www.learningradiology.com
http://www.merckmanuals.com/professional/injuries_poisoning/fractures
_dislocations_and_sprains/fractures.html
FOREHAND FRACTURE
Montegia Fracture Dislocation
• Fraktur 1/3 proksimal Ulna
disertai dengan dislokasi
kepala radius ke arah Lateral displacement

anterior, posterior, atau


lateral
• Head of Radius dislocates
same direction as fracture
• Memerlukan ORIF

http://www.learningradiology.com
Galleazzi Fracture
• Fraktur distal radius
dan dislokasi sendi
radio-ulna ke arah
inferior
• Like Monteggia fracture
if treated conservatively
it will redisplace
• This fracture appeared
in acceptable position
after reduction and POP

http://www.learningradiology.com
Colles’ Fracture
• Fraktur tersering pada tulang yang
mengalami osteoporosis
• Extra-Articular : 1 inch of distal Radius
• Mekanisme trauma: Jatuh pada pergelangan
tangan pada posisi dorsofleksi
• Typical deformity : Dinner Fork
• Deformity is : Impaction, dorsal
displacement and angulation, radial
displacement and angulation and avulsion of
ulnar styloid process

http://www.learningradiology.com
Colles’ Fracture

optimized by optima
http://www.learningradiology.com
Smith Fracture
• Hampir berlawanan dengan Colles’ fracture
• Lebih jarang terjadi dibandingkan dengan
colles’
• Mekanisme trauma: Jatuh pada pergelangan
tangan pada posisi palmar fleksi
• Typical deformity : Garden Spade
• Management is conservative : MUA and
Above Elbow POP

http://www.learningradiology.com
Smith Fracture

http://www.learningradiology.com
35. ILEUS OBSTRUKSI
Obstruction
Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan karena
adanya kelainan struktural sehingga menghalangi gerak
peristaltik usus.
Partial or complete
Simple or strangulated
Ileus
Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari gerakan
peristaltik usus
Penyebab- Usus Halus
Luminal Mural Extraluminal
Benda asing Neoplasims Postoperative
Bezoars lipoma adhesions
Batu Empedu polyps
Sisa-sisa leiyomayoma Congenital
makanan hematoma adhesions
A. Lumbricoides
lymphoma
carcimoid Hernia
carinoma
secondary Tumors Volvulus
Crohns
TB
Stricture
Intussusception
Congenital
Pemeriksaan Radiologis
Posisi: Supine, tegak dan CXR
Pola udara dalam usus:
• Gastric,
• Colonic and 1-2 small bowel
Fluid Levels:
• Gastric
• 1-2 small bowel
Periksa udara pada 4 area:
1. Caecal
2. Hepatobiliary
3. Udara bebas dibawah diaphragma
4. Rectum
Periksa adanya kalsifikasi
Periksa adanya massa, psoas shadow
Periksa adanya feses
The Difference between small and large
bowel obstruction
Large bowel Small Bowel
•Peripheral ( diameter 8 cm max) • Central ( diameter 5 cm max)
•Presence of haustration • Vulvulae coniventae
• Ileum: may appear tubeless
Radiologi: Supine dan tegak(LLD)
A. Sensitivitas: 60% (sampai 90%)
B. Yang dapat ditemukan:
1. Distensi usus pada proksimal dari obstruksi
2. Usus kolaps pada distal dari obstruksi
3. Posisi tegak atau LLD: Air-fluid levels
4. Posisi Supine
a. Sharply angulated distended bowel loops
b. Step-ladder arrangement or parallel bowel
loops
Tatalaksana Awal di UGD
• ResusitasiABC bila pasien tidak stabil
• Air way (O2 60-100%)
• Infus 2 akses vena bila dibutuhkan
• Infus kristaloid  sesuai kondis pasien
• Pemeriksaan laboratorium
• Dekompresi dengan Naso-gastric tube
• Pemasangan kateter urinmonitor output urin setiap
jambalans cairan ketat
• Antibiotik IV (tidak ada bukti yang jelas)
• Pemasangan CVPBila dikhawatirkan akan terjadi pemberian
cairan yang berlebih
• Follow-up hasil lab dan Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
• Perawatan di intermediate care
• Rectal tubes hanya dilakukan pada Sigmoid volvulus.
Indikasi operasi segera
• Adanya strangulasicontoh: hernia
• Adanya tanda-tanda peritonitis yang
disebabkan karena perforasi atau iskemia
http://urology.iupui.edu/papers/reconstructive_bph/s0094014305001163.pdf

36. TRAUMA URETRA


• Curiga adanya trauma
pada traktus urinarius
bag.bawah, bila:
– Terdapat trauma
disekitar traktus
urinarius terutama
fraktur pelvis
– Retensi urin setelah
kecelakaan
– Darah pada muara OUE
– Ekimosis dan hematom
perineal
Uretra Anterior: Uretra Posterior :
• Anatomy: • Anatomy
– Bulbous urethra – Prostatic urethra
– Pendulous urethra – Membranous urethra
– Fossa navicularis
• Etiologi:
• Etiologi: – Fraktur tulang Pelvis
– Straddle type injuries
• Gejala klinis:
– Intrumentasi
– Darah pada muara OUE
– Fractur penis
– Nyeri Pelvis/suprapubis
• Gejala Klinis: – Perineal/scrotal hematom
– Disuria, hematuria – RT Prostat letak tinggi atau melayang
– Hematom skrotal
• Radiologi:
– Hematom perineal akan timbul bila terjadi
robekan pada fasia Buck’s sampai ke – Pelvic photo
dalam fasia Colles‘‘butterfly’’ hematoma – Urethrogram
in the perineum • Therapy:
– will be present if the injury has disrupted – Cystostomi
Buck’s fascia and tracks deep to Colles’
fascia, creating a characteristic ‘‘butterfly’’ – Delayed Repair
hematoma in the perineum
• Therapy:
– Cystostomi
– Immediate Repair
• Don't pass a diagnostic • Retrograde
catheter up the patient's urethrography
urethra because: – Modalitas pencitraan yang
– The information it will give utama untuk mengevaluasi
will be unreliable. uretra pada kasus trauma
– May contaminate the dan inflamasi pada uretra
haematoma round the
injury.
– May damage the slender
bridge of tissue that joins
the two halves of his
injured urethra

Posterior urethral rupture above the


intact urogenital diaphragm
following blunt trauma

http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/68._Urinary
37. PHIMOSIS
Phimosis Paraphimosis
• Prepusium tidak dapat • Prepusium tidak dapat
ditarik kearah proksimal ditarik kembali dan
• Fisiologis pada neonatus
terjepit di sulkus
koronarius
• Komplikasi
• Gawat darurat bila
– Balanitis
– Obstruksi vena
– Postitis superfisial  edema dan
– Balanopostitis nyeri  Nekrosis glans
• Treatment penis
– Dexamethasone 0.1% (6 • Treatment
weeks) for spontaneous – Manual reposition
retraction – Dorsum incision
EpispadiaOUE berada di dorsum
penis
• Penis lebar, pendek dan
melengkung keatas (dorsal chordee)
• Penis menempel pada tulang pelvis
• Tulang pelvis terpisah lebar
• Classification:
• the glans (glanular)
• along the shaft of the penis
(penile)
• near the pubic bone (penopubic)

http://www.genitalsurgerybelgrade.com/urogenital_surg
ery_detail.php?Epispadias-4
http://emedicine.medscape.com/article/1015227

Hypospadia
• OUE berada pada ventral
penis
• Three anatomical
characteristics
• An ectopic urethral
meatus
• An incomplete prepuce
• Chordee ventral
shortening and
curvature
Hydrocele
38. LIPOMA
 Massa yang berasal dari sel adiposa,
tumbuh dengan lambat
 Lokasi: Punggung atas, leher, bahu
 terletak subkutan di daerah yang
terdapat jaringan adiposa
 Tipe tumor jinak jaringan lunak
yang tersering
 Menyerupai jaringan adiposa normal
 Subtipe:angiolipoma, spindle cell lipoma
• Massa yang berasal dari sel adiposa, tumbuh
dengan lambat,berbatas tegas, kenyal, mobile,
pseudokistik (pseudofluctuant)
• Pseudokistik/Pseudofluctuant Karena
konsistensi sel lemak yang kenyal
• Paget's test
– Massa di fiksasi oleh ibu jari dan jari telunjuk,
kemudian bagian tengah ditekanbila bagian tengah
menonjol keatas, maka fluctuant atau
kistikfluktuasi +
Diagnosis Histologic

Lipoma Soft mass, pseudofluctuant with a slippery edge

Atherom cyst Occur when a pilosebaceous unit or a sebaceous gland becomes


blocked. Skin Color is usually normal, and there is a punctum
(comedo, blackhead) on the dome

Dermoid Cyst Lined by orthokeratinized, stratified squamous epithelium surrounded


by a connective tissue wall. The lumen is usually filled with keratin.
Hair follicles, sebaceous glands, and sweat glands may be seen in the
cyst wall
Epidermal Cyst A raised nodule on the skin of the face or neck. HistologicLined by
keratinizing epithelium the resembles the epithelium of the skin
• Most commonly superotemporal • Occasionally superonasal
• Freely mobile under skin • Posterior margins are easily palpa
Dermoid Cyst

Lipoma
39. SPINAL TRAUMA
• Failure to suspect leads to Symptoms
failure to detect injuries • Pain in the neck or back
• ABCDE – Logroll and radiating due to nerve
remove the spinal board root irritation
• Look for markers of spinal
injury • Sensory disturbance distal
• Secondary survey to neurological level
• Adequate Xray’s
• Emergency treatment • Weakness or flaccid
• Surgery paralysis below the level
• Definitive care & rehab
Radiology
• Be thorough – • Lateral C spine views in
Adequacy, diagnostic in 80%
Alignment,Bones, • Complete set of C spine
Cartilages and soft x ray are 90% diagnostic
tissues and distances • CT of the c spine is 98%
• AP and lateral diagnostic
projection X-ray
40. ESOPHAGEAL ACHALASIA
• Akalasia
– Kelainan motilitas dari spinkter esofagus bawah
(lower oesophageal spincter or cardiac sphincter)
• Lapisan otot polos esofagus mengalami
gangguan peristaltik dan kegagalan spinkter
untuk relaksasi stenosis fungsional atau
striktur esofagus fungsional
• Sebagian besar kasus tidak diketau
penyebabnya
– Penyebab yang mungkin diantaranya Ca esofagus
Gejala Klinis
• Gejala yang tersering adalah disfagia makanan padat lebih sulit
dibandingkan makanan lunak dan cair
• Regurgitasimuncul pada 80-90% dan beberapa pasien belajar
untuk menginduksi regurgitasi untuk mengurangi nyeri
• Nyeri dadamuncul pada 25-50% pasien
– Muncul setelah makan dan nyeri retrosternal, lebih sering pada pada
awal penyakit
• Heartburn is common and may be aggravated by treatment.
• Penurunan berat badan mengarah ke keganasan (may coexist).
• Nocturnal cough and even inhalation of refluxed contents is a feature
of later disease.
• Examination is unlikely to be revealing although loss of weight may
be noted. Rarely, there may be signs of an inhalation pneumonia
Rat-tail Sign-irregularly
marginated tapering of
esophagus in achalasia
AKA Bird's Beak Sign; or
of bronchus and biliary
duct in carcinoma
http://www.patient.co.uk/doctor/Achalasia.htm
41. PNEUMOTHORAX
• Pada pneumothoraks, • Dekompresi segera
tekanan udara dalam merubah tension
rongga thoraks lebih pneumothorax menjadi
besar daripada tekanan simple pneumothorax.
atmosferparu kolaps
• Needle decompression • Terapi Definitif chest
mengurangi tekanan tube/WSD

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1043067912000937
42. GIT Congenital Malformation
Disorder Clinical Presentation

Hirschprung Congenital aganglionic megacolon (Auerbach's Plexus)


Fails to pass meconium within 24-48 hours after birth,chronic constipation since birth,
bowel obstruction with bilious vomiting, abdominal distention, poor feeding, and failure
to thrive, Chronic Enterocolitis.
RT:Explosive stools .
Criterion standardfull-thickness rectal biopsy.
Treatment  remove the poorly functioning aganglionic bowel and create an
anastomosis to the distal rectum with the healthy innervated bowel (with or without an
initial diversion)
Anal Atresia Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal distention, failed to
pass meconium,meconium excretion from the fistula (perineum, rectovagina,
rectovesica, rectovestibuler).
Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the rectum ending
in a blind pouch.
High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula
Hypertrophic Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus
Pyloric Stenosis functional gastric outlet obstruction
Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric tumor(Olive sign).Vomiting
 occur after every feeding,starts 3-4 weeks of age
Disorder Clinical Presentation

Oesophagus Congenitally interrupted esophagus


Atresia Drools and has substantial mucus, with excessive oral secretions,.
Bluish coloration to the skin (cyanosis) with attempted feedings
Coughing, gagging, and choking, respiratory distressPoor feeding
Intestine Atresia Malformation where there is a narrowing or absence of a portion
of the intestine
Abdominal distension (inflation), fails to pass stools, Bilious
vomiting

http://en.wikipedia.org/wiki/ http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth
Congenital Malformation
Disorder Definition Radiologic Findings

Hirschprung Congenital Barium Enema: a transition zone that


aganglionic separates the small- to normal-diameter
megacolon aganglionic bowel from the dilated bowel
above
Intussusception A part of the Intussusception found in air or barium
intestine has enema
invaginated into
another section of
intestine
Duodenal Dueodenum Plain X-ray: Double Bubble sign
atresia
Anal Atresia birth defects in Knee chest position/invertogram: to
which the rectum is determined the distance of rectum stump
malformed to the skin (anal dimple)

http://emedicine.medscape.com/
Atresia anii

Duodenal atresia

Intussusception

Hirschprung

http://emedicine.medscape.com/ Learningradiology.om
43. THE BREAST
Tumors Onset Feature
Breast cancer 30-menopause Invasive Ductal Carcinoma , Paget’s disease (Ca Insitu),
Peau d’orange , hard, Painful, not clear border,
infiltrative, discharge/blood, Retraction of the
nipple,Axillary mass
Fibroadenoma < 30 years They are solid, round, rubbery lumps that move freely in
mammae the breast when pushed upon and are usually painless.
Fibrocystic 20 to 40 years lumps in both breasts that increase in size and
mammae tenderness just prior to menstrual bleeding.occasionally
have nipple discharge
Mastitis 18-50 years Localized breast erythema, warmth, and pain. May be
lactating and may have recently missed feedings.fever.
Philloides 30-55 years intralobular stroma . “leaf-like”configuration.Firm,
Tumors smooth-sided, bumpy (not spiky). Breast skin over the
tumor may become reddish and warm to the touch.
Grow fast.
Duct Papilloma 45-50 years occurs mainly in large ducts, present with a serous or
bloody nipple discharge
• Flu-like symptoms, malaise, and
myalgia
• Fever
• Breast pain
• Decreased milk outflow
• Breast warmth
• Breast tenderness
• Breast firmness
• Breast swelling
• Breast erythema
• Breast mass
• If left untreatedbreast abscess
– spontaneous drainage from the mass or
nipple
– PalpationFluctuation +
44. Bone Tumor
• Presenting complaints, such as localized pain and
soft-tissue swelling, increased skin temperature
and decreased range of motion at an affected
joint, are key indicators of possible cancerous
tumors.
• These findings alone however, are not sufficient
to differentiate between tumors and other
possible diagnoses
• It is imperative, therefore, that radiographs be
obtained and examined
The Canadian Journal of Diagnosis / May 2001
Chondrosarcoma
• Clinical Presentation • Epidemiology
– Deep, dull, achy pain – pelvis and ribs, 45%; ilium,
– Pain at night 20%; femur, 15%; humerus,
– Nerve dysfunction of the 10%; and others, 10%. The
lumbosacral plexus or the spine and the craniofacial
sciatic or femoral nerves, with bones are rarely involved
pelvic lesions near a – The mean interval from
neurovascular bundle pain to diagnosis is 19.4
– Limitation of joint range of months for grade I and
motion and disturbance of grade II chondrosarcomas
joint function, with and 15.5 months for grade
chondrosarcomas close to a III chondrosarcomas
joint – Commonly found in the age
40-60 years old
– Pathologic fracture
• Frontal radiograph of
the left fibula head
demonstrates a lucent
lesion that contains the
typical chondroid
matrix calcification.
Low-grade tumor
The Canadian Journal of Diagnosis / May 2001
Disorders Age Predilection Clinical
Miositis Osifikans The first First in the dorsal, Episodic, painful soft tissue swellingsmost
(Pediatric) decade of life axial, cranial, and transform soft connective tissues into mature
proximal regions bone
of the body Minor trauma or influenza-like viral illnesses can
Later in the trigger painful new flare-ups
ventral, Stiffness of the neckearly findings
appendicular, Findings: malformations of the great toes and
caudal, and distal progressive heterotopic ossification replaces
regions skeletal muscle and connective tissues
Miositis Osifikans anywhere in the complication of a contusion injury and occurs
(Adult) body  more when part of of the hematoma is replaced with
commonly occurs bone
in the quadriceps severe pain and a palpable mass within the
muscle, Bruising
Metastasis bone Concurent the axial skeleton Types of cancer, including prostate, breast, and
disease with the lung cancers.
primary Severe paindull ache that grows worse over
tumor time, with intermittent periods of sharp, jagged
pain, bone fractures, spinal cord compression,
hypercalcemia, anemia, spinal instability,
decreased mobility
Diagnosis Banding
Osteochondroma
Osteoblastoma:
• ossification in the
• Subchondral
peritendinous
Cysts
tissues
• Fluid-filled
• Terdapat pada
sacs in
metafisis
subchondra
• Tidak nyeri dan
l bone
serin kali tidak
teraba benjolan

Chondroblastoma
• radiolucent lesion with sclerotic margins
(white arrowheads) in epiphysis of distal
femur and with probable extension into
metaphysis (black arrowhead).
Miositis ossifikans
• The typical radiographic
appearance of myositis
ossificans is
circumferential
calcification with a
lucent centre, and a
radiolucent cleft (string
sign) that separates the
lesion from the cortex
of the adjacent bone.
http://www.cdc.gov/rabies/medical_care/index.html

45. RABIES

Purified Chick Embryo Cell Vaccine (PCEC) Human Diploid Cell Vaccine (HDC
Rabies
• Envelope virus ini
antara lain mengandung
lipid dapat larut oleh
eter
• virus rabies mudah
diinaktivasi dengan lipid
solvent
– air sabun 20%
– eter
http://emedicine.medscape.com/article/ http://en.wikipedia.org/wiki/

46. Male Genital Disorders


Disorders Etiology Clinical
Kista Epididimis = spermatokel =spermatokel, lokasi di epididimis
Hidrocele Congenital anomaly, accumulation of fluids around a testicle, swollen
blood blockage in the testicle,Transillumination +
spermatic cord
Inflammation or
injury

Varicocoele Vein insufficiency Scrotal pain or heaviness, swelling. Varicocele is


often described as feeling like a bag of worms
Spermatokel diverticulum from retention cyst of a tubule of the rete testis or the
the tubules found in head of the epididymis distended with barely watery
the head of the fluid that contains spermatozoa
epididymis, possibly
trauma
Radang testis Mumps virus Testicular pain and swelling, fatigue, fever, chills,
sinistra/Orchitis Testicular enlargement, induration of the testis,
Erythematous scrotal skin
Anatomy of hidrocele: the mass anterior to the testis, so
that testicles would be palpable in the posterior of the
mass
http://emedicine.medscape.com/article/ http://en.wikipedia.org/wiki/

47. Male Genital Disorders


Disorders Etiology Clinical
Testicular torsion Intra/extra-vaginal Sudden onset of severe testicular pain followed by
torsion inguinal and/or scrotal swelling. Gastrointestinal
upset with nausea and vomiting.
Hidrocele Congenital anomaly, accumulation of fluids around a testicle, swollen
blood blockage in testicle,Transillumination +
the spermatic cord
Inflammation or
injury

Varicocoele Vein insufficiency Scrotal pain or heaviness, swelling. Varicocele is


often described as feeling like a bag of worms
Hernia skrotalis persistent patency Mass in scrotum when coughing or crying
of the processus
vaginalis
Chriptorchimus Congenital anomaly Hypoplastic hemiscrotum, testis is found in other
area, hidden or palpated as a mass in inguinal.
Complication:testicular neoplasm, subfertility,
testicular torsion and inguinal hernia
http://www.medscape.org/viewarticle/420354_8

HERNIA
SKROTALIS
48. Keganasan pada kulit
• Karsinoma sel basal • Karsinoma sel skuamosa
– Berasal dari sel epidermal pluripoten. – Berasal dari sel epidermis.
Faktor predisposisi: lingkungan Etiologi: sinar matahari, genetik,
(radiasi, arsen, paparan sinar herediter, arsen, radiasi,
matahari, trauma, ulkus sikatriks), hidrokarbon, ulkus sikatrik
genetik – Usia tersering 40-50 tahun
– Usia di atas 40 tahun – Dapat bentuk intraepidermal
– Biasanya di daerah berambut, invasif, – Dapat bentuk invasif: mula-mula
jarang metastasis berbentuk nodus keras, licin,
– Bentuk paling sering adalah nodulus: kemudian berkembang menjadi
menyerupai kutil, tidak berambut, verukosa/papiloma. Fase lanjut
berwarna coklat/hitam, berkilat tumor menjadi keras, bertambah
(pearly), bila melebar pinggirannya besar, invasif, dapat terjadi
meninggi di tengah menjadi ulkus ulserasi. Metastasis biasanya
(ulcus rodent) kadang disertai melalui KGB.
talangiektasis, teraba keras

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
SCC

• Melanoma maligna
– Etiologi belum pasti. Mungkin
faktor herediter atau iritasi
berulang pada tahi lalat
– Usia 30-60 tahun
– Bentuk:
• Superfisial: Bercak dengan BCC
warna bervariasi, tidak teratur,
berbatas tegas, sedikit
penonjolan
• Nodular: nodus berwarna biru
kehitaman dengan batas tegas
• Lentigo melanoma maligna:
plakat berbatas tegas, coklat
kehitaman, meliputi muka
– Prognosis buruk
MM
49. Labiognatopalatoshisis
• Celah pada bibir, gusi dan langitan
• RULE OF TEN :
– Berat badan 10 lb (5 kg)
– Usia 10 minggu
– Kadar hemoglobin darah
10 g/dL

http://en.wikipedia.org/wiki/Cleft_lip_and_palate
http://www.scribd.com/doc/55885689/labio-gnato-palatoschisis
• Cleft palate
• the two plates of the skull that form the
hard palate (roof of the mouth) are not
completely joined
• The soft palate is in these cases cleft as
well
• Cleft lip
• formed in the top of the lip
• a small gap or an indentation in the
lip (partial or incomplete cleft)
• continues into the nose (complete
cleft)
• due to the failure of fusion of the
maxillary and medial nasal
processes (formation of the primary
50. Dosis Lidokain
• Dosis max di soal • 200 mg = 5x40 mg
4mg/Kg BB • = 5 ampul
• 4x50= 200mg

• 2% lidokain (w/v)
– 2g/100cc
– 20mg/cc
– 1 ampul 2 cc= 40mg
51.

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html

“Water bottle configuration"


bayangan pembesaran jantung
yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung:
– Echocardiography
– Pericardiocentesis
• Dilakukan segera untuk
diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis
– Sering kali merupakan pilihan
terbaik saat terdapat kecurigaan
adanya tamponade jantung atau
terdapat penyebab yang
diketahui untuk timbulnya
tamponade jantung

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
52. DVT

Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage

Crurales Vein is a common and


incorrect terminology
Superficial vein systems
• Signs and symptoms of
DVT include :
– Pain in the leg
– Tenderness in the calf ( this
is one of the most
improtant signs )
– Leg tenderness
– Swelling of the leg
– Increased warmth of the
leg
– Redness in the leg
– Bluish skin discoloration
– Discomfort when the foot
is pulled upward (Homan’s)
http://www.medical-explorer.com/blood.php?022
Patient with suspect symptomatic
Acute lower extremity DVT

Venous duplex scan negative


Low clinical probability observe

positive High clinical probability negative

Evaluate coagulogram /thrombophilia/ malignancy


Repeat scan /
Venography
Anticoagulant therapy yes IVC filter
contraindication

No

pregnancy LMWH

OPD LMWH

hospitalisation + warfarin
UFH

Compression treatment
Color duplex scan of DVT

Venogram shows DVT


53-54. GLAUKOMA
ANAMNESIS

MATA MERAH MATA MERAH MATA TENANG


VISUS NORMAL MATA TENANG VISUS
VISUS TURUN VISUS TURUN
TURUN MENDADAK
• struktur yang PERLAHAN
mengenai media
bervaskuler 
refraksi (kornea, • uveitis posterior • Katarak
sklera konjungtiva •
uvea, atau perdarahan vitreous • Glaukoma
• tidak • Ablasio retina • retinopati
seluruh mata)
menghalangi • oklusi arteri atau vena penyakit sistemik
media refraksi retinal • retinitis
• neuritis optik pigmentosa
• Keratitis
• Konjungtivitis murni • neuropati optik akut • kelainan refraksi
• Keratokonjungtivitis
karena obat (misalnya
• Trakoma • Ulkus Kornea
• mata kering, etambutol), migrain,
• Uveitis
tumor otak
xeroftalmia • glaukoma akut
• Pterigium • Endoftalmitis
• Pinguekula • panoftalmitis
• Episkleritis
• skleritis
Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14

53-54. Glaukoma
• Glaukoma adalah penyakit saraf mata yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan bola
mata (TIO Normal : 10-24mmHg)
• Ditandai : meningkatnya tekanan intraokuler
yang disertai oleh pencekungan diskus optikus
dan pengecilan lapangan pandang
• TIO tidak harus selalu tinggi, Tetapi TIO relatif
tinggi untuk individu tersebut.
• Jenis Glaukoma :
 Primer yaitu timbul pada mata yang mempunyai bakat bawaan, biasanya bilateral dan
diturunkan.
 Sekunder yang merupakan penyulit penyakit mata lainnya (ada penyebabnya) biasanya
Unilateral
• Mekanisme : Gangguan aliran keluar humor akueus akibat kelainan sitem drainase
sudut kamera anterior (sudut terbuka) atau gangguan akses humor akueus ke sistem
drainase (sudut tertutup)
• Pemeriksaan :
 Tonometri : mengukur tekanan Intraokuler (TIO)
 Penilaian diskus optikus : pembesaran cekungan diskus optikus dan pemucatan diskus
 Lapang pandang
 Gonioskopi : menilai sudut kamera anterior  sudut terbuka atau sudut tertutup
• Pengobatan : menurunkan TIO  obat-obatan, terapi bedah atau laser
Glaukoma

glaucoma that develops


after the 3rd year of life 289
http://emedicine.medscape.com/article/1206147

Jenis Glaukoma
Causes Etiology Clinical
Acute Glaucoma Pupilllary block Acute onset of ocular pain, nausea, headache, vomitting, blurred
vision, haloes (+), palpable increased of IOP(>21 mm Hg),
conjunctival injection, corneal epithelial edema, mid-dilated
nonreactive pupil, elderly, suffer from hyperopia, and have no
history of glaucoma
Open-angle Unknown History of eye pain or redness, Multicolored halos, Headache,
(chronic) IOP steadily increase, Gonioscopy Open anterior chamber
glaucoma angles, Progressive visual field loss
Congenital abnormal eye present at birth, epiphora, photophobia, and blepharospasm,
glaucoma development, buphtalmus (>12 mm)
congenital infection
Secondary Drugs Sign and symptoms like the primary one. Loss of vision
glaucoma (corticosteroids)
Eye diseases (uveitis,
cataract)
Systemic diseases
Trauma
Absolute end stage of all types of glaucoma, no vision, absence of
glaucoma pupillary light reflex and pupillary response, stony appearance.
Severe eye pain. The treatment  destructive procedure like
cyclocryoapplication, cyclophotocoagulation,injection of 100%
alcohol
Glaukoma Akut
http://emedicine.medscape.com/article/798811

Angle-closure (acute) glaucoma


• The exit of the aqueous humor fluid is sud
• At least 2 symptoms:
– ocular pain
– nausea/vomiting
– history of intermittent blurring of vision with halos
• AND at least 3 signs:
– IOP greater than 21 mm Hg
– conjunctival injection
– corneal epithelial edema
– mid-dilated nonreactive pupil
– shallower chamber in the presence of occlusiondenly
blocked
http://emedicine.medscape.com/article/1206147

Open-angle (chronic) Glaucoma


• Most common type
• Chronic and progressive →
acquired loss of optic nerve
fibers
• Open anterior chamber
angles
• Visual field abnormalities
• An increase in eye pressure
occurs slowly over time →
pushes on the optic nerve
• Funduskopi: cupping and
atrophy of the optic disc
• Risk factors
– elevated intraocular pressure,
advanced age, black race, and
family history
Normal Tension Glaukoma
• Normal Tension Glaukoma yang terdapat pada satu ujung spektrum glaukoma
sudut terbuka kronis merupakan bentuk yang tersering menyebabkan
pengecilan lapangan pandang bilateral progressif asimptomatik yang muncul
perlahan dan sering tidak terdeteksi sampai terjadi pengecilan lapangan
pandang yang ekstensif.
• Tipe glaukoma dimana nervus optic rusak dan kehilangan kemampuan melihat
dan lapangan pandang, muncul pada glaukoma sudut terbuka namun tekanan
intra okuler yang normal (<22 mmHg)
• Pemeriksaan :
 Tekanan intraokuler
 Gonioskopi
 Penilaian diskus optikus
 Lapangan pandang

Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14


GLAUKOMA SEKUNDER
• Glaucoma sekunder merupakan glaukoma yang diketahui penyebab yang
menimbulkannya. Hal tersebut disebabkan oleh proses patologis intraokular
yang menghambat aliran cairan mata (cedera, radang, tumor)
• Glaukoma terjadi bersama-sama dengan kelainan lensa seperti :
 Luksasi lensa anterior, dimana terjadi gangguan pengaliran cairan mata ke sudut bilik mata.
 Katarak imatur, dimana akibat mencembungnya lensa akan menyebabkan penutupan sudut bilik
mata.
 Katarak hipermatur, dimana bahan lensa keluar dari lensa sehingga menutupi jalan keluar cairan
mata.
• Glaukoma yang terjadi akibat penutupan sudut bilik mata oleh bagian lensa
yang lisis ini disebut glaukoma fakolitik, pasien dengan galukoma fakolitik akan
mengeluh sakit kepala berat, mata sakit, tajam pengelihatan hanya tinggal
proyeksi sinar.
• Pada pemeriksaan objektif terlihat edema kornea dengan injeksi silier, fler berat
dengan tanda-tanda uveitis lainnya, bilik mata yang dalam disertai dengan
katarak hipermatur. Tekanan bola mata sangat tinggi

Ilyas, Sidarta., 2004. Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006


Tatalaksana Glaukoma Akut
Tujuan : merendahkan tekanan bola mata secepatnya kemudian bila tekanan
normal dan mata tenang → operasi
• Supresi produksi aqueous humor
– Beta bloker topikal: Timolol maleate 0.25% dan 0.5%, betaxolol 0.25% dan
0.5%, levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol 0.3%, dan carteolol 1% dua
kali sehari dan timolol maleate 0.1%, 0.25%, dan 0.5% gel satu kali sehari
(bekerja dalam 20 menit, reduksi maksimum TIO 1-2 jam stlh diteteskan)
– Pemberian timolol topikal tidak cukup efektif dalam menurunkan TIO
glaukoma akut sudut tertutup.
– Apraclonidine: 0.5% tiga kali sehari
– Brimonidine: 0.2% dua kali sehari
– Inhibitor karbonat anhidrase:
• Topikal: Dorzolamide hydrochloride 2% dan brinzolamide 1% (2-3 x/hari)
• Sistemik: Acetazolamide 500 mg iv dan 4x125-250 mg oral (pada
glaukoma akut sudut tertutup harus segera diberikan, efek mulai bekerja
1 jam, puncak pada 4 jam)
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw -Hill, 2007.

