Anda di halaman 1dari 17

NAMA KELOMPOK :

Niluh putu emilia suryaningsih (21)


Ni putu thrisna wulan sari (24)
Ida ayu putu pratiwi (13)
PENDAHULUAN
Bali sebuah pulau mungil menyimpan berbagai ragam keindahan alam dan beraneka
keunikan tradisi, adat dan budaya. Munculnya keunikan budaya tidak terlepas dari peran
masing-masing komunitas masyarakt loka-tradisional (Desa Pakraman) yang dijiwai oleh
non desa, kala dan patra atau desa mawacara. Exsotis pantangan alam, tradisi, adat, agama
dan budayanya telah lama mengantarkan wajah Bali menuju panggung perhelatan pariwisata
dunia. Di mata dunia, Bali sering disebut sebagai the last paradise. Pulau Dewata pulau
kahyangan dan pulau seribu pura. Sebutan-sebutan ini tidak lepas dengan eksistensi
keagamaan masyarakat. Bali mayoritas penganut Hinduisme. Dan pura terkecil sampai yang
terbesar, pura keluarga sampai kahyangan jagat mengisi relung-relung pulau Bali sejak
berabad-abad yang lau. Konsep inilah pada dasarnya masyarakat Bali tradisional memandang
alam Bali suci dan sacral dan istana para Dewata, sehingga dibuatkan pura sebagai tempat
suci.
Untuk menjaga kesucian kawasan suci dan membedakan dengan kawasan yang profan/tak
sakral, secara umum konsep tata ruang pulau ini dibagi menjadi tri angga “tiga struktur
badari” yakni uttamaning angga “kepala” (gunung, danau dan hutannya): madyaning anga
“badan” (daerah pemukiman, kota): dan nistaing angga “kaki” (pantai dan lautan). Walaupun
demikian, ketiga angga “badan” ini juga dibangun berbagai macam pura yang memiliki
fungsi dan peranan tertentu.
Salah satu Pura Kahyangan Jagat yang penting keberadaannya di Bali, terutama bagi
kesejahteraan dan kemakmuran ialah Pura Ulun danu Beratan. Secara adminstratif, pura ini
terletak di Desa Candikuning, Kecamatan Baturitu, Kabupaten Tabanan. Sepanjang sejarah
masyarakat Bali, pura ini memiliki kedudukan penting bagi masyarakat Hindu dan
keberadaan subak yang ada idi beberapa Kabupaten di Bali. Oleh karena perjalanan sejarah
yang cukup panjang, maka masalah yang timbul menjadi masalah multidimensional. Hal
terpenting adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap keberadaan Pura Ulun Danu
Beratan yang mengandung nilai-nilai keagamaan. Kurangnya pemahaman ini mungkin
disebabkan oleh usia pura ini cukup tua, yang telah melewati berbagai rangkaian generasi,
sehingga nilai-nilai yang terwariskan dari pura ini mengalami berbagai rintangan atau telah
diubah oleh situasi dan berbagai macam kepentingan. Oleh karena itu terjadi berbagai
penysutan informasi mengenai keberadaan Pura Kahyangan Jagat. Oleh karena itu,
berdampak kurang paham dan mengertinya masyarakat yang mewarisi pura ini terutama umat
Hindu di Bali Zuhro (2009:202) menyatakan “ketiadan pemahaman sejarah menjadi titik
lemah dalam memahami sebuah masyarakat yang masih memiliki keterkaitan yang sangat
kuat terhadap adat istiadat dan agama”. Dengan mengenal sejarah manusia bisa bercermin
terhadap masa lalu, begitu pula dengan sejarah manusia dapat menatap masa depannya.
Munculnya permasalahan ini juga tidak bisa ditampik karena arus globalisasi dan
modernisasi telah memporakporandakan tatanan nilai kearifan lokal yang tersimpan di Pura
Ulun danu Beratan. Oleh karena itu masalah-masalah ini peru dicarikan solusina. Salah satu
solusinya adalah menggali kembali untaian-untaian sejarah yang telah lama terpendam oleh
berbagai keadaan dan kondisi yang dialami Pura Ulun danu Beratan dan masyarakatnya.
Di samping itu, untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya eksistensi Pura Ulun Danu
Beratan dan krisis dimensional yang dialami dunia. Oleh karena itu Gebug Satak Beratan
“pengempon khusu Pura Ulun Danu Beratan dan masyarakat Hindu akan mengadakan
Tawur Agung Panca Balikrama dan berbagai rentetan upacara yang menjadi satu dalam
kesatuan struktur. Diadakannya upacara ini utamanya dimaksudkan untuk memohon
kerahayuan keharmonisan seperti cita-cita utama Tri Hita Karana tiga penyebab
keharmonisan. Keharmonisan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, manusa dengan
manusia, dan manusia dengan lingkungan.
1. PENGERTIAN PURA
A. Pengertian Pura
Sebelum melangkah menuju pada keberadaan Pura Ulun Danu Beratan, alangkah
baiknya terlebih daulu menelusuri definisi Pura. Kata Pura memiliki beberapa makna dan
pernah mengalami berbagai perubahan istilah dan makna. Di India, daerah kelahiran agama
Hindu, Pura disebut dengan Mandir. Dwagrha dan lain sebagainya. Di Bali sebelum
Majapahit memancangkan kekuasaannya, istilah Pura disebut dengan Ulon “hulu”,
selanjutnya menjadi Hyang seperti Hyang Api, Hyang Tanda, Hyang Karimana, Hyang Soka.
Nama-nama Hyang ini banyak disebutkan dalam prasasti Bali Kuni. Seiring perkembangan
jaman, Hyang berubah menjadi Kahyangan atau Prahyangan. Bahasa Jawa Kuno juga
mengadopsi kata Pura dan Bahasa Sansekerta. Kata Pura memiliki arti kata istana keratin,
tempat tinggal raja, ibu kota, kerajaan.
Setelah kerajaan Bali Kuna ditaklukkan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada yang selanjutnya membawa Dalem Sri Krisna Kepakisan sebagai
pemimpin di Balim istilah Pura digunakan menyebut istana raja, misalnya Sweca Pura ‘istana
raja Gelgel’, Bendana Pura ‘istana raja Badung’, Smara Pura ‘Istana raja Klungkung’, Menga
Pura ‘istana raja Mengwi’ dan lain sebagainya. Sejak kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke
Bali dan sempat menjadi Bhagawanta ‘pendeta/penasehat’ istana Dalem Waturenggong pada
abad ke-17, istilah Pura sebagai sebutan istana raja diganti menjadi suci sampai saat ini. Di
samping itu kata Parhyangan atau Kahyangan juga masih digunakan untuk menyebut Pura
oleh masyarakat di daerah tertentu di Bali sampai saat ini.
Berdasararkan Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek
Agama Hindu I – XV, Pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang WIdhi Wasa
dalam segala Prabawanya (manifestasi-Nya) dan Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur).
Disamping itu, pemujaan digunakan juga istilah Kahyangan atau Parhyangan.
Kedukukan yang penting telah mengantarkan Pura sebagai tempat menambatkan hidup
dan kehidupan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai prabhawa-Nya. Tindakan
ini dilakukan semata-mata karena manusia sejak lahir selalu mengalami pemderitaan dan
kesengsaraan baik dirasakan maupun tidak. Dan penderitaan dan kesengsaraan ini manusia
selalu ingin membebaskan diri dari jeratan maya ‘penderitaan’. Begitu pula manusia selalu
rindu akan Tuhan. Untuk mencurahkan kerinduan maupun mengadukan problema kehidupan.
Oleh karena Hyang Widhi Maha Suci, maka keberadaan tempat suci dibangun sebagai salah
satu media penghubung keharmonisan manusia dengan Tuhan.

