Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak pertanyaan berkaitan dengan masalah diskriminasi terhadap perempuan baik
pada tingkat regional maupun dunia. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan
tersebut, Konvensi perempuan disusun dan diterima oleh Sidang Umum PBB tanggal 18
Desember 1979, kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 7
Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984. Segala bentuk instrumen yang sudah ada sampai saat
ini belum efektif dan maksimal, dengan demikian perlu ada pembenahan-pembenahan
hak-hak perempuan dan penghapusan diskriminasi.Di Tahun 1984 Indonesia melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan, ratifikasi ini jelas memperlihatkan bahwa
Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
konvensi perempuan dengan menciptakan kepastian dan penegakan hukum dan
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang non diskriminasi.

Banyak kalangan yang pesimis terhadap dampak dari konvensi perempuan ini untuk
memajukan status perempuan di Indonesia, karena apa yang dijanjikan dan apa yang
sudah tertuang dalam undang-undang belum tentu bisa diwujudkan dalam kenyataan.

Namun para pemerhati masalah perempuan menganggap bahwa ratifikasi konvensi


perempuan ini sesungguhnya bisa dijadikan alat untuk memajukan kesetaraan gender.
Caranya adalah dengan melakukan kajian-kajian terhadap berbagai peraturan yang ada,
pengamatan terhadap praktek-praktek yang diskriminatif serta penyebarluasan isi dari
konvensi perempuan tersebut. Hasil dari semua studi bisa diimplementasikan kepada para
pengambil kebijakan untuk mengingatkan pemerintah akan komitmen yang telah dibuat
sehingga dapat memberi motivasi bagi percepatan terwujudnya keadilan jender. Selain itu
dengan memperluas jaringan hubungan dengan lembaga-lembaga serta 2 pemerhati
masalah perempuan, diharapkan akan semakin banyak orang yang menaruh perhatian
terhadap ketimpangan jender dan upaya untuk memperjuangkan keadilan jender akan
lebih berdaya guna.

Bahwa dalam Pasal 11 Konvensi perempuan yang lengkapnya memuat ketentuan


mengenai :

· Hak atas pekerjaan yang sama dengan laki-laki, kebebasan memilih provesi, pekerjaan,
promosi dan pelatihan.
· Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. Hak perempuan terhadap
jaminan sosial.
· Hak mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
· Hak perempuan untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan dan tetap mendapat tunjangan
karena kawin, hamil, hak akan cuti haid dan melahirkan.
· Hak untuk mendapatkan pelayanan sosial supaya perempuan dapat menggabungkan
kewajiban keluarga untuk mendapatkan upah yang layak.

Tentang hak perempuan adalah hak asasi perempuan memberikan pengalaman


sebagai suatu pernyataan dan penegasan, bahwa hak-hak yang melekat dalam diri
perempuan. perempuan adalah manusia juga yang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat sama halnya dengan laki-laki sehingga tidak ada diskriminasi dalam bidang
apapun.

Permasalahan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Deklarasi Sedunia tentang hak-
hak asasi manusia yang berbunyi “Semua orang yang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”. Permasalahan yang mungkin timbul
adalah apakah pengertian antara hakhak asasi, sama dengan hak-hak manusia karena
dalam bahasa asalnya tampaknya ada perbedaan pengertian tetap dalam pembicaraan kali
ini tidak diperdebatkan. Yang di maksud dengan hak asasi manusia secara umum
dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia, yang bila
tidak mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia termasuk di dalamnya adalah hak
ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politik. Hak perempuan yang
dimaksudkan adalah hak-hak yang melekat pada diri perempuan yang dikodratkan
sebagai manusia sama halnya dengan laki-laki yang diutamakan adalah hak untuk
mendapatkan kesempatan dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki di segala
bidang kehidupan.

Hak untuk memperoleh kedudukan dan perlakuan yang sama dengan lakilaki
sebagaimana yang di maksud dalam pengertian hak-hak asasi yang termasuk di dalamnya
hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politik. Kenyataan menunjukkan
bahwa perlakuan diskriminasi terhadap perempuan masih banyak ditemui walaupun
sudah ada berbagai aturan serta peraturan perundang-undangan lainnya. Seperti halnya di
Indonesia sejak awal berdirinya Republik ini secara tegas dicantumkan di dalam Undang-
undang Dasar (UUD) 1945 tentang adanya persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki
dan perempuan antara lain Pasal 27 (1) UUD 1945, segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, dan juga di dalam beberapa pasal yang lainnya (Pasal 29 ayat (2), Pasal 30
ayat (1), Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.

