Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Katarak merupakan kelainan mata yang terjadi akibat adanya perubahan lensa
yang jernih dan tembus cahaya menjadi keruh. (Hurlock,2010)
Katarak termasuk salah satu penyakit degeneratif pada usia lanjut, sehingga
dianggap sebagai penyakit yang lumrah pada lansia. Namun 10%-20% katarak telah
dialami oleh penduduk Indonesia pada usia 40-50 tahun, yang masih termasuk dalam
kelompok usia produktif. Hal ini disebabkan adanya faktor resiko yang akan
memperbesar terjadinya katarak. (J Exp Clin Med 2011)
Katarak merupakan masalah nasional yang perlu ditanggulangi, karena dapat
menyebabkan penurunan aktivitas dimana katarak merupakan penyebab umum
kehilangan pandangan atau penglihatan secara bertahap. Menurut WHO pada tahun
2010 katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling utama didunia sebesar 51%
dari seluruh kebutaan yang paling utama yang ada di Dunia. (Global Data on Visual
Impairtment 2010, WHO 2012).
Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia.
Perkiraan insiden adalah 0,1% /tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat
seorang penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan
menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingakan penduduk di daerah subtropis.
(Riskesdas 2013, Konsil Kedokteran Indonesia 2013)

B. Rumusan Masalah

Prevalensi katarak yang terus menerus meningkat di Dunia dan termasuk di Palu
Sulawesi Tengah ( Indonesia ). Akibat dari katarak penderita dapat mengalami
2

penurunan ketajaman penglihatan sampai kebutaan sehingga merupakan masalah


global yang dapat menimbulkan kecacatan.
Penelitian untuk meneliti faktor resiko katarak di poli klinik mata RSU Anutapura
Palu sangat penting karena pemahaman tentang faktor resiko pada kelompok ini sangat
penting. Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah faktor apa saja yang menjadi
faktor resiko paling dominan terhadap terjadinya katarak pada pasien yang berobat di
Poliklinik Mata RS Anutapura Palu pada Tahun 2017?

C. Pertanyaan Penelitian

1. Berapa prevalensi kasus katarak di Poliklinik Mata RS Anutapura Palu pada tahun
2017?
2. Mengapa prevalensi katarak di Poliklinik Mata RSU Anutapura Palu tiap tahunnya
semakin meningkat?
3. Bagaimana distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko usia pada
penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU Anutapura Palu pada tahun
2017?
4. Bagaimana distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko riwayat penyakit
metabolik (Diabetes Mellitus) pada penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata
RSU Anutapura Palu pada tahun 2017?
5. Bagaimana distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko merokok pada
penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU Anutapura Palu pada tahun
2017?
6. Bagaimana distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko riwayat konsumsi
obat-obatan (Steroid) pada penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU
Anutapura Palu pada tahun 2017?
7. Bagaimana distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko trauma pada
penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU Anutapura Palu pada tahun
2017?
3

8. Bagaimana distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko infeksi mata pada
penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU Anutapura Palu pada tahun
2017?
9. Faktor apakah yang paling dominan mempengaruhi terjadinya katarak pada pasien
yang berobat di Poliklinik Mata RS Anutapura Palu pada tahun 2017?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi katarak, dan faktor-faktor resiko
yang lebih dominan mempengaruhi terjadinya katarak pada pasien yang berobat di
Poliklinik Mata RS Anutapura Palu pada tahun 2017

2. Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor resiko :

1) Untuk mengetahui prevalensi katarak di RS Anutapura Palu pada tahun 2017


2) Untuk mengetahui faktor risiko yang paling dominan mempengaruhi terjadinya
katarak pada pasien yang berobat di Poliklinik Mata RS Anutapura Palu 2017
3) Untuk mengetahui distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko usia pada
penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU Anutapura Palu pada tahun
2017.
4) Untuk mengetahui distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko riwayat
metabolik (Diabetes Mellitus) pada penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata
RSU Anutapura Palu pada tahun 2017.
5) Untuk mengetahui distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko merokok
pada penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU Anutapura Palu pada
tahun 2017.
4

6) Untuk mengetahui distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko konsumsi


obat-obatan (Steroid) pada penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU
Anutapura Palu pada tahun 2017.
7) Untuk mengetahui distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko trauma
pada penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU Anutapura Palu pada
tahun 2017.
8) Untuk mengetahui distribusi penderita katarak berdasarkan faktor resiko infeksi
mata pada penderita yang berobat di Poliklinik bagian Mata RSU Anutapura Palu
pada tahun 2017.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Keilmuan

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman meneliti dari
peneliti, dijadikan bahan rujukan bagi peneliti yang lain, serta bahan bacaan untuk
institusi pendidikan dan kesehatan.

2. Manfaat Aplikasi

Manfaat aplikasi, yaitu bisa dipakai oleh:


1) Pemerintah Dinas Kesehatan, dapat digunakan untuk melakukan promosi serta
penyuluhan kesehatan pada masyarakat mengenai pengendalian dan dampak dari
katarak.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Katarak

a. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi


1) Anatomi Mata

Gambar 1 : Anatomi Mata

2) Anatomi Lensa
Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa memiliki
dua permukaan, yaitu permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih
cembung daripada permukaan anterior. Radius kurvatura anterior 10 mm dan radius
kurvatura posterior 6 mm. Diameter lensa adalah 9-10 mm dan ketebalan lensa adalah
3,5 mm saat lahir hingga 5 mm saat usia lanjut. Berat lensa 135 mg pada usia 0-9
tahun hingga 255 mg pada usia 40-80 tahun. Lensa terletak di bilik posterior bola mata,
di antara permukaan posterior iris dan badan vitreus pada lengkungan berbentuk cawan
6

badan vitreus yang di sebut fossa hyaloid. Lensa bersama dengan iris membentuk
diafragma optikal yang memisahkan bilik anterior dan posterior bola mata. Lensa tidak
memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat. Lensa dipertahankan di
tempatnya oleh serat zonula yang berada di antara lensa dan badan siliar. Serat zonula
ini, yang bersal dari ephitel siliar, adalah serat kaya fibrilin yang mengelilingi lensa
secara sirkular. ( Buku Ajar Anatomi, 2013).

Gambar 2 : Anatomi Lensa Mata


(Sumber: Lang, 2011)

3) Histologi Lensa
Secara histologist, lensa memiliki tiga komponen utama :
a) Kapsul Lensa
Lensa dibungkus oleh simpai tebal (10-20 μm), homogen, refraktil, dan kaya akan
karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epithel. Kapsul ini merupakan suatu
membran basal yang sangat tebal dan terutama terdiri atas kolagen tipe IV dan
glikoprotein. Kapsul lensa paling tebal berada di ekuator (14 μm) dan paling tipis pada
kutub posterior (3 μm). Kapsul lensa bersifat semipermeabel, artinya sebagian zat
dapat melewati lensa dan sebagian lagi tidak.
b) Epitel Subkapsular
7

Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada
permukaan anterior lensa. Epitel subkapsular yang berbentuk kuboid akan berubah
menjadi kolumnar di bagian ekuator dan akan terus memanjang dan membentuk serat
lensa. Lensa bertambah besar dan tumbuh seumur hidup dengan terbentuknya serat
lensa baru dari sel-sel yang terdapat di ekuator lensa. Sel-sel epitel ini memiliki banyak
interdigitasi dengan serat-serat lensa.
c) Serat Lensa
Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan gepeng.
Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel
subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta organelnya dan menjadi sangat
panjang. Sel-sel ini berisikan sekelompok protein yang disebut kristalin.

