Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak pertanyaan berkaitan dengan masalah diskriminasi terhadap perempuan baik
pada tingkat regional maupun dunia. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan
tersebut, Konvensi perempuan disusun dan diterima oleh Sidang Umum PBB tanggal 18
Desember 1979, kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 7
Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984. Segala bentuk instrumen yang sudah ada sampai saat
ini belum efektif dan maksimal, dengan demikian perlu ada pembenahan-pembenahan
hak-hak perempuan dan penghapusan diskriminasi.Di Tahun 1984 Indonesia melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan, ratifikasi ini jelas memperlihatkan bahwa
Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
konvensi perempuan dengan menciptakan kepastian dan penegakan hukum dan
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang non diskriminasi.
Banyak kalangan yang pesimis terhadap dampak dari konvensi perempuan ini untuk
memajukan status perempuan di Indonesia, karena apa yang dijanjikan dan apa yang
sudah tertuang dalam undang-undang belum tentu bisa diwujudkan dalam kenyataan.
· Hak atas pekerjaan yang sama dengan laki-laki, kebebasan memilih provesi, pekerjaan,
promosi dan pelatihan.
· Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. Hak perempuan terhadap
jaminan sosial.
· Hak mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
· Hak perempuan untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan dan tetap mendapat tunjangan
karena kawin, hamil, hak akan cuti haid dan melahirkan.
· Hak untuk mendapatkan pelayanan sosial supaya perempuan dapat menggabungkan
kewajiban keluarga untuk mendapatkan upah yang layak.
Permasalahan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Deklarasi Sedunia tentang hak-
hak asasi manusia yang berbunyi “Semua orang yang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”. Permasalahan yang mungkin timbul
adalah apakah pengertian antara hakhak asasi, sama dengan hak-hak manusia karena
dalam bahasa asalnya tampaknya ada perbedaan pengertian tetap dalam pembicaraan kali
ini tidak diperdebatkan. Yang di maksud dengan hak asasi manusia secara umum
dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia, yang bila
tidak mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia termasuk di dalamnya adalah hak
ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politik. Hak perempuan yang
dimaksudkan adalah hak-hak yang melekat pada diri perempuan yang dikodratkan
sebagai manusia sama halnya dengan laki-laki yang diutamakan adalah hak untuk
mendapatkan kesempatan dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki di segala
bidang kehidupan.
Hak untuk memperoleh kedudukan dan perlakuan yang sama dengan lakilaki
sebagaimana yang di maksud dalam pengertian hak-hak asasi yang termasuk di dalamnya
hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politik. Kenyataan menunjukkan
bahwa perlakuan diskriminasi terhadap perempuan masih banyak ditemui walaupun
sudah ada berbagai aturan serta peraturan perundang-undangan lainnya. Seperti halnya di
Indonesia sejak awal berdirinya Republik ini secara tegas dicantumkan di dalam Undang-
undang Dasar (UUD) 1945 tentang adanya persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki
dan perempuan antara lain Pasal 27 (1) UUD 1945, segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, dan juga di dalam beberapa pasal yang lainnya (Pasal 29 ayat (2), Pasal 30
ayat (1), Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui betapa pentingnya fungsi undang-
undang dan peraturan-peraturan dalam mewujudkan keadilan jender agar tidak terdapat
ketentuan hukum yang non diskriminasi. Kenyataan yang ada menunjukkan masih jauh
dari harapan, padahal kita mengetahui bersama bahwa sudah cukup banyak perempuan
yang berpendidikan yang dapat diberi tanggungjawab sebagai penentu kebijakan
nasional. Tetapi ternyata dalam prosentase perempuan yang mendapat kesempatan
tanggungjawab untuk itu masih sangat kecil. Hal ini merupakan masalah besar yang
membutuhkan penanganan lebih lanjut untuk dibenahi oleh pemerintah.
B. Rumusan Masalah
1. Pemberdayaan dan status perempuan
2. Anak perempuan
3. Tanggung jawab laki-laki dan partisipasi
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemberdayaan dan status perempuan
2. Untuk mengetahui status anak perempuan dalam kesetaraan gender
3. Untuk mengeahui tanggung jawab laki-laki dan partisipasi
BAB II
PEMBAHASAN
Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa
kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan
perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan
pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan
prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.
Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan 'The Millenium Development Goals' (MDGs)
yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif
untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan
yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.
PUG merupakan perwujudan dari komitmen global penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia, berkaitan dengan kesamaan kesempatan dan perlakuan bagi laki-laki dan
perempuan dalam melaksanakan peran-peran politik, ekonomi dan sosial budaya dalam
kehidupan masyarakat. Dalam relasi sosial yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan
faktor yang sama pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan,
baik lingkungan keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak
tepat jika PUG dikonotasikan sebagai 'emansipasi wanita' saja, karena PUG justru
menghormati hak-hak kaum perempuan dan laki-laki yang memang tidak sama secara fisik
dan kodrati. PUG lebih menekankan bagaimana menempatkan perspektif itu dalam berbagai
peran secara optimal.