Bahwa dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui betapa pentingnya fungsi undang-
undang dan peraturan-peraturan dalam mewujudkan keadilan jender agar tidak terdapat
ketentuan hukum yang non diskriminasi. Kenyataan yang ada menunjukkan masih jauh
dari harapan, padahal kita mengetahui bersama bahwa sudah cukup banyak perempuan
yang berpendidikan yang dapat diberi tanggungjawab sebagai penentu kebijakan
nasional. Tetapi ternyata dalam prosentase perempuan yang mendapat kesempatan
tanggungjawab untuk itu masih sangat kecil. Hal ini merupakan masalah besar yang
membutuhkan penanganan lebih lanjut untuk dibenahi oleh pemerintah.
B. Rumusan Masalah
1. Pemberdayaan dan status perempuan
2. Anak perempuan
3. Tanggung jawab laki-laki dan partisipasi

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemberdayaan dan status perempuan
2. Untuk mengetahui status anak perempuan dalam kesetaraan gender
3. Untuk mengeahui tanggung jawab laki-laki dan partisipasi
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pemberdayaan dan status perempuan

Sejarah Munculnya Gender

Kesetaraan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya 'emansipasi' di


tahun 1950-1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang
mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesetaraan perempuan
dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975,
dengan tema Women In Development (WID) yang memprioritaskan pembangunan bagi
perempuan yang dikembangkan dengan mengintegrasi perempuan dalam pembangunan.

Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan


pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an berbagai studi
menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada kuantitas, maka tema WID
diubah menjadi Women and Development (WAD).

Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa
kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan
perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan
pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan
prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.

Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan 'The Millenium Development Goals' (MDGs)
yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif
untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan
yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.

Apakah Pengarusutamaan Gender (PUG)?


Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu
strategi yang dibangun untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan. Strateginya adalah dengan mengintegrasikan gender
menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional, mulai
dari perencanaan, penyusunan program, proses pengambilan keputusan, sampai dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak
kesetaraan gender.

PUG merupakan perwujudan dari komitmen global penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia, berkaitan dengan kesamaan kesempatan dan perlakuan bagi laki-laki dan
perempuan dalam melaksanakan peran-peran politik, ekonomi dan sosial budaya dalam
kehidupan masyarakat. Dalam relasi sosial yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan
faktor yang sama pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan,
baik lingkungan keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak
tepat jika PUG dikonotasikan sebagai 'emansipasi wanita' saja, karena PUG justru
menghormati hak-hak kaum perempuan dan laki-laki yang memang tidak sama secara fisik
dan kodrati. PUG lebih menekankan bagaimana menempatkan perspektif itu dalam berbagai
peran secara optimal.

Implementasi perspektif gender

Mungkin masih ada pemikiran yang mengatakan bahwa penempatan perempuan jauh dari
keluarganya tidak manusiawi. Namun jika kita memandang dari prespektif gender,
sebenarnya sama saja, laki-laki pun tidak seharusnya jauh dari keluarganya. Karena baik laki-
laki maupun perempuan secara bersama-sama memiliki tanggung jawab yang besar dalam
membangun generasi mendatang.

Dengan kepedulian pada pengarusutamaan gender, beberapa tahun lalu pegawai perempuan
di salah satu unit eselon I Kemenkeu yang akan dipromosikan diberitahu lebih dulu. Ia
diberikan kesempatan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan dengan keluarganya
tentang kemungkinan untuk mengambil kesempatan tersebut.
Menurut penulis, langkah yang dilakukan ini cukup adil dan manusiawi, sehingga seseorang
diberikan hak untuk 'memilih' dan 'menentukan' hidup dan karirnya. Jika mau mengambil
kesempatan tersebut, maka akan ada konsekuensi lain yang perlu diperhitungkan dalam
'perjuangannya'. Memang tidak mudah, namun hidup adalah pilihan, jadi itulah konsekuensi
dari sebuah pilihan.tinggal bagaimana kita memandangnya melalui 'jendela' yang lebih bersih
dan luas.

Penulis berpendapat, untuk menjamin keadilan perspektif gender dalam penerapannya, maka
sistem promosi dan mutasi pegawai memang perlu terus dibenahi. Meskipun usaha
pembenahan itu sudah ada dan mulai terasa hasilnya. Terutama dalam hal keadilan gender.