Gambar 3 : Histologi Lensa Mata


(Sumber: Junqueira, 2012)

4) Fisiologi Lensa
Lensa adalah salah satu dari media refraktif terpenting yang berfungsi memfokuskan
cahaya masuk ke mata agar tepat jatuh di retina. Lensa memiliki kekuatan sebesar 10-
20 dioptri tergantung dari kuat lemahnya akomodasi.
a) Komposisi Lensa
Lensa terdiri atas air sebanyak 65%, protein sebanyak 35% (kandungan protein
tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral dibandingkan
jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada dijaringan lain.
8

Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi.
Lensa tidak memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat (Vaughan, 2010).
Protein lensa dapat dibagi menjadi dua berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu
protein laut air (protein sitoplasmik) dan protein tidak larut air (protein sitoskeletal).
Fraksi protein larut air sebesar 80% dari seluruh protein lensa yang terdiri atas kristalin.
Kristalin adalah protein intraselular yang terdapat pada epithelium dan membran
plasma dari sel serat lensa. Kristalin terbagi atas kristalin alpha (α), beta (β), dan
gamma (γ). Akan tetapi, kristalin beta dan gamma adalah bagian dari famili yang sama
sehingga sering disebut sebagai kristalin betagamma.
Kristalin alpha merepresentasikan 32% dari protein lensa. Kristalin alpha adalah
protein dengan besar molekul yang paling besar yaitu sebesar 600-4000 kDa,
bergantung pada kecenderungan subunitnya untuk beragregasi. Kristalin alpha bukan
merupakan suatu protein tersendiri, melainkan gabungan dari 4 subunit mayor dan 9
subunit minor. Setiap polipeptida subunit memiliki berat molekul 20 kDa. Rantai
ikatannya merupakan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Kristalin alpha terlibat
dalam transformasi sel epithel menjadi serat lensa. Laju sintesis kristalin alpha tujuh kali
lebih cepat di sel epitel dari pada di serat kortikal, mengindikasikan penurunan laju
sintesis setelah transformasi.
Kristalin beta dan gamma memiliki rangkaian asam amino homolog dan struktur yang
sama sehingga dapat dipertimbangkan sebagai satu famili protein. Kristalin beta
berkontribusi sebesar 55% dari protein larut air pada protein lensa.
Protein lensa yang tidak larut air dapat dibagi menjadi dua, yaitu protein yang larut
dalam urea dan yang tidak larut dalam urea. Fraksi yang larut dalam urea terdiri atas
protein sitoskeletal yang berfungsi sebagai rangka struktural sel lensa. Fraksi yang tidak
larut urea terdiri atas membran plasma serat lensa.
Major Intrinsic Protein (MIP) adalah protein yang menyusun plasma membran
sebesar 50%. MIP pertama sekali muncul di lensa ketika serat lensa mulai memanjang
dan dapat di jumpai di membran plasma di seluruh masa lensa. MIP tidak dijumpai di
sel epitel, maka dari itu MIP berhubungan dengan diferensiasi sel menjadi serat lensa.
Seiring dengan meningkatnya usia, protein lensa menjadi tidak larut air dan beragregasi
membentuk partikel yang lebih besar yang mengaburkan cahaya. Akibatnya lensa
9

menjadi tidak tembus cahaya. Selain itu, seiring dengan bertambahnya usia, maka
makin banyak protein yang larut urea menjadi tidak larut urea (American Academy of
Ophthalmology, 2011).
b) Metabolisme Lensa
Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah mempertahankan ketransparanan
lensa. Lensa mendapatkan energi terutama melalui metabolisme glukosa anaerobik.
Komponen penting lain yang dibutuhkan lensa adalah bentuk NADPH tereduksi yang
didapatkan melalui jalur pentosa yang berfungsi sebagai agen pereduksi dalam
biosintesis asam lemak dan glutation. Metabolisme berbagai zat di lensa adalah
sebagai berikut:
i) Metabolisme Gula
Glukosa memasuki lensa dari aqueous humor melalui difusi sederhana dan difusi
yang difasilitasi. Kira-kira 90-95% glukosa yang masuk ke lensa akan difosforilasi oleh
enzim hexokinase menjadi glukosa-6-fosfat. Hexokinase akan tersaturasi oleh kadar
glukosa normal pada lensa sehingga apabila kadar glukosa normal telah dicapai, maka
akan reaksi ini akan terhenti. Glukosa-6-fosfat yang terbentuk ini akan digunakan di
jalur glikolisis anaerob dan jalur pentosa fosfat.
Lensa tidak dilalui pembuluh darah sehingga kadar oksigen lensa sangat rendah.
Oleh karena itu, metabolisme utamanya berlangsung secara anaerob yaitu glikolisis
anaerob. Sebesar 70% ATP lensa dihasilkan melalui glikolisis anaerob. Walaupun kira-
kira hanya 3% dari glukosa masuk ke siklus Krebs, tetapi siklus ini menghasilkan 25%
dari seluruh ATP yang dibentuk di lensa.
Jalur lain yang memetabolisme glukosa-6-fosfat adalah jalur pentosa fosfat. Kira-kira
5% dari seluruh glukosa lensa dimetabolisme oleh jalur ini dan dapat distimulasi oleh
peningkatan kadar glukosa. Aktivitas jalur pentosa fosfat di lensa lebih tinggi
dibandingkan di jaringan lain untuk menghasilkan banyak NADPH yang berfungsi untuk
mereduksi glutation.
Jalur lain yang berperan dalam metabolisme glukosa di lensa adalah jalur sorbitol.
Ketika kadar glukosa meningkat, seperti pada keadaan hiperglikemik, jalur sorbitol akan
lebih aktif dari pada jalur glikolisis sehingga sorbitol akan terakumulasi. Glukosa akan
diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim yang berada di permukaan epitel yaitu
10

