Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

F.32 GANGGUAN AFEKTIF EPISODE


DEPRESIF

Disusun Oleh:
Irma Chaerunnisa
11 2017 118

Pembimbing:
Dr. Evalina Asnawi, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
PANTI SOSIAL BINA LARAS, JAKARTA BARAT
PERIODE 14 Mei 2018 – 16 Juni 2018

1
LATAR BELAKANG
Perasaan atau emosi merupakan reaksi spontan manusia yang bila tidak diaksikan atau
diikuti prilaku maka tidak dapat dinilai baik buruknya. Suasana alam perasaan (mood /
afektif) bervariasi, bisa normal berupa perasaan positif (gembira, senang, bangga, cinta,
kagum, gembira, dan lain-lain) dan perasaan atau emosi negatif (takut, khawatir, curiga,
sedih, marah, depresi, kecewa, jenuh, dan lain-lain). Bila terjadi gangguan dalam alam
perasaan, individu kehilangan kontrol terhadap perasaannya tersebut dan timbul penderitaan.1
Gangguan perasaan (mood / afektif) meliputi sekelompok besar gangguan, dengan
mood patologis serta gangguannya yang terkait mood yang mendominasi gambaran
klinisnya. Ganggguan mood paling baik dianggap sebagai sindrom, yang terdiri dari atas
sekelompok tanda dan gejala yang bertahan selama berminggu – minggu hingga berbulan
bulan, yang menunjukan penyimpangan fungsi habitual seseorang serta kecendrungan untuk
kambuh, sering dalam bentuk periodik atau siklik.
Mood dapat normal, meningkat atau menurun. Pasien dengan mood meningkat
menunjukan adanya ekspansivitas, flight of ideas, tidur berkurang, harga diri meningkat, serta
gagasan kebesaran. Pasien dengan mood menurun menunjukan hilangnya energi dan minat,
rasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, serta pikiran mengenai kematian atau
bunuh diri. Pasien yang menderita depresi berat dikatakan memiliki gangguan depresif berat
atau unipolar. Gejala atau tanda lain mencakup perubahan tingkat aktivitas, kemampuan
kognitif, pembicaraan, serta fungsi vegetatif (contoh tidur, nafsu makan, aktivitas seksual,
serta ritme biologis lainnya). Gangguan ini hampir selalu menimbulkan gangguan fungsi
interpersonal, sosial dan pekerjaan.2

DEFINISI
Gangguan suasana perasaan (mood atau afektif) merupakan sekelompok gambaran
klinis yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kontrol emosi dan pengendalian diri.
Perubahan afek ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat
aktivitas kehidupan dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu,
atau mudah dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut.1
Kelainan fundamental pada kelainan afektif ialah perubahan suasana perasaan (mood)
atau afek, biasanya ke arah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertai). Atau ke
arah elasi (suasana perasaan yang meningkat disertai dengan gerakan motorik). Perubahan
suasana ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas, dan
kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah dipahami
2
hubungannya dengan perubahan tersebut. Gangguan afektif dibedakan menurut episode
tunggal atau multiple, tingkat keparahan gejala (hipomania, mania tanpa gejala psikotik,
mania dengan gejala psikotik, depresi ringan,sedang, berat tanpa gejala psikotik dan depresi
berat dengan gejala psikotik), dan dengan atau tanpa gejala somatik.1
Episode depresif adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan
mood atau afektif dengan abnormalitas pada suasana perasaan. Kelainan fundamental
dari kelompok gangguan ini adalah adanya perubahan suasana perasaan (mood) atau
afek menuju ke arah depresi yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan,
ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa.3

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3-8% dengan 50 kasus
yang terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun. World Health Organization
menyatakan bahwa gangguan depresif berada pada urutan keempat penyakit di dunia.
Gangguan depresif mengenai sekitar 20% wanita dan 12% laki-laki pada suatu waktu
dalam kehidupan. Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah gangguan depresif semakin
meningkat dan akan menempati urutan kedua penyakit didunia.4
Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan
keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang
berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk
jangka panjang. Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.5

ETIOPATOFISIOLOGI
Gangguan mood atau afektif disebabkan oleh berbagai macam faktor. Secara biologis
dikaitkan dengan faktor genetik dan gangguan neurotransmitter di otak. Secara psikososial
dikaitkan dengan pola asuh masa kanak-kanak, stress yang menyakitkan, stress kehidupan
yang berat dan berkepanjangan, dan banyak lagi faktor lainnya. 1-6