Pegawai laki-laki yang sudah bertahun-tahun berpisah jauh dari keluarganya pun (baik
dengan alasan yang kuat maupun yang kurang kuat), tentu menjadi 'merasa tidak adil'.
Pandangan umum mengatakan, kodrat laki-laki adalah pemimpin rumah tangga sehingga
kemungkinannya untuk 'diikuti' oleh keluarganya memang lebih besar. Dibandingkan
perempuan yang secara kodrati adalah 'perdana menteri' dalam rumah tangga, sehingga
tetaplah ia perlu berdiskusi dengan 'presidennya' apakah harus ‘berjauhan’ atau 'membawa'
keluarganya dalam dinas.

Manakala ada transparansi kompetensi jabatan dalam berbagai ranah struktural maupun
fungsional maka pengangkatan atau pemindahan suatu jabatan (promosi dan mutasi) akan
dirasakan adil dan memiliki prespektif gender. Setiap orang baik laki-laki maupun
perempuan akan berupaya dengan baik mengikuti aturan dan alur yang sudah disepakati.
Keadilan gender menjadi lebih baik dan lebih sehat lagi. Tidak seorang pun yang merasa
diperlakukan kurang adil dari sisi gender.

Implementasi pengarusutamaan gender masih sangat luas untuk dikupas. Penggambaran


persoalan promosi dan mutasi tersebut hanya untuk membuka cakrawala dan wahana bahwa
banyak dimensi lain dari gender mainstreaming yang dapat kita kembangkan.

Kualitas kesetaraan gender


Telah dibuktikan dalam banyak studi bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada
kuantitas. Hal ini tentunya akan menjadi pemikiran kita bersama. Semoga pada waktu-waktu
mendatang pengarusutamaan gender tidak lagi dipandang sebagai 'emansipasi wanita'. Akan
tetapi harus lebih mengedepankan sebuah penataan kelembagaan mulai dari perencanaan
kebijakan, pengambilan keputusan dan penerapan manajemen yang berpihak pada kesetaraan
gender. Mengutamakan hak-hak asasi baik laki-laki maupun perempuan sesuai kodrat dan
tanggung jawabnya.

Pada era sekarang ini, banyak institusi mulai merasakan bahwa kepemimpinan yang
melayani (servant leadership) dapat memberikan hasil yang optimal bagi organisasi.
Mungkin opini penulis dapat menggerakkan berbagai pihak membuat penelitian, apakah
perempuan dapat mewakili servant leadership tersebut? Jiwa melayani memang bukan
mutlak milik perempuan. Namun pemimpin perempuan yang kuat, biasanya memiliki
sensitifitas dan naluri “ibu” yang mampu menjadi katalisator dan penggerak bagi
lingkungannya untuk berubah menjadi lebih baik. Dengan kata lain, perempuan memiliki
kekuatan untuk menjadi agen-agen perubahan.

Penulis ingin mengajak seluruh pihak mendukung upaya yang sudah dan tengah dilakukan
untuk memperbaiki kelembagaan khususnya di Kementerian Keuangan secara menyeluruh,
demi Indonesia yang lebih baik.

Isu-isu utama/ sejumlah contoh kesenjangan gender di berbagai sektor yang masih perlu
diatasi :

1. Pola Pernikahan yang merugikan pihak perempuan

Pernikahan dini adalah suatu hal yang lazim di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2004 memperkirakan 13% dari perempuan
Indonesia menikah di umur 15 – 19 tahun.

Dalam hukum Islam, laki-laki memang diperbolehkan memperistri lebih dari satu orang.
Akan tetapi, dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa izin
untuk memiliki banyak istri dapat diberikan jika seseorang dapat memberikan bukti
bahwa istri pertamanya tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Indonesia pun dilarang mempraktekkan poligami.

Hukum perkawinan di Indonesia menganggap pria sebagai kepala rumah tangga dan
pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas rumah tangga termasuk membesarkan
anak umumnya dilakukan oleh perempuan.

2. Kesenjangan Gender di pasar kerja

Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi
karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat perempuan
terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-
pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki.

Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar


tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab
rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.

3. Kekerasan Fisik

Indonesia telah menetapkan berbagai undang-undang untuk melindungi perempuan dari


kekerasan fisik. Akan tetapi, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah umum di Indonesia. Menurut survey Demografi
dan Kesehatan 2003, hampir 25% perempuan yang pernah menikah menyetujui anggapan
bahwa suami dibenarkan dalam memukul istrinya karena salah satu alasan berikut: istri
berbeda pendapat, istri pergi tanpa memberitahu, istri mengabaikan anak, atau istri
menolak untuk melakukan hubungan intim dengan suami.