LINGKUNGAN PURA ULUN DANU BERATAN


A. Lokasi dan Lingkungan Pura
Pura Ulun Danu Beratan secara administrative terletak di Desa Candikuning, Kecamatan
Baturiti, kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan. Pura ini sangat mudah dijangkau dari jalan
raya. Dpat dilalui berbagai jenis kendaraan bermotor. Pura ini terletak di sebelah Timur jalan
raya yang menghubungkan jurusan Denpasar – Singaraja. Dari Denpasar jalur yang dapat
ditempuh melalui terminal Ubung terus ke Utara, sampai di mengWi Tani (Badung) berbelok
ke kanan dan lurus ke Utara menuju jurusan Singaraja.
Sesampainya di kawasan Bedugul, pengunjung akan disajikan pemandangan hutan dan
hamparan danau Beratan. Pada sisi Barat danu ini terdapat kompleks Pura Ulun Danu Beratan
yang saat ini berdiri megah dan anggun. Pemilihan tempat indah ini sangat relevan dengan
tata ruang penempatan bangunan suci yang banyak disebutkan dalam susastra Hindu,
khususnya berkaitan dengan tata letak bangunan Suci kuna tertuang dalam kitab Silpasastra.
Dalam kitab ini dinyatakan apabila mendirikan bangunan suci, seyogyanya mendirikan dekat
dengan tlebutan ‘mata air’, campuhan ‘pertemuan dua sungan atau lebih’, sungai, danau dan
pantai. Begitu lontar-lontar Bali seperti Astra Bumi, Asta Kosala-Kosali dan lain sebagainya
banyak menguraikan cara-cara pembangunan sebuah tempat suci yang tidak bisa terlepas
dengan sistem tata lingkungan sekala dan niskala.
Konsep tata letak bangunan suci setidaknya dekat dengan sumber-sumber air tidak terlepas
dengan konsep tirtha ‘air suci’ yang telah mengakar dalam sendi-sendi ajaran Hindu.
Disamping itu, dekat dengan sumber-sumber air dapat memudahkan untuk mengambil air
suci dn sekaligus melindungi sumber-sumber air tersebut dan tindakan yang tidak diharapkan
dalam teo-ekologi Hindu. Dalam terminology Hindu, air merupakan simbolisasi dari
kesucian, kesuburan dan pembersihan. Air sangat penting diperlukan dalam berbagai
tingkatan ritual keagamaan. Oleh karena itu, bali sering disebut agama tirtha ‘air suci’ karena
dalam berbagai rigual keagamaannya, peran kehadiran air sangat penting.
Disamping itu, lingkungan di sekitar Pura Ulun Danu Beratan sangat asri dengan latar
belakang pegunungan dan danau Beratan serta taman-taman bunga yang tertata rapid an
menambah keindahan tersendiri. Keasrian dan keindahan lingkungan alam yang dimilikinya
talah lama memikat para spiritualis, agamawan, Rsi, pada jaman dahulu untuk melakukan
tirtayatra ‘perjalanan suci’ ke tempat ini dan selanjutnya mendirikan bangunan kecil untuk
memuliakan Dewata sumber-sumber air. Bahkan sampai saat ini keterpesonaan manusia
terhadap kawasan ini tak habis-habisnya terbukti kunjungan wisatawan ke areal Pura ini
semakin meningkat tiap tahunnya.
B. Letak Geografis
Keindahan dan bentangan alam yang unik telah iktu melatar belakangi terbentuknya
imajinasi para Rsi dahulu untuk mendirikan pura ini dengan strukturnya yang khas. Pura ini
berdiri megah dalam cekungan terkungkung kaldera gunung Beratan Purba, dengan
dikelilingi panorama gunung Pengelengan, bukit Puwun, bukit Tapak dan bukit-bukit yang
lebih kecil. Kawasan ini termasuk daerah dataran tinggi berhawa sejuk. Secara geografis Pura
ini terletai di tengah-tengah pulai Bali dan dikelilingi oleh perbukitan. Adapun batas-batas
dari Pura Ulun Danu Beratan adalah:
Bagian utara adalah Desa Pakraman candikuning dan Hotel enjung Beji
Bagian Timur adalah danau Beratan dan Gunung Penglengan.
Bagian Selatan adalah tegalan dan danau
Bagian Barat adalah Kampung Muslim Candi Kuning II
Letak sebuah Pura di tepi danau , boleh jadi menginpirasikan para pendahulu untuk
mendirikan Pura di tempat yang memiliki aura spirit yang tinggi ini.

SEJARAH PURA ULUN DANU BERATAN


A. Prasejarah Pura Ulun Danu Beratan
Di sekitar danau Beratan kemungkinan dahulu telah terdapat komunitas masyarakat
prasejarah. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan masyarakat prasejarah menempati
tepi dnau, sungai dan pantai. Pemilihan lokasi demikian semata-mata untuk mempermudah
kehidupannya terutama memperoleh makanan. Bukti-bukti kebudayaan mereka yang kita
dapat terima sampai bebaturan ‘tahta batu’ menandakan daerah ini dahulu memperoleh
pengaruh dari budaya megalitik. Setidaknya tinggalan ini sebagai perwakilan dari
kebudayaan jaman prasejarah atau jaman batu yang ada di daerah ini.
Menurut penuturan beberapa informan, sebuah tahta batu yang ada di Palebahan
Penataran Agung Ulun Danu Beratan, dahulu tidak terletak di tempatnya saat ini, tetapi
terletak di samping kiri depan dari bangunan meru tumpang 7. Tinggalan ini telah
membuktikan di Pura ini dan sekitarnya pada jaman dahulu pernah berkembang kebudayaan
Prasejarah (megalitikum) dan diterima sampai sekarang (prasejarah) berlanjut) dan tetap
berfungsi sebagai tempat pemujaan (living monument). Sisa-sisa batu ini yang ditata ulang
kembali sekarang difungsikan sebagai tempat penuwuran Ida Bhatara sebelum upacara
ngabejiang (salah satu rangkaian Piodalan) dan simbolisasi tempat ngaluhurang Ida Bhatara
pada saat penyinehan ‘akhir upacara piodalan’. Di samping itu terdapat beberapa batu
megalitik yang terdapat di tepi danau, tepatnya di jaba Pura dalem Purwa.