aldosa reduktase. Lalu sorbitol akan dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim poliol
dehidrogenase. Enzim ini memiliki afinitas yang rendah, artinya sorbitol akan
terakumulasi sebelum dapat dimetabolisme, sehingga menyebabkan retensi sorbitol di
lensa. Selanjutnya sorbitol dan fruktosa menyebabkan tekanan osmotik meningkat dan
akan menarik air sehingga lensa akan menggembung, sitoskeletal mengalami
kerusakan, dan lensa menjadi keruh.
ii) Metabolisme Protein
Konsentrasi protein lensa adalah konsentrasi protein yang tertinggi dari seluruh
jaringan tubuh. Sintesa protein lensa berlangsung seumur hidup. Sintesis protein utama
adalah protein kristalin dan Major Intrinsic Protein (MIP). Sintesa protein hanya
berlangsung di sel epitel dan di permukaan serabut kortikal.
Lensa protein dapat stabil dalam waktu yang panjang karena kebanyakan enzim
pendegradasi protein dalam keadaan normal dapat diinhibisi. Lensa dapat mengontrol
degradasi protein dengan menandai protein yang akan didegradasi dengan ubiquitin.
Proses ini berlangsung di lapisan epitelial dan membutuhkan ATP. Lensa protein
dirombak menjadi peptida oleh endopeptidase lalu dirombak lagi menjadi asam amino
oleh eksopeptidase. Endopeptidase diaktivasi oleh megnesium dan kalsium dan bekerja
optimal pada pH 7,5. Substrat utama enzim ini adalah kristalin alpha. Contoh
endopeptidase adalah calpain. Calpain dapat diinhibisi oleh calpastatin. Calpastatin
adalah merupakan inhibitor netral yang konsentrasinya lebih tinggi daripada calpain.
iii) Glutation
Glutation (L-γ-glutamil-L-sisteinglisin) dijumpai dalam konsentrasi yang besar di
lensa, terutama di lapisan epitelial. Fungsi glutation adalah mempertahankan
ketransparanan lensa dengan cara mencegah aggregasi kritalin dan melindungi dari
kerusakan oksidatif.
Glutation memiliki waktu paruh 1-2 hari dan didaur ulang pada siklus γ-glutamil.
Sintesis dan degradasi glutation berlangsung dalam kecepatan yang sama. Glutation
disintesis dari L-glutamat, L-sistein, dan glisin dalam dua tahap yang membutuhkan 11-
12% ATP lensa. Glutation tereduksi juga didapatkan dari aqueous humor melalui
transporter khusus. Pemecahan glutation mengeluarkan asam amino yang akan didaur
ulang untuk pembentukan glutation selanjutnya.
11

iv) Mekanisme Antioksidan


Lensa dapat mengalami kerusakan akibat radikal bebas seperti spesies oksigen
reaktif. Spesies oksigen reaktif adalah sebutan untuk sekelompok radikal oksigen yang
sangat reaktif, merusak lipid, protein, karbohidrat dan asam nukleat. Contoh-contoh
radikal oksigen adalah anion superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (OH+), radikal
peroksil (ROO+), radikal lipid peroksil (LOOH), oksigen tunggal (O2), dan hidrogen
peroksida (H2O2).
Mekanisme kerusakan yang diakibatkan oleh spesies oksigen reaktif adalah
peroksidasi lipid membran membentuk malondialdehida, yang akan membentuk ikatan
silang antara protein dan lipid membran sehingga sel menjadi rusak. Polimerisasi dan
ikatan silang protein tersebut menyebabkan aggregasi kristalin dan inaktivasi enzim-
enzim yang berperan dalam mekanisme antioksidan seperti katalase dan glutation
reduktase.
Lensa memiliki beberapa enzim yang berfungsi untuk melindungi dari radikal bebas
seperti glutation peroksidase, katalase dan superoksida dismutase. Mekanisme
antioksidan pada lensa adalah dengan cara dismutasi radikal bebas superoksida
menjadi hidrogen peroksida dengan bantuan enzim superoksida dismutase. Lalu
hidrogen peroksida tersebut akan diubah menjadi molekul air dan oksigen melalui
bantuan enzim katalase. Selain itu, glutation tereduksi dapat mendonorkan gugus
hidrogennya pada hidrogen peroksida sehingga berubah menjadi molekul air dengan
bantuan enzim glutation peroksidase. Glutaion tereduksi yang telah memberikan gugus
hidrogennya akan membentuk glutation teroksidasi yang tidak aktif, tetapi NADPH yang
berasal dari jalur pentosa akan mengubahnya kembali menjadi glutation tereduksi
dengan bantuan enzim glutation reduktase.
12

Gambar 4 : Mekanisme Antioksidan


Sumber : Khurana, 2012

v) Mekanisme Pengaturan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Aspek fisiologi yang terpenting dalam menjaga ketransparanan lensa adalah
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ketransparanan lensa sangat
bergantung pada komponen struktural dan makromolekular. Selain itu, hidrasi lensa
dapat menyebabkan kekeruhan lensa.
Lensa mempunyai kadar kalium dan asam amino yang tinggi dibandingkan aqueous
dan vitreus dan memiliki kadar natrium dan klorida yang lebih rendah dibandingkan
sekitarnya. Keseimbangan elektrolit diatur oleh permeabilitas membran dan pompa
natrium dan kalium (Na-K-ATPase). Pompa ini berfungsi memompa natrium keluar dan
memompa kalium untuk masuk.
Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran di lensa di sebut teori
pompa bocor. Kalium dan asam amino ditransportasikan ke dalam lensa secara aktif ke
anterior lensa melalui epithelium. Lalu kalium dan asam amino akan berdifusi melalui
bagian posterior lensa. Sedangkan natrium masuk ke dalam lensa di bagian posterior
lensa secara difusi dan keluar melalui bagian anterior lensa secara aktif.
13

Gambar 5 : Pertukaran Bahan Kimia pada Lensa


Sumber : Khurana, 2012

b. Definisi
Kata katarak berasal dari Yunani “katarraktes” yang berarti air. Katarak merupakan
abnormalitas pada lensa mata berupa kekeruhan lensa yang menyebabkan penurunan
ketajaman penglihatan sampai kebutaan. Katarak lebih sering dijumpai pada orang tua,
dan merupakan penyebab kebutaan nomor 1 di seluruh dunia.(American Academy of
Opthalmology 2011).

c. Klasifikasi Katarak
1) Klasifikasi Morfologik
a) Katarak Kapsular
Katarak kapsular, adalah katarak yang melibatkan kapsul lensa, dapat berupa
katarak kapsular anterior dan katarak kapsular posterior. Katarak kapsular dapat
disebabkan oleh usia, uveitis yang berhubungan dengan sinekia posterior, obat-obatan,
radiasi, dan trauma
b) Katarak Subkapsular
Katarak subkapsular, adalah katarak yang melibatkan bagian superfisial korteks
atau tepat di bawah kapsul lensa dapat berupa katarak subkapsular anterior dan
katarak subkapsular posterior. Katarak subkapsular posterior dapat terjadi akibat usia,
14