3
A. FAKTOR BIOLOGI
1. HEREDITER
Didapatkan fakta bahwa gangguan alam perasaan (mood) tipe bipolar (adanya
episode manik dan depresi) memiliki kecenderungan menurun kepada generasinya,
berdasar etiologi biologik. 50% pasien bipolar memiliki satu orangtua dengan
gangguan alam perasaan/gangguan afektif, yang tersering unipolar (depresi saja). Jika
seorang orang tua mengidap gangguan bipolar maka 27% anaknya memiliki resiko
mengidap gangguan alam perasaan. Bila kedua orangtua mengidap gangguan bipolar
maka 75% anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. Keturunan
pertama dari seseorang yang menderita gangguan bipolar berisiko menderita
gangguan serupa sebesar 7 kali. Bahkan risiko pada anak kembar sangat tinggi
terutama pada kembar monozigot (40-80%), sedangkan kembar dizigot lebih rendah,
yakni 10-20%.1-4

2. GENETIK
Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara gangguan bipolar
dengan kromosom 18 dan 22, namun masih belum dapat diselidiki lokus mana dari
kromosom tersebut yang benar-benar terlibat. Beberapa diantaranya yang telah
diselidiki adalah 4p16, 12q23-q24, 18 sentromer, 18q22, 18q22-q23, dan 21q22. Yang
menarik dari studi kromosom ini, ternyata penderita sindrom Down (trisomi 21)
berisiko rendah menderita gangguan bipolar. 2-5
Penelitian terbaru menemukan gen lain yang berhubungan dengan penyakit ini
yaitu gen yang mengekspresi brain derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF
adalah neurotropin yang berperan dalam regulasi plastisitas sinaps, neurogenesis dan
perlindungan neuron otak. BDNF diduga ikut terlibat dalam pengaturan mood. Gen
yang mengatur BDNF terletak pada kromosom 11p13. Terdapat 3 penelitian yang
mencari tahu hubungan antara BDNF dengan gangguan bipolar dan hasilnya positif.2-5

3. NEUROTRANSMITER
Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan gejala bipolar,
peneliti mulai menduga adanya hubungan neurotransmiter dengan gangguan bipolar.
Neurotransmiter tersebut adalah dopamine, serotonin, dan noradrenalin. Gen-gen yang
berhubungan dengan neurotransmiter tersebut pun mulai diteliti seperti gen yang

4
mengkode monoamine oksidase A (MAOA), tirosin hidroksilase, catechol-
Ometiltransferase (COMT), dan serotonin transporter (5HTT). 2-5

4. KELAINAN OTAK
Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini.
Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar.
Melalui pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-emission
tomography (PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah yang
berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk dalam
Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdala dan
hipokampus. Korteks prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari
otak yang terlibat dalam respon emosi (mood dan afek).Penelitian lain menunjukkan
ekspresi oligodendrosit-myelin berkurang pada otak penderita bipolar. Seperti
diketahui, oligodendrosit menghasilkan membran myelin yang membungkus akson
sehingga mampu mempercepat hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah
oligodendrosit berkurang, maka dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan
lancar. 2-5

B. FAKTOR PSIKOSIAL
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan. Satu pengamatan klinis yang telah lama
yang telah direplikasi adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih
sering mendahului episode pertama gangguan suasana perasaan daripada episode
selanjutnya. Hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien gangguan depresif berat
dan gangguan bipolar I. 2-5

Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik


Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmund Freud mendalilkan suatu hubungan
antara kehilangan suatu objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang
dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang
hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan satu-satunya cara bagi ego
untuk melepaskan suatu objek. Ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita
atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam
hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang
berkabung tidak demikian.4
5
Melanie Klein selanjutnya menghubungkan depresi dengan posisi depresif. Ia
mengerti siklus manik-depresif sebagai pencerminan kegagalan pada masa anak-anak
untuk mendapatkan introjeksi mencintai. Di dalam pandangannya, pasien depresi
menderita akibat permasalahan bahwa mereka mungkin memilki objek cinta yang
dihancurkan melalui destruktivitas dan ketamakan mereka sendiri. Sebagai akibat dari
destruksi yang dikhayalkan tersebut, mereka berguna yang karakteristik untuk pasien
depresi melebihi perasaan bahwa orang tua internal mereka yang baik telah
ditransformasikan menjadi penyiksa karena khayalan dan impuls destruktif pasien. 6
Klien memandang mania sebagai kumpulan operasi defensif yang disusun untuk
mengidealisasikan orang lain, menyangkal adanya agresi atau destruktivitas terhadap
orang lain, dan mengembalikan objek cinta yang hilang.4
Bibring memandang depresi sebagai suatu keadaan afektif primer yang tidak dapat
melakukan apa-apa terhadap agresi yang dihadapkan ke dalam. Selain itu, ia memandang
depresi sebagai suatu afek yang berasal dari ketegangan di dalam ego antara aspirasi
seseorang dan kenyataan seseorang. Jika pasien terdepresi menyadari bahwa mereka
tidak hidup sesuai dengan idealnya, sebagai akibatnya mereka putus asa dan sebagai
akibatnya mereka merasa putus asa dan tidak berdaya. Pada intinya, depresi dapat
disimpulkan sebagai keruntuhan parsial atau lengkap dari harga diri di dalam ego. 4
Heinz Kohut mendefinisikan kembali depresi di dalam istilah psikologi diri. Jika
objek diri yang diperlukan untuk bercermin, kekembaran, atau idealisasi tidak datang
dari orang yang bermakna, orang yang terdepresi merasakan suatu ketidaklengkapan dan
putus asa karena tidak menerima respon yang diinginkan. Di dalam pengertian tersebut,
respon tertentu di dalam lingkungan adalah diperlukan untuk mempertahankan harga diri
dan perasaan kelengkapan.4

C. FAKTOR LINGKUNGAN
Penelitian telah membuktikan faktor lingkungan memegang peranan penting dalam
gangguan perkembangan bipolar. Faktor lingkungan yang sangat berperan pada
kehidupan psikososial dari pasien dapat menyebabkan stress yang dipicu oleh faktor
lingkungan. Stress yang menyertai episode pertama dari gangguan bipolar dapat
menyebabkan perubahan biologik otak yang bertahan lama. Perubahan bertahan lama
tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter
dan sistem pemberian signal intraneuronal. Perubahan mungkin termasuk hilangnya
neuron dan penurunan besar dalam kontak sinaptik. Hasil akhir perubahan tersebut
6
adalah menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita
Gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stressor eksternal. 2-5

F.32. GANGGUAN AFEKTIF EPISODE DEPRESIF


Walaupun banyak penelitian telah berusaha untuk menemukan perbedaan yang dapat
dipercaya antara episode depresif gangguan bipolar dan episode gangguan depresif,
perbedaan tersebut sulit ditemukan. Di dalam situasi klinis, hanya riwayat penyakit pasien,
riwayat keluarga, dan perjalanan penyakit di masa mendatang dapat membantu membedakan
kedua kondisi tersebut..
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah ini, ringan
(F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2 dan F32.3), gejala utama yang ditemukan adalah :
 Afek depresi
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
Gejala lainnya adalah :
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
 Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe
ringan sekali pun)
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
 Tidur terganggu
 Nafsu makan berkurang

F32.0 EPISODE DEPRESIF RINGAN


Suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kesenangan, dan
mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala dari depresi yang paling khas, dan
sekurang-kurangnya dua gejala dari ini, ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lain (untuk
F32.-) harus ada untuk menegakkan diagnosis pasti.
Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya. Lamanya episode berlangsung ialah
sekurangkurangnya sekitar 2 minggu.

7
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang gejalanya
dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan kegiatan sosial, namun
mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama sekali.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan adanya sindrom somatik :
A. F32.00 Tanpa gejala somatik
Kriteria untuk episode depresif ringan telah dipenuhi, dan tidak ada atau hanya sedikit
sekali gejala somatik
B. F32.01 Dengan gejala somatik
Kriteria untuk episode depresif ringan telah dipenuhi, dan empat atau lebih gejala
somatik juga ditemukan. (jika hanya dua atau tiga gejala somatik ditemukan tetapi luar
biasa beratnya, maka penggunaan kategori ini mungkin dapat dibenarkan)