SEJARAH PURA BERATAN

Sejarah berdirinya Pura Ulun Danu Beratan di desa candikuning Tabanan Bedugul terurai
dalam Lontar Babad Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti
Agung Putu yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran.
Sebagai tawanan, beliau diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian diserahkan ke
patih Marga bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat bangkit dari kekalahan, I
Gusti Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu sampai beliau mendapat pencerahan
disana. Beliau kemudian turun gunung, mendirikan istana Belayu (Bala Ayu), kembali
berperang melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan menang. Dari kemenangan itu istana
dipindahkan ke Bekak dengan nama Puri Kaleran. ditempat ini kemudian I Gusti Agung Putu
mendirikan tempat pemujaan Taman Ganter dengan istana bernama Kawiapura. setelah
berkali2 menang perang, termasuk membantu Raja Tabanan melawan musuhnya, seiring
dengan berdirinya Kerajaan Mengwi, beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi danau
Beratan untuk memuja Batara di Pura Puncak Mangu.Mengutip dari sebuah sumber, Sejarah
berdirinya Pura Ulun Danu Beratan di desa candikuning Tabanan Bedugul terurai dalam
Lontar Babad Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti Agung
Putu yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah
Kekeran. Sebagai tawanan, beliau diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian
diserahkan ke patih Marga bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat bangkit dari
kekalahan, I Gusti Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu sampai beliau mendapat
pencerahan disana. Beliau kemudian turun gunung, mendirikan istana Belayu (Bala Ayu),
kembali berperang melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan menang. Dari kemenangan
itu istana dipindahkan ke Bekak dengan nama Puri Kaleran. ditempat ini kemudian I Gusti
Agung Putu mendirikan tempat pemujaan Taman Ganter dengan istana bernama Kawiapura.
setelah berkali2 menang perang, termasuk membantu Raja Tabanan melawan musuhnya,
seiring dengan berdirinya Kerajaan Mengwi, beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi
danau Beratan untuk memuja Batara di Pura Puncak Mangu.Mengutip dari sebuah sumber,
Sejarah berdirinya Pura Ulun Danu Beratan di desa candikuning Tabanan Bedugul terurai
dalam Lontar Babad Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti
Agung Putu yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran.
Sebagai tawanan, beliau diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian diserahkan ke
patih Marga bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat bangkit dari kekalahan, I
Gusti Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu sampai beliau mendapat pencerahan
disana. Beliau kemudian turun gunung, mendirikan istana Belayu (Bala Ayu), kembali
berperang melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan menang. Dari kemenangan itu istana
dipindahkan ke Bekak dengan nama Puri Kaleran. ditempat ini kemudian I Gusti Agung Putu
mendirikan tempat pemujaan Taman Ganter dengan istana bernama Kawiapura. setelah
berkali2 menang perang, termasuk membantu Raja Tabanan melawan musuhnya, seiring
dengan berdirinya Kerajaan Mengwi, beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi danau
Beratan untuk memuja Batara di Pura Puncak Mangu.Mengutip dari sebuah sumber, Sejarah
berdirinya Pura Ulun Danu Beratan di desa candikuning Tabanan Bedugul terurai dalam
Lontar Babad Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti Agung
Putu yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran. Sebagai
tawanan, beliau diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian diserahkan ke patih
Marga bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat bangkit dari kekalahan, I Gusti
Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu sampai beliau mendapat pencerahan disana.
Beliau kemudian turun gunung, mendirikan istana Belayu (Bala Ayu), kembali berperang
melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan menang. Dari kemenangan itu istana
dipindahkan ke Bekak dengan nama Puri Kaleran. ditempat ini kemudian I Gusti Agung Putu
mendirikan tempat pemujaan Taman Ganter dengan istana bernama Kawiapura. setelah
berkali2 menang perang, termasuk membantu Raja Tabanan melawan musuhnya, seiring
dengan berdirinya Kerajaan Mengwi, beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi danau
Beratan untuk memuja Batara di Pura Puncak Mangu.Mengutip dari sebuah sumber, Sejarah
berdirinya Pura Ulun Danu Beratan di desa candikuning Tabanan Bedugul terurai dalam
Lontar Babad Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti Agung
Putu yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran. Sebagai
tawanan, beliau diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian diserahkan ke patih
Marga bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat bangkit dari kekalahan, I Gusti
Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu sampai beliau mendapat pencerahan disana.
Beliau kemudian turun gunung, mendirikan istana Belayu (Bala Ayu), kembali berperang
melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan menang. Dari kemenangan itu istana
dipindahkan ke Bekak dengan nama Puri Kaleran. ditempat ini kemudian I Gusti Agung Putu
mendirikan tempat pemujaan Taman Ganter dengan istana bernama Kawiapura. setelah
berkali2 menang perang, termasuk membantu Raja Tabanan melawan musuhnya, seiring
dengan berdirinya Kerajaan Mengwi, beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi danau
Beratan untuk memuja Batara di Pura Puncak Mangu.Mengutip dari sebuah sumber, Sejarah
berdirinya Pura Ulun Danu Beratan di desa candikuning Tabanan Bedugul terurai dalam
Lontar Babad Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti Agung
Putu yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran. Sebagai
tawanan, beliau diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian diserahkan ke patih
Marga bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat bangkit dari kekalahan, I Gusti
Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu sampai beliau mendapat pencerahan disana.
Beliau kemudian turun gunung, mendirikan istana Belayu (Bala Ayu), kembali berperang
melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan menang. Dari kemenangan itu istana
dipindahkan ke Bekak dengan nama Puri Kaleran. ditempat ini kemudian I Gusti Agung Putu
mendirikan tempat pemujaan Taman Ganter dengan istana bernama Kawiapura. setelah
berkali2 menang perang, termasuk membantu Raja Tabanan melawan musuhnya, seiring
dengan berdirinya Kerajaan Mengwi, beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi danau
Beratan untuk memuja Batara di Pura Puncak Mangu.Mengutip dari sebuah sumber, Sejarah
berdirinya Pura Ulun Danu Beratan di desa candikuning Tabanan Bedugul terurai dalam
Lontar Babad Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti Agung
Putu yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran. Sebagai
tawanan, beliau diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian diserahkan ke patih
Marga bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat bangkit dari kekalahan, I Gusti
Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu sampai beliau mendapat pencerahan disana.
Beliau kemudian turun gunung, mendirikan istana Belayu (Bala Ayu), kembali berperang
melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan menang. Dari kemenangan itu istana
dipindahkan ke Bekak dengan nama Puri Kaleran. ditempat ini kemudian I Gusti Agung Putu
mendirikan tempat pemujaan Taman Ganter dengan istana bernama Kawiapura. setelah
berkali2 menang perang, termasuk membantu Raja Tabanan melawan musuhnya, seiring
dengan berdirinya Kerajaan Mengwi, beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi danau
Beratan untuk memuja Batara di Pura Puncak Mangu.

STRUKTUR PURA ULUN DANU BERATAN


A. Struktur pelinggih
Pura merupakan tempat suci, sehingga bentuk dan strukturnya pun berpedoman pada
teologi dan filsafat. Pada intinya konsep-konsepnya tidak terlepas dari filosofi dan teologi
Hindu, dalam konsep Bhuana Agung dan lapisan –lapisannya (lala). Begitu pula pura yang
merupakan miniature alam semesta dibagi menjadi beberapa mandala ‘halaman’ sebagai
symbol sapta loka dan sapta patala. Secara umum, pura di bali secara struktur terdiri dari Tri
Mandala’tiga halaman’ jaba sisi/nistaning mandala’halaman luar, areal aktivitas manusia
sehari-hari, jaba tengah/madya mandala ‘halaman tengah’ alam transisi manusia dengan alam
kedewataan’ dan jeroaniuttama mandala ‘halaman utama’ alam kedewataan’ ketiga halaman
ini merupakan symbol dari Tri Loka yaitu Bhur Loka ‘alam bawah’, Bwah Loka’alam
tengah’, dan Swah Loka ‘alam atas”.
Disamping itu juga terdapat pengelompokkan struktur pura yang berdasarkan atas Dwi
mandala terdiri dari dua halaman (Nista mandala dan Utama Mandala) yang memiliki arti
bahwa pertemuan antara Akasa (langit) dan Prtiwi (bumi). Begitu pula terdapat pembagian
Mandala sebuah pura berdasarkan konsep sapta mandala yang merupakan symbol Sapta
Loka(bhur, bhuah, swah, jana, tapa, dan satya loka). Penunggalan konsepsi dengan purusa
dlam struktur putra merupakan simbolis dari para ‘Super natural power’. Hal itulah yang
menyebabkan orang yang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of
power (tuhan yang Maha Esa) dalam sebuah pura. Prakrti merupakan unsur materi dari alam
semesta. Apabila dihubungkan dengan keberadaan dengan sebuah pura maka unsur ini adalah
palinggih yang disucikan, pratima, arca dan sebagainya dan Purusa merupakan unsur-unsur
kejiwaan/spiritual alam semesta, jika dihubungkan dengan pura, ini merupakan taksu (yang
menjiwai dari bangunan dan benda-benda yang disucikan di dalam pura).
Begitu pula dengan keberadaan Pura ulun Danu beratan yang sering disebut Pura beratan
memiliki struktur dan sulit untuk dutentukan secara pasti, karena terdiri dari beberapa
palebahan suci atau areal suci yang letaknya saling terpisah satu dengan yang lainnya dan
arah hadapanya pun berbeda-beda. Maka dari pada itu untuk menentukan struktur dari Pura
ulun Danu Beratan bertitik tolak dengan keberadaan masing-masing areal utama yang
disucikan sebagai uttama mandala. Adapun beberapa halaman yang disucikan di pura adalah :
Pura penataran Agung yang memiliki tri Mandala yaitu Nisata mandalanya berupa parker dan
taman rekreasi. Madia Mandala-Nya terdapat beberapa bangunan seperti dua buah palinggih
apit jawing, sebuah bale yang besar disebut bale Suci (bale saka/tiang 18). Di utama
Mandala/Jeroan (halaman utama) terdiri berbagai palinggih yang memiliki berbagai fungsi.
Di sisi barat penataran Agung yang hanya dibatasi oleh tembok penyengker terdapat
palebahan Perantenan Suci dapur suci.
Pada arah selatan dari penataran Agung terdapat pelabahan Pura Dalem Purwa palebahan
dalem purwa memiliki konsep Dwi Mandala yang terdiri dari Nisata mandala berupa daratan
dan danau, di utama mandala-nya terdiri dari tiga bangunan, uniknya Pura ini adalah seluruh
bangunannya menghadap kearah timur . di arah Timur Penataran Agung juga terdapat dua
buah palebahan yang saling terpisah, yaitu Areal Pura Telengin Segara (meru tumpeng 17)
memiliki setruktur Dwi mandala jaba sisi-nya dikelilingi oleh danau dan paling TImur adalah
pelinggih Lingga petak (meru tumpang 3). Dan menuju kearah Barat dari Dalem Purwa
pelinggih Prajapati.
Adapun secara terperinci struktur palinggih dan bangunan pelengkap keagamaan di Pura
Ulun Danu Beratan terdiri dari beberapa palebahan Suci yaitu Palebahan Pura Penataran
Agung, Palebahan Pura Tengahing Segara, Palebahan Pura Lingga Petak (Ulun Danu),
Palebahan Dalem Purwa dan Taman Beji.