Tatalaksana Glaukoma Akut


• Fasilitasi aliran keluar aqueous humor
– Analog prostaglandin: bimatoprost 0.003%, latanoprost 0.005%, dan travoprost 0.004%
(1x/hari), dan unoprostone 0.15% 2x/hari
– Agen parasimpatomimetik: Pilocarpine
– Epinefrin 0,25-2% 1-2x/hari
• Pilokarpin 2% setiap menit selama 5 menit,lalu 1 jam selama 24 jam
– Biasanya diberikan satu setengah jam pasca tatalaksana awal
– Mata yang tidak dalam serangan juga diberikan miotik untuk mencegah serangan
• Pengurangan volume vitreus
– Agen hiperosmotik: Dapat juga diberikan Manitol 1.5-2MK/kgBB dalam larutan 20% atau
urea IV; Gliserol 1g/kgBB badan dalam larutan 50%
– isosorbide oral, urea iv
• Extraocular symptoms:
– analgesics
– antiemetics
– Placing the patient in the supine position → lens falls away from the iris decreasing
pupillary block
• Pemakaian simpatomimetik yang melebarkan pupil berbahaya
55. Trauma Mekanik Bola Mata
• Cedera langsung berupa ruda • Pemeriksaan Rutin :
paksa yang mengenai  Visus : dgn kartu Snellen/chart
jaringan mata. projector + pinhole
• Beratnya kerusakan jaringan  TIO : dgn tonometer
aplanasi/schiotz/palpasi
bergantung dari jenis trauma
serta jaringan yang terkena  Slit lamp : utk melihat segmen
anterior
• Gejala : penurunan tajam  USG : utk melihat segmen
penglihatan; tanda-tanda posterior (jika memungkinkan)
trauma pada bola mata  Ro orbita : jika curiga fraktur
• Komplikasi : dinding orbita/benda asing
 Endoftalmitis • Tatalaksana :
 Uveitis  Bergantung pada berat trauma,
 Perdarahan vitreous mulai dari hanya pemberian
antibiotik sistemik dan atau
 Hifema topikal, perban tekan, hingga
 Retinal detachment operasi repair
 Glaukoma
 Oftalmia simpatetik
Panduan Tatalaksana Klinik RSCM Kirana, 2012
55. HIFEMA
• Definisi:
– Perdarahan pada bilik mata • Tujuan terapi:
depan – Mencegah rebleeding
– Tampak seperti warna (biasanya dalam 5 hari
merah atau genangan pertama)
darah pada dasar iris atau – Mencegah noda darah
pada kornea pada kornea
• Halangan pandang parsial – Mencegah atrofi saraf
/ komplet optik

• Etiologi: pembedahan • Komplikasi:


intraokular, trauma – Perdarahan ulang
tumpul, trauma laserasi – Sinekiae anterior perifer
– Atrofi saraf optik
– Glaukoma
• Tatalaksana:
– Kenali kasus hifema dengan risiko tinggi
– bed rest & Elevasi kepala malam hari
– Eye patch & eye shield
– Mengendalikan peningkatan TIO
– Pembedahan bila tak ada perbaikan / terdapat
peningkatan TIO
– Hindari Aspirin, antiplatelet, NSAID, warfarin
– Steroid topikal (dexamethasone 0.1% atau
prednisolone 
acetate 1% 4x/hari)
– Pertimbangkan siklopegia (atropine 1% 2x/hari,
56. Konjungtivitis
Conjunctivitis is swelling (inflammation) or infection
of the membrane lining the eyelids (conjunctiva)

Pathology Etiology Feature Treatment


Bacterial staphylococci Acute onset of redness, grittiness, topical antibiotics
streptococci, burning sensation, usually bilateral Artificial tears
gonocci eyelids difficult to open on waking,
Corynebacter diffuse conjungtival injection,
ium strains mucopurulent discharge, Papillae
(+)
Viral Adenovirus Unilateral watery eye, redness, Days 3-5 of → worst, clear
herpes discomfort, photophobia, eyelid up in 7–14 days without
simplex virus edema & pre-auricular treatment
or varicella- lymphadenopathy, follicular Artificial tears →relieve
zoster virus conjungtivitis, pseudomembrane dryness and inflammation
(+/-) (swelling)
Antiviral →herpes simplex
virus or varicella-zoster
virus
http://www.cdc.gov/conjunctivitis/about/treatment.html
Pathology Etiology Feature Treatment
Fungal Candida spp. can Not common, mostly occur in Topical antifungal
cause immunocompromised patient,
conjunctivitis after topical corticosteroid and
Blastomyces antibacterial therapy to an
dermatitidis inflamed eye
Sporothrix
schenckii
Vernal Allergy Chronic conjungtival bilateral Removal allergen
inflammation, associated atopic Topical antihistamine
family history, itching, Vasoconstrictors
photophobia, foreign body
sensation, blepharospasm,
cobblestone pappilae, Horner-
trantas dots
Inclusion Chlamydia several weeks/months of red, Doxycycline 100 mg PO
trachomatis irritable eye with mucopurulent bid for 21 days OR
sticky discharge, acute or Erythromycin 250 mg
subacute onset, ocular irritation, PO qid for 21 days
foreign body sensation, watering, Topical antibiotics
unilateral ,swollen lids,chemosis
,Follicles
KONJUNGTIVITIS VIRAL
• Adenovirus: • Konjungtivitis viral lain:
– Riwayat pajanan pada – HSV  disertai vesikel
keluarga, teman sekolah, pada palpebra / wajah,
atau rekan kerja keratitis dendritik
– Keluhan mata gatal, merah, – Varicella  lesi papular
berair, sensasi benda asing kecil pada tepi palpebra /
– Edema palpebra limbus yang dapat menjadi
– Sekret serosa pustul
– Folikel bilateral – Herpes zoster oftalmika 
keterlibatan kulit sesuai
– Bisa terdapat adenopati pola dermatomal
preaurikular
– Konjungtivitis akut
– Bisa terjadi keratitis hemoragik  disertai
epitelial punktata perdarahan di bawah
konjungtiva bulbar
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
Tatalaksana
• Umumnya suportif
• Simptomatik:
– Kompres dingin
– Lubrikan: air mata buatan
– Vasokonstriktor & antihistamin topikal dapat digunakan pada gatal
yang berat, namun manfaat minimal & bisa menimbulkan rebound
gejala
• Spesifik etiologik:
– Adenovirus  povidon iodin 0.8% (studi in vitro)
– HSV  antiviral topikal
– VZV  asiklovir oral (5x600-800 mg, selama 7-10 hari)
• Antibiotik topikal  hanya pada kasus-kasus yang berisiko / telah terdapat
superinfeksi bakteri

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
Tatalaksana
• Edukasi:
– Mencuci tangan
– Izin kerja / sekolah
– Jangan menyentuh mata, bersalaman, berbagi handuk
– Jangan memakai lensa kontak
– Edukasi pasien untuk mengambil langkah pencegahan penularan
minimal selama 2 minggu atau jika mata masih merah dan berair
• Follow-up: kembali dalam 1-3 minggu, atau lebih dini bila terjadi
perburukan
• Konsultasi spesialis mata bila:
– Terdapat keterlibatan kornea (ulserasi, keratitis)
– Respons terapi kurang baik
– Infeksi HSV
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf E-mail: sdhawan@sdhawan.com

57. Cataract
• Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes
diminution or impairment of vision
• Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity
• Etiological classification :
 Senile
 Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution)
 Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency,
hypocalcemia)
 Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone)
 Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia,
intraocular neoplasia
 Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV)
 Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids)
 Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis)
 Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome)
 Hereditary
 Secondary cataract
• Morphological classification : • Sign & symptoms:
 Capsular – Near-sightedness (myopia
 Subcapsular shift) Early in the
 Nuclear development of age-related
cataract, the power of the
 Cortical lens may be increased
 Lamellar – Reduce the perception of
 Sutural blue colorsgradual
• Chronological classification: yellowing and opacification of
 Congenital (since birth) the lens
 Infantile ( first year of life) – Gradual vision loss
 Juvenile (1-13years) – Almost always one eye is
 Presenile (13-35 years) affected earlier than the
other
 Senile
– Shadow test +
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2006

KATARAK-SENILIS
• Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun
• Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak
• Etiologi :belum diketahui secara pastimultifaktorial:
 Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetik
 Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat mempunyai efek buruk terhadap serabu-serabut lensa.
 Faktor imunologik
 Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi, gangguan permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi cahaya
matahari.
 Gangguan metabolisme umum
• 4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at this stage, lens may become swollen due to
continued hydration  ‘intumescent cataract’), matur, hipermatur
• Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang
• Penyulit : Glaukoma, uveitis
• Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
BEDAH KATARAK
Lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau
ekstrakapsular:
•Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK) :
 Mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsulnya
 Tidak boleh dilakukan pada pasien usia <40thn, yang masih mempunyai ligamen
hialoidea kapsular
•Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK):
 Dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior
sehingga massa lensa dapat keluar melalui robekan tersebut
 Dilakukan pada pasien muda, dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti,
implantasi lensa intraokuler posterior, perencanaan implastasi sekunder lensa
intraokuler, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma, mata dengan predisposisi
terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya pasien mengalami ablasio retina, mata
dengan makular edema, pasca bedah ablasi.
•Fakofragmentasi dan Fakoemulsifikasi : teknik ekstrakapsular menggunakan getaran
ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi lumbus yang kecil

Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata


Bedah Katarak
• Lensa intraokuler salah satu koreksi penglihatan pasca operasi
yang paling sering digunakan.
• Tidak perlu melepaskan lensa kontak, mengurangi serta
mencegah distorsi lapang pandang
• Indikasi :
 Pada katarak monokuler, hemiplegia, memerlukan visus baik, manula
• Kontraindikasi :
 Tidak dapat dipasang pada gangguan endotel kornea, glaukoma tidak
terkontrol, rubeosis iridis, uveitis berulang, retinopati diabetik
proliferatif, penderita yang senang lensa kontak atau kacamata atau
menolak dipasang

Vaughn, Oftalmologi Umum


58. TAJAM PENGLIHATAN
• Bila tajam penglihatan 6/6: dapat melihat huruf pada
jarak 6 meter, yang oleh orang normal dapat dilihat
pada jarak 6 mtr
• Bila tidak dapat melihat huruf terbesar pada kartu
Snellen : dilakukan uji hitung jari pemeriksa dengan
dasar putih. Jari dapat terlihat oleh orang normal
pada jarak 60 mtr
• Bila pasien tidak dapat menghitung jari pada jarak 1
mtr → uji lambaian tangan. Orang normal dapat
melihat lambaian tangan pada jarak 300mtr. Bila
mata hanya dapat melihat pada jarak 1mtr : visus
1/300
• Bila hanya mengenal adanya sinar : 1/~
59. Funduskopi
Direk Indirek
Sifat bayangan tegak Terbalik
Pembesaran 15x 4-5x
Lapang pandang kecil Lebih besar
Hal-hal khusus Refleks macula dan detail General view
retina lebih jelas
Non stereoskopik Stereoskopik, penting pada
Tidak berfungsi pada ablatio retina
kekeruhan media Masih dapet
memperlihatkan gambaran
fudus meskipun media
keruh
Normal Funduscopy

normal
Normal Ocular Fundus

Vessels:
Arterial/venous
Arterioles
diameter ratio 2 to 3;
the arteries appear a
bright red, the veins a
slightly purplish Optic cup
colour.
Fovea

Optic disc

Vein
Disc: Clear outline
optic cup is pale and
centrally located.
Normal cup/disc ratio
0,3 s.d <0.5

http://cms.revoptom.com/osc/3146/Analysis.jpg
 Retina: Normal red/orange
colour, macula is dark. The
macula is approximately 2
disc diameters away from disc
and 1.5 degrees below
horizon.
What to observe

• Optic disc- colour/size/edges


• Cup – size
• Blood vessels – number/width/tortuosity
• Macular / fovea
• Other findings –hemorrhages, soft and hard
exudates, edema
Flame-shaped hemorrhage

Microaneurysm / dot blot hemorrhage


Macular edema
Neovascularization
hard exudate, Hard exudate (infiltrasi lipid ke dalam retina akibat dari peningkatan
permeabiitas kapiler), warna kekuningan
soft exudate/ Soft exudate (cotton wall patches) adalah iskemia retina tampak sebagai
cotton wool spot bercak kuning bersifat difus / warna putih

flame Rupture of superficial pre-capillary arterioles, small veins. Causes:


hemorrhage Systemic hypertension, leukemia, severe anemia, thrombocytopenia,
retinal vein occlusion, trauma
dot hemorrhage Rupture of deep capillaries or venules. They are common in diabetes.
Pada retina terjadi mikroaneurisma (penonjolan dinding kapiler)
Perdarahan dalam bentuk titik, garis, bercak yang letaknya dekat dengan
mikroaneurisma di polus posterior (dot hemorrhage)

Boat Rupture of large superficial retinal veins into the space between the
Hemorrhage retina and vitreous; sometimes these bleeds break into the vitreous
cavity. Causes: Sudden increase in intracranial pressure, anemia,
thrombocytopenia, trauma
drusen Tiny yellow or white accumulations of extracellular material that build
up between Bruch's membrane and the retinal pigment epithelium of
the eye; scattered around the macular region They are the most
common early sign of dry age-related macular degeneration. Drusen are
made up of lipids
http://www.aao.org/theeyeshaveit/optic-fundus/hemorrhages-table.cfm
Refraktometri Pengukuran kelainan refraksi mata
Tonometri Pengukuran besarnya tekanan bola mata
Keratometri pemeriksaan mata yang bertujuan untuk
mengukur kurvetura/kelengkungan permukaan
kornea anterior, berguna untuk menentukan aksis
dan derajat astigmat
Kampimetri Tes lapang pandang
60. UJI FLUORESEIN

Fluoresens Tes untuk mengetahuia ada/tidaknya defek pada


test epitel kornea
Anel test Tes untuk mengetahui patensi dari duktus
nasolakrimalis
Schimer Tes untuk mengetahui fungsi sekresi kelenjar
lakrimal
Schiotz Salah satu jenis tonometri yang digunakan untuk
mengukur tekanan bola mata
Tonometri Tes untuk mengukur tekanan bola mata
Uji Fluoresein
• Tes untuk mengetahui • Teknik:
adanya kerusakan epitel
– Mata ditetes pantokain
kornea
– Zat fluoresein diteteskan
• Prinsip: pada mata / kertas fluoresein
– Zat warna fluoresein akan ditaruh pada forniks
berubah menjadi warna posterior selama 20 detik
hijau pada media alkali – Zat warna diirigasi dengan
– Zat warna fluoresein bila garam fisiologik sampai
menempel pada epitel seluruh air mata tidak
kornea yang defek akan berwarna hijau lagi
memberikan warna hijau – Dilihat bagian kornea yang
karena jaringan epitel yang berwarna hijau. Defek dapat
rusak akan bersifat lebih berupa bentuk erosi kornea
basa atau infiltrat yang
mengakibatkan kerusakan
epitel
61-62. HORDEOLUM
• Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata
• Infeksi staphylococcus pada kelenjar sebasea
• Gejala: kelopak bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal,
merah, nyeri bila ditekan, ada pseudoptosis/ptosis akibat
bertambah berat kelopak
• Gejala
– nampak adanya benjolan pada kelopak mata bagian atas atau
bawah
– berwarna kemerahan.
– Pada hordeolum interna, benjolan akan nampak lebih jelas
dengan membuka kelopak mata.
– Rasa mengganjal pada kelopak mata
– Nyeri takan dan makin nyeri saat menunduk.
– Kadang mata berair dan peka terhadap sinar.
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
• 2 bentuk :
 Hordeolum internum: infeksi kelenjar Meibom di dalam
tarsus. Tampak penonjolan ke daerah kulit kelopak, pus
dapat keluar dari pangkal rambut
 Hordeolum eksternum: infeksi kelenjar Zeiss atau Moll.
Penonjolan terutama ke daerah konjungtiva tarsal

http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/htxt/Hordeolum.htm

Hordeolum Eksterna Hordeolum Interna


Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
• Pengobatan
– Self-limited dlm 1-2 mingu
– Kompres hangat selama sekitar 10-15 menit, 4x/hari
– Antibiotik topikal (salep, tetes mata), misalnya: Gentamycin,
Neomycin, Polimyxin B, Chloramphenicol
– Jika tidak menunjukkan perbaikan : Antibiotika oral (diminum),
misalnya: Ampisilin, Amoksisilin, Eritromisin, Doxycyclin
– Insisi bila pus tidak dapat keluar
Diagnosis Banding
• Kalazion
– Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom
– Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul
berminggu-minggu.
– Dibedakan dari hordeolum oleh ketiadaan tanda-tanda inflamasi
akut
– Jika sangat besar, kalazion dapat menekan bola mata,
menyebabkan astigmatisma
• Blefaritis
– Radang kronik pada kelopak mata, disebabkan peradangan
kronik tepi kelopak mata (blefaritis anterior) atau peradangan
kronik kelenjar Meibom (blefaritis posterior)
– Gejala: kelopak mata merah, edema, nyeri, eksudat lengket,
epiforia, dapat disertai konjungtivitis dan keratitis
• Selulitis palpebra
– Infiltrat difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut,
biasanya disebabkan infeksi Streptococcus.
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
63. PTERIGIUM
• Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva,
bersifat degeneratif dan invasif
• Terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas
ke daerah kornea
• Mudah meradang
• Etiologi: iritasi kronis karena debu, cahaya
matahari, udara panas
• Keluhan : asimtomatik, mata iritatif, merah,
mungkin terjadi astigmat (akibat kornea
tertarik oleh pertumbuhan pterigium), tajam
penglihatan menurun
• Tes sonde (+)  ujung sonde tidak kelihatan
pterigium
• Pengobatan : konservatif; Pada pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi,
pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Pada pterigium derajat 3-4
dilakukan tindakan bedah
DERAJAT PTERIGIUM
• Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
• Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
• Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
• melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)
• Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan
Kelainan Konjungtiva
Pterigium a benign growth of the conjunctiva commonly grows from the nasal side
of the sclera, wedge shaped area of
fibrosis that appears to grow into the
cornea. Symptoms: foreign body
sensation, tearing, redness
Pinguecula a common type of conjunctival degeneration in the a yellow-white deposit on the
eye conjunctiva adjacent to the limbus
(the junction between the cornea
and sclera). Usually no symptoms
Episkleritis a benign, self-limiting inflammatory disease affecting characterized by the abrupt onset of
part of the eye called the episclera (is a thin layer of eye pain and redness
tissue that lies between the conjunctiva and the
connective tissue layer that forms the white of the
eye)
Pseudopterigium Adhesion of the conjunctiva to the peripheral cornea. May occur on any quadrant of the
may result from a peripheral corneal ulcer and ocular cornea, Lacks firm adhesion
surface inflammation such as cicatrizing throughout the underlying
conjunctivitis, chemical burns, or may also occur structures, and occasionally has a
secondary to chronic mechanical irritation from broad leading edge on the corneal
contact lens movement surface.
Konjungtivitis inflammation of the conjunctiva (the outermost layer Red eye, epiphora, chemosis, normal
of the eye and the inner surface of the eyelids) visual acuity
64. ULKUS KORNEA
• Ulkus kornea adalah hilangnya • Gejala Subjektif
– Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
sebagian permukaan kornea
– Sekret mukopurulen
akibat kematian jaringan kornea – Merasa ada benda asing di mata

• ditandai dengan adanya infiltrat Pandangan kabur
– Mata berair
supuratif disertai defek kornea – Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
bergaung, dan diskontinuitas – Silau
jaringan kornea yang dapat terjadi – Nyeri
dari epitel sampai stroma. – nfiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit
nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer kornea dan
• Etiologi: Infeksi, bahan kimia, tidak disertai dengan robekan lapisan epitel
kornea.
trauma, pajanan, radiasi, sindrom
sjorgen, defisiensi vit.A, obat- • Gejala Objektif
obatan, reaksi hipersensitivitas, – Injeksi siliar
– Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya
neurotropik infiltrat
– Hipopion
ULKUS KORNEA
• Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 Penatalaksanaan :
: – harus segera ditangani oleh
1. Ulkus kornea sentral spesialis mata
– Ulkus kornea bakterialis – Pengobatan tergantung
penyebabnya, diberikan obat
– Ulkus kornea fungi tetes mata yang mengandung
– Ulkus kornea virus antibiotik, anti virus, anti
– Ulkus kornea acanthamoeba jamur,
2.Ulkus kornea perifer – sikloplegik
– Mengurangi reaksi
– Ulkus marginal
peradangan dengan steroid.
– Ulkus mooren (ulkus – Berikan analgetik jika nyeri
serpinginosa kronik/ulkus
– Jangan menggosok-gosok
roden) mata yang meradang
– Ulkus cincin (ring ulcer) – Mencegah penyebaran infeksi
dengan mencuci tangan
An inflammatory or more seriously, infective condition of the cornea
involving disruption of its epithelial layer with involvement of the
corneal stroma
Causative Agent Feature Treatment
Fungal Fusarium & candida species, conjungtival Natamycin,
injection, satellite lesion, stromal infiltration, amphotericin B,
hypopion, anterior chamber reaction Azole derivatives,
Flucytosine 1%
Protozoa infection associated with contact lens users swimming in
(Acanthamoeba) pools
Viral HSV is the most common cause, Dendritic Acyclovir
lesion, decrease visual accuity
Staphylococcus Rapid corneal destruction; 24-48 hour, stromal Tobramycin/cefazol
(marginal ulcer) abscess formation, corneal edema, anterior in eye drops,
segment inflammation. Centered corneal ulcers. quinolones
Pseudomonas
Traumatic events, contact lens, structural (moxifloxacin)
Streptococcus malposition
connective tissue RA, Sjögren syndrome, Mooren ulcer, or a
disease systemic vasculitic disorder (SLE)
Ulkus kornea Bakterial
• Ulkus kornea pneumokokal • Ulkus kornea pseudomonas
– Streptokokus pneumonia
– Muncul 24-48 jam setelah – Pseudomonas aeruginosa
inokulasi pd kornea yg abrasi – Awalnya berupa infiltrat kelabu/
– Ulkus kelabu batas cukup tegas, kuning di tempat yang retak
cenderung menyebar secara
teratur dari tempat infeksi ke – Terasa sangat nyeri
sentral kornea – Menyebar cepat ke segala arah
– Efek merambat  ulkus
serpiginosa akut krn adanya enzim proteolitik dr
– Obat: mofifloxacin, gatifloxacin, organisme
cefazolin – Infiltrat dan eksudat mungkin
• Ulkus kornea stafilokokus berwarna hijau kebiruan
– Ulkus sering indolen, mungkin – Berhubungan dengan penggunaan
disertai sedikit infiltrat dan
hipopion soft lens
– Ulkus seringkali superfisial – Obat: mofifloxacin, gatifloxacin,
– Obat: vankomisin siprofloksasin, tobramisin,
gentamisin
65. HIPERMETROPIA
• Gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar
sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina (di belakang
makula lutea)
• Etiologi :
– sumbu mata pendek (hipermetropia aksial),
– kelengkungan kornea atau lensa kurang (hipermetropia
kurvatur),
– indeks bias kurang pada sistem optik mata (hipermetropia
refraktif)
• Gejala : penglihatan jauh dan dekat kabur, sakit kepala,
silau, rasa juling atau diplopia

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas ; dasar – teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata, sidarta Ilyas
HIPERMETROPIA
• Pengobatan : koreksi dimana tanpa
siklopegia didapatkan ukuran lensa
positif maksimal yang memberikan
tajam penglihatan normal (6/6), hal ini
untuk memberikan istirahat pada mata.
• Jika diberikan dioptri yg lebih kecil,
berkas cahaya berkonvergen namun
tidak cukup kuat sehingga bayangan
msh jatuh dibelakang retina, akibatnya
lensa mata harus berakomodasi agar
bayangan jatuh tepat di retina.
• Contoh bila pasien dengan +3.0 atau
dengan +3.25 memberikan tajam
penglihatan 6/6, maka diberikan
kacamata +3.25

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas


BENTUK HIPERMETROPIA
• Hipermetropia total = laten + manifest
– Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia
• Hipermetropia manifes = absolut + fakultatif
– Yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal dengan hasil visus 6/6
– Terdiri atas hipermetropia absolut + hipermetropia fakultatif
– Hipermetropia ini didapatkan tanpa siklopegik
• Hipermetropia absolut :
– “Sisa”/ residual dari kelainan hipermetropia yang tidak dapat diimbangi
dengan akomodasi
– Hipermetropia absolut dapat diukur, sama dengan lensa konveks terlemah
yang memberikan visus 6/6

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas


BENTUK HIPERMETROPIA
• Hipermetropia fakultatif :
– Dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi sepenuhnya dengan
akomodasi
– Bisa juga dikoreksi oleh lensa
– Dapat dihitung dengan mengurangi nilai hipermetrop manifes –
hipermetrop absolut
• Hipermetropia laten:
– Hipermetropia yang hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia
– bisa sepenuhnya dikoreksi oleh tonus otot siliaris
– Umumnya lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa.
– Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten, makin tua akan
terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi
fakultatif dan kemudia menjadi absolut

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas & Manual of ocular diagnosis and therapy
• Contoh pasien hipermetropia, 25 tahun, tajam
penglihatan OD 6/20
– Dikoreksi dengan sferis +2.00  tajam penglihatan OD 6/6
– Dikoreksi dengan sferis +2.50  tajam penglihatan OD 6/6
– Diberi siklopegik, dikoreksi dengan sferis +5.00  tajam
penglihatan OD 6/6
ARTINYA pasien memiliki:
– Hipermetropia absolut sferis +2.00 (masih berakomodasi)
– Hipermetropia manifes Sferis +2.500 (tidak berakomodasi)
– Hipermetropia fakultatif sferis +2.500 – (+2.00)= +0.50
– Hipermetropia laten sferis +5.00 – (+2.50) = +2.50
66. Congenital Nasolacrimal Duct
Obstruction (CNDO)
• Embriology
– This condition affects nearly 20 % of all newborns
– The development of the lacrimal drainage system begins at
approximately 6 weeks of gestation
– Communication between the lacrimal drainage system and
the nose occurs at the end of the sixth month.
– Tears are normally produced a few weeks after birth;
hence nasolacrimal duct (NLD) obstruction may not be
recognised until several weeks after birth.