Perdagangan perempuan dan prostitusi juga merupakan ancaman serius bagi perempuan
Indonesia, terutama mereka yang miskin dan kurang berpendidikan. Meskipun pelecehan
seksual dianggap kejahatan, akan tetapi hal itu umum ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari. Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2004 menemukan bahwa 90% perempuan
mengaku telah mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja.
4. Hak Kepemilikan

Hukum Perdata di Indonesia menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak
kepemilikan yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses ke
properti, tanah dan memiliki akses ke pinjaman bank dan kredit, meskipun terkadang
masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian contohnya: suami berhak untuk memiliki
nomor pajak pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam
catatan suami.

Untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan isu kesetaraan gender ini, program
kampanye Decision for Life yang ditujukan bagi pekerja perempuan muda tidak ada
henti-hentinya menyuarakan dan mengedukasi perempuan. Lewat event dan pelatihan
Decision for Life yang bertema “Gender Awareness”, perempuan diharapkan dapat lebih
terpacu untuk membela hak mereka dalam kesempatan kerja/karir, hak maternal dan
keseimbangan antara keluarga dan karir.

Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis
tanpa pertimbangan selanjutnya. Malu rasanya apabila perempuan berteriak mengenai isu
kesetaraan gender apabila kita artikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-
laki. Karena pada dasarnya, perempuan tentunya tidak akan siap jika harus menanggung
beban berat yang biasa ditanggung oleh laki-laki. Atau sebaliknya laki-laki pun tidak
akan bisa menyelesaikan semua tugas rutin rumah tangga yang biasa dikerjakan
perempuan.

Sumber

Badan Pusat Statistik (BPS) - Survey Demografi dan Kesehatan 2002-2003

Indonesia. Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974

Decision for Life – Gender Awareness Training 2011


2. Kedudukan Anak Perempuan Menurut ICPD 1994
ICPD 1994 telah menetapkan sejumlah kesepakatan tentang tujuan dan system aksi
berbagai aspek yang berkaitan dengan penduduk dan pembangunan, termasuk didalamnya
kualitas anak dan remaja. ICPD merekomendasi beberapa tujuan pembangunan kualitas
penduduk usia anak dan remaja yaitu sebagai berikut,
1. Mempomosikan kesehatan, kesejahteraan, potensi anak dan remaja semaksimal mungkin.
2. Memenuhi kebutuhan – kebutuhan khusus anak dan remaja, khususnya anak dan remaja
perempuan demi mengembangkan kreativitas mereka untuk memperoleh dukungan
sosial, masyarakat, dan keluarga, memperoleh kesempatan kerja, berpartisipasi dalam
proses politik, memperoleh akses dalam bidang pendidikan, kesehatan, konseling, dan
pelayanan kesehatan reproduksi yang terbaik.
3. Mendorong anak-anak dan remaja, terutama wanita untuk meneruskan pendidikan
mereka agar memekali mereka untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik,
meningkatkan potensi, membantu mencegah perkawinan usia dini dan kehamilan
berisiko, serta untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan
hal-hal tersebut diatas.

Sehubungan dengan hal itu pemerintah direkomendasikan untuk:

1. Memberikan prioritas yang tinggi kepada perlindungan, kelangsungan hidup dan


perkemangan anak dan remaja, dan melakukan segala sesuatu untuk menghilangkan
akibat-akibat merugikan dari kemiskinan anak-anak dan remaja.
2. Memberlakukan dan menegakkan undang-undang yang melarang eksploitasi
ekonomis dan perlakuan fisik dan mental yang semena-mena atau penyia-nyiaan dari
anak-anak.
3. Menciptakan lingkungan social da ekonomi yang kondusif untuk memberantas
perkawinan anak-anak serta mencegah perkawinan yang dini.

Berbagai perhatian ICPD 1994 seperti yang dituangkan kedalam tujuan dan program asli
untuk anak dan remaja serta anak perempuan, telah menjadi perhatian nasional jauh
sebelum pertemuan kairo tersebut. Meskipun demikian perlu diakui bahwa ada beberapa
aspekpenting yang masih perlu diperhatikan oleh bangsa Indonesia. Aspek kunci yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Perhatian terhadap anak–anak dan remaja yang membutuhkan perhatian khusus


2. Mengutamakan harmonisasi program untuk memenuhi kebuthan anak perempuan
sehingga tersedia pelayanan yang lebih holistik.
3. Persoalan partisipasi anak, remaja dan pemuda dalam proses politikdan
pembangunan bangsa perlu pemikiran yang serius.