1. Palebahan Pura Penataran Agung


Adapun posisinya menghadap keselatan, di bagian depannya terdapat kori agung sebagai
pintu masuk ke jeroan Pura dan dua buah palinggih Tugu Pengapit Lawang. Pada jeroan
Penataran Agung terdapat beberapa palinggih yaitu Meru tumpang 7, berbusana serba merah,
difungsikan pula sebagai pasimpangan Pura Pucak Teratai Bang, sebuah komplek Pura yang
berada di areal Kabun Raya Eka Karya Bali. Di sebelah utara Meru tumpang tujuh terdapat
sebuah Padma Lingga, difungsikan sebagai Pasimpangan Pura Pucak Bukit Sangkur. Di
sebelah Barat Meru tumpang tujuh juga terdapat Palinggih Padma Tiga yang merupakan
stana Sang Hyang Tri Purusa: Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa, inilah yang menjadi
pelinggih pokok di Penataran Agung. Di sisi Barat Laut dari palebahan ini terdapat jajaran
beberapa palinggih yaitu : Dari Barat, Taksu, Gedong Sari, Gedong Catu Mujung, Catu
Meres, Gedong Simpen, Manjangan Sakaluang/Saluang sebagai palinggih Maspait atau Mpu
Kuturan Purusa: Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa, inilah yang menjadi pelinggih pokok di
Penataran Agung. Di sisi Barat Laut dari palebahan terdapat jajaran beberapa palinggih yaitu
: Dari Barat, Taksu, Gedong Sari, Gedong Catu Mujung, Catu Meres, Gedong Simpen,
Manjangan Sakaluang/Saluang sebagai palinggih Maspait atau Mpu Kuturan dan juga sering
disebut sebagai pelinggih Ratu Pasek, Meru tumpang 3 sebagai stana Ratu Pande.
Di sebelah Selatan dari jajaran pelinggih tersebut terdapat sebuah Gedong Kereb yang
disebut dengan palinggih Bala Tama dan disudut tenggaranya terdapat sebuah palinggih yang
disebut Bale Ulun Kawas (Ulun Bale Agung) yang juga difungsikan sebagai pengayatan ke
Pura Pucak Kayu Sugih. Di pelataran ini juga dilengkapi dengan beberapa Bale yaitu Bale
Pemaruman Agung. Di belakang Pemaruman Agung terdapat sebuah Bale yang memiliki 4
balai-balai yang disebut dengan Bale Catur Lawa. Bale Catur Lawa tersebut kemungkinan
dahulunya difungsikan sebagai Bale Paselang apabila upacara di Pura ulun danu Beratan
memakai Upacara Mapaselang. Selain itu, terdapat sebuah Bale Agung yang membujur dari
Timur ke Barat yang terletak pada sisi Selatan areal ini. Bale ini biasanya difungsikan apabila
ada pendeta golongan Dwi Jati melakukan pemujaan dalam suatu upacara. Disamping itu
juga terdapat bale saka kutus yang dulu memiliki balai-belai, tetapi renovasi terahir, balai-
balainya dihilangkan dan juga terdapat bale sakanem yang digunakan sebagai bale pesantian.
Di depan Padma Tiga dan sebelah Barat Meru tumpang 7 juga terdapat sebuah Bale Pawedan
Luhur atau Pawedan Niskala Ida Bhatara Bhagawanta Niskala Pura ulun danu Beratan yang
diyakini berstana di Pura Pucak Bukit Sangkur. Pada sisi Timur juga terdapat Bale
Panggungan upakara piodalan. Pada sudut Timur Laut dan penataran ni juga terdapat
pelinggih bebaturan atau tahta batu.
2. Palebahan Pura Tengahing Segara
Pelinggih Telengin Segara

Di dalamnya hanya terdapat dua buah banguan: (1) Meru Tumpang 11 sebagai simbol
stana Dewa Wisnu dan difungsikan pula sebagai pasimpangan Bhatara di Pucak Mangu
(Gunung Pangelengan), serta difungsikan sebagai palinggih Ida Bhatara Dewi Danu.
Pelebahan ini juga dikelilingi oleh air danau. Dalam teologi Hindu, filosofi Meru Tumpang
Sebelas melambangkan Eka Dasa Aksara (Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang,
Sing, Wang, Yang) atau simbol dari Sang Hyang Eka Dasa Ludra /11 Ludra dan juga simbol
dari Andabhuana (alam semesta).

3. Palebahan Palinggih Lingga Petak/Ulun Danu


Pelinggih Lingga Petak / Ulun Danu

Adapun pada areal suci ini hanya terdapat sebuah meru bertingkat tiga yang di dalamnya
terdapat sebuah sumur kramat yang menyimpan tirtha ulun danu. Di dalam sumur tersebut
juga tertancap sebuah lingga semu besar berwarna putih dan diapit oleh dua batu hitam dan
merah. Uniknya dari bangunan ini adalah Meru dan palebahan ini memiliki 4 pintu yang
menghadap ke empat penjuru mata Angin (Utara, Timur, Selatan dan Barat) bataran ‘batur’
dari meru ini persegi delapan dan seluruh arealnya terdapat di dalam danau atau dikelilingi
oleh air, sehingga bila tangkil ke pelinggih ini, harus menggunakan perahu.
Secara tradisi yang diterima oleh masyarakat Hindu dan krarna subak khususnya, palinggih
ini difungsikan sebagi Ulun Danu danau Beratan dalam konteks memohon kesuburan dan
kemakmuran dan sebagai palinggih Bhatara Siwa dengan kekuatan Cadu Sakti-Nya yang
disimbolkan dari pemedalan yang menghadap ke empat penjuru mata angin.

4. Palebahan Pura Dalem Purwa.


Gedong Dalem Purwa

Keberadaan pura ini secara umum memiliki tiga buah bangunan yang seluruhnya
menghadap ke Timur. Adapun pelinggih pokoknya berupa Gedong Dalem yang difungsikan
sebagai stana Bhatari Durga dan Dewa Ludra atau Dewi Uma Bhagawati. Gedong ini diapit
oleh Bale Murda Manik yang difungsikan sebagai pemaruman dan dikanannya tendapat bale
panjang yang difungsikan untuk meletakan upakara pada saat piodalan.
5. Taman Beji
Terletak pada sisi Timur Hotel Enjung Beji, lerdapat sebuah palinggih Padma, tidak
dibatasi dengan tembok panyengker. Tempat ini difungsikan untuk melakukan upacara
ngabejiang dan memohon air suci pada saat piodalan dan pada sasih kesanga sebagai tempat
melasti oleh masyarakat sekitar, seperti daerah Baturiti, Candikuning, Marga, Megwi dan
beberapa daerah yang lain.