• Etiology :
– Most commonly, this is due to the presence of a
membrane at the level of the valve of Hasner, which is
present at the nasal opening of the nasolacrimal duct
Murthy R. Congenital Nasolacrimal Duct Obstruction (CNLDO). Kerala Journal of Ophthalmology. 2007.9:2
Congenital nasolacrimal duct obstruction

Epiphora and matting Infrequently acute dacryocystitis


Treatment
• one third: bilateral
• Role out congenital glaucoma 
fotophobia
• Conservative management by
massage can be done safely upto 1
year of age;
• the reason being most of the cases
(96 %) will resolve within the first
year of life
• Massage of nasolacrimal duct: 10
strokes 4 times a day
• antibiotic drops 4 times daily for
mucopurulent discharge
• If no improvement - probe at 12
months
• Results - 90% cure by first probing
, 6% by repeated probing
Kelainan Definisi Tanda dan Gejala

Dakriosistitis Radang skus lakrimalis, biasanya dimulai Epifora, sakit hebat di daerah kantung air mata, demam,
oleh terdapatnya obsruksi duktus terdapat pembengkakan kantung air mata, merah di
nasolakrimalis daerah sakus lakrimal, nyeri tekan, sekret mukopurulen
bila kantung air mata ditekan

Dakrioadenitis Radang kelenjar lakrimal, penyakit Sakit pada glandula lakrimal yaitu di bagian temporal atas
jarang, dapat unilateral atau bilateral rongga orbita disertai kelopak mata bengkak, konjungtiva
kemotik, mata kotor, mata nyeri bila bergerak, bila kelopak
mata dibalik tampak pembengkakan berwarna merah di
bawah kelopak mata atas temporal
Dry eye syndrome a condition in which there are symptoms of irritated, gritty, scratchy, or burning eyes, a
insufficient tears to lubricate and nourish feeling of something in their eyes, excess watering, and
the eye blurred vision
Sub conjunctival also known as hyposphagma, is bleeding initially appears bright-red underneath the transparent
bleeding underneath the conjunctiva. May be conjunctiva. Later, the hemorrhage may spread and
caused by a sudden or severe sneeze or become green or yellow, like a bruise. Usually this
cough, or due to hypertension or as a disappears within 2 weeks
side effect of blood thinners
Obstruksi duktus penyumbatan duktus nasolakrimalis Mata berair, akumulasi mukus pada mata atau kelopak
nasolakrimalis (saluran yang mengalirkan air mata dari mata, konjungtivitis kronis dan rekuren, Tekanan pada
sakus lakrimalis ke hidung) kantung lakrimal dapat menimbulkan regurgitasi mukus
dan air mata dari pungtum

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas


67. Bell’s Palsy
68. Trauma Medula Spinalis
• Terjadi jika medula spinalis mengalami kompresi atau gangguan
vaskularisasi atau adanya subluksasi vertebrae.
• Penyebab tersering: kecelakaan lalu lintas, kekerasan, terjatuh, atau
cedera olahraga.
• Gejala: tergantung lokasi dan berat cedera
– Cedera komplit: tidak ada fungsi medula spinalis di bawah lesi.
– Cedera parsial: masih ada sebagian fungsi medula spinalis di bawah lesi.
• Gejala lain: nyeri di area cedera, paralisis extrimitas, nyeri pada kulit,
hilangnya kontrol berkemih dan defekasi, disfungsi seksual.
• Tatalaksana:
– Minimalisasi cedera lanjutan: realigned dan imobilisasi, steroid segera
mungkin.
– Rehabilitasi: setelah stabil fisioterapi dan terapi okupasi
– Komplikasi jangka lama: ulkus dekubitus, ISK, kontraktur dan atropi
otot-otot ekstrimitas.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/tuto rials/spinalcordinjury/nr259103.pdf
Spinal Shock
• Definisi: kondisi neurologis lokal sementara yang muncul segera setelah
adanya cedera medula spinalis.
• Pembengkakan dan edema dari medula spinalis terjadi 30 menit setelah
benturan dan dapat mengakibatkan gangguan konduksi saraf.
• Nyeri berat dapat dirasakan pada area tepat di atas lesi, berkaitan dengan
peningkatan sensitifitas nyeri.
• Gejala antara lain: paralisis flacid, atonia, flacid sphincter dan tidak ada
refleks di bawah lesi. Tidak dapat merasakan nyeri, suhu, perabaan,
proprioseptif atau tekanan di bawah lesi. Terdapat pula gangguan
termoregulasi, sensasi somatik/viseral di bawah lesi, distensi usus dan ileus
paralitik.
• Spinal shock dapat berlangsung dalam hitungan jam hingga minggu
tergantung masing-masing pasien.
• Pemberian steroid harus dilakukan dalam waktu 8 jam setelah kejadian.
Protokol: metilprednisolon 30mg/kg bolus dalam 15 menit, dilanjutkan
5,4mg/kg/h IV, dimulai 45 menit setelah pemberian bolus.
Upper vs Lower motor neuron
• Upper motor
neuron
– Lesi berada di atas
sel anterior horn
(spinal cord, batang
otak, motor cortex
• Lower motor
neuron
– Lesi berada dari sel
anterior horn ke
distal (root, pleksus,
saraf perifer)
Upper vs Lower Motor Neuron
Upper Lower
Hipertonus (spastis) Hipotonus (flacid)
Hiper refleks dan clonus Hiporefleks
Refleks patologis (+) Refleks patologis (-)
Kelemahan otot “pyramidal pattern”  kelemahan otot fleksor
Kelemahan ekstensor pada upper limb,
dan kelemahan fleksor pada lower limb
Atropi minimal Atropi nyata dan jelas
Tidak ada fasikulasi Ada fasikulasi
Gangguan sensori bisa ditemukan
69. Tension Type Headache
• Sakit kepala yang berkaitan dengan kondisi stress,
self-limited, intensitas sedang, dan respon
terhadap obat baik
• Tanda dan gejala:
– Non pulsatile, cramp-like ache (seperti diikat)
– Lokasi frontal-oksipital
– Bilateral, dan intensitas nyeri ringan-sedang
– Tidak memberat dengan aktivitas, namun
mengganggu konsentrasi
– Durasi selama 30 menit
– Kaku otot leher, occipital dan frontal
70-71. Epidural Hematom
• Epidural hematom adalah terkumpulnya darah
dibawah tengkorak sehingga memisahkan
bagian duramater
• Kejadian disebabkan adanya
benturan keras pada kepala
dan merobek arteri
meningea media
• Kasus-kasus ini memiliki
prognosis yang baik bila
segera ditangani
Epidural Hematom
• Tanda dan Gejala
– Lucid interval  periode perbaikan kesadaran
pasien sementara sebelum terjadi perburukan
pada kasus cedera kepala
– Cushing syndrome (hipertensi, bradikardia, dan
bradipnea)  akibat peningkatan tekanan
intrakranial
– Koma
– sakit kepala, muntah, kejang
Epidural hematom
• CT scan tanpa kontras  adanya densitas
berbatas tegas, biconvex, bulat , biasanya tidak
melewati sutura sagitalis
• Terapi
– Manajemen ABC
– Elevasi kepala 300
– Dekompresi tekanan
• Surgical
• Osmotik (manitol)
– Cairan resusitasi NaCL
72. Gangguan Neurologis
• Alexia
– gangguan memahami bahasa tertulis
• Agnosia
– gangguan untuk mengenali objek, orang, suara, bentuk, dan bau ketika
tidak ditemukannya kerusakan pada indera
• Aphasia
– gangguan memahami dan membentuk bahasa
• Apraxia
– gangguan untuk melakukan gerakan yang memiliki tujuan, tanpa ada
deformitas pada ekstremitas
• Agraphia
– gangguan untuk berkomunikasi dalam bentuk tulisan, atau tidak bisa
mengeja
• Dysarthria
– gangguan artikulasi (melafalkan) sebuah kata
73. Trigeminal Neuralgia
• Merupakan sindrom nyeri pada wajah yang bersifat
berulang dan kronik.
• Gejala khas
– Nyeri unilateral pada wajah sesuai area persarafan nervus V
dan sering disertai spasme wajah atau tic
– Tidak ada defisit neurologis
• Kriteria diagnosa berdasarkan International Headache
Society 2004
– Nyeri dengan serangan paroksismal, dapat berlansung sesaat
hingga 2 menit, melibatkan satu atau lebih dari area nervus V
dengan memenuhi 2 kriteria berikut
• Nyeri minimal memiliki 1 ciri berikut: intens, tajam, superfisial
(terlokalisir), dipicu oleh rangsangan pada area N.V
• Serangan nyeri berbeda2 untuk setiap individu
• Tidak ada defisit neurologis
• Tidak berhubungan dengan kondisi medis lain
Trigeminal Neuralgia
• Terapi
– Antiepileptic drug 
Carbamazepin
– Non-antiepileptic drug
 baclofen
– Pembedahan
74. Ankylosing Spondilitis
• Merupakan inflamasi multisistem yang kronik
pada sendi sakroiliaka dan tulang belakang
• Sendi-sendi perifer, organ ekstra-artrikular seperti
mata, kulit, jantung dapat terlibat dengan derajat
radang yang lebih ringan
• Riwayat penyakit:
– Low back pain yang muncul bertahap
– Usia <40 tahun
– Gejala berlansung >3 bulan
– Gejala memberat saat pagi hari atau beristirahat
– Gejala berkurang dengan latian
Ankylosing Spondilitis
• Gambaran radiologi
– Bamboo spine 
proses osifikasi cincin
fibrosa pada ligamen
tulang belakang akan
membentuk
syndesmophyte yang
lama kelamaan akan
menyebabkan fusi
pada tulang belakang
No. 75

Glasgow Coma Scale


(GCS)
76. Fraktur basis kranii
• Adalah retaknya tengkorak kepala pada bagian
tulang frontal, kribiformis ethomoidalis,
spneoidalis, oksipital, dan temporal
• Fraktur basis kranii dibagi 3 regio
– Anterior  sinus paranasal, lempeng kribiformis,
atap tulang orbital
– Medial  tulang temporal
– Posterior  fraktur clivus dan tulang oksipital
Fraktur Basis Kranii
• Gejala dan tanda
– Merembesnya cairan serebrospinal
– Darah dibelakang gendang telinga atau pada
mastoid (battle sign)
– Hematoma dibelakang mata/disekitar mata
(raccoon’s eye)
– Facial palsy
– Gangguan pendengaran, penglihatan, dan
penghidu
Fraktur Basis Kranii
• Regio anterior  paling sering retak, sering
menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal (tulang
ethmoidalis)
• Regio media  paling sering menyebabkan cedera
N.VII, dan gangguan pada telinga
• Regio posterior  jarang terjadi
Manajemen:
• CT scan untuk menentukan lokasi
fraktur
• kebanyakan akan sembuh
sendiri, kecuali bila terjadi
kebocoran cairan serebrospinal
Fr. basis cranii
(fossa anterior):

• Dibatasi oleh; os.spenoid, procesus


clinoidalis anterior, dan jagum
spenoidalis.
• Manifestasi / tanda gejalanya terjadi
perlahan 12-24 jam
tanda-tanda klinis :
• Ekimosis periorbital (Racoon
Eyes/brill hematome),
• Tidak disertai cedera lokal),
• Hematome subconjungtiva;
anosmia (Gg. N.olfactorius),
Rhinorea (Kebocoran CSS) dg
tanda pemeriksaan trdpt
`Halo - sign` pd kertas tissue
• Gangguan Visus (Gg.N.optikus)
Fraktur basis cranii
(fossa media) :

• Dibatasi oleh; os.temporalis,


procesus clinoidalis posterior,
dan dorsum sella.
• Tanda-gejala; echymosis mastoid
(battle sign), othorrea,
hematompanum, sakit kepala,
Gg.visus dan gerak bola mata.
• 25% Gg.N.VII, N.VIII.
Fraktur basis cranii
(fossa posterior) :
• Merupakan dasar kompartemen
infratentorial
• Sering tidak disertai tanda yg jelas
namun segera menimbulkan
kematian

Penekanan batang otak


77. Meningitis
• Meningitis adalah infeksi pada selaput otak
• Meningitis dapat dibagi menjadi 3 kategori:
– Piogenik (hemofilus meningitis, pneumococcus)
– Granulomatous (fungal, TBC, sarcaidosis)
– Aseptik
• Gejala dan tanda (trias meningitis):
– demam
– Kaku kuduk
– Perubahan status mental
Meningitis
• Diagnosis
– Lumbal puncture
– CT-scan bila  pasien tua, imunodefisiensi,
kejang, gangguan neurologis
Meningitis Tuberkulosa
• Merupakan penyebaran secara hematogen
dari infeksi primer di paru-paru
• Terapi pada meningitis TB
– OAT
• Fase intensif RHZE selama 2 bulan
• Fase lanjutan RH selama 7-10 bulan
– Dexamethasone 0.6mg/kg/hari selama 2-3minggu
(pada anak)
78. Epilepsi
• Idiopatik
– Penyebab tidak diketahui, umumnya mempunyai
predisposisi genetik
• Kriptogenik
– Dianggap simtomatik, tapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini: Sindrom West, sindrom Lennox-Gastault,
dan epilepsi mioklonik
• Simtomatik
– Disebabkan lesi pada SSP, misal cedera kepala, infeksi SSP,
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah, toksik, metabolik, kelainan neurodegeneratif
79. Jenis-Jenis Aphasia
• Kerusakan hemispher sebelah kiri akan
mengganggu kemampuan berbahasa baik tulisan
maupun lisan, dan pemahaman maupun
pernyataan sebuah kalimat.
• Gangguan aphasia terdiri dari 4 jenis
– Gangguan pemahaman  dapat menyadari orang
sedang berbicara, mengerti intonasi, tetapi SULIT
memahami beberapa kata tertentu atau gabungan
kata-kata
– Wernicke’s aphasia (sensorik) gangguan
pemahanan bahasa yang lebih berat, ditandai dengan
sulitnya memahami kata-kata dan kalimat
Jenis-jenis Aphasia
– Broca’s aphasia  gangguan dalam membentuk
sebuah kalimat lengkap
– Global aphasia  gangguan baik dalam memahami
dan membentuk sebuah kalimat
• Yang sering disalah artikan pada wernicke’s
aphasia adalah pasien dianggap hanya tidak
mengerti sebuah kalimat, tapi bisa membentuk
kalimat dengan baik.
Jenis-jenis aphasia
• Pada wernicke’s aphasia, pasien juga memiliki kesulitan
untuk membentuk sebuah kalimat yang ingin disampaikan,
– contoh ketika ditanya “sudah makan?” Pasien menjawab “jol-
jol ke pasar” pasien tidak sadar telah menggunakan kata yang
tidak dimengerti lawan bicara dan tidak nyambung
• Sedangkan pada broca’s aphasia, pasien mengerti
pertanyaan namun kalimat yang muncul tidak beraturan,
– contoh “jalan-jalan kemana?” pasien jawab “aku jalan pasar”.
Pasien mengerti pertanyaan, dan menjawab sesuai
pertanyaan, namun gagal membentuk kalimat yang lengkap
80. Penyalahgunaan Opioid
• Pada kondisi penyalahgunaan opioid gejala dan tanda
yang muncul
– Mengantuk, miosis, bicara pelo
– Kondisi berat  depresi nafas dan koma
– Gangguan withdrawal:
• Gangguan autonom  diare, berkeringat, menggigil, mual muntah
• Saraf pusat  insomnia, sulit istirahat, tremor
• Pain  kram oto perut
• Dan ingin menggunakan obat lagi
• Pengobatan
– Intoksikasi opioid  naloxone
– Ketergantungan opioid  Methadone 20-30 mg/hari,
buprenorphine
Methadone Treatment
Outcome Data: • Increased employment
• 8-10 fold reduction in • Improved physical and
death rate mental health
• Reduction of drug use • Reduced spread of HIV
• Reduction of criminal • Excellent retention
activity
• Engagement in socially
productive roles;
improved family and
social function
Methadone vs Heroin
• Can be taken by mouth • Long acting; prevents
• Slow onset of action withdrawal for 24-36 hours
• No continuing increase in (4x-6x as long as heroin),
permitting once-a day-
tolerance levels after dosing
optimal dose is reached;
relatively constant dose • At sufficient dosage, blocks
over time euphoric effect of normal
• Patient on stable dose street doses of heroin
rarely experiences euphoric • Medically safe when used
or sedating effects; is able on long-term basis (10 years
to perceive pain and have or more)
emotional reactions; can
perform; can perform daily
tasks normally and safely
Starting dose
Titration
To achieve effective – dose increases should be
maintenance dose: no more than 5–10 mg
at a time
– eliminates withdrawal
symptoms for more than – the interval between
24 hours dose adjustments should
never be less than five
– blocks the euphoric days, but may need to
effects of opioids
be longer due to the
– reduces or eliminates above risk factors
drug craving
– patients should be seen
– does not induce excess frequently (at least
sedation weekly) during titration
phase
• Most patients will achieve stability on
maintenance doses of 60 to 120 mg daily
• Once a daily dose of 80 mg is reached further
dose increases should be made with caution,
not exceeding 10 mg every five to seven days
• Those who receive a dose of 40 mg a day or
less are five times more likely to drop out of
treatment
81. Psikofarmaka
• Antipsikotik:
– 1st gen: klorpromazin, haloperidol.
– 2nd gen: klozapin, risperidone, olanzapine
• Depresi:
– Selective serotonin reuptake inhibitor: Fluoxetine,
sertraline, paroxetine.
– Tricyclic: amitriptiline, doxepine, imipramine
• Manik: lithium, carbamazepine, asam valproat
• Anxiolitik: benzodiazepine, buspirone,
Psikofarmaka
• Key points for using antipsychotic therapy:
1. An oral atypical antipsychotic drug should be considered as
first-line treatment.
2. Choice of medication should be made on the basis of prior
individual drug response, patient acceptance, individual side-
effect profile and cost-effectiveness, other medications being
prescribed and patient co-morbidities.
3. The lowest-effective dose should always be prescribed
initially, with subsequent titration.
4. The dosage of a typical or an atypical antipsychotic medication
should be within the manufacturer’s recommended range.

Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August
Psikofarmaka
• Key points for using antipsychotic therapy:
5. Treatment trial should be at least 4-8 weeks before changing
antipsychotic medication.
6. Antipsychotic medications, atypical or conventional, should
not be prescribed concurrently, except for short periods to
cover changeover.
7. Treatment should be continued for at least 12 months, then if
the disease has remitted fully, may be ceased gradually over
at least 1-2 months.
8. Prophylactic use of anticholinergic agents should be
determined on an individual basis and re-assessment made at
3-monthly intervals.
9. A trial of clozapine should be offered to patients with
schizophrenia who are unresponsive to at least two adequate
trials of antipsychotic medications.

Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August
Psikofarmaka
Efficacy
1. Positive Symptoms:
With the exception of clozapine, no differences have been
clearly shown in the efficacy of typical and atypical agents
in the treatment of positive symptoms (eg, hallucinations,
delusions, disorganization). Clozapine is more effective
than typical agents.

2. Negative Symptoms:
Atypical agents may be more effective in the treatment of
negative symptoms (eg, affective flattening, anhedonia,
avolition) associated with psychotic disorders.

Psychotropic drug handbook. 2007.


82. Gangguan Somatoform
• Dalam DSM IV, gangguan somatoform meliputi:
– Gangguan somatisasi
– Gangguan konversi
– Hipokondriasis
– Gangguan dismorfik tubuh
– Gangguan nyeri somatoform

• Gangguan Dismorfik Tubuh


– ditandai oleh preokupasi adanya cacat pada tubuhnya hingga
menyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna secara
klinis.
– Jika memang ada kelainan fisik yang kecil, perhatian pasien pada
kelainan tersebut akan dilebih-lebihkan.

Sadock BJ, Sadock VA. Somatoform disorders. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 10th ed. Philadelphia: Lipincott William
& Wilkins; 2007. p.634-51.
Gangguan Somatoform
Diagnosis Karakteristik
Gangguan somatisasi Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1
seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis Keyakinan ada penyakit fisik.

Disfungsi otonomik Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat,


somatoform tremor, flushing.

Nyeri somatoform Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.

Gangguan Dismorfik Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya


Tubuh Jika memang ada kelainan fisik yang kecil,
perhatian pasien pada kelainan tersebut akan
dilebih-lebihkan

PPDGJ
83. Reaksi Terhadap Stres Berat
• Gangguan stres pascatrauma
– kondisi yang ditandai oleh munculnya gejala
(gangguan otonomik, afek, & tingkah laku) setelah
melihat, mengalami, atau mendengar peristiwa
traumatis dalam kurun waktu 6 bulan.

• Gangguan stres akut


– Gangguan yang serupa dengan gangguan stres
pascatrauma, yang muncul segera setelah kejadian
Reaksi Terhadap Stres Berat
• Kriteria Diagnosis reaksi stres pascatrauma
– Individu terpajan situasi (melihat, mengalami, menghadapi)
yang melibatkan ancaman kematian atau cedera serius atau
ancaman lain yang serupa.
– Adanya bayang-bayang kejadian yang persisten, berupa
gambaran, pikiran, persepsi, atau mimpi buruk. Individu
mengalami gejala penderitaan bila terpajan pada ingatan akan
trauma aslinya.
– perilaku menghindar dari bayang-bayang dan pikiran tentang
kejadian traumatis (termasuk orang, tempat, dan aktivitas), dan
dapat tidak ingat aspek tertentu dari kejadian.
– Adanya gejala peningkatan kesiagaan yang berlebih seperti
insomnia, iritabililta, sulit konsentrasi, waspada berlebih.
– Gejala menyababkan hendaya pada fungsi sosial atau pekerjaan.
84. Ansietas Masa Kanak
• Gangguan ansietas perpisahan masa kanak:
– Ansietas berkaitan dengan perpisahan dari tokoh yang
akrab (orang tua atau kerabat)
– Bentuk ansietas:
• Kekhawatiran mendalam tokoh itu pergi & tidak kembali
• Enggan masuk sekolah karena takut berpisah
• Terus-menerus enggan/menolak tidur tanpa ditemani tokoh
kesayangannya tsb
• Terus-menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggal seorang
diri)
• Mimpi buruk berulang tentang perpisahan.
• Sering timbul gejala fisik (rasa mual, sakit kepala, sakit perut,
muntah) pada peristiwa perpisahan.
• Rasa susah berlebihan pada saat sebelum, selama, atau sehabis
berlangsungnya perpisahan.

PPDGJ
Kriteria Gangguan Perpisahan Fobia Sosial Gangguan Cemas
Menyeluruh
Durasi minimal 4 minggu Tidak ada minimum 6 bulan
Usia awitan Prasekolah-18 tahun Tidak spesifik Tidak spesifik
Presipitasi Perpisahan Social pressure Tekanan berprestasi,
kurang percaya diri
Relasi dengan Baik jika tidak ada Menahan diri Ingin menyenangkan
sebaya perpisahan orang lain, dependen
Masalah tidur Enggan untuk tidur, Sulit untuk tertidur Sulit untuk tertidur
takut gelap, mimpi
buruk
Gejala Sakit perut, mual, Blushing, tegang. Sakit perut, mual,
psikofisiologis muntah, flu like, sakit muntah, rasa
kepala, pusing, mengganjal di
palpitasi, pingsan. kerongkongan, sesak,
pusing, palpitasi.

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


85&86. Gangguan Disosiatif
• Gejala utama adalah adanya kehilangan dari
integrasi normal, antara:
• ingatan masa lalu,
• kesadaran identitas dan penginderaan segera, &
• kontrol terhadap gerakan tubuh
• Terdapat bukti adanya penyebab psikologis,
kejadian yang stressful atau hubungan
interpersonal yang terganggu
• Tidak ada bukti adanya gangguan fisik.

PPDGJ
Gangguan Disosiatif
Diagnosis Karakteristik
Amnesia Hilang daya ingat mengenai kejadian stressful atau traumatik yang
baru terjadi (selektif)
Fugue Melakukan perjalanan tertentu ke tempat di luar kebiasaan, tapi
tidak mengingat perjalanan tersebut.
Stupor Sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan volunter & respons
normal terhadap rangsangan luar (cahay, suara, raba)
Trans Kehilangan sementara penghayatan akan identitias diri &
kesadaran, berperilaku seakan-akan dikuasai kepribadian lain.
Motorik Tidak mampu menggerakkan seluruh/sebagian anggota gerak.
Konvulsi Sangat mirip kejang epileptik, tapi tidak dijumpai kehilangan
kesadaran, mengompol, atau jatuh.
Anestesi & Anestesi pada kulit yang tidak sesuai dermatom.
kehilangan Penurunan tajam penglihatan atau tunnel vision (area lapang
sensorik pandang sama, tidak tergantung jarak).

PPDGJ
Bedanya dengan Psikosomatis, Gangguan
Konversi, Malingering, Factitious disorder
KELAINAN KARAKTERISTIK
Gangguan Konversi Adanya satu atau beberapa gejala neurologis (misalnya buta, lumpuh
anestesi, amnesia, dll) yang tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan
medis maupun neurologis yang ada.

Malingering Berpura-pura sakit atau melebih-lebihkan kondisi fisik yang sudah ada
sebelumnya dengan tujuan untuk mendapatkan kompensasi tertentu
(misalnya untuk mendapatkan cuti kerja).
Factitious disorder/ Berpura-pura sakit atau membuat dirinya sakit. Namun hal ini
Munchhausen dilakukan semata-mata untuk mendapatkan perhatian/ simpati dari
syndrome orang lain saja.
87. Ansietas
Diagnosis Characteristic
Gangguan panik Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan
perasaan akan datangnya kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya
provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif
bebas dari gejala di antara serangan panik.
Gangguan fobik Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit,
cedera, dan kematian.
Gangguan Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku
penyesuaian dalam waktu <3 bulan dari awitan stresor. Tidak
berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang lain.
Gangguan cemas Ansietas berlebih terus menerus disertai ketegangan motorik
menyeluruh (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas
otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan
gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita).
Diagnosis Karakteristik
Fobia Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera,
dan kematian.
Fobia sosial Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera,
dan kematian.
Agorafobia Kecemasan timbul di tempat atau situasi di mana menyelamatkan
diri sulit dilakukan atau tidak tersedia pertolongan pada saat
terjadi serangan panik.

PPDGJ
88. GANGGUAN SKIZOAFEKTIF
 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa
hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan
bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi
kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyaki tyang berbeda.

 Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah


mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi Pasca-
skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang,
baik berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau campuran dari
keduanya (F25.2). Pasien lain mengalami satu atau dua episode manik atau
depresif (F30-F33)

PPDGJ-III
Perbedaan Skizofrenia dengan
Skizoafektif

Diagnosis Gejala Psikotik Gangguan Afektif


Skizofrenia Ada Durasi singkat
Skizoafektif Ada, dengan atau tanpa Hanya ada bila gejala
gangguan afektif psikotik (+)
Gangguan afektif dengan Hanya ada selama Ada, walau tanpa gejala
ciri psikotik gangguan afektif (+). psikotik
Waham sesuai dengan
afeknya. Episode depresif
dgn waham bencana &
pasien merasa sebagai
penyebab.
89. Psychomotor Disturbance
Diagnosis Karakteristik
Coprolalia Involuntary use of vulgar or obscene language. Observed in some
cases of schizophrenia and in Tourette's syndrome.
Echolalia Psychopathological repeating of words or phrases of one person by
another; tends to be repetitive and persistent. Seen in certain kinds
of schizophrenia, particularly the catatonic types.
Echopraxia Imitation of another person behavior. Seen sometimes in
schizophrenia & Tourette syndrome.
Echomimia Automatic repetition by a patient of words or movements of others.
Also called echopathy, comprise of echolalia & echopraxia.
Palilalia Increasingly rapid repetition of the same word or phrase, usually at
the end of sentence.

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


90. Ketergantungan Zat (DSM-IV)
Ketergantungan zat
• Adanya dorongan yang kuat Penyalahgunaan zat
untuk menggunakan zat • (1) penggunaan berulang yang
• Kesulitan mengendalikan berakibat kesulitan
prilaku menggunakan zat saat menyelesaikan tugas
memakai atau dalam usaha pekerjaan, sekolah, atau di
menghentikan rumah
• tetap menggunakan walaupun • (2) menggunakan zat pada
terjadi masalah akibat situasi berbahaya (berkendara
menggunakan zat tersebut saat mabuk)
• Peningkatan dosis (toleransi) • (3) menyebabkan masalah
hukum
• gejala withdrawal
• (4) tetap menggunakan meski
• Mengabaikan menikmati menyebabkan masalah sosial
kesenangan atau minat lain atau interpersonal
Ketergantungan psikis
• Suatu keinginan untuk terus meminum suatu obat untuk
menimbulkan rasa senang atau untuk mengurangi ketegangan dan
menghindari ketidaknyamanan
• Obat-obat yang menyebabkan ketergantungan psikis biasanya
bekerja di otak
• Efek:
– mengurangi kecemasan dan ketegangan
– menyebabkan kegembiraan, euforia (perasaan senang yang
berlebihan) atau perubahan emosi yang menyenangkan lainnya
– menyebabkan perasaan meningkatnya kemampuan jiwa dan fisik
– mengubah persepsi fisik

Ketergantungan fisik
• Suatu kondisi dimana tubuh menyesuaikan diri terhadap obat yang
dipakai secara terus menerus sehingga menimbulkan toleransi dan
jika pemakaiannya dihentikan, akan timbul gejala putus obat
Withdrawal Syndrome/ Gejala • Adiksi/ketagihan
Putus Obat – Perbuatan kompulsif (yang
terpaksa dilakukan) dan
• Kumpulan gejala yang keterlibatan yang berlebihan
muncul saat menghentikan terhadap suatu kegiatan
atau menurunkan dosis tertentu
obat karena kecanduan atau – Aspek psikososial yang
ketergantungan terhadap berhubungan dengan
obat yang sudah lama ketergantungan obat
digunakan • Toleransi obat
– sebuah kondisi yang ditandai
oleh penurunan efek obat
Overdosis zat pada pemberian berulang
• Pemakaian zat yang • Intoksikasi
melebihi dosis sehingga – Kondisi peralihan yang timbul
menyebabkan efek toksik akibat penggunaan zat
atau letal terhadap tubuh psikoaktif sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi
kognisi, persepsi, afek atau
perilaku dan fungsi
psikososial
91. Sexual Disorder
Diagnosis Karakteristik
Fetishism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the use of
nonliving objects (e.g., female undergarments).
Frotteurism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving touching
and rubbing against a nonconsenting person.
Masochism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the act
(real, not simulated) of being humiliated, beaten, bound, or otherwise
made to suffer.
Sadism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving acts (real,
not simulated) in which the psychological or physical suffering (including
humiliation) of the victim is sexually exciting to the person.
Voyeurism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the act of
observing an unsuspecting person who is naked, in the process of
disrobing, or engaging in sexual activity.
Necrophilia Necrophilia is an obsession with obtaining sexual gratification from
cadavers.

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


92. Psikiatri anak
• Autis: gangguan interaksi sosial, komunikasi, perilaku yang terbatas
& berulang.

• Sind Rett: kehilangan ketrampilan tangan & bicara disertai


perlambatan pertumbuhan kepala.

• Sind Asperger: gangguan interaksi sosial, pola perilaku berulang,


tanpa keterlambatan kognitif/bahasa.

• Ansietas perpisahan: enggan berpisah, takut ditinggal seorang diri,


gejala fisik (sakit kepala, perut, mual, muntah), rasa susah.

• Gangguan lain: enuresis, enkopresis, pika, stuttering.


PPDGJ
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
Psikiatri anak: Gangguan Autistik
A. a total of six (or more) items from (1), (2), & (3):
(1) At least 2 qualitative impairment in social interaction:
– marked impairment in the use of multiple nonverbal behaviors such as
eye-to-eye gaze, facial expression, body postures, and gestures
– failure to develop peer relationships
– a lack of spontaneous seeking to share enjoyment, interests, or
achievements with other people
– lack of social or emotional reciprocity

(2) At least 1 qualitative impairments in communication:


– delay in, or total lack of, the development of spoken language
– in individuals with adequate speech, marked impairment in the ability
to initiate or sustain a conversation
– stereotyped & repetitive use of language or idiosyncratic language
– lack of varied, spontaneous make-believe play or social imitative play
appropriate
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
Psikiatri anak: Gangguan Autistik
(3) At least 1 restricted repetitive & stereotyped patterns of
behavior, interests, & activities:
• encompassing preoccupation with one or more stereotyped and
restricted patterns of interest that is abnormal either in intensity
or focus
• apparently inflexible adherence to specific, nonfunctional routines
or rituals
• stereotyped and repetitive motor mannerisms (e.g., hand or finger
flapping or twisting, or complex whole-body movements)
• persistent preoccupation with parts of objects

B. Delays or abnormal functioning in at least one of the following


areas, with onset prior to age 3 years: (1) social interaction,
(2) language as used in social communication, or (3) symbolic
or imaginative play.