Mungkin masih ada pemikiran yang mengatakan bahwa penempatan perempuan jauh dari
keluarganya tidak manusiawi. Namun jika kita memandang dari prespektif gender,
sebenarnya sama saja, laki-laki pun tidak seharusnya jauh dari keluarganya. Karena baik laki-
laki maupun perempuan secara bersama-sama memiliki tanggung jawab yang besar dalam
membangun generasi mendatang.
Dengan kepedulian pada pengarusutamaan gender, beberapa tahun lalu pegawai perempuan
di salah satu unit eselon I Kemenkeu yang akan dipromosikan diberitahu lebih dulu. Ia
diberikan kesempatan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan dengan keluarganya
tentang kemungkinan untuk mengambil kesempatan tersebut.
Menurut penulis, langkah yang dilakukan ini cukup adil dan manusiawi, sehingga seseorang
diberikan hak untuk 'memilih' dan 'menentukan' hidup dan karirnya. Jika mau mengambil
kesempatan tersebut, maka akan ada konsekuensi lain yang perlu diperhitungkan dalam
'perjuangannya'. Memang tidak mudah, namun hidup adalah pilihan, jadi itulah konsekuensi
dari sebuah pilihan.tinggal bagaimana kita memandangnya melalui 'jendela' yang lebih bersih
dan luas.
Penulis berpendapat, untuk menjamin keadilan perspektif gender dalam penerapannya, maka
sistem promosi dan mutasi pegawai memang perlu terus dibenahi. Meskipun usaha
pembenahan itu sudah ada dan mulai terasa hasilnya. Terutama dalam hal keadilan gender.
Pegawai laki-laki yang sudah bertahun-tahun berpisah jauh dari keluarganya pun (baik
dengan alasan yang kuat maupun yang kurang kuat), tentu menjadi 'merasa tidak adil'.
Pandangan umum mengatakan, kodrat laki-laki adalah pemimpin rumah tangga sehingga
kemungkinannya untuk 'diikuti' oleh keluarganya memang lebih besar. Dibandingkan
perempuan yang secara kodrati adalah 'perdana menteri' dalam rumah tangga, sehingga
tetaplah ia perlu berdiskusi dengan 'presidennya' apakah harus ‘berjauhan’ atau 'membawa'
keluarganya dalam dinas.
Manakala ada transparansi kompetensi jabatan dalam berbagai ranah struktural maupun
fungsional maka pengangkatan atau pemindahan suatu jabatan (promosi dan mutasi) akan
dirasakan adil dan memiliki prespektif gender. Setiap orang baik laki-laki maupun
perempuan akan berupaya dengan baik mengikuti aturan dan alur yang sudah disepakati.
Keadilan gender menjadi lebih baik dan lebih sehat lagi. Tidak seorang pun yang merasa
diperlakukan kurang adil dari sisi gender.
Pada era sekarang ini, banyak institusi mulai merasakan bahwa kepemimpinan yang
melayani (servant leadership) dapat memberikan hasil yang optimal bagi organisasi.
Mungkin opini penulis dapat menggerakkan berbagai pihak membuat penelitian, apakah
perempuan dapat mewakili servant leadership tersebut? Jiwa melayani memang bukan
mutlak milik perempuan. Namun pemimpin perempuan yang kuat, biasanya memiliki
sensitifitas dan naluri “ibu” yang mampu menjadi katalisator dan penggerak bagi
lingkungannya untuk berubah menjadi lebih baik. Dengan kata lain, perempuan memiliki
kekuatan untuk menjadi agen-agen perubahan.
Penulis ingin mengajak seluruh pihak mendukung upaya yang sudah dan tengah dilakukan
untuk memperbaiki kelembagaan khususnya di Kementerian Keuangan secara menyeluruh,
demi Indonesia yang lebih baik.
Isu-isu utama/ sejumlah contoh kesenjangan gender di berbagai sektor yang masih perlu
diatasi :
Pernikahan dini adalah suatu hal yang lazim di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2004 memperkirakan 13% dari perempuan
Indonesia menikah di umur 15 – 19 tahun.
Dalam hukum Islam, laki-laki memang diperbolehkan memperistri lebih dari satu orang.
Akan tetapi, dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa izin
untuk memiliki banyak istri dapat diberikan jika seseorang dapat memberikan bukti
bahwa istri pertamanya tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Indonesia pun dilarang mempraktekkan poligami.
