Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Anestesi secara umum berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu
rangsangan. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai anestetik,
dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Pemberian
anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau
tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang
berkaitan dengan pembedahan, yang adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh.1
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal
(trias anestesi) terdiri dari: hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga
termasuk mengendalikan pernapasan, pemantauan fungsi – fungsi vital tubuh selama
prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan.1,2
Pemilihan teknik, obat anestesi dan premedikasi berdasar dari evaluasi pre – operasi
juga merupakan hal yang penting dengan mengenal sifat farmakologi dari obat anestesi
ataupun obat premedikasi dapat dipilih obat yang sesuai, karena obat anestesi dan
premedikasi sebagian besar merupakan obat yang menimbulkan depresi napas dan
mempengaruhi sirkulasi sehingga untuk menentukan dosisnya tergantung pada umur, berat
badan, dan keadaan fisik penderita. Efek yang saling menunjang dari gabungan obat anestesi
dan premedikasi juga merupakan pertimbangan lain dalam memilih obat – obat tersebut.2
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian
lemah dari dinding rongga bersangkutan (fascia dan muskuloaponeurotik) yang menberi jalan
keluar pada alat tubuh selain yang biasa melalui dinding tersebut. Hernia terdiri atas 3 hal :
cincin, kantong dan isi hernia. Hernia umbilical adalah jenis paling berbahaya berkembang di
daerah pusar.3
Pada penulisan laporan kasus ini bertujuan menjelaskan tentang “General Anestesi
pada Herniotomi dengan Hipertensi dan Obesitas.”
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap
(volatile agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika
tersebut tergantung dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat
apabila dengan tekanan parsial yang rendah sudah mampu memberikan
anestesia yang adekuat.2,4
3
Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi. Curah
jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan pendalaman
anestesia. Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.
4
2.7 Persiapan dan penilaian pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan
pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah
darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan
fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi
dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini
dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran
prognosis pasien secara umum.
1. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan
pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus
diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes
mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia,
bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina
pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat – obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat – obat anestetik. Misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat – obat antidiabetik, antibiotika
golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika,
obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa
kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
5
- Kebisaaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti: merokok dan alkohol.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.2,4,5
3. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
toraks. Praktek – praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji – uji semacam ini.2,4,5
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan.
Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat
menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik
dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat
kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat
dihindari.2,4,5
4. Kebugaran Untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.2
5. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari
6
masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan
tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air
putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.2
6. Klasifikasi Status Fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 6 kelompok
atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas ruti terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
ASA VI : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya
akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang
membutuhkan.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan
mencantumkan tanda darurat (E= emergency), misalnya ASA I E atau III E
2.8 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anestesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan
7
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang
tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15
mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya
oral simetidin 600 mg/oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Obat-obat yang bisa digunakan untuk premedikasi adalah : obat antikolinergik:
sulfas atropin dan skopolamin, abat sedatif, dan obat analgetik narkotik.
1. Obat golongan antikolonergik
Merupakan obat-obat yang berkhasiat menekan/ menghambat aktivitas
kholinergik atau parassimpatis. Mekanisme kerjanya: menghamabta mekanisme
kerja asetil kolin pada organ yang diinervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis
atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmiter asetil kolin. Cara pemberian dan
dosis: im dosis 0,01 mg/kgBB diberikan 30-45 menit sebelum induksi. Intravena,
dengan dosis 0,005 mg/kgbb diberikan 5-10 menit sebelum induksi.2,6,7
9
Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-
0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV
tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan
secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan
apnoe.2,4,5,6
10
koordinasi otot, dan gangguan jantung. Selai efek samping di atas, obat ini juga
dapat menimbulkan efek alergi, berupa kemerahan, gatal, bengkak pada daerah
tempat suntikan. Gejala alergi dapat bermanifestasi parah. Misalnya kesulitan
bernafas, bengkak pada wajah, bibir dan lidah atau tenggorokan. Jika terjadi
dosis berlebihan (overdosis), gejala yang dapat terjadi; perubahan warna pada
kulit, kulit menjadi dingin, kelemahan otot. Efek samping yang tidak terlalu
parah diantaranya kesulitan buang air besar (konstipasi), mual, muntah,
kehilangan nafsu makan dan merasa sakit kepala serta mulut terasa kering.
Berkeringat berlebihan juga merupakan efek samping yang dapat terjadi. Karena
merupakan zat yang termasuk golongan narkotik, obat ini memiliki efek
withdrawal, artinya tatkala penggunaannya dihentikan tiba-tiba, maka akan
muncul gejala putus obat yang oleh awam disebut dengan sakau. Jantung
berdebar, denyut nadi cepat, dan pernafasan menjadi tertekan. Penderita merasa
sangat tidak nyaman, terasa nyeri pada seluruh anggota tubuh, kadang disertai
muntah. Dengan demikian seseorang yang sudah menggunakan obat ini dalam
jangka waktu cukup lama, penghentiannya harus dilakukan secara bertahap.