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


93. Ansietas Fobik
• Agorafobia
– Kecemasan timbul ketika berada di tempat atau situasi di mana
meyelamatkan diri sulit dilakukan (atau memalukan) atau tidak
tersedia pertolongan pada saat terjadi serangan panik. Situasi
tersebut mencakup berada di luar rumah seorang diri, di
keramaian, atau bepergian dengan bus, kereta, atau mobil.
• Fobia Sosial
– Rasa takut yang berlebihan akan dipermalukan atau melakukan
hal yang memalukan pada berbagai situasi sosial, seperti bicara
di depan umum, berkemih di toilet umum, atau makan di tempat
umum.
• Fobia Khas
– Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit,
cedera, dan kematian.
Ansietas
• Acrophobia fear of heights
• Agoraphobia fear of open places
• Ailurophobia fear of cats
• Hydrophobia fear of water
• Claustrophobia fear of closed spaces
• Cynophobia fear of dogs
• Mysophobia fear of dirt and germs
• Pyrophobia fear of fire
• Xenophobia fear of strangers
94. Depresi
• Gejala utama: • Gejala lainnya:
1. afek depresif, 1. konsentrasi menurun,
2. hilang minat & 2. harga diri & kepercayaan diri
berkurang,
kegembiraan,
3. rasa bersalah & tidak berguna
3. mudah lelah & yang tidak beralasan,
menurunnya 4. merasa masa depan suram &
aktivitas. pesimistis,
5. gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh
diri,
6. tidur terganggu,
7. perubahan nafsu makan (naik
atau turun).
PPDGJ
Depresi
• Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2
minggu

• Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2


minggu.

• Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2


minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat,
diagnosis boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu.

• Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode


depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif.

PPDGJ
Terapi Depresi
• Kombinasi psikoterapi & farmakoterapi adalah terapi paling
efektif.

• The different antidepressant class adverse effect profiles


make the SSRIs more tolerable than the TCAs  SSRI is
commonly used as first line drug for major depression.
Antidepressan
• A review of the use of antidepressants (Anderson, ‘01):
– There is little difference in efficacy among most new (post-
1980) and older TCAs & monoamine oxidase inhibitor
(MAOI) antidepressants;
– The serotonin (5-HT) and norepinephrine (NE) reuptake
inhibitors (SNRIs), including venlafaxine, and the TCAs are
superior in efficacy to the selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRIs);
– Fluoxetine has a slower onset of therapeutic action than
the other SSRIs;
– The different antidepressant class adverse effect profiles
make the SSRIs more tolerable than the TCAs. (Case files:
SSRI is commonly used as first line drug for major
depression)
Antidepressan
Cardiac Toxicity:
1. Tricyclic antidepressants may slow cardiac
conduction, resulting in intraventricular
conduction delay, prolongation of the QT interval,
and AV block. Therefore, TCAs should not be used
in patients with conduction defects, arrhythmias,
or a history of a recent MI.
2. SSRIs, venlafaxine, bupropion, mirtazapine, and
nefazodone have no effects on cardiac
conduction.
Antidepresan Dosis anjuran/hari
Amitriptiliin 75 – 150 mg
Imipramin 75 – 150 mg
Maprotilin 75 – 150 mg
Sertralin 50 – 10 mg
Fluoxetin 20 – 40 mg
Citalopram 20 – 60 mg
Venlafaxin 75 – 150 mg
Moclobemid 300 – 600 mg

Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.


95. Dermatitis
• Dermatitis seboroik: Golongan kelainan kulit akibat
status seboroik yang diturunkan. Rentan terhadap
infeksi piogenik (P Ovale), peningkatan aktivitas
glandula sebasea
• Dermatitis atopik: keadaan peradangan kulit kronis,
gatal, yang berhubungan dengan peningkatan IgE dan
riwayat atopi dalam keluarga.
• Dermatitis Kontak: Riwayat kontak dengan bahan
irirtan, biasanya terbatas pada tempat kontak iritan
saja.
• Dermatitis Numularis: Lesi kulit idiopatik dengan
bentuk mata uang koin berbatas tegas,
papulovesikel.
Dermatitis
DISORDER L O C AT I O N LESION F E AT U R E

Neurodermatitis Scalp, Extensor forearms and Intermittent pruritus,


elbows, Vulva and scrotum, hyperpigmentation, erythematous,
Upper medial thighs, knees, scaly, well-demarcated, lichenified
lower legs, and ankles plaques with exaggerated skin lines

Dermatitis scalp, face, and trunk A papulosquamous disorder


seborrheic patterned on the sebum-rich,
branny or greasy scaling over red,
inflamed skin
Occurs on newborns, adolscenct and
adult (sebacea gland activity)

Contact – allergic Hypersensitivity History of contact with the


substances which can cause the
lesion
Dermatitis atopic Flexural creases, particularly xerosis, lichenification, and
the antecubital and popliteal eczematous lesions
fossae, and buttock-thigh

Numularis Unknown Coin lesion, erythematous


Dermatitis Numularis
• Dermatitis dengan lesi berbentuk mata uang (coin) atau agak lonjong, berbatas
tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel, plak eritematosa
• Sekarang diklasifikasikan sebagai bentuk dermatitis atopik

• Etiologi
– Multifaktorial, sering adalah alergi makanan yang dipicu virus saluran pernapasan,
trauma lokal, kontak dengan iritan/serangga

• Paling sering ditemukan pada lengan dan kaki

• Perjalanan
– Papula  bergabung menjadi plak dengan skuama
– Awal lesi: vesikel yang berisi eksudat serosa (sangat gatal)

• Terapi
– Steroid potensi sedang-kuat 2-4 x/hari (triamcinolone,
prednisone, clobetasol)
– Antibiotik topikal bila ada infeksi sekunder
– Antihistamin untuk pruritus

https://allergycliniconline.com/2012/05/06/penanganan-terkini-dermatitis-numularisis/
96. Herpes zoster
• Penyakit yang disebabkan virus varicella zoster yang menyerang kulit dan
mukosa, merupakan reaktivasi setelah infeksi primer (varicella)
• Predileksi: daerah torakal, unilateral, bersifat dermatomal
• Gejala:
– Gejala prodromal sistemik (demam, pusing, malaise) & lokal (myalgia, gatal, pegal)
– Timbul eritema yang kemudian menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar
eritematosa & edema, kemudian menjadi pustul dan krusta
– Pembesaran KGB regional
• Herpes zoster oftalmikus: infeksi n.V-1
• Sindrom Ramsay-Hunt: gangguan n. fasialis & otikus
• Pemeriksaan: percobaan Tzanck (ditemukan sel datia berinti banyak)
• Komplikasi: neuralgia pascaherpetik: nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan lebih dari sebulan setelah sembuh
• Pengobatan: acyclovir (pada herpes zoster oftalmikus dan pasien dengan
defisiensi imun) dosis 5x800 mg selama 7 hari

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
97. Lepra
Reaksi Deskripsi

Pure neuritis leprosy Jenis lepra yang gejalanya berupa neuritis saja

Lepra Tuberkuloid Bentuk stabil dari lepra, lesi minimal, gejala lebih ringan.
Tipe yg termasuk TT (Tuberkuloid polar), Ti ( Tuberkuloid
indenfinite), BT (Borderline Tuberkuloid)

Reaksi Reversal Lesi bertambah aktif (timbul lesi baru, lesi lama
menjadi kemerahan), +/- gejala neuritis. Umum pada
tipe PB

Eritema Nodusum Leprosum Nodul Eritema, nyeri, tempat predileksi lengan dan
tungkai, Umum pada MB

Fenomena Lucio Reaksi berat, eritematous, purpura, bula, nekrosis serta


ulserasi yg nyeri
M.Leprae
• Makula hipopigmentasi dengan anestesia dan
penebalan saraf tepi
• Adanya kuman BTA pada kerokan kulit (M.Leprae)
• Pemeriksaan bakterioskopik dengan pewarnaan
Ziehl-neelsen
• Pemeriksaan histopatologik ditemukan sel datia
langhans, massa epiteloid, sel Virchow/busa
• Pemeriksaan serologik yaitu ELISA, MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
M.Leprae dengan Ziehl Neelsen
98.KOH
PEMERIKSAAN PENYAKIT

Gram Infeksi bakteri (ex: GO)


KOH Infeksi jamur
Giemsa Infeksi Chlamydia (badan
inklusi)
Kultur Infeksi bakteri dan jamur
Biopsi kulit MH, kanker kulit, diagnosis
patologi anatomi
Woods lamp Infeksi jamur, Erithrasma
99. Ulkus Tropikum
 Etiologi :
B. fusiformis, Borellia vincentii,
B. pyocyaneus & B. proteus

 Faktor yang berperan:


- Trauma
- Gizi dan higiene
- Infeksi
 Gejala klinis:
- lokasi : tungkai bawah lateral
- std awal : vesikel  pecah  ulkus cepat
meluas ke samping & ke dalam
- Sifat:
 bentuk : bulat/lonjong, dinding landai
 dasar : tertutup jaringan nekrotik, pus,
darah  meleleh ke luar
 tepi : meninggi
 jaringan sekitar : radang akut/sub akut
 bau : busuk (jaringan nekrotik)
 palpasi : nyeri & psuedoindurasi/indurasi
 Komplikasi :
- selulitis - phlebitis
- limfangitis - septikemi

 Pemeriksaan penunjang
- Sediaan langsung : cari kuman penyebab
- Kultur
- lampu Wood : pseudomonas  fluoresensi
kehijauan
- biopsi/PA : keganasan (?)
 Penalaksanaan: Lokal:
• Ulkus kotor, bau
– Perbaiki KU : – kompres lar. KMNO4 1 :
higiene, nutrisi 5000
(TKTP) – lar. AgNO3 1 ‰ – 0,5%
– Pengobatan: – lar. rivanol 1 ‰
• Sistemik : – lar. salisil 1 %,
– Penisilin 600.000 – • Ulkus bersih
1,2 juta unit, im (7-
10 hari) – salap untuk merangsang
– Tetrasiklin oral 3-4 x jaringan granulasi (salap
500 mg/hari minyak ikan 10%)
– merangsang proses
epitelisasi (salap salisil 2
%), atau pasta
sengoksida
100. Kandidosis Vaginalis
• Uretritis GO: infeksi Neisseria Gonorheae,
disuria, disertai duh purulen, pada pemeriksaan
ditemukan gram negatif (merah) diplococcus.
• Candidosis : infeksi candida albicans. Gejala
klinis: gatal pada daerah vulva, eritem, ada fluor
albus (sekret kental keputihan bergumpal
seperti susu)
• Bakteri vaginosis: infeksi Gardnerella vaginalis.
Gejala: duh tubuh ringan-sedang keabuan
berbau tidak enak (amis).
• Dengan bahan dari duh tubuh vagina yang
berasal dari dinding lateral vagina, dan dapat
dibuat:
– sediaan apus dengan pewarnaan Gram:
ditemukan blastopora dan pseudohifa
– sediaan basah dengn larutan NaCl fisiologis:
ditemukan blastopora dan atau pseudohifa
– sediaan basah dengan larutan KOH 10%:
ditemukan pseudohifa dan atau blastofora
101. Pitiriasis versikolor
• Disebabkan oleh Malassezia furfur. Umumnya
ditemui pada daerah tropis.
• Penyakit jamur superfisial berupa bercak
berskuama halus berwarna putih sampai coklat
kehitaman
• Gejala klinis: bercak keputihan yang dapat
asimptomatik. Namun dapat terasa gatal ringan.
• Diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan
lampu Wood berwarna kuning keemasan, KOH
20%: hifa pendek dan spora bulat berkelompok.
• Pengobatan Pitiriasis
Versikolor:
– Suspensi selenium
sulfide, dipakai
sebagai sampo 2-3
kali sehari
– Derivat
azole:mikonazole,
klotrimazole
– Ketokonazole oral
1x200 mg sehari
selama 10 hari.
102. Dermatitis
Disorder Location Lesion
Neurodermatitis Kulit kepala, ekstensor Pruritus intermiten (berhubungan
lengan dan siku, vulva dan dengan stresor), hiperpigmentasi,
skrotum, betis atas, lutut, eritematosa, bersisik, batas tegas, plak
tungkai bawah, tumit likenifikasi
Dermatitis Kulit kepala, wajah, dan Kelaianan papuloskuamosa, lesi
seboroik dada berminyak berwarna kekuningan diatas
kulit yang merah terinflamasi. Mengenai
bayi baru lahir, remaja, dan dewasa
(aktivitas kelenjar sebasea)
Dermatitis kontak Hipersensitivitas Adanya riwayat kontak dengan zat
alergi penyebab
Dermatitis atopik Lipatan lutut atau siku, paha xerosis, likenifikasi, dan lesi eksema,
riwayat atopi

Numularis Unknown Lesi koin, eritematosa, central healing,


sangat gatal
Dermatitis numularis
Dermatitis atopi

Dermatitis seboroik

Neurodermatitis

Dermatitis kontak
alergi
103. Lepra
• Penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh
Mycobacterium leprae
• Lesi kulit: terdapat ebrbagai
jenis lesikulit pada leprae:
makula, papul dengan
pewarnaan hipopigmentasi
atau eritematosa
• Deformitas terjdi akibat
langsung dari granuloma yang
merusak jaringan sekitarnya.
Gangguan anestesia dapat Gambar diunduh dari:
http://reference.medscape.com/features/slidesho
menyebabkan deformitas w/leprosy
Tipe MH
• Pausibasiler: lesi <5
• Multibasiler: lesi >5
• Ridley & Jopling : 5 tipe lepra
1. TT : tuberculoid
2. BT : borderline tuberculoid
3. BB : borderline
4. BL : borderline lepromatous
5. LL : lepromatous leprosy
• Pemeriksaan penunjang
– Pemeriksaan bakterioskopik dengan pewarnaan
Ziehl Neelsen dapat menghitung jumlah
bakteri
– Pemeriksaan histopatologisBerasal dari jaringan
lesi lepra ditemukan sel vrichow (histiosit
dengan M leprae di dalamnya)
– Pemeriksaan serologik: pemeriksaan antibodi
terhadap M. leprae
• Pengobatan leprae:
– DDS, Rifampisin, klofazimin.
• Yang tidak kalah penting adalah pencegahan
cacat. Pasien kusta meiliki risiko yang lebih
tinggi utk menderita kecacatan karena
gangguan sensorik dan kelemahan otot.
Edukasi cara penggunaan sepatu, sarung
tangan, memeriksa jika ada luka dan
perawatan kulit.
104. Staphylokokus Scalded Skin
Syndrome (4S)
• Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
merupakan penyakit pada neonatus dan anak-
anak.
• S4 jarang terjadi pada dewasa kecuali dengan
gangguan ginjal, defisiensi imun dan penyakit
kronik.
• Prevalensi pada anak kurang dari 2 tahun sebesar
62% dan hampir seluruh kasus terjadi pada anak
kurang dari 6 tahun (98%). Rasio pada pria dan
wanita adalah 2:1.
• Pada SSSS akan terjadi demam
kemudian muncul ruam eritem
(tender rash) pada muka, badan dan
ekstermitas kemudian dalam waktu
24-48 jam berkembang menjadi bula
yang besar dan mudah rupture
kemudian mengelupas.
• Lesi akan mengering dan dalam
waktu 7 sampai 14 hari terjadi
regenerasi epidermis tanpa
menimbulkan jaringan parut.
• Tanda dan gejala SSSS meliputi:
– Gejala prodormal lokal meliputi infeksi
Staphylococcus Aureus pada kulit, laring, hidung,
mulut, umbilikus dan traktur gastrointestinal,
sebelum ruam kemerahan muncul
– Ruam kemerahan yang diikuti dengan eksfoliatif
epidermal difus
– General Malaise
– Demam
– Iritabel
Pengobatan SSSS
Dicloxacillin
Dicloxacilin digunakan untuk terapi infeksi staphylococcus dengan dosis
neonatal 4-8 mg/ kg berat badan per oral setiap 6 jam (<40 kg 12,5-50
mg/ kg/ hari per oral dan > 40 kg 125-500 mg per oral setiap 6 jam).
Cloxacillin
Cloxacillin menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dosis cloxacillin
pediatrik yaitu pasien < 20 kg sebanyak 50-100 mg/ kg/ hari per oral dibagi
setiap 6 jam (tidak boleh melebihi 4 g per hari). Pada anak > 20 kg
diberikan dosis sesuai dengan dosis dewasa.
Mupirocin
Mupirocin berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan
cara menghambat sintesis RNA dan protein. Cara penggunaan pada
dewasa dan anak adalah dioleskan tipis pada area yang terkena 2-5 kali
per hari selama 5-14 hari
105. Ulkus Durum
• Ulkus durum : ulkus akibat infeksi Treponema
pallidum (sifilis), tidak nyeri, ulkus bersih,
tidak ada eksudat dan berindurasi.
• Ulkus Molle: Penyakit infeksi pada alat
kelamin yang akut, setempat disebabkan oleh
Haemophillus ducreyi. Ulkus: kecil, lunak,
tidak ada indurasi, bergaung, kotor (tertutup
jaringan nekrotik dan granulasi)

Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI edisi kelima
Treponema palidum
• Stadium:
– Primary Syphilis: ulkus durum (dasar bersih dan tidak nyeri)
– Secondary Syphilis : Lesi kulit (luka yang muncul selain pada alat
kelamin juga ditemukan pada tangan, kaki dan muka). Selain luka,
penderita juga mengalami demam, perasaan lelah dan pembengkakan
alat kelamin.
– Latent Syphilis: tidak ditemukan gejala fisik sama sekali.
– Late Syphilis: Syphilis telah menyerang organ-organ dalam tubuh
manusia seperti jantung, otak, dan sumsum tulang belakang.
• Pemeriksaan : VDRL TPHA
• Pemeriksaan
– mikroskop lapangan gelap melihat pergerakkan Treponema
– Pewarnaan Burri (tinta hitam)  tidak adanya pergerakan Treponema
(T. pallidum telah mati)  kuman berwarna jernih dikelilingi oleh
lapangan yang berwarna hitam.
106. Bakterial Vaginosis
• Bakterial vaginosis atau nonspesifik vaginitis adalah suatu istilah
yang menjelaskan adanya infeksi bakteri sebagai penyebab
inflamasi pada vagina

• Etiologi
– Bakteri yang sering didapatkan adalah Gardnerella vaginalis,
Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Mycoplasma hominis,
Ureaplasma urealyticum , Eubacterium, Fusobacterium, Veilonella,
Streptococcus viridans, dan Atopobium vaginae

• Gejala klinis
– Keputihan, vagina berbau, iritasi vulva, disuria, dan dispareuni

• Faktor risiko
– Penggunaan antibiotik, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim,
promiskuitas, douching, penurunan estrogen.
Bakterial Vaginosis: Pemeriksaan
• Didapatkan keputihan yang homogen
• Labia, introitas, serviks dapat normal maupun didapatkan
tanda servisitis.
• Keputihan biasanya terdapat banyak di fornix posterior
• Dapat ditemukan gelembung pada keputihan
• Pemeriksaan mikroskopis cairan keputihan harus memenuhi 3
dari 4 kriteria Amsel untuk menegakkan diagnosis bakterial
vaginosis
– Didapatkan clue cell: sel epitel vagina yang dikelilingi oleh kokobasil
– pH > 4,5
– Keputihan bersifat thin, gray, and homogenous
– Whiff test + (pemeriksaan KOH 10%
didapatkan fishy odor sebagai akibat dari
pelepasan amina yang merupakan produk
metabolisme bakteri)
Bakterial Vaginosis: Tatalaksana

• Pada infeksi asimtomatik tidak perlu diberikan


terapi

• Pada infeksi simtomatik: antibiotik merupakan


pilihan utama

• Pilihan obat: metronidazole 2 x 500 mg selama 7


hari atau 4 x 500 mg dosis tunggal. Pada
perempuan hamil 2 x 500 mg selama 7 hari atau
3 x 250 mg selama 7 hari
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/254342
107. Skabies
• Pruritus nokturnal
• Berkelompok
Sela-sela jari
• Kunikulus/terowongan
• Ditemukannya tungau
Sulfur precipitatum 4-20%
Gameksan 1%
Krotamiton 10%
Permetrin 5%
Skabies
• Penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei var. hominis
• Transmisi: kontak langsung (skin to skin), tidak langsung
• Kelainan kulit akibat terowongan tungau atau karena garukan
penderita
• Gejala:
– Pruritus nokturna
– Menyerang manusia secara kelompok
– Adanya terowongan (kunikulus) yang berwarna putih/keabuan,
lurus/berkelok, panjang 1 cm, pada ujung didapatkan papul/vesikel.
Predileksi: sela jari tangan, pergelangan tangan bag volar, siku luar,
lipat ketiak depan, areola mammae, umbilikus, bokong, genitalia
eksterna, perut bawah
– Ditemukan tungau
• Obat: sulfur presipitat 4-20%, benzil benzoat 20-25%, gameksan 1%,
krotamiton 10%, permetrin 5%

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
• Setelah kopulasi, tungau
jantan akan mati. Tungau
betina akan menggali
terowongan dalam stratum
korneum sambil meletakkan
telurnya. Telur akan
menetas dan menjadi larva
yang mempunyai 3 pasang
kaki. Larva kemudian akan
menjadi nimfa dengan 4
pasang kaki. Seluruh siklus
hidupnya memerlukan
waktu 8-12 hari
DRUGS ADVERSE EFFECT EFFECTIVE

BENZYL BENZOAT 20-25% Iritation, anesthesia&hypoesteshia, All stadium


ocular irritation, rash, pregnancy
category B
PERMETHRINE 5% Mild%&ransient All stadium
burning&stinging,pruritus,pregnanc
y category B,not recommended for
children <2months

GAMEXAN 1% Toxic to CNS for pregnancy and All stadium


children <6years old

KROTAMITON 10% Allergic contact dermatitis/primary All stadium


irritation, pregnancy category C

SULFUR PRECIPITATUM 4- Erythema,desquamation,irritaion,pr Not effective for egg


20% egnancy category C state
108. Vehikulum obat topikal
• Cairan (solusio, tingtura, kompres)
– Membersihkan kulit dari debris
– Perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, pustula
– Keadaan yang basah menjadi kering
– Merangsang epitelisasi
• Bedak
– Penetrasi sedikit
– Diberikan pada dermatosis yang kering dan superfisial
– Berguna untuk mempertahankan vesikel/bula agar tidak pecah
• Salep (bahan berlemak yg pada suhu kamar memiliki konsistensi
seperti mentega; biasanya bahan dasar berupa vaselin)
– Diberikan pada dermatosis yang kering dan kronik, berkrusta
– Penetrasi paling kuat
– Kontraindikasi pada dermatitis madidans (dengan eksudasi), tidak
dianjurkan pada bagian tubuh yang berambut
Vehikulum obat topikal (cont’d)
• Bedak kocok
– Diberikan pada dermatosis yang kering, superfisial, agak luas. Pada keadaan
yang subakut
– Penetrasi sedikit
– Kontraindikasi: dermatitis madidans, daerah berambut
• Krim
– Indikasi kosmetik
– Dermatosis subakut yang luas, penetrasi >> bedah kocok
– Boleh digunakan di daerah berambut
– Kontaindikasi: dermatitis madidans
• Pasta (campuran bedak & vaselin)
– Dermatosis yang agak basah (bersifat mengeringkan)
– Kontraindikasi: dermatitis madidans, daerah berambut, tidak dianjurkan pada
daerah lipatan
• Linimen (campuran cairan, bedak, salep)
– Diberikan pada dermatosis yang subakut
– Kontraindikasi: dermatosis madidans
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
109. Anemia Mikrositik Hipokrom
Anemia Defisiensi Fe (IDA)

Stage Iron Depletion Iron Deficiency Iron Deficiency


I II Anemia
III
Iron Store ↓ ↓↓ ↓↓↓
(Ferritin)
Serum Iron Normal ↓ ↓↓
Hb Normal Normal MCV, MCH MCHC ↓

Windiastuti E. Anemia in children.


Anemia Defisiensi Besi
Anemia in Infant
• Anemia (WHO):
– A hemoglobin (Hb) concentration 2 SDs below the mean
Hb concentration for a normal population of the same
gender and age range
• US National Health and Nutrition Examination Survey
(1999 – 2002)→ anemia:
– Hb concentration of less than 11.0 g/dL for both male and
female children aged 12 through 35 months

Robert D. Barker, Frank R. Greer, and The Committee of Nutrition. Diagnosis and Prevention of Iron Defiency and Iron Anemia in Infants and Young Children (0-3
years of Age. Pediatrics 2010; 126; 1040.
Tatalaksana IDA
• Atasi penyakit yang mendasari
• Nutrisi yang cukup
• Besi elemental
– 3-6 mg/kg/hari dibagi 2 dosis, sebelum makan. Dilanjutkan hingga 2
bulan setelah anemia terkoreksi dan penyakit etiologi teratasi.
• Transfusi PRC dibutuhkan bila Hb <6 g/dl; atau Hb ≥6 g/dl dengan
penyerta (dehidrasi, persiapan operasi, infeksi berat, gagal jantung,
distress pernafasan)
• Pencegahan
– Primer
• Diet: makanan yang kaya besi dan vitamin C
• ASI eksklusif. Suplemen besi dimulai pada 4-6 bulan (non prematur) atau 2
bulan (prematur)
– Sekunder: skrining

Harper JL. Iron deficiency anemia. http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview


Tatalaksana
• Fe oral
– Aman, murah, dan efektif
– Enteric coated iron tablets  tidak dianjurkan karena
penyerapan di duodenum dan jejunum
– Beberapa makanan dan obat menghambat penyerapan
• Jangan bersamaan dengan makanan, beberapa antibiotik, teh,
kopi, suplemen kalsium, susu. (besi diminum 1 jam sebelum atau 2
jam setelahnya)
• Konsumsi suplemen besi 2 jam sebelum atau 4 jam setelah
antasida
• Tablet besi paling baik diserap di kondisi asam  konsumsi
bersama 250 mg tablet vit C atau jus jeruk meningkatkan
penyerapan
Tatalaksana
– Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat
lambung kosong,
– Jika terjadi efek samping GI, pemberian besi dapat
dilakukan pada saat makan atau segera setelah
makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat
sekitar 40%-50%
– Efek samping:
• Mual, muntah, konstipasi, nyeri lambung
• Warna feses menjadi hitam, gigi menghitam (reversibel)
110-111. Pneumonia
• Inflamasi/ peradangan akibat invasi mikroorganisme pada parenkim paru
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40
AGE COMMON ETIOLOGIES (as in order) LESS COMMON ETIOLOGIES
2 to 24 RSV Streptococcus Mycoplasma pneumoniae
months Human metapneumovirus pneumoniae Haemophilus influenzae (type B
Parainfluenza viruses Chlamydia and nontypable)
Influenza A and B trachomatis Chlamydophila pneumoniae
Rhinovirus
Adenovirus
Enterovirus

2 to 5 years Respiratory syncytial virus S. pneumoniae Staphylococcus aureus (including


Human metapneumovirus M. pneumoniae methicillin-resistant S. aureus)
Parainfluenza viruses H. influenzae (B and Group A streptococcus
Influenza A and B nontypable)
Rhinovirus C. pneumoniae
Adenovirus
Enterovirus

Older than 5 Rhinovirus M. pneumoniae H. influenzae (B and nontypable)


years Adenovirus C. pneumoniae S. aureus (including methicillin-
Influenza A and B S. pneumoniae resistant S. aureus)
Group A streptococcus
Respiratory syncytial virus
Parainfluenza viruses
Human metapneumovirus
Enterovirus
Streptococcus Pneumoniae
• Streptococcus pneumoniae cells are Gram-
positive, lancet-shaped cocci (elongated cocci
with a slightly pointed outer curvature).
• Usually, they are seen as pairs of cocci
(diplococci), but they may also occur singly and in
short chains.
• When cultured on blood agar,they are alpha
hemolytic
• They do not form spores, and they are nonmotile.
• Like other streptococci, they lack catalase and
ferment glucose to lactic acid
Diagnosis Pneumonia (WHO)

SEVERE PNEUMONIA

VERY SEVERE PNEUMONIA


NO PNEUMONIA

• No PNEUMONIA • Di • Batuk dan/atau dyspnea • Dalam keadaan


tachypnea, ditambah min salah satu:
no chest
samping yang sangat berat
batuk • Kepala terangguk-angguk dapat dijumpai:
indrawing
atau • Pernapasan cuping
hidung • Tidak dapat
kesulitan • Tarikan dinding dada menyusu atau
bernapas, bagian bawah ke dalam minum/makan,
hanya • Foto dada menunjukkan atau
terdapat infiltrat luas, konsolidasi memuntahkan
napas • Selain itu bisa didapatkan semuanya
cepat pula tanda berikut ini:
• Kejang, letargis
saja. • takipnea
atau tidak
• Suara merintih (grunting)
pada bayi muda sadar
• Pada auskultasi • Sianosis
terdengar: crackles • Distres
(ronkii), Suara pernapasan
pernapasan menurun,
suara napas bronkial berat
Klasifikasi berdasarkan predileksi
• Pneumonia lobaris
– pada satu lobus atau segmen
• Bronkopneumonia.
– Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru.
– Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus.
Sering pada bayi dan orang tua.
• Pneumonia interstisial
Item Lobar pneumonia Bronchopneumonia
Age Lobar pneumonia Occurs in Extremes of ages
otherwise infants, olds and those
healthy individuals between 30 - 50 suffering
years of age (Young and adults) from chronic debilitating illness
or immuno-suppression.
Organism Mostly pneumococci (strep. Mixed organisms: viral,
Pneumonia) Staphylococci, Streptococci,
H. influenzae, Proteus and
Pseudomonas
Grossly Lobar or segmental consolidation Patchy, bilateral of both
lungs
Tatalaksana Pneumonia
PNEUMONIA
NO PNEUMONIA

SEVERE-VERY SEVERE PNEUMONIA


• rawat jalan • ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau
• Do • Kotrimoksasol IM setiap 6 jam). Bila anak memberi respons yang
not (4 mg TMP/kg baik dlm 24-72 jam, lanjutkan selama 5 hari.
adm BB/kali) 2 kali Selanjutnya dilanjutkan dgn amoksisilin PO (15
inist sehari selama mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari
er 3 hari atau berikutnya.
an Amoksisilin • Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam,
anti (25 mg/kg atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat
bioti BB/kali) 2 kali menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
c sehari selama semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,
3 hari. sianosis, distres pernapasan berat) maka
ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM
atau IV setiap 8 jam).
• Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat,
segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi
ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100
mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
• Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter
nasofaringeal.
Air Bronchogram
• Fenomena dimana bronkus
yang berisi udara (sehingga
tampak radiolusen/hitam)
tampak terlihat akibat
opasifikasi dari alveolus di
sekitarnya
(radioopak/tampak putih).
• Hampir selalu disebabkan
karena pathologic airspace
(alveolar) process, in which
something other than air
fills the alveoli.
112. Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau
kerusakan dan nekrosis sel hepatosit akibat virus
hepatotropik. Dapat akut/kronik. Kronik → jika berlangsung
lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Stadium prodromal: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal
berkurang disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A: Anak dicurigai menderita hepatitis A jika
ada gejala sistemik yang berhubungan dengan saluran cerna
(malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa tidak nyaman pada
perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Hepatitis A
• Virus RNA (Picornavirus)
ukuran 27 nm
• Kebanyakan kasus pada usia
<5 tahun asimtomatik atau
gejala nonspesifik
• Rute penyebaran: fekal oral;
transmisi dari orang-orang
dengan memakan makanan
atau
minumanterkontaminasi,
kontak langsung.
• Inkubasi: 2-6 minggu (rata-
rata 28 hari)

Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.