F32.1 EPISODE DEPRESIF SEDANG


Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala paling khas yang ditentukan untuk
episode depresif ringan (F32.0), ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat)
gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin amat menyolok, namun tidak esensial apabila secara
keseluruhan ada cukup banyak variasi gejalanya.
Lamanya keseluruhan episode berlangsung ialah sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
Individu yang mengalami episode depresif taraf sedang biasanya menghadapi
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan adanya sindrom somatik :
A. F32.10 Tanpa gejala somatik
Kriteria untuk episode depresif sedang telah dipenuhi, dan tidak ada atau hanya sedikit
sekali gejala somatik
B. F32.11 Dengan gejala somatik
Kriteria untuk episode depresif sedang telah dipenuhi, dan ada empat atau lebih gejala
somatik juga ditemukan. (jika hanya dua atau tiga gejala somatik ditemukan tetapi luar
biasa beratnya, maka penggunaan kategori ini mungkin dapat dibenarkan)

F32.2 EPISODE DEPRESIF BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK


Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan ketegangan atau
kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi mental merupakan ciri terkemuka.
Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri
8
merupakan bahaya nyata terutama pada beberapa kasus berat. Anggapan disini ialah bahwa
sindrom somatik hampir selalu ada pada episode depresif berat.
Semua ketiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan dan sedang
harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan beberapa di antaranya
harus berintensitas berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi)
menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak
gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam subkategori
episode berat masih dapat dibenarkan.
Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkinpenderita akan mampu
meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.
Kategori ini hendaknya digunakan untuk episode depresif berat tunggal tanpa gejala
psikotik, untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori dari gangguan depresif
berulang.
F32.3 EPISODE DEPRESIF BERAT DENGAN GEJALA PSIKOTIK
Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut diatas, disertai
waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya biasanya melibatkan ide tentang dosa,
kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab
atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau
bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada
stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak
serasi dengan suasana perasaan (mood).

F32.8 EPISODE DEPRESIF LAINNYA


F32.9 EPISODE DEPRESIF YTT

9
PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Deskripsi Umum
Kemunduran psikomotor secara umum merupakan gejala yang paling sering,
meskipun agitasi psikomotor juga terlihat, terutama pada pasien usia lanjut. Meremas tangan
dan menarik rambut merupakan gejala dari agitasi. Secara sederhana pasien depresi memiliki
postur tubuh yang dibungkukkan, tidak ada gerakan spontan, sedih dan memalingkan wajah.
Pada pemeriksaan klinis, pasien depresi memperlihatkan keseluruhan gejala dari kemunduran
psikomotor yang tampak serupa dengan pasien skizofrenia katatonik.
Mood, Afek dan Perasaan
Gejala kunci adalah depresi, walaupun sekitar 50% pasien menyangkal perasaan
depresi dan tidak tampak depresi. Anggota keluarga dan teman kerja sering membawa pasien
untuk terapi karena menarik diri dari lingkungan dan pengurangan aktifitas secara umum.
Suara pengurangan jumlah dan volume bicara mereka merespon pertanyaan dengan satu-satu
kata dan memperlihatkan perlambatan menjawab pertanyaan. Pemeriksaan dapat menunggu 2
atau 3 menit untuk pasien menjawab pertanyaan
Gangguan Persepsi
Gangguan depresi berat dengan ciri psikotik mempunyai delusi atau halusinasi. Bahkan tanpa
delusi atau halusinasi beberapa dokter menyebut psychotic depression untuk kemunduran
secara keseluruhan, membisu (mute), tidak mendi dan kotor. Mood incongruent adalah suatu
kondisi yang pada saat bersamaan pada pasien depresi ditemukan adanya delusi dan
halusinasi yang menetap, selain itu juga ditemukan perasaan bersalah, tidak berharga,
kegagalan, penderitaan dan keadaan terminal penyakit somatic (seperti terminal dan
kerusakan otak). Gambarannya adalah ketidaksesuaian antara isi delusi dan halusinasi dengan
mood depresi. Ketidak sesuaian isi delusi dengan mood pada pasien depresi meliputi tema
grandiose tentang kemampuan yang berlebihan, pengetahuan, dan sesuatu yang berharga
sebagai contoh, pasien peraya bahwa seorang tersiksa karena dia adalah Messiah.
Pikiran
Pandangan negative terhadap dunia dan dirinya sendiri. Isi piker mereka sering meliputi rasa
bersalah, pikiran bunuh diri dan kematian. Sekitar 10 % dari semua pasien depresi
menunjukkan gejala gangguan pikirannya adalah hamabatn dan kemiskinan.
Sensosirum dan Kognitif (Orientasi)
Kebanyakan pasien depresi tidak terganggu orientasinya baik orang, tempat dan waktu
meskipun beberapa dari mereka tidak mempunyai tenaga atau minat untuk menjawab
pertanyaan tentang subjek tersebut selama wawancara.
10
Memori
Sekitar 50 sampai 75 % dari pasien depresi pada umunya mempunyai hendara kognitif,
kadang ditunujukkan sebagai pseudodementia depresi. Umumnya pasien mengeluhkan tidak
mampu konsentrasi dan gampang lupa.
Kontrol impuls
Sekita 10 sampai 15 % melakukan bunuh diri dan sekitar dua pertiganya mempunya ide
untuk bunuh diri. Pasien dengan ciri psikotik biasanya mempertimbangkan untuk membunuh
orang sebagai manifestasi delusi, walaupun banyak pasien depresi kurang tenaga atau
motivasi untuk mengikuti suara hati untuk melakukan kejahatan. Pasien dengan gangguan
depresi meningkat risiko untuk bunuh diri ketika energi mereka mulai meningkat dan
menjalankan rencana untuk menyelesaikan bunuh diri. Tidak bijaksana apabila dokter
memberikan resep anti depresan dalam jumlah besar teruatam obat trisiklik pada saat pasien
keluar dari rumah sakit.
Pertimbangan dan tilikan
Menilai sikap dan perilaku pasien terkini, selama wawancara. Tilikan pasien depresi terhadap
gangguannya sering berlebihan. Mereka teralalu menekankan gejlanya, gangguannya, dan
masalah hidup mereka. Ini menyulitkan untuk meyakinkan pasien bahwa perbaikan mungkin
terjadi.
Hal dapat di percaya
Pada wawancara dan perbincangan pasien depresi terlalu melebihkan hal buruk dan
meminimalkan hal baik. Kesalahan dokter sering tidak mempercayai penjelasan pasien
depresi yang menyatakan pengobatan dengan anti depresan sbeelumnya tidak berespon.
Dianggap pernyataan itu mungkin salah dan dibutuhkan sumber lain untuk mendapatkan
informasi tentang hal tersebut.

