Anda di halaman 1dari 8

Fiqih Tentang Masalah Wanita

Posted by Admin pada 25/09/2009

Darah Wanita

Bagi kebanyakan wanita, haid dan nifas identik dengan tidak menjalankan shalat atau puasa. Padahal
banyak hal lain yang juga perlu diketahui kaitannya dengan ibadah saat seorang wanita mendapatkan
haid atau nifas.

Saudariku muslimah…

Permasalahan darah yang keluar dari kemaluan wanita merupakan permasalahan yang penting. Butuh
untuk diterangkan karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta`ala. Kita
lihat kenyataan yang ada banyak wanita buta terhadap permasalahan yang justru lekat dengan dirinya
ini. Karena itu pada tampilan perdana dalam rubrik ini kami coba menerangkan kepada pembaca seputar
masalah ini secara ringkas, semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, amin… ! Dan semoga
menjadi simpanan amal kebajikan bagi kami pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak, kecuali
hamba yang menemui Allah dengan hati yang selamat… !

Kami angkat permasalahan ini dengan menerjemahkan secara ringkas kitab yang disusun oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berjudul “Risalah fid Dima Ath Thabi`iyyah Lin Nisa’
disertai dengan tambahan dari sumber yang lain .

Saudariku Muslimah…

Wanita dengan kodratnya yang ditentukan dengan keadilan Illahi mengalami masa-masa di mana ia
mendapatkan darah keluar dari organnya yang khusus. Darah tersebut bisa jadi menahan dia dari
melaksanakan ibadah shalat dan puasa, dan bisa pula ia tetap dibolehkan shalat dan puasa karena
darah tersebut tidak mengeluarkan dirinya dari hukum wanita yang suci.

Adapun darah yang biasa keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid, istihadhah dan darah nifas.
Untuk yang awal, kami akan menyinggung masalah haid.

Haid

Secara bahasa, haid adalah mengalirnya sesuatu. Adapun pengertiannya yang syar`i, haid adalah darah
yang keluar pada waktu-waktu tertentu dari organ khusus wanita secara alami tanpa adanya sebab,
bukan karena sakit, luka atau keguguran atau selesai melahirkan. Haid ini keadaannya berbeda-beda
tergantung keadaan masing-masing wanita.

Ulama berselisih pendapat dalam masalah kapan usia awal seorang wanita mengalami haid. Berkata Ad
Darimi rahimahullah setelah menyebutkan perselisihan yang ada: “Semua pendapat ini menurutku salah!
Karena yang menjadi rujukan dalam semua itu adalah adanya darah. Maka pada keadaan dan umur
berapa saja didapatkan adanya darah yang keluar dari kemaluan maka itu harus dianggap darah haid,
wallahu a`lam”.

Pendapat Ad Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah ini dibenarkan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al
Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut. Allah
dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada ada
tidaknya darah, bukan batasan umur .

Dalam permasalahan lamanya masa haid juga ada perselisihan pendapat. Ibnul Mundzir rahimahullah
berkata: “Berkata sekelompok ulama: “Tidak ada batasan minimal dan tidak pula batasan maksimal hari
haid“. Pendapat ini yang dibenarkan Syaikh Ibnu Utsaimin dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Pertama, Allah Ta`ala berfirman :

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh karena itu
hendaklah kalian menjauhi para istri ketika mereka sedang haid dan jangan kalian mendekati mereka
hingga mereka suci dari haid“. (Al Baqarah: 222)

Dalam ayat di atas Allah menjadikan batasan larangan menyetubuhi istri yang sedang haid adalah
sampai selesainya haid (suci), bukan batasan hari. Jadi hukum haid berlaku selama ada darah yang
keluar berapapun lama waktunya.

Kedua, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang haid saat ia
sedang melakukan ibadah haji :

“Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah
hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjadikan batasan larangan thawaf sampai suci dari haid dan beliau
tidak menetapkan batasan bilangan hari tertentu, jadi patokannya ada tidaknya darah.
Ketiga, batasan-batasan yang disebutkan oleh para fuqaha dalam masalah ini tidak ada dalilnya dalam Al
Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam Padahal hal ini sangat perlu
untuk diterangkan bila memang harus ada pembatasan.