Hepatitis A
• Self limited disease dan • Diagnosis
tidak menjadi infeksi kronis – Deteksi antibodi IgM di darah
• Gejala: – Peningkatan ALT (enzim hati
– Fatique Alanine Transferase)
– Demam • Pencegahan:
– Mual – Vaksinasi
– Nafsu makan hilang – Kebersihan yang baik
– Jaundice  karena – Sanitasi yang baik
hiperbilirubin • Tatalaksana:
– Bile keluar dari peredaran – Simptomatik
darah dan dieksresikan ke
urin  warna urin gelap – Istirahat, hindari makanan
berlemak dan alkohol
– Feses warna dempul (clay-
coloured) – Hidrasi yang baik
– Diet
Penanda
Serologis
Hepatitis
Hepatitis
Hepatitis Jenis virus Antigen Antibodi Keterangan
HAV RNA HAV Anti-HAV Ditularkan
secara fekal-
oral
HBV DNA HBsAg Anti-HBs •Ditularkan
HBcAg Anti-HBc lewat darah
HBeAg Anti-HBe •Karier
HCV RNA HCV Anti-HCV Ditularkan
C100-3 lewat darah
C33c
C22-3
NS5
HDV RNA HBsAg Anti-HBs Membutuhkan
HDV antigen Anti-HDV perantara HBV
(hepadnavirus)
HEV RNA HEV antigen Anti-HEV Ditularkan
secara fekal-
oral
113. Sepsis Neonatorum
• Sindrom klinik penyakit sistemik akibat infeksi
yang terjadi pada satu bulan pertama kehidupan.
Mortalitas mencapai 13-25%
• Jenis :
– Early Onset = Dalam 3 hari pertama, awitan tiba-tiba,
cepat berkembang menjadi syok septik
– Late Onset = setelah usia 3 hari, sering diatas 1
minggu, ada fokus infeksi, sering disertai meningitis
• Tanda awal sepsis pada bayi baru lahir tidak
spesifik → diperlukan skrining dan pengelolaan
faktor risiko

Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
SEPSIS
• Early onset sepsis:
– Timbul dalam 72 jam pertama kehidupan
– Mikroorganisme berasal dari infeksi transplasental
atau ascending infection dari serviks (kolonisasi
bakteri di traktus genitourinari)
– Mikroorganisme yg mjd penyebab:
• Group B Streptococcus (GBS)
• Escherichia coli
• Coagulase-negative Staphylococcus
• Haemophilus influenzae
• Listeria monocytogenes
– Pneumonia is more common in early-onset sepsis
• Late-onset sepsis
– Muncul hari ke 4-90; organisme didapat dari lingkungan sekitar.
– Mikroorganisme penyebab:
• Coagulase-negative Staphylococcus (susceptible to first-generation
cephalosporin)  leading cause of late-onset infections
• Staphylococcus aureus
• E coli
• Klebsiella
• Pseudomonas
• Enterobacter
• Candida
• Group B Streptococcus (GBS)
• Serratia
• Acinetobacter
• Anaerobes
• Fokus infeksi: kulit, sal. napas, konjungtiva, (GI) tract, dan umbilikus.
• Alat/ vektor : kateter urin, IV kateter (jarum infus), kontak dgn
caregivers yg terkontaminasi kolonisasi bakteri.
• Meningitis and bacteremia are more common in late-onset sepsis
Skrining
• Kecurigaan besar sepsis bila :
– Bayi umur sampai dengan usia 3 hari
• Riwayat ibu dengan infeksi rahim, demam dengan
kecurigaan infeksi berat, atau ketuban pecah dini
• Bayi memiliki dua atau lebih gejala yang tergolong
dalam kategori A, atau tiga atau lebih gejala pada
kategori B
– Bayi usia lebih dari 3 hari
• Bayi memiliki dua atau lebih temuan Kategori A atau
tiga atau lebih temuan Kategori B
Kelompok Temuan berhubungan dengan Sepsis
Kategori A Kategori B
Kesulitan Bernapas (>60x/menit, retraksi Tremor
dinding dada, grunting, sianosis sentral,
apnea)
Kejang Letargi atau lunglai, malas minum padahal
sebelumnya minum dengan baik
Tidak sadar Mengantuk atau aktivitas berkurang
Suhu tubuh tidak normal (sejak lahir dan Iritabel, muntah, perut kembung
tidak memberi respons terhadap terapi)
atau suhu tidak stabil sesudah
pengukuran suhu selama tiga kali atau
lebih
Persalinan di lingkungan yang kurang Tanda-tanda mulai muncul setelah hari
higienis ke-empat
Kondisi memburuk secara cepat dan Air ketuban bercampur mekonium
dramatis
Stages of sepsis based on American College of Chest Physicians/Society of Critical Care
Medicine Consensus Panel guidelines
http://emedicine.medscape.com/article/169640-overview
Kriteria Infeksi, SIRS, Sepsis, Sepsis Berat,
dan Syok Septik

Sindrom disfungsi Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah mendapatkan pengobatan
multiorgan optimal

Goldstein B., Giroir B., Randolph A., Pedriatric Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8.
Kriteria SIRS Neonatorum
American Academic of Pediatric
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan kuman
– Kultur darah  gold standard
– Pewarnaan gram
• Pemeriksaan hematologi
– Darah perifer lengkap
– Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).
– Pemeriksaan kadar D-dimer
• Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
• Procalcitonin (PCT)
• Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi
• Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
• Pencitraan
– radiografi toraks: Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola
retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory Distress
Syndrome); Pneumonia
– Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks untuk melihat
hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark ataupun abses
Tatalaksana Sepsis Neonatal
• Berikan kombinasi penisilin atau ampisilin • Third-generation cephalosporins
ditambah aminoglikosida (gentamisin)
mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan represent a reasonable
umumnya efektif terhadap organisme penyebab alternative to an aminoglycoside.
sepsis neonatal.
• Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan
• However, several studies have
meningkatkan aktivitas antibakteri (efek reported rapid development of
sinergis) resistance to cefotaxime
• Bila bayi tetap menunjukkan tanda infeksi • extensive/prolonged use of third-
setelah 24 jam ganti ampisilin dengan
sefotaksim sedangkan gentamisin diteruskan generation cephalosporins is a
risk factor for invasive candidiasis.
• Ceftriaxone is contraindicated in
neonates because it is highly
protein bound and may displace
bilirubin, leading to a risk of
kernicterus.
114. Tetrasiklin
• Pemakain tetrasiklin dikontraindikasi pada anak usia < 8
tahun
• Tetrasiklin terdeposit pada tulang dan gigi
• Mekanisme: terdapat deposisi kompleks yang terbentuk
dari kelasi antara tetrasiklin dan kalsium
• Efek samping gigi kecokelatan bersifat permanen dan
merupakan hasil dari hiplopasia enamel.
• Pasien yang berisiko sepanjang dalam usia pertumbuhan
gigi (the second half of pregnancy through the first seven
years of life)
• Efek samping pada tulang terutama signifikan ketika
tetrasiklin dipakai selama kehamilan dan masa neonatal
115. DEMAM DENGUE (DF)

• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DE-1,


DEN-2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti atau
aedes albopictus
• DEN-3 merupakan serotipe yang banyak berhubungan
dengan kasus berat, diikuti dengan serotipe DEN-2
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
KLASIFIKASI DBD
Derajat (WHO 1997):
• Derajat I : Demam dengan test rumple leed
positif.
• Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan
spontan dikulit atau perdarahan lain.
• Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu
nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun/
hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan
pasien menjadi gelisah.
• Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak
teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
WHO. SEARO. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue hemorrhagic fever in
small hospitals. 1999.
Pemeriksaan Penunjang
Serologi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG
muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer
awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.


Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset • IgG: detectable at high levels in the initial
of illness,  by about 2 weeks & phase, persist from several months to a
undetectable after 2–3 months. lifelong period.
• IgG: detectable at low level by the end of • IgM: significantly lower in secondary
the first week & remain for a longer period infection cases.
(for many years).
Rumple leede test
• A tourniquet test used to determine the presence of
vitamin C deficiency or thrombocytopenia
• A circle 2.5 cm in diameter, the upper edge of which is
4 cm below the crease of the elbow, is drawn on the
inner aspect of the forearm, pressure midway between
the systolic and diastolic blood pressure is applied
above the elbow for 15 minutes
• Count petechiae within the circle is made:
– 10  normal
– 10-20  marginal
– more than 20  abnormal.
Pemantauan Rawat
Alur
Perawatan
Pediatric Vital
Signs
Heart Rate
Age
(beats/min)

Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf

6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85

Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999).
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Pediatric reference ranges (3rd ed.). Washington,
Prehospital Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of DC: AACC Press.
Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/3628
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 46/London%20App.%20B.pdf
Tekanan di dalam Jantung

116. Congenital Heart


Disease

Congenital HD

Acyanotic Cyanotic

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD
- Valve stenosis - ToF - Transposition of
- VSD - Coarctation of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2,
murmur ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: AS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
– TGA

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Pulmonary edema, tachypnea, chest


Fluid leaks into the interstitial space &
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in


Defect location determine newborn  right-sided HF
the symptoms (hepatomegaly, peripheral
edema)

Severe aortic stenosis  left-


sided (pumonary edema, poor
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
perfusion) & right-sided HF
Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations

Infant has thick & less compliant RV  minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infection

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of Dilatation of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood 


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right side of - enlargement of RV, RA, &
the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of Wide, fixed 2nd heart sound


ventricular diastolic volume splitting

Increased flow across tricuspid Mid-diastolic murmur at the lower


valve left sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejection murmur, best


heard at left middle & upper sternal
pulmonary valve border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  size of the main


pulmonary artery
•  size of the right atrium
•  size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as soft tissue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
117. Dosis Obat
• Dosis per kali pemberian = 17 kg x 10
mg/kgBB/ kali = 170 mg/kali
• Dalam 5 cc sirup terkandung 125 mg
amoksisilin; berarti tiap kali pemberian
membutuhkan = 170/125 x 5 cc = 6,8 cc/ kali
pemberian
• Total volume sirup yang dibutuhkan = 6,8 cc x
3 x 4 = 81,6 cc  2 botol sirup amoksisilin
118. Leukemia
Leukemia
• Jenis leukemia yang paling sering terjadi pada
anak-anak adalah Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous
Leukemia (AML)
• ALL merupakan keganasan yg paling sering
ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus
keganasan pediatrik)
• Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun
Clinical Manifestation
• More common in AML
– Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded
microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA,
dyspnea, hypoxia
– DIC (promyelocitic subtype)
– Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype)
– Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.
• More common in ALL
– Bone pain, lymphadenopathy, hepatosplenomegaly (also
seen in
– monocytic AML)
– CNS involvement: cranial neuropathies, nausea, vomiting,
headache, anterior mediastinal mass (T-cell ALL)
– Tumor lysis syndrome
Leukemia Limfoblastik Akut
• Merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada
masa anak, meliputi 25-30% dari seluruh keganasan pada
anak.
• Lebih sering pada laki-laki, usia 3-4 tahun
• Manifestasi klinis
– Penekanan sistem hemopoetik normal, anemia (pucat),
neutropenia (sering demam), trombositopenia (perdarahan)
– Infiltrasi jaringan ekstramedular, berupa pembesaran KGB, nyeri
tulang, dan pembesaran hati serta limpa
– Penurunan BB, anoreksia, kelemahan umum
• Pemeriksaan Penunjang: Gambaran darah tepi dan pungsi
sumsum tulang untuk memastikan diagnosis
• Tatalaksana : Kemoterapi dan Pengobatan suportif
FAB (French-American-British) classification of
acute lymphoblastic leukemia
• ALL-L1: Small cells with homogeneous nuclear chromatin, a regular
nuclear shape, small or no nucleoli, scanty cytoplasm, and mild to
moderate basophilia Jenis ALL yang paling sering ditemukan
• ALL-L2: Large, heterogeneous cells with variable nuclear chromatin,
an irregular nuclear shape, 1 or more nucleoli, a variable amount of
cytoplasm, and variable basophilia
• ALL-L3: Large, homogeneous cells with fine, stippled chromatin;
regular nuclei; prominent nucleoli; and abundant, deeply basophilic
cytoplasm. The most distinguishing feature is prominent
cytoplasmic vacuolation
ALL AML
epidemiologi ALL merupakan keganasan yg paling 15% dari leukemia pada pediatri, juga
sering ditemui pada anak-anak (1/4 ditemukan pada dewasa
total kasus keganasan pediatrik)
Puncak insidens usia 2-5 tahun
etiologi Penyebab tidak diketahui Cause unknown. Risk factors: benzene
exposure, radiation exposure, prior
treatment with alkylating agents
Gejala dan Gejala dan tanda sesuai dengan Pucat, mudah lelah, memar, peteki,
tanda infiltrasi sumsum tulang dan/atau epistaksis, demam, hiperplasia gingiva,
gejala ekstrameduler: konjungtiva chloroma, hepatosplenomegali
pucat, petekie dan memar akibat
trombositopenia; limfadenopati,
hepatosplenomegali.Terkadang ada
keterlibatan SSP (papil edem, canial
nerve palsy); unilateral painless
testicular enlargement.
Lab Anemia, Trombositopenia, Trombositopenia, leukopenia/leukositosis,
Leukopeni/Hiperleukositosis/norma primitif granulocyte/monocyte, auer rods
l, Dominasi Limfosit, Sel Blas (+) (thin, needle-shaped, eosinophilic
cytoplasmic inclusions)

Terapi kemoterapi kemoterapi


119. Tuberkulosis pada anak
Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB pada
anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Sistem Skoring
• Diagnosis oleh dokter
• Perhitungan BB saat
pemeriksaan
• Demam dan batuk yang tidak
respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Adanya skrofuloderma
langsung didiagnosis TB
• Rontgen bukan alat diagnosis
utama
• Reaksi cepat BCG harus
dilakukan skoring
• Reaksi cepat BCG harus
dievaluasi dengan sistem
• skoring
• Total nilai 4 pada anak balita
atau dengan kecurigaan
• besar dirujuk ke rumah sakit
• Profilaksis INH diberikan pada
anak dengan kontak BTA (+)
dan total nilai <5
Prinsip Pengobatan TB Anak
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2013. Depkes.
Uji Tuberkulin
• Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi berupa
indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan akumulasi sel-sel
inflamasi)
• Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU, PPD S
5TU, PPD Biofarma
• Cara : Suntikkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan 48-72 jam setelah penyuntikan
• Pengukuran (pembacaan hasil)
– Dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan eritemanya
– Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal.
– Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul = 0 mm
• Hasil:
– Positif jika indurasi >= 10mm
– Ragu-ragu jika 5-9 mm
– Negatif < 5 mm
Profilaksis TB pada anak (PPM IDAI 2011)
Profilaksis TB Anak (menurut Juknis TB
Anak, Depkes 2013)
Profilaksis TB Anak (menurut Juknis TB
Anak, Depkes 2013)
120. Trauma Lahir Ekstrakranial
Kaput Suksedaneum Perdarahan Subgaleal
• Paling sering ditemui • Darah di bawah galea
• Tekanan serviks pada kulit aponeurosis
kepala • Pembengkakan kulit kepala,
• Akumulasi darah/serum ekimoses
subkutan, ekstraperiosteal • Mungkin meluas ke daerah
• TIDAK diperlukan terapi, periorbital dan leher
menghilang dalam • Seringkali berkaitan dengan
beberapa hari. trauma kepala (40%).
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh
darah antara tengkorak dan periosteum
• Etiologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan
ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis
• Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang
terjadi pada tulang oksipital
• Tanda dan gejala:
– massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi;
– pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal
didalam tulang di bawah massa;
– pembengkakan tidak meluas melewati batas sutura yang
terlibat
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya
waktu
• 5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak
• Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu
• Komplikasi: ikterus, anemia
• Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun.
• Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun
teraba berfluktuasi
• Tatalaksana:
• Observasi pada kasus tanpa komplikasi
• Transfusi jika ada indikasi
• Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)
121. Disentri
• Disentri adalah diare yang disertai darah. Sebagian
besar kasus disebabkan oleh Shigella dan hampir
semuanya membutuhkan pengobatan antibiotik
• Pemeriksaan penunjang: Feses rutin untuk
mengidentifikasi trofozoit amuba dan giardia.
Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per lapang
pandang mendukung etiologi bakteri invasif
• Pikirkan diagnosa invaginasi jika terdapat tanda dan
gejala: Feses dominan lendir dan darah, kesakitan dan
gelisah, muntah, massa intra-abdomen (+)

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


(shigellosis)
• Bakteri (Disentri basiler)
– Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan
tersering (± 60% kasus disentri yang dirujuk serta
hampir semua kasus disentri yang berat dan
mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella.
– Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
– Salmonella
– Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
• Amoeba (Disentri amoeba),
disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering
pada anak usia > 5 tahun
Gejala klinis
Disentri basiler Disentri amoeba
• Diare mendadak yang disertai darah
dan lendir dalam tinja. Pada disentri • Diare disertai darah dan
shigellosis, pada permulaan sakit, lendir dalam tinja.
bisa terdapat diare encer tanpa darah
dalam 6-24 jam pertama, dan setelah • Frekuensi BAB umumnya
12-72 jam sesudah permulaan sakit, lebih sedikit daripada
didapatkan darah dan lendir dalam
tinja.
disentri basiler (≤10x/hari)
• Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan • Sakit perut hebat (kolik)
toksik. • Gejala konstitusional
• Muntah-muntah.
biasanya tidak ada (panas
• Anoreksia.
• Sakit kram di perut dan sakit di anus
hanya ditemukan pada 1/3
saat BAB. kasus).
• Kadang-kadang disertai dengan gejala
menyerupai ensefalitis dan sepsis
(kejang, sakit kepala, letargi, kaku
kuduk, halusinasi).
PENGOBATAN
• Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis.
• Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) : Kotrimoksazol
(trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari)
dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari.
• Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari/4 dosis,
Cefixime 8mg/kgBB/hari/2 dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, Asam
nalidiksat 55mg/kgBB/hari/4 dosis.
• Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit
dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll.
• Terapi antiamebik diberikan dengan indikasi :
– Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica tinja.
– Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut
(masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri
basiler.

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


PENGOBATAN
• Terapi antiamebik intestinal pada anak adalah Metronidazol
30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5 hari. Bila
disentri memang disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan
akan membaik dalam 2-3 hari terapi.
– Jika negatif amuba, berikan antibiotik oral lain (lini ke-2) yang sensitif
shigella : sefiksim dan asam nalidiksat.
– Pada anak < 2 bulan, evaluasi penyebab lain (Cth. Invaginasi)
– Penanganan lain sama dengan penanganan diare akut (cairan, zinc)
– Jangan pernah memberi obat untuk menghilangkan gejala
simptomatis seperti nyeri atau untuk mengurangi frekuensi BAB
122. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and


adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition.
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90%  mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted  gizi • ≥70-80%  moderate
buruk malnutrition
• ≤70%  severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition  Gizi Buruk
cm
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Tindaklanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi

10. Siapkan tindak lanjut


HIPOGLIKEMIA
• Semua anak dengan gizi • Jika anak tidak sadar, beri
buruk berisiko hipoglikemia larutan glukosa 10% IV
(< 54 mg/dl) bolus 5 ml/kg BB, atau
• Jika tidak memungkinkan larutan glukosa/larutan gula
periksa GDS, maka semua pasir 50 ml dengan NGT.
anak gizi buruk dianggap • Lanjutkan pemberian F-75
hipoglikemia setiap 2–3 jam, siang dan
• Segera beri F-75 pertama, malam selama minimal dua
bila tidak dapat disediakan hari.
dengan cepat, berikan 50 ml
glukosa/ gula 10% (1 sendok
teh munjung gula dalam 50
ml air) oral/NGT.
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


Pemberian Makanan
• Fase stabilisasi (Inisiasi)
– Energi: 80-100 kal/kg/hari
– Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
– Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi
– Energi: 100-150 kal/kg/hari
– Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi
– Energi: 150-220 kal/kg/hari
– Protein: 3-4 gram/kg/hari
123. Hemofilia
• Hemophilia is the most common inherited bleeding
disorder.
• There are:
– Hemophilia A : deficiency of factor VIII
– Hemophilia B : deficiency of factor IX (christmas disease)
• Both hemophilia A and B are inherited as X-linked recessive
disorders
• Symptoms could occur since the patient begin to crawl
• Incidence:
– hemophilia A (± 85%)
– hemophilia B (± 15%)
• Approximately 70% had family history of bleeding problems
• Clinical manifestasion: mild, Moderate, severe
Genetic
• Inherited as sex (X)-linked recessive
• Genes of factor VIII/IX are located on the
distal part of the long arm (q) of X
chromosome
• Female (women) are carriers

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


http://www.cdc.gov/ncbddd/hemophilia/inheritance-pattern.html
Clinical manifestation

• Bleeding:
• usually deep (hematoma, hemarthrosis)
• spontaneous or following mild trauma
• Type:
 hemarthrosis
 hematoma
 intracranial hemorrhage
 hematuria
 epistaxis
 bleeding of the frenulum (baby)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Diagnosis
• history of abnormal bleeding in a boy
• normal platelet count
• bleeding time usually normal
• clotting time: prolonged
• prothrombin time usually normal
• partial thromboplastin time prolonged
• decreased antihemophilic factor
Antenatal diagnosis
• antihemophilic factor level
• F-VIII/F-IX gene identification (DNA analysis )

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Classification of Hemophilia A & B
• The classification of the severity of hemophilia has been based on
either clinical bleeding symptoms or on plasma procoagulant levels;
the latter are the most widely used criteria.
• Classification according to plasma procoagulant levels is as follows:
– Severe hemophilia – FVIII/FIX level less than 1% of normal (< 0.01
IU/mL)
– Moderate hemophilia – FVIII/FIX level 1-5% of normal (0.01-0.05
IU/mL)
– Mild hemophilia – FVIII/FIX level more than 5% but less than 40% of
normal (>0.05 to < 0.40 IU/mL)
• Severe disease presents in children younger than 1 year
• Moderate disease presents in children aged 1-2 years
• Mild disease presents in children older than 2 years
Classification of Hemophilia A & B

5-40% (emedicine)
• For treatment of acute bleeds, target levels by
hemorrhage severity are as follows:
– Mild hemorrhages (eg, early hemarthrosis, epistaxis,
gingival bleeding): Maintain an FVIII level of 30%
– Major hemorrhages (eg, hemarthrosis or muscle
bleeds with pain and swelling, prophylaxis after head
trauma with negative findings on examination):
Maintain an FVIII level of at least 50%
– Life-threatening bleeding episodes (ie, major trauma
or surgery, advanced or recurrent hemarthrosis):
Maintain an FVIII level of 80-100%
Blood component replacement therapy

factor-VIII factor-IX
(unit/ml) (unit/ml) (ml)

fresh-frozen plasma ~ 0,5 ~ 0,6 200


cryoprecipitate ~ 4,0 - 20
factor - VIII concentrate 25 - 100 - 10
factor - IX concentrate - 25 - 35 20

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


124. Diabetes Melitus Tipe 1
(Insulin-dependent diabetes mellitus)
• Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme glukosa
yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
• Etiologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β pankreas
sehingga produksi insulin berkurang, bahkan terhenti. Dipengaruhi
faktor genetik dan lingkungan.
• Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
• Komplikasi : Hipoglikemia, KETOASIDOSIS DIABETIKUM,
retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and
autonomic neuropathy, macrovascular disease
• Manifestasi Klinik:
– Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
– Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat dan
dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
PATHOGENESIS DM Tipe 1

http://www.msdlatinamerica.com/diabetes/files/5dd56fc20582fb58eef8a00bf267aa84.gif
Diabetes Melitus Tipe 1
• Kriteria Diagnostik
– Klinis: Poliuria, Polidipsi, Polifagi, Penurunan BB
– Laboratorium:
• A fasting plasma glucose (FPG) level ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L), or
• A 2-hour plasma glucose level ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) during a 75-g oral glucose
tolerance test (OGTT), or
• A random plasma glucose ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) in a patient with classic
symptoms of hyperglycemia or hyperglycemic crisis
• Asimptomatik : Hasil positif pada lebih dari 2 kali pemeriksaan
• Pemeriksaan penunjang: Gula darah, urin reduksi, keton urin, HbA1C, C-
peptide
• Tatalaksana :
– Diet DM
– Kontrol Metabolik dengan Insulin
– Edukasi pertolongan pertama pada kedaruratan seperti hipoglikemia
dan ketoasidosis
Patogenesis Ketoasidosis Diabetikum
Diagnostic Criteria and Typical Total Body Deficits of
Water and Electrolytes in Diabetic Ketoacidosis
• Diagnostic criteria* • Typical deficits
– Blood glucose: > 250 mg per dL – Water: 6 L, or 100 mL per kg
(13.9 mmol per L) body weight
– pH: <7.3 – Sodium: 7 to 10 mEq per kg body
– Serum bicarbonate: < 15 mEq/L weight
– Urinary ketone: ≥3+ – Potassium: 3 to 5 mEq per kg
body weight
– Serum ketone: positive at 1:2
dilutions† – Phosphate: ~1.0 mmol per kg
body weight
– Serum osmolality: variable

*Not all patients will meet all diagnostic criteria,


depending on hydration status, previous
administration of diabetes treatment and other
factors.
Adapted with permission from Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA. Diabetic
ketoacidosis. In: Porte D Jr, Sherwin RS, eds. Ellenberg and Rifkin's Diabetes
mellitus. 5th ed. Stamford, Conn.: Appleton & Lange, 1997;827–44.

CLASSIC TRIAD OF DKA


Goals of Treatment KAD
• Restore perfusion, which will increase glucose
uptake in the periphery, increase glomerular
filtration, and reverse the progressive acidosis.
• Arrest ketogenesis with insulin administration,
which reverses proteolysis and lipolysis while
stimulating glucose uptake and processing,
thereby normalizing blood glucose concentration.
• Replace electrolyte losses.
• Intervene rapidly when complications,
• especially CE, occur.
125. Lumpuh Layuh Akut
• Merupakan hilangnya kekuatan otot yang disebabkan oleh
gangguan lower motor neuron atau unit motorik, yaitu badan sel di
kornu anterior medula spinalis, akson, sambungan saraf-otot, atau
pada otot itu sendiri
• Manifestasi Klinis
– Kelumpuhan tipe lower motor neuron berupa flaksid,
berkurangnya refleks fisiologis, atrofi, fasikulasi otot. Refleks
patologis (-)
• Pemeriksaan Penunjang :
– Elektrodiagnosis (Elektromiografi, nerve conduction studies)
– Enzim kreatin kinase
– Analisis CSF untuk diagnosis etiologi
– CT-scan atau MRI untuk menyingkirkan lesi kompresi
Lumpuh Layuh Akut
• Etiologi
– Sel-sel kornu anterior
• Infeksi virus : Poliomielitis
• Penyakit pasca infeksi virus yang diperantarai sistem
imun : Mielitis transversa akut ( Weakness and
numbness of the limbs as well as motor, sensory, and
sphincter deficits. The onset is sudden and progresses
rapidly)
– Trunkus saraf : Sindrom Guillain-Barre (Paralisis asendens,
simetris, dan nyeri), Toksin difteri
– Sambungan neuromuskular : Toksin botulinum
Poliomyelitis
• Poliomyelitis is an enteroviral • Poliomyelitis:
infection – 90-95% of all infection remain
asymptomatic
• Poliovirus is an RNA virus that is – 5-10% abortive type:
transmitted through the oral- • Fever
fecal route or by ingestion of • Headache, sore throat
contaminated water • Limb pain, lethargy
• The viral replicate in the • GI disturbance
nasopharynx and GI tract → – 1-2% major poliomyelitis:
invade lymphoid tissues → • Meningitis syndrome
hematologic spread → viremia → • Flaccid paresis with asymmetrical
neurotropic and produces proximal weakness & areflexia,
mainly in lower limbs
destruction of the motor neurons
• Paresthesia without sensory loss or
in the anterior horn and autonomic dysfunction
brainstem • Muscle atrophy
Paralytic polio
• Paralytic polio is classified into three types,
depending on the level of involvement.
– Spinal polio is most common, and during 1969–1979,
accounted for 79% of paralytic cases.
It is characterized by asymmetric paralysis that most
often involves the legs.
– Bulbar polio leads to weakness of muscles innervated
by cranial nerves and accounted for 2% of cases
during this period.
– Bulbospinal polio, a combination of bulbar and spinal
paralysis, accounted for 19% of cases
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/polio.pdf
Infection of the Nervous system
• Symptom:
– Mild cases : Fever, Headache,
Nausea, Vomiting, Abdominal pain,
Oropharyngeal hyperemia
– Nonparalytic poliomyelitis : Nuchal
rigidity, More severe headache, Back
and lower extremity pain, Meningitis
with lymphocytic pleocytosis
– Paralytic : Asymmetric loss of
muscle function with involvement of
major muscle groups. Muscle
atrophy is generally observed several
weeks after the beginning of
symptoms

Color atlas of neurology


Diagnosis Poliomielitis
Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana Penyakit Saraf
By dr. George Dew anto, SpS, dr. Wita J. Suw ono, SpS, dr. Budi Riyanto, SpS, & dr. Yuda
Turana, SpS
PENATALAKSANAAN PARALYTIC POLIOMYELITIS

• No antivirals are effective against polioviruses.