Perlahan-lahan diturunkan dosisnya untuk menghindari terjadinya efek
withdrawal.2,4,5,6,7
- Fentanil
Merupakan obat narkotik sintetik yang paling banyak digunakan dalam
praktek anestesiologi. Mempunyai potensi 1000 kali lebih kuat dibandingkan
dengan petidin dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan
masa kerjanya pendek. Efek terhadap susunan saraf pusat fentanil bersifat
depresan terhadap sususan saraf pusat sehingga menurunkan kesadaran pasien.
Pada dosis lazim, kesadaran pasien menurun dan khasiat analgetiknya sangat
kuat. Pada dosis tinggi akan terjadi depresi pusat nafas dan kesadran pasien
menurunsampai koma. Dosis untuk analgesia 1-2 ug/kgbb diberikan
intramuskular, untuk induksi anestesi 100-200 ug/ kgbb intravena. Untuk
suplemen analgesia 1-2 ug/kgbb intravena.2,4,5,6,7
2.9 Obat Anestesi Umum
- Obat Anestesi inhalasi
Obat anastetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan ialah N2O (nitrous oxide). Dalam dunia modern,
anastetik inhalasi yang umum digunakan ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran,
11
desfluran, dan sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap secara terkontrol
dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli).
Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam
menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya. Induksi dan pemulihan
berlangsung cepat pada zat yang tidak larut.2,4
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) atau MAC (Minimum Alveolar
Concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang
dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95% pasien,
jika kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai KAM. Dalam keadaan seimbang
tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah
dan otak tempat kerja obat. Keterbatasan lain bahwa konsep MAC hanya
membandingkan tingkat anestesi saja dan tidak dapat memperkirakan efek
fisiologis pada sistem organ penting seperti fungsi kardiovaskular dan ginjal,
terutama pada pasien berpenyakit menahun.2,4
1. N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair, dalam
silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm.
Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat
anestesi lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi
nyeri menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan
salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka
N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah
hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10 menit.1,2
2. Halotan
Merupakan turunan etan, berbau enak dan tak merangsang jalan nafas. Halotan
harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya dan
diawetkan oleh timol 0,01%. Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi
intubasi. Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk
bedah otak.1,2
12
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan
inhibisi reflex baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah,
anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada
kontraindikasi. Halotan menghambat pelepasan insulin, meninggikan kadar gula
darah. Kira – kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif
menjadi komponen bromine, klorin, dan asam trikoloro asetat. Secara reduktif
menjadi komponen fluoride dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin.
Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan
indikasi kontra pada penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu
kurang tiga bulan atau pada pasien kegemukan. Pasca pemberian halotan sering
menyebabkan pasien menggigil.1,2
3. Enfluran
Merupakan halogenasi eter dan cepat poluer setelah ada kecurigaan gangguan
fungsi hepar setelah pengunaan ulang oleh halotan. Pada EEG menunjukkan tanda-
tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3
kali dibanding halotan. Di metabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non
volatil yang dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli.
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi nafas lebih
kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan halotan,
tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
dibandingkan halotan.1,2
4. Isofluran
Merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau sub anestetik dapat
menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah
otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia
hiperventilasi, Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner. sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis
pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isoflurane.1,2
13
5. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek
terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap
sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar.
Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada
laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia.1,2
14
akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang
lain.1,2
- Barbiturate
Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi
intravena yang bekerja cepat (short acting). Bekerja menghilangkan kesadaran dengan
blockade sistem sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate
menghambat pusat pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan
kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan
kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak
menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.1,2
Tiopental dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, berbau
belerang, biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan
dalam aquades steril sampai kepekatan 2,5 % (1 ml = 25 mg). Tiopental hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikkan perlahan dihabiskan
dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar
vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri akan menyebabkan
vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. 1,2
Tiopental akan menyebabkan sedasi, hipnosis, anestesia, atau depresi nafas.
Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial dan diduga
dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti analgesi.
Tiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya dalam bentuk bebas.
Sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi. Tiopental jarang
digunakan untuk anestesia intravena total.1,2
- Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik
dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat, lama kerja pendek. Efek kerja dicapai
dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal,
cepat dimetabolisme, pemulihan cepat. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Efek
hipnotik 1,8 kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek
anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui
interaksi dengan GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama
pada SSP.1,2
15
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga tekanan
darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek negatif inotropik
disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol dapat
menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah induksi
IV. Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan
volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat
menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial.1,2
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran
propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada
anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.1,2
- Ketamin
Ketamin adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus
lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan
analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari
baseline, denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan
hipersekresi. Mekanisme kerja ketamin berinteraksi dengan reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA), reseptor opioid, reseptor monoaminergik, reseptor muskarinik, dan saluran
voltage sensitive ion calcium. Daya larut dalam lemak tinggi membuat transfer obat ini
melewati sawar darah otak danmenghasilkan anestesi. Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4
menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit
untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1
menit, pada IM 5 menit. 1,2
Ketamin kurang digemari untuk induksi anestesia, karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan
mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Kalau harus diberikan sebaiknya
sebelumnya diberikan sedasi midazolam atau diazepam dengan dosis 0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. 1,2
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10
mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10%
(1 ml = 100 mg).1,2
16
- Opioid
Opioid morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi
20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.1
- Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan
midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik (sebagai
neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal
dalam anestetik regional. Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini
menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP ini dapat
diatasi dengan antagonisnya, flumazenil. 1
17
meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik
yang sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks
cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat
dikerjakan intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi
tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi
otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil
sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
- Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur,
denyut jantung berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
18
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan napas.
T = Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C = Connector Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
S = Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
- Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.1,2,4
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose.
Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu
sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose
ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi
fisiknya lemah (geriatri, pasien pre-syok).1,2,4
- Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau dewasa
yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O
dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2 0 : O2 = 3 :
1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang
dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau
sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.1,2,4
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk. Walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran), isofluran
19
(foran, aeran) atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu
induksi menjadi lama. Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat
yang memiliki sifat-sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat
membuat pasien tertidur.1,2,4
- Induksi Intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar) yang
dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.4
- Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau midazolam.4
20
2. Depolarisasi : Misalnya suksinilkolin:
Artakurium besilat
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice leontopeltalum. Farmakologi : mula
dan lama kerjanyatergantung pada dosis yang diberikan. Pada dosis endotrakea, mulai
kerjanya 2-3 menit setelah suntikan tunggal intravena, sedangkan lama kerjannya berkisar
15-35 menit. Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, sehingga masa
kernya singkat. Tidak mempunyai fungsi kardio vascular sehingga merupakan pilihan
pada pasien yang menderita kelainan fungsi kerdiovaskular, seperti mislanya penyakit
jantung coroner, hipertensi dan lainnya. Dosis dan cara pemberiannya: Untuk intubasi
endotrakea dan relaksasi otot , dosisnya 0,5-0,6 mg/ kg bb, diberikan secara intravena.
Pada keadaan tertentu dapat diberikan secara infus tetes kontinyu.4
2.14 Rumatan anestesi
Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan secara intravena (anestesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak
sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama di bedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik cukup. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid
dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infus propofol 4-12 mg/kgBB. Bedah lama dengan anestesia total intravena menggunakan
opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.4
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4
vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan
(controlled).4
22
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
Tabel 3. Tampakan rongga mulut saat mulut terbuka lebar dan lidah menjulur
maksimal
c. Kesulitan Intubasi
Leher pendek berotot, mandibula menonjol, maksila/gigi depan menonjol,
uvula tak terlihat (Mallampati 3 atau 4), gerak sendi temporo-mandibular terbatas,
gerak vertebra servikal terbatas.
23
d. Komplikasi Intubasi
- Selama intubasi: Trauma gigi-geligi, laserasi bibir, gusi, laring, merangsang
saraf simpatis (hipertensi-takikardi), intubasi bronkus, intubasi esophagus,
aspirasi, spasme bronkus
- Setelah ekstubasi: spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glotis-
subglotis, infeksi laring, faring, trakea
4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
Ekstubasi dapat dilakukan saat operasi telah selesai dilakukan, pasien bernafas
spotan, pasien sadar betul, dan jalan nafas bersih.4. Tujuan Ekstubasi yaitu :
1. Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma.
ekstubasi.
3. PaO2 diatas 80 mm Hg
6. Reflek jalan napas sudah kembali (batuk, gag) dan penderita sudah sadar
penuh.
Pelaksanaan Ekstubasi
mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate.
24
sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila
ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau dimana reflek
pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi dengan
jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini disebabkan adanya gangguan
25
Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan
yakin baik, baru ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus secarra
Definisi Hernia
Secara umum Hernia merupakan proskusi atau penonjolan isi suatu rongga dari
berbagai organ internal melalui pembukaan abnormal atau kelemahan pada otot yang
26
mengelilinginya dan kelemahan pada jaringan ikat suatu organ tersebut. Hernia adalah
tonjolan keluarnya organ atau jaringan melalui dinding rongga dimana organ tersebut
seharusnya berada yang didalam keadaan normal tertutup.3,8
Anatomi
Hernia umbilical adalah jenis paling berbahaya dari hernia dan cenderung
sangat sering pada bayi baru lahir, Ini adalah penyakit berbahaya yang berkembang di
daerah pusar, atau umbilikus. Beberapa anak baru lahir memiliki kelemahan
dalam otot terletak di daerah pusar atau umbilikus dan setelah mereka lahir dantali
pusat (kabel penghubung seorang ibu untuk memberikan anaknya semua zat yang dia
butuhkan untuk bertahan hidup) adalah memotong, karena kelemahan otot
ini menyerah pada tekanan dan memungkinkan terbentuknya lubang kecil, di mana isi
perut keluar dan menciptakan benjolan atau tonjolan.3
Hernia umbilikalis kongenital adalah hernia utuh ditutup kulit yang terdapat
waktu lahir. Hernia ini dapat menonjol kedalam tali pusat, disebut hernia ke dalam tali
pusat.3
Etiologi
Hernia dapat terjadi karena ada sebagian dinding rongga lemah.Lemahnya
dinding ini mungkin merupakan cacat bawaan atau keadaan yang didapat sesudah
lahir, contoh hernia bawaan adalah hermia omphalokel yang terjadi karena sewaktu
bayi lahir tali pusatnya tidak segera berobliterasi (menutup) dan masih terbuka.