PENATALAKSANAAN
A. PSIKOFARMAKA
Pengobatan yang tepat tergantung pada stadium gangguan yang dialami penderita.
Pilihan obat tergantung pada gejala yang tampak, seperti gejala psikotik, agitasi, agresi,
dan gangguan tidur. Antidepresan dan ECT juga dapat digunakan untuk episode depresi
akut (contoh, depresi berat). Selanjutnya, terapi pemeliharaan/maintenance dan
pencegahan juga harus diberikan.3
Pengalaman klinis menunjukkan bahwa jika diterapi dengan obat mood stabilizer,
penderita gangguan bipolar akan mengalami lebih sedikit periode manik dan depresi.
11
Obat ini bekerja dengan cara menstabilkan mood penderita (sesuai namanya), juga dapat
menstabilakn manik dan depresi yang ekstrim. Antipsikosis atipikal seperti ziprasidone,
quetiapine, risperidone, aripiprazole dan olanzapine, kini juga sering digunakan untuk
menstabilkan manik akut, bahkan untuk menstabilkan mood pada depresi bipolar.4

Tabel 1. Regimen penatalaksanaan bipolar menurut FDA


Nama Generik Nama Dagang Manik Mixed Maintenance Depresi
Valproate Depakote X
Carbamazepine Equestro X X
extended release
Lamotrigine Lamictal X
Lithium X X
Aripiprazole Abilify X X X
Ziprasidone Geodon X X
Risperidone Risperdal X X
Quetiapine Seroquel X X
Chlorpromazine Thorazine X
Olanzapine Zyprexa X X X
Olanzapine/fluoxetine Symbyax X
Combination

