Mycrobacterium tuberculosis adalah bakteri yang dapat mengakibatkan penyakit tuberkulosis pada manusia. Tuberkulosis itu sendiri merupakan salah satu penyakit mematikan dan berbahaya di dunia.1 Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insidens dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014.2 India, Indonesia, Tiongkok, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan merupakan enam negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak (dikombinasikan, 60% dari total kasus seluruh dunia. Kasus yang terjadi India, Indonesia, dan Tiongkok memiliki nilai presentase sebesar 45% dari kasus seluruh dunia.3 Indonesia memiliki angka kejadian penyakit menular tuberkulosis yang penderitanya mencapai 583.000 orang, dengan kematian mencapai 140.000 orang. Maka secara kasar dari 100.000 penduduk Indonesia 130 diantaranya merupakan penderita baru tuberkulosis paru BTA (Basil Tahan Asam) positif. Tuberkulosis menempati urutan nomor tiga sebagai penyebab kematian di Indonesia setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran pernafasan pada seluruh kalangan usia.4 Kegagalan pengobatan tuberkulosis pada umumnya terjadi disebabkan terapi yang terputus dikarenakan pasien merasa sudah sembuh. Kendala lainnya sering timbul dalam pengobatan tuberkulosis adalah lamanya waktu pengobatan. Obat untuk tuberkulosis harus dimakan sedikitnya selama enam bulan. Sementara biasanya setelah makan obat dua bulan, pasien malas meneruskan pengobatan karena merasa sembuh dan tidak merasa gejala lagi. Salah satu masalah global yang terjadi di negara maju maupun negara berkembang akibat dari penggunaan obat tuberkulosis yang tidak sesuai dengan waktu pemakaian adalah resistensi antibiotic yang dapat terjadi dalam suatu komunitas maupun rumah sakit. Resistensi yang terjadi terhadap suatu bakteri penyebab infeksi bersifat sangat merugikan serta dapat mempengaruhi penyebaran penyakit, hasil terapi, lama sakit, dan biaya terapi.5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robet Koch pada tahun
1882 di Berlin. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).6 Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.7 Dalam jaringan tubuh manusia, kuman ini dapat dorman yang berarti tertidur selama beberapa tahun.6 Fraksi protein basil tuberculosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel.8 Mikobakterium bersifat aerob obligat dan mendapatakan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Peningkatan CO2 mendukung pertumbuhan. Waktu replikasi basilus tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofitik cenderung untuk tumbuh lebih cepat, untuk berproliferasi dengan baik pada suhu 22-23o C, untuk memproduksi pigmen, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya.9 Bakteri TB ini sangat tahan terhadap zat kimia dan menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Mycobacterium Tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru yang kandungan oksigennya tinggi, daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberculosis. Ada dua jenis mikobakterium tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah terinfeksi melalui udara.10 Tuberkulosis resisten obat terdiri dari MDR-TB, yaitu resistensi terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) lain, serta Extensively Drug Resistant Tuberculosis (XDR-TB) yaitu resistensi terhadap OAT lini kedua seperti golongan fluorokuinolon11,12. Di Indonesia diperkirakan terdapat 2% MDR-TB dari kasus baru (resistensi primer) dan 19% dari kasus yang telah diobati (resistensi sekunder).12 TB resistensi ganda dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sesnsitif obat.13 Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran TB resistensi ganda. Basil mengalami mutase resisten terhadap satu jenis obat dan mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Selanjutnya resistensi sekunder (dapatan) terjadi. Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan resistensi obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik. Resistensi obat yang primer dan sekunder dapat diimpor, khususnya dari negara dengan prevalensi yang tinggi dimana program kontrol tidak adekuat. Resistensi obat primer, seperti halnya resistensi sekunder, dapat ditransmisikan ke orang lain jadi dapat menyebarkan penyakit resistensi obat di dalam komunitas.14 Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:15 a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi. c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya. d. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja. e. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. f. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, resistensi obat pada TB bukan hanya disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat atau gagal, namun juga disebabkan oleh munculnya strain resisten yang ditransmisikan oleh penderita MDR-TB16. Strain yang resisten muncul akibat adanya perubahan atau mutasi pada gen-gen tertentu dalam genom M. tuberculosis. Gen-gen ini merupakan target dari mekanisme kerja OAT17. Pada tulisan ini dibahas mengenai kaitan struktur genom M. tuberculosis dengan target kerja OAT dan aspek molekuler mekanisme resistensi terhadap OAT.