• The treatment of poliomyelitis is mainly supportive.
• Analgesia
• Mechanical ventilation
• Tracheostomy care
• Physical therapy: active and passive motion exercises
• Frequent mobilization to avoid development of chronic
decubitus ulcerations
• PENCEGAHAN: VAKSINASI (penting!)
126. THALASSEMIA
• Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek
pada sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri
dari komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala
klinis ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (kromosom 11, kelainan berupa mutasi)  yang
mayoritas ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa (Kromosom 16, kelainan berupa delesi)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan

Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.


PATHOPHYSIOLOGY OF THALASSEMIA 
ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe)

• Analisis Hb peripheral blood smear of patient with homozygous beta

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Hepatosplenomegali & Ikterik

Pucat

Hair on End

Hair on End & Facies Skully

Excessive iron in a bone marrow preparation


Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama kali • Splenektomi  jika memenuhi
jika: kriteria
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x berurutan
dengan jarak 2 minggu • Splenomegali masif
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies • Kebutuhan transfusi PRC > 200-220
cooley, gangguan tumbuh kembang ml/kg/tahun
• Transfusi darah selanjutnya jika hb<8
g/dL SAMPAI kadar Hb 10-11 g/dL • Transplantasi (sumsum tulang,
(dlm bentuk PRC rendah Leukosit) darah umbilikal)
• Medikamentosa • Fetal hemoglobin inducer
– Asam folat (penting dalam
pembentukan sel) 2x 1mg/hari (meningkatkan Hgb F yg
– Kelasi besi  menurunkan kadar Fe membawa O2 lebih baik dari Hgb
bebas dan me<<< deposit hemosiderin).
Dilakukan Jika Ferritin level > 1000 A2)
ng/ul, atau 10-20xtransfusi, atau
menerima 5 L darah. • Terapi gen
– Vitamin E (antioksidan karena banyak
pemecahan eritrosit  stress oksidatif
>>)
– Vitamin C (dosis rendah, pada terapi
denga n deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi
• Support psikososial
127. Syok Anafilaktik pada Anak
• ‘‘Anaphylaxis is a serious allergic reaction that is rapid in onset and
may cause death.’’
• Anaphylaxis involves an immunoglobulin E (IgE)–mediated
immediate hypersensitivity reaction resulting in the release of
potent chemical mediators from mast cells and basophils. –
Hipersensitivitas tipe 1
• most effects involve the cutaneous, respiratory, cardiovascular, and
gastrointestinal systems.
• Children withatopy, including asthma, eczema, and allergic rhinitis,
are at higher risk of anaphylaxis.
• The severity of a previous reaction does not necessarily predict the
severity of a subsequent reaction.
• Certainly, individuals with a previous anaphy- lactic reaction are at
higher risk for recurrence.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007.
http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa
jam (pada anak rata-rata muncul 5-30 menit
postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007.
http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
www.resus.org.uk/pages/reacti
on.pdf
2012.

If there are symptoms of


airway obstructionconsider
early intubation
Epinephrine in the Treatment of
Anaphylaxisa
Intramuscular (IM) administration
Epinephrine 1:1000 (aqueous): IM (anterolateral thigh), 0.01 mL/kg per dose, up
to 0.5 mL, repeated every 5–15 min, up to 3 doses.b
Intravenous (IV) administration
An initial bolus of IV epinephrine is given to patients not responding to IM
epinephrine using a dilution of 1:10 000 rather than a dilution of 1:1000. This
dilution can be made using 1 mL of the 1:1000 dilution in 9 mL of physiologic saline
solution. The dose is 0.01 mg/kg or 0.1 mL/kg of the 1:10 000 dilution. A
continuous infusion should be started if repeated doses are required. One
milligram (1 mL) of 1:1000 dilution of epinephrine added to 250 mL of 5% dextrose
in water, resulting in a concentration of 4 μg/mL, is infused initially at a rate of 0.1
μg/kg per minute and increased gradually to 1.5 μg/kg per minute to maintain
blood pressure.
a In addition to epinephrine, maintenance of the airway and administration of oxygen are critical.
b If agent causing anaphylactic reaction was given by injection, epinephrine can be injected into the same site to slow
absorption.
128. ASFIKSIA
NEONATAL
later after
a period of
Respiratory normal
Distress function

at birth Possible causes

• Acquired/Nosocomial
Pneumonia
Term Baby Preterm Baby • Dev anomalies
• CHD
• TTN • RDS • IEM
• MAS • Congenital • Metabolic (Met
• Congenital Pneumonia acidosis/ electrolytes)
Pneumonia • TTN
• Dev Anomalies
Silverman Anderson Score for
Premature Baby
Score Upper Chest Lower Chest Xiphoid Nasal Flaring Grunting
Retraction Retraction Retraction
0 Synchronous None None None None
1 Lag on Just visible Just visible Minimal Stethoscope
Inspiration
2 See-Saw Mark Mark Mark Naked ear

Score > 6 = impending Respiratory Failure

Downe’s Score for Term Baby


Score Respiratory Cyanosis Air entry Retraction Grunting
Rate
0 <60 None Good None None
1 60-80 In air Decrease Minimal Stethoscope
2 >80/ apnoea In 40% O2 Barely Moderate/ Naked ear
audible severe
129. Neonatus
• Adequate newborn weight • monitor kenaikan BB
gain
– Anticipate up to 10% weight
:
loss after delivery and regain – trimester 1 : 25-30 g/h =
to birth weight by 2 weeks 200 g/mg = 750-900
– Weight gain g/bln
• Daily: 20-30 grams per day
• Weekly: 150-200 grams per
– trimester 2 : 20 g/h =
week 150 g/mg = 600 g/bln
• Infant doubles birth weight in
6 months
– Trimester 3: 15 g/h = 100
g/mg = 400 g/bln
• Adequate hydration
– Expect clear urine output 6-8
– Trimester 4: 10 g/h = 50-
times daily 75 g/mg = 200-300 g/bln
Tanda-tanda bahwa bayi mendapat
cukup ASI
• Bayi menyusu 8 – 12 kali sehari, • Frekuensi buang air besar (BAB) > 4
menghisap secara teratur kali sehari dengan volume paling
selama minimal 10 menit pada setiap tidak 1 sendok makan, pada bayi usia
payudara. 4 hari sampai 4 minggu.
• Bayi akan tampak puas setelah • Sering ditemukan bayi yang BAB
menyusu dan seringkali tertidur pada setiap kali menyusu, dan hal ini
saat menyusu, terutama pada merupakan hal yang normal
payudara yang kedua • Apabila setelah bayi berumur 5 hari,
• Frekuensi buang air kecil (BAK) bayi > fesesnya masih berupa mekoneum,
6 kali sehari. atau transisi antara hijau kecoklatan,
• Urin berwarna jernih, tidak merupakan salah satu tanda bayi
kekuningan. kurang mendapat ASI.
• Berat badan bayi tidak turun lebih
dari 10% dibanding berat lahir
• Berat badan bayi kembali seperti
berat lahir pada usia 10 sampai 14
hari setelah lahir.
Pola defekasi pada bayi baru lahir
• Pada bayi baru lahir umumnya mempunyai aktivitas laktase
belum optimal sehingga kemampuan menghidrolisis laktosa
yang terkandung di dalam ASI maupun susu formula juga
terbatas.
• Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan
osmolaritas di dalam lumen usus halus yang mengakibatkan
peningkatan frekuensi defekasi.
• Rentang frekuensi defekasi pada minggu pertama sangat bervariasi,
minimal 1 kali per hari. (Rochitasari dkk: 2011)
– Rentang terluas terdapat pada kelompok ASI yaitu 1–12 kali per
hari
– Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki frekuensi defekasi
paling tinggi pada minggu pertama karena kolostrum ASI yang
merupakan laksatif alami keluar pada satu minggu pertama
setelah bayi lahir.
Pola defekasi bulan pertama
• ASI kaya dengan protein dan oligosakarida yang tak
dapat dicerna, sehingga dapat meningkatkan volume,
osmolaritas dan akhirnya dapat meningkatkan
frekuensi defekasi.
• Frekuensi menetek yang sering akan menyebabkan
stimulasi pada reflek gastrokolik dan frekuensi defekasi
yang lebih sering
• Kandungan prostaglandin dalam ASI juga memiliki
peran terhadap motilitas gastrointestinal yang
membantu terjadinya peristaltik.
• Frekuensi defekasi yang sering tersebut tidak
memenuhi kriteria diare, karena bayi tidak mengalami
kehilangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit dari saluran
cerna.
130. Ikterus neonatorum

- Pewarnaan kuning pada sklera dan kulit yang


disebabkan oleh penumpukan bilirubin
- Terlihat pada kulit bila kadar >5 mg/dl
- Terlihat pada >50% neonatus
- Pada bayi prematur > bayi cukup bulan
Gambar 8. metabolisme bilirubin dalam tubuh.
Perhatikan fungsi hepatosit yang melakukan
konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk.
Adanya ikterik merupakan manifestasi gangguan di
prehepatik, intrahepatik atau ekstrahepatik.
(Chandrasoma P, Taylor CR. Concise Pathology.
3 rd edition. McGrawHill.
http://www.accessmedicine.com diunduh tanggal 25
Juli 2013)
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 2 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Kramer’s Rule

Daerah tubuh Kadar bilirubin mg/dl


Muka 4 -8
Dada/punggung 5 -12
Perut dan paha 8 -16
Tangan dan kaki 11-18
Telapak tangan/kaki >15
Panduan foto terapi

AAP, 2004
Panduan transfusi tukar

AAP, 2004
131-132. IMUNISASI
Hepatitis B

• Jadwal vaksin hepatitis B1 tetap dianjurkan


umur 12 jam.
• Diberikan setelah vitamin K1.
Penting untuk
mencegah terjadinya perdarahan akibat
defisiensi vitamin K.
• HBIg utk bayi dari ibu HBsAg positif, selain
imunisasi hepatitis B, utk cegah infeksi
perinatal yang berisiko tinggi untuk terjadinya
hepatitis B kronik.
Hartono Gunardi. Jadwal Imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2014. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM
Polio
• Vaksin polio 0 : polio oral (saat lahir atau saat
bayi dipulangkan)
• Untuk vaksin polio 1, 2, 3 dan booster : polio
oral (OPV) atau polio inaktivasi (IPV)
• Rekomendasi: paling sedikit 1 dosis IPV yang
penting dalam masa transisi dalam menuju
eradikasi polio

Hartono Gunardi. Jadwal Imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2014. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM
Campak

• Imunisasi campak pada program nasional


• diberikan 2 kali pada umur 9 dan 24 bulan
(Permenkes RI no 42/ 2013 tentang
penyelenggaran imunisasi)
• Bila mendapat MMR umur 15 bulan, imunisasi
campak umur 24 bulan tidak diperlukan.

Hartono Gunardi. Jadwal Imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2014. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM
133. Eksantema akut
Morbili/Rubeola/Campak
• Pre-eruptive Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis
– Respiratory Symptoms – cough
• Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam tinggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruritis, letargi dan
limfadenopati oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Morbili
• Paramyxovirus • Prodromal
• Kel yg rentan: – Hari 7-11 setelah
– Anak usia prasekolah yg eksposure
blm divaksinasi – Demam, batuk,
– Anak usia sekolah yang konjungtivitis,sekret
gagal imunisasi hidung. (cough, coryza,
conjunctivitis  3C)
• Musin: akhir musim • Enanthem  ruam
dingin/ musim semi kemerahan
• Inkubasi: 8-12 hari • Koplik’s spots muncul 2
• Masa infeksius: 1-2 hari hari sebelum ruam dan
sblm prodromal s.d. 4 bertahan selama 2 hari.
hari setelah muncul ruam
Komplikasi
• Otitis Media
• Bronchopneumonia
• Encephalitis
• Pericarditis
• Subacute sclerosing
panencephalitis – late
sequellae due to
persistent infection of
the CNS
Rubella
• Togavirus • Asymptomatik hingga
• Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi • Prodromal
• Musim: akhir musim – Anak-anak: tidak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
– Dewasa: demam, malaside,
• Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
• Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadenitis
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul • Enanthem
– Forschheimer’s spots
petekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi
• Arthralgias/arthritis pada
org dewasa
• Peripheral neuritis
• encephalitis
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 • Demam tinggi 3-4 hari
(and 7) • Demam turun mendadak
• Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai timbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
• Musim: sporadik • Kejang yang mungkin
• Inkubasi: 9 hari timbul berkaitan dengan
• Masa infeksius: berada infeksi pada meningens
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomatik persisten.
Scarlet Fever
• Sindrom yang memiliki • Rash : Timbul 12-48 jam
karakteristik: faringitis setelah onset demam. Dimulai
eksudatif, demam, dan rash. dari leher kemudian menyebar
• Disebabkan oleh group Abeta- ke badan dan ekstremitas.
hemolyticstreptococci • Pemeriksaan : Throat culture
(GABHS) positive for group A strep
• Masa inkubasi 1-4 hari. • Tatalaksana : Antibiotik
• Manifestasi pada kulit diawali antistreptokokal minimal 10
oleh infeksi streptokokus hari (Eritromisin atau Penicillin
(umumnya pada G)
tonsillopharynx) : nyeri
tenggorokan dan demam
tinggi, disertai nyeri kepala,
mual, muntah, nyeri perut,
myalgia, dan malaise.
Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-
overview
134. Reaksi Hipersensitivitas
Fase Dini/ Initial Response
Terjadi beberapa menit setelah terpapar alergen yang sama untuk
kedua kalinya
puncaknya 15-20 menit pasca paparan
berakhir 60 menit kemudian

REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE I

Fase Lanjut/ Late Phase Reaction


Disebabkan akumulasi dan infiltrasi eosinofil, neutrofil, basofil,
limfosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi
berlangsung 4-8 jam, dapat menetap beberapa hari
Tipe I (IgE-Mediated type)
Table 6-3. Summary of the Action of Mast Cell Mediators in
Immediate (Type I) Hypersensitivity
Action Mediator
Vasodilation, increased Histamine
vascular permeability PAF
Leukotrienes C4, D4, E4
Neutral proteases that activate complement
and kinins
Prostaglandin D2
Smooth muscle spasm Leukotrienes C4, D4, E4
Histamine
Prostaglandins
PAF
Cellular infiltration Cytokines, e.g., TNF
Leukotriene B4
Eosinophil and neutrophil chemotactic
factors (not defined biochemically)
PAF
Vagus Nerve

Acetylcholine
Cholinergic Ca++
receptor
Guanylate
Cyclase Phospho
diesterase
IgE
GTP
cGMP ↑ 5’ GMP
Allergen

Pre-SRS-A SRS-A

E E Histamine

ECF-A

Phospho
Ca++ ATP cAMP ↑
diesterase
5’ AMP

cAMP ↓
Adenylate cyclase

 -adrenergic
receptor  -adrenergic
H2 Receptor receptor
Norephinephrine
PGE receptor Histamine
Ephinephrine PGE1 / PGE2
Sympathetic Nerve
Penyakit hipersensitifitas tipe II
Disease Target Antigen Mechanisms of Disease Clinicopathologic Manifestations
Autoimmune hemolytic Erythrocyte membrane proteins (Rh blood Opsonization and phagocytosis of Hemolysis, anemia
anemia group antigens, I antigen) erythrocytes
Autoimmune Platelet membrane proteins (gpllb:Illa Opsonization and phagocytosis of Bleeding
thrombocytopenic intergrin) platelets
purpura
Pemphigus vulgaris Proteins in intercellular junctions of epidermal Antibody-mediated activation of Skin vesicles (bullae)
cells (epidermal cadherin) proteases, disruption of
intercellular adhesions
Vasculitis caused by ANCA Neutrophil granule proteins, presumably Neutrophil degranulation and Vasculitis
released from activated neutrophils inflammation
Goodpasture syndrome Noncollagenous protein in basement Complement- and Fc receptor- Nephritis, lung hemorrhage
membranes of kidney glomeruli and mediated inflammation
lung alveoli
Acute rheumatic fever Streptococcal cell wall antigen; antibody Inflammation, macrophage activation Myocarditis, arthritis
cross-reacts with myocardial antigen
Myasthenia gravis Acetylcholine receptor Antibody inhibits acetylcholine Muscle weakness, paralysis
binding, down-modulates
receptors
Graves disease TSH receptor Antibody-mediated stimulation of Hyperthyroidism
(hyperthyroidism) TSH receptors
Insulin-resistant diabetes Insulin receptor Antibody inhibits binding of insulin Hyperglycemia, ketoacidosis
Pernicious anemia Intrinsic factor of gastric parietal cells Neutralization of intrinsic factor, Abnormal erythropoiesis, anemia
decreased absorption of
vitamin B 12

ANCA, antineutrophil cytoplasmic antibodies; TSH, thyroid-stimulating hormone


From Abbas AK, Lichtman H: Cellular and Molecular Immunology. 5th edition. WB Saunders Company, Philadelphia,
2003.
Penyakit Immune Complex-Mediated Diseases (III)

Clinicopathologic
Disease Antigen Involved Manifestations
Systemic lupus erythematosus DNA, nucleoproteins, others Nephritis, arthritis,
vasculitis
Polyarteritis nodosa Hepatitis B virus surface antigen (in some cases) Vasculitis

Poststreptococcal Streptococcal cell wall antigen(s); may be "planted" Nephritis


glomerulonephritis in glomerular basement membrane

Acute glomerulonephritis Bacterial antigens (Treponema); parasite antigens Nephritis


(malaria, schistosomes); tumor antigens

Reactive arthritis Bacterial antigens (Yersinia) Acute arthritis

Arthus reaction Various foreign proteins Cutaneous vasculitis

Serum sickness Various proteins, e.g., foreign serum (anti- Arthritis, vasculitis,
thymocyte globulin) nephritis
Penyakit T Cell-Mediated (Type IV) Hypersensitivity
Specificity of Pathogenic T Clinicopathologic
Disease Cells Manifestations
Type 1 diabetes Antigens of pancreatic islet β Insulitis (chronic
mellitus cells (insulin, glutamic inflammation in
acid decarboxylase, islets), destruction
others) of β cells;
diabetes
Multiple sclerosis Protein antigens in central Demyelination in CNS
nervous system myelin with perivascular
(myelin basic protein, inflammation;
proteolipid protein) paralysis, ocular
lesions
Rheumatoid arthritis Unknown antigen in joint Chronic arthritis with
synovium (type II inflammation,
collagen?); role of destruction of
antibodies? articular cartilage
and bone
Peripheral neuropathy; Protein antigens of peripheral Neuritis, paralysis
Guillain-Barré nerve myelin
syndrome?
135. Ginekologi
Jenis Keterangan
Kista Bartholin Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah vagina,di
belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara kelenjar e.c trauma
atau infeksi
Kista Nabothi Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks diganti
(ovula) dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit menonjol dengan
permukaan licin (tampak spt beras)
Polip Serviks Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai, ukuran
bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai menonjol dari
kanalis servikalis ke vagina. Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler,
sedangkan polip mengalami peradangan dengan metaplasia skuamosa atau
ulserasi dan perdarahan.

Kista Gartner Suatu kista vagina yang disebabkan oleh sisa jaringan embrional (duktus
Wolffian). Biasanya didapatkan di dinding anterolateral superior vagina.
Ukuran pada umumnya < 2cm, namun dapat berkembang hingga lebih besar
Mioma Geburt Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami nekrosis
dan ulserasi.
Kista Nabothi
• Etiologi
– Terjadi bila kelenjar penghasil mukus di
permukaan serviks tersumbat epitel
skuamosa
• Kista naboti  masa yang berisi mukus,
terbentuk akibat tertutupnya kelenjar
penghasil mukus oleh sel squamosa.
• Bukan keganasan
• Tidak bergejala
• Tidak perlu diobati; Bila simptomatik 
drainase
• Pemeriksaan
- Pemeriksaan pelvis, kadang dengan kolposkopi
• Gejala & Tanda
– Berbentuk seperti beras dengan
permukaan licin
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001514.htm
136. Ligamen pada uterus
• Ligamentum kardinal (mackenrodt)
– Berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah dinding lateral pelvis
– Mencegah uterus tidak turun
• Ligamentum rotundum
– Berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke darah ingunial kiri dan
kanan
– Mempertahankan uterus dalam keadaan antefleksi
• Ligamentum latum (broad)
– Merupakan bagian dari peritoneum viseral
– Tidak memiliki arti dalam mempertahankan posisi uterus
• Ligamentum sakro-uterina
– Berjalan dari serviks bagian belakang kiri dan kanan ke os sakrum kiri dan
kanan
– Mempertahankan uterus agar tidak banyak bergerak
• Ligamentum infundibulopelvicum
– Berjalan dari tuba ke dinding pelvis
– Ligamen yang menahan tuba falopi
Ligament pada uterus
137. Siklus menstruasi
Siklus Menstruasi
• Pada siklus ovarium terjadi 2 fase
– Fase folikular  pematangan folikel
• Lama fase 14 hari ± 7 hari
• Dipengaruhi oleh hormon FSH, LH, dan estrogen
– Fase luteal  setelah ovulasi
• Lama fase 13-14 hari (selalu konstan dan sama di
wanita)
• Dipengaruhi oleh hormon LH
• Ovum hanya bertahan 24 jam setelah ovulasi
Siklus Menstruasi
• Pada siklus menstruasi 28 hari maka ovulasi
akan terjadi pada hari ke 14 yang dihitung dari
hari pertama haid terakhir
• Sehingga bila pasien berhubungan badan
tanpa pengaman, pasien akan memiliki
kesempatan besar untuk hamil
• Rumus naegel untuk menentukan taksiran
persalinan adalah hari HPHT + 7, bulan - 3,
tahun + 1
Simulasi Penghitungan Masa Ovulasi

SIKLUS HAID: 28 HARI

SIKLUS HAID - 14 HARI =


14 HARI SELALU 14 HARI

7 Januari 2014: 21 Januari 2014: 4 Februari 2014:


HPHT OVULASI Menstruasi
Berikutnya

Taksiran persalinan: (7 + 7) – (Januari - 3 bulan) – (2014+1)


= 14 Oktober 2014
138. Anatomi Panggul

Tulang yang menyusun


panggul
• Os coccae (tulang pangkal
paha) yang terdiri dari 3
buah tulang yang
berhubungan yaitu
– Os illium (tulang usus)
– Os ischium (tulang duduk)
– Os pubis (tulang kemaluan)
• Os sacrum (tulang
kelangkang), dan
• Os coxigys (tulang
tungging).
Bentuk Panggul Wanita
Menurut Caldwell dan Molloy, bentuk panggul terbagi menjadi 4
yaitu:
• PANGGUL GYNECOID
Panggul paling baik untuk perempuan. Bentuk pintu atas panggul
hampir bulat. Diameter anteroposterior sama dengan diameter
transversa bulat. Jenis ini ditemukan pada 45% wanita

• PANGGUL ANDROID
Bentuk pintu atas panggul hampir segitiga. Umumnya pria
mempunyai jenis seperti ini. Panjang diameter transversa dekat
dengan sakrum. Pada wanita ditemukan 15%.

• PANGGUL ANTHROPOID
Bentuk pintu atas panggul agak lonjong seperti
telur. Panjang diameter anteroposterior lebih besar daripada
diameter transversa. Jenis ini ditemukan 35% pada wanita

• PANGGUL PLATYPELOID
Sebenarnya jenis ini adalah jenis ginekoid yang menyempit pada
arah muka belakang. Ukuran melintang jauh lebih besar daripada
ukuran muka belakang. Jenis ini ditemukan pada 5% perempuan.
Jenis panggul
• Panggul
ginekoid
adalah yang
paling sering
ditemukan
pada wanita
Diameter panggul
• Diameter normal
konjugata
diagonalis adalah
13 cm
• Diameter normal
konjugata
obstetrik dan
konjugata
diagonalis (vera) =
11,5 cm
139. Amenorhea
Ciri-ciri perkembangan seks sekunder
Amenorhea
• Amenorhea dibagi menjadi 2
– Primer 
• belum pernah mendapatkan menarche pada usia 14
tahun tanpa adanya tanda2 perkembangan seks
sekunder
• atau pada usia 16 tahun dengan adanya perkembangan
seks sekunder
– Sekunder  terhentinya siklus menstruasi selama
3 siklus atau selama 6 bulan atau 9 bulan pada
wanita dengan oligomenorhea
Etiologi
Penyebab amenore primer:
1. Tertundanya menarke (menstruasi pertama)
2. Kelainan bawaan pada sistem kelamin (misalnya tidak memiliki rahim atau vagina,
adanya sekat pada vagina, serviks yang sempit, lubang pada selaput yang
menutupi vagina terlalu sempit/himen imperforata)
3. Penurunan berat badan yang drastis (akibat kemiskinan, diet berlebihan, anoreksia
nervosa, bulimia, dan lain lain)
4. Kelainan bawaan pada sistem kelamin
5. Kelainan kromosom (misalnya sindroma Turner atau sindroma Swyer) dimana sel
hanya mengandung 1 kromosom X)
6. Obesitas yang ekstrim
7. Hipoglikemia
Etiologi
Penyebab amenore sekunder:
1. Kehamilan
2. Kecemasan akan kehamilan
3. Penurunan berat badan yang drastis
4. Olah raga yang berlebihan
5. Lemak tubuh kurang dari 15-17%extreme
6. Mengkonsumsi hormon tambahan
7. Obesitas
8. Stres emosional
Algoritma Amenore Primer
Algoritma Amenore Sekunder
140 -142. Antenatal Care
• Tujuan umum antenatal care
– Untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh
pelayanan antenatal yang berkualitas sehingga
mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin
dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat
• Jadwal antenatal care
– Usia kehamilan hingga 28 minggu setiap 4 minggu,
29-36 setiap 2 minggu, dan >36 setiap seminggu
– Seminimal-minimalnya 1 x trimester I, 1 x trimester
kedua, dan 2 x trimester 3
Antenatal Care
• Kegiatan ANC, 7T
– Timbang berat badan
– Ukur Tekanan darah
– Ukur Tinggi fundus
– Imunisasi Tetanus Toxoid
– Tablet besi, minimum 90 tablet selama kehamilan
– Tes penyakit menular seksual
– Temu wicara untuk persiapan rujukan
Antenatal Care
• Jadwal imunisasi Tetanus Toxoid (dosis 0.5cc)
– Efek perlindungan baru muncul apabila minimal sudah
mendapatkan 2 kali suntikan dengan rentang 4 minggu
– Bila sudah mendapatkan 2 x suntikan sebelum kehamilan
yang terakhir, cukup diberikan 1 x suntikan sebagai
booster
– Selambat-lambatnya suntikan pertama diberikan saat
kehamilan 32 minggu, agar masih ada kesempatan
suntikan kedua
Antenatal Care
• Ciri-ciri kehamilan risiko tinggi
– Terlalu muda <20 tahun
– Terlalu tua >35 tahun
– Terlalu rapat kehamilan (<2 tahun)
– Terlalu lama hamil lagi (>10 tahun)
– Terlalu banyak (>3)
– Terlalu pendek <145 cm
– Terlalu kurus, lingkar lengan atas <23.5cm
– Riwayat persalinan dengan SC
– Riwayat persalinan dengan komplikasi
• Perdarahan, PEB, prematur, kembar, anemia, malaria, Diabetes
143. Imunisasi yang
dikontraindikasikan selama kehamilan
Imunisasi dari kuman yang dilemahkan berbahaya bagi kehamilan
144-146. Abortus
• Abortus  ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
pada kehamilan <20 minggu atau berat janin <500gr.
• Abortus terbagi berdasarkan proses
– Abortus spontan
– Abortur provokatus: medicinals dan kriminalis
• Abortus berdasarkan gejala, tanda, dan patologis
– Abortus iminens (threatened)
– Abortus insipiens
– Abortus inkomplit
– Abortus komplit
– Abortus habitualis
– Missed abortion
– Septic abortion
PERDARAHA BESAR
DIAGNOSIS SERVIKS GEJALA LAIN
N UTERUS
• Tes kehamilan +
Sesuai usia
Abortus imminens Sedikit-sedang Tertutup lunak • Nyeri perut
kehamilan
• Uterus lunak

Sesuai atau lebih • Nyeri perut >>


Abortus insipiens Sedang-banyak Terbuka lunak
kecil • Uterus lunak

• Nyeri perut >>


Lebih kecil dari usia
Abortus inkomplit Sedikit-banyak Terbuka lunak • Jaringan +
kehamilan
• Uterus lunak

• Sedikit atau tanpa


Tertutup atau Lebih kecil dari usia nyeri perut
Abortus komplit Sedikit-tidak ada
terbuka lunak kehamilan • Jaringan keluar ±
• Uterus kenyal

Perdarahan Membesar, nyeri • Demam


Abortus septik Lunak
berbau tekan • leukositosis
• Tidak terdapat gejala
nyeri perut
Lebih kecil dari usia
Missed abortion Tidak ada Tertutup • Tidak disertai
kehamilan
ekspulsi jaringan
konsepsi
Abortus Imminens Abortus Insipiens Abortus Inkomplit