Struktur Hubungan Pura ulun danu Beratan dengan Tempat-tempat Suci Yang Ada
Di Sekitar Pelinggih Taman Beji Danau Beratan
Di sekitar Danau Beratan banyak terdapat tempat suci atau Pura yang usianya sangat tua.
Secara sekala dan niskala tempat-tempat ini memiliki hubungan erat dengan Pura ulun danu
Beratan sekaligus menjadi titik sentral dari beberapa Pura tersebut. Titik sentral ini secara
tradisi Pura ulun danu Beratan difungsikan sebagai Pura Penataran Agung dari keseluruhan
Pura tersebut. Adapun tempat-tempat suci ini adalah:
1. Pura Pucak Mangu
Keberadaan Pura Pucak Mangu sebelum dinasti Mengwi muncul, pura ini bernama
Pucak Pangelengan atau Pangelingan. Kata pangelingan dapat diartikan pengingatan atau
yang memberikan peringatan. Pura ini terletak di atas puncak Gunung Beratan atau gunung
Pangelengan dan sekarang juga disebut dengan Gunung Mangu. Hubungan Pura Pucak
Mangu dengan Pura ulun danu Beratan secara tradisi tidak dapat dipisahkan karena (1)
Pucak Mangu merupakan pura gunung yang merupakan lingga ‘ikon kejantanan Siwa’ dan
Pura ulun danu Beratan adalah yoni yang merupakan simbol kewanitaan Siwa/Parwati.
Pertemuan lingga-yoni inilah memiliki makna penciptaan bhuana agung dan bhuana alit; (2)
Dalam Babad Mengwi disebutkan pula, Pura ulun danu Beratan adalah Pura Penataran
Agung Pura Pucak Mangu yang pertama, sebelum penataran agung Pucak Mangu di Desa
Pakraman Tinggan, Desa Plaga, Kec. Petang, Kab, Badung dibangun oleh Cokorda Mayun
dan Puri Megwi.
2. Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur (Pucak Rsi)
Pura Pucak Sangkur sering juga dikenal sebagai Pura Pucak Rsi merupakan salah satu
Pura terpenting di daerah Desa Candikuning. Pura ini terletak di sebuah bukit yang disebut
bukit Sangkur, tepatnya sebelah Utara danau Beratan dan hampir dekat dengan perbatasan
Kabupaten Tabanan dan Buleleng. Secara administratif termasuk kedalam wilayah Desa
Pakaraman Kembangmerta, Desa Candikuning Kecamatan Baturiti. Adapun masyarakat yang
pengempon Pura ini adalah masyarakat Desa Pakraman Antapan, Desa Antapan, Kecamatan
Baturiti dan Desa Pakraman Kembang Merta.
Secara tradisi hubungan pura ini dengan Pura ulun danu Beratan sangat erat.
Pengempon Pura Beratan meyakini bahwa Ida Bhatara yang berstana di Pura Pucak Sangkur
adalah Bhagawanta ‘pendeta penasehat’ niskala Pura ulun danu Beratan. Bukti hubungannya
adalah di Pura Penataran Agung Ulun Danu Beratan terdapat sebuah Pelinggih Padma Lingga
sebagai tempat Pesimpangan Ida Bhatara di Pucak Sangkur dan sebuah bangunan Bale
Pawedan Niskala, yang difungsikan untuk memohon pemuput secara niskala kepada Ida
Bhatara yang berstana di Pucak Sangkur pada saat piodalan di Pura ulun danu Beratan. Pada
saat piodalan ageng di Pura Beratan, diwajibkan untuk memohon tirtha pemuput ke Pura
Pucak Sangkur. Begitu pula pada saat Panca Balikarama pada bulan juli 2011 dari Pura ulun
danu Beratan juga memohon pangrajeg karya di Pura ini. Hari piodalan di Pura Pucak Rsi
jatuh pada hari Budha ‘Rabu’ Kliwon Sinta (Pagerwesi). Biasanya piodalan nyejer selama
tiga hari.
3. Pura Luhur Pucak Terate Bang
Pura Luhur Pucak Terate Bang memupakan komplek Pura yang terletak di dalam
kawasan Kebun Raya Eka Karya Bali, tepatnya di lereng bukit Tapak. Pengempon Pura ini
adalah masyarakat Banjar Adat Bukit Catu, Desa Candikuning, tetapi sebelum masyarakat
Bukit Catu datang dari daerah Karangasem, Pura ini dahulu diempon oleh masyarakat dari
Bangah. Piodalan Pura ini jatuh pada han Saniscama ‘sabtu’ Wuku Landep (Tumpek
Landep). Yang distanakan di Pura ini adalah Dewa Brahma dan ada juga menyebutkan
sebagai Sang Hyang Bhesa Warna. Ciri khas dari Pura ini adalah kain yang dipakai menghias
pelinggih serba warna merah, terutama pada areal Penetaran dan di sisi areal Pura banyak
terdapat belerang yang baunya terkadang menyengat. Belerang ini biasanya dipakai obat oleh
masyarakat terutama obat gatal-gatal. Disampng itu pura ini di Bali eksis sebagai untuk
memohon taksu Balian. Pura ini memiliki tiga palebahan yaitu (1) Pelinggih Taman Beji, (2)
Pelinggih Ratu Lingsir dan (3) Pura Penataran. Adapun persembahan yang menjadi
pantangan utama di Pura ini adalah tidak memakai persembahan daging babi. Bukti
hubungannya dengan Pura Beratan adalah terdapat sebuah pelinggih Pesimpangan Terate
Bang berupa Meru Tumpang 7 yang dihias kain serba merah, sebagai simbol Iinggih Dewa
Brahma. Apabila dilaksanakan piodalan Ageng di Pura Beratan, pesatak diwajibkan untuk
mernohon tirtha pemuputke pura ini.

4. Pura Batu Meringit


Pura ini juga terletak di areal Kebun Raya Bka Karya dekat dengan Pura Luhur Pucak
Trate Bang. Pengempon-nya adalah masyarakat Pemuteran, Desa Candikuning yang juga
datang dan daerah Karangasem. Akan tetapi, sebelum masyarakat Pamuteran datang ke
daerah ini, pura ini diempon oleh masyarakat Baturiti yang diberikan wewenang oleh Puri
Marga dan dikordinir oleh Mekel Baturiti. Di pura ini menyimpan berbagai peninggalan kuna
seperti arca, pragmen arca, pragmen bangunan, dan tahta batu/bebaturan. Adanya tinggalan
areologi yang cukup banyak dan beragam ini menandakan pura ini kuna.

5. Pura Pucak Sari


Pura Pucak Sari terletak di sebuah bukit, diempon oleh Desa Pakraman Taman Tanda,
Desa Batunya, Kecamatan Baturiti. Secara tradisi yang diyakini oleh masyaraket di daerah
ini, Ida Bhatara yang berstana di Pura ini diyakini sebagai Wiku Tapeni ‘pedeta ahli upakara’
niskala Pura ulun danu Beratan. Piodalan pura ini pada hari Selasa Kliwon Wuku
Julungwangi (Anggarkasih Julungwangi), juga bertepatan dengan Piodalan di Pura Beratan.

