29 06 2018 Leukoplakia PDF
29 06 2018 Leukoplakia PDF
Hal
PENDAHULUAN .......................................................................................... 2
A. Definisi ........................................................................................... 4
B. Etiogenesis ..................................................................................... 4
C. Patofisiologi ……………………………………………………… 5
D. Klasifikasi...………………………………………………………. 5
E. Diagnosis ......................................................................................... 9
F. Terapi ............................................................................................... 10
G. Prognosis ......................................................................................... 11
SIMPULAN .................................................................................................... 12
SARAN ………………………………………………………………………. 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah leukoplakia pertama kali digunakan oleh Schimmer pada tahun 1877, untuk
menerangkan sebuah lesi putih pada lidah yang kemungkinan merupakan gambaran
klinis glositis sifilis. Leukoplakia memiliki gambaran tipis, berupa bercak putih pada
gusi, pipi bagian dalam dan kadang-kadang ditemukan pada lidah. Inisiden terjadinya
leukoplakia pada suatu populasi sekitar 0,1% (Neville dan Day, 2002).
Mukosa rongga mulut merupakan bagian yang paling mudah mengalami
perubahan, karena lokasinya yang sering berhubungan dengan pengunyahan, sehingga
sering pula mengalami iritasi mekanis. Di samping itu, banyak perubahan yang sering
terjadi akibat adanya kelainan sistemik. Perlu diingat bahwa kelainan yang terjadi pada
umumnya memberikan gambaran yang mirip antara yang satu dengan yang lainnya,
sehingga dapat menimbulkan kesukaran dalam menentukan diagnosis yang tepat.
Meskipun leukoplakia tidak termasuk dalam jenis tumor, lesi ini sering meluas
sehingga menjadi suatu lesi pre-cancer (Hasibuan, 2004). Untuk menentukan
diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis
maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang serupa
dengan “lichen plannus” dan “white sponge naevus” (Ibsen, 2004).
Faktor-faktor yang berperan adalah iritasi kimia melalui tembakau atau faktor
mekanis melalui pemasangan gigi palsu yang tidak baik, mengkonsumsi alkohol dan
infeksi Candida terkena iritan terus-menerus dan Human Papiloma Virus sero tipe 16.
Karena gambaran klinisnya berupa suatu plak putih pada permukaan membrana
mukosa dan leukoplakia oral lebih sering terjadi pada pria, maka penggolongannya
sering diabaikan.
Kendala dalam menegakkan diagnosis leukoplakia masih sering terjadi. Hal ini
disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti etiologi leukoplakia yang belum jelas
serta perkembangan yang agresif dari leukoplakia yang mula-mula hanya sebagai
hiperkeratosis ringan tetapi pada akhirnya menjadi karsinoma sel skuamosa dengan
angka kematian yang tinggi. Di Asia Tenggara, frekuensi tumor ganas rongga mulut
lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara lainnya di seluruh dunia. Keadaan yang
2
demikian diduga ada hubungannya dengan kebiasaan mengunyah tembakau yang
dilakukan sebagian masyarakat di kawasan Asia.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
WHO mendefinisikan leukoplakia sebagai plak atau patch putih yang
tidak bisa dikategorikan secara klinis atau patologis kedalam penyakit lain. Van
der waal et al (2009). mengusulkan adanya penambahan pemeriksaan
histopatologis, dan mendefinisikan leukoplakia sebagai lesi atau plak putih
yang telah dibuktikan, secara klinis dan histopatologis, bukan sebagai penyakit
berlesi putih atau gangguan lain.
B. Etiopatogenesis
Penyebab leukoplakia bersifat multifaktorial dan belum diketahui secara
menyeluruh. Predisposisi utama leukoplakia terdiri dari beberapa faktor yaitu
faktor lokal, faktor sistemik dan malnutrisi vitamin. Faktor lokal yang
diperkirakan menjadi penyebab leukoplakia meliputi trauma yang
menyebabkan iritasi kronis, misalnya akibat gigitan tepi atau akar gigi yang
tajam, iritasi dari gigi yang malposisi, kebiasaan menggigit-gigit jaringan
mulut, pipi maupun lidah. Faktor lokal lain yang menjadi penyebab terjadinya
leukoplakia adalah penggunaan tembakau dalam bentuk rokok atau non-rokok,
kebiasaan mengunyah kapur sirih, konsumsi alkohol dan kolonisasi bakteri.
