BAB I
PENDAHULUAN
Dari data tersebut disimpulkan adanya peningkatan angka kesakitan pasien gagal
ginjal kronis tiap tahunnya sebesar sebesar 6 % (Fresenius Medical Care AG & Co.,
2013).
Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi system vaskuler
sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien
mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung coroner dan
penyakit pembuluh darah perifer (Ignatavius & Workman,2006).Angka penderita
gagal ginjal di Indonesia mencapai 70 ribu lebih. Data beberapa pusat nefrologi
Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit gagal ginjal kronik masing
besrkisar 100 – 150 / 1 juta penduduk dan 200 – 250 / 1 juta penduduk. Penelitian
WHO pada tahun 1999 memperkirakan di Indonesia akan mengalami peningkatan
penderita gagal ginjal antara tahun1995 – 2025 sebesar 41,4 % Peningkatan ini sangat
disayangkan karena sebenarnya penyakit gagal ginjal dapat dicegah dan dideteksi dini
jika masyarakat mempunyai kesadaran mengenai pentingnya ginjal terhadap
kesehatan ( YGDI, 2012 ).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup, faktor yang pertama
adalah sosio demografi atau karakteristik individu yaitu jenis kelamin, umur,
pendidikan,gaya hidup, riwayat penyakit, pekerjaan, status perkawinan dan suku atau
etnik. Kedua adalah faktor medik yaitu stadium penyakit serta penatalaksanaan medis
yang dijalani (Desita,2010). Perubahan budaya kerja, tingkat kesibukan yang
meningkat menyebabkan kesulitan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman
sehat. Makanan dan minuman instan akan menyebabkan terganggunya fungsi ginjal.
Ginjal akan mengalami penurunan fungsi. Perlu adanya pemantauan kesehatan secara
berkala yaitu dengan melakukan pemeriksaan di Laboratorium.
limbah tersebut tidak akan terbuang sempurna. Dalam melakukan pengukuran GFR
membutuhkan waktu lama dan biaya yang mahal sehingga dinilai tidak praktis. Untuk
mempermudah perhitungan GFR dilakukan estimasi (eGFR), perhitungan ini
memiliki keakuratan tinggi untuk menilai fungsi ginjal seseorang.
Tujuan Khusus
Diketahuinya hubungan antara derajat gagal ginjal dinilai dari eGFR dengan
kadar mikroalbumin pada pasien gangguan fungsi ginjal berdasarkan umur
b. Masyarakat
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
berguna sebagai informasi kesehatan untuk deteksi dini pada pasien
penyakit gagal ginjal kronik.
2. Memberikan tambahan informasi untuk para klinisi tentang korelasi
hasil tes-tes laboratorium pada penderita gagal ginjal kronik
3. Menunjang program pemerintah dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak
saling bersebelahan dengan vertebra di bagian posterior inferior tubuh manusia yang
normal. Setiap ginjal mempunyai berat hampir 115 gram dan mengandungi unit
penapisnya yang dikenali sebagai nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus.
Glomerulus berfungsi sebagai alat penyaring manakala tubulus adalah struktur yang
mirip dengan tuba yang berikatan dengan glomerulus. Ginjal berhubungan dengan
kandung kemih melalui tuba yang dikenali sebagai ureter. Urin disimpan di dalam
kandung kemih sebelum ia dikeluarkan ketika berkemih. Uretra menghubungkan
kandung kemih dengan persekitaran luar tubuh (Pranay, 2010).
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak
(sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/
membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700
liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170
liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya
keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari. Selain itu, fungsi primer
ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel dalam batas-
batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi
glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus (Guyton dan Hall, 2007).
Satuan unit fungsional dari ginjal adalah nefron yang terdiri dari suatu korpus
renalis atau glomerulus dan tubulus – tubulus lainnya yang berhubungan. Setiap
ginjal manusia sendiri terdiri dari sekitar 1,2 juta nefron yang berasal dari glomerulus
eksternal dan midkortikal lengkung henley pendek yang melengkung pada medula
lapisan eksternal dan internal ( Madsen, 1997 )
Gambar 1. Ginjal
Ekskresi adalah pembungan zat – zat yang sudah tidak berguna dikeluarkan
oleh tubuh, contohnya keringat, feses, urin, CO2, ureum, kreatinin. Didalam
kehidupan sehari – hari tubuh manusia selalu mengadakan proses metabolisme yang
tiada hentinya. Dari hasil metabolisme itu ada sampah sisa – sisa metabolisme yang
harus dibuang keluar tubuh dan diantaranya melalui urine.Zat – zat yang masih
berguna didalam tubulus ginjal direabsorpsi kembali masuk kedalam darah, oleh
karena itu ginjal bisa memilih mana zat yang harus dibuang bersama urine dan mana
zat yang masih perlu disimpan tubuh maka fungsi ginjal sebagai alat ekskresi bersifat
selektif ( Kiyatno, 1991 ).
Sebagai alat ekskresi, ginjal membuang urine melalui saluran khusus mulai
dari nefron sampai uretra. Selain pembuangan urine melalui saluran khusus tadi,
ginjal juga mengsekresi zat langsung masuk ke dalam darah, tidak melalui saluran
khusus, karena hasil ekskresi langsung masuk darah tanpa hars melalui saluran
khusus, maka zat itu termasuk hormon. Ada dua macam hormon yang disekresikan
oleh ginjal yaitu :
a) Hormon renin yang sangat penting didalam sistem kardiovasa yang berhubungan
dengan tekanan darah.
b) Hormon eritrogenin atau renal eritropoeitin faktor ( REF ) yang berperan
didalam proses pembentukan eritrosit atau eritropoesis.
2.1.5. Fungsi hormonal ginjal
a) Perubahan pra hormon menjadi metabolik aktifnya
b) Sintesis enzim yang bekerja pada protein plasma tertentu untuk menghasilkan zat
mirip hormon.
c) Degradasi hormon beredar yang berlebih.
Sintesis enzim yang bekerja pada protein plasma tertentu untuk menghasilkan
zat – zat mirip hormon. Enzim – enzim tertentu yang disintesis dalam ginjal
merupakan enzim yang amat penting dalam pengaturan tekanan darah karena
reaksinya dengan protein plasma spesifik menghasilkan zat mirip hormon ( Hartono,
1995 ).
Degradasi hormon beredar yang berlebih dapat juga dijadikan ciri penting
lainnya pada ginjal yang sehubungan dengan fungsi hormonal adalah kemampuannya
bersama hati untuk mengadakan degradasi ( penghancuran ) hormon peptida tertentu,
misalnya insulin, ekskresi insulin yang beredar oleh ginjal ± 40 % dari jumlah insulin
yang memasuki pembuluh nadi ginjal ( arteri venalis ). Sehingga setiap harinya 10 –
20 unit insulin dihancurkan. Kadarnya sebagian oleh penurunan kemampuan sel – sel
ginjal untuk metabolisme hormon – hormon yang beredar ( Hartono, 1995 ).
masih diperlukan tubuh, molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi
dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan
kotranspor, hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.
Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula
bowman terdapat tiga lapisan:
Gustav Jakob Henle di awal tahun 1860an. Lengkung Henle menjaga gradien
osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang
melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan
memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam
amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke
dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir
dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari:
1. Tubulus penghubung
2. Tubulus kolektivus kortikal
3. Tubulus kloektivus medularis
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi
ginjal menahun bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebaban uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (
Harnawatraj, 2008 ).
Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Diagnosis penyakit gagal ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1.73 m 2 (
Hafidz, 2010 ).
Menurut Chonchol 2005, Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 1 berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
Laju Filtrasi Glomerulus = (140-umur) x Berat Badan
2.2.2. Penyebab
Berupa gangguan aliran darah kearah ginjal sehingga ginjal kekurangan suplai
darah sehingga kurang oksigen dengan akibat lebih lanjut jaringan ginjal mengalami
kerusakan, contohnya volume darah berkurang karena dehidrasi berat atau kehilangan
darah dalam jumlah besar, berkurangnya daya pompa jantung, adanya sumbatan atau
hambatan aliran darah pada arteri besar yang kearah ginjal.
b) Penyebab renal
Berupa gangguan atau hambatan aliran keluar urin sehingga terjadi aliran balik
urin kearah ginjal yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Akibat adanya
sumbatan atau penyempitan pada saluran pengeluaran urin antara ginjal sampai
ujung saluran kencing, contohnya adanya batu pada ureter sampai uretra,
penyempitan akibat saluran tertekuk, penyempitan akibat pembesaran prostat dan
tumor.
Tanda – tanda yang bisa diperoleh jika penderita telah menderita gagal ginjal
dibagi berdasarkan sistem adalah sebagai berikut :
a) Tidak ada nafsu makan, mual hingga muntah karena gangguan metabolisme
tubuh.
b) Bau yang khas yang keluar dari mulut. Faktor uremik adalah bau khas yang
keluar dari mulut penderita yang disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada
air liur.
c) Sering mengalami cegukan, penyebabnya belum diketahui.
d) Menderita sakit maag dan peradangan pada usus.
2.2.3.2 Gangguan pada kulit
a) Kulit gatal pucat dan kekuning – kuningan
Penderita gagal ginjal akan menjadi lebih putih (pucat ) akibat anemia dan
berwarna kuning akibat penimbunan urokrom. Gatal dikarenakan racun yang
tidak bisa dikeluarkan pada air seni keluar melalui kulit.
b) Sering terjadinya memar akibat terganggunya fungsi pembekuan darah.
2.2.3.3. Sistem hematologi (darah)
a) Anemia
Anemia pada gagal ginjal dapat terjadi karena kurangnya produksi eritropoetin
sehingga rangsangan pada sumsum tulang untuk membentuk sel – sel darah
berkurang, terjadi juga akibat hancurnya sel – sel darah karena kadar racun seperti
ureum yang tinggi pada darah, kurangnya masukkan makanan, perdarahan pada usus
dan kulit.
b) Gangguan fungsi sel darah putih (leukosit)
Terjadi gangguan pada sel darah putih mengakibatkan mudah terjadi infeksi dan
sulit sembuh karena sistem pertahanan tubuh menurun.
c) Gangguan pada sistem saraf dan otot
1. Sering merasa pegal pada kaki ( restless leg syndrom )
2. Rasa seperti terbakar atau kesemutan pada telapak kaki (burning feet
syndrome)
3. Enselopati metabolik, mengakibatkan perasaan lemah, tidak bisa tidur,
gangguan konsentrasi, tremor hingga menyebabkan kejang.
4. Kelemahan otot, otot menjadi lemah dan mengecil pada tungkai
Penyebab gagal ginjal tidak selalu sama diberbagai negara dan juga polanya
berubah sesuai kondisi tiap negara. Glomerulonefritis merupakan etiologi yang utama
diseluruh dunia, tetapi di Indonesia dan beberapa negara berkembang tidak selalu
glomerulonefritis menjadi penyebab terbesar ( Tambayong, 2000 ).
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 stadium yaitu:
a. Stadium I
b. Stadium II
c. Stadium III
Stadium ketiga atau stadium akhir gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila
sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron
saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan
kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini
kreatinin serum dan kadar ureum akan meningkat dengan sangat menyolok
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium
akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala gejala yang cukup parah,
karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat
jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik
(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks
perubahan biokimia dan gejalagejala yang dinamakan sindrom uremik
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam
bentuk transplantasi ginjal atau dialisis (Price, et al., 2006).
2.2.5. Hemodialisa
Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air
secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen cair
lainya yaitu cairan dialisat melewati membran semi permeabel dalam dialiser (Price
et. al., 2006). Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu
mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit yang
terjadi pada pasien PGK dengan End Stage Renal Disease (ESRD). Hemodialisis
efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara
Prosedur mencakup pemompaan darah pasien yang telah diberi heparin melewati
dialyzer dengan kecepatan 300-500 mL/min, sementara cairan dialisat dialirkan
secara berlawanan arah dengan kecepatan 500-800mL/min. Darah dan dialisat sendiri
hanya dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel (Singh, et al., 2005)
Prosedur dialisis tetap menjadi terapi utama pada pasien dengan End Stage
Renal Failure (ESRF) dan indikasi dialisis mencakup adanya sindrom uremik,
hiperkalemi yang tak teratasi cara umum, penambahan volume ekstraseluler, asidosis
yang tidak teratasi, diathesis perdarahan, dan clearance kreatinin yang kurang dari 10
mL/min per 1,73 m2 (Singh, et al., 2005).
Besarnya pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang
berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi denfan lambat
dibanding dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut
tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin
besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik
di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan
arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada
awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di
kedua kompartemen (Rahardjo P. et al., 2009).
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan salisilat sebanyak
120150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam
cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi kedalam darah pasien selama
dialisis. Karena itu kandungan solut cairan diasilat harus dalam batas yang dapat
ditoleransi oleh tubuh. Cairan diasilat perludimurnikan agar tidak terlalu banyak
mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis
air akan melewati membran semi permiabel yang memiliki pori-pori kecil sehingga
dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan klorida
(Rahardjo P. et al., 2009).
Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisa.
Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan diasilat
untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Dilakukan
pengukuran volume dialiser untuk mengetahui dialiser ini masih dapat dipakai dan
dilihat apakah terdapat cacat. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 80%.
Setelah itu dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum
digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk mebuang formaldehid.
Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis
dan hal ini dapat menimbulkan ganguan pada pasien (Rahardjo P. et al., 2009).
Terdapat dua jenis cairan diasilat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan
bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan
suasana asam di dalam darah yang akan bermanidfestasi sebagai vasodilatasi.
Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasikonstriksi
pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik
yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat
memberikan bikarbonat kedalam darah yang akan menetrealkan asidosis yang biasa
terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan
vasodilatasi (Rahardjo P. et al., 2009).
Pada proses dialisis terjadi aliran darah diluar tubuh. Pada keadaan ini akan
terjadi aktivasi sitem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena
itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung (Rahardjo
P. et al., 2009).
1. Indikasi absolut
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
2. Indikasi elektif
glomerulus (GFR) kurang dari 5mL/menit (normalnya GFR mencapai 125 mL/menit)
dan dianggap baru perlu di mulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah:
6. Fluid overloaded
2.3. Epidemiologi
Angka penderita gagal ginjal di Indonesia mencapai 70 ribu lebih. Data
beberapa pusat nefrologi di Indonesia dipekirakan insidens dan prevalensi penyakit
ginjal kronik masing-masing berkisar 100 – 150/1 juta penduduk dan 200 – 250/1 juta
penduduk. Penelitian WHO pada tahun 1999 memperkirakan di Indonesia akan
mengalami peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun 1995 – 2025 sebesar
414%. Peningkatan ini sangat disayangkan karena sebenarnya penyakit gagal ginjal
dapat dicegah dan dideteksi dini jika masyarakat mempunyai kesadaran mengenai
pentingnya ginjal terhadap kesehatan (YGDI, 2012).
2.3.1.Umur
Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Umur adalah usia
individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Umur
merupakan salah satu variabel penting dalam bidang penelitian komunitas. Umur
dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit secara
langsung atau tidak langsung bersama dengan variabel lain sehingga menyebabkan
perbedaan diantara angka kesakitan dan kematian pada masyarakat atau sekelompok
masyarakat (Chandra, 2008).
Menurut laporan tahunan dari Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia(YGDI) pada
tahun 2006, diperkirakan jumlah penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia
sebanyak 150 ribu pasien. Dari jumlah total pasien tersebut 21% berusia 15-34 tahun,
49% berusia 35-55 tahun, dan 30% berusia diatas 56 tahun.
2.3.2.Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah faktor risiko untuk perkembangan dan kemajuan setiap
tipe gagal ginjal. Secara umum insiden gagal ginjal kronik paling banyak pada
lakilaki daripada perempuan. Penelitian Asriani tahun 2012, penderita gagal ginjal
kronik sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu 60% pada wanita dan 40%
pada laki-laki.
Karakteristik jenis kelamin pada Sebagian besar berjenis kelamin laki-laki,
karena sering mengkonsumsi minuman suplemen. Kandungan gula dalam minuman
suplemen sekitar 25 gr pada tiap 150 ml botol (Vitahealt, 2004). Kandungan gula
yang tinggi dapat memicu diabetes mellitus. Tingkat gula yang tinggi dapat
menggangu struktur serta fungsi pembuluh darah. Diabetes mellitus memiliki kadar
insulin yang rendah mengakibatkan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
tidak normal. Pembuluh darah kecil dalam ginjal akan terganggu sehingga fungsi
penyaringan ginjal akan mengalami kerusakan (Dharma, 2014).
2.3.3.Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka
melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui
proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap
karena didasari oleh kesadaran. Kelemahan dari pendekatan pendidikan kesehatan ini
adalah hasilnya lama karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada
umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2010).
Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat pendidikan formal
yang lebih rendah karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan
pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
Tingkat pendidikan juga berhubungan dengan kejadian GGK. Pendidikan
menjadi modal yang baik bagi seseorang untuk meningkatkan pola pikir dan perilaku
sehat, karena itu pendidikan dapat membantu seseorang untuk memahami penyakit
dan gejala-gejalanya.Berdasarkan riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi
GGK banyak pada yang tidak bersekolah (0,4%).(29) Penelitian Asriani tahun 2014,
repsonden gagal ginjal dengan tingkat pendidikan SMA/SMK sebanyak 43.3%.
2.3.4.Pekerjaan
Menurut Notoatmodjo (2010), mengatakan pekerjaan adalah aktivitas atau
kegiatan yang dilakukan oleh responden sehingga memperoleh penghasilan.
Menurut Safitri (2013), depresi cenderung ditemukan pada responden yang
berpenghasilan rendah, penghasilan rendah akan menyebabkan seseorang dihadapkan
dengan berbagai permasalahan dalam hidupnya, kebutuhan pokok yang tidak dapat
tercukupi sehingga akan mempengaruhi kondisi psikis responden dan dapat terjadi
depresi.
2.3.5.Status Pernikahan
Pernikahan adalah satu bentuk interaksi antara manusia, ditambahkan bahwa
menikah juga didefinisikan sebagai hubungan pria dan wanita yang diakui dalam
masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak
mengasuh anak, saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri dan
sebagai upacara pengakuan dan pernyataan menerima kewajiban baru dalam tata
susunan masyarakat (Hanum, 2000).
2.4.2. Hipertensi
2.5. Genetik
Penyakit polikistik merupakan penyakit keturunan yang menyebabkan gagal
ginjal kronik (Price dan Wilson, 2006)
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyebut, kandungan alkohol
dalam minuman dianggap sebuah zat asing oleh organ ginjal, sehingga ginjal pun
akan berusaha mengeluarkan senyawa alkohol. Namun, alkohol sendiri sangat sulit
bereaksi yang akhirnya membuat kinerja ginjal semakin lebih keras lagi dalam
membuang alkohol.
Masih "kerabat" dari minuman beralkohol, minuman bersoda pun tak kalah
berbahayanya apabila dikonsumsi terus menerus. Dikutip dari www.livestrong.com,
menyebutkan kandungan karbonat pada soft drink dapat memberatkan kerja ginjal
dalam menyaring kotoran dan racun di dalam tubuh. Bahkan penelitian yang sama di
amerika menyebutkan jika karbonat tak beda dengan racun-racun dalam tubuh karena
memang tak ada manfaatnya. Mengonsumsi 2 botol minuman bersoda setiap hari
dapat meningkatkan resiko terkena penyakit gagal ginjal, diabetes, hingga hipertensi.
Ginjal bekerja sebagai organ yang membuang cairan dari tubuh dan menyaring
zat yang masih diperlukan oleh tubuh yang berasal dari plasma. Proses penyaringan
ini terjadi di glomerulus yang menghasilkan filtrat, yang berasal dari darah yang tidak
mengandung sel darah dan protein dengan berat molekul (BM) > 60.000 Dalton.
Jumlah filtrat yang dihasilkan adalah 125 mL/menit, berarti 180 L/hari yang disebut
sebagai glomerular filtration rate ( GFR ), sehingga bila fungsi filtrasi ginjal kurang
sempurna maka cairan dan zat tertentu akan berkumpul di dalam tubuh seperti urea
dan kreatinin yang akan membahayakan pasien.
2.6.2.Mikroalbumin urin
Urine adalah hasil pembuangan manusia. Sebagai hasil dari metabolisme
tubuh, tentu saja kondisi urine dapat menjadi indikator awal mengenai kondisi tubuh.
Selain dari Warna Urine Sehat, ciri urine normal atau tidak bisa juga dilihat dari
kandungan di dalamnya. Salah satu kondisi yang tidak normal adalah jika
urine mengandung protein. Kondisi ini disebut sebagai proteinuria.
Proteinuria disebut albuminuria atau urin albumin adalah suatu kondisi di mana
urin mengandung jumlah protein yang tidak normal. Albumin adalah protein utama
dalam darah. Protein adalah blok pembangun pada semua bagian tubuh, termasuk
otot, tulang, rambut, dan kuku. Protein dalam darah juga memiliki sejumlah fungsi
penting. Mereka melindungi tubuh dari infeksi, membantu pembekuan darah, dan
menjaga jumlah cairan yang tepat agar beredar di seluruh tubuh.
Pada kondisi albuminuria, maka akan memiliki kandungan protein terlalu
banyak di dalam urin yang dihasilkan, karena adanya ginjal yang mengalami
kerusakan. Ketika ginjal sedang melakukan pekerjaannya, ginjal menyaring produk
limbah dari darah dan memerlukan elemen penting termasuk albumin. Tugas albumin
adalah membantu untuk mencegah kebocoran air dari darah ke jaringan yang lain.
Saat darah melewati ginjal yang sehat, ginjal menyaring produk limbah dan
meninggalkan hal-hal yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti albumin dan protein lain.
Kebanyakan protein terlalu besar untuk melewati filter ginjal ke dalam urin. Namun,
protein dari darah dapat bocor ke dalam urin ketika filter dari ginjal, yang disebut
glomeruli, rusak.
Proteinuria merupakan tanda penyakit ginjal kronis, yang dapat mengakibatkan
diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit yang menyebabkan peradangan pada
ginjal. Untuk alasan ini, pengujian albumin dalam urin merupakan bagian dari
penilaian medis rutin untuk semua orang. Jika CKD berlangsung, dapat menyebabkan
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD), ketika ginjal gagal sepenuhnya. Seseorang
dengan ESRD harus menerima transplantasi ginjal atau perawatan pembersihan darah
rutin yang disebut dialisis.
Pengujian dari urine yang mengandung protein dapat dilakukan secara dini
dengan melihat kondisi urine. Urine yang mengandung protein memiliki ciri urine
berbusa atau berbuih. Pengujian secara medis sendiri dilakukan dengan tes urine. Dua
metode yang umumnya digunakan untuk mendeteksi albumin yaitu
metode dipstickdan menggunakan presipitat asam sulfosalisilat. Metode dipstick
(colorimetric reagent strip) didasarkan pada kemampuan protein untuk mengubah
warna tertentu dengan indikator asam-basa, seperti tetrabromophenol blue, tanpa
mengubah pH. Ketika pewarna buffer pada pH 3, itu adalah kuning, penambahan
peningkatan konsentrasi protein merubah warna menjadi hijau dan kemudian menjadi
biru. Perubahan warna dibandingkan dengan bagan warna dimana konsentrasi protein
dinilai dari tanda batas sampai 4+, sesuai dengan konsentrasi dari 1 sampai 10 mg/dl
ke lebih besar dari 500 mg/dl.
Biasanya untuk mengetahui apakah urine mengandung protein atau tidak akan
dilakukan pengumpulan sampel urine dalam 24 jam. Pasien akan diambil sampelnya
pada waktu-waktu yang sudah ditentukan dalam kurun waktu 24 jam. Proses ini
disebut juga dengan urine rasio albumin-kreatinin.
Sampel urine yang memiliki kandungan albumin lebih dari 30 miligram per
gram kreatinin adalah ciri dari urine yang mengandung protein berlebihan. Jika
hasilnya lebih dari 30 mg/g, maka pengujian lanjutan akan dilakukan dalam kurun
waktu satu hingga 2 minggu lagi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan hasil yang
akurat. Dan jika pengujian lanjutan menunjukkan bahwa seseorang mengalami
proteinuria, maka pemeriksaan fungsi ginjal juga akan dilakukan untuk melihat
kondisi ginjal.
Nilai Normal :
KRITERIA mg/dl
Urin Kedua Dewasa < 20 mg albumin/g creatine
Urin Anak (3-5 tahun) < 37 mg albumin/g creatinine
Urine 24 jam < 20
2.6.3.GFR
GFR
Deskripsi
Stadium (ml/menit/1.73m2)
Kerusakan minimal pada ginjal, filtrasi
1 Lebih dari 90
masih normal atau sedikit meningkat
2 60-89 Fungsi ginjal sedikit menurun
3 30-59 Penurunan fungsi ginjal yang sedang
4 15-29 Penurunan fungsi ginjal yang berat
Gagal ginjal stadium akhir (End Stage
5 Kurang dari 15
Renal Disease) (Darmasiusyendi, 2014)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.Kerangka teori
Penyakit lain
1. Diabetes melitus
2. Hipertensi
Pemeriksaan
Karakteristik laboratorium
Demografi
1. Hemoglobin
1. Umur 2. Eritrosit
2. Jenis GANGGUAN 3. Hematokrit
Kelamin 4. Trombosit
FUNGSI GINJAL
3. Pendidikan 5. Lekosit
4. Pekerjaan 6. Laju endap
5. Status darah
pernikahan 7. Retikulosit
8. Ureum
9. Kreatinin
10. Asam urat
11. Cystatin C
12. Natrium
Status sosial Genetik 13. Kalium
14. Klorida
1. Pola makan 15. ACR
2. Gaya hidup 16. PTU
3. Jenis 17. CCT
makanan 18. MAU
4. Merokok 19. RDW
Dewasa : 26 – 45 tahun
Lansia : 46 – 65 tahun
Manula : > 66 tahun
Laki-laki Nominal
Perempuan
mg/dL Interval
Nilai
rujukan
% Interval
Nilai
rujukan
LFG (Laju Filtrasi Kadar LFG (Laju Perhitungan mL/min/1.7 Interval
Glomerulus) Filtrasi 3 m²
Glomerulus) dari Normal : ≥ 90
pasien gangguan Gangguan fungsi ginjal :
fungsi ginjal ≤ 90
yang berasal dari
darah vena
3.4.Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey dengan menggunakan metode
potong lintang (Cross Sectional) dimana mengambil data dilakukan sesaat, hanya
satu kali dan tidak ada perlakuan terhadap responden. Penelitian ini bertujuan
mengetahui hubungan hasil pemeriksaan ureum dan hematokrit pada pasien
gangguan fungsi ginjal di laboratorium Bio Medika Semanan.
1. Populasi
Populasi target penelitian adalah seluruh pasien gangguan fungsi ginjal di
laboratorium klinik Bio Medika Jakarta dan tanggerang yang tercatat di
rekam medik dari tanggal 2 Mei 2018 – 31 Mei 2018.
2. Sample dan Besar Sample
Sample adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Besar sampel
dihitung dengan menggunakan rumus :
N
n=
1 + N(d2)
Keterangan :
n : besar sampel
N : besar populasi
d : tingkat kepercayaan atau ketepatan yang digunakan (0,05)
besar sampel adalah :
N
n=
1 + N(d2)
3.7.Teknik Sampling
Sampel yang diambil, merupakan sampel dengan nilai GFR < 90 mL/min/1.73
m² . Teknik pengambilan sampel di Laboratorium Bio Medika Semanan.
3.10. RencanaKegiatan
DAFTAR PUSTAKA
Pranay, K., Stoppler, M.C., 2010. Chronic Kidney Disease. Diakses pada tanggal 26
Maret 2018.
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
Guyton & Hall. 2007. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Diakses pada tanggal 26
Maret 2018.
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
Elizabeth, C J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi Revisi 3. Diakses pada tanggal
26 Maret 2018.
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
Price, S.A., Lorraine. M.W., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses
penyakit. Diakses pada tanggal 26 Maret 2018.
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Diakses pada tanggal 26 Maret
2018.
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
Kallenbach, J.Z., Gutch, C.F., Martha, S.H., & Corca A.L. 2005.
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
Singh AK, Barner BM. 2005.Dialysis in the treatment of renal failure. Diakses pada
tanggal 26 Maret 2018.
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
Rahardjo. P., Susalit E, Suhardjo. 2009.Buku ajar Ilmu penyakit dalam. Diakses pada
tanggal 26 Maret 2018.
http://digilib.unila.ac.id/9757/6/Bab%20II.pdf
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9202/6.BAB%20II.p
df?sequence=6&isAllowed=y
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9202/6.BAB%20II.p
df?sequence=6&isAllowed=y
Harusta. 2015. Depresi Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Diakses pada
tanggal 23 Maret 2018.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9202/6.BAB%20II.p
df?sequence=6&isAllowed=y
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9202/6.BAB%20II.p
df?sequence=6&isAllowed=y
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9202/6.BAB%20II.p
df?sequence=6&isAllowed=y
Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Diakses pada tanggal 27 maret 2018
http://repository.ump.ac.id/1589/3/PUGUH%20DADI%20DWI%20P%20BAB%20I
I.pdf
Sodikin dan Ester, 2009. Diakses pada tanggal 27 maret 2018
http://repository.ump.ac.id/1589/3/PUGUH%20DADI%20DWI%20P%20BAB%20I
I.pdf
Handayani dan Haribowo, 2008. Diakses pada tanggal 27 maret 2018
http://repository.ump.ac.id/1589/3/PUGUH%20DADI%20DWI%20P%20BAB%20I
I.pdf
Faisal & komsan, 2009 2008. Diakses pada tanggal 27 maret 2018
http://repository.ump.ac.id/1589/3/PUGUH%20DADI%20DWI%20P%20BAB%20I
I.pdf
Taliercio, JJ., 2010, Anemia anda Chronic Kidney Disease.Diakses pada tanggal 27 maret
2018
https://media.neliti.com/media/publications/194165-ID-hubungan-kadar-
hemoglobin-hb-indeks-mass.pdf
Sukandar, E., 2006, Nefrologi Klinik. Diakses pada tanggal 27 maret 2018
https://media.neliti.com/media/publications/194165-ID-hubungan-kadar-
hemoglobin-hb-indeks-mass.pdf
file:///C:/Documents%20and%20Settings/BioMedika/My%20Documents/Do
wnloads/48-95-1-SM.pdf
Siregar P, ‘Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit’ dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Interna publishing, Jakarta, 2009, hh. 175-189. Diakses
pada tanggal 5 April 2018
file:///C:/Documents%20and%20Settings/BioMedika/My%20Documents/Do
wnloads/48-95-1-SM.pdf
Priest G, Smith B and Heitz, ’9180 Electrolyte Analyzer Operator’s Manual’ 1st Ed,
AVL Scientifi Corporation, USA, 1996, pp. 1-120. Diakses pada tanggal 5 April
2018
file:///C:/Documents%20and%20Settings/BioMedika/My%20Documents/Do
wnloads/48-95-1-SM.pdf
Sistem pakar untuk diagnose penyakit ginjal dengan metode forward chaining.
Diakses pada tanggal 5 April 2018
https://p3m.sinus.ac.id/jurnal/index.php/TIKomSIN/article/view/124
Sistem pakar untuk diagnose penyakit ginjal dengan metode forward chaining.
Diakses pada tanggal 5 April 2018
https://lifestyle.sindonews.com/read/1242679/155/pilihan-terapi-pasien-gagal-
ginjal-kronis-1506321253
Pilihan pasien gagal ginjal kronis. Diakses pada tanggal 5 April 2018
http://www.tanyadokteranda.com
Gagal ginjal terminal hemodialisa bukan satu-satunya solusi. Diakses pada tanggal 5
April 2018
Https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFDOK/article/viev/2856
Korelasi lama menjalani hemodialisis dengan indek massa tuuh pasien gagal ginjal
kronik di RSUD arifin achamad provinsi riau pada bulan mei tahun 2014. Diakses
pada tanggal 5 April 2018
http://digilib.unimus.ac.id
Gambaran kepatuhan diet dan dukungan keluarga pada penderita gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa rawat jalan di RU Haji Medan. Diakses pada tanggal 5
April 2018
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/6686
Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet pada pasien gagal ginjal kronik
di IRINA X2 RSUP Prof. Dr. D. Kandou Manado.
Dr.ibuea, W.Herdin Dr. Panggabean, Marulam M.. Dr. Gultom S>P.. Ilmu Penyakit
Dalam. FK-UKI dengan Rumah Sakit DGI Tjikini : Jakarta : 2005, hal 123-132, hal
66-67
Suwitra, Ketut. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 : Jakarta : FK-UI,2006, hal 507-573
Wirawan, Riadi. Prof. 2016, Penuntun Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik Bio
Medika. Jakarta : Laboratorium Klinik Utama Bio Medika.
Wirawan, Riadi, Prof. 2015, Pemeriksaan Cairan Tubuh. Jakarta : PT. Monica
Printing