13
Gambar 1. Epidural hematom dan subdural hematom
Subdural hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan
araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental, dan temporal. Pada subdural
hematoma yang seringkali mengalami perdarahan ialah “bridging vein”, karena tarikan
ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi
pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai
dengan distribusi “bridging vein”. (1,2)
B. Etiologi
Sedangkan pada subdural hematom. Keadaan ini timbul setelah trauma kepala
hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan
memutuskan vena – vena. Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu
akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan dampak primer. Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat
linier. Maka dari itu lesi – lesi yang bisa terjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika disitu terdapat lesi, maka lesi itu
dinamakan lesi kontusio “contercoup”.(1)
C. Patomekanisme
Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, ke
dalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak
(hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Pada hematoma epidural,
perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan duramater. Perdarahan ini lebih sering
terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan
ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di darah yang bersangkutan. Hematom
pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital.(8,10)
Putusnya vena – vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah
penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali
terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah
di dalam rongga subaraknoid. Anak- anak ( karena anak – anak memiliki vena – vena
yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak (karena memiliki vena – vena
penghubung yang lebih panjang) memiliki resiko yang lebih besar.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins”.
Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yag
terkumpul hanya 100 – 200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tampnade
hematom sendiri. Setelah 5 – 7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10 – 20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya
pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan
hiperosmolaritas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya
perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa
darah (higroma). Kondisi – kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme.(1,2,8)
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu
teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair
sehingga akan meningkatkan kandunga protein yang terdapat di dalam kapsul dari
subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik di dalam
kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang
mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial
dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di
dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hamcurnya sel darah
merah.
Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga
ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut
memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnorslitas enzim
fibrinolitikdan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dan menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik.(6,10)
D. Manifestasi Klinis
Gejala yang sangat meninjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun
secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar disekitar
mata dan belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada sluran hidung
dan telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam – macam akibat
cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala, gejala yang sering
tampak: (1,2,5)
1. Penurunan kesadaran,bisa sampai koma
2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Nyeri kepala yang hebat
6. Keluar cairan dari hidung dan telinga
7. Mual
8. Pusing
9. Berkeringat
Jika volume kecil akan meyebabkan kapsul terbentuk lagi → menimbun cairan →
ruptur lagi → re–bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan
penurunan kesadaran tiba – tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba – tiba.
E. Komplikasi
Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi:
1. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis dimana keadaan ini
mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain
shift) dan peningkatan tekanan intrakranial
2. Kompresi batang otak
F. Pemeriksaan Penunjang
Dengan CT-Scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih
mudah dikenali.
1. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma
pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media.
2. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedera
intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi
dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di
daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,
midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma. Desitas yang tinggi pada stage yang akut (60 – 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuuh darah.
7 6
Gambar 3.Epidural hematom Gambar 4.Subdural hematom
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.(6,7,11)
6
Gambar 5.Subdural hematom
4. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
5. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
6. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
7. BAER
Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil
8. PET
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
9. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
10. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
11. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
12. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
13. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
14. Analisa gas darah (A’GD/astrup)
15. Analisa gas darah (A’GD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan
status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD
ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa.
G. Penatalaksanaan
1. Epidural hematom
Penanganan darurat:
a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
b. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
a. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan napas selalu bebas, bersikan lendir dan darah yang dapat
menghakangi aliran udara pernapasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal
dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena:
gunakan cairan NaCl 0,9% atau Dextrose in saline.
b. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
1) Hiperventilasi
Bertujuan ntuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu
menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan
asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO 2
diantara 25 – 30 mmHg
2) Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan manitol 10 -15 % per infus untuk “menarik” air
dari ruang intersel ke dalam ruang intra – vaskular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki,
manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat,
umumnya diberikan: 0,51 ram/kg BB dalam 10 – 30 menit. Cara ini berguna
pada kasus – kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus
dipikirkan kemungkinan efek rebound, mungkin dapat dicoba diberikan
kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
3) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa
waktu yang lalu. Pendapat akhir – akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar
darah otak.
2. Subdural hematom
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada psien SDH, tentu harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengaradiologinya. Dalam masa mempersiapkan
operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa
untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Seperti pemberian manitol 0,25
gr/kg BB atau furosemide 10 mg intravena, dihiperventilasikan.
Tindakan operatif
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala – gejala yang
progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematom. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk tindakan operasi yangharus
diperhatikan adalah airway, breathing, dan circulation. Kriteria penderita SDH
dilakukan operasi adalah:
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm pada CT-Scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergerakan struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit.
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan atau TIK > 20 mmHg
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy. Tindakan yang
paling banyak diterima karena minimal komplikasi. Trepanasi atau burr holes
dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dan local anastesi. Kraniotomi
dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan
tingkat kompliksi yang lebih tinggi.
