Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT)

Vol. 2 No. 1
ISSN 2338 3240

Pengaruh Model Pembelajaran Training Inquiry


Terhadap Hasil Belajar Pada Pokok Bahasan Kalor
Siswa SMP Negeri 9 Palu

Trisno, Yusuf Kendek dan Marungkil Pasaribu


e-mail: Trisno_Physics@yahoo.com
Program Studi Pend. Fisika, Jurusan Pendidikan MIPA, Universitas Tadulako
Jl. Soekarno Hatta KM. 9 Kampus Bumi Tadulako Tondo Palu – Sulawesi Tengah

Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk menguji signifikansi perbedaan hasil belajar antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran Training Inquiry dengan pembelajaran konvensional pada pokok bahasan kalor
siswa SMP Negeri 9 Palu. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu (quasi experimental) dengan
desain penelitian non equivalent control group design. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling. Sampel penelitian adalah kelas VII I sebagai kelas eksperimen dan kelas VII H sebagai kelas kontrol.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah tes hasil belajar dalam bentuk pilihan ganda. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang mengikuti model
pembelajaran Training Inquiry dengan model pembelajaran konvensional pada pokok bahasan kalor siswa SMP
Negeri 9 Palu yang ditunjukkan oleh uji hipotesis yang menggunakan uji-t dua pihak. Hasil perhitungan statistik
diperoleh nilai thitung sebesar 4,28 dan ttabel pada taraf signifikan 5% dan dk = 59 adalah 2,001 sehingga thitung >
ttabel. Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model
pembelajaran Training Inquiry terhadap hasil belajar pada pokok bahasan kalor siswa SMP Negeri 9 Palu.