Demikian pula hernia diafragmatika. Hernia dapat diawasi pada anggota keluarga
misalnya bila ayah menderita hernia bawaan, sering terjadi pula pada anaknya.3,8
27
Pada manusia umur lanjut jaringan penyangga makin melemah, manusia umur
lanjut lebih cenderung menderita hernia inguinal direkta. Pekerjaan angkat berat yang
dilakukan dalam jangka lama juga dapat melemahkan dinding perut.3,8
Lemahnya dinding rongga perut. Dapat ada sejak lahir atau didapat
kemudian dalam hidup.
Akibat dari pembedahan sebelumnya.
Kongenital
a. Hernia congenital sempurna
Bayi sudah menderita hernia kerena adanya defek pada tempat – tempat
tertentu.
b. Hernia congenital tidak sempurna
Bayi dilahirkan normal (kelainan belum tampak) tapi dia mempunyai defek
pada tempat – tempat tertentu (predisposisi) dan beberapa bulan (0 – 1
tahun) setelah lahir akan terjadi hernia melalui defek tersebut karena
dipengaruhi oleh kenaikan tekanan intraabdominal (mengejan, batuk,
menangis).
Berdasarkan sifatnya
Hernia reponibel
Yaitu isi hernia masih dapat dikembalikan ke kavum abdominalis lagi
tanpa operasi.
Hernia ireponibel
Yaitu isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga.
Hernia akreta
Yaitu perlengketan isi kantong pada peritonium kantong hernia.
Hernia inkarserata
Yaitu bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia.
Manifestasi Klinis
Hernia umbilikalis merupakan hernia congenital pada umbilicus yang hanya
ditutup peritoneum dan kulit, berupa penonjolan yang mengandung isi rongga perut
yang masuk melalui cincin umbilicus akibat peninggian tekanan intra abdomen,
biasanya jika bayi menangis. Angka kejadian hernia ini lebih tinggi pada bayi
premature. Hernia umbilikalis pada orang dewasa merupakan lanjutan hernia
28
umbilikalis pada anak. Peninggian tekanan karena kehamilan, obesitas atau asites
merupakan factor predisposisi.3
Gejala
Hernia umbilikalis yang diwakili hanya oleh tonjolan yang muncul
dan tidak lebih. Dalam kebanyakan kasus benjolan ini mendorong dirinya
kembali ke dalam jika bayi sedang duduk di punggungnya, tapi ketika dia
batuk, bersin, atau berdiri lurus itu sangat terlihat.
Nyeri pada umbilikalis. bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia,
maka akan terasa nyeri. Apalagi bila akhirnya terjadi infeksi, penderita
akan merasakan nyeri yang hebat, dan infeksi tersebut akhirnya menjalar
kemana – mana serta meracuni seluruh tubuh. Jika sudah terjadi keadaan
seperti ini, maka disebut gawat darurat yang harus segera ditangani,
karena dapat mengancam nyawa penderita
Tanda
Anak menangis dan gelisah, rewel, demam.
Patofisiologi
Hernia umbilicalis terjadi karena kegagalan orifisium umbilikal untuk
menutup. Bila tekanan dari cincin hernia (cincin dari jaringan otot yang dilalui
oleh protusi usus) memotong suplai darah ke segmen hernia dari usus, usus
menjadi terstrangulasi. Situasi ini adalah kedaruratan bedah karena kecuali usus
terlepas, usus ini cepat menjadi gangren karena kekurangan suplai darah.3
Pembedahan sering dilakukan terhadap hernia yang besar atau terdapat
resiko tinggi untuk terjadi inkarserasi. Suatu tindakan herniorrhaphy terdiri atas
tindakan menjepit defek di dalam fascia. Akibat dan keadaan post operatif seperti
peradangan, edema dan perdarahan, sering terjadi pembengkakan skrotum.
Setelah perbaikan hernia inguinal indirek. Komplikasi ini sangat menimbulkan
rasa nyeri dan pergerakan apapun akan membuat pasien tidak nyaman, kompres
es akan membantu mengurangi nyeri.3
Hernia berkembang ketika intra abdominal mengalami pertumbuhan
tekanan seperti tekanan pada saat mengangkat sesuatu yang berat, pada saat
buang air besar atau batuk yang kuat atau bersin dan perpindahan bagian usus
kedaerah otot abdominal, tekanan yang berlebihan pada daerah abdominal itu
tentu saja akan menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan dinding
29
abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya pada daerah tersebut dimana
kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses perkembangan yang cukup lama,
pembedahan abdominal dan kegemukan. Pertama – tama terjadi kerusakan yang
sangat kecil pada dinding abdominal, kemudian terjadi hernia. Karena organ-
organ selalu saja melakukan pekerjaan yang berat dan berlangsung dalam waktu
yang cukup lama, sehingga terjadilah penonjolan dan mengakibatkan kerusakan
yang sangat parah. Sehingga akhirnya menyebabkan kantung yang terdapat dalam
perut menjadi atau mengalami kelemahan jika suplai darah terganggu maka
berbahaya dan gangguan menyebabkan ganggren.3
Komplikasi
- Terjadi perlengketan pada isi hernia dengan dinding kantong hernia tidak dapat
dimasukkan lagi
- Terjadi penekanan pada dinding hernia akibat makin banyaknya usus yang rusak
- Pada strangulasi nyeri yang timbul lebih hebat dan kontinue menyebabkan
daerah benjolan merah
Penatalaksanaan Medis
Farmakologi
Terapi obat analgetik
Pembedahan/Herniatomi
Dilakukan pembebasan kantong hernia sampai lehernya kantong dibuka dan isi
hernia dibebaskan jika ada perlekatan, kemudian di reposisi kantong hernia dijahit,
ikat setinggi mungkin lalu dipotong. Herniaplastic dilakukan tindakan memperkecil
anulis inguinalis interus dan memperkuat dinding belakang kanalis linguinalis.