Pada waktu merokok, terjadi iritasi pada jaringan mukosa mulut yang
disebabkan oleh asap rokok, panas ketika merokok dan zat-zat yang terkandung
dalam tembakau yang ikut terkunyah. Hal ini dibuktikan dengan insidensi
leukoplakia tertinggi ditemukan pada perokok. Kebiasaan mengunyah biji
pinang yang dicampur kapur sirih, (terutama di daerah asia tenggara dan
selatan) juga meningkatkan risiko terjadinya leukoplakia. Konsumsi alkohol
sering berkaitan dengan kanker mulut daripada displasia epitelial. Faktor risiko
leukoplakia yang berisiko tinggi untuk berubah menjadi suatu keganasan
adalah infeksi dengan Human Papilloma Virus (HPV), dimana protein
onkogenik seperti HPV-16L1 dapat meningkatkan karsinogenesis.
Pada penderita kandidiasis kronis dapat ditemukan gambaran yang
menyerupai leukoplakia. Infeksi Candida juga berperan dalam perubahan
menjadi keganasan dan faktor risiko tertinggi perubahan menjadi kanker
4
(Roed-Petersen, 1972; Banoczy, 2007; Krogh, 1987). Untuk mengetahui
diagnosis pasti perlu dilakukan pemeriksaan klinis, histopatologi dan latar
belakang etiologi terjadinya lesi.
Banoczy (2007) menemukan adanya penurunan signifikan pada vitamin
A, B12, C, Beta-carotene dan asam folat pada pasien dengan leukoplakia.
Terdapat adanya perubahan pada perkembangan leukoplakia lebih pada area
atrofi epitelial dan kondisi yang berkaitan dengan hal tersebut meliputi
defisiensi besi, vitamin dan fibrosis submukus mulut. Mutasi p53 dari sel juga
didapatkan pada penderita leukoplakia yang merokok dan minum alkohol.
C. Patofisiologi
Perubahan patologis primer yang terdapat pada leukoplakia adalah
diferensiasi abnormal dari epitel mukosa dengan ditandai peningkatan aktivitas
keratinisasi pada permukaan selnya yang memproduksi penampakan klinis
yang mukosa yang berwarna putih. Proses ini juga dibersamai dengan
perubahan ketebalan dari jaringan epitelial. Sebagai contoh, epitel dapat
menunjukkan tanda atrofi atau akantosis (penebalan stratum spinosum), dan
kedua tanda ini dapat dijumpai dalam lesi. Pada eritroplasia, penampakan klinis
mukosa berwarna merah merupakan hasil dari atrofi epitel dan
berkurang/menghilangnya keratin.
Dasar molekuler pada perubahan tersebut belum diketahui secara pasti.
Namun, beberapa data penelitian menyebutkan adanya perubahan ekspresi
onkogen/TSG, ekspresi gen keratin, perubahan siklus sel, akumulasi stres
oksidatif dan displasia epitel berperan dalam perubahan yang terjadi pada
leukoplakia (Kawanishi S & Murata M, 2006).
D. Klasifikasi
Leukoplakia biasanya homogen dan kebanyakan bersifat jinak.
Leukoplakia non-homogen—lesi dominan putih atau percampuran putih dan
merah (eritroleukoplakia) dengan tekstur ireguler yang dapat berbentuk datar,
noduler, eksofitik, atau papiler/veruka—cenderung berpotensi ganas. Fitur
histologis kedua jenis leukoplakia bervariasi dan dapat meliputi ortokeratosis
atau parakeratosis dalam berbagai tingkat keparahan, inflamasi ringan, dan
displasia.
