Anda di halaman 1dari 21

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepatuhan
1. Konsep Kepatuhan

Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari

dokter yang mengobatinya. Menurut Sacket dalam Niven (2000), kepatuhan

adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

profesional kesehatan. Kepatuhan (compliance atau adherence) adalah tingkat

seseorang dalam melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku yang

disarankan oleh perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya. (7, 28, 29).

Menurut Sarafino (1990 dalam smet 1994), kepatuhan merupakan tingkat

klien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya

atau oleh yang lain. Kepatuhan menurut Brunner dan Sudart sering digunakan

untuk menggambarkan perilaku bahwa klien akan mengubah perilakunya atau

“patuh” karena mereka diminta untuk itu (30, 31).

Kepatuhan dalam pengobatan dapat diartikan sebagai perilaku klien yang

mentaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis.

Pendapat lain mengenai kepatuhan adalah kerelaan seseorang untuk melakukan

suatu permintaan yang sebenarnya tidak ingin dilakukakan. Menurut Sears (1994),

kepatuhan ini muncul karena adanya tekanan sosial dan perundingan, hal ini

sangat dipengaruhi oleh informasi yang diterima oleh seseorang tentang perilaku

yang diharapkan dan diminta. Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan

perilaku yang muncul akibat permintaan atau saran dari orang lain mengenai
8

tatacara menjalani sebuah program pengobatan, terjadi karena adanya kebutuhan

akan peningkatan status kesehatan klien. Kepatuhan ini dapat dilihat, dinilai dan

diukur dengan menggunakan sebuah instrumen (alat ukur), untuk itu perlu kita

ketahui lebih lanjut karakteristik dari sebuah perilaku kepatuhan (32,33).

2. Variabel yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan


Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Suddart

dan Brunner, adalah (31):


1. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosial

ekonomi dan pendidikan.


2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat

terapi.
3. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek

samping yang tidak menyenangkan.


4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,

penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau

budaya dan biaya finansial dan lainnya yang termasuk dalam mengikuti

regimen, hal tersebut juga ditemukan oleh Bart Smet (1994) dalam

psikologi kesehatan.

Beberapa variabel menurut Smet (1994) yang mempengaruhi tingkat

kepatuhan seseorang yaitu demografi, penyakit, pengetahuan, program terapeutik,

psikososial, dukungan keluarga (7,9,30):

1) Komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dan dokter mempengaruhi

tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang


9

kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter,

ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan.

2) Pengetahuan

Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama

sekali penting dalam pemberian antibiotik untuk mencegah timbulnya

penyakit infeksi. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut

setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.

Pengetahuan pasien tentang kepatuhan pengobatan yang rendah yang

dapat menimbulkan kesadaran yang rendah akan berdampak dan

berpengaruh pada pasien dalam mengikuti tentang cara pengobatan,

kedisiplinan pemeriksaan yang akibatnya dapat terjadi komplikasi

berlanjut.

3) Fasilitas kesehatan

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting di mana dalam memberikan

penyuluhan terhadap penderita, diharapkan penderita menerima penjelasan

dari tenaga kesehatan yang meliputi jumlah tenaga kesehatan, gedung

serbaguna untuk penyuluhan dan lain-lain.

4) Komunikasi Terapeutik

Kualitas instruksi antara pasien dengan tenaga kesehatan menentukan

tingkat kepatuhan seseorang, karena dengan kualitas interaksi yang tinggi,

maka seseorang akan puas dan akhirnya meningkatkan kepatuhannya

terhadap anjuran kesehatan dalam hal perawatan hipertensi, sehingga dapat


10

dikatakan salah satu penentu penting dari kepatuhan adalah cara

komunikasi tentang bagaimana anjuran diberikan.