Kata Kunci: Model Pembelajaran Training Inquiry, Hasil Belajar

I. PENDAHULUAN sendiri. Selain itu, ada beberapa faktor yang


menyebabkan rendahnya hasil belajar fisika
Pembelajaran fisika yang merupakan salah diantaranya proses pembelajaran yang
satu unsur dalam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ditemukan secara umum lebih menekankan
memegang peranan penting dalam pada pencapaian tuntutan kurikulum, dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagian guru belum menciptakan suasana
teknologi. Oleh sebab itu pembelajaran fisika pembelajaran yang menarik dan
harus mendapat perhatian yang lebih mulai dari menyenangkan, sehingga siswa kurang
tingkat SD sampai perguruan tinggi. IPA fisika termotivasi dan merasa terbebani dalam belajar
adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan fisika. Pembelajaran pun lebih bersifat teacher-
metode ilmiah dalam prosesnya. Dengan centerd guru hanya menyampaikan IPA sebagai
demikian maka proses pembelajaran fisika produk dan siswa menghafal informasi faktual,
bukan hanya memahami konsep-konsep fisika serta kecenderungan penggunaan soal-soal
semata, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga bentuk pilihan ganda murni pada waktu
merupakan suatu proses dalam penemuan. ulangan harian maupun ulangan sumatif.
Sehingga pemahaman siswa terhadap hakikat Pembelajaran seperti itu akan menimbulkan
fisika menjadi utuh, baik sebagai proses ketidaktahuan pada diri siswa mengenai proses
maupun sebagai produk. maupun sikap dari konsep fisika yang mereka
Pembelajaran fisika yang harus diperhatikan peroleh. Dengan demikian, seorang pendidik
adalah bagaimana siswa mendapat perlu menerapkan suatu model pembelajaran
pengetahuan (learning to know), konsep dan yang dapat menarik minat siswa untuk
teori melalui pengalaman praktis dengan cara mempelajari ilmu fisika. Model yang digunakan
melaksanakan observasi atau eksperimen harus sesuai dengan tujuan pembelajaran serta
(learning to do), secara langsung (skil jenis materi yang diajarkan. Kurang tepatnya
objektivitas) sehingga dirinya berperan sebagai menggunakan model pembelajaran, dapat
ilmuan. menimbulkan kebosanan, monoton, atau
Ada kesan yang kuat bahwa pelajaran fisika bahkan siswa kesulitan dalam memahami
merupakan pelajaran yang sulit untuk dipahami konsep yang diajarkan.
dan kurang menarik. Salah satu penyebabnya Pembelajaran yang dapat membantu siswa
adalah kurangnya kesempata siswa untuk memahami konsep-konsep fisika khususnya
mempelajari, mengamati, dan menemukan pada pokok bahasan kalor ini, diperlukan
adanya suatu model yang dapat melibatkan
14
Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT)
Vol. 2 No. 1
ISSN 2338 3240
siswa secara optimal dalam pembelajaran. kelompok subjek, satu diantaranya yang diberi
Model pembelajaran tersebut mempunyai andil perlakuan. Pengambilan sampel dalam
yang cukup besar dalam kegiatan belajar penelitian ini menggunakan teknik purposive
mengajar. Salah satu model pembelajaran yang sampling, sampelnya diambil berdasarkan
melibatkan keaktifan siswa untuk menemukan tujuan tertentu. Bentuk desainnya disajikan
konsepnya sendiri adalah dengan model pada tabel I berikut:
pembelajaran training inquiry. Model
TABEL I DESAIN PENELITIAN
pembelajaran ini sangat cocok digunakan dalam
Kelompok Prates Perlakuan Pascates
pembelajaran IPA khususnya fisika dimana
siswa terlibat langsung dengan objek yang A (KE) 0 X1 0
dipelajarinya. Pembelajaran training inquiry B (KK) 0 X2 0
yang melibatkan keaktifan siswa, siswa (Nana Syaodih, 2009)
didorong untuk belajar aktif dengan konsep-
konsep dan prinsip-prinsip untuk mereka Keterangan:
sendiri. Di dalam model pembelajaran training
inquiry terdapat lima tahapan, yaitu A: Kelompok eksperimen
menghadapkan masalah, mengumpulkan B: Kelompok kontrol
informasi, mencari data dalam eksperimen, X1 : Model Training Inquiry
mengorganisasikannya, merumuskan, dan X2 : Model Konvensional
menjelaskan dan menganalisis proses penelitian O : Tes awal (pretest)
merupakan metode yang baik dilakukan oleh O : Tes akhir (posttest)
guru ketika melaksanakan pembelajaran
dikelas. Karena dengan menampilkan beberapa III. HASIL DAN PEMBAHASAN
tahapan dalam pembelajaran inquiri siswa tidak
hanya menghafalkan banyak rumus dan 3.1 Hasil Analisis Butir Soal
menghitung saja, tetapi juga menampilkan Tes awal yang dilakukan pada kelas VII H dan
gejala-gejala fisika yang dapat mereka temui kelas VII I menggunakan tes pilihan ganda
dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga yang dilakukan dua kali validasi yaitu yang
mereka dapat memaknai konsep-konsep fisika pertama dilakukan validasi ahli oleh validator
yang diajarkan yang pada akhirnya dapat kemudian dilakukan validasi hitung setelah di
menciptakan proses pembelajaran fisika uji cobakan pada siswa kelas VIII H SMP Negeri
bermakna. Dari proses pembelajaran fisika 9 Palu. Tes yang dibuat awalnya berjumlah 43
yang bermakna inilah diharapkan dapat nomor soal, namun setelah dilakukan validasi
mempengaruhi hasil belajar siswa kelas VII oleh validator ahli ada tiga nomor soal yang
SMP Negeri 9 Palu. dinyatakan tidak valid yaitu nomor 31, 32 dan
33. Data selengkapnya dapat dilihat pada
II. METODOLOGI lampiran 1.
Soal yang dinyatakan valid oleh validator ahli
Penelitian ini menggunakan dua kelas dalam yaitu berjumlah empat puluh nomor soal di uji
pengolahan datanya yaitu kelas VII H sebagai cobakan kepada siswa kelas VIII H dan dihitung
kelas kontrol dan kelas VII I sebagai kelas validitasnya. Dari hasil validasi hitung diperoleh
eksperimen. Pengolahan data pretest dilakukan enam nomor soal dinyatakan tidak valid. Soal
dalam penelitian ini dengan tujuan untuk yang tidak valid ialah soal nomor 10, 13, 26,
mengetahui keadaan awal kedua kelas. Sampel 27, 30 dan 33. Dari hasil validasi dan validasi
yang diambil harus dari kelas yang memiliki hitung diperoleh soal yang dinyatakan valid
hasil belajar yang sama. Soal yang digunakan sebanyak tiga puluh empat nomor soal dan
dalam pretest maupun postest berjumlah 34 digunakan pada tes awal dan tes akhir untuk
soal berupa pilihan ganda yang telah divalidasi kelas VII H dan kelas VII I.
oleh validator ahli dan validasi item. Penskoran
yang diberikan kepada siswa berdasarkan 3.1.1 Deskripsi Skor Pretest Kelas VII H
jawabannya jika menjawab benar diberi skor Hasil tes awal yang dilakukan pada kelas VII
satu dan jika salah diberi skor nol. Sehingga H diperoleh nilai maksimum 12 dan nilai
dapat ditentukan rentangnya yaitu 0-34 minimum 2. Pemberian skor berdasarkan
berdasarkan jumlah soal. jawaban jika menjawab benar diberi skor 1 dan
Penelitian ini menggunakan metode kuasi salah diberi skor 0. Jumlah skor atau nilai
eksperimen, dimana desain penelitian yang sisiwa yang diberikan berdasarkan rentangnya
digunakan adalah “Non Equivalent Control yaitu mulai dari 0 sampai 34 berdasarkan
Group Design” yang menggunakan dua jumlah soal. Nilai rata-rata yang diperoleh