6. Pura Pucak Candi Mas


Pura Candi Mas merupakan Pura yang terletak di Desa Paraman Candikuning dan
diempon oleh Desa ini juga. Berdasarkan beberapa informan, Pura ini dulu disebut Pura
Jangan Suci, perubahan nama ini sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Pura ini juga
menyimpan tinggalan arkeologi yang cukup penting. Dari hasil ekskavasi dan penelitian awal
oleh Balai Arkeologi Denpasar pada tahun 2009, ternyata reruntuhan bangunan kuno yang
terletak di bawah sebuah pohon beringin pada areal utama pura ini adalah sebuah candi kuna,
berasal dari jaman Bali Kuna. Disamping itu dalam reruntuhan ini juga terdapat sebuah
lingga-yoni, lingga semu, arca pancuran, pragmen arca dan lain sebagainya.

7. Pura Pucak Bedugul


Pura ini terletak di tepi Selatan danau Beratan Pura Pucak Bedugul juga disebut sebegai
Temuku Aya ‘bendungan besar’ dari danau Beratan. Di bawah pura ini juga diyakini sebagai
saluran-saluran bawah tanah yang mengalirkan air danau ke sungai-Sungai dari mata air yang
ada di kawasan seletan danau, seperti Tabanan, Badung dan Denpasar. Pada musim kemarau
dan air danau sedang surut, di belakang pura sering terdengar suara air dari dasar danau yang
mengalir ke bawah. Pura ini terletak di Desa Pakraman Taman Tanda, Desa Batunya.
Adapun yang semestinya ngempon Pura ini adalah Krama Subak yang berada di Kabupaten
Tabanan bagian Timur. Subak Kodya Denpasar, dan Subak dari Kabupaten Badung. Pura ini
merupakan hulu Pura Bedugul yang ada di masing-masing subak. Pura ini juga menyimpan
tinggalan arca kuno yang menandakan pura ini memiliki kekunaan. Biasanya pada hari
Purnamaning sasih kepitu, setelah mengadakan upacara di Ulun Danu Beratan, para Krama
Subak ini melakukan upacara Mapag atau Mendak Toya di tempat dengan tujuan sawah-
sawah tidak mengalami kekeringan Piodalan Pura ini pada hari Selasa (Anggara) Kliwon
Wuku Julungwangi (Anggarkasih Julungwangi) juga bersamaan dengan Piodalan di Pura
ulun danu Beratan, Pucak Mertha Sari dan Pucak Sari.

8. Pura Pucak Kayusugih.


Pura Pucak Kayu Sugih terletak di tengah hutan sebelah Tenggara Danau Beratan atau
sebelah kanan dari jalan rute Bedugul ke Pura Puncak Mangu. Adapun yang menjadi
pengemponnya masyarakat Desa Pakraman Mayungan. Jika piodalan Ageng di Pura Beratan,
dimohon pula tirtha pemuput dari Pura ini.
9. Pura Pucak Taman Sebatu
Pura Pucak Taman Sebatu menupakan Pura yang terletak di Hutan sebelah utara Danau
Beratan dan diempon oleh Desa Pakraman Kembang Merta. Sebelum masyarakat Kembang
Merta datang dari berberapa desa di Bali. Pura ini diempon oleh masyarakat Mayungan yang
diberikan wewenang oleh Puri Gede Marga. Hubungan Pura Taman Sebatu dan Mayungan,
dapat dibuktikan dengan adanya PeIinggih Rare Angon di Pura Pucak Taman Sebatu dan
Pura Pengangon di Desa Mayungan. Berdasarkan beberapa informan dulu masyarakat
Mayungan sering melakukan upacara piodalan di Pura Taman Sebatu. Oleh karena satu hal,
pelinggih Rare Angon ini dipindah ke Desa Mayungan.
10. Pura Mertha Sari.
Pura ini terletak di antara perbatasan Desa Pakraman Candikuning dengan Desa
Pakraman Kembang Marta dan diempon oleh kedua Desa Pakraman ini. Yang distanakan
dan dipuja pada Pura ini diyakini sebagai Dewa kemakmuran. Keunikan yang disimpan Pura
ini adalah adanya arca kuno sebagai perwujudan Dewi Kemakmuran. Berdasarkan penuturan
tetua Desa Candikuning, pada jaman penjajahan di Bali, arca ini sempat dibawa ke negeri
Belanda tetapi sesampainya di pelabuhan arca ini tidak bisa dinaikkan ke atas Kapal dan arca
ini sempat di tempatkan di Musium di Denpasar. Atas usaha Masyarakat Candikuning arca
ini bisa dikembalikan ke Pura ini. Hari Piodalan Pura ini jatuh pada hari Selasa (Anggara)
Kliwon Wuku Julungwangi (Anggarkasih Julungwangi) dan berbarengan dengan Piodalan di
Pura ulun danu Beratan.
11. Tirta Mampeh
Tirtha mampeh adalah sebuah air tejun dengan tebing tinggi yang indah, terkadang pada
musim kemarau airnya hanya menetes gemericik. Secara tradisi air terjun ini difungsikan
untuk memohon panglukatan dan juga salah satu Tirtha dari Bhatara yang berstana di Pura
Pucak Bukit Sangkur. Baru-baru ini di arealnya didirikan sebuh komplek Pura, sebelumnya
hanya terdapat sebuah Pelinggih Padma kecil. Adapun yang ngempon Pura ini adalah Desa
Pakraman Kembang Merta.
12. Rejeng Besi
Secara tradisi Rejeng besi jurang besi adalah sebuah tempat yang memiliki jurang yang
terjal, secara pasti keberadaannya tidak diketahui saat ini, tetapi nama Rejeng Besi yang
menjadi tempat yang penting dan ada kaitannya dengan Pura ulun danu Beratan diketahui
dari Saa yang dipakai Pemangku di Pura ulun danu Beratan yang diterima secara turun
temurun. Disamping itu, berdasarkan tradisi masyarakat Mayungan tempat ini terletak tidak
jauh dari Desa Mayungan.
13. Puseh Sengawang
Puseh Sengawang adalah tempat yang belum teridentifikasi samapi saat ini, namun
keberadaan tempat ini diketahui dari saa Pemangku di Pura ulun danu Beratan yang diterima
turun temurun. Kemungkinan tempat ini berada di dalam hutan di pinggir danau Beratan yang
di dalamnya banyak terdapat reruntuhan bangunan kuno yang telah hancur. Ada yang
mengatakan juga tempat ini ada di Selatan danau Beratan, tetapi kebenarannya perlu
dibuktikan
14. Candi Lebah
Candi Lebah juga belum teridetifikasi, namun keberadaan tempat ini diketahui melalui
saa yang dipakai Pamangku di Pura ulun danu Beratan yang diterima turun temurun.
Kemungkinan tempat ini berada di dalam hutan di tepi danau Beratan yang di dalamnya
banyak terdapat bekas-bekas bangunan kuno yang tidak terawat dan telah hancur.
15. Alas Metahun
Tempat ini juga belum teridentifikasi, namun keberadaan tempat ini diketahui melalui
saa yang dipakai Pamangku Gede di Pura ulun danu Beratan yang diterima turun temurun.
Kemungkinan tempat ini berada di dalam hutan tepi danau Beratan. Di dalam hutan ini
banyak menyimpan reruntuhan bangunan kuno yang telah hancur.