5) Psikososial

Variabel ini meliputi sikap pasien terhadap tenaga kesehatan serta

menerima terhadap penyakitnya. Sikap seseorang terhadap perilaku

kepatuhan menentukan tingkat kepatuhan. Kepatuhan seseorang

merupakan hasil dari proses pengambilan keputusan orang tersebut, dan

akan berpengaruh pada persepsi dan keyakinan orang tentang kesehatan.

Selain itu keyakinan serta budaya juga ikut menentukan perilaku

kepatuhan. Nilai seseorang mempunyai keyakinan bahwa anjuran

kesehatan itu dianggap benar maka kepatuhan akan semakin baik.

6) Dukungan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan bagi individu serta memainkan

peran penting dalam program perawatan dan pengobatan. Pengaruh

normatif pada keluarga dapat memudahkan atau menghambat perilaku

kepatuhan, selain dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan

diperlukan untuk mempertinggi tingkat kepatuhan, dimana tenaga

kesehatan adalah seseorang yang berstatus tinggi bagi kebanyakan pasien,

sehingga apa yang dianjurkan akan dilaksanakan

3. Proses Terjadinya Ketidakpatuhan


Hasil penelitian studi kualitatif oleh Wardani tahun 2009 menemukan

penyebab ketidakpatuhan dari faktor individu adalah: sikap negatif terhadap


11

pengobatan, penyangkalan terhadap penyakit, manfaat obat dan nilai obat

bagi klien. Sikap negatif klien meliputi tidak disiplin, jenuh, dan sikap

selektif terhadap caregiver. Selain itu, efek samping obat terhadap fisik,

seksualitas, aktivitas, dan tingkat konsentrasi menjadi alasan klien tidak

patuh, bahkan sampai menghentikan minum obat (34).


Hasil penelitian Wardani tahun 2009 menunjukkan sikap negatif keluarga

menjadi penyebab tidak patuh. Sikap negatif keluarga inti seperti: respon

simpati terhadap efek samping obat yang dirasakan klien, secara tidak

langsung menyebabkan klien tidak patuh. Sikap negatif dari keluarga besar

terhadap pengobatan meliputi sikap mendukung ketidakpatuhan dan

ungkapan yang menurunkan motivasi minum obat. Sedangkan penyebab yang

bersumber dari perilaku tenaga kesehatan adalah informasi yang tidak jelas

dan ungkapan yang mematahkan semangat dari tenaga kesehatan dapat

menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan (34).

4. Pengukuran Kepatuhan

Kepatuhan terhadap aturan pengobatan sering kali dikenal dengan “Patient

Compliance”. Kepatuhan terhadap pengobatan dikhawatirkan akan menimbulkan

sesuatu yang tidak diinginkan, seperti misalnya bila tidak minum obat sesuai

aturan, maka akan semakin memperparah penyakit (7).

Kepatuhan pasien terhadap aturan pengobatan pada praktiknya sulit

dianalisa karena kepatuhan sulit diidentifikasikan, sulit diukur dengan teliti dan

tergantung banyak faktor. Pengkajian yang akurat terhadap individu yang tidak

patuh merupakan suatu tugas yang sulit. Metode-metode yang digunakan untuk

mengukur sejauh mana seseorang dalam mematuhi nasihat dari tenaga kesehatan
12

yang meliputi laporan dari data orang itu sendiri, laporan tenaga kesehatan,

perhitungan jumlah pil dan botol, tes darah dan urin, alat-alat mekanis, observasi

langsung dari hasil pengobatan (8).

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku kesehatan pada dasarnya adalah

suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit

dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.

Adapun perilaku kesehatan mencakup (6):

a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit. Perilaku ini sesuai dengan

tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yaitu :

1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan

(health promotion behavior), misalnya makan makanan yang bergizi, olah

raga dan sebagainya.

2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior) adalah respon

untuk melakukan pencegah penyakit. Misalnya : tidak minum kopi, tidak

minum beralkohol, tidak makan berlemak, menghentikan kebiasaan

merokok dan sebagainya.

3) Perilaku sehubungan dengan pencarian bantuan pengobatan (health seeking

behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan.