5
Gambar 1. Homogenous Leukoplakia
6
lidah. Sering disebabkan oleh reaktivasi dari Epstein Barr-Virus (van
der Waal et al., 1997)
7
Gambar 4. Sublingual keratosis (Scully dan Felix, 2005)
8
Gambar 6. Oral hairy leukoplakia (Cade, 2017)
E. Diagnosis
Diagnosis definitif leukoplakia dari penemuan lesi putih di area mukosa
oral pada saat pemeriksaan fisik tanpa ditemukannya etiologi seperti riwayat
merokok, infeksi, riwayat keganasan pada anamnesis atau pemeriksaan fisik.
Diagnosis ditegakkan setelah mengeksklusi diagnosis diferensial lain yang
mungkin (Gambar 7), dengan melakukan penggalian riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, dan tindakan biopsi apabila diperlukan.
9
Gambar 7. Diferensial diagnosis leukoplakia
F. Terapi
Leukoplakia berpotensi untuk menjadi keganasan, ketika menghadapi
dua atau tiga lesi, pilihan terapi adalah pembedahan. Pada leukoplakia multipel
atau berukuran besar, pembedahan menjadi tidak praktis karena akan
mengakibatkan deformitas yang tidak dapat diterima atau disabilitas
fungsional. Terapi dapat berupa pembedahan cryo (cryosurgery), pembedahan
laser (laser surgery) atau menggunakan bloemycin topikal. Akan tetapi, pada
30% kasus yang ditangani, leukoplakia dapat terjadi kembali dan terapi tidak
dapat menghentikan beberapa leukoplakia berubah menjadi squamous cell
carcinoma (Holmstrup et al., 2006; Bagan et al., 2003).
Leukoplakia idiopatik, leukoplakia non-homogen, leukoplakia pada
daerah risiko tinggi mulut dan leukoplakia yang menunjukkan displasia
epitelial tingkat moderat atau berat, serta leukoplakia yang mempunyai faktor
risiko berubah menjadi keganasan harus diterapi secara agresif. Perubahan
warna, tekstur atau ukuran dan penampakan leukoplakia harus diperhatikan
sebagai kemungkinan perubahan keganasan (Lodi dan Porter, 2008).
Menurut Longshore dan Camisa, berikut tatalaksana leukoplakia:
10
• Hilangkan semua faktor penyebabnya
• Tidak ada displasia atau ada displasia ringan → bedah eksisi / operasi
laser pada lesi pada ventral / lateral lidah, lantai mulut, langit-langit
lunak dan orofaring. Observasi dan tindak lanjut untuk semua lokasi
anatomi lainnya
• Adanya displasia sedang atau berat → bedah eksisi atau terapi laser
adalah perawatan pilihan
• Lesi merah (erythroplakia atau leukoerythroplakia) → bedah adalah
yang terbaik
• Proliferative verrucous leukoplakia → bedah lengkap eksisi / operasi
laser jika memungkinkan
• Evaluasi tindak lanjut untuk semua lesi (Longshore dan Camisa, 2002)
G. Prognosis
Apabila permukaan jaringan yang terkena lesi leukoplakia secara klinis
menunjukkan hiperkeratosis ringan maka prognosisnya baik. Tetapi, bila telah
menunjukkan proses diskeratosis atau ditemukan adanya sel-sel atipia maka
prognosisnya kurang menggembirakan, karena diperkirakan akan berubah
menjadi suatu keganasan.
Leukoplakia menggambarkan resiko keganasan rendah hingga sedang
yang dapat seluruhnya diangkat atau tidak, dan keputusan sebaiknya
mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti lokasi dan ukuran. Baik cara bedah
dan non-bedah menunjukkan efektivitas yang besar dalam penyesuaian derajat
dysplasia. Terapi bedah leukoplakia dapat diterapkan melalui bedah
konvensional. Agen penyebab leukoplakia seharusnya dihindarkan hingga terapi
selanjutnya berhasil. Sekalipun pemberian asam retinoat dan beta karotin
memiliki keampuhan pada leukoplakia. Efek samping dan kontraindikasi agen
antioksidan, dengan pengecualian likopen, penggunaannya memerlukan kontrol
dengan seksama. Saat ini, percobaan randomisasi terkontrol untuk terapi
leukoplakia tidak menunjukkan bukti terapi yang efisien dalam mencegah
transformasi keganasan dan kekambuhan (Arruda et al., 2016).
