Alasan kedua yang kuterima saat sore hari dan mulai membuatku go
ndok,
meski harus kuakui alasan itu cukup masuk akal. Aku memintanya
menemaniku
ke acara ulang tahun sahabatku yang jarak perjalanan membutuhka
n waktu
satu jam, sialnya saat itu Joe sedang berada di tempat yang lebih ja
uh
lagi, hingga jika diperkirakan waktu yang harus ditempuh kurang leb
ih dua
jam perjalanan. Dan seperti kata Joe, saat kami sudah sampai di tem
pat
pesta justru acaranya sudah selesai.
Nggak masalah, bukan salah Joe jika saat ini sedang berada disana h
ingga
tak bisa menemaniku ke tempat party. So, meski gondok dan sebal,
alasan
kedua itu bisa kuterima dengan akal sehat.
“Mmhh… Gimana ya? Oke deh. Kamu tunggu bentar ya, aku ganti baj
u dulu.”
Jawaban ketiga yang berbeda dari alasan sebelumnya membuatku m
eloncat
kegirangan, meski sempat berpikir sebentar, meski ragu dengan
kata-katanya sendiri, meski sempat berkata, “Mmhh… Gimana ya?”, k
alimat
yang begitu kubenci, tapi akhirnya Joe menyanggupi permintaanku u
ntuk
mengajaknya ke rumah, untuk sekedar ngobrol ringan, toh malam ini
Joe ada
waktu luang.
Dua jam berlalu, orang yang kutunggu-tunggu tak juga menampakka
n batang
hidungnya. Hingga jarum jam menunjukkan angka sembilan, selisih
dua jam
dari waktu yang dijanjikan, Joe pacarku yang kunantikan pun akhirny
a tiba
dengan wajah tanpa dosa. Tersenyum lembut seraya merangkul dan
mencium
keningku.
Bukan itu yang kuminta, cukup dengan berkata “Maaf, aku terlambat
. Nggak
apa-apa kan sayang?” rasanya sudah bisa mengobati luka di hatiku.
Joe
hanya bilang, kalau tadi ada tugas mendadak dari atasannya yang
mengharuskannya untuk segera ke kantor.
Siapapun bakalan gondok, merasa dibohongi ketika janji diucapkan
dengan
lafal yang begitu lancarnya, kemudian diingkari dengan mudahnya.
Tanpa
adanya rasa bersalah, tanpa ada ucapan maaf. Tentu saja aku marah
,
melontarkan ucapan kasar yang membuat satu point-ku berkurang d
imatanya.
***
(Bersambung ke vol.2)