Misalnya: usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari

pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantri,

dokter praktek dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional

(dukun, sinshe, dan sebagainya).


13

4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation

behavior) yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan

kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya melakukan diet

(rendah lemak, rendah garam), mematuhi anjuran-anjuran dokter dalam

rangka pemulihan kesehatannya.

b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap

sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern ataupun

tradisional.

c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yaitu respon seseorang

terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.

d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior)

adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan

manusia.

5. Upaya Peningkatan Kepatuhan

Upaya meningkatkan kepatuhan bisa dengan meningkatkan kemampuan

menyampaikan informasi oleh tenaga kesehatan yaitu dengan memberikan

informasi yang jelas pada pasien mengenai penyakit yang dideritanya serta cara

pengobatannya, keterlibatan lingkungan sosial (keluarga) dan beberapa

pendekatan perilaku. Riset telah mempertunjukkan bahwa jika kerjasama anggota

keluarga diperoleh, kepatuhan menjadi lebih tinggi (7).

6. Kepatuhan Terhadap Kesehatan


14

Kepatuhan terhadap perawatan hipertensi merupakan perilaku seseorang

untuk mentaati aturan dalam hal pengobatan yang meliputi perlakukan khusus

mengenai gaya hidup seperti diet, istirahat dan olahraga serta konsumsi obat yang

harus dikonsumsi, jadwal waktu minum, kapan harus dihentikan dan kapan harus

berkunjung untuk melakukan kontrol tekanan darah (10).

B. Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu

peningkatan kronik dari tekanan darah arteri sistemik. Pengertian hipertensi

lainnya adalah tekanan darah tinggi yang diperoleh dari dua kali pengukuran

tekanan darah pada dua kesempatan yang berbeda. Seseorang dianggap

mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140 mmHg

sistolik atau lebih dari 90 mmHg diastolik yang diukur pada waktu istirahat

(11,12).

2. Epidemiologi

Berdasarkan Riskesdas 2013, diketahui prevalensi hipertensi di Indonesia

mencapai 31,7% dari populasi pada umur 18 tahun ke atas. Dari jumlah itu, 60%

penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan sisanya pada jantung, gagal

ginjal, dan kebutaan. Pada orang dewasa, peningkatan tekanan darah sistolik

sebesar 20 mmHg menyebabkan peningkatan 60% risiko kematian akibat

penyakit kardiovaskuler. Data Riskesdas menyebutkan hipertensi sebagai

penyebab kematian nomor tiga setelah stroke dan tuberkulosis, jumlahnya

mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di Indonesia
15

(3).

3. Klasifikasi Hipertensi

Menurut The Seventh of The Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi

tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,

prehipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2 yang dapat dilihat

dalam tabel berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi (13).

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

a. Normal < 120 < 80


b. Pre-hipertensi 120 – 139 80 – 89
c. Hipertensi tingkat I 140 – 159 90 – 99
d. Hipertensi tingkat 2 >160 >100

4. Patofisiologi Hipertensi

Kerja jantung terutama ditentukan oleh besarnya curah jantung dan

tahanan perifer. Curah jantung pada penderita hipertensi umumnya normal.

Kelainannya terutama pada peningkatan tahanan perifer. Kenaikan tahanan perifer

ini disebabkan karena vasokonstriksi arteriol akibat naiknya tonus otot polos

pembuluh darah tersebut. Bila hipertensi sudah berjalan cukup lama maka akan

dijumpai perubahan-perubahan struktural pada pembuluh darah arteriol berupa

penebalan tunika interna dan hipertrofi tunika media. Dengan adanya hipertrofi

dan hiperplasi, maka sirkulasi darah dalam otot jantung tidak mencukupi lagi
16

sehingga terjadi anoksia relatif. Keadaan ini dapat diperkuat dengan adanya

sklerosis koroner (14,15).