radiasi, konsumsi steroid, diabetes, myopia berat dan degenerasi retina. Katarak
subkapsular posterior dapat disebabkan oleh jejas lokal, iritasi, uveitis dan radiasi.
c) Katarak Nuklear
Katarak nuklear, adalah katarak yang melibatkan bagian nukleus lensa. Katarak
nuklear disebabkan oleh faktor usia. Katarak nuklear merupakan sklerosis normal yang
berlebihan atau pengerasan dan penguningan nukleus pada usia lanjut.
d) Katarak Kortikal
Katarak kortikal, adalah katarak yang melibatkan korteks lensa dan merupakan
katarak yang paling sering terjadi. Katarak kortikal disebabkan oleh usia dan diabetes.
Lapisan kortikal kurang padat dibandingkan nukleus sehingga lebih mudah menjadi
sangat terhidrasi akibat ketidakseimbangan elektrolit, yang secepatnya akan mengarah
ke kerusakan serat korteks lensa.
2) Klasifikasi berdasarkan Etiologi
a) Katarak berhubungan dengan Usia
b) Katarak karena Trauma
c) Katarak karena Metabolik
d) Penyakit Diabetes Mellitus ( Katarak Senilis )
e) Toxic Obat-obatan Steroid ( Katarak Subkapsular )
3) Klasifikasi berdasarkan Kejadian
a) Katarak Kongenital
Katarak kongenital, adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah
lahir dan bayi berusia kurang dari satu tahun. Katarak kongenital sering ditemukan pada
bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita penyakit rubella, galaktosemia,
homosisteinuri, diabetes mellitus, hipoparatirodisme, toksoplasmosis, inklusi
sitomegalik, dan histopalsmosis. Penyakit lain yang menyertai katarak kongenital
biasanya merupakan penyakit-penyakit herediter seperti mikroftalmus, aniridia,
koloboma iris, keratokonus, iris heterokrimia, lensa ektopik, displasia retina, dan megalo
kornea. Katarak kongenital disebabkan kelainan pada pembentukan lensa sebelum
proses kelahiran. Katarak kongenital digolongkan dalam katarak kapsulolentikular di
yaitu katarak kapsular dan polaris atau katarak lentikular yaitu katarak kortikal atau
katarak nuclear.
15

b) Katarak Juvenil
Katarak juvenil, adalah katarak yang mulai terbentuk pada usia kurang dari sembilan
tahun dan lebih dari tiga bulan.
c) Katarak Senil
Katarak senil, adalah katarak semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia
lanjut, yaitu usia diatas 50 tahun. Tipe utama pada katarak senilis adalah katarak
kortikal, katarak nuklear, dan katarak subkapsular posterior. Walaupn katarak sering
diawali oleh tipe yang murni tersebut, mereka akan matang menjadi katarak campuran.
Selanjutnya akan dibahas lebih mendetail mengenai katarak senilis.

d. Epidemiologi
Katarak termasuk salah satu penyakit degeneratif pada usia lanjut, sehingga
dianggap sebagai penyakit yang lumrah pada lansia. Namun 10%-20% katarak telah
dialami oleh penduduk Indonesia pada usia 40-50 tahun, yang masih termasuk dalam
kelompok usia produktif. Hal ini disebabkan adanya faktor resiko yang akan
memperbesar terjadinya katarak . (Bulletin of the World Health Organization, 2011)

Tabel 1 : Prevalensi katarak di beberapa Negara di Dunia

Populasi Pravalensi(%)

American(USA) 87,9%
African 93,2%
Singapore 33%
Japan 51,3%
Icelandic 27,3%
Sumber : Opthalmology Clinics Of North American
16

Dari tabel diatas tampak angka kejadian katarak di African mencapai angka
93,2%, di American mencapai 87,9%, di Japan mencapai 51,3%, di Singapore
mencapai 33%, di Icelandic mencapai 27,3%.

Gambar 6 : Prevalensi Katarak di Indonesia

Sumber : Data Riskedas 2013

Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi kebutaan penduduk usia 6 tahun ke


atas secara nasional sebesar 0,4% dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Sebesar
0,78% katarak dapat menyebabkan kebutaan.
17

Gambar 7 :
Prevalensi Katarak

Sumber : RSU Anutapura Palu

Berdasarkan gambar diatas, Pasien Katarak yang berobat di Poliklinik Mata RS


Anutapura Palu mengalami fluktuasi yaitu pada tahun 2012 adalah 591 kasus, tahun
2013 adalah 677 kasus, tahun 2014 adalah 705, tahun 2015 adalah 728 kasus, dan
pada tahun 2016 adalah 1.243 kasus.

e. Etiologi dan Faktor Resiko

Katarak adalah kekeruhan pada lensa mata yang biasanya sering dialami oleh
penderita lanjut usia :
1) Usia
Seiring dengan pertambahan usia, lensa akan mengalami penuaan juga.
Keistimewaan lensa adalah terus menerus tumbuh dan membentuk serat lensa dengan
arah pertumbuhannya yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun terbuang
karena lensa tertutupi oleh serat lensa. Akibatnya, serat lensa paling tua berada di
pusat lensa (nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada tepat di bawah kapsul
lensa (korteks). Dengan pertambahan usia, lensa pun bertambah berat, tebal, dan
keras terutama bagian nukleus. Pengerasan nukleus lensa disebut dengan nuklear
sklerosis. Selain itu, seiring dengan pertambahan usia, protein lensa pun mengalami
18

perubahan kimia. Fraksi protein lensa yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air
dan beragregasi membentuk protein dengan berat molekul yang besar. Hal ini
menyebabkan transparansi lensa berkurang sehingga lensa tidak lagi meneruskan
cahaya tetapi malah mengaburkan cahaya dan lensa menjadi tidak tembus cahaya.
2) Merokok
Merokok dapat menyebabkan akumulasi kadmium di lensa. Kadmium dapat
berkompetisi dengan kuprum dan mengganggu homeostasis kuprum. Kuprum penting
untuk aktivitas fisiologis superoksida dismutase di lensa. Sehingga dengan adanya
kadmium menyebabkan fungsi superoksida dismutase sebagai antioksidan terganggu.
Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan
katarak.
3) Riwayat penyakit metabolik (Diabetes Mellitus)
Diabetes dapat menyebabkan perubahan metabolisme lensa. Tingginya kadar gula
darah menyebabkan tingginya kadar sorbitol lensa. Sorbitol ini menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik lensa sehingga lensa menjadi sangat terhidrasi dan
timbul katarak.
Diabetes Melitus (DM) dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi, dan
kemampuan akomodasi. Meningkatnya kadar gula darah, juga akan meningkatkan
kadar gula di aqueous humor. Glukosa dari aqueous akan masuk ke lensa melalui difusi
dimana sebagian dari glukosa ini diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase
melalui jalur poliol, yang tidak dimetabolisme dan tetap tinggal di lensa. Telah terbukti
bahwa akumulasi intraselular sorbitol menyebabkan perubahan osmotic sehingga air
masuk ke lensa, yang akan mengakibatkan pembengkakan serabut lensa.
4) Nutrisi ( Defisiensi Vitamin A, C, E, Niasin , Tiamin, Riboflavin, dan Beta Karoten )
Zat nutrisi tersebut merupakan antioksidan eksogen yang berfungsi menetralkan
radikal bebas yang terbentuk pada lensa sehingga dapat mencegah terjadinya katarak
5) Obat-obatan ( Steroid )
Penggunaan steroid jangka panjang dapat meningkatkan resiko terjadinya katarak.
Jenis katarak yang sering pada pengguna kortikosteroid adalah katarak subkapsular.
6) Trauma Mata
19