15
Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT)
Vol. 2 No. 1
ISSN 2338 3240
kelas VII H yaitu sebesar 7,21 dan memiliki
standar deviasi sebesar 3,33. Data DIAGRAM BATANG FREKUENSI
selengkapnya dapat dilihat pada tabel I. SKOR PRETEST KELAS VII I
TABEL I. DESKRIPSI SKOR PRETEST KELAS KONTROL 7
Deskripsi Hasil

Frekuensi Skor Pretest Kelas VII I


Jumlah Sampel 31 6
Skor Maksimum 12
Skor Minimum 2 5
Skor Rata-rata 7,21
Standar Deviasi 3,33 4

Skor pretest yang diperoleh kelas VII H 3


dapat dibuatkan diagram batang frekuensi
seperti terlihat pada gambar 1. 2

1
DIAGRAM BATANG FREKUENSI SKOR
PRETEST KELAS VII H 0

10-11

12-13
2-3

4-5

6-7

8-9
7
Frekuensi Skor Pretest Kelas VII H

6 Interval Kelas (Skor)

5 Gambar II. Diagram Batang Frekuensi Skor Pretest Kelas


VII I
4
3.2 Uji Normalitas Data
3 Uji normalitas dilakukan dua kelas yaitu
kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk
2 mengetahui apakah data pretes kelas ini
berasal dari populasi yang berdistribusi normal
1
atau tidak. Uji normalitas yang digunakan
0 menggunakan persamaan Chi Kuadrat dengan
dk = (6-3) = 3 dan taraf signifikansi 0,05.
2-3

4-5

6-7

8-9

10-11

12-13

Adapun hipotesis dalam uji kenormalan data


Interval Kelas (Skor) pretest adalah sebagai berikut :
H0 : sampel berasal dari populasi yang
Gambar I. Diagram Batang Frekuensi Skor Pretest Kelas berdistribusi normal
VII H H1 : sampel berasal dari populasi yang tidak
berdistribusi normal
3.1.2 Deskripsi Skor Pretest kelas VII I Kriteria pengambilan keputusannya adalah :
Hasil tes awal yang dilakukan pada kelas VII (1) Jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05
I diperoleh nilai maksimum 13 dan nilai maka H0 ditolak
minimum 2. Pemberian skor berdasarkan (2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05
jawaban jika menjawab benar diberi skor 1 dan maka H0 diterima
salah diberi skor 0. Jumlah skor atau nilai Setelah pengolahan data, diperoleh hasil seperti
sisiwa yang diberikan berdasarkan rentangnya pada tabel III berikut.
yaitu mulai dari 0 sampai 34 berdasarkan
jumlah soal. Nilai rata-rata yang diperoleh TABEL III. HASIL UJI NORMALITAS DISTRIBUSI TES AWAL KELAS
kelas VII I yaitu sebesar 7,70 dan memiliki KONTROL DAN KELAS EKSPERIMEN
Kelas Nilai X2 Niali X2 Keterangan
standar deviasi sebesar 3,35. Hitung Tabel
TABEL II. DESKRIPSI SKOR PRETEST KELAS EKSPERIMEN
Kelas 4,04 7,81 Berdistribusi
Deskripsi Hasil
VII H Normal
Jumlah Sampel 30
Kelas 4,15 7,81 Berdistribusi
Skor Maksimum 13
VII I Normal
Skor Minimum 2
Skor Rata-rata 7,70
Standar Deviasi 3,35
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan
Skor pretest yang diperoleh kelas VII I menggunakan uji Chi kuadrat diperoleh nilai
dapat dibuatkan diagram batang frekuensi pretest untuk kelas eksperimen adalah 4,15
seperti terlihat pada gambar II. dan kelas kontrol adalah 4,04. Berdasarkan