5. Manifestasi Klinik Hipertensi

Sebagian besar penderita hipertensi tidak mengeluhkan adanya gejala,

meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya

berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud adalah sakit

kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang

bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan

tekanan darah yang normal (16).

Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala

seperti sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan

menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan

ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan

bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati

hipertensi (15,16).

6. Faktor Risiko

Faktor risiko dan level dari hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa

faktor seperti perbedaan sosioekonomi dan akses untuk memperoleh pelayanan

kesehatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah:

1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi:

a. Umur
17

Pada kebanyakan orang yang berusia diatas 65 tahun tekanan darah dapat

meningkat dengan cepat (17). Tekanan darah sistol meningkat dengan cepat

berhubungan dengan usia (18).

b. Jenis kelamin

Pada usia dini tidak terdapat perbedaan tekanan darah antara pria dan

wanita. Akan tetapi, mulai masa remaja pria cenderung memiliki tekanan darah

yang lebih tinggi dibandingkan wanita (19). Hal ini dibuktikan oleh tingkat

kematian yang lebih tinggi pada pria setengah baya pengidap hipertensi.

c. Suku

Pada kajian populasi menunjukan bahwa masyarakat berkulit hitam

cenderung memiliki tingkat tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan

golongan suku yang lain (20). Jumlah angka kematian pada kasus hipertensi tinggi

pada masyarakat berkulit hitam (21).

d. Keturunan

Riwayat keluarga yang menunjukan adanya tekanan darah yang meninggi

merupakan faktor resiko paling kuat bagi seseorang untuk mengidap hipertensi di

masa datang (22).

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi :

a. Bobot badan

Kelebihan berat badan memiliki resiko 2-6 kali untuk mendapatkan

penyakit hipertensi (23). Pada populasi di negara Barat, jumlah kasus hipertensi

yang disebabkan oleh obesitas diperkirakan 30-60% (22). Pada pasien dengan

obesitas tedapat curah jantung yang meningkat, aktifitas saraf simpatis yang
18

meningkat terutama di ginjal, kadar angiotensin II dan aldosteron yang meningkat

dua hingga tiga kali lebih banyak, proses natriuesis yang terganggu dan ginjal

tidak akan mensekresikan garam dan air yang tinggi kecuali tekanan arteri yang

tinggi (21).

b. Faktor nutrisi

Menurut WHO beberapa faktor nutrisi yang mempengaruhi tekanan darah

adalah (22):

• Natrium klorida

Kajian eksperimental dan pengamatan menunjukan bahwa asupan natrium

klorida melebihi kebutuhan fisiologis dapat menimbulkan hipertensi.

• Kalium

Kajian INTERSALT mencatat adanya pengurangan tekanan darah sebesar

2,7 mmHg jika pengeluaran kalium dari urine meningkat 60 mmol/hari melalui

urine.

• Mikronutrisi lain

Mikronutrisi lain seperti kalsium, magnesium, dan seng juga memiliki

peranan dalam peningkatan tekanan darah.

• Makronutrisi lain

Meskipun kajian pengamatan menunjukan adanya hubungan beberapa

makronutrisi (lemak, asam lemak, karbohidrat, serat, dan protein) terhadap

tekanan darah, tetapi belum terdapat hubungan sebab akibat dengan hipertensi

sendiri.

c. Alkohol
19

Dilaporkan jika meminum minuman keras sedikitnya dua kali per hari, tekanan

darah sistolik dapat naik sekitar 1,0 mmHg dan tekanan darah diastolik sekitar 0,5

mmHg (22).

d. Kegiatan fisik

Orang yang normotensi tetapi kurang gerak dan tidak bugar mempunyai

resiko 20-50% lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan orang

yang lebih aktif bergerak dan bugar (22).

e. Faktor psikososial

Terdapat bukti bahwa berbagai bentuk stress yang akut dapat

meningkatkan tekanan darah (22).