Hukum perkawinan di Indonesia menganggap pria sebagai kepala rumah tangga dan
pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas rumah tangga termasuk membesarkan
anak umumnya dilakukan oleh perempuan.
Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi
karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat perempuan
terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-
pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki.
3. Kekerasan Fisik
Perdagangan perempuan dan prostitusi juga merupakan ancaman serius bagi perempuan
Indonesia, terutama mereka yang miskin dan kurang berpendidikan. Meskipun pelecehan
seksual dianggap kejahatan, akan tetapi hal itu umum ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari. Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2004 menemukan bahwa 90% perempuan
mengaku telah mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja.
4. Hak Kepemilikan
Hukum Perdata di Indonesia menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak
kepemilikan yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses ke
properti, tanah dan memiliki akses ke pinjaman bank dan kredit, meskipun terkadang
masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian contohnya: suami berhak untuk memiliki
nomor pajak pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam
catatan suami.
Untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan isu kesetaraan gender ini, program
kampanye Decision for Life yang ditujukan bagi pekerja perempuan muda tidak ada
henti-hentinya menyuarakan dan mengedukasi perempuan. Lewat event dan pelatihan
Decision for Life yang bertema “Gender Awareness”, perempuan diharapkan dapat lebih
terpacu untuk membela hak mereka dalam kesempatan kerja/karir, hak maternal dan
keseimbangan antara keluarga dan karir.
Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis
tanpa pertimbangan selanjutnya. Malu rasanya apabila perempuan berteriak mengenai isu
kesetaraan gender apabila kita artikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-
laki. Karena pada dasarnya, perempuan tentunya tidak akan siap jika harus menanggung
beban berat yang biasa ditanggung oleh laki-laki. Atau sebaliknya laki-laki pun tidak
akan bisa menyelesaikan semua tugas rutin rumah tangga yang biasa dikerjakan
perempuan.
Sumber
Berbagai perhatian ICPD 1994 seperti yang dituangkan kedalam tujuan dan program asli
untuk anak dan remaja serta anak perempuan, telah menjadi perhatian nasional jauh
sebelum pertemuan kairo tersebut. Meskipun demikian perlu diakui bahwa ada beberapa
aspekpenting yang masih perlu diperhatikan oleh bangsa Indonesia. Aspek kunci yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
Secara umum Pancasila sebagai landasan idiil, UUD 1945 sebagai landasan hukum dan
GBHN sebagai landasan operasional telah memungkinkan semua warga negara tanpa
membedakan kelas sosial, suku bangsa, ras, dan jenis kelamin untuk memiliki hak,
kewajiban, tanggung jawab, kesemp[atan yang sama untuk ikut berkiprah dalam
pembangunan dan dalam semua bidang kehidupan. Komitmen pemerintah tersebut sangat
sejalan dengan apa yang direkomendasikan ICPD 1994 bidang kesejahteraan gender dan
pemberdayaan perempuan.
Hasil ICPD bidang kesetaran gender dan pemberdayaan perempuan memuat tiga hal
yaitu:
Tidakan untuk melindungi hak dan keselamatan perempuan yang berada dalam
situasi tereksploitasi seperti pekerja migran, pembantu rumah tangga sejauh ini
belum ada, sebab pembantu rumah tangga bukan termasuk kategori buruh yang
bekerja di sector formal, karena bekerja di rumah majikan, sehingga tidak termasuk
ke dalam undang-undang perburuhan.
Di bidang ekonomi juga mendorong agar perempuan data terlihat terlihat langsung
dalam meningkatkan ekonomi dan pendapatan keluarga. Berbagai upaya antara lain
dengan memberikan pelatihan-pelatihan baik teknik maupun majemen untuk
meningkatkan ketrampilannya terus dilakukan, misalnya melalui kegiatan Kelompok
Usaha Bersama yang tersebar di seluruh provinsi, merupakan peningkatan
ketrampilan dalam upaya memberikan ruang gerak usaha sebagai upaya pengentasan
kemiskinan. Demikian juga program IDT dimana sasaran program bukan hanya
laki-laki tetapi juga perempuan serta program Takesra dan Kukesra adalah program
yang ditujukan kepada para peserta KB yang memiliki usaha secara keseluruhan
ditujukan untuk meningkatkan usaha wanita dalam rangka pembangunan keluarga
sejahtera.
Namun demikian, pada saat ini perempuan lebih banyak terserap dalam kegiatan
informal, seperti pembantu rumah tangga, dan pekerjaan yang rawan kesehatan dan
keselamatan kerja oleh tidak dimilikinya pendidikan dan ketrampilan, di dalam
kegiatan yang formal perempuan juga jauh lebih banyak terserap sebagai pekerja
manual. Mereka-meraka ini perlu mendapaykan perhatian yang sungguh-sungguh
karena sangat rentan dan potensial untuk mendapatkan perlakuan yang sewenang-
wenang.