Herniorafi atau hernia repair adalah operasi hernia yang terdiri dari operasi
herniotomi dan hernioplastic.
Obesitas
Terdapat berbagai sistem yang digunakan untuk mendefinisikan obesitas.
Salah satu sistem yang sering digunakan adalah menggunakan perhitungan Boddy
Mass Index (BMI) atau Indeks Masa Tubuh (IMT). Indeks Masa Tubuh dihitung
dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter
30
pangkat dua. The National Institute of Health (2000) mengklasifikasikan derajat
indeks masa tubuh orang dewasa menjadi:
- Normal (18,5 – 24,9 kg/m2)
- Berat Badan Berlebih (25 – 29,9 kg/m2)
- Obesitas (≥ 30 kg/m2)
Tingkat 1 (30-34,9 kg/m2)
Tingkat 2 (35-39,9 kg/m2)
Tingkat 3 (≥ 40 kg/m2)
Kelebihan berat badan atau kegemukan didefinisikan sebagai indeks masa
tubuh/Body Mass Index (BMI) berkisar antara 25 sampai 29,9 kg/m2 dan obesitas
didefinisikan sebagai nilai BMI 30 kg/m2 atau lebih. Obesitas merupakan salah satu
gangguan keseimbangan energi dan sering dikaitkan dengan peningkatan tingkat
morbiditas dan mortalitas dan berhubungan dengan masalah medis yang luas. BMI lebih
dari 28 kg/m2 dihubungkan dengan peningkatan morbiditas seperti stroke, penyakit
jantung, dan diabetes yang sebanyak 3 sampai 4 kali lipat berisiko terjadi pada populasi
umum.9
Pasien dengan obesitas juga cenderung memiliki keterbatasan mobilitas dan
mungkin mengalami penurunan kemampuan sistem respirasi dan kardiovaskular yang
asimptomatik. Salah satu gejala gangguan system respirasi pada pasien dengan obesitas
adalah obstructive sleep apnea, yaitu penghentian aliran udara selama lebih dari 10 detik
dan dikarakteristikan dengan adanya frekuensi episode apnue atau hipoapneue selama
tidur. Adanya obstruksi aliran udara seringkali ditandai dengan mendengkur, somnolen
saat sadar berhubungan dengan adanya episode tidur yang sering terganggu pada malam
hari, dan perubahan fisiologi yang meliputi hipoksemia arterial, hiperkarbia arterial,
polisitemia, hipertensi sistemik, hipertensi pulmonal, dan gagal jantung kanan. Pada
pasien dengan obesitas, obstructive sleep apnea berhubungan dengan peningkatan
jaringan lemak pada leher dan jaringan faring yang merupakan faktor predisposisi
terjadinya penyempitan aliran udara dan peningkatan angka kejadian apnea saat tidur.9
31
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi
oleh banyak faktor,termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas,obat yang
sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2
atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD
darah sebelumnya.10
32
muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada
hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi
yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita
hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung
sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%.
Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi
khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun
pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena
hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap
kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan
operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga
evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association /
American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180
mmHg dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi,
terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat
dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat
antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi
cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase
yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh
yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat
pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan
darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan
yang tidak dikontrol dengan baik.10
33
diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut
apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu
relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator).
Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia
dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu.
Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat
ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal,
urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan
seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal
kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan
adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah
mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit
arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya
TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung
sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit
arteri koronaria sebesar 16%.
d. Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan
tujuan penggunaanya:
- EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien
hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
- TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya
digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.
- Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.
- Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita
mempertahankan kadar CO2.
- Suhu atau temperature.
e. Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan
ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap
dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit
34
air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan
alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.10
f. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat
intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer
terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan
penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu
hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan
efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE
inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa
menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian
hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.
Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi.
- Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10
menit.
- Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb,
sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
- Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
- Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
- Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk
masing – masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat
tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk
pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai
obat induksi secara inhalasi.
35
g. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah
sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada
hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral
dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan
aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba – tiba.
Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva
autregulasi ke kiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur
autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan,
yaitu:
- Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi.
- Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi
otak.
- Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
- Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa
digunakan untuk pemeliharaan anesthesia. Anestesia regional dapat dipergunakan
sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering
menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien
dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat – obatan
yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan penderita
hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang
khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama jenis operasi
yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan
untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama
36
untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter
urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan
terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi
ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.10
h. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada
periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak
berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara
parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel9 atau bisa diatasi seperti
anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan
terlebih dahulu.
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab
hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit
bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek
yang diinginkan dari pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh
sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:
- Beta – adrenergic blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan
fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.
- Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
- Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan
dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
- Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi
sedang sampai berat.
- Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau
pencegahan iskemia miokard.
- Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.
- Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang
lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
i. Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat
dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada
tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif.
Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi
dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami
37
hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi. Hal – hal yang paling sering
menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat
antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat – obat penyakit kolagen-
vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma,
preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan
target organ yang rusak akibat hipertensi ini. Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti
adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan
intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina,
diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau
insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk
menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi
kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang
mengalami hipertensi dapat mengalami tanda – tanda ensefalopati pada TDD < 100
mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg
dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD
diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan
sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan – pelan diturunkan
sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda – tanda penurunan TD ditoleransi dengan baik
adalah selama fase ini tidak ada tanda – tanda hipoperfusi target organ. Hipertensi
urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti
adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala,
epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada
banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam
beberapa hari.10
j. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan
CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi
akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma
pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab
terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena
penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah
38
gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih.
Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab
sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang
paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien
yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin
epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah
teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat
bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya
sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap
diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi
secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk
mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena
overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai
dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia
miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan
nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat
sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan
dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.10
39
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesis
Keluhan utama
Benjolan di daerah pusar sejak 7 bulan yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan benjolan di daerah pusat sejak 7 bulan yang lalu.
Awalnya benjolan berukuran kecil, lama kelamaan benjolan bertambah besar dan
berdiameter 5 cm. Benjolan lunak, mobile, nyeri (-). Benjolan bertambah keluar saat
pasien batuk atau mengejan. Mual(-), muntah (-), buang air besar dan kecil lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi : (+) , pasien mempunyai riwayat
hipertensi sejak 2 tahun, obat antihipertensi captropil, pasien tidak minum obat
teratur .
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal
- Riwayat Penyakit paru : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : tidak ada
40
- Riwayat Obat yang diminum : tidak ada
- Riwayat Anestesi : tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat diabetes mellitus (-), asma (-), jantung (-), hipertensi (-), epilepsi (-).
Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan (-), dan obat-obat (-)
3.3. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS : E4V5M6
TTV : Tekanan Darah = 120/70 mmHg, Nadi = 80 x/menit,
reguler, kuat angkat, terisi penuh Respirasi Rate = 20 x
/mnt, Suhu = 36,0oC
Status Generalis
Kepala : Norrmocephali, jejas (-), oedema (-)
Mata : Sekret (-/-), Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
Telinga : Deformitas (-), darah (-), secret (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP dalam batas normal, trakea di tengah
Paru-paru
Inspeksi : Simetris ikut gerak nafas, retraksi dinding dada (-), jejas (-)
Palpasi : vokal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-),
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke V, 1 cm ke medial linea mid
clavicularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar.
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternalis kiri
Pinggang : ICS III linea parasternalis kiri
Batas kiri : ICS V 2 cm ke lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan : ICS V linea parasternalis kanan
41
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, jejas (-), pelebaran vena (-)
Auskultasi : Peristaltic (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) , turgor normal,
massa (-) Hepar/lien : tidak teraba membesar
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), anemis (-), CRT < 2”
Status Lokalis : Umbilikalis
tampak benjolan dengan ukuran diameter 5cm, nyeri (-), kenyal, mobile, warna sesuai
daerah sekitarnya.
Hasil USG
42
Pemeriksaan EKG
43
Puasa mulai jam 24.00
IVFD RL 20 tpm
Ukur tekanan darah
Siap darah 1 bag
Obat hipertensi tetap diminum
Konsul IPD untuk toleransi operasi:
Hipertensi grade II
Operasi dapat dilakukan jika TD sistole ≥ 150 mmHg, diastole ≤ 90 mmHg
Ukur TD pagi sebelum operasi
44
konjungtiva anemis -/-
45
Fiksasi ETT
ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit napas alat anestesi, kemudian
O2 4lpm dan sevoflurane 1,5 %.
Napas pasien dikendalikan dengan ventilator
O2 Flow P Max VT Freg TINSP PEEP
L/Min hPa mL /min Sec hpa
100 % 4.00 30 530 12 1.7 4
Tutup mata pasien dengan plester
- Medikasi
Dexamethason 2 amp, Fentanyl 50 mg, Petidin 10 mg, Ranitidin 50 mg,
Ondancentron 4mg, Cefuroxime 2gr, Antrain 1000 mg
46
Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI
1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/jam : Input : RL 500 cc
110 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 110 – 220 cc/jam Output : Urine :-
2. Pengganti puasa 8 jam
8 jam x kebutuhan cairan/jam =
8 x 110 – 220 cc/jam = 460 – 1080 cc
3. Perdarahan -
47
110 kg x 1– 2 cc/KgBB/hari = 2420 – 4840 cc RL 1000 cc, D5 % 500 cc
3.12. Ekstubasi
Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga mulut
efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate. Melakukan
pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk
membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak
dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah
dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan
pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan,
sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali. Sebelum dan
sesudah ektubasi untuk menghindari spsme laring., ekstubasi dilakukan pada stadium
Napas sudah baik, untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi
dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan.