6. Diagnosis Hipertensi

Tekanan darah diukur setelah seseorang duduk atau berbaring selama 5

menit. Angka 140/90 mmHg atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi

diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali pengukuran. Jika

pada pengukuran pertama memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah

diukur kembali untuk meyakinkan adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan

hanya menentukan adanya tekanan darah tinggi, tetepi juga digunakan untuk

menggolongkan beratnya hipertensi. Setelah diagnosis ditegakkan, dilakukan

pemeriksaan terhadap organ utama, terutama pembuluh darah, jantung, otak dan

ginjal (21).

7. Tatalaksana Hipertensi
20

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi farmakologis dan non

farmakologis. Menurut Yogiantoro tujuan dari pengobatan pasien hipertensi

adalah untuk (23):

1. Menurukan tekanan darah dengan target tekanan darah <140/90 dan untuk

individu beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) <130/80.

2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.

3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.

a. Terapi Nonfarmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk

mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam

penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus

melakukan perubahan gaya hidup Disamping menurunkan tekanan darah pada

pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi

berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah

prehipertensi (24).

Pengobatan non-farmakologik yang utama terhadap hipertensi adalah

pembatasan garam dalam makanan, pengawasan berat badan, dan membatasi

minuman alkohol. Intervensi terhadap faktor di atas dapat digunakan sendiri-

sendiri atau dalam kombinasi. Pengobatan ini mungkin benar-benar berguna bila

tekanan darah diastolik antara 90-95 pada penderita dengan usia <50 tahun yang

tidak mempunyai faktor – faktor resiko kardiovaskuler lkainnya seperti :

hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, laki-laki, kulit hitam, riwayat keluarga,

atau bukti-bukti adanya kerusakan organ target. Pengobatan non-farmakologi


21

diberikan sebagai tambahan pada penderita-penderita yang mendapat terapi

dengan obat-obat (23).

1. Pembatasan Garam Dalam Makanan

Pada beberapa orang dengan hipertensi ada yang peka terhadap garam

(salt-sensitive ) dan ada yang resisten terhadap garam. Penderita – penderita yang

peka terhadap garam cenderung menahan natrium, barat badan bertambah dan

menimbulkan hipertensi pada diet yang tinggi garam. Sebaliknya, penderita yang

resisten terhadap garam cenderung tidak ada perubahan dalam berat badan atau

tekanan darah pada diet garam rendah atau tinggi. Reaksi terhadap garam ini

menerangkan mengapa beberapa orang yang mempunyai panurunan tekanan

darah yang tidak sesuai pembatasan garam dalam makanan, sedang pada orang

lain tekanan darah tetap tidak berubah.

Dari penelitian diketahui bahwa diet yang mengandung 1600-2300 mg

natrium/ hari, dapat menurunkan rata-rata tekanan darah sistolik sebesar 9-15

mmHg dan tekanan diastolik sebesar 7-16 mmHg. Pembatasan garam sekitar 2000

mg natrium/ hari dianjurkan untuk pengelolaan diet pada kebanyakan penderita

hipertensi.

2. Mengurangi Berat Badan

Insiden hipertensi meningkat 54 sampai 142 % pada penderita-penderita

yang gemuk. Penerunun berat badan dalam waktu yang pendek dalam jumlah

yang cukup besar biasanya disertai dengan penurunan tekanan darah. Beberapa

peneliti menghitung rata-rata penurunan tekanan darah sebesar 20,7 sampai 12,7

mmHg dapat mencapai penurunan berat badan rata-rata sebesar 11,7 Kg.
22

terdadapat hubungan yang erat antara perubahan berat badan dan perubahan

tekanan darah dengan ramalan tekanan darah sebesar 25/15 mmHg setiap

kilogram penurunan berat badan.

3. Pembatasan Alkohol

Orang-orang yang minum 3 atau lebih minuman alkohol per hari

mempunyai tingkat tekanan darah yang tinggi. Sekarang diperkirakan bahwa

hipertensi yang berhubungan dengan alkohol mungkin merupakan salah satu

penyebab sekunder paling banyak dari hipertensi, kira-kira sebanayak 5-12% dari

kasus mengurangi minum alkohol dapat menurunkan tekanan darah (23).