16
Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT)
Vol. 2 No. 1
ISSN 2338 3240
kriteria pengambilan keputusan maka H0 Posttest dilaksanakan setelah kedua kelas
diterima atau data berdistribusi noramal. Hal ini diberikan perlakuan yaitu kelas eksperimen
berarti sampel dari kelas kontrol dan kelas dengan model training inquiry dan kelas kontrol
eksperimen berasal dari populasi yang menggunakan model konvensional.
beristribusi normal. Data selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran perhitungan uji 3.5.1 Deskripsi Skor Posttest Kelas Kontrol
kenormalan. Hasil tes akhir yang dilakukan pada kelas VII
H diperoleh nilai maksimum 24 dan nilai
3.3 Uji Homogenitas Varians minimum 13. Pemberian skor berdasarkan
Uji homogenitas menggunakan persamaan uji jawaban jika menjawab benar diberi skor 1 dan
Fisher (uji F) untuk mengetahui data berasal salah diberi skor 0. Jumlah skor atau nilai siswa
dari populasi yang sama. Seperti pada tabel IV yang diberikan berdasarkan rentangnya yaitu
yaitu hasil pengolahan data uji homogenitas. mulai dari 0 sampai 34 berdasarkan jumlah
soal. Nilai rata-rata yang diperoleh kelas VII H
TABEL IV. HASIL UJI HOMOGENITAS VARIANS TES AWAL KELAS yaitu sebesar 18,08 dan memiliki standar
KONTROL DAN KELAS EKSPERIMEN
deviasi sebesar 3,11.
Nilai Varians Nilai F
Kelas Keputusan
Varians Hitung Tabel
TABEL VI. DESKRIPSI SKOR POSTTEST KELAS KONTROL
Kelas
Kedua Deskripsi Hasil
VII H 11,08
1,01 1,85 Data Jumlah Sampel 31
Kelas
Homogen Skor Maksimum 24
VII I 11,2
Skor Minimum 13
Skor Rata-rata 18,08
Berdasarkan data hasil perhitungan uji Standar Deviasi 3,11
homogenitas pada tabel IV diatas dapat
disimpulkan bahwa nilai Fhitung yang diperoleh Skor posttest yang diperoleh kelas kontrol
sebesar 1,01 sedangkan nilai dari Ftabel sebesar dapat dibuatkan diagram batang frekuensi
1,85. Hal ini menunjukkan nilai Fhitung lebih kecil seperti terlihat pada gambar III.
dari nilai Ftabel yang berarti H0 diterima dengan
kriteria bahwa tidak terdapat perbedaan varians DIAGRAM BATANG FREKUENSI SKOR
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. POSTTEST KELAS KONTROL

3.4 Uji Beda Rata-rata Antara Kelas VII H dan 8


Frekuensi Skor Posttest Kelas Kontrol

Kelas VII I
Uji beda rata-rata dilakukan dengan syarat 7
bahwa data telah berdistribusi normal dan 6
homogenitas. Uji beda ini menggunakan uji-t
dua pihak dengan taraf signifikansi 0,05. Oleh 5
karena data telah berdistribusi normal dan telah
homogenitas maka dilakukan uji hipotesis 4
dengan hasil yang diperoleh seperti pada tabel 3
V dibawah ini.
2
TABEL V. HASIL UJI-t DUA PIHAK TES AWAL (PRETEST) KELAS
KONTROL DAN KELAS EKSPERIMEN 1
Nilai
Rata- t hitung t tabel Keputusan 0
Kelas
rata
13-14