Abortus Komplit Missed Abortion


Abortus
• Faktor risiko abortus
– Kelainan kromosom  50% kasus
– Imunologis
– Kelainan pada uterus
• Terapi abortus:
– Kehamilan <14 minggu  mifepristone (progesteron
antagonis)
– Kehamilan >14 minggu  vacuum dan kuretase
• Komplikasi:
– Infeksi  paling sering pada vacuum
– Incomplete suction
– perforasi
147-149. Hipertensi pada Kehamilan
• Definisi istilah TD tinggi (≥140/≥90 mmHg)
– Hipertensi gestasional  TD tinggi tanpa proteinuria
yang muncul setelah 20 minggu kehamilan hingga 12
minggu pasca persalinan, dan tidak ada hipertensi
sebelumnya.
– Preeklampsia  TD tinggi + proteinuria
– Eklampsia  preeklampsia + kejang dan/atau koma
– Hipertensi kronik  hipertensi yang didiagnosa
sebelum kehamilan 20 minggu dan/atau menetap
setelah 12 minggu persalinan
– Hipertensi kronik superimpsed preeklampsia 
hipertensi kronik + gejala2 preeklampsia (proteinuria)
Hipertensi pada Kehamilan
• Klasifikasi preeklampsia
– Preeklampsia ringan
– Preeklampsia berat
• Preeklampsia ringan
– TD sistole 140-159 diastole 90-109 mmHg
– Proteinuria ≥300mg/24jam atau +1 dipstick
• Preeklampsia berat
– TD sistole ≥160 diastole ≥110 mmHg
– Proteinuria 5g/24 jam atau ≥+2
– Oliguria, pulmonary edema, HELLP syndrome,
Hipertensi pada Kehamilan
• Pengobatan preeklampsia berat
– Manajemen Airway Breathing Circulation
– anti-hipertensi:
• nifedipin 10-20mg oral, dapat diulang 30 menit
• Hydralazine atau labetalol (umum dipakai di USA)
– Pencegahan kejang:
• MgSO4 diberikan bolus 4 gr IV selama 15 menit, lalu
dilanjutkan maintenance 1 gr/jam. Bila terjadi kejang berikan
bolus 2 gr MgSO4 dalam 15 menit
– Terapi cairan:
• Ringer laktat  60-125 cc/jam iv
Hipertensi pada Kehamilan
• Sikap terhadap kehamilan (intinya terminasi):
– Preeklampsia berat:
• Terminasi segera bila kehamilan ≥ 34 minggu
• Bila dibawah <34 minggu:
– Observasi ibu dan janin  bila gawat daruratterminasi
– Kontrol TD
– Kortikosteroid  pematangan paru. Tanda-tanda pematangan
paru lechitin/spingomielin > 2 dan adanya phospogliserol
pada amnion
– Eklampsia
• Terminasi segera dalam 6 jam
Hipertensi pada Kehamilan
• Tanda2 harus terminasi
– TD tidak terkontrol setelah pemberian
antihipertensi
– Eklampsia
– Pulmonary edema
– HELLP syndrome
– Gagal ginjal
– Solution plasenta
– Gawat janin  CTG non-reassuring
150-151. Persalinan
• Kriteria persalinan normal  aterm, spontan, janin tunggal,
presentasi puncak kepala.
• Tanda dan gejala kala I
– Penipisan dan pembukaan serviks
– Kontrasi uterus yang menyebabkan perubahan serviks
– Bloody show
• Tanda dan gejala kala II
– Keinginan ibu untuk mengedan
– Tekanan pada anus
– Vulva terbuka
– Perineum menonjol
• False labor  kontraksi braxton-hick  kontraksi uterus yang
tidak berasal dari fundus, irreguler dalam jarak dan lamanya
kontraksi, serta tidak menyebabkan perubahan pada serviks
150-151. Kala Persalinan
PERSALINAN dipengaruhi 3 • PEMBAGIAN FASE / KALA
FAKTOR “P” UTAMA PERSALINAN
1. Power Kala 1
His (kontraksi ritmis otot polos Pematangan dan pembukaan
uterus), kekuatan mengejan ibu, serviks sampai lengkap (kala
keadaan kardiovaskular respirasi pembukaan)
metabolik ibu. Kala 2
2. Passage Pengeluaran bayi (kala
Keadaan jalan lahir pengeluaran)
Kala 3
3. Passanger Pengeluaran plasenta (kala uri)
Keadaan janin (letak, presentasi, Kala 4
ukuran/berat janin, ada/tidak Masa 1 jam setelah partus,
kelainan anatomik mayor) terutama untuk observasi
(++ faktor2 “P” lainnya :
psychology, physician, position)
Kala Persalinan: Kala I

• Fase laten :
pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam)

• Fase aktif :
Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung
sekitar 6 jam. Fase aktif terbagi atas :
1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4
cm.
2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm
sampai 9 cm.
3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai
lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala dua persalinan adalah:


– Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya
kontraksi.
– Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau
vaginanya.
– Perineum menonjol.
– Vulva-vagina dan sfingter ani membuka.
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala dua ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif) yang hasilnya adalah:
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda-tanda pelepasan plasenta :


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah

(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
152. Perdarahan Pada Kehamilan
Muda
Abortus Mola KET Blighted ovun
Tinggi fundus < usia Biasa > usia < usia <Usia
kehamilan kehamilan kehamilan kehamilan
Nyeri Tergantung Tidak ada Nyeri Tidak nyeri
jenis
Gejala lain Anemia Mual, muntah Anemia -
Banyak darah Tergantung Bercak Tergantung Bercak
jenis lokasi
USG Adanya janin Badai salju/ Kantung gestasi Hanya kantung
sarang lebah ekstrauterine gestasi
Tatalaksana Dilatase dan Dilatase dan Laparotomi Dilatase dan
kuretase kuretase kuretase
Blighted ovum
• Dikenal juga sebagai
“anembrionic pregnancy”
• Perjalanan penyakit menyerupai
kehamilan normal, namun
berakhir dengan abortus
• Patofisiologi
– Sel telur yang dibuahi tertanam
pada dinding uterus, namun tidak
berkembang menjadi embrio,
hanya membentuk kantong
gestasi
• Etiologi  kelainan kromosom
pada sel telur dan sperma
153. Hyperemesis Gravidarum
• Kondisi pada kehamilan yang ditandari dengan
mual-muntah yang berat, menurunnya berat
badan, dan gangguan elektrolit
• Hiperemesis gravidarum diduga berhubungan
dengan perubahan kadar hormonal (hCG)
• Kadar hCG yang tinggi akan menyebabkan
hipertiroidism sesaat, karena meningkatkan
reseptor hormon TSH
• Kejadian ini terjadi selama trimester 1
153. Hiperemesis Gravidarum
Definisi
• Keluhan mual,muntah pada ibu hamil yang berat hingga
mengganggu aktivitas sehari-hari.
• Mulai setelah minggu ke-6 dan biasanya akan membaik dengan
sendirinya sekitar minggu ke-12

Etiologi
• Kemungkinan kadar BhCG yang tinggi atau faktor psikologik

Predisposisi
• Primigravida, mola hidatidosa dan kehamilan ganda.

• Akibat mual muntah → dehidrasi → elektrolit berkurang,


hemokonsentrasi, aseton darah meningkat → kerusakan liver
Hiperemesis Gravidarum: Patogenesis

Verberg MFG, et al. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Human Reproduction Update, Vol.11, No.5 pp. 527–539, 2005
Hiperemesis Gravidarum: Patofisiologi
Worsen

NVP

Hypochoremic Thiamine
Dehydration Starvation
alkalosis depletion

Hemoconcentration Wernicke
Ketosis
Somnolen/coma encephalopathy
Hypovolemic shock 
Acute renal failure
Hepatic
dysfunction
NVP: Nausea and vomiting during pregnancy
1. Cunningham et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw Hill; 2005.
2. Verberg MFG, et al. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Human Reproduction Update, Vol.11, No.5 pp. 527–539, 2005.
3. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day.
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week.
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks.

Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition)


• NVP with complications:
– dehydration,
– hyperchloremic alkalosis,
– ketosis

Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3. Bader TJ.
Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Hiperemesis Gravidarum: Tatalaksana
• Tatalaksana umum Hiperemesis Gravidarum:
– Pertahankan kecukupan nutrisi ibu.
– Istirahat cukup dan hindari kelelahan

• Tatalaksana Medikamentosa
– 10 mg doksilamin + 10 mg piridoksin hingga 4 tablet per hari (2
tablet saat akan tidur, 1 tablet saat pagi dan 1 tablet saat siang)
– Dimenhidrinat 50-100 mg per oral atau supositoria 4-6 kali
sehari ATAU prometazine 5-10 mg 3-4 kali sehari per oral atau
supositoria dapat diberikan bila doksilamin tidak berhasil
– Bila masih tidak teratasi dapat diberikan Ondansetron 8 mg per
oral tiap 12 jam atau Klorpromazin 10-25 mg per oral atau 50-
100 mg IM tiap 4-6 jam bila masih belum teratasi dan tidak
terjadi dehidrasi.
Hiperemesis Gravidarum: Tatalaksana
• Atasi dehidrasi dan ketosis
 Berikan Infus Dx 10% + B kompleks IV
 Lanjutkan dengan infus yang mempunyai komposisi kalori dan elektrolit
yang memadai seperti: KaEN Mg 3, Trifuchsin dll.
• Balans cairan ketat hingga tidak dijumpai lagi ketosis dan
defisit elektrolit
• Berikan suport psikologis
• Jika dijumpai keadaan patologis: atasi
• Nutrisi per oral diberikan bertahap dan jenis yang diberikan
sesuai apa yang dikehendaki pasien
• Infus dilepas bila kondisi pasien benar-benar telah segar
dan dapat makan dengan porsi wajar
http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview
154. Istilah pada perdarahan uterus
abnormal
• Dismenorhea  nyeri menstruasi
• Oligomenorhea  siklus menstruasi >35 hari
• Menorhagia  menstruasi dengan
perdarahan yang banyak dan durasi
menstruasi memanjang
• Metrorhagia  perdarahan yang terjadi di
luar siklus menstruasi
• Dispareunia  nyeri saat bersenggama
154. Endometriosis
• Endometriosis  adanya jaringan endometrium di luar
rongga rahim
• Diagnosis ditegakan berdasarkan
– Anamnesis
– Pemeriksaan fisik
– Imaging  USG  kista pada ovarium yang berisi cairan
(darah); disebut juga kista cokelat
• Gejala
– Dysmenorhea
– menorhagi
– Dyspareunia
– constipation
Endometriosis
• Terapi
medikamentosa:
– KB hormonal
Pil atau suntik
(yang
mengandung
progesteron)
– GnRH agonis
– NSAID (untuk
nyeri)
Diagnosis Banding
Diagnosis Gejala dan Tanda Temuan USG

Adenomiosis Gejala: dismenorea (nyeri pelvis), Penebalan endometrium


menoragia asimetris, peningkatan
ekogenitas, kista kecil
Tanda: Pembesaran difus dengan batas subendometrial/miometrial/i
tidak tegas, teraba lunak, nyeri saat uterus ntramural, banyak pembuluh
digerakkan, letak t.u di fundus darah tersebar difus
Endometriosis Gejala: Dismenorea Sulit terlihat kecuali bila
berbentuk kista
Tanda: nodul lunak pada forniks posterior (endometrioma, kista coklat)
vagina, nyeri saat uterus digerakkan, uterus
terfiksasi dan retrovert karena adesi, teraba
massa adneksa
Mioma Uteri Gejala: Dismenorea, pembesaran perut, Jarang memiliki kista
(Fibroid) menoragia didalamnya, terdapat
kalsifikasi
Tanda: pembesaran dengan batas tegas,
teraba keras/kenyal, + nyeri saat uterus
digerakkan
155. Tinggi fundus Uteri
156. Anomali implantasi
• Plasenta akreta
– Implantasi terjadi hingga lapisan miometrium
• Plasenta inkreta
– Implantasi terjadi hingga ke dalam miometrium
• Plasenta perkreta
– Implantasi terjadi melewati miometrium hingga
serosum dari uterus
Anomali implantasi
157. Kontrasepsi Mantap
Kontrasepsi Mantap (Tubektomi)
Cara kerja
1. Menghambat ovum dengan cara mengoklusi tuba falopii sehingga sperma tidak
dapat bertemu dengan ovum
Keuntungan
1. Sangat efektif 0.5 kehamilan per 100 pengguna selama setahun pertama
2. Permanen
3. Tidak mengganggu produksi ASI
4. Tidak mempengaruhi hubungan suami istri
5. Tidak ada efek samping hormonal
Kekurangan
1. Harus melalui prosedur medis
2. Tidak melindungi dari infeksi menular seksual
3. Rasa nyeri atau tidak nyaman pasca tindakan
Kontrasepsi Mantap
• Kontraindikasi
– Hamil
– Perdarahan pervaginam yang tidak diketahui
penyebabnya
– Infeksi sistemik atau pelvis yang akut
– Ragu akan keinginannya untuk kontap
– Tidak memberikan persetujuan tertulis
– Pasien memiliki kontraindikasi operasi
158-160 Persalinan Precipitous
• Adalah persalinan yang dimulai dari dilatasi serviks
hingga ekspulsi janin dalam waktu <3 jam
• Nullipara  dilatasi serviks 5cm/jam
• Multipara  dilatas serviks 10cm/jam
• Terjadi karena kontraksi uterus yang sangat kuat dan
lama
• Komplikasi pada ibu:
– Robekan uterus dan jalan lahir karena regangan mendadak
– Atoni uteri karena kelelahan uterus
• Komplikasi fetus:
– Hipoksia karena kontraksi terus menerus
– Trauma intrakranial
– Erb or duchenne brachial palsy
Newborn brachial palsy
• Erb or duchenne palsy • Klumpke palsy
• Melibatkan C5-C6 • Melibatkan C8-T1
• Akibatnya terjadi paralisis • Lengan supinasi, siku fleksi,
pada otot deltoid, ekstensi tangan
infraspinatus, dan otot fleksor
lengan bawah
– Lemas, internal rotasi, ekstensi
siku, dan fleksi tangan dan jari
161. Permintaan Visum et Repertum
• VeR : keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang, mengenai hasil pemeriksaan
medik, berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah, untuk
kepentingan peradilan
• Pasal 133 KUHAP:
– Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya
• Permintaan bantuan kepada dokter sebagai ahli hanya dapat
diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas
jenis pemeriksaan yang dikehendaki
• Pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP : yang berwenang
meminta keterangan ahli → penyidik & penyidik pembantu
Kasus Kejahatan Seksual
• Hal yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan:
– Setiap permintaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan
tertulis dari penyidik.

– Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban adalah benda
bukti. Kalau tidak bersama polisi, jangan diperiksa, suruh korban
kembali bersama polisi.

– Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang


didapatkan pada waktu permintaan visum diterima dokter.

– Izin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta dari korban sendiri atau
dari orang tua/wali jika korban adalah seorang anak.

– Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin dan didampingi


perawat/bidan.
VeR Korban Kejahatan Asusila
• Persetubuhan yang diancam pidana oleh KUHP :
pemerkosaan, persetubuhan pada wanita tidak berdaya,
persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur
• Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan
permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang
• Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban
merupakan benda bukti. Jika korban datang sendiri dengan
membawa surat permintaan dari polisi, jangan diperiksa,
minta korban kembali kepada polisi
• Setiap visum et repertum dibuat berdasarkan keadaan yang
didapatkan pada tubuh korban pada waktu permintaan VeR
diterima oleh dokter; namun ada kalanya Surat permintaan
ver dapat “terlambat”
BILA SURAT PERMINTAAN VISUM
“TERLAMBAT”
• Surat permintaan ver dapat “terlambat” :
– Korban luka dibawa ke dokter (rs) dulu sebelum ke
polisi
– Spv menyebutkan peristiwa pidana yang dimaksud
– Ver = surat keterangan, jadi dapat dibuat berdasarkan
rekam medis (rm telah menjadi barang bukti sejak
datang spv)
– Pembuatan ver tanpa ijin pasien, sedangkan skm lain
harus dengan ijin.
– Sebaiknya diantar petugas agar dapat dipastikan
identitas korban dan statusnya sebagai “barang bukti”
Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
VeR dan Rekam Medis
• Seorang pasien yang datang berobat ke RS dengan
perlukaan dan/atau keracunan, apalagi dengan anamnesis
yang menunjukkan adanya kemungkinan kaitan dengan
suatu tindak pidana, pertama-tama harus DIANGGAP
sebagai kasus forensik, tanpa melihat ada atau tidaknya
Surat Permintaan VER dari polisi.
• Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan
pencatatan anamnesis secara lengkap dan detil.
Pemeriksaan fisik dilakukan seperti biasa, akan tetapi
pencatatan luka-lukanya dilakukan secara lengkap dan
mendetil.
• VER kasus forensik klinik dibuat berdasarkan rekam medis
korban, yang dibuat oleh dokter IGD, dokter yang merawat,
SpF maupun perawat. Suatu VER yang baik hanya dapat
dihasilkan dari Rekam Medis (RM) yang baik pula.
Cara Pencatatan Rekam Medis untuk Kasus Forensik Klinik,
Djaja Surya Atmadja
162. Jenis VeR
• VeR hidup
– VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana korban tidak
memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak
menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian
kesimpulan yaitu luka derajat I atau luka golongan C.
– VeR sementara, yaitu VeR yang dibuat untuk sementara waktu, karena
korban memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga
menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka tidak ditentukan dan tidak
ditulis pada kesimpulan.
– VeR lanjutan, yaitu VeR yang dibuat dimana luka korban telah dinyatakan
sembuh atau pindah rumah sakit atau pindah dokter atau pulang paksa. Bila
korban meninggal, maka dokter membuat VeR jenazah. Dokter menulis
kualifikasi luka pada bagian kesimpulan VeR.
• VeR Jenazah: VeR yang dibuat terhadap korban yang meninggal.
Tujuan pembuatan VeR ini adalah untuk menentukan sebab, cara,
dan mekanisme kematian.
• Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP): dibuat
setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.
• Visum et repertum penggalian jenazah: dibuat setelah dokter
selesai melaksanakan penggalian jenazah.
• Visum et repertum psikiatri : visum pada terdakwa yang pada
saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala
penyakit jiwa.
• Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang
bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak
pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.
• Ekspertise, yaitu VeR khusus yang melaporkan keadaan benda
atau bagian tubuh korban, misalnya darah, mani, liur, jaringan
tubuh, tulang, rambut, dan lain-lain. Ada sebagian pihak yang
menyatakan bahwa ekspertise bukan merupakan VeR.
163. Sifat Saksi
Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas:
• Saksi A Charge (memberatkan terdakwa): saksi
dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan
oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya
yang memberatkan terdakwa
• Saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa):
saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut
umum atau terdakwa atau penasihat hukum,
yang sifatnya meringankan terdakwa
164. Waktu pembusukan
• Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu
keliling optimal, kelembaban dan udara yang
cukup, banyak bakteri pembusuk, tubuh gemuk
atau menderita penyakit infeksi dan sepsis.
• Media tempat mayat juga berperan. Mayat yang
terdapat di udara akan lebih cepat membusuk
dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau
dalam tanah.
• Perbandingan kecepatan pembusukan mayat yang
berada dalam tanah : air : udara adalah 1: 2 : 8.
165. Asfiksia Mekanik
• Asfiksia mekanik : Mati lemas yang terjadi bila
udara pernapasan terhalang oleh berbagai
kekerasan (yang bersifat mekanik)
• Meliputi : Pembekapan, penyumbatan,
pencekikan, penjeratan, gantung diri, serta
penekanan pada dada
Tanda Kematian akibat Asfiksia
• Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku
• Lebam mayat yang gelap dan luas
• Perbendungan pada bola mata
• Busa halus pada lubang hidung, mulut, dan saluran
pernapasan, perbendungan pada alat-alat dalam
• Bintik perdarahan (Tardieu’s spot) pada mukosa usu
halus, epikardium, subpleura visceralis
• Perbendungan sistemik maupu pulmoner dan dilatasi
jantung kanan (lorgan lebih berat, gelap, pada
pengirisan banyak mengeluarkan darah)
Kasus Gantung (Hanging)
• Bila jerat kecil dan keras : Hambatan total arteri, muka
tampak pucat, tidak terdapat peteki
• Bila jerat lebar dan lunak : Hambatan terjadi pada saluran
pernapasan dan pada aliran vena, sehingga tampak
perbendungan pada daerah sebelah atas ikatan
• Jejas Jerat :
– Relatif lebih tinggi pada leher, lebih meninggi di bagian simpul,
kulit mencekung ke dalam sesuai dengan bahan penjerat
– Pada tepi jejas, terdapat perdarahan (resapan darah), pada
jaringan bawah kulit dan otot terdapat memar jaringan (Tanda
Intravital)
• Distribusi lebam mayat mengarah ke bawah yaitu pada kaki,
tangan, dan genitalia eksterna.
Bunuh diri vs Pembunuhan
Keterangan Bunuh diri Pembunuhan
TKP Keadaan TKP tenang, rapih, dan Keadaan TKP tidak beraturan,
dijumpai surat peninggalan tanda perkelahian
kepada orang tertentu Tidak terdapat tempat
Tempat yang dipilih tertentu, surat bernada
tersembunyi, pintu terkunci dari ancaman, alat biasanya
dalam, korban berpakaian rapih dipersiapkan dan tidak
ditemukan di TKP
Pemeriksaan Lokasi: leher, dada, perut bagian Lokasi: tidak khusus, luka lebih
mayat (kasus atas, pergelangan tangan dari 1, luka dari belakang,
dengan senjata Sering terdapat luka percobaan terdapat luka tangkis di tangan
tajam) yang berjalan sejajar.
Sering terdapat cadaveric spasm
dengan senjata tergenggam
166. Luka Babras/Abrasi/Lecet
• Merupakan perlukaan paling superfisial, dengan
definisi tidak menebus lapisan epidermis.
• Abrasi yang sesungguhnya tidak berdarah karena
pembuluh darah terdapat pada dermis.
• Kontak gesekan yang mengangkat sel keratinisasi dan
sel di bawahnya akan menyebabkan daerah tersebut
pucat dan lembab oleh karena cairan eksudat jaringan.
• Ketika kematian terjadi sesudahnya, abrasi menjadi
kaku, tebal, perabaan seperti kertas berwarna
kecoklatan.
• Pada abrasi yang terjadi sesudah kematian berwarna
kekuningan jernih dan tidak ada perubahan warna.
KDRT/ abuse
Tanda-tanda penganiayaan:
• Memar:
– Pada wajah, bibir/mulut, punggung, paha, betis
– Terdapat memar/bilur baru atau sudah menyembuh
– Corak-corak memar menunjukkan benda tertentu

• Luka lecet dan luka robek


– Di mulut, bibir, mata, kuping, lengan,tangan
– Luka gigitan manusia
KDRT
Tanda-tanda penganiayaan:
• Patah tulang
– Setiap patah tulang pada anak < 3 tahun
– Patah tulang baru dan lama ditemukan bersamaan
– Patah tulang ganda/multiple
– Patah tulang pada kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi

• Luka Bakar
– Bekas sundutan rokok
– Luka bakar pada tangan, kaki atau bokong akibat kontak dengan
benda panas
– Bentuk luka yang khas sesuai dengan benda panas yang dipakai
KDRT
• Tanda-tanda penelantaran fisik
– Gagal tumbuh fisik ataupun mental
– Malnutrisi, tanpa dasar organik yang jelas
– Dehidrasi
– Luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati
– Tidak mendapat imunisasi dasar
– Kulit kotor tidak terawat, rambut dengan kutu-kutu
– Pakaian lusuh dan kotor
– Keterlambatan perkembangan
– Keadaan umum yang lemah, letargis dan lelah
Hematom/ Memar
• Dengan berlalunya waktu, hematom yang terbentuk pecah
oleh pengaruh enzim jaringan dan infiltrasi seluler.
• Sel darah merah menutupi ruptur dan mengandung Hb
membuat degradasi secara kimiawi yang memyebabkan
perubahan warna.
• Hemoglobin pecah menjadi hemosiderin, biliverdin dan
bilirubin yang menyebabkan perubahan warna memar dari
ungu atau coklat kebiruan menjadi coklat kehijauan,
kemudian hijau kekuningan sebelum akhirnya samar.
• Memar kecil pada dewasa muda yang sehat akan
menghilang dalam waktu 1 minggu.
168. Tanda pasti kematian
Tanda Keterangan
Livor mortis Penumpukan eritrosit pada lokasi terendah akibat pengaruh gravitasi, kecuali
bagian tubuh yang tertekan alas keras.
Tampak 20 – 30 menit pascamati, makin lama makin luas dan lengkap, akhirnya
menetap setelah 8 – 12 jam.
Rigor mortis terjadi bila cadangan glikogen dalam otot habis maka energi tidak terbentuk dan
aktin-miosin menggumpal sehingga otot menjadi kaku.

Mulai tampak 2 jam setelah mati klinis, arahnya sentripetal (dari luar ke dalam),
menjadi lengkap dalam 12 jam, dipertahankan selama 12 jam, kemudian
menghilang sesuai urutan terbentuknya.
Dekomposisi proses degradasi jaringan akibat autolisis dan kerja bakteri. Tampak kira-kira 24
jam pascamata berupa perubahan warna kehijauan pada perut kanan bawah
yang secara bertahan menyebar ke seluruh perut dan dada menyertai
terciumnya bau busuk.
36 – 48 jam pascamati akan dijumpai larva lalat (pengukuran panjang larva dapat
memperkirakan saat kematian).
• Pada kasus ditemukan livor mortis menetap (>8-12 jam), tidak ada kaku sama sekali (karena lebam
sudah menetap, tidak ada rigor mortis menandakan bahwa kaku mayat sudah terurai), dan ada
pembusukan (>24 jam)
• Dari semua petunjuk, bisa disimpulkan waktu kematian yang paling mendekati adalah 32-64 jam
optimized by optima
169. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik
dibanding non-probability
• Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari
semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam
populasi itu.

• Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat


berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin,
dsb). Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan
dulu jenis kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari
kelompok pria diambil sampel secara acak, demikian
juga dari kelompok wanita.
Probability Sampling Techique lebih
baik dibanding non-probability
• Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah.
Pemilihan sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak.
Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta.
Seluruh penduduk dari 20 kecamatan terpilih dijadikan sampel.

• Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2


teknik sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya
mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling).
Kemudian dari masing-masing kecamatan terpilih, diambil 50
sampel secara acak (simple random sampling).

• Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan


tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai
disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang
ganjil saja.
170. UKURAN ASOSIASI DALAM PENELITIAN

• Digunakan pada studi analitik (cross


sectional, case control, kohort, studi
eksperimental).

• Untuk mengukur kekuatan hubungan sebab-


akibat antara variabel paparan dengan
variabel outcome.

• Menunjukkan bagaimana suatu kelompok


lebih rentan mengalami sakit dibanding
kelompok lainnya.
Ukuran Asosiasi yang Sering Digunakan

– Relative risk (RR) ukuran asosiasi dari studi kohort


– Odds ratio (OR)  ukuran asosiasi dari studi case
control
– Prevalence ratio (PR) & prevalence odds ratio (POR)
 ukuran asosiasi dari studi cross sectional
Tabel 2x2
Cara yang paling umum dan sederhana untuk
menghitung ukuran asosiasi.

Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Relative risk (RR):


insidens penyakit pada kelompok yang terpapar (a/(a+b))
dibandingkan dengan insidens penyakit pada kelompok yang tidak
terpapar (c/(c+d))

Rumus RR: a/(a+b)


c/(c+d)
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Odds ratio (OR):


Odds penyakit pada kelompok terpapar (a/b) dibandingkan dengan
odds penyakit pada kelompok tidak terpapar (c/d)

Rumus OR: a/b = ad


c/d bc
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Rumus prevalence ratio (PR) sama dengan rumus RR, yaitu:


PR: a/(a+b)
c/(c+d)

Rumus prevalence odds ratio (POR) sama dengan rumus OR, yaitu:
POR: ad
bc
Interpretasi RR/OR/PR
RR/OR/PR= 1 menunjukkan tidak ada hubungan antara paparan
dengan outcome.

RR/OR/PR lebih dari 1 menunjukkan asosiasi positif (semakin tinggi


paparan, semakin tinggi risiko mengalami penyakit)  paparan
yang diteliti merupakan FAKTOR RISIKO suatu penyakit.

RR/OR/PR kurang dari 1 menunjukkan bahwa paparan bersifat


protektif terhadap terjadinya outcome(semakin tinggi paparan,
semakin rendah risiko mengalami penyakit)  paparan yang diteliti
merupakan FAKTOR PROTEKTIF terjadinya suatu penyakit.
171. Ukuran Epidemiologi
• Rasio: nilai relatif yang dihasilkan dari perbandingan dua nilai
kuantitif yang pembilangnya bukan bagian dari penyebut
Contoh: Kejadian Luar Biasa(KLB) diare sebanyak 30 orang di
suatu daerah. 10 diantaranya adalah jenis kelamin pria. Maka
rasio pria terhadap wanita
adalah R=10/20=1/2
• Proporsi: perbandingan dua nilai kuantitatif yang pembilangnya
merupakan bagian dari penyebut. Penyebaran proporsi adalah
suatu penyebaran persentasi yang meliputi proporsi dari jumlah
peristiwa-peristiwa dalam kelompok data yang mengenai
masing-masing kategori atau subkelompok dari kelompok itu.
Pada contoh di atas, proporsi pria terhadap perempuan adalah
P= 10/30=1/3
• Rate: Rate atau angka merupakan proporsi dalam bentuk khusus
perbandingan antara pembilang dengan penyebut atau kejadian
dalam suatu populasi teterntu dengan jumlah penduduk dalam
populasi tersebut dalam batas waktu tertentu
172. Epidemiologi
• Epidemi : suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan yang
ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat
berada dalam frekuensi yang meningkat.
• Pandemi : suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan
frekuensinya dalam waktu yang singkat memperlihatkan
peningkatan yang amat tinggi serta penyebarannya telah mencakup
suatu wilayah yang amat luas.
• Endemi : suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan
frekuensinya pada suatu wilayah tertentu menetap dalam waktu
yang lama.
• Sporadik : suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan yang ada
di suatu wilayah tertentu frekuensinya berubah-ubah menurut
perubahan waktu
• Deskriptif: Studi yang menggambarkan suatu kejadian penyakit/
masalah kesehatan berdasarkan karakteristik orang (person),
tempat (place) dan waktu (time). Menjawab pertanyaan Who,
What, When, where
173. Surveilans
• Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu: penyelenggaraan
Surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan
dan atau faktor resiko kesehatan.
• Surveilans epidemiologi Khusus: penyelenggaraan Surveilans
epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor resiko
atau situasi khusus kesehatan
• Surveilans sentinel : penyelenggaraan Surveilans epidemiologi pada
populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya
masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih
luas.
• Surveilans aktif : penyelenggaraan Surveilans epidemilogi dimana
unit Surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
• Surveilans Pasif: Penyelenggaraan Surveilans epidemiologi dimana
unit Surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data
tersebut dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber
data lainnya.
174. DESAIN PENELITIAN
Secara umum dibagi menjadi 2:
• DESKRIPTIF: memberi gambaran distribusi dan
frekuensi penyakit saja. Misalnya prevalensi
DM tipe 2 di DKI Jakarta, 10 penyakit
terbanyak di Puskesmas X.

