Anda di halaman 1dari 27

Borobudur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Jump to navigationJump to search
Untuk artikel tentang kecamatan dengan nama sama, lihat Borobudur, Magelang.

Borobudur

Arca Buddha dan stupa Borobudur

Lokasi di Pulau Indonesia

Informasi umum

Gaya stupa dan candi

arsitektur

Kota Kecamatan Borobudur, sekitar 3 km dari Kota

Mungkid (ibukota Kabupaten Magelang, Jawa

Tengah)

Negara Indonesia

Koordinat 7,608°LS 110,204°BT

Awal sekitar 770 Masehi

konstruksi
Selesai sekitar 825 Masehi

Klien Sailendra

Detail teknis

Sistem piramida berundak dari susunan blok batu andesit

struktur yang saling mengunci

Ukuran luas dasar 123×123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi

asli 42 meter (termasuk chattra)

Desain dan konstruksi

Arsitek Gunadharma

Borobudur

Situs Warisan Dunia UNESCO

Tipe Budaya

Kriteria i, ii, vi

Nomor identifikasi 592

Kawasan UNESCO Asia Pasifik


Tahun pengukuhan 1991 (sesi ke-15)

Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia. Candi ini berlokasi di kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang,
86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi
berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar abad ke-8
masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha
terbesar di dunia,H[1][2] sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. [3]
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
[3]
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh
tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk
bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra
mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia
beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[5]
Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan
melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui
tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah
hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan
tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. [6] Dunia
mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford
Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia.[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di
Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan. [7][8][9]

Daftar isi
[sembunyikan]

 1Nama Borobudur
 2Lingkungan sekitar

o 2.1Tiga candi serangkai

o 2.2Danau purba

 3Sejarah

o 3.1Pembangunan

 3.1.1Tahapan pembangunan Borobudur

o 3.2Borobudur diterlantarkan
o 3.3Penemuan kembali

o 3.4Pemugaran

o 3.5Peristiwa kontemporer

o 3.6Rehabilitasi

 4Arsitektur

o 4.1Konsep rancang bangun

o 4.2Struktur bangunan

 5Relief

 6Arca Buddha

 7Warisan

 8Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur

 9Transportasi ke Candi Borobudur

 10Galeri

o 10.1Galeri relief

o 10.2Galeri Borobudur

 11Referensi

 12Lihat pula

 13Daftar pustaka

 14Pranala luar

Nama Borobudur[sunting | sunting sumber]

Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat
terlupakan.

Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal
dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan
pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[10] meskipun memang nama asli
dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. [10] Nama Borobudur pertama kali ditulis
dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.[11] Raffles menulis mengenai
monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan
nama yang sama persis.[10] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai
adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur
adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[12]
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles
juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa
yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba". [10] Akan tetapi arkeolog lain beranggapan
bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[13]
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di
mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat
lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran
bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di
mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara
dan beduhurartinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas".
Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti
Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah
raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan
sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya,
Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah
abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan
tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk
memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.[14] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur,
kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra
Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan
boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur. [15]

Lingkungan sekitar[sunting | sunting sumber]

Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang

Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas
bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di
sebelah barat laut dan Merbabu-Merapidi sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat
bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini
terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur.
Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang
dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[16]
Tiga candi serangkai[sunting | sunting sumber]
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[17] Awalnya diduga
hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat
jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga
candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin
ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang
dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam
arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat
dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi
bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti. [12]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-
temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum KarmawibhanggaBorobudur,
yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak
seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam
keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi
Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat
penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum
Nasional Indonesia.
Danau purba[sunting | sunting sumber]

Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah
danau purba.

Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit
dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari permukaan laut dan 15 m (49 ft) di atas dasar danau
purba yang telah mengering.[18]Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang
hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur
dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar
arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya
adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung
di atas permukaan danau.[13] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai
merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua
ikonografi seni keagamaan Buddha. seringkali digenggam
oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha
atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan
postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam
naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke
Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak
bunga teratai.[18] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini
banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar monumen ini telah
ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada
masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. [19] Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen
dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau
purba di lingkungan sekitar Borobudur, [18] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian
permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti
menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi
tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki
andil turut mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danau
nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak
cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[20]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Pembangunan[sunting | sunting sumber]
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa
jayanya

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa
kegunaannya.[21]Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis
aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan
pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi.[21] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan
wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[22] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-
benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[23][24]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha
aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa
mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[23] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai
candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M,
raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur dari
Borobudur.[25] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan
dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah
rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan
candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena
pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun
candi.[26] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan
desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi
Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[26] Petunjuk ini dipahami oleh para
arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat
menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan
mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. [27] Akan tetapi diduga terdapat
persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut
Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya
memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[28] Ketidakjelasan juga timbul
mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh
sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan
Borobudur milik wangsa Syailendra, [28] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat
suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu
pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan. [29]
Tahapan pembangunan Borobudur[sunting | sunting sumber]
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan
berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur
memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil
dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan
Borobudur:

1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan


kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit
diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya
terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu
sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit
ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat.
Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti
ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur
asli piramida berundak.
2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak
melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.