Bidang Kesejahteraan Gender Dan Pemberdayaan Perempuan

Indonesia sebagai negara yang telah berketetapan untuk memajukan kehidupan


perempuan telah melakukan upaya-upaya melalui berbagai program dan kebijaksanaan
perbangunan yang dikhususkan bagi peningkatan status perempuan. Bahkan sebelum ICPD
merekomendasikan, pemerintah telah mengambil langkah-langkah nyata yang bertujuan
untuk meningkatkan status perempuan. Hanya saja untuk hal-hal tertentu wanita masih
mengalami hambatan budaya dan hambatan sosial untuk berkiprah sama dengan laki-laki
baik dibidang politik, maupun dalam komunitas kemasyarakatan.

Secara umum Pancasila sebagai landasan idiil, UUD 1945 sebagai landasan hukum dan
GBHN sebagai landasan operasional telah memungkinkan semua warga negara tanpa
membedakan kelas sosial, suku bangsa, ras, dan jenis kelamin untuk memiliki hak,
kewajiban, tanggung jawab, kesemp[atan yang sama untuk ikut berkiprah dalam
pembangunan dan dalam semua bidang kehidupan. Komitmen pemerintah tersebut sangat
sejalan dengan apa yang direkomendasikan ICPD 1994 bidang kesejahteraan gender dan
pemberdayaan perempuan.

Hasil ICPD bidang kesetaran gender dan pemberdayaan perempuan memuat tiga hal
yaitu:

1. Pemberdayaan dan status wanita


2. Anak perempuan
3. Partisipasi dan tanggung jawab pria
Secara keseluruhan pesan ICPD bidang kesetaran gender dan pemberdayaan perempuan
dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok issue:
1. Issue bidang politik dan kehidupan umum
Dalam UUD 1945 dicantumkan bahwa semua warga negara tanpa dibedakan jenis
kelaminnya dapat berpartisipasi dalam politik dan berkiprah dalam komunitas dan
masyarakat, sehingga mereka mampu mengutarakan dan memperjuangkan
permasalahan dan kebutuhannya. Dengan demikian secara dejure menurut UUD
1945, perempuan tidak memperoleh hambatan untuk berpartisipasi sama dengan laki-
laki dalam kegiatan politik baik dilembaga legislatif, di partai politik, dan juga
dilembaga eksekutif, di partai politik, dan juga dilembaga eksekutif dan judikatif
sebagai perencana dan pengambil keputusan. Hanya saja dalam kenyataannya
perempuan masih mengalami hambatan-hambatan baik budaya maupun sosial untuk
berkiprah sama dengan laki-laki.
Dalam lingkup yang lebih kecil, pembagian kerja berdasarkan gender juga masih
terjadi dalam komunitas dan masyarakat, yaitu tokoh-tokoh informal dan formal
untuk urusan publik lebih didominasi pria, sedangkan tokoh-tokoh informal untuk
urusan perempuan dan domestik adalah urusan perempuan. Demikian juga dalam
kehidupan rumah tangga masih terdapat ketergantungan politik perempuan terhadap
pria. Undang-undang perkawinan 1974, menyatakan bahwa pria sebagai suami
ditempatkan sebagai kepala keluarga yang berkewajiban dan bertanggung jawab
mencari nafkah keluarga, sedangkan perempuan sebagai istri ditempatkan sebagai
tanggungan kepala keluarga yang berkewajiban dan bertanggung jawab
melaksanakan kegiatan rumah tangga. Sebagai konsekuensinya, suami sebagai
pengambil keputusan utama dalam berbagai permasalahan besar keluarga.
Oleh karena itu perlu lebih dikembangkan mekanisme apapun yang tidak hanya
tingkat abstraktetapi lebih nyata sehingga perempuan di Indonesia berpartisipasi sama
dan memiliki perwakilan yang sama di semua tingkat proses politik, dan didalam
kehidupan keluarga perempuan menjadi mitra sejati laki-laki.

