Disusun oleh:
Anisa Kusuma Astuti
G99162109
Pembimbing:
dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc, Sp. KK
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Tn. S
No rekam medik : 01-38-80-XX
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Petani
Alamat : Tunjungan, Blora
Tanggal periksa : 08 Agustus 2017
B. Keluhan utama
Pasien mengeluhkan bercak putih
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan bercak putih di
badan, tangan, dan kaki. Keluhan timbul sekitar 1 tahun yang lalu. Saat itu
pasien sudah sempat memeriksakan diri ke dokter spesialis kulit dan
kelamin dan didiagnosis sebagai infeksi jamur. Pasien sempat diberikan
obat minum dan obat oles, namun keluhan tidak berkurang. Kemudian 3
bulan SMRS, pasien melakukan pemeriksaan kesehatan jamaah haji, dan
didiagnosis kusta. Pasien diberi obat MDT dan dikonsumsi selama 2
bulan. Namun dalam 1 bulan SMRS, pasien tidak mengambil obat.
Keluhan bercak putih disertai penurunan rasa. Keluhan gatal saat
berkeringat disangkal. Kelemahan di kedua tangan maupun tungkai
disangkal.
D. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat kontak dengan penderita kusta : disangkal
Riwayat berpergian ke daerah endemis kusta : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi dan lauk pauk bervariasi.
Pasien jarang olahraga, tidak merokok maupun minum alkohol. Pasien
mandi teratur dan tidak memakai handuk secara bersamaan.
VII. TERAPI
A. Medikamentosa
MDT dilanjutkan
1. Rifampisin 600 mg/bulan
2. DDS 100mg/hari
3. Klofazimin 300 mg/bulan + 50 mg/hari
B. Non medikamentosa
1. Edukasi pasien mengenai penyakit, gejala, penularan, cara meminum
obat, efek samping pemakaian obat, serta prognosisnya.
2. Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar.
3. Edukasi pasien untuk menjaga kondisi tubuh dengan rutin berolahraga,
mengonsumsi makanan yang bergizi dan istirahat cukup.
4. Edukasi pasien untuk minum obat sesuai dengan anjuran dokter, dan
kontrol sebelum obat habis.
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad kosmetikam : dubia ad bonam
STATUS RESPONSI
ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
MORBUS HANSEN
A. Definisi
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi kronik, dan
penyebabnya adalah Mycobacterium Lepraeyang bersifat intraseluler
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat. Morbus Hansen disebut juga sebagai kusta atau lepra
(Djuanda, 2011).
B. Epidemiologi
Morbus Hansen dapat menyerang siapa saja, anak lebih rentan
dibandingkan orang dewasa. Di Indonesia penderita anak anak di bawah
usia 14 tahun didapatkan ±11,39%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun
prevalensinya jarang. Frekuensi Morbus Hansen tertinggi terdapat pada
kelompok usia 25-35 tahun (Djuanda, 2011).Insidensi penyakit kusta
meningkat sesuai umur dengan puncaknya terjadi pada umur 10–20 tahun
dan kemudian menurun.Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan
umurnya dan puncaknya pada umur 30–50 tahun dan kemudian perlahan
lahan menurun. Kusta lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
wanita(Fitzpatrick dan Wolff, 2008).
Menurut laporan resmi dari 138 negara, prevalensi Morbus Hansen
pada akhir 2015 sejumlah 176.176 (0,2 kasus setiap 10.000 orang). Pada
tahun 2014, 213.899 kasus baru dilaporkan sedangkan pada tahun 2013,
215.656 kasus baru dilaporkan.
Statistik global menunjukkan bahwa 199.992 (94%) kasus Morbus
Hansen baru dilaporkandari 14 negara. Masing-masing negara dari 14
negara tersebut melaporkan lebih dari 1000 kasus baru dan hanya 6%
kasus baru yang dilaporkan terjadi di wilayah lain di dunia.
Kantong endemisitas tinggi masih ada di beberapa wilayah di
banyak negara, termasuk negara-negara yang melaporkan kurang dari
1000 kasus baru. Beberapa area ini menunjukkan tingkat pemberitahuan
yang sangat tinggi untuk kasus baru dan mungkin masih mengindikasikan
transmisi yang kuat (WHO, 2017).
Angka kasus baru kusta pada tahun 2013 merupakan yang terendah
yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk selama periode 2008-2013.
Sedangkan angka prevalensi kusta sekitar berkisar antara 0,79 hingga 0,96
per 10.000 penduduk. Target eliminasi kusta tercapai oleh karena angka
prevalensinya <1 per 10.000 penduduk. Mulai dari tahun 2011 sampai
2013, jumlah penderita mengalami penurunan sebanyak 3.167, terlihat
pada tabel berikut (Pusdatin, 2015).
C. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini
bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro ,
berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat
tahan asam dan alkohol. Kuman ini memunyai afinitas terhadap
makrofagdan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann
menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat
ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson.Mycobacterium leprae
dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27°C – 30°C, tidak dapat dikultur
secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan
baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung,
cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan
testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis
tengah punggung (Bhat dan Prakash, 2012; Djuanda, 2011; Fitzpatrick dan
Wolff, 2008).