• ANALITIK: mencari hubungan antara paparan


dengan penyakit. Misalnya penelitian
hubungan antara obesitas dengan DM tipe 2.
Desain Penelitian
Desain
studi

Analitik Deskriptif

Case report

Case series
Observational Experimental
Cross-sectional

1. Cross-sectional Clinical trial


2. Cohort
3. Case-control Field trial (preventive
programmes )
4. Ecological
Prinsip Desain Studi Analitik
Observasional
Cross-sectional
– Pajanan/ faktor risiko dan outcome dinilai dalam waktu
yang bersamaan.

Cohort study
– Individu dengan pajanan/ faktor risiko diketahui, diikuti
sampai waktu tertentu, kemudian dinilai apakah outcome
terjadi atau tidak.

Case-control study
– Individu dengan outcome diketahui, kemudian digali
riwayat masa lalunya apakah memiliki pajanan/ faktor
risiko atau tidak.
Prinsip Desain Studi Analitik
Observasional

PAST PRESENT FUTURE


Time
Assess exposure
Cross - sectional study and outcome

Assess Known
Case - control study exposure outcome

Known Assess
Prospective cohort exposure outcome

Known Assess
Retrospective cohort exposure outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam
satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak
berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat
ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini
secara bersamaan.

• Bila menggunakan desain case control, dimulai dengan


peneliti menentukan subyek anak 1-3 tahun yang
pernah mengalami diare dengan yang tidak pernah
mengalami diare. Kemudian ibu diwawancara apakah
sebelumnya memberi ASI eksklusif atau tidak.
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain kohort (prospektif), maka dimulai
dengan peneliti mengumpulkan subyek penelitian berusia 6
bulan yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI
eksklusif. Kemudian, subyek tersebut diamati selama 1
tahun untuk dilihat apakah mengalami diare atau tidak.

• Bila menggunakan desain kohort (retrospektif), dari catatan


rekam medis RS tahun 2015 dimulai dengan dikumpulkan
data bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI
eksklusif. Kemudian rekam medis ditelusuri, dari tahun
2015-2016 apakah subyek pernah mengalami diare atau
tidak.
Desain Cross Sectional
KELEBIHAN: KELEMAHAN:
• Mengukur angka • Sulit membuktikan
prevalensi hubungan sebab-akibat,
• Mudah dan cepat karena kedua variabel
• Sumber daya dan dana paparan dan outcome
yang efisien karena direkam bersamaan.
pengukuran dilakukan • Desain ini tidak efisien
dalam satu waktu untuk faktor paparan atau
• Kerjasama penelitian penyakit (outcome) yang
(response rate) dengan jarang terjadi.
desain ini umumnya
tinggi.
Desain Case Control
KELEBIHAN: KEKURANGAN:
• Dapat membuktikan • Pengukuran variabel
hubungan sebab-akibat. secara retrospektif,
• Tidak menghadapi sehingga rentan terhadap
kendala etik, seperti recall bias.
halnya penelitian kohort • Kadang sulit untuk
dan eksperimental. memilih subyek kontrol
• Waktu tidak lama, yang memiliki karakter
dibandingkan desain serupa dengan subyek
kohort. kasus (case)nya.
• Mengukur odds ratio
(OR).
Desain Kohort
KELEBIHAN: KEKURANGAN:
• Mengukur angka insidens. • Memerlukan waktu penelitian
• Keseragaman observasi yang relative cukup lama.
terhadap faktor risiko dari • Memerlukan sarana dan
waktu ke waktu sampai terjadi prasarana serta pengolahan
outcome, sehingga merupakan data yang lebih rumit.
cara yang paling akurat untuk • Kemungkinan adanya subyek
membuktikan hubungan penelitian yang drop out/ loss
sebab-akibat. to follow up besar.
• Mengukur Relative Risk (RR). • Menyangkut masalah etika
karena faktor risiko dari
subyek yang diamati sampai
terjadinya efek, menimbulkan
ketidaknyamanan bagi subyek.
175. Sistem Kapitasi
• Kapitasi berasal dari “kapita” yang berarti “kepala”.
• Sistem kapitasi berarti cara perhitungan berdasarkan jumlah kepala
yang terikat dalam kelompok tertentu. Kepala dalam hal ini berarti
orang/peserta/anggota
• Satuan biaya (unit cost) adalah harga rata-rata pelayanan
kesehatan per kapita yang disepakati oleh pemberi pelayanan
kesehatan dan lembaga asuransi untuk diberlakukan dalam jangka
waktu tertentu
• Angka utilisasi: tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang
dimiliki sebuah klinik/praktik, dinyatakan dalam persentase (jumlah
kunjungan per 100 orang di populasi tertentu)
• Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi
pelayanan kesehatan dan jenis paket (benefit) asuransi kesehatan
yang ditawarkan serta biaya satuan pelayanan
• Kapitasi = angka utilisasi x biaya satuan / unit cost
• Di setiap pelayanan kesehatan, dihitung
angka/biaya kapitasi dengan mengalikan angka
utilisasi dengan satuan biaya riil (real cost). Julah
dari semua angka kapitasi yang didapat menjadi
angka kapitasi rata-rata per peserta per bulan.
176. Mean
• Nilai yang biasa digunakan untuk mewakili suatu
distribusi data adalah mean dan modus (disebut
nilai tengah/ central tendency)
• Nilai mean: nilai yang baik dalam mewakili data
dan paling banyak dikenal dalam menyimpulkan
sekelompok data
• Mean sangat dipengaruhi nilai ekstrim baik
ekstrim kecil maupun ekstrim besar
177. Teknik pengumpulan data
Teknik Keterangan
Wawancara proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara
tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian

Teknik Keterangan
Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
partisipasi penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti terlibat
dalam keseharian informan
observasi yaitu peneliti melakukan penelitian dengan cara tidak melibatkan dirinya dalam
nonpartisipan interaksi dengan objek penelitian. Sehingga, peneliti tidak memposisikan
dirinya sebagai anggota kelompok yang diteliti
Observasi tidak ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi,
terstruktur sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan
perkembangan yang terjadi di lapangan
Observasi ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap
kelompok sebuah isu yang diangkat menjadi objek penelitian

Teknik Keterangan
Focus Group yaitu upaya menemukan makna sebuah isu oleh sekelompok orang yang
Discussion dianggap mewakili sejumlah publik yang berbeda lewat diskusi untuk
menghindari diri pemaknaan yang salah oleh seorang peneliti
optimized
Hariwijaya, M, Metodologi dan teknik penulisan skripsi, tesis,bydan
optima
disertasi, elMatera Publishing, Yogyakarta, 2007
178. Target MDGs 2015
Target 5A dan 5B
Target 5A:
Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015

Indikator Target 5A:


• Rasio Kematian Ibu per 100.000 kelahiran hidup
• Proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih

Target 5B:
Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015

Indikator Target 5B:


• Angka pemakaian kontrasepsi/CPR (Contraceptive Prevalence Rate) bagi perempuan menikah usia
15-49, semua metode kontrasepsi
• Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate) pada perempuan menikah usia 15-
49 tahun saat ini, dengan cara modern
• Angka kelahiran remaja (perempuan usia 15-19 tahun) per 1000 perempuan usia 15-19 tahun
• Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya satu kali kunjungan dan empat kali kunjungan)
• Unmet Need (kebutuhan keluarga berencana/KB yang tidak terpenuhi)
179.Calgary Cambridge
180. Autonomy
• Pandangan Kant
– Otonomi kehendak = otonomi moral, yaitu kebesan
bertindak, memutuskan atau memilih dan menentukan
diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya
yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan, atau
campur tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi
dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation
dari manusia
• Tell the truth
– Hormatilah hak privasi orang lain, lindungi formasi
konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri
pasien; bila ditanya, bantulah membuat keputusan
penting
181. Calgary Cambridge
182. KODEKI
• Pasal 1:Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.

• Pasal 2: Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya


sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.

• Pasal 3: Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh


dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.

• Pasal 4: Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.

• Pasal 5: Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.

• Pasal 6: Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan


menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
• Pasal 7:Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.

• Pasal 7a: Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion)
dan penghormatan atas martabat manusia.

• Pasal 7b: Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani
pasien

• Pasal 7c: Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

• Pasal 7d: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.

• Pasal 8: Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan


masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik
dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

• Pasal 9: Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap Pasien

• Pasal 10:Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan


segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien,ia wajib menunjuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

• Pasal 11: Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien


agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

• Pasal 12: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang


diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.

• Pasal 13: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai


suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia
dan mampu memberikannya.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap
Teman Sejawat
• Pasal 14: Setiap dokter memperlakukan
teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.

• Pasal 15: Setiap dokter tidak boleh mengambil


alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang
etis.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap
Diri Sendiri
• Pasal 16: Setiap dokter harus memelihara
kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.

• Pasal 17: Setiap dokter harus senantiasa


mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/kesehatan.
183. Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
184. KODEKI Pasal 3
Pasal 3 Kode Etik Penjelasan
Kedokteran • Perbuatan berikut dipandang bertentangan
Indonesia
dengan etik:
“Dalam melakukan
pekerjaan – Membuat ikatan atau menerima imbalan
kedokterannya, dari perusahaan farmasi/obat,
seorang dokter tidak perusahaan alat kesehatan/kedokteran
boleh dipengaruhi atau badan lain yang dapat
oleh sesuatu yang mempengaruhi pekerjaan dokter
mengakibatkan
– Melibatkan diri secara langsung atau tidak
hilangnya kebebasan
dan kemandirian langsung untuk mempromosikan obat,
profesi” alat, atau bahan lain guna kepentingan
dan keuntungan pribadi dokter

Sumpah Dokter
185. TINDAK SENGKETA MEDIK

►Sengketa Pidana Medik


KODEKI
►Sengketa Perdata Medik Administratif
Tindakan
profesi Pidana

Dokter  Subyek hukum---- Perdata


Tindakan
Non Profesi
Tindak Pidana Medik
• Menipu Pasien (Pasal 378 KUHP)
• Tindak Pelanggaran Kesopanan (Pasal 290, 294,
285,286 KUHP)
• Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong (Pasal
322 KUHP)
• Pengguguran kandungan tanpa indikasi medik (Pasal
299, 348,349 KUHP)
Tindak Pidana Medik
• Membocorkan rahasia Medik (pasal 322 KUHP)
• Lalai sehingga menyebabkan Kematian atau Luka-
luka (Pasal 359, 360,361 KUHP)
• Memberikan atau menjual obat Palsu (Pasal 386
KUHP)
• Membuat Surat Keterangan Palsu (Pasal 263, 267
KUHP)
• Melakukan eutanasia (Pasal 344 KUHP)
• Membocorkan rahasia medik (Pasal 322 KUHP)
Sanksi Pidana Membocorkan Rahasia
Medis
KUHP Pasal 112
“Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau
keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk
kepentingan negara atau dengan sengaja memberitahukan atau
memberikannya kepada negara asing, kepada seorang raja atau suku bangsa,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

KUHP Pasal 322


1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib
disimpan karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun yang
dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
2) Jika kejahatan dilakukan pada seorang tertentu maka perbuatannya itu
hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut.
Sanksi Administratif
• Diatur dalam undang-undang No. 6 Tahun 1963 pasal
11 yang bunyinya sebagai berikut :
• Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam
KUHP dan peraturan perundang-undangan yang lain,
maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan
tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :
– Melalaikan kewajiban
– Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh
diperbuat seorang tenaga kesehatan, baik mengingat
sumpah jabatannya ataupun sebagai tenaga kesehatan.
– Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
Sanksi Perdata
KUH Perdata Pasal 1365
• Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat kerugian
bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya
mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

KUH Perdata Pasal 1366


• Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.

KUH Perdata Pasal 1367


• Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan karena perbuatan orang-orang
yang berada dibawah pengawasannya.
186. KODEKI Pasal 4
• Kewajiban dokter secara umum (KODEKI)
pasal 4  setiap dokter harus menghindarkan
diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
187. Deviated septum
• Causes: congenital (at birth) or acquired (because
trauma)
• Symptoms:
– Blockage of one or both nostrils
– Nasal congestion, sometimes one-sided
– Frequent nosebleeds
– Frequent sinus infections
– At times, facial pain, headaches, postnasal drip
– Noisy breathing during sleep (in infants and young
children)
• Treatment: Surgical repair (septoplasty)
Type of Septal Deviation
• Type I is described as a unilateral crest which does not disturb the function of the
nasal valve. It is situated in the area of the valve.
• In type II, disturbance of the valve function is caused by the unilateral crest.
Positive Cottle´s symptom can be observed after raise of the nostril, which gives a
subjective and objective improvement in the nose patency.
• Type III – one unilateral crest at the level of the head of the middle nasal concha.
• Type IV defines two crests – one at the level of the head of the middle nasal
concha, and the other on the opposite side in the valve area, disturbing the valve
functions.
• Type V is a unilateral ridge on the base of the septum, while on the other side the
septum is straight.
• Type VI shows a unilateral sulcus running through the caudal-ventral part of the
septum, while on the other side there is a ridge and accompanying asymmetry of
the nasal cavity.
• Type VII is a mix of types from I to VI.
188. Radiologi

Foto Deskripsi
Waters Maxillary, frontal, & ethmoidal sinus
Schedel PA & PA: frontal sinus
lateral Lateral: frontal, sphenoidal, & ethmoidal sinus
Schuller Lateral mastoid
Towne Posterior wall of maxillary sinus
Caldwell Frontal sinus
Rhese/oblique Posterior of ethmoidal sinus, optic canal, &
floor of orbit.
189. Otitis eksterna
• Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel)
– Etiologi: Staph Aureus, Staph Albus
– Obstruksi kelenjar minyak atau folikel
rambut
– Terjadi di bagian luar kartilago telinga,
karena tidak ada jaringan ikat sakit
– Antibiotik topikal, insisi
• Otitis eksterna difus
– Etiologi: pseudomonas (paling umum),
Staph albus, E.Coli
– Terjadi pada bagian dalam rongga telinga
– Keadaan lembab pertumbuhan bakteri
– Antibiotik topikal atau sistemik
189. Otitis Externa (OE)
• Malignant otitis externa (necrotizing OE)
– Elderly diabetics or immunocompromised.

– OE  cellulitis, chondritis, osteitis, osteomyelitis 


cranial neuropathies.
– The canal may be swollen & tender, red granulation
tissue is seen posteroinferiorly at the junction of
cartilage with bone, one-third inward.

– Itch rapidly followed by pain, secrete, & swelling of


canal ear.
– Th/: topical & systemic antibiotics & aggressive
debridement

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
189. Otitis Externa (OE)
Infectious agent in otitis externa:
• Acute localized otitis externa (furuncle)
– Staph. aureus, Staph. albus

• Diffuse otitis externa


– Pseudomonas, Staph. albus, E. coli

• Malignant otitis externa


– Pseudomonas aeruginosa

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
190. Tes Garpu Tala
Rinne : Membanding hantaran tulang (BC) dengan hantaran udara (AC)
Weber : Membandingkan BC telinga kanan dengan telinga kiri
Swabach : Membandingkan BC pasien dengan pemeriksa
Rinne Weber Schwabach Diagnosis
Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal
pemeriksa
Negaatif Lateralisasi ke telinga Memanjang Tuli konduktif
yang sakit
Positif Lateralisasi ke telinga Memendek Tuli sensorineural
yang sehat

• Normal : AC lebih baik dari BC (karena melewati amplifikasi di MT


dan tulang pendengaran)
• Tuli konduktif : BC lebih baik dari AC  hantaran tulang lebih sensitif
terhadap suara karena tidak ada suara yang melalui hantaran udara
• Tuli sensorineural: AC lebih baik dari BC, namun ambang dengar keduanya
lebih buruk dari orang normal
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
191. Otitis media akut
• Otitis media: peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga,
tuba eustachius, antrum mastoid dan sel mastoid.
• Otitis media akut dengan perforasi membran telinga akan menjadi
otitis media kronik setelah 2 bulan.
• Etiologi: Streptococcus pneumoniae 35%, Haemophilus influenzae
25%, Moraxella catarrhalis 15%.
• Tahapan:
– Oklusi tuba: retraksi membran timpani atau berwarna keruh.
– Hiperemik/presupurasi: tampak hiperemis dan pelebaran pembuluh
darah.
– Supurasi: edema yanghebat pada mukosa telinga tengah, bulging,
demam, nyeri
– Perforasi: membran timpani ruptur, demam menurun
– Resolusi: jika membran timpani tetap utuh maka membran timpani
akan kembali normal.

Buku ajar ilmu THTK&L FKUI edisi keenam


Stadium hiperemis Stadium supurasi
• Terapi:
– Occlusion tubal: topical decongestan(ephedrin
HCl)
– Presuppuration: AB for at least 7 days
(ampicylin/amoxcylin/ erythromicin) &analgetic.
– Suppuration: AB, myringotomy.
– Perforation: ear wash H2O2 3% & AB.
– Resolution: if secrete isn’t stopped  ab is
continued until 3 weeks
192. Laringomalasia
• Laringomalasia (soft larynx) adalah kelainan
kongenital dimana epiglotis lemah. Kartilago
imatur kolaps selama inhalasi dan
menyebabkan obstruksi.
• Laryngomalasia merupakan penyebab paling
umum dari stridor pada anak.
• Kelemahan epiglotis akan menyebabkan
penyumbatan saluran pernafasan nafas
berbunyi/stridor
• Pada pemeriksaan dapat terlihat laring
berbentuk omega
• Bila sumbatan semakin hebat maka dapat
dilakukan intubasi
• Penganan
– Pada sebagian besar kasus adalah observasi
– Pembedahan dapat dipertimbangkan, dengan
menggunting aryepiglotik.
193. Polip nasi
• Polip adalah jaringan keputihan berisi cairan
yang berada di kavitas nasal, yang
disebabkan oleh peradangan mukosa
• Polip nasal tidak terjadi pada anak-anak
kecuali pada penyakit cystic fibrosis
• Masa lunak mengandung banyak carian di
rongga hidung, putih keabuan, akibat
inflamasi mukosa

Buku ajar ilmu THTK&L FKUI edisi keenam


Polip
• Etiologi:Inflamasi kronik,
disfungsi otonom,
predisposisi genetik
• Polip berasal dari
kompleks ostiomeatal di
meatus medius dan
sinus etmoid
• Mulanya, pasien
mengalami hidung
buntu kronik karena
polip. Selanjutnya,
berkomplikasi menjadi
sinusitis dengan adanya
sekret berbau
• Anamnesis:
– hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia.
– Dapat disertai bersin, nyeri hidung dan sakit kepala di
frontal.
– Bila disertai infeksi sekunder, terjadi PND dan sekret
purulen.
– Gejala sekunder: napas lewat mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur

• PF: massa pucat dari meatus medius, mudah digerakkan,bisa


menyebabkan pelebaran hidung karena polip yang masif
• Penunjang: nasoendoskopi, radiologi (foto polos sinus
paranasal, CT scan)
• Terapi: steroid (polipektomi medikamentosa)  tidak
membaik, polipektomi bedah
Diagnosis Banding Sumbatan Hidung
• Septum deviasi: keadaan dimana septum nasi tidak
lurus di tengah
• Angiofibroma nasofaring: tumor jinak pembuluh
darah yang memiliki kemampuan untuk mendestruksi
tulang dan jaringan sekitarnya.
• Rhinitis alergi: penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan berulang.
• Sinusitis: inflmasi mukosa sinus paranasal, biasanya
dipicu oleh rhinitis.
Contoh Polip

Gambar diunduh dari: http://thtkl.wordpress.com/tag/polip-hidung/


Polip
194. Rhinitis Alergi
Deskripsi
• Rhinitis
Diagnosis alergi
Anamnesis: adalah
Serangan bersinpenyakit inflamasi
berulang terutama yang
bila terpajan alergen
disebabkan oleh
disertai rinore reaksi
yang encer alergihidung
dan banyak, pada pasien
tersumbat, gatal,
lakrimasi, riwayat atopi
atopiPF yang sebelumnya
dan Rinoskopi anterior: Mukosasudahedema, tersensitisasi
basah, pucat/livid, sekret
banyak, allergic shiner, allergic salute, allergic crease, facies adenoid,
dengan alergen yang sama serta
geographic tongue, cobblestone appearance
dilepaskannya
Penunjang: Darahsuatu mediator
tepi: eosinofil meningkat, kimia ketika
IgE spesifik meningkat,
Sitologi hidung, Prick test, Alergi makanan : food challenge test
terjadi paparan berulang.
Terapi • Hindari faktor pencetus
• Medikamentosa (antihistamin H1, oral dekongestan, kortikosteroid topikal,
sodium kromoglikat)
• Operatif konkotomi (pemotongan sebagian konka inferior) bila konka
inferior hipertrofi berat.
• Imunoterapi dilakukan pada kasus alergi inhalan yang sudah tidak
responsif dengan terapi lain. Tujuan imunoterapi adalah pembentukan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE.
Rinitis Alergi
Rhinitis
Diagnosis Clinical Findings
Allergic rhinitis History of atopy. Symptoms: sneezing, itching, watery
rhinorrhea, and congestion.
Signs: mucous membrane shows edema, wet, pale or livid,
with profuse secrete. Allergic shiner, allergic salute, allergic
crease, facies adenoid, geographic tongue.
Vasomotor rhinitis Symptoms: nasal congestion influenced by position, rhinorrea,
sneezing. Trigger: smoke/cigarrete, spicy food, cold, change in
temperature, fatigue, stress.
Signs: mucosal edema, dark red hypertrophic konka.
Acute rhinitis Warm, dry, & itchy followed by sneezing, congestion, & serous
(rhinovirus) secrete along with fever & headache.
Rhinoscopy: reddened & swollen mucous membrane.
Th: analgetic, antipiretic, decongestan.
Chronic rhinitis Rhinitis that last for more than 12 weeks. Cause: Chronic
inflammation may cause hypertrophy of inferior konka.
Symptoms: nasal congestion, dry mouth, headache.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


195. Epistaksis
Penatalaksanaan
• Perbaiki keadaan umum
– Nadi, napas, tekanan darah

• Hentikan perdarahan
– Bersihkan hidung dari darah & bekuan
– Pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
1/5000-1/10000 atau lidokain 2%
– Setelah 15 menit, lihat sumber perdarahan

• Cari faktor penyebab untuk mencegah rekurensi


– Trauma, infeksi, tumor, kelainan kardiovaskular, kelainan darah,
kelainan kongenital
Epistaksis
• Epistaksis anterior:
– Sumber: pleksus kisselbach plexus atau a. ethmoidalis
anterior
– Dapat terjadi karena infeksi & trauma ringan, mudah
dihentikan.
– Penekanan dengan jari selama 10-15 menit akan menekan
pembuluh darah & menghentikan perdarahan.
– Jika sumber perdarahan terlihat  kauter dengan AgNO3, jika
tidak berhenti  tampon anterior 2 x 24 jam.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Epistaksis
• Epistaksis Posterior
– Perdarahan berasal
dari a. ethmoidalis
posterior atau a.
sphenopalatina, sering
sulit dihentikan.
– Terjadi pada pasien
dengan hipertensi
atau arteriosklerosis.
– Terapi: tampon
bellocq/posterior
selama 2-3 hari.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
196. Audiologic Testing in Pediatric
• Behavioral observation audiometry
– Behavioral reflex audiometry: to observe reflex
evoked by sound  eye widening, grimacing,
auropalpebral reflex, moro reflex, cessation reflex.
– Behavioral response audiometry (5-6 month)  to
evoke spesific response: moving head toward sound.

• Play audiometry (2-5 year)


– a kid is trained to do spesific task (games) when
hearing sound stimulus.
Buku ajar THT KL FKUI
Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
196. Audiologic Testing in Pediatric
• Tympanometry:
– To assess middle air condition by placing probe
tone in ear canal to sense the pressure based on
the sound energy reflected from middle ear.

• Otoacoustic emission:
– objective, noninvasive, and rapid measures used
to determine cochlear outer hair cell function.
– Evoked OAE are acoustic signals generated by the
cochlea in response to auditory stimulation.
Buku ajar THT KL FKUI
Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
196. Audiologic Testing in Pediatric
• Pure tone audiometry:
– The audiogram is a graph that depicts threshold as a
function of frequency. Threshold is defined as the softest
intensity level that a pure tone (single frequency) can be
detected 50% of the time.
196. Audiologic Testing in Pediatric
• Brainstem evoked response audiometry:
– BERA is a series of scalp-recorded electrical potentials
generated in the auditory nerve and brainstem during the
first 10 to 20 ms after the onset of a transient stimulus.
– Can be used in infant, children, adults, & comatose patient.

Buku ajar THT KL FKUI


Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
Tes Pendengaran
Tes Audiometri Keterangan
Tes garpu tala Tes pendengaran kualitatif dengan menggunakan penala: tes
Rinne, Weber, Schwabach
Pure tone Tes pendengaran kuantitatif. PTA dapat menilai: pendengaran
audiometry (PTA) normal atau tuli, jenis ketulian (CHL, SNHL, atau campuran), dan
derajat ketulian dengan indeks Fletcher
Otoacosutic Tes audiologi khusus, menilai fungsi koklea secara obyektif. Baik
emission (OAE) untuk program skirining pendengaran pada bayi dan anak. Lebih
mudah dilakukan dibandingkan BERA
Brainstem evoked Tes audiologi khusus, untuk menilai fungsi pendengaran dan
response nervus VIII, dapat dilakukan pada bayi, anak yang tidak kooperatif
audiometry yang sulit diperiksa dengan tes konvensional, atau dewasa yang
(BERA) malingering atau ada kecurigaan tuli retrokoklea
Speech Tes audiologi khusus, terutama menilai kemampuan pasien dalam
audiometry pembicaraan sehari-hari dan menilai pemberian hearing aid

Sumber: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
197. Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan
keganasan pada nasofaring dengan
predileksi pada fossa Rossenmuller.
Faktor risiko meliputi: infeksi oleh EBV,
makanan berpengawet, dan genetik
Gejala:
Gejala Nasofaring
– Epistaksis ringan, sumbatan hidung
Gejala mata
– Diplopia
Gejala telinga
– Tinitus, Otalgia, Hearing loss
Gejala Neural
– Gejala yang berhubungan dengan
nervus cranial V, IX, X, XI, XII
Keganasan THT
History Physical Exam. Diagnosis Treatment
Male in 5th decade, unilateral obstruction & Ca Surgery
exposed with nickel, rhinorrea. Diplopia, sinonasal
chrom, formalin, proptosis . Bulging of
terpentin. palatum, cheek protrusion,
anesthesia if involving n.V
Elderly with history of Posterior rhinoscopy: mass at KNF Radiotherapy,
smoking, preservative fossa Rosenmuller, cranial chemoradiation,
food. Tinnitus, otalgia nerves abnormality, surgery.
epistaxis, diplopia, enlargement of jugular
neuralgia trigeminal. lymph nodes.
painful ulceration, Painful ulceration with Ca tonsil Surgery
otalgia & slight bleeding. induration of the tonsil.
Lymph node enlargement.
Male, young adult, with Anterior rhinoscopy: red Juvenile Surgery
recurrent epistaxis. shiny/bluish mass. No lymph angiofibro
nodes enlargement. ma
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
198. Serumen
• Serumen adalah produksi kelenjar sebasea, kelenjar
seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu.
Biasanya ditemukan pada sepertiga liang telinga bagian
depan.
• Konsistensi serumen bisa lunak dan keras, dipengaruhi oleh
faktor keturunan, iklim, usia dan keadaan lingkungan.
• Gumpalan serumen (serumen plug) dapat menyebabkan
gangguan berupa tuli konduktif.
• Serumen plug dapat terjadi ketika telinga masuk air
(mandi, berenang) dan menyebabkan serumen
mengembang sehingga menimbulkan gangguan
pendengaran dan rasa tertekan pada telinga.
• Pengobatan:
– Serumen yang lembek: dapat langsung
dibersihkan dengan kapas
– Serumen yang keras dapat dikeluarkan dengan
pengait atau kuret. Namun apabila kondisinya
keras dapat dicairkan dengan tetes karbogliserin
10% selama tiga hari.
Otitis eksterna
• Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel)
– Etiologi: Staph Aureus, Staph Albus
– Obstruksi kelenjar minyak atau folikel
rambut
– Terjadi di bagian luar kartilago telinga,
karena tidak ada jaringan ikat sakit
– Antibiotik topikal, insisi
• Otitis eksterna difus
– Etiologi: pseudomonas (paling umum),
Staph albus, E.Coli
– Terjadi pada bagian dalam rongga telinga
– Keadaan lembab pertumbuhan bakteri
– Antibiotik topikal atau sistemik
199. Rinitis medikamentosa
• Kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor
akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau
semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga
menyebabkan sumbatan menetap  terjadi rebound
dilatation dan rebound congestion
• Anjuran: pemakaian obat topikal sebaiknya tidak lebih dari 1
minggu
• PF: edema/hipertrofi konka dengan sekret berlebihan. Apabila
diberi tampon, edema tidak berkurang
• Tatalaksana: hentikan obat topikal hidung, steroid oral dosis
tinggi jangka pendek dan tappering off, dekongestan oral

Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
200. Otitis Media Supuratif Kronis
• Otitis media supuratif kronis adalah infeksi
kronis di telinga tengah dengan perforasi
mebran timpani dan sekret yang keluar dari
telinga tengah terus menerus atau hilang
timbul.
• OMA dengan perforasi mebran timpani
menjadi otitis media supuratif jika prosesnya
lebih dari dua bulan.
• Jenis-jenis OMSK:
– OMSK tipe aman (tipe mukosa/benigna)
– OMSK tipe bahaya (disertai kolesteatoma),
kolesteatoma jenis ini biasanya menyebabkan
perforasi di daerah marginal atau atik dari
membran timpani.
Terapi OMSK
• OMSK tipe benigna:
– Secara umum terapi OMSK jinak adalah konservatif.
Obat yang dapat digunakan berupa obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari, antibiotik (penggunaan
antara 1-2 minggu) dan antibiotik oral. Miringoplasti
atau timpanoplasti dapat dilakukan setelah dua bulan
ketika keadaan sekret sudah kering.
• OMSK tipe bahaya:
– Secara umum pembedahan ], mastoidektomi dengan
atau timpanoplasti.
• Miringoplasty adalah jenis timpanoplasty yang
paling ringan. Pada prosedur ini hanya
dilakukan rekonstruksi pada membran timpani
• Timpanoplasty adalah sebuah prosedur yang
dilakukan pada OMSK tipe aman dengan
kerusakan yang lebih berat. Pada operasi ini
dilakukan rekonstruksi membran telinga dan
rekonstruksi tulang pendengaran.

Anda mungkin juga menyukai