Anda di halaman 1dari 2

Aturan Lalu Lintas di Australia: Bahkan pelajan kaki didenda jutaaan juta

rupiah!
Oleh Hendri Lidayani
Mahasiswa Pascasarjana di Adelaide, Australia Selatan.

Sudah hampir setengah tahun saya belajar di Adelaide, kota terbesar kelima yang
terletak di bagian selatan Australia. Layaknya sebuah kota di negara maju lainnya, ada
banyak hal yang bisa kita contoh dari kota yang dihuni satu juta jiwa ini. Salah satunya
adalah ketaaatan berlalu lintas. Selama enam bulan ini saya mengamati bagaimana budaya
berlalu-lintas. Sedikit informasi bahwa di sebagain besar Negara bagian Australia, mahasiswa
internasional maupun pendatang asing diperbolehkan berkendara dengan SIM Negara
masing-masing, termasuk SIM Indonesia. Kemudahan ini dimanfaatkan oleh mahasiswa(i)
Indonesia untuk membeli mobil sebagai moda transportasi. Meskipun layanan transportasi
umum disini sangat lengkap seperti bus, tram, dan kereta api, memiliki mobil pribadi adalah
keharusan bagi mereka yang ingin mencari pekerjaan sampingan seperti cleaning service,
farming, car washer, dan lain-lain.
Kesan pertama yang saya peroleh saat saya berkendara di jalanan Australia adalah ternyata
jauh lebih mudah berkendara di sini dibandingkan dengan berkendara di daerah kita. Saya
secara pribadi melihat bahwa para pengguna jalan disini selalu patuh terhadap semua rambu
lalu-lintas. Lalu muncul pertanyaan mengapa mereka bisa sepatuh ini? Apakah ini memang
sudah menjadi budaya dari mereka yang lahir dan besar di Negara-negara maju? Mungkin
saja benar, tapi saya punya hipotesa lain. Menurut saya dan teman-teman yang sudah lama
tinggal disini penyebab utama mengapa orang-orang Australia sangat patuh lalu lintas adalah
mereka takut akan didenda jutaan bahkan puluhan juta jika melanggar.

Alasan kenapa saya yakin bahwa ini bukanlah faktor budaya dari mereka yang tinggal
di Negara maju adalah karena saya dan teman-teman lain yang datang dari latar belakang
dimana kami terbiasa berkendara dengan model asai mangat pruet (sesuka hati) tiba-tiba
menjadi sangat patuh tidak lama setelah tinggal di sini. Saat berkendara, mata saya selalu
tertuju ke speedometer agar tidak melampaui batas kecepatan dan selalu siaga melihat rambu
lalu lintas yang ada. Lalu sebenarnya berapa besaran denda atau fine yang membuat semua
orang tertib ini?