15-16

17-18

19-20

21-22

23-24

Kelas
7,21
VII H
0,57 2,001 H0 diterima
Kelas Interval Kelas (Skor)
7,70
VII I
Gambar III. Diagram Batang Frekuensi Skor Posttest
Tabel V menunjukkan bahwa nilai thitung Kelas Kontrol
diperoleh sebesar 0,57 sedangkan nilai ttabel
sebesar 2,001. Hal ini menunjukkan bahwa nilai 3.5.2 Deskripsi Skor Posttest Kelas
thitung lebih kecil dari nilai ttabel yang berarti H0 Eksperimen
Hasil tes akhir yang dilakukan pada kelas VII
diterima dan H1 ditolak. Ini menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan hasil belajar I diperoleh nilai maksimum 29 dan nilai
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. minimum 16. Pemberian skor berdasarkan
3.5 Analisis Hasil Posttest jawaban jika menjawab benar diberi skor 1 dan
salah diberi skor 0. Jumlah skor atau nilai
17
Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT)
Vol. 2 No. 1
ISSN 2338 3240
sisiwa yang diberikan berdasarkan rentangnya TABEL VIII. UJI HIPOTESIS TES AKHIR (POSTTEST) KELAS
EKSPERIMEN DAN KELAS KONTROL
yaitu mulai dari 0 sampai 34 berdasarkan
Skor
jumlah soal. Nilai rata-rata yang diperoleh Rata- t hitung t tabel Keputusan
Kelas
kelas VII I yaitu sebesar 22,5 dan memiliki rata
standar deviasi sebesar 4,15. Data Kelas VII H
18,08
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.7 dan (Kontrol) H1
4,72 2,001
Kelas VII I diterima
lampiran 17. (Eksperimen)
22,50

TABEL VII. DESKRIPSI SKOR POSTTSET KELAS EKSPERIMEN


Deskripsi Hasil Tabel VIII diatas menunjukkan bahwa nilai
Jumlah Sampel 30 thitung diperoleh sebesar 4,72 sedangkan nilai
Skor Maksimum 29 ttabel sebesar 2,001. Hal ini menunjukkan bahwa
Skor Minimum 16 nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel yang berarti
Skor Rata-rata 22,5 bahwa H1 diterima dan H0 ditolak. Sehingga
Standar Deviasi 4,15
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
Skor posttest yang diperoleh kelas perbedaan hasil belajar antara siswa yang
eksperimen dapat dibuatkan kurva frekuensi mengikuti model pembelajaran training inquiry
seperti terlihat pada gambar IV. dengan siswa yang mengikuti model
pembelajaran konvensional.
DIAGRAM BATANG FREKUENSI 3.7 Pembahasan
SKOR POSTTEST KELAS
EKSPERIMEN
Tes awal (pretest) dilakukan pada kedua
kelas untuk mengetahui keadaan awal kedua
8 kelas sebelum diberi perlakuan. Hasil tes awal
Frekuensi Skor Posttest Kelas Eksperimen

untuk kedua kelas yang diperoleh yaitu


7
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
6 hasil belajar antara siswa yang mengikuti
model pembelajaran training inquiry dengan
5 model pembelajaran konvensional. Hal ini
dibuktikan dengan menggunakan uji hipotesis.
4 Pada hasil pengujiannya diperoleh nilai thitung
sebesar 0,57 dan nilai ttabel pada taraf signifikan
3
(α = 0,05) sebesar 2,001 yang berarti nilai t
2
berada pada daerah penerimaan H0 yaitu –t(1-
1/2α) < t < t(1-1/2α) sehingga H1 ditolak dan H0

1 diterima. Dari hasil pretest yang diperoleh


menunjukkan bahwa hasil belajar siswa pada
0 kelas VII H dan kelas VII I sama. Sehingga
14-16