2. Issue di bidang sosial


Di bidang sosial, Indonesia telah mengambil langkah-langkah bagi pemberdayaan
wanita dalam rangka mengejar ketertinggalannya dengan kaum laki-laki. Beberapa
program strategis seperti program wajib belajar dan program peningkatan
keterampilan yang ditujukan pada perempuan khususnya yang putus sekolah dan dari
keluarga tidak mampu sangat dirasakan kontribusinya untuk mengejar
ketertinggalannya. Untuk menyukseskan program wajib belajar tersebut pemerintah
berupaya memberikan program beasiswa maupun kemudah-mudahan agar wanita
dapat mempunyai akses yang sama di bidang pendidikan. Untuk mengeliminir
berbagai hambatan-hambatan sosial budaya yang berlaku dimasyarakat baik
pemerintah maupun LSOM dengan gencar memberikan program KIE yang ditujukan
kepada masyarakat agar memperhatikan pendidikan anak-anak perempuan. Di
bidang kesehatan berbagai upaya juga telah banyak dilakukan baik pemerintah
maupun LSOM. Program Save Motherhood maupun program peningkatan
pengetahuan wanita tentang reproduksinya sangat membantu untuk meningkatkan
status kesehatan serta menurunkan Rasio Kematian Maternal. Berbagai bentuk
kegiatan seperti kampanye sosial melalui poster, leaflet, brosur dan iklan layanan
masyarakat di televisi dan radio diupayakan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran wanita tentang kesehatan utamanya kesehatan reproduksi.
Namun demikian masih juga ditemukan hambatan-hambatan baik dalam
kehidupan masyarakat maupun keluarga. Bagi beberapa keluarga khususnya keluarga
yang tidak atau kurang mampu , ideologi gender yang mengambil bentuk pembagian
kerja berdasarkan gender yaitu laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga, perempuan
sebagai tanggungan suaminya, secara tidak disadari masih diterima. Olehkarena itu
mereka masih memprioritaskan pendidikan anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan.
Pandangan yang masih kuat di dalam masyarakat mengenai seksualitas adalah
bahwa kaum perempuan merupakan objek seks, menyebabkan terjadinya pelecehan
seksual (sebagai salah satu bentuk kekerasan) dalam keluarga, di tempat kerja, dan
ditempat umum sampai kini masih banyak terjadi. Pelecehan seksual terhadap
perempuan dapat berbentuk sangat sederhana yaitu gurauan yang sifatnya
melecehkan perempuan secara seksual, sampai pada tindakan yang sangat keji dan
melanggar hak asasi manusia yaitu perkosaan (kekerasan seksual).
Masih tinggi Rasio Kematian Maternal (RKM) serta rentannya kaum perempuan
terinfeksi oleh PMS (Penyakit Menular Seksual) juga merupakan issue gender di
bidang kesehatan yang disebabkan oleh lemahnya posisi sosial perempuan di dalam
keluarga dan masyarakat.
Oleh karena itu, upaya KIE kepada masyarakat perlu untuk ditingkatkan terutama
untuk mencairkan nilai-nilai sosial budaya yang masih berlaku di masyarakat berupa
gender streotype yang sangat merugikan kaum perempuan.

3. Issu di bidang hukum

Penata dan perundang-perundang terus dikembangkan dalam rangka upaya


penyempurnaan dan pembaharuan ketentuan – ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang masih merugikan hak, kedudukan , peran, dan
kesempatan bagi wanita dalam pembangunan meskipun UUD 1945 telah
menegaskan bahwa setiap warga Negara ( pria dan wanita) bersamaan kedudukan
dan haknya dalam hukum dan pemerintah. Kegiatan penyempurnaan dan
pembaharuan hokum peningkatan peranan wanita terus di laksanakan oleh
Kelompok Kerja ( POKJA) hukum dan Perundang-undangan Kantor MENPERTA
yang anggota-anggotanya terdiri dari instansi terkait, lingkungan universitas,
organisasi wanita dan para pakar. Disamping itu baik pemerintah maupun LSOM
juga berupaya memberikan penyuluhan tentang hukum kepada wanita.

Namun masih ada perundang-undangan ataupun peraturan pemerintah yang menurut


pakar hokum dan aktifis perempuan belum peka gender dan kariernya masih banyak
merugikan permpuan. Misalnya UU Kesehatan No. 23/1992; UU Perkawinan 1974
yang masih mengandung bias gender; UU tentang perkosaan; tidak ditegakkannya
UU KKetenaga – kerjaan yang lama sepenuhnya; hokum warisan yang masih
mendeskriminasikan perempuan dan sebagainya. Selain itu di pihak perempuan
sendiri,banyak diantara mereka terutama yang berasal dari kelas bawah tidak
mengerti hokum. Hal ini, akan memudahkan yang mereka lebih mengetahui hukum
untuk memperlakukan wanita dengan sewenang-wenangnya.

Tidakan untuk melindungi hak dan keselamatan perempuan yang berada dalam
situasi tereksploitasi seperti pekerja migran, pembantu rumah tangga sejauh ini
belum ada, sebab pembantu rumah tangga bukan termasuk kategori buruh yang
bekerja di sector formal, karena bekerja di rumah majikan, sehingga tidak termasuk
ke dalam undang-undang perburuhan.