3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa
tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih
kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa
induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu fondasi diperlebar, dibangun kaki
tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para
arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini
terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut
diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas
akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor
dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang
besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa
kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi
tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli.
Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar
tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief
Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu

4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar
langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran
ujung kaki.

Borobudur diterlantarkan[sunting | sunting sumber]

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur

Borobudur tersembunyi dan telantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan
debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu
benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga
kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi
menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan
ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi;
tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan
tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada
periode ini.[6][18] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu
Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia
menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat
populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih
keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.[6]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari
sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan
dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18
menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah
Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang
memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[6] Disebutkan bahwa
bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja.
Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan
Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini
pada 1757.[30] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini,
"Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca
buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang
Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada
masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat
bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan
atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs
ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak
belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam
berdarah atau malaria.
Penemuan kembali[sunting | sunting sumber]

Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari
tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.

Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung) susun
tiga.

Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa di bawah


pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk
sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia
mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai
sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat
setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarangtahun
1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa
Bumisegoro.[30] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat
pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur
Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta
200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur
dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak
dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles
termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini
hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali
monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
[11]

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja
Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya
terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis
laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca
buddha besar di stupa utama. [31] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa
yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang
teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga
ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya
pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang
dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah
Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang
mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf
pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya
dalam bahasa Perancis setahun kemudian. [31] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873
oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[32]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena
mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan
oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca
Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda
antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya
menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum
akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.
[32]
Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar
penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini;
laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini
dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cenderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor
benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah
Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia
Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur.
Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan
bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha
bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga
dan gerbang, dan arca penjaga dwarapalayang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus
meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[33]
Pemugaran[sunting | sunting sumber]
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi
di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[34] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki
tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891. [35] Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia
Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah
membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang
sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan
Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.

Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran tahun
1973

Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada
pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali
sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya,
memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa
utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan
memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan,
monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan
stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin
Theodor van Erp.[36] Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen
untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan
membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp
menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui
dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih
lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai
puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa
kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya
rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp
membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga
tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air.
Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan. [36] Van Erp
menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium
hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini
menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Patung Buddha yang tidak sempurna di Museum Karmawibhangga. Di belakangnya
diletakkan chhatra atau parasol tiga lapis yang seharusnya menghiasi puncak stupa utama borobudur
tetapi diturunkan karena sering terkena sambaran petir.

Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan
yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada
masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada
1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. [37] Pemerintah Indonesia
dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu
proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. [36] Fondasi diperkukuh dan segenap 1.460 panel relief
dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan
memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan
saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan
monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[38] Setelah renovasi,
UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.
[3]
Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang
jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu
tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi,
seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara
langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan
gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki
makna universal yang luar biasa". [3]
Peristiwa kontemporer[sunting | sunting sumber]

Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak

Turis di Borobudur

Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[37] Borobudur
kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan
purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak,
hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha
Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak
adalah hari libur nasional di Indonesia [39] dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi
Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi
berakhir di Candi Borobudur.[40]
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[41] Pada 1991 seorang
penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara
seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan
dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur. [42] Dua anggota kelompok ekstrem
sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima
hukuman 13 tahun penjara.

Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur

Monumen ini adalah objek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada
1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 di antaranya adalah wisatawan mancanegara
telah mengunjungi monumen ini.[8] Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung
setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis
finansial Asia 1997.[9] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat
setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi. [8] Pada 2003, penduduk dan wirausaha
skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi,
menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga
yang disebut 'Java World'.[43] Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari
sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan
tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan
pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras
menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar
kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar
cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin
semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah.
Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi
Borobudur tetap utuh.[44]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di
Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan,
juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti
Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari
kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan
berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang
sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur
kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya
turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO

UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur: (i)
vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii)
analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang. [45] Tanah yang gembur, beberapa kali
gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah
faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah
sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan. [45] Meningkatnya
popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia.
Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan
peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan dan
pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak
ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau
menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam
pengawasan.[45]
Rehabilitasi[sunting | sunting sumber]
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober dan November 2010. Debu
vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mi) arah barat-
barat daya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)
[46]
menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman
di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat
merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010
untuk membersihkan luruhan debu. [47][48]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah
menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi.
Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan,
disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan
suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
[49]
Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan
drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir
November 2011, lebih awal dari perkiraan semula. [50]

Arsitektur[sunting | sunting sumber]

Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut


Denah Borobudur membentuk Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.