Trauma dapat menyebabkan kerusakan langsung pada protein lensa sehingga


timbul katarak.
7) Infeksi Mata (Uveitis)
Uveitis kronik sering menyebabkan katarak. Pada uveitis sering dijumpai sinekia
posterior yang menyebabkan pengerasan pada kapsul anterior lensa

f. Patofisiologi
Perubahan fisik dan Kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi,
ditandai dengan adanya perubahan pada serabut halus multiple (zunula) yang
memanjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa Misalnya dapat
menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan Kimia dalam protein lensa
dapat menyebabkan koagulasi. Sehingga terjadinya pengkabutan pandangan
/kekeruhan lensa sehingga dapat menghambat jalannya cahaya ke retina. Hal ini
diakibatkan karena protein pada lensa menjadi water insoluble dan membentuk partikel
yang lebih besar. Dimana diketahui dalam struktur lensa terdapat dua jenis protein yaitu
protein yang larut dalam lemak (soluble) dan tidak larut dalam lemak (insolube) dan
pada keadaan normal protein yang larut dalam lemak lebih tinggi kadarnya dari pada
yang larut dalam lemak. ( Lang GK, 2009)
Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi karena
disertai adanya influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang
tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim
mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan
menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang
menderita katarak. ( Vaughan. 2007.)
Komponen terbanyak dalam lensa adalah air dan protein. Dengan bertambahnya
usia seseorang maka lensa mata akan kekurangan air dan menjadi lebih padat. Lensa
akan menjadi padat di bagian tengahnya, sehingga kemampuan fokus untuk melihat
benda dekat berkurang. ( Bobrow JC.2011)
Pada usia tua akan terjadi pembentukan lapisan kortikal yang baru pada lensa yang
mengakibatkan nukleus lensa terdesak dan mengeras (sklerosis nuklear). Pada saat ini
20

terjadi perubahan protein lensa yaitu terbentukanya protein dengan berat molekul yang
tinggi dan mengakibatkan perubahan indeks refraksi lensa sehingga memantulkan sinar
masuk dan mengurangi
transparansi lensa. Perubahan kimia ini juga diikut dengan pembentukan pigmen pada
nuklear lensa. Pada keadaan normal lensa mata bersifat bening. Seiring dengan
pertambahan usia lensa mata dapat mengalami perubahan warna menjadi kuning keruh
atau coklat keruh. Proses ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan (pandangan
kabur/buram) pada seseorang.( Anonimus, 2010 )
Adapun patofisiologi katarak adalah kompleks dan perlu untuk dipahami. Pada
semua kemungkinan, patogenesisnya adalah multifaktorial yang melibatkan interaksi
kompleks antara proses fisiologis yang bermacam-macam. Sebagaimana lensa
berkembang seiring usia, berat dan ketebalan terus meningkat sedangkan daya
akomodasi terus menurun. ( James B. 2010)
Berbagai mekanisme memberikan kontribusi pada hilangnya kejernihan lensa.
Epitelium lensa dipercaya mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia,
secara khusus melalui penurunan densitas epitelial dan differensiasi abberan dari sel-
sel serat lensa. Sekali pun epitel dari lensa katarak mengalami kematian apoptotik yang
rendah di mana
menyebabkan penurunan secara nyata pada densitas sel, akumulasi dari serpihan-
serpihan kecil epitelial dapat menyebabkan gangguan pembentukan serat lensa dan
homeostasis dan akhirnya mengakibatkan hilangnya kejernihan lensa. Lebih jauh lagi,
dengan bertambahnya usia lensa, penurunan ratio air dan mungkin metabolit larut air
dengan berat molekul rendah dapat memasuki sel pada nukleus lensa melalui epitelium
dan korteks yang terjadi dengan penurunan transport air, nutrien dan antioksidan.
( Shock JP. 2012 )
Kemudian, kerusakan oksidatif pada lensa pada pertambahan usia terjadi yang
mengarahkan pada perkembangan katarak senilis. Berbagai macam studi menunjukkan
peningkatan produk oksidasi (contohnya
glutation teroksidasi) dan penurunan vitamin antioksidan serta enzim superoksida
dismutase yang menggaris-bawahi peranan yang penting dari proses oksidatif pada
kataraktogenesis. ( Ilyas, Sidarta. 2007).
21

Mekanisme lainnya yang terlibat adalah konversi sitoplasmik lensa dengan berat
molekul rendah yang larut air menjadi agregat berat molekul tinggi larut air, fase tak
larut air dan matriks protein membran tak larut air. Hasil perubahan protein
menyebabkan fluktuasi yang tiba-tiba pada indeks
refraksi lensa, menyebarkan jaras-jaras cahaya dan menurunkan kejernihan. Area lain
yang sedang diteliti meliputi peran dari nutrisi pada perkembangan katarak secara
khusus keterlibatan dari glukosa dan mineral serta vitamin. (Ilyas, Sidarta. 2007 ).
g. Gambaran Klinis

1. Penurunan tajam penglihatan


Katarak menyebabkan penurunan penglihatan progresif tanpa rasa nyeri.
Penurunan penglihatan merupakan keluhan umum pasien katarak.

2. Peningkatan derajat myopia


Perkembangan katarak dapat terjadi peningkatan dioptri kekuatan lensa, yang
umumnya menyebabkan miopia ringan atau sedang.
3. Silau
Pasien katarak sering mengeluh silau, yang bisa bervariasi keparahannya mulai dari
penurunan sensitivitas kontras dalam lingkungan yang terang hingga silau pada saat
siang hari atau sewaktu melihat lampu mobil atau kondisi serupa di malam hari.

4. Halo (melihat lingkaran disekitar lampu)


Hal ini bisa terjadi pada beberapa pasien oleh karena terpecahnya sinar putih
menjadi spektrum warna oleh karena meningkatnya kandungan air dalam lensa.

5. Diplopia monokuler (pada katarak nuklear)


Perubahan nuklear terletak pada lapisan dalam nukleus lensa, menyebabkan
daerah pembiasan multipel di tengah lensa.
22

6. Penurunan sensitivitas kontras


Sensitivitas kontras mengukur kemampuan pasien untuk mendeteksi variasi
tersamar dalam bayangan dengan menggunakan benda yang bervariasi dalam hal
kontras, luminance, dan frekuensi spasial. Sensitivitas kontrak dapat menunjukkan
penurunan fungsi penglihatan yang tidak terdeteksi dengan Snellen. Namun, hal
tersebut bukanlah indikator spesifik hilangnya tajam penglihatan oleh karena katarak.

7. Titik hitam di depan mata

h. Diagnosis
1) Pemeriksaan tajam penglihatan
2) Pemeriksaan slitlamp
3) Pemeriksaan oblique illumination
Dapat dijumpai warna lensa pada daerah pupil yang bervariasi sesuai dengan tipe
katarak.
4) Tes bayangan iris (iris shadow)
Dilakukan untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa. Dasar dari pemeriksaan ini
adalah semakin sedikit kekeruhan lensa pada bagian posterior, maka semakin besar
bayangan iris pada lensa yang keruh tersebut, sedangkan semakin tebal kekeruhan
lensa, maka semakin kecil bayangan iris pada lensa yang keruh.

i. Penatalaksanaan
Pengobatan katarak adalah tindakan pembedahan, seperti:

1) Fakoemulsifikasi
Pembedahan dengan menggunakan vibrator ultasonik untuk menghancurkan
nucleus yang kemudian diaspirasi melalui insisi 2,5-3 mm, dan dimasukkan lensa
intraokular yang dapat dilipat.