17-19

20-22

23-25

26-28

29-31

kedua kelas dapat dijadikan sampel pada


penelitian.
Interval Kelas (Skor) Kelas yang dijadikan sampel memiliki hasil
belajar yang sama sebelum diberi perlakuan.
Proses pembelajaran dilakukan didalam kelas
Gambar IV. Diagram Batang Frekuensi Skor Posttest Kelas sebanyak empat kali pertemuan dengan
Eksperimen
masing-masing model pembelajaran yang
3.6 Uji Hipotesis berbeda pada kedua kelas. Dipertemuan akhir
Uji hipotesis ini menggunakan uji-t dua pihak dilakukan tes akhir (posttest) untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil
dengan tujuan untuk mengetahui hipotesis
penelitian diterima atau ditolak. Uji-t dua pihak belajar antara siswa yang mengikuti model
menggunakan taraf signifikansi 0,05 dan dk = pembelajaran training inquiry dengan model
n1 + n2 – 2 atau dk = 59. Skor rata-rata kelas pembelajaran konvensional pada siswa SMP
kontrol diperoleh yaitu sebesar 18,08 dan skor Negeri 9 Palu.
rata-rata kelas eksperimen diperoleh yaitu Hasil uji hipotesis posttest menggunakan uji-t
sebesar 22,50. Standar deviasi yang diperoleh dua pihak diperoleh yaitu nilai thitung sebesar
4,72 sedangkan nilai ttabel pada taraf signifikan
pada kelas kontrol yaitu sebesar 3,11 dan kelas
(α = 0,05) dan dk = n1+n2-2 diperoleh sebesar
eksperimen yaitu sebesar 4,15. Setelah
dilakukan pengolahan data maka diperoleh hasil 2,001. Hal ini menunjukkan bahwa nilai thitung
yang dapat dilihat pada tabel 4.8. lebih besar dari nilai ttabel. Berdasarkan syarat