D. Patogenesis
M. Lepraememiliki predileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif
lebih dingin.Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit
disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik. Cara masukM. leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan
penularan tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. PengaruhM. leprae
terhadapkulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan
hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang
lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis (Bhat dan Prakash,
2012).
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC
(Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan
signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen
(TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada
permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang
berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini
akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan
Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi
Th1 (Lastoria dan Abreu, 2014).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan
fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari
M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada
permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL
2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat
glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh
anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara
kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth
factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya
makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan
organella dari makrofag akan membesar disebut dengan sel epiteloid dan
penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma (Lastoria dan
Abreu, 2014).
Th 2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan
mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari
makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG dan IgE.
IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Lastoria dan Abreu,
2014).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T
anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan
respon ke arah Th 2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa
Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th 2 sedangkan pada
Lepromatous Leprosy, Th 2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th 1
(Lastoria dan Abreu, 2014).
E. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi untuk penyakit kusta:
1. Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988) (Djuanda, 2011;
Eichelmann et al., 2013; Lastoria dan Abreu, 2014):
Klasifikasi yang lebih sederhana digunakan untuk tujuan operasional
dan terapeutik, berdasarkan tampakan manifestasi klinis lesi,
keterlibatan saraf, dan hasil pengecatan bakteri tahan asam (BTA).
Ada 2 jenis:
Tabel 1. Klasifikasi Lepra menurut WHO: tipe Pausibasiler (PB)
dan Multibasiler (MB)
Tipe PB MB
Lesi kulit ≤5 >5
Keterlibatan saraf ≤1 >1
Hasil BTA (-) (+)
Klasifikasi Ridley TT dan BT BB, BL, LL,
sebagian BT
Distribusi Unilateral atau Bilateral simetris
bilateral asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Biasanya kurang jelas
Deformitas Proses terjadi lebih Terjadi pada tahap
cepat lanjut
Ciri-ciri - Madarosis, hidung
pelana, wajah singa
(faciesleonina),
ginekomastia pada
laki-laki.
LL BL BB
G. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan apabila satu atau lebih tanda kardinal
ditemukan, yaitu: pasien berasal dari area endemik; lesi kulit khas pada
lepra hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak)dengan penurunan atau kehilangan sensasi suhu, raba atau nyeri;
pembesaran saraf perifer disertai gangguan sensorik, motorik, atau
autonom; menemukan M. Leprae(BTA +) pada kulit atau pada tempat lain
(Fitzpatrick dan Wolff, 2008).
H. Pemeriksaan
Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai
dengan inspeksi, palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan
alat sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan
air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada
penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja,
infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat julukan the great imitator
dalam penyakit kulit sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-
penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain adalah:
dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis
seboroika, psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis,
skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark.
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia
sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu
jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum
terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa
suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai
dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya
alopesia di daerah lesi.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang
dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N.
radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat
dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai
akibat lansung oleh granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M.
leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya
deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
(Djuanda, 2011).
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit
atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA
ZIEHL NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae(Djuanda, 2011).
a. Indeks Bakteri (IB)
Pengukuran semikuantitatif kepadatan BTA untuk menentukan tipe
kusta dan hasil pengobatan.
Indeks Bakteri
+1 1-10 BTA dalam 100 LP
+2 1-10 BTA dalam 10 LP
+3 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
+4 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
+5 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
+6 > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Tabel 4.Skala logaritma Ridley
b. Indeks Morfologi (IM)
Indeks morfologi merupakan persentase kuman basil yang solid
dibandingkan seluruh BTA. Berguna untuk mengetahui daya
penularan kuman, menilai hasil pengobatan, dan menentukan
resistensi terhadap obat.
jumlah kuman BTA solid
𝐼𝑀 = 𝑥 100%
jumlah seluruh BTA
2. Tes Lepromin
Lepromin adalah suspensi yang berisi M.Leprae yang dimatikan
diambil dari manusia yang terinfeksi dan jaringan Armadillo. Setelah
terjadi inokulasi intradermal, akan timbul reaksi cepat (48 jam, reaksi
Fernandez) juga reaksi lambat (3-4 minggu, reaksi mitsuda). Reaksi
Mitsuda merupakan respon granulomatosis terhadap antigen adalah
lebih tepat. Pasien-pasien dengan kusta tipe TT atau BT mempunyai
respon positif kuat (> 5 mm) akan tetapi pasien dengan tipe LL tidak
ada respon. Tes ini merupakan petunjuk untuk mengetahui fungsi
sistem imunitas seluler seseorang. Dasar test ini adalah untuk
mendeteksi antibodi atau antigen M.Leprae. Setelah fungsi sistem imun
diketahui, tipe kusta dapat diketahui dan terapi dapat ditentukan
(Djuanda, 2011; Eichelmann et al., 2013).