11
BAB III
SIMPULAN
Leukoplakia merupakan lesi putih keratosis berupa bercak atau plak pada mukosa
mulut yang tidak dapat diangkat dan berbeda dengan penyakit lain di dalam mulut.
Predisposisi leukoplakia terdiri atas beberapa faktor yang multipel yiatu: faktor lokal,
faktor sistemik, dam malnutrisi vitamin. Perubahan patologis primer yang terdapat
pada leukoplakia adalah diferensiasi abnormal dari epitel mukosa.
Lesi leukoplakia pada umumnya sukar dibedakan dengan lesi berwarna putih
lainnya yang juga terdapat di dalam rongga mulut. Karenanya, diperlukan adanya
diferensial diagnosis atau diagnosis banding leukoplakia. Untuk memastikan diagnosis
leukoplakia dengan lesi berwarna putih lainnya, diperlukan pemeriksaan
histopatologis atau bila perlu dilakukan biopsi. Perawatan yang dilakukan adalah
dengan pembedahan cryo (cryosurgery), pembedahan laser (laser surgery) atau
menggunakan bloemycin topical pada lesi. Meskipun prognosis leukoplakia pada
umumnya baik, apabila pada pemeriksaan ditemukan adanya proses diskeratosis, maka
prognosisnya kurang baik. Karena lesi praganas ini bisa berubah menjadi suatu
keganasan, sebaiknya pemeriksaan histopatologis yang teliti diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
12
BAB IV
SARAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Arruda JAA, Alvares PR, Sobral APV, Mesquita RA. 2016. AReview of the Surgical
and Nonsurgical Treatment of Oral Leukoplakia. J Dent & Oral Disord, 2 (2):
1009.
Banoczy J. (2007). Oral leukoplakia and other white lesions of the oral mucosa related
to dermatological disorders. Journal of Cutaneous Pathology, 10: 238-256
Brouns ER, Baart JA, Bloemena E, Karagozoglu H, van der Waal I (2013). The
relevance of uniform reporting in oral leukoplakia: definition, certainty factor
and staging based on experience with 275 patients. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal 18(1):e19-26
Burket. Lesi merah dan lesi putih pada mukosa mulut. Dalam Ilmu Penyakit Mulut,
Diagnosis dan terapi. Alih Bahasa : Drg. P. P. Sianita Kurniawan. Edisi
kedelapan. 1994: 299-316.
Guilgen NGBV, Kang S, Tommasi MHM, Vieira I, Machado MAN, Lima AAS
(2014). Oral erythroleukoplakia – a potentially malignant disorder. Polski
Przeglad Otorynolaryngologiczny 4: 20-24
Kayalvizhi EB, Lakshman VL, Sitra G, Yoga S, Kanmani R, Megalai N (2016). Oral
leukoplakia: A review and its update. Journal of Medicine, Radiology,
Pathology & Surgery 2(2):18-22
14
Longshore SJ, Camisa C (2002). Detection and management of premalignant oral
leukoplakia. Dermatol Ther 15: 229-235
Roed-Petersen B, Gupta PC, Pindborg JJ, Singh B (1972). Association between oral
leukoplakia and sex, age, and tobacco habits. Bull World Health Organ 47:13-
9
Van der Waal, I (2009) Potentially malignant disorders of the oral and oropharyngeal
mucosa; terminology, classification and present concepts of management. Oral
Oncol 45: 317-323
Van der Waal I, Schepman KP, van der Meij EH, Smeele LE (1997) Oral leukoplakia:
A clinicopathological review. Oral Oncol 33: 291-301
15