JNC VII menyarankan pola makan dengan diet yang kaya dengan buah,sayur,

dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh

berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari. Aktifitas

fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur paling

tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien.

Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki,

dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini

dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus

konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik

terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target. Merokok merupakan faktor

resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang

merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat

diakibatkan oleh merokok.

b. Terapi Farmakologi
23

Jenis-jenis obat antihipertensi yang dianjurkan untuk terapi hipertensi adalah:

1. Diuretika

Terutama jenis obat Thiazide atau Aldosterone Antagonist. Thiazide

merupakan obat utama dalam terapi hipertensi dimana terbukti paling efektif

dalam menurunkan risiko kardiovaskular. Thiazide dapat digunakan sebagai obat

tunggal pada penderita hipertensi ringan sampai sedang dan dapat juga

dikombinasi dengan obat antihipertensi lain untuk meningkatkan efektivitas

antihipertensi lain dan mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain (24).

2. Beta Blocker

Merupakan obat antihipertensi yang populer kedua setelah diuretik. Beta

blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai

sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khususnya infark

miokard akut), pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa kelainan

konduksi (24).

3. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist

Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist pada terapi hipertensi

memberikan efek yang sama dengan antihipertensi yang lain. Calcium Channel

Blocker atau Calcium Antagonist terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan

kadar renin yang rendah seperti pada usia lanjut (24).

4. Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI)

Obat golongan ini bermanfaat terutama pada pasien hipertensi yang kronik

atau menetap akibat penyakit parenkim ginjal. Hiperkalemia mungkin terjadi pada

penggunaaan ACE inhibitor akibat hambatan pada renin (24).


24

5. Angiotensin II Receptor Blocker AT, receptor antagonist/blocker (ARB)

Angiotensin II Receptor Blocker sangat efektif untuk menurunkan tekanan

darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi sepeti hipertensi

renovaskular lain dan hipertensi genetik, tetapi kurang efektif pada hipertensi

dengan kadar renin yang rendah (25,26).

8. Komplikasi Hipertensi

Berikut merupakan beberapa komplikasi dari hipertensi yang dapat terjadi

(21,23):

1. Kerusakan pada otak

Tekanan darah yang tinggi pada pembuluh darah otak mengakibatkan

pembuluh sulit meregang sehingga darah yang ke otak kekurangan oksigen.

Pembuluh darah di otak juga sangat sensitif, sehingga ketika semakin melemah

maka dapat menimbulkan pendarahan akibat pecahnya pembuluh darah.

2. Ganguan dan kerusakan mata

Tekanan darah tinggi melemahkan bahkan merusak pembuluh darah di

belakang mata, gejalanya yaitu pandangan kabur dan berbayang.

3. Gangguan dan kerusakan jantung

Akibat tekanan darah yang tinggi, jantung harus memompa darah dengan

usaha yang lebih tinggi lagi. Otot jantung semakin menebal dan melemah

sehingga mudah kehabisan energi untuk memompa lagi. Jika terjadi penyumbatan

darah akibat atheriosklerosis, maka dapat menimbulkan komplikasi yang lebih

serius. Gejalanya yaitu, pembengkakan pada pergelangan kaki (swollen ankles),

peningkatan berat badan, dan nafas yang tersenggal-senggal.


25

4. Gangguan dan kerusakan ginjal

Ginjal berfungsi untuk menyaring darah serta mengeluarkan air dan zat

sisa yang tidak diperlukan tubuh. Ketika tekanan darah tinggi, pembuluh darah

kecil akan rusak. Akibatnya ginjal tidak mampu lagi menyaring dan mengeluarkan

zat-zat sisa. Umumnya gejala pada ginjal tidak segera tampak, namun

komplikasinya menimbulkan gejala yang serius.