2) Operasi Ekstra-Capsular Cataract Extraction (ECCE)


23

Operasi ECCE dilakukan dengan membuat insisi luas pada perifer kornea atau
sklera anterior, diikuti oleh ekstraksi lensa katarak.

3) Ekstraksi Intra-Capsular Cataract Extraction (ICCE)


Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Dapat dialkukan
pada zonula zinn telah rapuh atau berdegenerasi dan mudah putus

2. Faktor-faktor Resiko pada Pasien Katarak

a. Faktor Usia
Seiring dengan pertambahan usia, lensa akan mengalami penuaan juga.
Keistimewaan lensa adalah terus menerus tumbuh dan membentuk serat lensa dengan
arah pertumbuhannya yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun terbuang
karena lensa tertutupi oleh serat lensa. Akibatnya, serat lensa paling tua berada di
pusat lensa (nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada tepat di bawah kapsul
lensa (korteks). Dengan pertambahan usia, lensa pun bertambah berat, tebal, dan
keras terutama bagian nukleus. Pengerasan nukleus lensa disebut dengan nuklear
sklerosis. Selain itu, seiring dengan pertambahan usia, protein lensa pun mengalami
perubahan kimia. Fraksi protein lensa yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air
dan beragregasi membentuk protein dengan berat molekul yang besar. Hal ini
menyebabkan transparansi lensa berkurang sehingga lensa tidak lagi meneruskan
cahaya tetapi malah mengaburkan cahaya dan lensa menjadi tidak tembus cahaya.

b. Riwayat Penyakit Metabolik ( Diabetes Mellitus )


Diabetes Melitus (DM) dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi, dan
kemampuan akomodasi. Meningkatnya kadar gula darah, juga akan meningkatkan
kadar gula di aqueous humor. Glukosa dari aqueous akan masuk ke lensa melalui difusi
dimana sebagian dari glukosa ini diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase
melalui jalur poliol, yang tidak dimetabolisme dan tetap tinggal di lensa. Telah terbukti
bahwa akumulasi intraselular sorbitol menyebabkan perubahan osmotic sehingga air
masuk ke lensa, yang akan mengakibatkan pembengkakan serabut lensa. Penelitian
24

pada hewan telah menunjukkan bahwa akumulasi poliol intraseluler menyebabkan


kolaps dan likuifaksi(pencairan) serabut lensa, yang akhirnya terjadi pembentukan
kekeruhan pada lensa.
Kelainan Metabolik pada mata, ini dimaksudkan oleh adanya peningkatatan
glaukosa darah atau hiperglikemi dan disertai berbagai kelainan metabolik akibat
gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, saraf
dan pembuluh darah.pada orang yang menderita Diabetes Mellitus. Pada struktur mata
dapat terkena oleh akibat penyakit Diabetes Mellitus dan dapat mengakibatkan
terjadinya katarak ini diakibatkan oleh adanya dehidrasi yang lama pada kapsul lensa
yang juga mengakibatkan terjadinya kekeruhan pada lensa mata.dari penelitian ini
tergambar adanya keterhubungan antara diabetes mellitus dengan kejadian katarak.

c. Merokok
Merokok dapat menyebabkan akumulasi kadmium di lensa. Kadmium dapat
berkompetisi dengan kuprum dan mengganggu homeostasis kuprum. Kuprum penting
untuk aktivitas fisiologis superoksida dismutase di lensa. Sehingga dengan adanya
kadmium menyebabkan fungsi superoksida dismutase sebagai antioksidan terganggu.
Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan
katarak.

d. Nutrisi ( Defisiensi Vit A A, C, E, Niasin , Tiamin, Riboflavin, dan Beta Karoten )


Zat nutrisi tersebut merupakan antioksidan eksogen yang berfungsi menetralkan
radikal bebas yang terbentuk pada lensa sehingga dapat mencegah terjadinya katarak.

e. Obat-Obatan (Kortikosteroid )
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat meningkatkan resiko terjadinya
katarak. Jenis katarak yang sering pada pengguna kortikosteroid adalah katarak
subkapsular.
25

f. Trauma Mata
Trauma dapat menyebabkan kerusakan langsung pada protein lensa sehingga
timbul katarak.

g. Infeksi Mata (Uveitis)


Uveitis kronik sering menyebabkan katarak. Pada uveitis sering dijumpai sinekia
posterior yang menyebabkan pengerasan pada kapsul anterior lensa.

A. Kerangka Teori

Usia Diabetes Obat-obatan Merokok Nutrisi


Mellitus

Kadmium Intake
Sorbitol Lensa Kortikosteroid

Antioksidan
Tek. Osmotik
lensa Radikal bebas
Nukleus water insoluble
Kerusakan
Sklerosis
oksidatif lensa
26

Hidrasi cairan lensa

Trauma Mata Infeksi mata


Transparansi (Uveitis)
Lensa

Struktur protein Sinekia posterior


lensa

Keruh
Pergeseran kapsul protein

KATARAK

Gambar 8 : Kerangka Teori

B. Kerangka Konseptual

Kerangka teori yang telah dipaparkan disederhanakan menjadi kerangka konsep,


yang berisi variabel-variabel yang akan diteliti oleh peneliti.

Usia

Riwayat Penyakit DM

Merokok Katarak

Obat-obatan
(Kortikosteroid)
27

Trauma Mata

Infeksi Mata (Uveitis)

Gambar 9 . Kerangka Konsep

C. Definisi Operasional

1. Penderita Katarak

Yang dimaksud dengan penderita katarak pada penelitian ini adalah pasien yang
datang berobat di Poli Klinik Mata RSU Anutapura Palu, yang telah ditentukan
berdasarkan diagnosa dokter. Diagnosis katarak : Pemeriksaan visus, pemeriksaan slit
lamp, mengukur intraocular.