4. Issu di Bidang Ekonomi

Di bidang ekonomi juga mendorong agar perempuan data terlihat terlihat langsung
dalam meningkatkan ekonomi dan pendapatan keluarga. Berbagai upaya antara lain
dengan memberikan pelatihan-pelatihan baik teknik maupun majemen untuk
meningkatkan ketrampilannya terus dilakukan, misalnya melalui kegiatan Kelompok
Usaha Bersama yang tersebar di seluruh provinsi, merupakan peningkatan
ketrampilan dalam upaya memberikan ruang gerak usaha sebagai upaya pengentasan
kemiskinan. Demikian juga program IDT dimana sasaran program bukan hanya
laki-laki tetapi juga perempuan serta program Takesra dan Kukesra adalah program
yang ditujukan kepada para peserta KB yang memiliki usaha secara keseluruhan
ditujukan untuk meningkatkan usaha wanita dalam rangka pembangunan keluarga
sejahtera.

Didirikan kursus-kursus ketrampilan serta program-[rogram kejuruan seperti D3 dan


politeknik yang terbuka bagi semua warga Negara Indonesia tanpa membedakan
jenis kelamin, memperlihatkan adanya upaya untuk memperbaiki kualitas tenaga
kerja tingkat menengah yang memiliki technical dan concepyual skill yang memadai
untuk siap bekerja disektor sekunder. Kaun perempuan yang berhasil mendalami
pendidikan ditingkat ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi angkatan kerja
perempuan yang selama ini merupakan angka kerja yang berketrampilan dan
berpendidikan rendah.
Secara khusus pemerintah memberikan perhatian kepada pengirim tenaga kerja ke
luar negeri dengan peningkatan kualitasnya sehingga mereka merupakan tenaga
kerja terdidik an mempunyai ketrampilan. Pemerintah juga memberikan penyuluhan
dan penerangan kepada perempuan calon pekerja migran yang akan bekerja di luar
negeri agar siap menghadapi tantangan sosial budaya di negara yang dituju. Selain
itu juga diupayakan untuk memberikan perlindungan lain tempatnya bekerja.

Namun demikian, pada saat ini perempuan lebih banyak terserap dalam kegiatan
informal, seperti pembantu rumah tangga, dan pekerjaan yang rawan kesehatan dan
keselamatan kerja oleh tidak dimilikinya pendidikan dan ketrampilan, di dalam
kegiatan yang formal perempuan juga jauh lebih banyak terserap sebagai pekerja
manual. Mereka-meraka ini perlu mendapaykan perhatian yang sungguh-sungguh
karena sangat rentan dan potensial untuk mendapatkan perlakuan yang sewenang-
wenang.

Demikian juga dapat ditarik kesimpulan secara umum, yaitu Pemerintah, LSOM,
tokoh-tokoh masyarakat, maupun badan-badan penyandang dana telah berupaya
melaksanakan rekomendasi hasil ICPD tentang kesetaraan jender dan pemberdayaan
perempan ini. Namun upaya ini masih perlu di tinkatkan secara terkoordinasi. Agar
kebijakan, program, proyek, dan kegiatan dapat terlaksana dengan terpadu,
dibutuhkan sustu strategic linkages dikalangan national machineries sehingga
mereka dapat merupakan sistem nasional untuk mencapai tujuan bersama yaitu
masyarakat adil dan makmur tidak saja berdasarkan kesetaraan jender dan keadilan
sosial tetapi juga berdasarkan kesetaraan dan keadilan jender serta pemberdayaan
wanita.

IV. BIDANG KUALITAS PENDUDUK USIA LANJUT

Secara umum pesan ICPD 1994 pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam
beberapa kelompok isu sebagai berikut :
1.Pengembangan sistem dukungan sosial (social support system) baik formal
maupun informal khususnya dengan meningkatkan kemampuan keluarga untuk
merawat penduduk lansia di dalam keluarga mereka.
2. Pengembangan sistem jaminan sosial masa tua (social security system)
3. Pengembangan sistem jaminan pelayanan kesehatan bagi lansia
4. Peningkatan kemandirian lansia
5. Keterlibatan masyarakat dan swasta

Perlunya perhatian khusus bagi lansia wanita juga menjadi isu strategi yang
dibahas dalam ICPD. Perhatian terhadap lansia wanita perlu dilakukan disamping
absolute jumlah lansia wanita lebih besar dibandingkan lansia laki-laki juga lansia
wanita umumnya berstatus janda sehingga diduga mengalami persoalan-persoalan
mental psikologis lebih berat dibandingkan lansia laki-laki.