48
pengaruh obat anestesi dan trauma pasca operasi masih belum hilang dan masih
mengancam status respirasi dan kardiovaskuler penderita. Upaya pengamatan yang
amat cermat terhadap tanda-tanda vital penderita merupakan modal dasar yang amat
ampuh dalam mencegah penyulit yang tidak diinginkan. Pemantauan pasca anestesi
dan kriteria pengeluaran dengan Skor Aldrete.
Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang pemulihan jika nilai
pengkajian post anestesi adalah >7-8. Lama tinggal di ruang pulih tergantung dari
teknik anestesi yang digunakan. Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila
hemodinaik tak stabil perlu support inotropik dan membutuhkan ventilator
(mechanical respiratory support).
49
- Antrain 3x1 amp
- Ranitidin 2x1 amp
3.12 Prognosis
- Vitam : Dubia ad bonam
- Functionam : Dubia ad bonam
- Sanationam : Dubia ad bonam
50
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien seorang laki – laki umur 57 tahun datang dengan keluhan benjulan di daerah
pusat. Pasien didiagnosa dengan Hernia Umbilikalis Inkaserata dengan Hipertensi. Pasien
direncanakan dilakukan tindakan Herniotomi. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam
PS. ASA II (Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang). Pasien dengan tekanan
darah 170/90 mmHg, menurutu klasifikasi JNC VII termasuk dalam kategori Hipertensi
Grade II.
Preoperatif terdiri dari persiapan pasien, yang dilakukan sehari sebelum tindakan
operasi. Pada anamnesa didapatkan riwayat hipertensi. Pasien menderita hipertensi obat
antihipertensinya captropil, tetapi pasien tidak teratur minum obat.
Tindakan operasi berupa Herniotomi yang dilakukan dengan general anestesi. Pasien
dikonsulkan kebagian penyakit dalam terkait peningkatan tekanan darah dan pasien diberikan
obat antihipertensi captopril 2x12,5 mg. kemudian pasien diedukasi untuk puasa minimal 6-8
jam sehingga dapat mencegah aspirasi lambung ke paru – paru ketika diberikan obat anestesi.
Pada pasien ini dipuasakan selama 8 jam karena: Reflek laring mengalami penurunan selama
anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari
masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa
umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum
induksi anesthesia.
Dari pemeriksaan fisik pre operasi tidak didapatkan kelainan bermakna yang dapat
mengganggu proses anestesi, pasien juga digolongkan dalam kategori Malampati skor 1. Dan
dari hasil laboratorium tidak didapatkan kelainan. Sehingga dari seluruh pemeriksaan dan
berdasarkan klasifikasi dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) pasien ini
digolongkan ke dalam PS ASA II.
Pada pasien ini teknik anestesi yang dipilih adalah general anestesi dengan endotracheal
tube karena diperkirakan operasi akan berlangsung lama. Hal ini dilakukan untuk menjaga
jalan nafas agar FIO2 dapat tercapai dan mencegah terjadinya hipoksia. Penatalaksanaan
sesuai bidang anestesi pada kasus ini dilakukan premedikasi yaitu dengan pemberian:
51
Meperidin HCL (petidin 40 mg), midazolam (sedacum 5 mg), dan fentanyl 50 mg. Petidin
diberikan dengan tujuan untuk mempermudah induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi,
dan menghasilkan analgesia pasca bedah. Petidin memiliki efek vasodilatasi perifer sehingga
dapat mengurangi efek ketamin yang meningkatkan tekanan darah. Dosis untuk petidin
adalah 1-2 mg/kgBB.
Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine, merupakan obat penenang
(transquilaizer) yang memiliki sifat antiansietas, sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan
otot skelet. Dosis midazolam deberikan intravena 0,2-0,6 mg/KgBB. Fentanil sebagai
analgesia selama pembedahan dan memperdalam anastesia Dosis yang lebih besar dapat
menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Dosis 1 – 3 mcg/kg BB analgesinya kira – kira
hanya berlanjut 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk pembedahan dan tidak untuk
pasca pembedahan.
Pada kasus ini, induksi anestesia dilakukan dengan menggunakan propofol. Dosis bolus
untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anesthesia intravena total 4 – 12 mg/kg/jam
dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pada manula harus dikurangi, pada anak
<3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.