2. Usia
Usia pada penelitian ini adalah terhitung dari tahun pertama lahir hingga sekarang
(saat dilakukan penelitian), dengan melihat data sekunder dari catatan medis
responden ( rekam medik ) di Poliklinik Mata RSU Anutapura yang kemudian di cross-
chek dengan melihat kartu tanda penduduk dan kemudian di isi pada lembar kuesioner
:
Kriteria obyektif berdasarkan Kriteria usia WHO:
a. Kelompok usia dewasa : 18 – 40 tahun
b. Kelompok usia tua : 41 – 65 tahun
c. Masa Manula : ≥ 65 tahun

3. Penyakit Metebolik (DM)


Yang dimaksud dengan penyakit metabolik (Diabetes Mellitus) dalam penelitian ini
adalah meningkatnya kadar gula darah seseorang dalam tubuhnya, riwayat diabetes
28

mellitus dan diagnosa dokter yang tercantum dalam rekam medik responden. Diagnosis
Diabetes Mellitus : ada keluhan klinis khas DM : Poliuria, polidipsi, polifagia.

a. Tes diagnostik pertama


1) GDS plasma vena : ≥200 mg/dl
2) GDP plasma vena : ≥126 mg/dl
b. Setelah diulang
1) GDS plasma vena s : ≥200 mg/dl
2) GDP plasma vena : ≥126 mg/dl
c. Glukosa jam ke-2 (post prandial) TTGO : ≥200 mg/dl
4) HbA1c : ≥65%. (Nungki,2014)

4. Merokok
Yang dimkasud dengan rokok dalam penelitian ini adalah responden dewasa yang
mempunyai kebiasaan merokok dengan jenis apapun dan akan ditentukan sesuai
jumlah batang yang dikonsumsi setiap harinya. kriteria objektif :

a. tidak merokok : tidak mempunyai riwayat merokok sama sekali


b. Perokok ringan : 1 – 10 batang rokok setiap harinya
c. Perokok sedang : 11 - 20 batang
d. Perokok berat : > 20 batang

5. Obat-obatan (kortikosteroid)
Yang dimaksud dengan obat kortikosteroid dalam penelitian ini adalah responden
yang mempunyai riwayat konsumsi obat-obatan yang mengandung kortikosteroid dalam
jangka panjang yang tercantum dalam case raport responden atau dengan wawancara
langsung dan memperlihatkan gambar obat tersebut.

6. Trauma Mata
Yang dimaksud dengan trauma mata dalam penelitian ini adalah responden yang
memiliki riwayat trauma mata langsung yang merusak struktur lensa, dan telah di
diagnosis oleh dokter yang tercantum dalam rekam medik responden.

7. Infeksi Mata (Uveitis)


29

Yang dimaksud dengan infeksi mata dalam peneltian ini adalah responden yang
memiliki riwayat atau menderita infeksi mata (uveitis kronis), dan telah di diagnosis oleh
dokter yang tercantum dalam rekam medik responden.

DAFTAR PUSTAKA

1) Aru W. Sudoyo, dkk. Diabetes Mellitus di Indonesia, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi kelima jilid II. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Diponegoro 71
Jakarta Pusat,
2) Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus,
dalam: Patofisiologi. Edisi keenam volume 2. Penerbit buku Kedokteran EGC,
Cetakan 2013.
3) Hurlock,2010. Ilmu Penyakit Mata . Balai Pustaka : Jakarta
4) Marshall D. Et al. 2008. Catarack of Retinophaty. Journal of the American Society of
Catarack.
5) American Academy Opthalmology, Lens and Cataract. Basic and clinical Science
Course Section 11, Sanfransisco 2006,p 21-32,96-37,153-154.
6) Sing Ar,et al Phenotypic and Genotypic Classification of congenital cataract.
Available at : http;//www.sugeon.org/pdf/article/2n3-pdf.2014
7) Gerontis CC. Cataract Congenital. Available At:
http;//www.emedicine,medscape.com/article/1210837-overview2014
8) Depkes. Kebutaan RI Tertinggi di Asia. Available From:
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2865 .
Diakses:18 Januari 2015 Depkes.
9) Penduduk Indonesia Mengalami Kebutaan. Available From:
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3233.
Diakses:18 Januari 2015 Depkes.
30

10) Kebutaan di Indonesia Merupakan Bencana Nasional. Available From:


http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1073465780,28036 . Diakses:
21 Februari 2015
11) Journal of Experimental and Clinical Medicine J Exp Clin Med 2011;3(4):166e170
Journal homepage: http://www.jecm-online.com
12) Bulletin of the World Health Organization, 2001, 79: 249–256.1
13) Department of Ophthalmology, Morsani College of Medicine, Tampa, Florida;
Nasution, L.F. 2011.
14) Diabetes Research and Clinical Practice journal homepage:
www.elsevier.com/locate/diabres
15) Rim et al. BMC Ophthalmology 2014, 14:4 Cataract subtype risk factors identified
from the Korea National Health and Nutrition Examination survey 2008–2010
http://www.biomedcentral.com/1471-2415/14/4
16) American Journal of Epidemiology Dietary Sodium Intake and Cataract: The Blue
Mountains Eye Study Vol. 151, No. 6 Printed In U.SA.
17) Contents lists available at SciVerse ScienceDirect Maturitas 75 (2013) 29– 33 j
ourna l h o me page: www.elsevier.com/locate/maturitas
18) OPTOMETRY AND VISION SCIENCE Overweight, Obesity, and Age-Related
Cataract: A Meta-analysis 1040-5488/14/9105-0478/0 VOL. 91, NO. 5, PP. 478Y483
19) Alcohol Consumption and the Long-Term Incidence of Cataract and Cataract
Surgery: The Blue Mountains Eye Study
20) PERSPECTIVE Lifestyle Exposures and Eye Diseases in Adults
21) Contents lists available at ScienceDirect Nutrition journal homepage:
www.nutritionjrnl.com
22) Buku Ajar Biomedik II. Bagian Anatomi FK UNHAS Universitas Hasanuddin
Fakultas Kedokteran 2013.
23) Lang GK. Ophthalmology a short textbook. New York:Thieme; 2009.p.170-89
24) Vaughan & Asbury’s. General Ophthalmology. In: UnitedStates Of America:
McGraw-Hill; 2007.
25) Bobrow JC. Lens and Cataract. American Academy of Opthalmology. Section 11.
Edition 2010-2011. San Francisco, USA. p. 19-23, 5-10, 91-105, 199 – 204
31

26) Anonimus. Katarak Juvenil [online] 2010 [Accessed Nov. 16,2016]; Available from
URL: http://Buzusima.co.cc
27) James B. Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta : Erlangga;2010.p.76-84
Shock JP, Harper RA. Lensa In: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi
Umum Edisi XIV. Jakarta: Widya Medika, 2012. P.175-83
28) Ilyas, Sidarta. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata
Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.200-11
29) Ilyas, Sidarta2007. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.hal 172-3,199,200-13 jakarta:
2007
30) WHO. Blindness and Visual Impairment, WHO: Geneva. 2010.
32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini yaitu deskriptif observasional. Dengan pendekatan cross


sectional, yang bertujuan untuk menjelaskan faktor resiko usia, riwayat penyakit
metabolik (Diabetes Mellitus), merokok, obat-obatan, trauma, infeksi mata pada pasien
yang telah di diagnosis menderita katarak dan datang berobat di poliklinik mata RSU
Anutapura pada tahun 2017.
Desainnya:

Subyek Penelitian

Faktor Resiko Katarak

 Usia
 DM +
 Merokok Mempengaruhi
 Obat kortikosteroid
 Trauma -
 Infeksi mata
(Uveitis)

Gambar 10 . Desain Penelitian

B. Waktu dan Tempat Penelitian


33

Waktu penelitian yaitu akan dimulai pada tahun 2017. Penelitian akan dilakukan di
Poliklinik Mata RSU Anutapura Palu.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Pasien yang berobat di Poliklinik Mata RSU Anutapura Palu,Tahun 2017.

2. Sampel Penelitian

Pasien dengan diagnosis katarak yang berobat di Poliklinik Mata RSU Anutapura
Palu Tahun 2017.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

a) Penderita yang telah di diagnosa katarak oleh dokter, yang berobat di Poliklinik
Mata RSU Anutapura Palu Tahun 2017.
b) Penderita Usia >18
c) Laki-Laki dan Perempuan
d) Dapat berkomunikasi dengan baik
e) Bersedia ikut penelitian tanpa paksaan, setelah diberi penjelasan

2. Kriteria Eksklusi

a) Penderita dengan penyakit mata lainnya

b) Tidak dapat berkomunikasi dengan baik.


c) Tidak bersedia ikut dalam penelitian, setelah diberikan penjelasan.
34

E. Besar Sampel

Penentuan besarnya sampel penelitian dengan menggunakan rumus besar sampel


penelitian deskriptif kategorik adalah sebagai berikut:

n = N/1+ N(e)2

Keterangan:
N = Besar Populasi
n = Besar Sampel
nilai e : Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan

Diketahui besar populasi penderita katarak yang berobat di RSU Anutapura Palu
tahun 2015 berjumlah 728 kasus.

1.243
n= =99,9
1+1.243(0,10)2

Jadi, Sampel yang dibutuhkan adalah 100 orang penderita pterigium yang berobat
di RSU Anutapura Palu.

F. Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah non probability sampling.
Teknik non probability sampling yang digunakan adalah consecutive sampling, dimana
semua subyek yang didiagnosis katarak sampai jumlah subyek minimal terpenuhi.

G. Alur Penelitian

Pasien Katarak yang berobat di


PoliKlinik Mata RSU Auutapura Palu
Tahun 2017
35

Persiapan Penelitian

Krteria Inklusi
Informed Consent

Subyek Penelitia

Pengambilan data :
1. Wawancara
2. Kuesioner

Pengumpulan Data

Analisis Data

Penyajian Hasil

Penulisan Hasil

Gambar 10 . Gambar Alur Penelitian

H. Prosedur Penelitian

1. Penderita katarak diberi penjelasan tentang:


latar belakang, tujuan, dan manfaat dari penelitian. Serta diberi penjelasan mengenai
apa yang akan dilakukan terhadap penderita katarak yang bersedia menjadi subyek
penelitian akan mendapatkan jaminan kerahasiaan data serta jaminan keselamatan
selama tindakan penelitian. Dijelaskan juga tentang hak-hak dari subyek, yaitu hak
menolak dan mengundurkan diri dari penelitian tanpa konsekuensi kehilangan hak
mendapat pelayanan kesehatan yang diperlukannya, hak untuk bertanya dan mendapat
penjelasan bila masih diperlukan. Penderita katarak juga diberi tahu bahwa semua
biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan ditanggung oleh peneliti.
36

2. Setelah penderita katarak setuju untuk ikut, penderita yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi akan dijadikan subyek penelitian dan diikutkan
dalam penelitian tanpa paksaan dan bersifat suka rela.
3. Penderita katarak yang setuju ikut penelitian akan diminta untuk
menandatangani lembar persetujuan ikut serta dalam penelitian ini tanpa paksaan.
4. Selanjutnya melakukan pengambilan data dengan pertanyaan dalam bentuk
kuesioner yang diisi oleh peneliti berdasarkan jawaban dari subyek. Subyek berhak
untuk menolak ataupun menentukan waktu pengambilan data apabila ingin menunda
pengambilan data.
5. Setelah data data yang dibutuhkan dalam penelitian terkumpul, selanjutnya akan
dilakukan analisis data lebih lanjut dengan mengunakan SPSS. Data yang ada akan
sangat dijaga kerahasiaannya.
6. Setelah analisis data selesai, peneliti mempersiapkan untuk melakukan
penulisan hasil untuk selanjutnya di seminarkan pada seminar hasil yang akan disajikan
secara tertulis dalam bentuk skripsi.
I. Instrumen dan Alat Penelitian

Instrumen atau alat penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu
menggunakan kuesioner.

J. Rencana Analisis Data

1. Pengolahan data yang digunakan yaitu deskriptif kategorik dengan hasil berupa
frekuensi dan presentase (proporsi) yang dapat disajikan dalam bentuk table
maupun grafik.
2. Dummy table
Hasil penelitian dari proposal diharapkan tercermin pada bagian dummy table.

Table 2. Dummy Table

1 Usia N %
a. Kelompok usia dewasa
37

b. Kelompok usia tua


c. Masa manula
Jumlah

Penyakit Metabolik (Diabetes Mellitus) N %


2 a. Tidak pernah menderita DM
b. Riwayat DM atau Menderita DM
Jumlah

Merokok N %
a. Tidak merokok : tidak mempunyai
riwayat merokok sama sekali
3 b. Perokok ringan : 1 – 10 batang rokok
setiap harinya
c. Perokok sedang : 11 - 20 batang
d. Perokok berat : > 20 batang
Jumlah

Obat Kortikosteroid N %
a. Tidak menggunakan kortikosteroid
4 b. Penggunaan kortikosteroid jangka

panjang
Jumlah

Trauma N %
5 a. Tidak langsung merusak struktur lensa
b. Langsung merusak struktur lensa
Jumlah

Infeksi mata (Uveitis) N %


6 a. Tidak Pernah Menderita Uveitis
b. Menderita Uveitis
Jumlah
38

K. Aspek Etika

Penelitian ini tidak memiliki implikasi etika karena :


1. Dalam penelitian ini, peneliti telah mendapatkan rekomendasi dari Fakultas
Kedokteran Universitas Al-Khairaat Palu.
2. Informed consent ( Lembar persetujuan), lembar persetujuan diberikan kepada
responden. Peneliti menjelaskan secara lengkap tentang manfaat, tujuan, cara
penelitian yang akan dilakukan. Tidak ada resiko yang ditimbulkan dalam penelitian ini,
karena hanya menggali informasi mengenai faktor resiko katarak dengan cara
wawancara. Setelah responden menyetujui dan mau berpartisipasi secara sukarela,
barulah responden akan diberikan lembar informed consent dan menandatanganinya.
3. Confidentiality ( Kerahasian ), kerahasian identitas responden dan segala
macam informasi yang diberikan oleh responden akan dijaga oleh peneliti. Peneliti tidak
akan mencantumkan nama penderita pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang
akan diisi oleh peneliti dan semua data.
4. Penderita katarak yang menjadi subyek penelitian yang akan diteliti setuju dan
mempunyai hak untuk bertanya ataupun menolak untuk mengikuti penelitian ini tanpa
ada paksaan dan rasa takut.
5. Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian dan bahaya karena hanya
menggunakan metode wawancara dengan alat kuisioner.
6. Semua pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan penelitian tidak
memungut biaya
7. Hasil penelitian hanya akan dipublikasikan dalam bentuk seminar hasil skripsi
kepada tim penguji, pembimbing dan instansi terkait.

Anda mungkin juga menyukai