Demikian juga dapat ditarik kesimpulan secara umum, yaitu Pemerintah, LSOM,
tokoh-tokoh masyarakat, maupun badan-badan penyandang dana telah berupaya
melaksanakan rekomendasi hasil ICPD tentang kesetaraan jender dan pemberdayaan
perempan ini. Namun upaya ini masih perlu di tinkatkan secara terkoordinasi. Agar
kebijakan, program, proyek, dan kegiatan dapat terlaksana dengan terpadu,
dibutuhkan sustu strategic linkages dikalangan national machineries sehingga
mereka dapat merupakan sistem nasional untuk mencapai tujuan bersama yaitu
masyarakat adil dan makmur tidak saja berdasarkan kesetaraan jender dan keadilan
sosial tetapi juga berdasarkan kesetaraan dan keadilan jender serta pemberdayaan
wanita.
Secara umum pesan ICPD 1994 pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam
beberapa kelompok isu sebagai berikut :
1.Pengembangan sistem dukungan sosial (social support system) baik formal
maupun informal khususnya dengan meningkatkan kemampuan keluarga untuk
merawat penduduk lansia di dalam keluarga mereka.
2. Pengembangan sistem jaminan sosial masa tua (social security system)
3. Pengembangan sistem jaminan pelayanan kesehatan bagi lansia
4. Peningkatan kemandirian lansia
5. Keterlibatan masyarakat dan swasta
Perlunya perhatian khusus bagi lansia wanita juga menjadi isu strategi yang
dibahas dalam ICPD. Perhatian terhadap lansia wanita perlu dilakukan disamping
absolute jumlah lansia wanita lebih besar dibandingkan lansia laki-laki juga lansia
wanita umumnya berstatus janda sehingga diduga mengalami persoalan-persoalan
mental psikologis lebih berat dibandingkan lansia laki-laki.
Sejalan dengan pesan ICPD tersebut pemerintah telah melakukan upaya yang
berkaitan dengan penduduk lansia. Agar pemerintah, organisasi sosial, lembaga
swadaya masysrakat, swasta dam keluarga mempunyai pedoman dan rujukan yang
sama tentang pembinaan kesejahteraan lanjut usia maka melalui SK Menko
KesraNo. 15/Kep/Menko/Kesra/IX/1994 telah dibentuk panitia Nasional Pelembaga
Lanjut Usia dalam kehidupan Bangsa. Salah satu tugas panitia tersebut adalah
menyiapkan pola umum dan standar-standar pelayanan yang berkaitan dengan
pelembagan lanjut usia dalam kehidupan bangsa.
Tanggung jawab pria dalam kesehatan reproduksi merupakan keterlibatan dan keikut
sertaan ber-KB, kesadaran berperilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya,pasangan,
dan keluarga. Rendahnya partisipasi pria menjadi peserta KB secara langsung disebabkan
terbatasnya macam dan jeis alat kontrasepsi pria, pengetahuan dan pemahaman tentang hak-
hak kesehatan reproduksi. Kurangnya komuikasi sejak dini banyak mempengaruhi sudut
pandang yang keliru tentang seks. Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian
khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut kedalam Konferensi Internasional
tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and
Development. ICPD), di Cairo, Mesir, pada tahun 1994. Berdasarkan kerangka kerja ICPD,
remaja haruslah mendapat penjelasan tentang perubahan fisik dan psikis remaja; alat kelamin
(organ reproduksi), baik anatomis maupun fungsi fisiologis. Demikian juga tentang
bagaimana proses reproduksi terjadi; kehamilan dan cara pencegahan KTD dan aborsi
“aman”; homo dan lesbi harus diakui sebagai suatu identitas seksual; seks bebas yang
“aman”; dan info tentang berbagai penyakit menular seksual serta cara pencegahannya.
Berdasarkan kesepakatan ICPD di Cairo 1994 terdapat 12 hak reproduksi yang harus
diketahui dan dilaksanakan oleh setiap individu dalam masa reproduksi mereka, yaitu:
OLEH : KELOMPOK 4
ANGGOTA :
Kata Pengantar
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Swt. karena atas berkat rahmatNyalah kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Demografi. Terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing mata
kuliah Demografi, keluarga dan semua pihak yang telah berperan dalam penyelesaian makalah
ini.
Penulis menyadari kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh sebab itu diharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk sebagai perbaikan di masa mendatang.
Penulis
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perspektif Gender dalam Pengembangan SDM DJP, Herru Widiatmanti, Berita Pajak,
2011