1. ANTIDEPRESAN
Antidepresan efektif untuk mengobati GB, episode depresi. Penggunaannya
harus dalam jangka pendek. Penggunaan jangka panjang berpotensi meginduksi
hipomania atau mania. Untuk menghindari terjadinya hipomania dan mania,
antidepresan hendaklah dikombinasi dengan stabilisator mood atau dengan
antipsikotika atipik. Tergantung pada simptom dokter yang merawat mungkin akan
merekomendasikan pasien untuk mengunakan anti depresan. Pada beberapa pasien
yang menderita gangguan bipolar, obat anti depresan juga bisa menyebabkan
tercetusnya episode manik. Dengan itu dokter yang merawat akan merekomendasikan
juga pengobatan dengan kombinasi mood stabilizer dan hal ini tidak menjadi satu
masalah. Efek samping anti depresan yang sering adalah penurunan kegairahan sex
dan masalah untuk mencapai orgasme. Anti depresan generasi terdahulu yang terdiri
dari trisiklik dan inhibitor MAO juga bisa menyebabkan efek samping yang
berbahaya dan membutuhkan monitoring pengobatan yang rutin. Fluoxetine (Prozac),
paroxetine (paxil), sertraline (Zoloft) dan bupropion (wellbutrin) adalah contoh anti
depresan yang digunakan untuk pengobatan kelainan bipolar.5

12
2. ANTIMANIK (MOOD STABILIZER)
Mood Stabilizer adalah kelompok obat yang divergen, dikenal berkjasiat
terutama untuk memertahankan stabilitas suasana perasaan, terutama mencegah
munculnya kondisi manik pada Gangguan Afektif Bipolar. Kelompok obat ini
dikatakan efektif untuk mania akut tetapi kurang efektif untuk depresi.2,4,5

Klasifikasi Umum:
a. Garam Lithium
Lithium Carbonat : - priadel
- theralith
b. Lain-lain:
Carbamazepine  tegretol
Asam Valproate  valproic acid dan depakene
Natrium Divalproate  depakote
Secara umum terapi dengan Lithium dimulai dengan dosis terbagi, mulai dari
dosis 2-3 kali 300 mg per hari dan kadar plasma stabil dicapai dalam 4-5 hari.
Setelahh pasien cukup stabil , dosis tunggal sering kali lebih disukai. Bila fungsi
ginjal normal, dosis total perhari bisa mencapai 1200-1800 mg Lithium Carbonat
yang akan menghasilkan konsentrasi Lithium dalam plasma berkisar 0.8 – 1.2 mEq/L.
Dosis pemeliharaan berkar di tingkat kadar plasma 0.6 – 1 mEq/L yang dapat
dicapai dengan pemberiaan 900 – 1200 mg/hari.

Cara Kerja
Dikatakan bahwa Lithium memiliki efek akut dan kronis dalam pelepasan
serotonin dan norepinefrin di neuron terminal. SSP. Dalam konsentrasi tinggi berefek
juga dalam pompa ion transmembran. Secara teoritis dihipotesiskan 3 cara kerja
Lithium, yaitu hipotesis Inositol Depletion, Regulasi wnt Pathway dan Synthase
Kinase 3beta, serta regulasi Lithium terhadap Adenylyl Cyclase. Walaupun cara
kerjanya tidak dapat dijelaskan dengan tepat, tetapi ditemukan bahwa Lithium sangat
bermanfaat dalam pengobatan Gangguan Afektif.3
Indikasi utama pemakaian Lithium adalah untuk Gangguan Afektif Bipolar khususnya
episode manik, dengan dosis efektif kadar obat dalam plasma berkisar antara 0.8 – 1.2
mEq/L. (biasanya dimulai dengan dosis 400 mg/hari p.o) .2,4,5

13
Efek Samping
Karena jendela terapeutik sangat kecil maka monitoring efek samping harus
dilakukan secara cermat. Kadar obat dalam plasma mencapai 1.5 mEq/L dapat
berakibat toksis terhadap ginjal.

Efek samping yang dapat terjadi adalah: 2,4,5


1. Tremor halus
2. Diare dan muntah-muntah
3. Rasa lelah dan vertigo
4. Ataksia dan tremor kasar
5. Penurunan kesadaran
6. Konvulsi
7. Oliguria bahkan dapat terjadi anuria
8. Edem

