Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mycrobacterium tuberculosis adalah bakteri yang dapat mengakibatkan
penyakit tuberkulosis pada manusia. Tuberkulosis itu sendiri merupakan salah
satu penyakit mematikan dan berbahaya di dunia.1 Tuberkulosis merupakan
penyakit yang menjadi perhatian global. Dengan berbagai upaya pengendalian
yang dilakukan, insidens dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun,
namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan
menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014.2 India, Indonesia, Tiongkok,
Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan merupakan enam negara dengan penderita
tuberkulosis terbanyak (dikombinasikan, 60% dari total kasus seluruh dunia.
Kasus yang terjadi India, Indonesia, dan Tiongkok memiliki nilai presentase
sebesar 45% dari kasus seluruh dunia.3
Indonesia memiliki angka kejadian penyakit menular tuberkulosis yang
penderitanya mencapai 583.000 orang, dengan kematian mencapai 140.000
orang. Maka secara kasar dari 100.000 penduduk Indonesia 130 diantaranya
merupakan penderita baru tuberkulosis paru BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Tuberkulosis menempati urutan nomor tiga sebagai penyebab kematian di
Indonesia setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran
pernafasan pada seluruh kalangan usia.4
Kegagalan pengobatan tuberkulosis pada umumnya terjadi disebabkan
terapi yang terputus dikarenakan pasien merasa sudah sembuh. Kendala lainnya
sering timbul dalam pengobatan tuberkulosis adalah lamanya waktu pengobatan.
Obat untuk tuberkulosis harus dimakan sedikitnya selama enam bulan.
Sementara biasanya setelah makan obat dua bulan, pasien malas meneruskan
pengobatan karena merasa sembuh dan tidak merasa gejala lagi. Salah satu
masalah global yang terjadi di negara maju maupun negara berkembang akibat
dari penggunaan obat tuberkulosis yang tidak sesuai dengan waktu pemakaian
adalah resistensi antibiotic yang dapat terjadi dalam suatu komunitas maupun
rumah sakit. Resistensi yang terjadi terhadap suatu bakteri penyebab infeksi
bersifat sangat merugikan serta dapat mempengaruhi penyebaran penyakit, hasil
terapi, lama sakit, dan biaya terapi.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robet Koch pada tahun


1882 di Berlin. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA).6 Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan
pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.7 Dalam jaringan tubuh manusia,
kuman ini dapat dorman yang berarti tertidur selama beberapa tahun.6 Fraksi
protein basil tuberculosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya
menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor terjadinya fibrosis dan
terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel.8
Mikobakterium bersifat aerob obligat dan mendapatakan energi dari
oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Peningkatan CO2 mendukung
pertumbuhan. Waktu replikasi basilus tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk
saprofitik cenderung untuk tumbuh lebih cepat, untuk berproliferasi dengan baik
pada suhu 22-23o C, untuk memproduksi pigmen, dan tidak terlalu bersifat tahan
asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya.9 Bakteri TB ini sangat tahan
terhadap zat kimia dan menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu,
Mycobacterium Tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru yang
kandungan oksigennya tinggi, daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif
untuk penyakit tuberculosis. Ada dua jenis mikobakterium tuberculosis yaitu
tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang
menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak
ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang
rentan terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah
terinfeksi melalui udara.10
Tuberkulosis resisten obat terdiri dari MDR-TB, yaitu resistensi terhadap
rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) lain, serta Extensively Drug Resistant Tuberculosis (XDR-TB)
yaitu resistensi terhadap OAT lini kedua seperti golongan fluorokuinolon11,12. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 2% MDR-TB dari kasus baru (resistensi primer)
dan 19% dari kasus yang telah diobati (resistensi sekunder).12
TB resistensi ganda dapat berupa resistensi primer dan resistensi
sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak
pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya
pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu
resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sesnsitif
obat.13
Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran TB resistensi
ganda. Basil mengalami mutase resisten terhadap satu jenis obat dan
mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat
dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk)
atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil
tersebut (indirek monoterapi). Selanjutnya resistensi sekunder (dapatan) terjadi.
Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan resistensi obat
yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB dengan
resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang
terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer.
Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan
penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan
terlambatnya penegakkan diagnostik. Resistensi obat yang primer dan sekunder
dapat diimpor, khususnya dari negara dengan prevalensi yang tinggi dimana
program kontrol tidak adekuat. Resistensi obat primer, seperti halnya resistensi
sekunder, dapat ditransmisikan ke orang lain jadi dapat menyebarkan penyakit
resistensi obat di dalam komunitas.14
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:15
a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan
INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut
sudah cukup tinggi.
c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah
dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti
lagi, demikian seterusnya.
d. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka
“penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah
panjangnya daftar obat yang resisten saja.
e. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
f. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, resistensi obat pada TB bukan
hanya disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat atau gagal, namun juga
disebabkan oleh munculnya strain resisten yang ditransmisikan oleh penderita
MDR-TB16. Strain yang resisten muncul akibat adanya perubahan atau mutasi
pada gen-gen tertentu dalam genom M. tuberculosis. Gen-gen ini merupakan
target dari mekanisme kerja OAT17. Pada tulisan ini dibahas mengenai kaitan
struktur genom M. tuberculosis dengan target kerja OAT dan aspek molekuler
mekanisme resistensi terhadap OAT.