H. Pengkajian
1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung seberapa jauh dampak trauma kepala yang di sertai dengan
penurunan tinngkat kesadaran.
a. Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat KLL, jatuh dari dari
ketinggian dan trauma langsung kekepala. Adanya penurunan atau perubahan
pada tingkat kesadarn di hubungkan dengan perubahan didalam intrakranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
5. Keadaan umum
Pada pasien yang mengalami cedera kepala umumnya mengalami penurunan
kesadaran CKR atau COR dengan GCS 13-15, CKS dengan GCS 9-12, CKB dengan
GCS ≤ 8.
I. Pathways keperawatan
J. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia
jantung)
2. Resiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau
defisit neurologis).
4. Resiko injuri b.d peningkatan TIK : kejang
5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring,
imobilisasi.
6. Nyeri akut b.d agen injuri fisik, biologis : trauma; peningkatan asam laktat di otak
7. Resiko infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja
silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan
steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan
untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang
diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
9. Kecemasan keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidakpastian tentang
hasil/harapan.
10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
Intervensi Rasional
a. Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan i. Penurunan tanda/gejala neurologis atau
koma/penurunan perfusi jaringan otak dan kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan
potensial peningkatan TIK. awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di
b. Pantau /catat status neurologis secara perawatan intensif.
teratur dan bandingkan dengan nilai ii. Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial
standar GCS. peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
c. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan menentukan lokasi, perluasan dan
antara kiri dan kanan, reaksi terhadap perkembangan kerusakan SSP.
cahaya. iii. Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
d. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, okulomotor (III) berguna untuk menentukan
frekuensi nafas, suhu. apakah batang otak masih baik.
e. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan iv. Peningkatan TD sistolik yang diikuti oleh
membran mukosa. penurunan TD diastolik (nadi yang membesar)
f. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK,
kenyamanan, seperti lingkungan yang jika diikuti oleh penurunan kesadaran.
tenang. v. Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total
g. Bantu pasien untuk menghindari tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
/membatasi batuk, muntah, mengejan. vi. Memberikan efek ketenangan, menurunkan
h. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan
sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. istirahat untuk mempertahankan atau
i. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. menurunkan TIK.
j. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. vii. Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan
k. Berikan obat sesuai indikasi, misal: intrathorak dan intraabdomen yang dapat
diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, meningkatkan TIK.
sedatif, antipiretik. viii. Meningkatkan aliran balik vena dari kepala
sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema
atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
ix. Pembatasan cairan diperlukan untuk
menurunkan edema serebral, meminimalkan
fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK
x. Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah
serebral yang meningkatkan TIK.
xi. Tindakan kolaboratif
2. Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera
pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi Rasional
a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman a. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan
pernapasan. Catat ketidakteraturan perlunya ventilasi mekanis.
pernapasan. b. Kemampuan memobilisasi atau membersihkan
b. Pantau dan catat kompetensi reflek sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas.
gag/menelan dan kemampuan pasien c. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan
untuk melindungi jalan napas sendiri. perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
Pasang jalan napas sesuai indikasi. d. Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
aturannya, posisi miirng sesuai menyumbat jalan napas.
indikasi. e. Mencegah/menurunkan atelektasis.
d. Anjurkan pasien untuk melakukan f. Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma
napas dalam yang efektif bila pasien atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
sadar. membersihkan jalan napasnya sendiri.
e. Lakukan penghisapan dengan ekstra g. Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
hati-hati, jangan lebih dari 10-15 atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
detik. Catat karakter, warna dan membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
kekeruhan dari sekret. menandakan terjadinya infeksi paru.
f. Auskultasi suara napas, perhatikan h. Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan
daerah hipoventilasi dan adanya suara asam basa dan kebutuhan akan terapi.
tambahan yang tidak normal misal: i. Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
ronkhi, wheezing, krekel. tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi
g. Pantau analisa gas darah, tekanan atau bronkopneumoni.
oksimetri j. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
h. Lakukan ronsen thoraks ulang. membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
i. Berikan oksigen. pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
j. Lakukan fisioterapi dada jika ada mekanik.
indikasi. k. Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru
lainnya.
3. Resiko terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan
kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan
(penggunaan steroid).
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi Rasional
a. Berikan perawatan aseptik dan a. Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
antiseptik, pertahankan tehnik cuci nosokomial.
tangan yang baik. b. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
b. Observasi daerah kulit yang untuk melakukan tindakan dengan segera dan
mengalami kerusakan, daerah yang pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
terpasang alat invasi, catat c. Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang
karakteristik dari drainase dan adanya selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan
inflamasi. dengan segera.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat d. Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru
adanya demam, menggigil, diaforesis untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia,
dan perubahan fungsi mental atelektasis.
(penurunan kesadaran). e. Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang
d. Anjurkan untuk melakukan napas mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah
dalam, latihan pengeluaran sekret dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
paru secara terus menerus. terjadinya infeksi nosokomial.
e. Observasi karakteristik sputum.
Berikan antibiotik sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA