Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP dinilai sebagai kasus yang masif dan sangat
terstruktur. Diduga, proyek itu direncanakan untuk dapat dikorupsi.
Babak baru kasus e-KTP dimulai di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Kamis 9 maret 2017,
Mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan anak buahnya yang bernama Sugiharto
didakwa terlibat kasus yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.
Dari surat dakwaan, terungkap ada sejumlah pertemuan yang dilakukan untuk membahas
proyek e-KTP. Berikut rangkuman beberapa pertemuan itu :
a) Februari 2010
Gedung DPR, Jakarta.
Irman dan Burhanudin Napitupulu (anggota DPR) bertemu di ruang kerja Ketua Komisi II
DPR membahas pemberian uang oleh Andi Narogong (pengusaha) kepada sejumlah anggota
Komisi II. Pemberian itu bertujuan agar DPR menyetujui usulan Kemendagri perihal anggaran
proyek e-KTP.
Hotel Gran Melia, Jakarta.
Irman, Sugiharto, Andi Narogong, dan Diah Anggriani (Sekjen Kemendagri) melakukan
pertemuan dengan Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar DPR). Pada pertemuan itu, Setya
menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek e-KTP di DPR.
b) Juni-Desember 2010
Ruko Fatmawati
Beberapa kali pertemuan digelar di Ruko milik Andi Narogong. Pertemuan Tim Fatmawati ini
membahas pembentukan beberapa konsorsium untuk ikut dalam tender proyek e-KTP. Bahkan
pada sejumlah pertemuan juga membahas pengaturan untuk memenangkan tender hingga
mendaftar penggelembungan harga sejumlah barang yang akan dibeli terkait proyek.
Pengaturan ini juga melibatkan pihak panitia lelang yang berasal dari Kemendagri.
c) Juli-Agustus 2010
Gedung DPR, Jakarta.
DPR mulai melakukan pembahasan R-APBN Tahun Anggaran 2011 yang di antaranya
termasuk anggaran untuk proyek e-KTP. Terkait hal tersebut, Andi Narogong beberapa kali
bertemu Setya Novanto, Anas Urbaningrum (Ketua Fraksi Demokrat DPR), dan Muhammad
Nazaruddin (Bendum Demokrat), yang dinilai sebagai representasi Partai Golkar dan Partai
Demokrat untuk mendorong Komisi II menyetujui anggaran.
Akhirnya dicapai kesepakatan anggaran proyek sebesar Rp 5,9 triliun dengan 49 persen di
antaranya atau sebesar Rp 2,5 triliun (setelah dipotong pajak) akan dibagi-bagi ke sejumlah
orang, termasuk DPR.
d) September-Oktober 2010
Gedung DPR, Jakarta.
Andi Narogong memberikan uang kepada sejumlah anggota DPR di ruang kerja Mustoko
Weni (Golkar). Total uang yang diberikan Andi sebesar 3.450.000 dolar AS kepada sembilan
orang anggota DPR, di antaranya Anas Urbaningrum, Ganjar Pranowo (PDIP), Teguh Juwarno
(PAN), hingga Agun Gunandjar Sudarsa (Golkar)
Gedung DPR, Jakarta.
Bagi-bagi uang kembali dilakukan Andi, namun kali ini di ruangan Setya Novanto dan
Mustoko Weni. Uang sebesar 3.300.000 dolar AS kepada para pimpinan Banggar, yakni
Melchias Marcus Mekeng (Golkar), Mirwan Amir (Demokrat), Olly Dondokambey (PDIP),
dan Tamsil Linrung (PKS).
Andi pun memberikan uang sebesar 500.000 dolar AS kepada Arif Wibowo untuk dibagikan
kepada seluruh anggota Komisi II. Rinciannya, Ketua mendapat 30.000 dolar AS, tiga Wakil
Ketua masing-masing mendapat 20.000 dolar AS, sembilan Ketua Kelompok Fraksi masing-
masing mendapat 15.000 dolar AS, serta 37 anggota masing-masing mendapat 10.000 dolar
AS.
e) Oktober 2010
Restoran Peacock, Hotel Sultan, Jakarta.
Pertemuan dilakukan antara Irman, Sugiharto, Diah Anggriani, Andi Narogong, Husni Fahmi
(pegawai Kemendagri), Chairuman Harahap (Golkar), dan Johannes Marliem (swasta). Pada
pertemuan itu, Chairuman sebagai Ketua Komisi II diminta segera menyetujui anggaran
proyek sebesar Rp 5.952.083.009.000 secara multiyears.
f) 22 November 2010
Gedung DPR.
Rapat Kerja antara Komisi II dan Kemendagri akhirnya menyepakati anggaran proyek e-KTP
untuk tahun 2011 sebesar Rp 2.468.020.000 yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2011.
g) Desember 2010
Rumah Dinas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri.
Andi Narogong memberikan uang sejumlah 1.000.000 dolar AS kepada Diah Anggraini
sebagai kompensasi telah membantu pembahasan anggaran hingga akhirnya disetujui DPR.
h) Februari 2011
Kementerian Dalam Negeri.
Andi Narogong menemui Sugiharto di ruang kerjanya. Andi mengatakan akan memberikan
uang sebesar Rp 520.000.000.000 untuk memperlancar urusan penganggaran proyek. Uang
akan diberikan kepada Partai Golkar Rp 150 miliar, Partai Demokrat Rp 150 miliar, PDI
Perjuangan Rp 80 miliar, Marzuki Alie (Demokrat) Rp 20 miliar, Chairuman Harahap Rp 20
miliar, serta pada sejumlah partai lain sejumlah Rp 80 miliar. Rincian uang tersebut atas
persetujuan Irman.
i) 21 Juni 2011
Gamawan Fauzi (Mendagri) menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang tender proyek
e-KTP. Pemenangan tender sudah diatur sejak awal. Konsorsium PNRI tetap dimenangkan
meskipun sejumlah syarat belum dipenuhi.
j) Juni 2011
Penetapan pemenang lelang digugat, namun Sugiharto tetap menunjuk konsorsium PNRI
sebagai pemenang lelang.
k) Maret 2012
Konsorsium PNRI belum dapat menyelesaikan pengadaan blangko e-KTP sebanyak
65.340.367 keping dengan nilai Rp 1.045.445.868.749. Namun tidak diberikan teguran
maupun sanksi kepada konsorsium, bahkan dibuat laporan seolah-olah pekerjaan sudah sesuai
target sebagaimana kontrak. Sehingga pembayaran kepada pihak PNRI tetap bisa dilakukan.
Gamawan meminta penambahan anggaran dalam APBN-P tahun 2012. Anggota DPR Markus
Nari (Golkar) lantas meminta uang Rp 5 miliar kepada Irman guna memperlancar pembahasan
anggaran itu. Namun usai diberikan uang Rp 4 miliar, DPR tidak memasukan penambahan
anggaran itu.
l) Agustus 2012
Anggaran kemudian masuk ke dalam APBN Tahun Anggaran 2013. Atas hal tersebut, Miryam
Haryani (Hanura) meminta uang Rp 5 miliar untuk diberikan kepada pimpinan dan anggota
Komisi II, di antaranya Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, dan Teguh Jurwano.
m) November-Desember 2012
Bagi bagi uang juga dilakukan Andi Narogong kepada staf Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Komisi II DPR, dan
Bappenas terkait pengusulan dan pembahasan anggaran proyek e-KTP.
n) Desember 2012
DPR menyetujui APBN tahun 2013 yang di dalamnya turut memuat anggaran untuk proyek e-
KTP sebesar 1.492.624.798.000.
o) 2013
KPK membuka penyelidikan kasus e-KTP.
p) 22 April 2014
KPK menetapkan kasus ini naik ke tahap penyidikan dengan menetapkan Sugiharto sebagai
tersangka.
C. SKEMA FRAUD
Dalam kasus E-KTP tersebut termasuk ke dalam skema Korupsi dan Kecurangan Laporan
Keuangan. Dalam skema Korupsi tersebut meliputi : (1) Konflik Kepentingan, (2)
Penyuapan/ Bribery, (3) Gratifikasi Ilegal, (4) Pemerasan Ekonomi, dan (5) money
laundering. Berikut ini penjelasan dari masing-masing skema.
1. Korupsi
Jenis fraud korupsi merupakan kejahatan yang paling terbanyak di negara-negara
berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata
kelola yang baik. Seperti yang terjadi di Negara Indonesia pada tahun 2011-2012
digemparkan dengan kasus korupsi pengadaan E-KTP yang didalangi oleh Sugiharto
(Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri), Irman (Direktur Jenderal
Dukcapil Kemendagri), dan anggota DPR. Kasus ini merugikan keuangan negara sebesar
Rp2,314 triliun. Berikut ini tindakan kejahatan yang telah dilakukan digolongkan ke dalam
sub skema korupsi adalah sebagai berikut:
a. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan adalah konflik yang muncul ketika seorang pegawai bertindak atas
nama kepentingan pihak ketiga selama melakukan pekerjaannya atau atas nama
kepentingan diri sendiri dalam kegiatan yang dilakukannya. Ketika konflik kepentingan
pegawai tidak diketahui oleh perusahaan dan mengakibatkan kerugian keuangan, ini berarti
telah terjadi fraud. Suatu benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan
perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi di
dalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya diambil secara
obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik perusahaan. Berikut ini
konflik kepentingan yang terjadi dalam kasus E-KTP :
Benturan kepentingan yang terjadi antara pejabat Sugiharto dengan atasannya
Irman untuk melakukan skandal pengadaan E-KTP. Tujuannya untuk memperkaya
diri sendiri, orang lain, dan k orporasi. Benturan kepentingan juga melibatkan
anggota DPR untuk melancarkan proses pengadaan E-KTP dari segi penganggaran,
pelelangan, dan pengadaan proyek E-KTP.
Terjadinya konflik kepentingan antara Andi dengan pejabat Irman dan Sugiharto
dalam kasus E-KTP. Andi Agustinus merupakan pengusaha di bidang konveksi
yang ikut terlibat dalam kasus ini sebagai pengusaha pelaksana proyek E-KTP.
Andi terbukti memberikan dana kepada Irman dan Sugiharto untuk melakukan
pemenang lelang dalam pengadaan E-KTP. Sehingga pemenangnya dapat bekerja
sama dengan Andi untuk menjadi sub kontraktornya.
Konflik kepentingan terjadi pada saat Irman dan Sugiharto meloloskan PNRI
sebagai pemenangnya. Dalam proses pelelangan, akhirnya diketahui berdasarkan
serangkaian evaluasi teknis uji coba alat dan “output” bahwa tidak ada peserta
lelang (konsorsium) yang dapat mengintegrasikan Key Manajemen Server (KMS)
dengan Hardwere Security Module (HMS) sehingga tidak dapat dipastikan
perangkat tersebut memenuhi criteria keamanan wajib. Namun Irman dan
Sugiharto tetap memerintahkan Djarat Wisnu Setyawan dan Husni Fahmi
melanjutkan proses lelang sehingga konsorsium PNRI dan konsorsium
Astragraphia dinyatakan lulus.
Konflik kepentingan berikutnya adalah terjadinya hubungan bisnis atas nama
perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family). Dalam
kasus ini Andi Agustinus melibatkan dua saudara kandungnya yakni, Vidi
Gunawan dan Dedi Prijanto dalam proyek E-KTP. Vidi Gunawan menyerahkan
uang 1,5 juta dolar AS kepada Sugiharto.
b. Penyuapan
Penyuapan atau Bribery merupakan tindakan pemberian atau penerimaan sesuatu yang
bernilai dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan orang yang menerima. Penyuapan
ini melibatkan banyak pihak untuk mendapatkan kelancaran dalam pengadaan E-
KTP. Dugaan korupsi itu dilakukan dengan mengatur proses penganggran, pelelangan, dan
pengadaan proyek E-KTP dalam kontrak tahun jamak senialai Rp5,952 triliun. Berikut ini
tindakan penyuapan yang terjadi :
Penyuapan dilakukan untuk melancarkan proses penganggaran, pada November
2009, Gamawan Fauzi meminta Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk
mengubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis Nomor Induk
Kependudukan (NIK) yang semua dibiayai menggunakan Pinjaman Hibah Luar
Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari APBN murni.
Untuk melancarkan pembahasan anggaran E-KTP, Irman dan Sugiharto
mengucurkan uang kepada 54 anggota Komisi II DPR dan juga Ketua DPR saat itu
Marzuki Ali. Selain itu, uang juga mengalir ke pimpinan Badan Anggran (Banggar)
DPR yaitu Melchias Marcus Mekeng selaku ketua Banggar partai Golkar, Wakil
Ketua Banggar Mirwan Amir (Partai Demokrat) dan Olly Dondokambe (PDI-
Pembagian uang untuk seluruh anggota Komisi II DPR dengan rincian :
Ketua Komisi II DPR sejumlah 30 ribu dolar AS,
3 orang Wakil Ketua Komisi II DPR masing-masing 20 ribu dolar AS,
9 orang Ketua Kelompok Franksi Komisi II DPR masing-masing 15 ribu
dolar AS,
37 orang anggota Komisi II DPR masing-masing 5 ribu dolar AS sampai 10
ribu dolar AS.
Tidak hanya individu, partai juga mendapat aliran dana E-KTP yaitu Partai Golkar
sejumlah Rp150 miliar, Partai Demokrat sejumlah Rp150 miliar, PDI Perjuangan
sejumlah Rp80 miliar.
Tindakan Invoice Kickbacks atau menerima aliran dana dari perusahaan rekanan
kepada para pejabat Kemendagri yang mengurus pengadaan E-KTP yaitu
Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Irman, Sugiharto, serta staf Kemendagri, auditor
BPK, Staf Sekretariat Komisi II DPR, staf Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), staf Kementerian Keuangan, panitia pengadaan E-KTP,
hingga Deputi bidang politik dan Keamanan Sekretariat Kabinet.
Tindakan Bid Rigging juga terjadi dalam kasus ini yaitu terjadinya permainan
dalam pemenangan tender atau proses lelang dan pengadaan. Pemenangan ini
diatur oleh Irman dan Sugiharto serta diinisiasi oleh Andi Agustinus yang
membentuk tim Fatmawati yang melakukan pertemuan di rumah toko Fatmawati
milik Andi Agustinus. Andi memberikan uang kepada Irman dan Sugiharto sebesar
1,5 juta dolar AS untuk mendapat pekerjaan sub kontraktor. Sehingga yang
mendapat pemenang adalah konsorsium PNRI dan konsorsium Astagraphia.
Meski pekerjaan PNRI tidak sesuai target dan tidak sesuai kontrak, Irman dan
Sugiharto justru memerintahkan panitia pemeriksa dan penerima hasil membuat
berita acara yang disesuaikan dengan target dalam kontrak sehingga seolah-olah
konsorsium PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai target.
c. Gratifikasi Ilegal
Dalam kasus E-KTP pelaku Andi Agustinus telah melakukan tindakan gratifikasi illegal
dengan motif pemberian uang kepada seseorang memiliki hubungan relasi kuasa yang
bersifat strategis. Maksudnya disini adalah terdapat kaitan berkenaan dengan/ menyangkut
akses ke aset-aset dan control atas aset sumber daya strategis ekonomi, politik, sosial, dan
budaya yang dimiliki oleh orang tersebut. Misalnya panitia pengadaan barang dan jasa atau
lainnya.
Tindakan Andi Agustinus dengan motif memberikan uang sebesar 1,5 juta dolar AS kepada
Irman dan Sugiharto untuk mempengaruhi keputusannya dalam melakukan pemenang
pelelangan pengadaan proyek E-KTP. Tujuannya agar Andi dapat menjadi sub kontraktor
dalam proyek tersebut. Pemberian ini tergolong gratifikasi illegal karena diberikan secara
diam-diam (rahasia) kepada Irman dan Sugiharto. Selain itu tindakan gratifikasi juga
dilakukan kepada anggota DPR untuk memuluskan proyek E-KTP.
d. Pemerasan Ekonomi
Dalam sub skema ini melibatkan Markus Nari untuk memuluskan pembahasan dan
penambahan anggran proyek E-KTP di DPR. Oleh karena itu, Markus meminta uang
kepada Irman sebanyak Rp 5 miliar atas tindakan yang dilakukan tersebut. Markus juga
menghalagi atau merintangi penyidikan yang dilakukan KPK. Selain itu, Markus diduga
memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan tidak benar
dalam persidangan kasus korupsi E-KTP.
e. Money Laundering
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium adanya potensi dugaan tindak pidana
pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP di Kementerian
Dalam Negeri. Indikasi adanya pencucian uang menguat, melihat jumlah kerugian negara
yang mencapai Rp2,3 triliun. Penggunan pasal pencucian uang ini bukan tanpa alasan,
melihat jumlah kerugian negara yang mencapai Rp2,3 triliun. Namun uang yang baru
diterima KPK dari pengembalian sejumlah pihak sekitar Rp236,930 miliar, US$1,3 juta
dan SG$ 368. Anggaran e-KTP yang bersumber dari pemerintah, masuk ke rekening
konsorsium pelaksana bentukan Andi Narogong lewat Tim Fatmawati. Setelah dari
konsorsium, uang itu mengalir lagi ke anggota konsorsium, yang melaksanakan pengerjaan
masing-masing. Dalam proyek e-KTP, setiap anggota memiliki tugas yang berbeda dalam
pengadaan ini. Anggota konsorsium itu di antaranya Perum PNRI, PT LEN Industri, PT
Quadra Solution dan PT Sucofindo (Persero), PT Sandipala Arthaputra. Perum PNRI dan
PT Sandipala Arthaputra bertanggung jawab melaksanakan pekerjaan pembuatan,
personalisasi dan distribusi blangko e-KTP. PT Quadra Solution dan PT LEN Industri
bertanggung jawab melaksanakan pekerjaan pengadaan hardware dan software termasuk
jaringan komunikasi dan data. Sedangkan PT Sucofindo bertanggung jawab melaksanakan
pekerjaan pengadaan helpdesk dan pendampingan. Uang itu mengalir lagi ke perusahaan
lain, karena sebagian pengerjaan proyek e-KTP ini diserahkan ke pihak ketiga atau di-
subkontrakan. Uang-uang itu disinyalir sudah disamarkan menjadi aset-aset, baik di dalam
negeri ataupun luar negeri.
D. RED FLAG
1. Red Flags dari Skema Konflik Kepentingan
Kecurangan konflik kepentingan melibatkan karyawan yang memiliki hubungan dengan pihak
ketiga dimana karyawan dan atau pihak ketiga memperoleh keuangan keuntungan. Penipu
menggunakan pengaruh untuk kepentingan pihak ketiga karena kepentingan pribadi ini pada
pihak ketiga. Red Flags yang timbul dalam kasus E-KTP adalah sebagai berikut:
a) Penemuan hubungan antara karyawan dengan atasan dan pihak ketiga
Penemuan hubungan baik antara Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen
Dukcapil kemendagri dengan atasannya Irman selaku Direktur Jenderal Dukcapil
Kemendagri. Selain itu, hubungan Andi Agustinus dengan Irman dan Sugiharto
terungkap telah mendapat aliran dana atas pemenangan lelang yang diiniasi oleh Andi.
Terungkapnya hubungan rahasia antara Andi Agustinus dengan Setya Novanto selaku
Ketua Fraksi Partai Golkar. Mereka bekerja sama dalam mengkondisikan perusahaan
pemenang lelang pengadaan E-KTP.
b) Pemisahan tugas yang lemah dalam menetapkan kontrak dan menyetujui proses
lelang.
Tersangka Irman, Sugiharto, dan Andi mengabaikan prosedur demi memenangkan
pelelangan pengadaan E-KTP. Dalam proses pelelangan yang dilakukan telah diketahui
bahwa evaluasi teknik uji coba alat dan “output” tidak ada peserta lelang yang dapat
memenuhi kriteria keamanan wajib. Namun, para pelaku Irman dan Sugiharto tetap
meloloskan konsorsium PNRI dan Astragraphia. Oleh karena pemisahan tugas yang
lemah tersebut menyebabkan terpilihnya PNRI tidak sesuai prosedur yang benar.
c) Kecurangan dalam pencatatan transaksi.
Kecurangan ini dilakukan dalam pekerjaan PNRI yang tidak memenuhi target dan tidak
sesuai kontrak. Para tersangka membuat berita acara yang tidak benar seolah-olah
konsorsium PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai target.
2. Red Flags dari Skema Penyuapan/ Bribery
a) Perubahan Gaya Hidup
Andi Agustinus memberikan puluhan aset kepada istrinya Inayah untuk dikelola seperti rumah,
bangunan serta tanah.
Andi memiliki satu unit Toyota Alphard B-30.
Andi membantu istrinya dalam membuka berbagai usaha seperti usaha kos-kosan dan
salon. Selain itu, membuat perusahaan baru yakni PT Selaras Clorin Pratama, PT
Inayah Properti Indonesia. Kemudian PT Prasetya Putra Naya yang diatasnamakan
adik Inayah Raden Gede sebagai pemilik perusahaan.
b) Hubungan antara Andi Agustinus dengan Anggota DPR dan Kemendagri.
Hubungan baik yang terjadi pada Andi dengan para DPR dan Kemendagri adalah untuk
melancarkan pengadaan proyek E-KTP. Para anggota DPR dan Kemendagri menerima aliran
dana yang berasal dari perusahaan rekanan.
c) Kurangnya review atas persetujuan manajemen terhadap laporan anggaran
proyek E-KTP.
Pihak pemerintah kurang melakukan review atas kelengkapan laporan anggran proyek E-
KTP yang telah dibuat. Hal tersebut karena tersangka telah melakukan suap terhadap pihak
yang memeriksa laporan agar anggran tersebut dapat dinaikkan.
2. Red Flags dari Skema Gratifikasi Ilegal
Dokumentasi : adanya dokumen lelang proyek e-ktp yang tidak lengkap.
Hubungan antara karyawan dengan pihak ketiga : Adanya pertemuan rahasia yang
dilakukan di rumah toko Fatmawati milik Andi Agustinus untuk membahas proses
lelang dan pengadaan oleh Irman dan Sugiharto yang dipimpin oleh Andi Agustinus.
Adanya anomali dalam menyetujui vendor yakni terpilihnya PNRI tidak sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
4. Red Flags dari Skema Pemerasan Ekonomi
Dalam skema ini red flags yang muncul adalah adanya hubungan rahasia antara Irman
dengan Markus Nari yang sebelumnya tidak diketahui.
Anggaran dalam proyek E-KTP tinggi, tidak sesuai dengan realisasinya. Hal ini terjadi
karena peran Markus Nari dalam skandal kasus E-KTP berperan sebagai memuluskan
pembahasan dan penambahan anggaran proyek pengadaan E-KTP.
5. Red Flag dari Money Laundering
a) Terjadi transaksi dalam jumlah besar secara tunai maupun transfer kepada
Anggota DPR, Kemendagri, dan Andi Agustinus.
Terjadinya transfer yang tidak biasa (dalam jumlah besar) ke rekening Irman dan
Sugiharto. Irman mendapatkan sejumlah uang atas perbuatannya tersebut sebesar
Rp2,371 miliar, 877,7 ribu dolar AS dan 6 ribu dolar singapura. Selain itu, Sugiharto
menerima sejumlah 3.474.830 dolar AS. Pemberian uang juga dilakukan kepada
anggota DPR dan Kemendagri serta perusahaan korporasi.
E. FRAUD DETECTION
Skema Korupsi
Mengklasifikasikan transaksi berdasarkan vendor, dan mengecek jumlah yang lebih
tinggi dari yang diperkirakan yang tidak biasa dan tidak dapat dijelaskan.
Investigasi vendor secara acak, ownernya, dan hubungannya dengan karyawan.
Mereview kontrak dan persetujuan invoice secara periodik.
Memverifikasi keabshaan vendor walaupun hanya sample.
Mencari transaksi pihak yang mempunyai hubungan, dan mereview nya setiap tahun.
F.1.Lingkungan Pencegahan
Tata Kelola Pemerintah yang Bersih (Good Governance)
Pemerintah yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh
berbagai tingkatan pemerintahan Negara yang berkaitan dengan sumber-sumber social, budaya,
politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya pemerintahan yang bersih (Clean Governance ), adalah
model pemerintahan yang efektif, efisien,, jujur, transparan, dan bertanggung jawab, dengan
menerapkan asas : Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, Fairness,
Participation, Rule of law, strategic vision. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata
pemerintahan yang baik dan efektif (Good Governance) dan bersih (Clean Governance), bebas
dari praktik KKN. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-
prinsip pokok good governance, setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas
program, yakni :
1) Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan.
Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan DPRD,
mutlakdilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya
pemerintahan.
2) Kemandirian lembaga peradilan,
3) Profesionalitas dan intergritas aparatur pemerintah,
4) Penguatan partisipasi
5) Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.
Tone At The Top
Sikap pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi untuk tidak terlibat dan membudayakan
tindakan anti fraud. Upaya dan komitmen pencegahan fraud harus berasal dari pimpinan terlebih
dahulu. Setya Novanto selaku Ketua DPR dan berada pada posisi puncak seharusnya menjadi
contoh bagi anggotanya untuk tidak melakukan fraud. Namun justru dia yang menjadi pelaku
fraud. DPR sebagai lembaga kontrol pemerintah seharusnya menjadi role model bagi terwujudnya
pemerintahan yang bersih, namun nyatanya DPR menjadi lembaga paling korup berdasarkan
survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis Transparency International Indonesia
(TII), pada 7 Maret 2017.
F.2.Persepsi Deteksi
Beberapa cara untuk meningkatkan persepsi deteksi meliputi:
Pengawasan (Surveillance)
Idealnya, strategi atau sistem pencegahan melalui mekanisme pengawasan yang efektif itu mulai
bisa diberlakukan sejak proses perencanaan proyek, kelayakan, penghitungan anggaran proyek,
tahap lelang, pelaksanaan atau realisasi proyek hingga tahap memonitor spesifikasi material
proyek. Mekanisme pencegahan sekaligus pengawasan ini sudah bisa diterapkan berkat dukungan
teknologi informasi. Sejumlah perusahaan besar swasta asing menggunakan teknologi dimaksud
sejak perencanaan proyek, kalkulasi anggaran hingga pengontrolan spesifikasi material proyek.
Pada kasus proyek E-KTP yang bermasalah, KPK tentu menemukan beberapa modus.
Kasus proyek E-KTP mencerminkan lemahnya pengawasan lintas instansi. Lemahnya koordinasi
pengawasan lintas instansi mendorong perilaku tidak peduli pada aspek prudent (kehati-hatian).
Pada tahap persetujuan dan pencairan anggaran proyek ini, jelas bahwa aspek prudent diabaikan.
Kalau saja pengawasan lintas instansi terkoordinasi dengan efektif, kasus proyek E-KTP pasti
tidak pernah ada.
Surprise Audit
Surprise Audit efektif untuk meningkatkan Persepsi Deteksi. Operasi Tangkap Tangan (OTT)
yang dilakukan KPK akan sangat bermanfaat mencegah sebelum sebuah kejahatan menjadi besar.
OTT KPK dapat sampai ke level Kementrian, dan apabila saat itu KPK datang untuk melakukan
audit dadakan, besar kemungkinan kasus E-KTP akan terungkap lebih cepat.