Struktur Genome Mycobacterium tuberculosis


Mycobacterium tuberculosis memiliki karakteristik pertumbuhan yang
lambat, dorman, memiliki komponen dinding sel yang kompleks, merupakan
organisme intraseluler serta memiliki homogenitas genetik18,19. Karakteristik
pertumbuhan yang lambat dan dorman sangat berkontribusi dalam kronisitas
infeksi yang ditimbulkan. Hal ini juga berdampak pada lamanya masa terapi
selain juga menjadi kendala terutama dalam hal menumbuhkan bakteri basil
Gram positif ini. Keadaan dormansi merupakan akibat dari ditekannya jalur
metabolik bakteri akibat aktivasi sistem imun seluler. Mekanisme ini merupakan
bentuk pertahanan terhadap infeksi namun tidak dapat mengeradikasi infeksi.
Apabila terjadi penurunan sistem imun dan proses penuaan, maka infeksi dapat
teraktivasi19.
Genom M. tuberculosis berukuran sangat besar, yaitu 4,4 Megabasa dan
terdiri dari 3920 gen20. Stuktur genom ini diketahui mengalami evolusi dan
pengaturan ulang yang bertujuan untuk mempertahankan gen-gen yang bersifat
konstitutif (dibutuhkan untuk kelangsungan hidup) serta menghilangkan
sejumlah gen yang tidak diperlukan lagi21. Dengan kemajuan teknologi abad ini,
genom M. tuberculosis beserta protein yang diekspresikannya telah dapat
dipetakan. Pengetahuan ini sangat bermanfaat dalam studi terkait patogenesis
serta penemuan obat dan vaksin22. Resistensi alamiah terhadap banyak
antibiotika merupakan salah satu keunikan yang dimiliki oleh M. tuberculosis14.
Resistensi ini terjadi akibat adanya dinding sel yang sangat hidrofobik dan
berperan sebagai barrier permeabilitas23. Selain itu juga terdapat sejumlah
determinan lain pada genom yang juga menyebabkan resistensi, antara lain
adanya ekspresi dari enzim hidrolitik dan drug modifying enzymes, seperti β-
laktamase dan aminoglycoside acetyl transferase. Adanya sistem pompa efluks
juga berperan dalam mekanisme resistensi alamiah19.

Mekanisme Molekuler Resistensi Mycobacterium tuberculosis


Mycobacterium tuberculosis memiliki kemampuan untuk
mengembangkan resistensi secara alamiah terhadap berbagai antibiotika.
Resistensi tingkat rendah dapat disebabkan oleh struktur dinding sel yang yang
sangat hidrofobik dan berperan dalam mempertahankan permeabilitas dinding
dari mekanisme pengrusakan oleh obat24. Resistensi ini umumnya disebut
dengan resistensi intrinsik25. Resistensi dapatan (acquired) yang terjadi pada
MDR-TB umumnya disebabkan oleh karena adanya sejumlah mutasi pada
sejumlah gen yang mengkode sensitivitas Mycobacterium tuberculosis terhadap
OAT23.
Mycobacterium tuberculosis mengembangkan mekanisme resistensi
yang berbeda dengan bakteri lain pada umumnya. Pada prokariot, resistensi
umumnya disebabkan karena adanya transfer materi genetik, baik melalui
plasmid, transposon dan lain-lain. Pada M. tuberculosis, resistensi dipicu oleh
adanya mutasi yang terjadi secara spontan pada gen kromosomal. Resistensi
hanya akan menguntungkan bakteri pada saat terpapar dengan obat target. Pada
paparan OAT yang tidak adekuat, bakteri yang sensitif akan mati dan mutan
akan berkembang biak dengan pesat tanpa adanya persaingan yang berarti dalam
hal nutrisi23,25. Tuberkulosis pada kasus MDR cenderung akan berkembang
menjadi kasus kronik dan kondisi ini semakin mempermudah penyebaran M.
tuberculosis galur MDR10. Mutasi terhadap OAT terjadi 10-9 kali per
pembelahan sel. Oleh sebab itu OAT diberikan secara kombinasi untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya mutasi hingga 10-18 per pembelahan
sel25. Sejumlah gen yang terlibat dalam mekanisme resistensi M. tuberculosis
terhadap OAT dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Sejumlah gen yang terlibat dalam mekanisme resistensi M.