18
Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT)
Vol. 2 No. 1
ISSN 2338 3240
bahwa H0 diterima jika t(1-1/2α) < t < t(1-1/2α) pembelajaran konvensional. Hal ini didukung
sehingga thitung berada diluar penerimaan H0 dan oleh hasil penelitian dari Ratni Sirait (2012).
berada pada penerimaan H1 atau H0 ditolak dan Model pembelajaran training inquiry
H1 diterima. Maka dapat dinyatakan bahwa menuntut siswa untuk memecahkan sebuah
terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa fenomena dalam fisika dengan melakukan
yang mengikuti model pembelajaran training eksperimen sehingga siswa lebih aktif dibanding
inquiry dengan model pembelajaran guru. Adapun langkah-langkah dari model
konvensional pada siswa SMP Negeri 9 Palu. pembelajaran training inquiry menurut Bruce
Hasil uji hipotesis posttest menunjukkan Joice 1996 (dalam Nurhayati, 2006) yaitu (1)
bahwa model pembelajaran training inquiry diajukan kepada siswa suatu masalah atau
memilki hasil belajar yang lebih baik fenomena fisika melalui kegiatan demonstrasi,
dibandingkan dengan model pembelajaran (2) berdasarkan kegiatan demonstrasi, siswa
konvensional. Selain itu dapat pula dilihat dari berusaha untuk mengumpulkan data informasi
nilai rata-rata siswa pada kedua kelas yang sebanyak-banyaknya tentang masalah yang
menunjukkan nilai rata-rata pada kelas mereka hadapi, (3) siswa melakukan isolasi
eksperimen lebih besar dari nilai rata-rata pada terhadap data-data yang menjadi pokok
kelas kontrol yaitu pada kelas eksperimen masalah yang dihadapi, (4) guru dapat
diperoleh nilai rata-rata sebesar 22,50 merumuskan penjelasan untuk membimbing
sedangkan pada kelas kontrol diperoleh nilai siswa pada pemecahan masalah yang terarah,
rata-rata sebesar 18,08. Dari perbedaan hasil dan tahap terakhir (5) siswa menarik
belajar ini dapat dilihat pengaruh model kesimpulan mengenai fenomena fisika sekaligus
pembelajaran training inquiry pada kelas menilai hipotesis atau bahkan membuat
eksperimen sangat baik. hipotesis baru yang relevan. Lima tahap
Perbedaan hasil belajar pada kedua kelas pembelajaran training inquiry memberikan
terjadi karena model pembelajaran yang pengaruh pada hasil belajar siswa pada kelas
diberikan antara kelas eksperimen dan kelas eksperimen.
kontrol itu berbeda. Pada kelas eksperimen Kelas kontrol menggunakan model
memiliki hasil belajar yang lebih baik dibanding pembelajaran konvensional yang merupakan
dengan kelas kontrol karena kelas eksperimen model pembelajaran yang sering kita jumpai
menggunakan model pembelajaran training disekolah-sekolah. Model pembelajaran yang
inquiry yang menuntut siswa lebih aktif dalam digunakan ialah model pembelajaran direct
tahap pembelajarannya. Sedangkan pada kelas intraction (pembelajaran langsung) yang
kontrol menggunakan model pembelajaran menuntut guru lebih aktif dibanding dengan
konvensional yang identik dengan metode siswa. Hal inilah yang kadang membuat siswa
ceramah sehinggah siswa lebih pasif dan guru cepat bosan dalam belajar. Model pembelajaran
yang lebih aktif. konvensional menuntut guru yang lebih aktif
Kelas eksperimen menggunakan model dari pada siswa sehingga siswa lebih banyak
pembelajaran training inquiry yang dapat diam dan mendengar.
menguntungkan karena memberi peluang sama
kepada semua siswa, baik siswa yang memiliki IV. KESIMPULAN
kemampuan rendah, sedang mupun tinggi
untuk berhasil. Oleh karena itu, siswa yang Data hasil posttest yang diperoleh yaitu skor
berkemampuan rendah, sedang maupun tinggi rata-rata kelas kontrol adalah sebesar 18,08
ditantang untuk dapat menemukan materi dan kelas eksperimen adalah sebesar 22,50.
melalui praktikum. Dengan model pembelajaran Standar deviasi yang diperoleh ialah kelas
training inquiry siswa lebih berani berbicara kontrol sebesar 3,11 dan kelas eksperimen
didepan kelas. Pada saat pembelajaran yang sebesar 4,15. Hasil uji statisitik posttest yang
dilaksanakan di SMP Negeri 9 Palu semua siswa diperoleh yaitu nilai thitung sebesar 4,72 lebih
aktif dalam bereksperimen untuk memecahkan besar dari nilai ttabel pada taraf signifikan (α =
masalah mengenai materi kalor. Salah satu 0,05) dan dk = 59 yaitu sebesar 2,001. Hal ini
contoh saat siswa diberikan masalah mengenai menunjukkan bahwa thitung berada pada daerah
materi kalor tentang pengaruh kalor terhadap penolakan H0, yakni H0 diterima jika –t(1-1/2α) <
perubahan suhu siswa secara berkelompok dan t < t(1-1/2α) atau penelitian ini menunjukkan
berkerjasama melakukan eksperimen bahwa hipotesis (H0) ditolak dan hipotesis
menyelidiki bagaimana kalor dalam mengubah penelitian (H1) diterima. Sehingga dapat
suhu suatu zat. Hal inilah yang menyebabkan dinyatakan bahwa terdapat perbedaan hasil
model pembelajaran training inquiry memiliki belajar antara siswa yang mengikuti model
hasil belajar yang lebih baik dari pada model pembelajaran training inquiry dengan siswa
19
Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT)
Vol. 2 No. 1
ISSN 2338 3240
yang mengikuti model pembelajaran
konvensional.

PUSTAKA RUJUKAN

[1] Arikunto, Suharsimi. (2013). Dasar-Dasar Evaluasi


Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

[2] Mulyani, Euis. (2003). Pengaruh Model Pembelajaran


Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Siswa, (online),
(http://file.upi.edu/fmipa.html, diakses 22 Juni 2013).

[3] Munaf, Syambasri. (2003). Evaluasi Pendidikan Fisika,


(online), (http://zaifbio.wordpress.com /2009/01/30/
hasil belajar-2, diakses 2 Juli 2013).

[4] Nurhayati, Novi (2006). Pengembangan Model


Pembelajaran Inkuiri Jenis Training Inquiry untuk
Meningkatkan Kemampuan Berhipotesis Siswa dalam
Pembelajaran Fisika di SMP. Skripsi Tidak Diterbitkan.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

[5] Syaodih, Nana. (2009). Metode Penelitian Pendidikan


Edisi ke-5. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

20

Anda mungkin juga menyukai