Keempat, banyaknya perbedaan dan pertentangan pendapat dari mereka yang membuat batasan. Ini
menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang dapat dituju, namun ini sekedar ijtihad yang
bisa benar dan bisa salah.

Dengan demikian, setiap kali wanita melihat darah keluar dari kemaluan bukan disebabkan luka atau
semisalnya maka darah tersebut darah haid tanpa ada batasan waktu dan umur. Kecuali bila darah itu
keluar terus menerus tidak pernah berhenti atau berhenti hanya sehari dua hari dalam sebulan maka
darah itu adalah darah istihadhah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Pada asalnya setiap darah yang keluar dari rahim adalah
darah haid sampai tegak bukti bahwa darah itu adalah istihadhah“.

Haidnya Wanita Hamil

Apakah wanita hamil mengalami haid? Secara umum apabila wanita hamil ia akan terhenti dari haidnya.
Namun ada di antara wanita hamil yang tetap keluar darah dari kemaluannya pada masa-masa haidnya,
dan ini dihukumi sebagai darah haid karena tidak ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah yang
menyebutkan mustahilnya haid bagi wanita hamil. Ini adalah pendapatnya Imam Malik , Syafi’i, dan yang
dipilih oleh Ibnu Taimiyah.

Kejadian Haid

Ada beberapa macam kejadian haid.

Pertama, bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan haidnya enam hari.
Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun
belum berjalan enam hari haidnya berhenti.

Kedua, terlambat atau maju dari jadwal yang ada. Misal kebiasaan haid seorang wanita jatuh pada akhir
bulan, namun suatu ketika ia melihat darah haidnya keluar pada awal bulan, atau sebaliknya.

Terhadap dua keadaan di atas terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Namun yang benar,
kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka ia haid. Dan kapan ia tidak melihat darah
berarti ia suci, sama saja apakah waktu haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan sama
saja apakah waktunya maju atau mundur. Ini merupakan pendapatnya Imam Syafi`i dan yang dipilih oleh
Ibnu Taimiyah.

Ketiga, warna kekuningan atau keruh yang keluar dari kemaluan. Apabila cairan ini keluarnya pada masa
haid atau bersambung dengan masa haid sebelum suci maka dihukumi sebagai darah haid. Namun bila
keluarnya di luar masa haid, cairan tersebut bukan darah haid. Ummu `Athiyah radliallahu’anha
mengabarkan: “Kami dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh dan cairan kuning yang
keluar setelah suci dari haid”.(HR. Abu Daud. Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya
namun tanpa lafaz “setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk hadits ini dengan Bab “Cairan
kuning dan keruh yang keluar pada selain hari-hari haid”.)

Keempat, keringnya darah di mana si wanita hanya melihat sesuatu yang basah (ruthubah) seperti lendir
dan semisalnya. Kalau ini terjadi pada masa haid atau bersambung dengan waktu haid sebelum masa
suci maka ia terhitung haid. Bila di luar masa haid maka ia bukan darah haid, sebagaimana keadaan
cairan kuning atau keruh.

Hukum-Hukum Haid

Banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan haid namun karena terbatasnya ruang maka kami
mencukupkan dengan apa yang kami sebutkan berikut ini:

Shalat dan Puasa

Wanita haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengabarkan hal ini ketika ada wanita yang mempertanyakan
keberadaan kaum wanita yang dikatakan kurang agama dan akalnya, beliau bersabda :

“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan
setengah agamanya“. (HR. Bukhari dalam shahihnya no. 304, 1951 dan Muslim no. 79)

Adapun puasa wajib (Ramadlan) yang dia tinggalkan harus dia qadha (ganti) di hari yang lain saat suci,
sedangkan shalat tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya, berdasarkan hadits Aisyah radliallahu’anha,
ketika ada yang bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadla shalatnya bila
telah suci dari haid ?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita
Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau tidak memerintahkan
kami untuk mengganti shalat“. (HR. Bukhari no. 321)
Dalam riwayat Muslim Aisyah mengatakan: “Kami dulunya ditimpa haid maka kami hanya diperintah
mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat“. (HR. Muslim no. 69)

Thawaf di Baitullah

Wanita haid diharamkan untuk thawaf di Ka`bah baik thawaf yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang ditimpa haid saat sedang
melakukan amalan haji :

“Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah
hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)

Adapun amalan haji yang lain seperti sa`i, wuquf di Arafah, dan sebagainya tidak ada keharaman untuk
dikerjakan oleh wanita yang haid.