tuberculosis terhadap OAT

Mekanisme Resistensi terhadap INH


Resistensi terhadap INH disebabkan oleh adanya mutasi pada sejumlah
gen, yaitu katG, inhA dan ahpC. Gen katG berperan dalam mengkode enzim
katalase- peroksidase yang dibutuhkan untuk mengaktivasi Isoniazid (INH) yang
masuk ke dalam tubuh sebagai pro-drug25. Dalam mekanisme kerjanya INH
menghambat biositesis mycolic acid sehingga bakteri menjadi rentan terhadap
paparan radikal bebas dan faktor lingkungan lainnya23. Dalam mekanisme kerja
menghambat sintesis mycolic acid, INH yang teraktivasi menghambat enzim
NADH- dependent enoyl-ACP reductase yang dikode oleh gen inhA26. Gen
ahpC berperan dalam mengkode enzim alkyl hydroperoxidase reductase yang
menyebabkan bakteri resisten terhadap radikal bebas berupa oksigen dan
nitrogen bebas14,24. Mutasi yang paling sering dijumpai pada katG adalah mutasi
23,24,25,26
asam amino Serin menjadi Threonin pada kodon 315 (Ser315Thr) .
Mutasi ini banyak ditemukan pada kasus MDR-TB dibandingkan monoresisten
INH. Berdasarkan hal ini diduga bahwa mutan ini merupakan hasil mutasi tahap
kedua setelah paparan INH dalam dosis suboptimal25,26. Mutasi pada inhA pada
bagian promotor (posisi -15C/T) merupakan mutasi yang paling banyak
ditemukan pada resistensi INH dan mutasi ini juga mengakibatkan resistensi
silang dengan etionamid karena memiliki target kerja obat yang sama26.
Peningkatan ekspresi atau mutasi pada ahpC diketahui merupakan bentuk
kompensasi dari hilangnya aktivitas catalase peroxidase dan bukan mekanisme
dasar resistensi terhadap INH25.

Mekanisme Resistensi terhadap Rifampisin


Gen rpoB adalah gen yang mengkode sub unit beta, salah satu struktur
penyusun enzim DNA polymerase. Gen ini bertanggung jawab terhadap
resistensi Rifampisin. Rifampisin bekerja dengan berikatan pada sub unit beta
DNA polymerase. Karakteristik rifampisin adalah kemampuan untuk bekerja
membunuh bakteri yang tumbuh dengan aktif maupun tidak25. Mutasi yang
terjadi pada gen rpoB akan merubah struktur sub unit beta sehingga Rifampisin
kehilangan site of action24 . Mutasi umumnya terjadi pada 81 pasang basa di
daerah core yang disebut Rifampicin Resistance determining Region (RRDR)
dan biasanya berupa perubahan nukleotida tunggal yang akan mengakibatkan
perubahan susunan asam amino25. Mutasi berupa delesi inframe serta insersi
juga dapat terjadi pada frekuensi yang lebih rendah. Perubahan asam amino serin
pada kodon 531 serta Histidin pada kodon 526 ditemukan pada 70% isolat
resisten terhadap rifampisin24.

Mekanisme Resistensi terhadap Pirazinamid


Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang bekerja selektif terhadap M.
tuberculosis23. Obat ini efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri
semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh obat lain serta bekerja sinergis
dengan Rifampisin dan INH24. Pirazinamid memiliki aktivitas sterilisasi pada
awal terapi yang mampu membunuh bakteri persisten dan mempersingkat masa
terapi dari 9 bulan menjadi 6 bulan27. Mutan resisten Pirazinamid akan
kehilangan aktivitas amidase/pyrazinamidase yang dibutuhkan untuk mengubah
pirazinamid menjadi Pyrazinoic acid di intraselular14. Mutasi yang terjadi pada
pncA dapat berupa mutasi titik, insersi dan delesi nukleotida serta mutasi
terminasi28,29.