Struktur Genome Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis memiliki karakteristik pertumbuhan yang lambat, dorman, memiliki komponen dinding sel yang kompleks, merupakan organisme intraseluler serta memiliki homogenitas genetik18,19. Karakteristik pertumbuhan yang lambat dan dorman sangat berkontribusi dalam kronisitas infeksi yang ditimbulkan. Hal ini juga berdampak pada lamanya masa terapi selain juga menjadi kendala terutama dalam hal menumbuhkan bakteri basil Gram positif ini. Keadaan dormansi merupakan akibat dari ditekannya jalur metabolik bakteri akibat aktivasi sistem imun seluler. Mekanisme ini merupakan bentuk pertahanan terhadap infeksi namun tidak dapat mengeradikasi infeksi. Apabila terjadi penurunan sistem imun dan proses penuaan, maka infeksi dapat teraktivasi19. Genom M. tuberculosis berukuran sangat besar, yaitu 4,4 Megabasa dan terdiri dari 3920 gen20. Stuktur genom ini diketahui mengalami evolusi dan pengaturan ulang yang bertujuan untuk mempertahankan gen-gen yang bersifat konstitutif (dibutuhkan untuk kelangsungan hidup) serta menghilangkan sejumlah gen yang tidak diperlukan lagi21. Dengan kemajuan teknologi abad ini, genom M. tuberculosis beserta protein yang diekspresikannya telah dapat dipetakan. Pengetahuan ini sangat bermanfaat dalam studi terkait patogenesis serta penemuan obat dan vaksin22. Resistensi alamiah terhadap banyak antibiotika merupakan salah satu keunikan yang dimiliki oleh M. tuberculosis14. Resistensi ini terjadi akibat adanya dinding sel yang sangat hidrofobik dan berperan sebagai barrier permeabilitas23. Selain itu juga terdapat sejumlah determinan lain pada genom yang juga menyebabkan resistensi, antara lain adanya ekspresi dari enzim hidrolitik dan drug modifying enzymes, seperti β- laktamase dan aminoglycoside acetyl transferase. Adanya sistem pompa efluks juga berperan dalam mekanisme resistensi alamiah19.
Mycobacterium tuberculosis memiliki kemampuan untuk mengembangkan resistensi secara alamiah terhadap berbagai antibiotika. Resistensi tingkat rendah dapat disebabkan oleh struktur dinding sel yang yang sangat hidrofobik dan berperan dalam mempertahankan permeabilitas dinding dari mekanisme pengrusakan oleh obat24. Resistensi ini umumnya disebut dengan resistensi intrinsik25. Resistensi dapatan (acquired) yang terjadi pada MDR-TB umumnya disebabkan oleh karena adanya sejumlah mutasi pada sejumlah gen yang mengkode sensitivitas Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT23. Mycobacterium tuberculosis mengembangkan mekanisme resistensi yang berbeda dengan bakteri lain pada umumnya. Pada prokariot, resistensi umumnya disebabkan karena adanya transfer materi genetik, baik melalui plasmid, transposon dan lain-lain. Pada M. tuberculosis, resistensi dipicu oleh adanya mutasi yang terjadi secara spontan pada gen kromosomal. Resistensi hanya akan menguntungkan bakteri pada saat terpapar dengan obat target. Pada paparan OAT yang tidak adekuat, bakteri yang sensitif akan mati dan mutan akan berkembang biak dengan pesat tanpa adanya persaingan yang berarti dalam hal nutrisi23,25. Tuberkulosis pada kasus MDR cenderung akan berkembang menjadi kasus kronik dan kondisi ini semakin mempermudah penyebaran M. tuberculosis galur MDR10. Mutasi terhadap OAT terjadi 10-9 kali per pembelahan sel. Oleh sebab itu OAT diberikan secara kombinasi untuk memperkecil kemungkinan terjadinya mutasi hingga 10-18 per pembelahan sel25. Sejumlah gen yang terlibat dalam mekanisme resistensi M. tuberculosis terhadap OAT dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Sejumlah gen yang terlibat dalam mekanisme resistensi M.