Propofol merupakan anestetik intravena golongan nonbarbiturat yang efektif dengan
onset cepat dan durasi yang singkat sangat berguna pada pasien usia lanjut. Pemulihan
kesadaran yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap susunan saraf pusat merupakan
salah satu keuntungan penggunaan propofol dibandingkan obat anestesi intravena lainnya.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira – kira 30 % tetapi efek ini lebih disebabkan
oleh vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah jantung. Tekanan darah sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemia
otot jantung, tetapi terjadi sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Efek propofol terhadap
pernapasan mirip dengan efek thiopental sesudah pemberian IV yakni terjadi depresi napas
sampai apneu selama 30 detik. Hal ini diperkuat bila digunakan opioid sebagai medikasi pra-
anestetik. Pada usia lanjut, faktor farmakokinetik dan farmakodinamik bertanggung jawab
untuk peningkatan sensitivitas otak terhadap propofol. Pasien usia lanjut membutuhkan kadar
propofol darah untuk anestesi yang hampir 50% lebih rendah dibandingkan pasien yang lebih
muda. Selain itu tingkat keseimbangan perifer dan klirens sistemik untuk propofol berkurang
secara signifikan pada pasien usia lanjut.
Pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Tramus (Atrakurium) 40 mg.
Atrakurium merupakan pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-
kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi. Hanya menghalangi asetil-kolin
52
menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Dosis awal atrakurium 0,5-0,6 mg/kg,
sedangkan dosis rumatan 0,1 mg/kg. Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik
pelumpuh otot. Atracurium menjadi pilihan untuk usia lanjut karena atracurium
bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, tidak terjadi perubahan
klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif.
Setelah dosis sedasi telah tercapai, maka pada pasien dilakukan pemasangan
endotracheal tube dengan nomor 7,5. Pada kasus ini, manajemen airway dan breathing pasien
dikontrol dengan baik menggunakan ventilator. Tidak ditemukan terjadi hiperkapnia, hal ini
dapat dilihat pada diagram observasi pasien yang menunjukkan tidak ada tanda-tanda
hiperkapnia. Setelah pemasangan endotracheal tube tersebut pasien diberikan dexamethasone
10 mg. Dexsamethasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas imunosupresan dan
anti – inflamasi. Sebagai imunosupresan deksamethasone bekerja dengan menurunkan respon
imun tubuh terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti – inflamasi dexsamethasone dengan
jalan mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi
mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan
respon imun. Dosis 0,2 mg/kgbb pada kasus ini diberikan 10 mg.
Pemeliharaan anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi berupa Sevofluran.
Merupakan halogenasi eter, induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari
untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup
stabil, jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti isofluran
dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia
Untuk menurunkan angka kejadian mual muntah postoperatif (PONV) maka pasien
diberikan juga ranitidin dan ondansentron. Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin
reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara
selektif dan reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun sejalan dengan
penurunan volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah akibat
pengaruh obat anestesi atau post operasi.
Antibotik cefuroxim diberikan pada pasien ini saat pembedahan sebagai profilaksis.
Tujuannya untuk mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan pembedahan yaitu luka operasi
(ILO) atau surgical site infection. Dosis dewasa 1-2g/6-12 jam.
53
Beberapa hal harus sangat diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana
anestesi pada kasus ini. Hal yang utama adalah menyangkut perfusi jaringan terkait dengan
fungsi jantung pasien, tindakan pembedahan pada kasus ini termasuk operasi sedang dan
dikarenakan pasien pada dengan Hipertensi Grade II, obesitas serta faktor usia pasien.
54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada laporan kasus ini disajikan kasus menejemen general anestesi pada
Herniotomi pada pasien laki – laki, umur 57 tahun, status fisik ASA II. Dengan
diagnosis Hernia Umbilikalis Inkaserata dengan Hipertensi. Dalam kasus ini selama
operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun
dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius.
Resusitasi dan terapi cairan perioperative kurang lebih telah memenuhi kebutuhan
cairan perioperative pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya hemodinamik durante
dan post operatif.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan
baik meskipun pemilihan agen – agen anestesi beserta efek sampingnya tetap menjadi
hal perlu diperhatikan.
Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut
resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik
perioperative.
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Puspitasari ET. Referat Anestesi Umum. [serial online] 2012. Tersedia dari:
http://id.scribd.com/doc/120785372/REFERAT-ANESTESI-UMUM
2. Soenarto, Ratna F,Susilo Chandra. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2012.
3. Sjamsuhidajat, Jong W D. (2005). Buku Ajar ilmu bedah, Edisi 2, penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta.
4. Latief Said, Suryadi Kartini, Dachlan Ruswan. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2010.
5. Mangku Gede, Senapathi T.G.A, Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta.
PT Indeks. 2010.
6. Zunilda DS, Elysabeth. Anestetik Umum. Dalam: Gunawan, Sulistia Gan, dkk,
penyunting. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Terapeutik; 2007. h.122-138
7. Murhadi. Pilihan cara anesthesia. Dalam: Murhadi, penyunting. Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002. h 63-64
8. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Ed.3. 2000. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI
9. Anonim. Refarat Anestesi Pada Obesitas. www.documents.com. Diakses pada 20
September 2016
10. Hafiz. Referat Anestesi Pada Hipertensi. www.scribd.com. Diakses pada 20
September 2016
42E
56