Untuk mejawab ini, saya mencoba menanyakan teman-teman dari Indonesia yang
pernah didenda karena alasan terntentu. Namun jawaban mereka bervariasi karena jenis
pelanggaran yang juga beragam. Karena penasaran dan secara pribadi juga takut didenda,
saya mencoba membaca Road Traffic Act atau undang-undang lalu lintas yang diterbitkan
oleh Kepolisian Australia Selatan. Ada sangat banyak jenis pelanggaran yang tertera di laman
tersebut. Yang pertama dan yang paling sering terjadi adalah melampaui batas kecepatan.
Pemerintah Australia sudah memasang rambu batas kecepatan yang bervariasi dari 40, 50, 60,
70 sampai dengan 120kmj (kilometer perjam), tergantung kepadatan jalan. Bagi mereka yang
terbukti melanggar akan dikenakan denda dari paling kecil yaitu $230 (Rp. 2,400,000)
sampai ke yang paling tinggi yaitu $1074 (Rp. 11,200,000). Besaran variasi denda untuk
pelanggaran jenis ini dibedakan berdasarkan besaran kecepatan yang dilampaui dari yang
ditentukan. Misalnya, untuk yang memacu hingga +10 kmj dari batas kecepatan, denda yang
diberikan sejumlah $230, +20kmh dari batas kecepatan $431, +30kmh dari batas kecepatan
$814, 40kmj dari batas kecepatan $960, dan denda maksimal diberikan bagi mereka yang
melebihi 45kmj dari ketentuan, yaitu sebesar $1074. Ini baru denda secara finansial, belum
bermasuk demerit points yang bisa menyebabkan mobil ditahan dan SIM dicabut oleh pihak
kepolisian.
Selain batas kecepatan, ada denda-denda lain yang jumlahnya tidak kalah besar.
Misal, pengendara yang berbelok ditempat yang tidak seharusnya akan dikenakan denda
sebesar $416, berbalik arah saat pandangan tidak jelas $438, lupa mematikan lampu sein
$267. Pelanggaran lain yang sering kita jumpai di jalanan kita yaitu menerobos lampu merah.
Besaran denda yang yang diberikan kepada pelanggaran sejenis ini adalah $514. Sedangkan
mereka yang terbukti tidak memberi jalan saat ata tanda giveway (dahulukan kendaran lain)
seperti di persimpangan atau bundaran diharuskan membayar sebesar $479. Jumlah yang
sama juga diberikan kepada mereka yang tidak memberi jalan kepada ambulan, pemadam
kebakaran, atau mobil polisi dalam keadaan darurat. Aturan ini tidak hanya berlaku kepada
mereka pengendara mobil, akan tetapi juga pengendara motor dan sepeda. Bahkan, para
pelajan kaki pun tidak lepas dari denda. Bagi mereka yang terbukti menyeberang
sembarangan atau di tempat yang tidak aman, akan didenda sebesar $108 atau yang kalau
dirupiahkan yaitu sebesar Rp.1,134,000.

Angka-angka ini mungkin tidak membuktikan kebenaran akan hipotesa saya di awal
tulisan ini bahwa ketaatan berkendara di Australia adalah karena denda yang besar dan
bukanlah sebuah pengaruh dari budaya. Atau mungkin saja aturan ketat yang membuat
mereka terbiasa berkendara dengan tertip sampai akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang
turun temurun. Terlepas dari itu, kita bisa melihat bahwa ada keseriusan pemerintah dalam
melindungi nyawa dari penduduknya. Bahkan dengan aturan yang sudah seketat ini, jumlah
kecelakaan disini masih tergolong tinggi. Untuk tahun 2018 saja, menurut catatan Kepolisian
Australia Selatan, sudah ada 235 kecelakaan yang merenggut 36 korban jiwa.

Lalu bagaimana dengan Aceh? Apakah aturan denda ini bisa kita terapkan? Mungkin
jawabannya adalah belum. Namun, pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan dan
Satlantas perlu memberi perhatian lebih terhadap penegakan aturan lalu lintas. Hal yang
harus disegerakan adalah pembatasan kecepatan di beberapa titik rawan kecelakaan seperti di
jalur lintas Banda Aceh – Medan. Dimana kendaraan umum seperti Bus AKAP, atau minibus
seperti L-300 dan kendaraan sejenis sering saling kebut-kebutan. Menurut catatan Dishub
Provinsi Aceh, di tahun 2017, ada 1948 kasus kecelakan yang merenggut 743 jiwa. Tentu ini
juga angka yang sangat besar. Harapan kita bersama agar Pemerintah Aceh lebih serius dalam
memperhatikan keselamatan berlalu-lintas dengan memperketat pengawasan dan
memberbanyak petugas maupun alat pemantau di daerah-daerah rawan kecelakaan. Dengan
arahan dan pengawasan yang lebih ketat, mudah-mudahan masyarakat Aceh bisa menjadi
lebih taat dan saling menjaga satu sama lain saat berkendara.

Anda mungkin juga menyukai