Sejalan dengan pesan ICPD tersebut pemerintah telah melakukan upaya yang
berkaitan dengan penduduk lansia. Agar pemerintah, organisasi sosial, lembaga
swadaya masysrakat, swasta dam keluarga mempunyai pedoman dan rujukan yang
sama tentang pembinaan kesejahteraan lanjut usia maka melalui SK Menko
KesraNo. 15/Kep/Menko/Kesra/IX/1994 telah dibentuk panitia Nasional Pelembaga
Lanjut Usia dalam kehidupan Bangsa. Salah satu tugas panitia tersebut adalah
menyiapkan pola umum dan standar-standar pelayanan yang berkaitan dengan
pelembagan lanjut usia dalam kehidupan bangsa.

3. Tanggung jawab laki-laki dan partisipasi

Tanggung jawab pria dalam kesehatan reproduksi merupakan keterlibatan dan keikut
sertaan ber-KB, kesadaran berperilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya,pasangan,
dan keluarga. Rendahnya partisipasi pria menjadi peserta KB secara langsung disebabkan
terbatasnya macam dan jeis alat kontrasepsi pria, pengetahuan dan pemahaman tentang hak-
hak kesehatan reproduksi. Kurangnya komuikasi sejak dini banyak mempengaruhi sudut
pandang yang keliru tentang seks. Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian
khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut kedalam Konferensi Internasional
tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and
Development. ICPD), di Cairo, Mesir, pada tahun 1994. Berdasarkan kerangka kerja ICPD,
remaja haruslah mendapat penjelasan tentang perubahan fisik dan psikis remaja; alat kelamin
(organ reproduksi), baik anatomis maupun fungsi fisiologis. Demikian juga tentang
bagaimana proses reproduksi terjadi; kehamilan dan cara pencegahan KTD dan aborsi
“aman”; homo dan lesbi harus diakui sebagai suatu identitas seksual; seks bebas yang
“aman”; dan info tentang berbagai penyakit menular seksual serta cara pencegahannya.

Berdasarkan kesepakatan ICPD di Cairo 1994 terdapat 12 hak reproduksi yang harus
diketahui dan dilaksanakan oleh setiap individu dalam masa reproduksi mereka, yaitu:

1. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi


2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi
3. Hak untuk kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi
4. Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran
5. Hak untuk hidup (hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan
proses melahirkan)
6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi.
7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan
dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
8. Hak Mendapat manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan
kesehatan reproduksi
9. Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya
10. Hak membangun dan merencanakan keluarga
11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi
12. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga
dan kehidupan reproduksi.
Namun hasilnya, seks bebas yang menjadi pokok pangkal berbagai masalah KRR justru
semakin marak dalam kehidupan remaja. Amat disayangkan, dalam menyelesaikan masalah
kesehatan perempuan, khususnya kesehatan reproduksi remaja yang memang amat
memprihatinkan, kaum Muslim saat ini tidak menjadikan Islam sebagai panduan. Mereka
diarahkan oleh pola pikir feminis yang sarat dengan ide-ide kebebasan (liberalisme). Dengan
dalih meningkatkan derajat kesehatan perempuan dan mewujudkan
dEMOGRAFI
“KESETARAAN GENDER”

OLEH : KELOMPOK 4

ANGGOTA :

1. RIRI FARWANTI (04121003048)

2. MADE AYU HARIATI (04121003049)

3. DENNY YOAND (04121003053)

3. NIA SEPTIANI (04121003054)

5. FITRI RAHMADANI (04121003058)

6. TIARA PUTRI Z (04121003063)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Kata Pengantar

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Swt. karena atas berkat rahmatNyalah kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Demografi. Terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing mata
kuliah Demografi, keluarga dan semua pihak yang telah berperan dalam penyelesaian makalah
ini.

Penulis menyadari kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh sebab itu diharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk sebagai perbaikan di masa mendatang.

Indralaya, Oktober 2013

Penulis
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebijakan pada Konferensi Kairo tahun 1994 menjelaskan tentang kesetaraan


gender antara perempuan dan laki-laki, kesehatan reproduksi pada remaja perempuan,
dan tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan. Namun, kebijakan tersebut belum
sepenuhnya terlaksana dengan baik dikarenakan kurangnya informasi yang didapat pada
kaum perempuan kelas menengah kebawah, sehingga masih sering terjadi ketidakadilan
gender di kalangan mereka.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perspektif Gender dalam Pengembangan SDM DJP, Herru Widiatmanti, Berita Pajak,
2011

Jalal.2004. Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan.Jakarta: Departemen


Pendidikan Nasional

Sariah.2008.Dampak Kebijakan Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming)


dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah.Malang:Konferensi Internasional Kesusastraan
XIX Batu

Widiatmanti,Heru.2011.Persepsi Gender Dalam Pengembangan SDM. Jakarta: Berita


Pajak

Anda mungkin juga menyukai