tuberculosis terhadap OAT
Mekanisme Resistensi terhadap INH
Resistensi terhadap INH disebabkan oleh adanya mutasi pada sejumlah gen, yaitu katG, inhA dan ahpC. Gen katG berperan dalam mengkode enzim katalase- peroksidase yang dibutuhkan untuk mengaktivasi Isoniazid (INH) yang masuk ke dalam tubuh sebagai pro-drug25. Dalam mekanisme kerjanya INH menghambat biositesis mycolic acid sehingga bakteri menjadi rentan terhadap paparan radikal bebas dan faktor lingkungan lainnya23. Dalam mekanisme kerja menghambat sintesis mycolic acid, INH yang teraktivasi menghambat enzim NADH- dependent enoyl-ACP reductase yang dikode oleh gen inhA26. Gen ahpC berperan dalam mengkode enzim alkyl hydroperoxidase reductase yang menyebabkan bakteri resisten terhadap radikal bebas berupa oksigen dan nitrogen bebas14,24. Mutasi yang paling sering dijumpai pada katG adalah mutasi 23,24,25,26 asam amino Serin menjadi Threonin pada kodon 315 (Ser315Thr) . Mutasi ini banyak ditemukan pada kasus MDR-TB dibandingkan monoresisten INH. Berdasarkan hal ini diduga bahwa mutan ini merupakan hasil mutasi tahap kedua setelah paparan INH dalam dosis suboptimal25,26. Mutasi pada inhA pada bagian promotor (posisi -15C/T) merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan pada resistensi INH dan mutasi ini juga mengakibatkan resistensi silang dengan etionamid karena memiliki target kerja obat yang sama26. Peningkatan ekspresi atau mutasi pada ahpC diketahui merupakan bentuk kompensasi dari hilangnya aktivitas catalase peroxidase dan bukan mekanisme dasar resistensi terhadap INH25.
Mekanisme Resistensi terhadap Rifampisin
Gen rpoB adalah gen yang mengkode sub unit beta, salah satu struktur penyusun enzim DNA polymerase. Gen ini bertanggung jawab terhadap resistensi Rifampisin. Rifampisin bekerja dengan berikatan pada sub unit beta DNA polymerase. Karakteristik rifampisin adalah kemampuan untuk bekerja membunuh bakteri yang tumbuh dengan aktif maupun tidak25. Mutasi yang terjadi pada gen rpoB akan merubah struktur sub unit beta sehingga Rifampisin kehilangan site of action24 . Mutasi umumnya terjadi pada 81 pasang basa di daerah core yang disebut Rifampicin Resistance determining Region (RRDR) dan biasanya berupa perubahan nukleotida tunggal yang akan mengakibatkan perubahan susunan asam amino25. Mutasi berupa delesi inframe serta insersi juga dapat terjadi pada frekuensi yang lebih rendah. Perubahan asam amino serin pada kodon 531 serta Histidin pada kodon 526 ditemukan pada 70% isolat resisten terhadap rifampisin24.
Mekanisme Resistensi terhadap Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang bekerja selektif terhadap M. tuberculosis23. Obat ini efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh obat lain serta bekerja sinergis dengan Rifampisin dan INH24. Pirazinamid memiliki aktivitas sterilisasi pada awal terapi yang mampu membunuh bakteri persisten dan mempersingkat masa terapi dari 9 bulan menjadi 6 bulan27. Mutan resisten Pirazinamid akan kehilangan aktivitas amidase/pyrazinamidase yang dibutuhkan untuk mengubah pirazinamid menjadi Pyrazinoic acid di intraselular14. Mutasi yang terjadi pada pncA dapat berupa mutasi titik, insersi dan delesi nukleotida serta mutasi terminasi28,29.