Mekanisme Resistensi terhadap Etambutol


Etambutol adalah salah satu OAT lini pertama yang bekerja secara
sinergis dengan OAT lain dalam menghambat sintesis arabinogalaktan dinding
sel M. tuberculosis, terutama dalam menghambat transfer arabinosil14,24,25.
Mutasi yang sangat mempengaruhi fenotip resistensi terhadap etambutol terjadi
pada gen embB20. Gen embB memiliki asam amino metionin pada posisi kodon
306. Susunan ini bersifat lestari atau conserved pada M. tuberculosis, M.
smegmatis, M. avium dan M. leprae. Mutasi titik yang mengakibatkan subtitusi
asam amino Metionin pada posisi 306 ditemukan pada sebagian besar kasus
resistensi etambutol. Hal inilah yang mendasari penggunaan mutasi kodon 306
sebagai marker resistensi30,31.Mekanisme Resistensi terhadap Streptomisin
berkerja menghambat ribosom yang berperan dalam proses translasi protein
pada M. tuberculosis24. Resistensi terhadap streptomisin ditemukan pada gen
rpsL dan rss, yang mengkode protein ribosomal S12 dan 16S RNA32,33. Mutasi
umumnya terjadi di kodon 43 dan 88 pada gen rpsL serta di daerah spesifik yaitu
loop 530 serta daerah 912 pada gen rrs 32. Perubahan asam amino Lisin menjadi
Arginin atau Threonin pada kodon 4323 dan perubahan Lisin menjadi Arginin
atau Glutamin pada kodon 88, merupakan bentuk mutasi yang sering ditemukan
pada isolat Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap Streptomisin23 .

Mekanisme Resistensi terhadap Fluorokuinolon


Saat ini golongan Fluorokuinolon digunakan untuk mengobati kasus TB
dengan resistensi terhadap rifampisin dan INH34. Obat ini bekerja dengan
menghambat pembentukan supercoiling dan aktivitas relaksasi dari DNA gyrase
(salah satu DNA topoisomerase tipe II) tanpa menghilangkan aktivitas ATPase.
Akibatnya enzim gyrase akan terus memutuskan DNA24. Penelitian terhadap M.
tuberculosis dan M. Smegmatis menunjukkan bahwa resistensi terhadap
fuorokuinolon disebabkan oleh adanya perubahan asam amino pada area
pengikatan fluorokuinolon pada gen gyrA dan gyrB, yang disebut quinolon
resistance determining region (QRDR)25. Mutasi pada gyrA merupakan bentuk
mutasi yang paling banyak ditemukan pada kasus TB resisten fluorokuinolon.
Sejumlah mutasi tersebut antara lain perubahan asam amino Alanin menjadi
Valin pada posisi kodon 90, Asam aspartat menjadi Alanin pada kodon 94,
Asam aspartate menjadi Glisin pada posisi kodon 94 dan Asam aspartate
menjadi Asparagin pada kodon 9435.
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis resisten obat merupakan permasalahan kesehatan global. Resistensi


tidak hanya disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat. Saat ini diketahui bahwa
struktur genetik atau susunan genom M. tuberculosis mempengaruhi mekanisme
resistensi. Pada M. tuberculosis, resistensi dapat terjadi secara instrinsik ataupun
dapatan. Resistensi instrinsik disebabkan oleh struktur dinding sel yang sangat
hidrofobik dan impermeable serta adanya ekspresi protein tertentu yang menrunkan
kerja obat. Resistensi dapatan cenderung disebabkan oleh adanya mutasi pada gen-gen
tertentu yang berperan dalam kerja OAT.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan


Kedelapan. Jakarta: Ditjen PPM-PL Depkes RI; 2002.
2. WHO. Global Tuberculosis Report 2015. Switzerland: WHO Press;
2015.
3. WHO. Global Tuberculosis Report 2016. Switzerland: WHO Press;
2016.
4. WHO. The Use of Delamanid in Treatment of Multidrug-Resistant
Tuberculosis. Switzerland: WHO Press; 2014.
5. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono,
et al. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta: Pusat penelitian pengembangan kesehatan.
2013.
7. Nurarif HA, Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis
Association) NIC-NOC. Mediaction Publishing. 2013
8. Hadiono D, Pusponegoro, Sri RS, Hadinegoro. Ilmu Kesehatan Anak 2.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2005: 573-92.
9. Jawetz, Melnick, Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. (H.
Hartanto, C. Rachman, A. Dimanti, A. Diani). Jakarta : EGC.p.199 – 200
: 233.
10. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta:
EGC. 2005
11. Soepandi PZ. Jurnal tuberkulosis indonesia. J Tuberkulosis Indones.
2010;7:16-18.
12. Hanafi AW, Prasenohadi. Mekanisme dan Diagnosa MDR TB. PPTI.
2010;7:14–23.
13. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds),
Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and
Wilkins Publisher, Boston, 2003.
14. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton
and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed.Berlin.2000.
15. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
16. Dye C, Espinal MA, Watt CJ, Mbiaga C, Williams BG. Worldwide
Incidence of Multidrug‐Resistant Tuberculosis. J Infect Dis.
2002;185(8):1197–202.
17. Blanchard JS. Molecular Mechanisms of Drug Resistance in
Tuberculosis. Annu Rev Biochem. 1996;65:215–39.
18. Misaki W, Byarugaba W. Emphasizing the vitality of genomics related
research in the area of infectious diseases. Sci Res Essay. 2008;3(4):125–
31.
19. Dijl V, Haven N, Sweet RM, Mosimann S, Medical BC. Deciperhing
the biology of Mycobacterium tuberculosis from the complete genome
sequence. Nature. 1998;396: 537-544
20. Pagel M, Pomiankowski A. Genomics and Tuberculosis. Indian J Chest
Dis Allied Sci. 2002. p. 221–3.
21. Kato-Maeda M, Rhee JT, Gingeras TR, Salamon H, Drenkow J,
Smittipat N, et al. Comparing genomes within the species
Mycobacterium tuberculosis. Genome Res. 2001;11(4):547–54.
22. Ahmed N, Hasnain SE. Genomics of Mycobacterium tuberculosis: Old
threats & new trends. Indian J Med Res. 2004;120(4):207–12.
23. Johnson R, Streicher EM, Louw GE, Warren RM, van Helden PD,
Victor TC. Drug resistance in Mycobacterium tuberculosis. CurrIssues
Mol Biol. 2006;8:97–111.
24. Rattan A. Multidrug-Resistant Mycobacterium tuberculosis: Molecular
Perspectives. Emerg Infect Dis. 1998;4(2):195–209.
25. Almeida Da Silva PE, Palomino JC. Molecular basis and mechanisms of
drug resistance in Mycobacterium tuberculosis: classical and new drugs.
J Antimicrob Chemother 2011;66(7):1417–30.
26. Palomino J, Martin A. Drug Resistance Mechanisms in Mycobacterium
tuberculosis. Antibiotics. 2014;3(3):317– 40.
27. Zhang Y, Mitchison D. The curious characteristics of pyrazinamide: A
review. Int J Tuberc Lung Dis. 2003;7(1):6–21.
28. Sreevatsan S, Pan X, Zhang Y, Kreiswirth BN, Musser JM. Mutations
associated with pyrazinamide resistance in pncA of Mycobacterium
tuberculosis complex organisms. Antimicrob Agents Chemother.
1997;41(3):636–40.
29. Cheng SJ, Thibert L, Sanchez T, Heifets L, Zhang Y. pncA mutations as
a major mechanism of pyrazinamide resistance in Mycobacterium
tuberculosis: Spread of a monoresistant strain in Quebec, Canada.
Antimicrob Agents Chemother. 2000;44(3):528–32.
30. Sreevatsan S, Stockbauer KE, Pan X, Kreiswirth BN, Moghazeh SL,
Jacobs WR, et al. Ethambutol resistance in Mycobacterium tuberculosis:
critical role of embB mutations. Antimicrob Agents Chemother.
1997;41(8):1677–81.
31. Park YK, Ryoo SW, Lee SH, Jnawali HN, Kim C-K, Kim HJ, et al.
Correlation of the phenotypic ethambutol susceptibility of
Mycobacterium tuberculosis with embB gene mutations in Korea. J Med
Microbiol. 2012;61:529–34.
32. Tudó G, Rey E, Borrell S, Alcaide F, Codina G, Coll P, et al.
Characterization of mutations in streptomycin-resistant Mycobacterium
tuberculosis clinical isolates in the area of Barcelona. J Antimicrob
Chemother. 2010;65(11):2341–6.
33. Ozturk CE, Sanic a, Kaya D, Ceyhan I. Molecular analysis of isoniazid,
rifampin and streptomycin resistance in Mycobacterium tuberculosis
isolates from patients with tuberculosis in Duzce, Turkey. Jpn J Infect
Dis. 2005;58(5):309– 12.
34. Huang T-S, Kunin CM, Shin-Jung Lee S, Chen Y-S, Tu H-Z, Liu Y-C.
Trends in fluoroquinolone resistance of Mycobacterium tuberculosis
complex in a Taiwanese medical centre: 1995-2003. J Antimicrob
Chemother. 2005;56:1058– 62.
35. Li J, Gao X, Luo T, Wu J, Sun G, Liu Q, et al. Association of gyrA/B
mutations and resistance levels to fluoroquinolones in clinical isolates of
Mycobacterium tuberculosis. Emerg Microbes Infect. 2014;3:e19.

Anda mungkin juga menyukai