C. Struktur Masyarakat Pura


Berpedoman dengan status umum (Kahyangan Jagat) dari Pura ulun danu Beratan,
sudah tentu penyungsung pura ini memiliki jangkauan yang sangat luas. Adapun masyarakat
yang menjadi pendukungnya ialah:
1. Pangempon Pura ulun danu Beratan
Pengemong Pura yang dimaksud adalah sekelompok warga penyungsung yang
berkewajiban untuk memprogramkan, merencanakan dan melaksanakan pelaksanaan
(Ngayah) secara penuh atas upacara dan upakara piodalan yang jatuh setiap enam bulan
sekali dan bentanggung jawab atas pemelihanaan fisik Pura. Secara khusus istilah masyarakat
Pengemong atau Penyungsung Pura ulun danu Beratan disebut dengan Pesatak atau Gebog
Satak. Gebog satak merupakan sistem kemasyarakatan kuna yang berkewajiban memelihara
dan mempersiapkan yadnya pada sebuah pura yang cukup besar atau pura Kahyangan Jagat
yang kuna. Satak Beratan terdiri dari empat kelompok dari tiap-tiap pesatak terdiri dari
beberapa anggota mayarakat pada masing-masing Banjar Pekraman, seperti:
a. Pesatak Bangah
Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa
Pakraman Bangah, Desa Baturiti. Kec. Baturiti.
Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa
Pakraman Pacung, Desa Baturiti, Kec. Baturiti.
Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa
Pakraman Gunung Kangin, Desa Bangah, Kec. Baturiti.
b. Pesatak Antapan
Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa
Pakraman Antapan, Desa Antapan. Kec. Baturiti
Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa
Pakraman Mayungan, Desa Antapan, Kec, Baturiti
Beberapa orang yang madesa Beraan dari Desa Pakraman Glogor, Desa Antapan, Kec.
Baturiti. Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa
Pakraman Tohjiwa, Desa Antapan, Kec. Baturiti

c. Pesatak Baturiti
Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa Pakraman Baturiti, Desa Baturiti, Kec.
Baturiti
Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa Pakraman Batunya, Desa Batunya, Kec.
Baturiti
Beberapa orang yang madesa Beratan dari Desa Pakraman Juwuk Legi, Desa Batunya,
Kec. Baturiti
Desa Pakraman Abing Desa Batunya, Kec. Baturiti
Desa Pakraman Abang, Desa Candikuning, Kec. Baturiti
d. Pesatak Candikuning
Desa Pakraman Candikuning, Desa Candikuning, Kec. Baturiti
Banjar Adat Bukit Catu, Desa Candikuning. Kec. Baturiti
Desa Pakraman Pamuteran, Desa Candikuning, Kec. Baturiti
Desa Pakraman Batusesa, Desa Candikuning, Kec. Baturiti
Desa Pakraman Kembang Merta, Desa Candikuning, Kec. Baturiti
Satak Candikuning merupakan pesatak yang lebih baru dari tiga pesatak lainnya
(Bangah, Baturiti dan Antapan) dan tidak memiliki sistem tata masyarakat kuna.
Kemungkinan sistem pesatak ini diterima dari konsep Banua yang merupakan sistem tata
masyarakat di desa tradisional pada jaman Bali Kuna. Disamping itu, gebog setak. banyak
terdapat pada sistem kemasyarakatan Bali Aga.
Secara tradisi masing-masing pesatak Beratan berkewajiban melaksanakan piodalan pada
Anggara Kliwon Julungwangi dan pemeliharaan pura. Pesatak Bangah berkewajiban sebagai
penyelenggara dan mempersiapkan upacara dari upakara Piodalan di Pura Penataran Agung
Pura ulun danu Beratan. Pesatak Antapan Berkewajiban di Pelinggih Telenging Segara dan
Lingga Petak dan Pesatak Baturiti berkewajiban di Dalem Purwa Pura ulun danu Beratan
dan Satakan Candikuning berkewajiban di Taman Beji dan Jaba Pura Penataran Ulun Danu
Beratan.
2. Penyiwi Bhakti
Penyiwi Bhakti yang dimaksud adalah masyarakat secara umum yang datang pedek
tangkil ke Pura ini dengan penuh rasa bhakti kepada Ida Bhatara yang berstana di Pura ulun
danu Beratan. Namun para pamedek tersebut tidak terikat langsung dengan ayah-ayah atau
kewajiban yang ada di Pura.
3. Penanggung Jawab
Yang dimaksud dengan penaggung jawab di Pura ulun danu Beratan adalah Pesatak
(kelian masing-masing Satak Beratan) dan Penganceng adalah Panglingsir Puri Gede
Marga.