Mekanisme Resistensi terhadap Etambutol
Etambutol adalah salah satu OAT lini pertama yang bekerja secara sinergis dengan OAT lain dalam menghambat sintesis arabinogalaktan dinding sel M. tuberculosis, terutama dalam menghambat transfer arabinosil14,24,25. Mutasi yang sangat mempengaruhi fenotip resistensi terhadap etambutol terjadi pada gen embB20. Gen embB memiliki asam amino metionin pada posisi kodon 306. Susunan ini bersifat lestari atau conserved pada M. tuberculosis, M. smegmatis, M. avium dan M. leprae. Mutasi titik yang mengakibatkan subtitusi asam amino Metionin pada posisi 306 ditemukan pada sebagian besar kasus resistensi etambutol. Hal inilah yang mendasari penggunaan mutasi kodon 306 sebagai marker resistensi30,31.Mekanisme Resistensi terhadap Streptomisin berkerja menghambat ribosom yang berperan dalam proses translasi protein pada M. tuberculosis24. Resistensi terhadap streptomisin ditemukan pada gen rpsL dan rss, yang mengkode protein ribosomal S12 dan 16S RNA32,33. Mutasi umumnya terjadi di kodon 43 dan 88 pada gen rpsL serta di daerah spesifik yaitu loop 530 serta daerah 912 pada gen rrs 32. Perubahan asam amino Lisin menjadi Arginin atau Threonin pada kodon 4323 dan perubahan Lisin menjadi Arginin atau Glutamin pada kodon 88, merupakan bentuk mutasi yang sering ditemukan pada isolat Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap Streptomisin23 .
Mekanisme Resistensi terhadap Fluorokuinolon
Saat ini golongan Fluorokuinolon digunakan untuk mengobati kasus TB dengan resistensi terhadap rifampisin dan INH34. Obat ini bekerja dengan menghambat pembentukan supercoiling dan aktivitas relaksasi dari DNA gyrase (salah satu DNA topoisomerase tipe II) tanpa menghilangkan aktivitas ATPase. Akibatnya enzim gyrase akan terus memutuskan DNA24. Penelitian terhadap M. tuberculosis dan M. Smegmatis menunjukkan bahwa resistensi terhadap fuorokuinolon disebabkan oleh adanya perubahan asam amino pada area pengikatan fluorokuinolon pada gen gyrA dan gyrB, yang disebut quinolon resistance determining region (QRDR)25. Mutasi pada gyrA merupakan bentuk mutasi yang paling banyak ditemukan pada kasus TB resisten fluorokuinolon. Sejumlah mutasi tersebut antara lain perubahan asam amino Alanin menjadi Valin pada posisi kodon 90, Asam aspartat menjadi Alanin pada kodon 94, Asam aspartate menjadi Glisin pada posisi kodon 94 dan Asam aspartate menjadi Asparagin pada kodon 9435. BAB III KESIMPULAN
Tuberkulosis resisten obat merupakan permasalahan kesehatan global. Resistensi
tidak hanya disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat. Saat ini diketahui bahwa struktur genetik atau susunan genom M. tuberculosis mempengaruhi mekanisme resistensi. Pada M. tuberculosis, resistensi dapat terjadi secara instrinsik ataupun dapatan. Resistensi instrinsik disebabkan oleh struktur dinding sel yang sangat hidrofobik dan impermeable serta adanya ekspresi protein tertentu yang menrunkan kerja obat. Resistensi dapatan cenderung disebabkan oleh adanya mutasi pada gen-gen tertentu yang berperan dalam kerja OAT. DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan
Kedelapan. Jakarta: Ditjen PPM-PL Depkes RI; 2002. 2. WHO. Global Tuberculosis Report 2015. Switzerland: WHO Press; 2015. 3. WHO. Global Tuberculosis Report 2016. Switzerland: WHO Press; 2016. 4. WHO. The Use of Delamanid in Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis. Switzerland: WHO Press; 2014. 5. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, et al. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011. 6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Pusat penelitian pengembangan kesehatan. 2013. 7. Nurarif HA, Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC. Mediaction Publishing. 2013 8. Hadiono D, Pusponegoro, Sri RS, Hadinegoro. Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005: 573-92. 9. Jawetz, Melnick, Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. (H. Hartanto, C. Rachman, A. Dimanti, A. Diani). Jakarta : EGC.p.199 – 200 : 233. 10. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC. 2005 11. Soepandi PZ. Jurnal tuberkulosis indonesia. J Tuberkulosis Indones. 2010;7:16-18. 12. Hanafi AW, Prasenohadi. Mekanisme dan Diagnosa MDR TB. PPTI. 2010;7:14–23. 13. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds), Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston, 2003. 14. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed.Berlin.2000. 15. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006. 16. Dye C, Espinal MA, Watt CJ, Mbiaga C, Williams BG. Worldwide Incidence of Multidrug‐Resistant Tuberculosis. J Infect Dis. 2002;185(8):1197–202. 17. Blanchard JS. Molecular Mechanisms of Drug Resistance in Tuberculosis. Annu Rev Biochem. 1996;65:215–39. 18. Misaki W, Byarugaba W. Emphasizing the vitality of genomics related research in the area of infectious diseases. Sci Res Essay. 2008;3(4):125– 31. 19. Dijl V, Haven N, Sweet RM, Mosimann S, Medical BC. Deciperhing the biology of Mycobacterium tuberculosis from the complete genome sequence. Nature. 1998;396: 537-544 20. Pagel M, Pomiankowski A. Genomics and Tuberculosis. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2002. p. 221–3. 21. Kato-Maeda M, Rhee JT, Gingeras TR, Salamon H, Drenkow J, Smittipat N, et al. Comparing genomes within the species Mycobacterium tuberculosis. Genome Res. 2001;11(4):547–54. 22. Ahmed N, Hasnain SE. Genomics of Mycobacterium tuberculosis: Old threats & new trends. Indian J Med Res. 2004;120(4):207–12. 23. Johnson R, Streicher EM, Louw GE, Warren RM, van Helden PD, Victor TC. Drug resistance in Mycobacterium tuberculosis. CurrIssues Mol Biol. 2006;8:97–111. 24. Rattan A. Multidrug-Resistant Mycobacterium tuberculosis: Molecular Perspectives. Emerg Infect Dis. 1998;4(2):195–209. 25. Almeida Da Silva PE, Palomino JC. Molecular basis and mechanisms of drug resistance in Mycobacterium tuberculosis: classical and new drugs. J Antimicrob Chemother 2011;66(7):1417–30. 26. Palomino J, Martin A. Drug Resistance Mechanisms in Mycobacterium tuberculosis. Antibiotics. 2014;3(3):317– 40. 27. Zhang Y, Mitchison D. The curious characteristics of pyrazinamide: A review. Int J Tuberc Lung Dis. 2003;7(1):6–21. 28. Sreevatsan S, Pan X, Zhang Y, Kreiswirth BN, Musser JM. Mutations associated with pyrazinamide resistance in pncA of Mycobacterium tuberculosis complex organisms. Antimicrob Agents Chemother. 1997;41(3):636–40. 29. Cheng SJ, Thibert L, Sanchez T, Heifets L, Zhang Y. pncA mutations as a major mechanism of pyrazinamide resistance in Mycobacterium tuberculosis: Spread of a monoresistant strain in Quebec, Canada. Antimicrob Agents Chemother. 2000;44(3):528–32. 30. Sreevatsan S, Stockbauer KE, Pan X, Kreiswirth BN, Moghazeh SL, Jacobs WR, et al. Ethambutol resistance in Mycobacterium tuberculosis: critical role of embB mutations. Antimicrob Agents Chemother. 1997;41(8):1677–81. 31. Park YK, Ryoo SW, Lee SH, Jnawali HN, Kim C-K, Kim HJ, et al. Correlation of the phenotypic ethambutol susceptibility of Mycobacterium tuberculosis with embB gene mutations in Korea. J Med Microbiol. 2012;61:529–34. 32. Tudó G, Rey E, Borrell S, Alcaide F, Codina G, Coll P, et al. Characterization of mutations in streptomycin-resistant Mycobacterium tuberculosis clinical isolates in the area of Barcelona. J Antimicrob Chemother. 2010;65(11):2341–6. 33. Ozturk CE, Sanic a, Kaya D, Ceyhan I. Molecular analysis of isoniazid, rifampin and streptomycin resistance in Mycobacterium tuberculosis isolates from patients with tuberculosis in Duzce, Turkey. Jpn J Infect Dis. 2005;58(5):309– 12. 34. Huang T-S, Kunin CM, Shin-Jung Lee S, Chen Y-S, Tu H-Z, Liu Y-C. Trends in fluoroquinolone resistance of Mycobacterium tuberculosis complex in a Taiwanese medical centre: 1995-2003. J Antimicrob Chemother. 2005;56:1058– 62. 35. Li J, Gao X, Luo T, Wu J, Sun G, Liu Q, et al. Association of gyrA/B mutations and resistance levels to fluoroquinolones in clinical isolates of Mycobacterium tuberculosis. Emerg Microbes Infect. 2014;3:e19.