Model Borobudur

Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief

Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini
diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga
merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat
yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur
asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha. [3]
Konsep rancang bangun[sunting | sunting sumber]
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam
Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam
ajaran Buddha.[51] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar
denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki
sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk
lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.
[34]
Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk
bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. [52] Kaki asli ini tertutup oleh
penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya
masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah
kelongsoran monumen.[52]Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan
kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai
arsitektur dan tata kota.[34] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan
kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan,
estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu
yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup
struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi.
Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki
asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi
galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri
dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212
panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri
dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung
Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya
terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar
langkan.[5] Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan
peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah
dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa
kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai
kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan
bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua
stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang
masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih
besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan
lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa
yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan
menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan
berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di
dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut
juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal
melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak
selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan
patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian
arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa
utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan,
kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan,
dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan[sunting | sunting sumber]

Arca singa penjaga gerbang

Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase

Penampang candi Borobudur terdapat rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan kepala
Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara

Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan
untuk membangun monumen ini.[53] Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju
situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama
sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa
menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan
muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di
lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah
hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap
sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas
permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan
candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi
lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi
dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip
dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya
berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi.[53] Stupa memang dimaksudkan
sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang
penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi
sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan
dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang
diketahui tentang arsitek misterius ini. [54] Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda
Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita
rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring.
Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi
jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara
ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan
ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya. [55] Tentu saja satuan ini
bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini.
Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen
ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari
suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur. [55][56] Rasio
matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya.
Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan,
astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[54]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak. [54] Dasar
berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 meter (13 ft).[53] Tubuh candi terdiri atas
lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 meter
(23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 meter (6,6 ft), menyisakan lorong
sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang
barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar
di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 meter (115 ft) dari permukaan tanah. Tinggi
asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah 42 meter (138 ft) .
Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung
menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca
singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan
ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur
pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca kisah
relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan
candi dengan dataran di sekitarnya.

Relief[sunting | sunting sumber]

Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik yang anggun

Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding Borobudur


Borobudur

Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu — dipahatkan
panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. [57] Relief dan pola hias
Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-
relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha.[58] Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti
berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud
manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang
mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan
dengan posisi tubuh tribangga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit
condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu
pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini
menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh
tribangga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang. [59]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan, rakyat
jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk
bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang
merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti
kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati
dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi,
bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat
transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang
menggambarkan Kapal Borobudur.[60] Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan
kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur
tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.[61]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa
Kuno yang berasal dari bahasa Sanskertadaksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini
bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita
relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya,
mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata
bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi,
artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai
berikut.

Bagan Relief

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

Kaki candi asli ----- Karmawibhangga 160

Tingkat I dinding a. Lalitawistara 120

b. jataka/awadana 120
Bagan Relief

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

a. jataka/awadana 372
langkan
b. jataka/awadana 128

dinding Gandawyuha 128


Tingkat II
langkan jataka/awadana 100

dinding Gandawyuha 88
Tingkat III
langkan Gandawyuha 88

dinding Gandawyuha 84
Tingkat IV
langkan Gandawyuha 72

Jumlah 1460

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang
terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang
menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan
relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan
suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi
gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan
penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak
pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju
kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto
lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi
Borobudur.
Lalitawistara

Pangeran Siddhartha Gautamamencukur rambutnya dan menjadi pertapa

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita,
dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet
dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang
dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga
maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang
Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di
arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari
Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan
pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang
Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai
roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran
Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun
juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa
yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan
baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan
Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang
berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada
relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat
dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan
Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang
hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana
tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati
oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha
Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab
lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha[sunting | sunting sumber]

Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang

Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat
banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap
tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu
andesit.[5]
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar
pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan
pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72
relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.
[4]
Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-
stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran
kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa. [4] Dari jumlah
asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43
hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi,
kebanyakan oleh museum luar negeri).[62]
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus di
antaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara,
Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut
ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan
Barat, di mana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di
dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-
masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya
tersendiri.[63]
Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi
Timur, maka mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:
Arah
Arca Mudra Melambangkan Dhyani Buddha Mata Lokasi Arca
Angin

Relung di pagar langkan 4


Bhumisparsa Memanggil bumi baris
Aksobhya Timur
mudra sebagai saksi pertama Rupadhatu sisi
timur

Relung di pagar langkan 4


baris
Wara mudra Kedermawanan Ratnasambhawa Selatan
pertama Rupadhatu sisi
selatan

Relung di pagar langkan 4


Semadi atau baris
Dhyana mudra Amitabha Barat
meditasi pertama Rupadhatu sisi
barat

Relung di pagar langkan 4


baris
Abhaya mudra Ketidakgentaran Amoghasiddhi Utara
pertama Rupadhatu sisi
utara

Relung di pagar langkan


baris kelima
Witarka mudra Akal budi Wairocana Tengah
(teratas) Rupadhatu semua
sisi

Dharmachakra Pemutaran roda Di dalam 72 stupa di 3 teras


Wairocana Tengah
mudra dharma melingkar Arupadhatu

Warisan[sunting | sunting sumber]


Presiden Sukarno mengajak Nehrumengunjungi Borobudur pada bulan Juni 1950.

Pencapaian estetika dan keahlian teknik arsitektur yang ditampilkan Borobudur, serta ukurannya
yang luar biasa, menjadi bukti keagungan masa lalu, dan telah membangkitkan kebanggaan
bagi Bangsa Indonesia. Sebagaimana peran Angkor Wat bagi Bangsa Kamboja, Borobudur telah
menjadi simbol yang kuat bagi Indonesia — sebagai saksi kejayaan masa
lalu. Sukarno menegaskannya dengan mengajak tamu-tamu negara mengunjunginya.
Sementara pemerintahan Suharto — menyadari makna simbolis dan potensi ekonominya —
secara tekun menggelar proyek pemugaran untuk memulihkan monumen ini dengan bantuan
UNESCO. Banyak museum di Indonesia memamerkan model skala kecil atau replika Borobudur.
Monumen ini telah menjadi ikon, dikelompokkan bersama wayang dan gamelansebagai wujud
budaya klasik Jawa yang menjadi inspirasi Indonesia. [64]

Lambang provinsi Jawa Tengah menampilkan Borobudur.

Beberapa artefak arkeologi dari Borobudur, atau replikanya, dipamerkan di beberapa museum di
Indonesia dan mancanegara. Selain Museum Karmawibhangga dalam kompleks Borobudur,
beberapa museum menyimpan relik dari Borobudur, antara lain Museum Nasional
Indonesia, Tropenmuseum di Amsterdam, British Museum di London, dan Museum Nasional
Bangkok. Sementara Museum Louvre di Paris, Museum Negara Malaysia di Kuala Lumpur,
dan Museum Agama Dunia di Taipei juga menampilkan replika Borobudur. [65] Monumen ini telah
menarik perhatian dunia kepada peradaban klasik Buddha Jawa Kuno.
Penemuan kembali dan pemugaran Borobudur telah disanjung-sanjung oleh Umat Buddha
Indonesia sebagai pertanda kebangkitan ajaran Buddha di Indonesia. Pada 1934, Narada Thera,
seorang biksu penceramah dari Sri Lanka, mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya
sebagai bagian dari perjalanannya menyebarkan ajaran Dharma di Asia Tenggara. Kesempatan
ini dimanfaatkan umat Buddha setempat untuk membangkitkan kembali seruan Dharma di
Indonesia. Pada kesempatan itu digelar upacara penanaman Pohon Bodhi di sisi tenggara
Borobudur, pada tanggal 10 Maret 1934 dengan diberkati oleh Narada Thera, sekaligus
pengangkatan beberapa Upasaka menjadi Bhiksu.[66] Setiap tahun, ribuan umat Buddha dari
seluruh Indonesia dan negara-negara tetangga, berkumpul di Borobudur untuk memperingati
hari Trisuci Waisak.[67]
Lambang provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Magelang, menampilkan gambar Borobudur.
Candi ini telah menjadi simbol Jawa Tengah, dan Indonesia secara luas. Borobudur telah
menjadi nama beberapa institusi dan badan usaha, seperti Universitas Borobudur, Hotel
Borobudur Jakarta, serta beberapa rumah makan Indonesia di luar negeri. Borobudur
ditampilkan dalam uang rupiah, perangko, dibahas dalam beberapa buku, berita, publikasi,
dokumenter, serta materi promosi pariwisata Indonesia. Candi ini menjadi atraksi wisata
terkemuka di Indonesia, penting untuk menggerakan roda perekonomian lokal dan di kawasan
sekitar Borobudur. Misalnya, sektor pariwisata Kota Yogyakarta tumbuh berkembang salah
satunya berkat kedekatannya dengan candi Borobudur dan Prambanan.

Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi


Borobudur[sunting | sunting sumber]
 1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa,
mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles
memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang
dipenuhi semak belukar.
 1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.

 1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan


perawatan candi Borobudur.

 1907 - Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.

 1926 - Borobudur dipugar kembali, tetapi terhenti pada tahun 1940 akibat
krisis malaise dan Perang Dunia II.

 1956 - Pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang
ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.

 1963 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur,


tetapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.

 1968 - Pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk
menyelamatkan Borobudur.

 1971 - Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai


Prof.Ir.Roosseno.

 1972 - International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai


negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5
juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya
ditanggung Indonesia.

 10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur;


pemugaran selesai pada tahun 1984

 21 Januari 1985 - terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada Candi
Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali. Serangan dilakukan oleh kelompok
Islam ekstremis yang dipimpin oleh Husein Ali Al Habsyi.

 1991 - Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO.

Transportasi ke Candi Borobudur[sunting | sunting sumber]

Peta wisata kawasan Borobudur.

Candi Borobudur secara administratif terletak di Desa Borobudur Kecamatan


Borobudur Kabupaten Magelang, sekitar 45 km arah utara dari kota Jogja, 20 km arah selatan
dari kota Magelang, dan 90 km dari kota Semarang. Rute yang dapat ditempuh bisa via udara,
yaitu penerbangan ke Jogja (Bandara Adisucipto) maupun Semarang (Bandara Ahmad Yani)
dilanjutkan dengan perjalanan darat, ataupun bisa via darat dengan naik angkutan umum atau
dengan kendaraan pribadi.
Dari Jogja
Dari kota jogja kamu bisa ke Terminal Bus Giwangan atau Sub Terminal Bus Jombor, kemudian
naik bus jurusan Borobudur. Rute bus ini kalau dari terminal Giwangan - Ringroad - Gamping -
Terminal Jombor - Jl. Magelang - Sleman - Terminal Bus Muntilan. Bus ini biasanya ngetem di
terminal muntilan sekitar 30 menit, kemudian dilanjutkan ke terminal bus Borobudur. Jogja -
Borobudur sekitar 45 km. Waktu tempuh sekitar 1,5 jam (diluar ngetem di terminal).
Setelah sampai terminal bus Borobudur dapat dilanjutkan dengan Jalan Kaki (sekitar 500 m)
atau naik becak atau naik dokar. Sampailah kamu di pelataran Candi Borobudur.
Apabila kamu menggunakan mobil pribadi, rute yang ditempuh dari Kota Jogja adalah : Jogja -
Jl. Magelang - Sleman - Tempel - Salam - Muntilan - Palbapang (pertigaan setelah muntilan,
sebelum blabak; belok kanan) - Mendut - parkiran Borobudur. Jarak sekitar 45 km, dengan waktu
tempuh lalu lintas normal 1 jam.
Bagi yang bawa mobil parkir di dalam taman wisata (di dalam pagar), sedangkan bagi yang pake
sepeda motor parkir harus diluar.
Dari Semarang
Dari Kota Semarang kamu bisa ke terminal bus semarang, naik bus jurusan Jogja. Rutenya
adalah Semarang - Ungaran - Bawen - Ambarawa - Pringsurat - Secang - Terminal Magelang.
Kamu bisa turun di terminal Magelang terus naik bus jurusan Borobudur. Atau kamu bisa juga
turunnya di pertigaan Blondo (pertigaan antara mertoyudan dan blabak) atau turun di pertigaan
palbapang (pertigaan antara blabak dan muntilan). Dari Blondo atau Palbapang, baru kamu naik
jurusan Borobudur. Jarak Semarang-Borobudur sekitar 90 km, waktu tempuh sekitar 3 jam
(sampai magelang) ditambah setengah jam (sampai borobudur), total 3,5 jam.
Dengan kendaraan pribadi. Dari semarang ambil arah ke ungaran - bawen (pertigaan bawen
belok kanan, jangan yang lurus, kalo lurus ke salatiga/boyolali) - ambarawa - pringsurat
(temanggung) - secang - magelang - mertoyudan - pertigaan Blondo belok kanan lurus lewat
depan Kantor bupati magelang - trus belok kanan di pertigaan kolam renang Karet - parkiran
Borobudur.

Anda mungkin juga menyukai