FUNGSI DAN STATUS PURA ULUN DANU BERATAN


A. Fungsi Pura ulun danu Beratan
Keberadaan suatu Pura pada awal pendiriannya sangat memiliki tujuan yang utama
dalam pencetusan hati nurani yang terdalam suatu kelompok sosial yang religius, begitu pula
khusus dengan Pura ulun danu Beratan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi Umum.
Adapun fungsi Pura ulun danu Beratan secara umum adalah sebagai pemujaan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan berbagai Prabhawa-Nya. Dapat dibuktikan
bahwa di Pura ini terdapat pelinggih Padma Sana yang berfungsi sebagai tempat pemujaan
Ida Sang Hyang Widhi dan panggih-palingih sebagai stana dan parabhawa-Nya yang
beraneka ragam dan beraneka fungsi. Konsep keyakinan dan pembangunan tempat suci umat
Hindu di Bali, tidak terlepas dari konsep Weda yang dijabarkan di atas. Walaupun Tuhan
dilukiskan berbentuk dan memiliki stana, namun hakekat-Nya adalah tunggal dan menunggal
dalam alam semesta. Begitu pula dengan keberadaan Pura ulun danu Beratan yang memiliki
berbagai macam pelinggih dan berbagal fungsi pemujaan dan berbagal ritual keagamaan.
2. Fungsi Khusus.
Pura ulun danu Beratan memiliki beberapa fungsi yang sangat khusus dan jarang ada di
Pura-pura yang lain. Adapun beberapa dari fungsi khusus Pura ini yaitu:
a. Sebagai Tempat Memohon Kemakmuran dan Kesuburan
Pura Pengulu atau Pura UIun Danu termasuk Pura ulun danu Beratan merupakan
pemujaan bagi petani sawah yang sawahnya memperoleh air dari Danau. Sehubungan dengan
itu, pada hari purnamaning kepitu krama subak yang berada di Kabupaten Tabanan bagian
timur, Badung dan Kodya Denpasar selalu menghaturkan suinih pakelem dan nanggluk
merana. Sejauh ini pura ini juga merupakan salah satu Kahyangan Jagat di Kabupaten
Tabanan. Hubungan khusus antara Subak dengan Pura ulun danu Beratan sangat erat,
mengingat Pura ini merupakan pusat/sumber air dan irigasi subak yang mengalir dari danau
dan melewati sungai, bendungan, selanjutnya ke temuku masing-masing. Subak merupakan
organisasi masyarakat petani dalam bidang pengairan di tingkat usaha tani. Sistem irigasi
subak itu berlandaskan Tri Hita Karana (Siha, 2008: 53). lstilah subak keberadaannya sangat
tua, bahkan dalam beberapa prasasti Bali Kuna, seperti: kata Kasuwakan (diidentikkan
dengan kata subak), Huma (identik dengan sawah/uma dalam Bahasa Bali). Ser Danu
(identik dengan Pekaseh) dan sebagainya.
Berkenaan dengan subak. secara sekala dan niskala berhubungan dengan pura ini, ada
beberapa upacara yang dilakukan oleh krama subak yang bertujuan untuk memohon
kesuburan. Daerah-daerah subak yang dialiri air dari danau Beratan mereka menghimpun
kelompok-kelompok subak yang disebut pesedahan. Pasedahan inilah yang mewilayahi
beberapa kelompok subak dan memungut iuran masing-masing kelompok subak yang
nantinya digunakan untuk membiayayai upacara-upacara di danau ini. Adapun upacara-
upacara yang dilakukan di Pura ulun danu Beratan terkait dengan subak yang biasanya
dilaksanakan pada Purnamaning Kapitu (setiap satu tahun sekali), seperti: Nangluk Merana,
Ngaturang Suinih dan Pakelem.
b. Sebagai Tempat Nyegara-Gunung Berhubungan dengan Dewa Yadnya
Upacara Nyegara Gunung yang berkaitan dengan Dewa Yadnya yang dilakukan oleh
masyanakat di suatu Desa atau masyarakat keluarga tertentu. Upacara ini dilaksanakan jika
baru saja selesai melakukan upacara besar seperti Ngenteg Linggih dan lain sebagainya, baik
di Pura maupun di sanggah atau Merajan. Adapun pelaksanaannya yaitu: (1) Pralingga Ida
Bhatara yang di-iring Nyegara Gunung dipundut ke Taman Beji Pura ulun danu Beratan
dengan meakukan upacara pengening-ening, (2) Pralingga Ida Bhatara diusung ke Pura
Dalem Purwa dan (3) Baru diusung ke Penataran Agung. Tujuan dari upacara ini untuk
memohon dan permakluman atas upacara yang telah dilaksanakan semoga berhasil, yang
ditujukan kepada Dewa Gunung dan Dewa Segara Danu. Karena pertemuan gunung (Iingga
acala), sebagai lambang purusa dan danau sebagai ambang pradana diharapkan memberikan
kemakmuran bagi masyarakat yang melakukan upacara besar.
c. Sebagai Tempat Maajar-ajar Berhubungan dengan Pitra Yadnya
Pura ulun danu Beratan difungsikan pula sebagai tempat upacara meajar-ajar oleh
masyarakat, mengingat keberadaan Pura ini memiliki kreteria untuk dilakukannya upacara
ini, terdapat sebuah Danau (Segara Danu) dan Gunung Pangelengan yang menjadi satu
kesatuan yang utuh dan merupakan Kahyangan Jagat. Adapun tujuan upacara ini menurut
Wiana (2004: 152), maksudnya memohon kepada Tuhan dalam aspeknya sebagai Purusa
(Dewa Gunung) dan dalam, aspeknya sebagai Pradhana (Dewa Segara) untuk memberikan
berbagai ajaran atau ajah kepada Hyang Dewa Pitare. Upacara ini dilakukan setelah
melakukan upacara Mamukur. Disamping itu bermakna bahwa Hyang Dewa Pitare yang baru
saja kaadegang setelah upacara mamukur atau nyekah memohon pengajah-ajah ajaran
kepada Dewa-dewa dan leluhur yang ada di gunung. Kepercayaan ini merupakan tradisi yang
sangat tua. Tradisi ini kepercayaan kepada leluhur ini berasal dari kebudayaan prasejarah.
Masyarakat prasejarah menganggap gunung merupakan tempat bersemayamnya roh suci
leluhur. Setelah agama Hindu masuk, kebudayaan ini tidak serta merta ditinggalkan begitu
saja, bahkan diadopsi karena hampir memiliki kesamaan dengan ajaran agama Hindu bahwa
gunung adalah stana Dewa-Dewi.
d. Sebagai Tempat Mamitang Dewa Hyang
Upacara mamitang Dewa Hyang Pitare tidak bisa terlepas dengan konsep dasar
keyakinan masyarakat Hindu di Bali yang berhubungan dengan jiwa atau Atman (Atma
Sradha) yang merupakan salah satu bagian dari konsep Panca Sradha bahwa walau manusia
telah meninggal, namun perjalannya belum selesai dan selanjutnya sang Atman diyakini
menjalankan kehidupan yang sempurna dialamnya. Menurut keyakinan masyarakat di Bali
bahwa roh orang yang meninggal masih terikat dengan keluarga yang ditinggalkan dan ada
beberapa orang masih meyakini leluhurnya yang sudah di-aben dan di-sekah-kan secara
niskala masih menghamba pada suatu Pura Kahyangan Jagat di Bali, seperti: Pura Besakih,
Goa Lawah, Uluwatu dan sebagainya, termasuk pula Pura ulun danu Beratan. Kemungkinan
konsep mamitang Dewa Hyang Pitara bersumber dari keyakinan masyarakat prasejarah juga.
e. Sebagai tempat Nunas Tirtha Pamuput.
Pura ulun danu Beratan difungsikan juga sebagai tempat memohon Tirtha pemuput.
Tirtha ini dimohon apabila di suatu Pura yang diyakini memiliki kaitan dengan Pura ini atau
perorangan yang melakukan upacara besar di sanggah/merajan. Pemakaian tirtha air suci
dalam ritual Hindu, tidak terlepas dengan penggunaan yang sangat penting, bahkan konsep
tirtha merupakan inti ajaran ritual agama Hindu Oleh karena itu, sampai-sampai Hindu Bali
pernah disebut-sebut sebagai ”Agama Tirtha” agama yang megutamakan air suci di dalam
melakukan suatu upacara keagamaan. Jenis tirtha pemuput upakara yang dimohon di Pura
ulun danu Beratan adalah tirtha wangsuhpada Ida Bhatara yang dimohon oleh pamangku
lewat memohon di depan pelinggih dan bukan tirtha yang “dibuat” oleh pemangku, karena
pamangku ‘rohaniawan eka jati’ tidak berwewenang untuk membuat tirtha, tetapi hanya
memohon. Lain halnya dengan pendeta Dwi Jati (Pedannda, Sira Mpu, Rsi Bujangga
Waisnawa, Pandita Mpu, Rsi Agung dan lain sebagainya) berwewenang Ngarga tirtha
‘membuat air suci dengan mantra-mantra tertentu’, misalnya, tirtha panglukatan, tirtha
pengentas dan sebagainya.
f. Tempat Melasti.
Pada sasih kesanga yang datang setiap tahun (dalam perhitungan tahun Saka), sebagian
besar Desa Pakraman yang ada di Bali dan masyarakat Hindu yang ada diluar pulau Bali
melakukan ritual melasti. Di dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala tujuan melasti
sangat utama, yakni Anganyutaken laraning jagat. papaklesa letuhing bhuana, yang artinya:
untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dari kekotoran dunia (alam), sedangkan di dalam
lontar Sundarigama menambahkan Amet Sarining amerta kamandalu ritelenging Samudra,
yang artinya: Untuk memperoleh air suci kehidupan ditengah-tengah lautan (Titib. 1993:16).
Khusus keberadaan Pura ulun danu Beratan berfungsi sebagaI tempat melasti atau mekiyis,
biasanya masyarakat sekitar begitu pula masyarakat sekedesaan Antapan, Baturiti, Marga,
Megwi dan sebagainya melakukan pemelastian empat hari sampai dua dua hari sebelum hari
raya Nyepi (tahun baru Saka), Pada upacara ini, seluruh benda yang disakralkan dan
disucikan, seperti arca pratima, nyasa atau pralingga serta perlengkapan yang lainnya
seperti tedung, lelontek, umbul-umbul, payung rob-rob, payung pagut dan sebagainya
diusung dan dibawa menuju Taman Beji Pura ulun danu Beratan. Setelah ritual inti
pemelastian dilakukan di Taman Beji, selanjutnya benda-denda yang disucikan ini
katangkilang dihadapkan di Pura Dalem Purwa dan Penataran Agung. Akan tetapi ada
beberapa Desa Pakraman hanya melakukan ritual ini di Taman Beji tanpa nangkilang ke
Dalem Purwa dan Penataran Agung.
g. Fungsi Usada
Masyarakat Bali yang sarat akan kearifan lokal yang mampu bersaing dengan
kebudayaan modern, salah satunya adalah usada. Usada adalah sistem pengobatan tradisional
Bali. Dari berbagai macam pengobatan yang ada di dalam lontar usada, terdapat salah satu
sarana pengobatan yang sangat penting adalah air. Penggunaannya ada dimanfaatkan sebagai
tutuh, minum, dan melukat ‘diguyur’, serta dicampur dengan ramuan-ramuan yang lain.
Berhubungan dengan keberadaan Pura Ulun Danu Beratan yang terletak di tepi danau, Pura
ini difungsikan oleh masyarakat Hindu sebagai tempat untuk melukat ‘menyucikan diri’.
Melukat oleh sebagian pemedek sering dilakukan pada hari-hari tertentu seperti Purnama,
Tilem, Kajeng Kliwon, Anggara Kasih dan hari-hari yang dianggap baik. Letak pura yang
terdapat di tepi danau telah memungkinkan diadakan ritual penglukatan. Karena
pengelukatan memakai sarana air sebagai sarana utama. Begitu pula oleh beberapa pemedek
memohon tirtha sebagai obat berbagai macam penyakit

Anda mungkin juga menyukai