3. Tes-tes Serologis
Pemeriksaan serologik kusta banyak macamnya, diantaranya: Uji
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA
(Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay), Mycobacterium Leprae
Dipstick, dan Mycobacterium Leprae flow test (Djuanda, 2011;
Rodrigues dan Lockwood, 2011).
4. Analisa Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR bisa untuk mendeteksi dan mengidentifikasi M.Leprae.
Teknik ini sering digunakan ketika basil tahan asam telah ditemukan
tetapi gambaran klinis atau gambaran histopatologinya atipikal. Sejauh
ini, PCR sudah terbukti dapat digunakan untuk menentukan rute
transmisi, M. leprae viability, dan resistensi obat pada kusta (Martinez,
et al., 2014).
5. Pemeriksaan Histopatologi
Pada tipe TT didapatkan bangunan epiteloid granuloma dalam
papila dermis, disekitarnya didapatkan struktur neovaskuler.
Granuloma tertangkap oleh limfosit yang meluas ke epidermis dan
kadang terbentuk sel datia langhans. Nervus pada dermal dihancurkan
atau mengalami pembengkakan karena adanya granuloma, tidak
didapatkan basil tahan asam.
Pada tipe LL epidermis normal, daerah yang tidak patologik
memisahkan epidermis dari reaksi granulomatous difus dengan
makrofag, sel busa histiosit yang besar (Virchow atau sel lepra) dan
didapatkan banyak basil tahan asam yang bergabung membentuk globi.
Sel epiteloid dan sel datia tidak ditemukan. Granuloma banyak terdapat
di sekitar pembuluh darah, saraf dan kulit kadang ditemukan banyak sel
plasma. Saraf kulit dapat terlihat dengan mudah.
Tipe BT, granuloma terdiri dari epiteloid dan limfosit, saraf pada
kulit kebanyakan sudah rusak, basil mungkin ditemukan atau tidak ada.
Tipe BB, granuloma terdiri dari epiteloid, saraf kulit mungkin
masih ada dan basil terlihat lebih banyak dari tipe BT.
Tipe BL, granuloma dibangun oleh histiosit, saraf kulit masih ada
dan basil ditemukan lebih banyak dari tipe lainnya (Lastoria dan Abreu,
2014).
Fenomena Lucio
Lucio leprosy (diffuse non-nodular type of leprosy) adalah salah satu
tipe dari kusta dengan gambaran klinik kusta tipe muiltibasiler.Gambaran
klinis lucio leprosy umumnya status generalis tidak ditemukan kelainan,
kulit terlihat eritem yang menebal dan mengkilat, kerontokan rambut,
penebalan kelopak mata sehingga penderita terlihat mengantuk dan
melankolik.Penurunan sensoris terjadi biasanya setelah kelainan kulit
menghilang. Sama seperti pada kusta tipe lepromatosa dapat terjadi edema
dan ulkus pada kedua tungkai.Ulserasi juga dapat terjadi pada mukosa
hidung menyebabkan gejala-gejala hidung dan epistaksis, mengenai laring
sehingga suara menjadi serak dan iktiosis pada fase lanjut. Namun
demikian tidak terdapat nodul, kelemahan motorik, kontraksi jari-jari dan
kerusakan mata (Djuanda, 2011).
Kecacatan pada kusta
Cacat akibat kusta dibagi menjadi 2 tingkat kecacatan, yaitu (Djuanda,
2011):
1. Cacat pada tangan dan kaki
a. Tingkat 0
Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
b. Tingkat 1
Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
c. Tingkat 2
Terdapat kerusakan atau deformitas.
2. Cacat pada mata
a. Tingkat 0
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan
penglihatan.
b. Tingkat 1
Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang
berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter).
c. Tingkat 2
Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter).
Jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
1. Cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap
Mycobacterium leprae. Yang termasuk kedalam cacat primer adalah :
a. Cacat pada fungsi saraf
1) Fungsi saraf sensorik, misalnya: anestesi
2) Fungsi saraf motoric, misalnya: claw hand, wist drop, foot
drop, clow tes, lagoftalmus
3) Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering
dan elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek
vasodilatasi.
b. Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan
kulit berkerut dan berlipat-lipat
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi
pada tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.
2. Cacat sekunder
Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan
saraf sensorik, motorik, dan otonom. Kelumpuhan motorik
menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dan
mudah terjadinya luka. Lagoftalmus menyebabkan kornea menjadi
kering dan memudahkan terjadinya kreatitis. Kelumpuhan saraf
otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya elastisitas akibat
kulit mudah retak dan terjadi infeksi sekunder.
K. Diagnosis Banding
L. Terapi
M. Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium
penyakit.Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan
kematian, serta kualitas hidup pasien menurun (Eichelmann et al., 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2015. Kusta. Jakarta:
Departemen Kesehatan
RI.http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodati
n_kusta.pdf [diakses 17 Agustus 2017].