3. ANTI ANXIETAS (BENZODIAZEPIN)


Benzodiazepin merupakan suatu obat anti anxietas, dimana ia berfungsi untuk
mengurangkan anxietas dan memperbaiki kualitas tidur. Contoh obat golongan
benzodiazepin termasuk clonezepam (klonopin), lorazepam (ativan), diazepam
(valium), chlordiazepoxide (Librium) dan alprozolam (niravam, xanax).
Benzodiazepin pada umumnya digunakan untuk mengurangkan anxietas hanya pada
jangka waktu yang pendek. Efek samping benzodiazepine antaranya pusing,
penurunan koodinasi otot, masalah keseimbangan dan memori.5

4. ANTIPSIKOTIK
Obat-obat antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena
memiliki beberapa efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan
neurologis yang disebut pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah majortranquilizer
karena adanya efek sedasi atau mengantuk yang berat. Obat-obat antipsikotik
terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin dan serotonin di otak, dengan
target untuk menurunkan gejala-gejala psikotik seperti halusinasi, waham dan lain-
lain. 2,4,5
Obat – obat antipsikotik dibagi menjadi golongan fenotiazin misalnya
chlopromazine, dan golongan non fenotiazin misalnya haloperidol. Sedangkan
14
menurut cara kerjanya terhadap reseptor dopamin dibagi menjadi Dopamin receptor
antagonist dan Serotonin Dopamin Antagonist. Atau obat tipikal dan obat atipikal.
Golongan fenotiazin disebut juga obat berpotensi rendah sedangkan yang non
fenotiazin potensi tinggi karena hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh
efek yang setara dengan chlorpromazine 100 mg. 2,4,5
Efek samping dapat dikelompokkan menjadi efek samping neurologis dan
nonneurologis. Efek samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut dan
parkinsonism (acute extrapyramidal syndrome). Dapat juga terjadi efek samping akut
berupa SNM (Sindrom Neuroleptik Maligna) yang merupakan kondisi emergensi
karena dapat mengancam kelangsungan hidup pasien. Pada kondisi kronis atau efek
samping pengobatan jangka panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya tardive
dyskinesia. 2,4,5
Bila terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal seperti Distonia Akut,
Akathisa atau Parkinsonism, biasanya terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis dan
bila tidak dapat ditanggulangi diberikan obat-obat antikholinergik seperti
triheksifenidil (Artane@). Benztropin Congentin@), Sulfas Atropin , atau
dipenhydramin (Benadryl@) injeksi IM atau IV dengan dosis 10-50 mg/ml. Tersering
digunakan Triheksifenidil dengan dosis 3 kali 2 mg per hari. Bila tetap tidak berhasil
mengatasi efek samping tersebut disarankan untuk mengganti jenis antipsikotik yang
digunakan ke golongan APG-II yang lebih sedikit kemungkinannya mengakibatkan
efek samping ekstrapiramidal. 2,4,5

B. PSIKOTERAPI
Sedikit data yang menguatkan keunggulan salah satu pendekatan psikoterapi
dibandingkan yang lain dalam terapi gangguan mood masa anak-anak dan remaja.
Tetapi, terapi keluarga adalah diperlukan untuk mengajarkan keluarga tentang gangguan
mood serius yang dapat terjadi pada anak-anak saat terjadinya stress keluarga yang berat.
Pendekatan psikoterapetik bagi anak terdepresi adalah pendekatan kognitif dan
pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur dibandingkan yang biasanya
digunakan pada orang dewasa. Karena fungsi psikososial anak yang terdepresi mungkin
tetap terganggu untuk periode yang lama, walaupun setelah episode depresif telah
menghilang, intervensi keterampilan sosial jangka panjang adalah diperlukan. Pada
beberapa program terapi, modeling dan permainan peran dapat membantu menegakkan