Jima’ (bersetubuh)

Diharamkan bagi suami untuk menggauli istrinya yang sedang haid pada farji (kemaluannya) dan
diharamkan pula bagi istri untuk memberi kesempatan dan memperkenankan suaminya untuk melakukan
hal tersebut. Karena Allah ta`ala berfirman:

“…maka jauhilah (tidak boleh jima`) oleh kalian para istri ketika haid dan janganlah kalian mendekati
mereka (untuk melakukan jima`) hingga mereka suci“. (Al Baqarah: 222)

Selain jima`, dibolehkan bagi suami untuk melakukan apa saja terhadap istrinya yang sedang haid
karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (yakni jima`)“. (HR. Abu Daud no. 2165, dishahihkan oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau “Shahih Sunan Abi Daud” no.
hadits 1897)

Talak

Ketika istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah ta`ala:

“Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat
mereka dapat (menghadapi) iddahnya…”. ( Ath Thalaq: 1)
Ibnu Abbas radliallahu’anhuma menafsirkan: “Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam
keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa
suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya
(menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa
menceraikannya”. (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)

Jadi bila talak hendak dijatuhkan maka harus pada masa suci si wanita (tidak dalam keadaan haid) dan
belum disetubuhi ketika suci tersebut. Demikian hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha’, Mujahid, Al
Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin Mihran dan Muqatil bin Hayyan. (Lihat Tafsirul Qur’anil Adhim
4/485)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan: “Ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam
pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni boleh mentalaknya walaupun dalam keadaan haid):

Pertama, apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat
bersetubuh dengan si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada `iddah bagi
si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.

Kedua, apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil karena lamanya `iddah wanita hamil yang dicerai
suaminya adalah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya.
Allah ta`ala berfirman :

“Wanita-wanita yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya“.
(Ath Thalaq: 4)

Ketiga, apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus dirinya dengan
mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya atau diistilahkan khulu`.

Hal ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radliallahu’anhuma dalam shahih Bukhari (no. 5273, 5374, 5275,
5276). Disebutkan bahwasanya istri Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam lalu menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang pernah diberikan kepadanya dan
memerintahkan Tsabit untuk menerima pengembalian tersebut dan menceraikan istrinya. Dalam hadits
ini Nabi sama sekali tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.

Masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya


Perhitungan masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak hamil adalah
dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah ta`ala :

“Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama tiga quru…” (
Al Baqarah: 228)

Mandi Haid

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu’anha :

“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah selesai haidmu
mandilah dan shalatlah“. (HR. Bukhari no. 325)

Yang wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut. Dan
yang utama melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi
wasallam ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau
sebagaimana dikabarkan Aisyah bersabda :

“Ambillah secarik kain yang diberi misik (wewangian) lalu bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya:
“Bagaimana cara aku bersuci dengannya ?” Nabi menjawab : “Bersucilah dengannya”. Wanita itu
mengulangi lagi pertanyaannya. Nabi menjawab: “Subhanallah, bersucilah”. Aisyah berkata: Maka aku
menarik wanita tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya: “Ikutilah bekas darah dengan kain
tersebut“. (HR. Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60)

Atau lebih lengkapnya dalam riwayat Muslim (no. 61) bahwasanya Asma bintu Syakl bertanya tentang
tata cara mandi haid maka beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

“Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia bersuci dan membaguskan
bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai
ke akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia ambil secarik kain yang
diberi misik lalu ia bersuci dengannya…”. (HR. Muslim no. 61)

Apabila wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat yang ada, wajib baginya untuk segera
mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada
air padanya atau ada air namun ia khawatir bahaya bila memakainya atau ia sakit yang akan berbahaya
bila ia memakai air, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya
udzur. Wallahu a`lam bishawwab. Demikian pembahasan haid secara ringkas yang dapat kami
persembahkan untukmu Muslimah….!

Anda mungkin juga menyukai