15
keterampilan memecahkan masalah yang baik. Psikoterapi adalah pilihan utama dalam
pengobatan depresi. 7,8
Beberapa jenis psikoterapi yaitu : 7,8
1. Cognitive behavioral therapy (CBT) membantu penderita gangguan bipolar untuk
mengubah pola pikir dan perilaku negative.
2. Family-focused therapy melibatkan anggota keluarga. Terapi ini juga memfokuskan
pada komunikasi dan pemecahan masalah.
3. Interpersonal and social rhythm therapy membantu penderita gangguan bipolar
meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain dan mengatur aktivitas harian
mereka.
4. Psychoeducation mengajarkan pada penderita gangguan bipolar mengenai penyakit
yang mereka derita beserta dengan penatalaksanaannya.
Terapi ini membantu penderita mengenali gejala awal dari episode baik manik maupun
depresi sehingga mereka bisa mendapatkan terapi sedini mungkin.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penggunaan obat-obatan dengan dosis yang tepat,
pengetahuan komprehensif mengenai penyakit ini dan efeknya, hubungan positif dengan
dokter dan therapist, kesehatan fisik. Semua faktor ini merujuk ke prognosis bagus. Akan
tetapi prognosis pasien gangguan bipolar I lebih buruk dibandingkan dengan pasien dengan
gangguan depresif berat. Kira-kira 40%-50% pasien gangguan bipolar I memiliki episode
manik kedua dalam waktu dua tahun setelah episode pertama. Kira-kira 7% dari semua
pasien gangguan bipolar I tidak menderita gejala rekurensi, 45% menderita lebih dari satu
episode, dan 40% menderita gangguan kronis. Pasien mungkin memiliki 2 sampai 30 episode
manik, walaupun angka rata-rata adalah Sembilan episode. Kira-kira 40% dari semua pasien
menderita lebih dari 10 episode. 5,7,8

KESIMPULAN
Gangguan afektif bipolar episode kini depresi merupakan suatu gangguan dengan
kelainan fundamental terletak pada kelainan afektif, yaitu berupa perubahan suasana perasaan
(mood) atau afek. Pada gangguan ini terjadi perubahan mood dengan berkurangnya
semangat, aktivitas dimana sebelumnya pasien juga pernah mengalami satu episode
gangguan afektif lainnya (depresi, hipomanik, manik dan campuran). Gangguan afektif
bipolar merupakan kondisi non aktif sedang sampai berat pada semua kelompok umur.
16
Gangguan ini dapat didiagnosis dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ)III. Penatalaksanaan gangguan afektif bipolar secara langsung berkaitan dengan
fase episode yang sedang dialami oleh pasien (depresi atau manik) dan keparahan episode
tersebut. Untuk kasus episode kini manik depresi diberikan antidepresan dan mood stabilizer.
Gangguan bipolar memerlukan perhatian yang besar.

DAFTAR PUSTAKA
 Departemen Kesehatan RI.1993. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan

jiwa di Indonesia III (PPDGJ). Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan RI. h.140-57.

 Kaplan HI, Sadock BJ,Grebb JA. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta:EGC; 2013.

h. 189-217

 Maslim R. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa III di Indonesia.

Edisi ke-3. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI; 2004.

 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical care untuk

penderita gangguan depresif. 2007.

 Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat. Kementrian Kesehatan

17
Republik Indonesia. Kamis 06 Oktober 2016

http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-

kesehatan-jiwa-masyarakat.html

 Elsevier. Bipolar affetive disorder. 2016. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/286342-treatment. diakses pada tanggal 27

Mei 2018

1. Margaret Chan. Psychosis and Bipolar disorder, bab II and III in mhGAP Intervention
Guide for mental, neurological and substance use disorders in non-specialized health
settings. Version 1.0. Switzerland: World Health Organization. 2008. H. 18-30.
2. Kaplan HI, Sadock BJ,Grebb JA. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta:EGC; 2013.
h. 189-217
3. Departemen Kesehatan RI.1995. h.141-5. Pedoman penggolongan dan diagnosis
gangguan jiwa di Indonesia III(PPDGJ). Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI. h.15-16,140-50
4. Elsevier. Bipolar affetive disorder. 2016. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/286342-treatment. Accessed Agustus 7 2017
5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar psikiatri. Jakarta:badan
Penerbit FKUI ;2013. h.204-27,378-82,386-87
6. Bipolar disorder. National Institute of Mental Health.
https://www.nimh.nih.gov/health/topics/bipolar-disorder/index.shtml. Accessed
Agustus 7 2017.
7. Bipolar disorders. The Merck Manuals: The Merck Manual for Healthcare
Professionals.November2013.http://www.merckmanuals.com/professional/psychiatric
_disorders/mood_disorders/bipolar_disorders.html#v10285. Accessed Agustus 7
2017.
8. Practice parameter for the assessment and treatment of children and adolescents with
bipolar disorder. Washington, D.C.: American Academy of
ChildandAdolescentPsychiatry.http://www.jaacap.com/article/S0890-8567(09)61968-
7/abstract . Accessed Agutus 7 2017.

18
19

Anda mungkin juga menyukai