9. Faktor-Faktor Penyebab Kekambuhan Hipertensi

1. Munculnya efek samping obat

Beberapa efek samping terkadang dirasa cukup mengganggu sehingga

mengakibatkan keengganan mengkonsumsi obat tersebut. Efek samping yang

biasanya dirasakan oleh penderita hipertensi disaat setelah meminum obatnya

seperti hidung mampet dan mulut kering, jantung berdebar-debar, rasa letih dan

lesu, gangguan lambung dan usus (mual, diare), gangguan penglihatan, kadang

impotensi. Sedangkan kenyamanan menggunakan obat berhubungan dengan

bentuk, rasa, dan kemudahan memakainya (5).

2. Pengalaman pasien terhadap kemanjuran obat atau tingkat kesembuhan yang

telah dicapai

Semua konsumen obat berharap bahwa obat yang digunakan akan

secepatnya dapat dirasakan manfaat dan kemanjurannya. Obat-obat yang

dirasakan lambat atau tidak memberikan efek, akan mendorong mereka tidak lagi

merasakan membutuhkan obat tersebut (5).

3. Komunikasi antara pasien dengan tenaga kesehatan


26

Komunikasi yang baik bisa memperjelas informasi mengenai penyakit

maupun obatnya dan sekaligus memberikan motivasi untuk menaati penggunaan

obat yang benar, dan akan terjadi sebaliknya jika komunikasi berjalan buruk (5).

4. Dukungan keluarga terhadap pengobatan hipertensi

Sikap orang yang dekat ini akan memiliki arti yang besar terhadap

kepatuhannya dalam menggunakan obat (5).

5. Kepercayaan/persepsi pasien terhadap penyakit dan pengobatannya

Yaitu besarnya harapan untuk sembuh dari sakit dan kepercayaan bahwa

obat yang digunakannya akan memberikan kesembuhan. Orang-orang yang telah

putus asa terhadap kesembuhan penyakitnya atau terhadap obat yang ia gunakan,

akan lebih sulit bersikap patuh, begitu pula sebaliknya (5).

6. Faktor kebosanan dalam menggunakan obat terus-menerus akibat lamanya

pasien tersebut telah menderita penyakit hipertensi

Pengobatan jangka panjang yang berlangsung bertahun-tahun atau bahkan

seumur hidup, mungkin akan membuat pasien merasa bosan sehingga tidak

mempedulikan lagi aturan yang benar (5).

7. Jumlah obat yang diberikan kepada penderita hipertensi

Obat yang diresepkan untuk penderita hipertensi biasanya hanya untuk 3

hari, tujuannya disini adalah agar mereka berkunjung lagi ke puskesmas untuk

mengontrol tekanan darahnya. Petugas kesehatan di Puskesmas juga selalu

mengingatkan agar ketika habis obat diharapkan penderita berkunjung kembali ke

Puskesmas untuk mengontrol tekanan darahnya, walaupun responden tidak

mengalami keluhan. Namun, terkadang ini menjadi masalah bagi masyarakat,


27

karena mereka harus meluangkan waktu dan sebagian biaya untuk memeriksakan

diri kembali ke Puskesmas (5).

Menurut Rahmatika (2009) suatu kejadian yang tidak diharapkan yang

mengganggu terapi pengobatan hipertensi diantaranya, membutuhkan tambahan

terapi obat, ketidaktaatan/ketidakpatuhan penderita, dan lain-lain. Sering juga

pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan obat,

pemberian, dan pemakaian), pasien tidak mematuhi rekomendasi yang diberikan

dokter untuk kontrol teratur ke unit kesehatan, pasien tidak mengambil obat yang

diresepkan karena sudah merasa sehat. Persepsi-persepsi yang kurang tepat inilah

yang menjadikan penyakit penderita menjadi tidak terkontrol dengan baik (27).

Anda mungkin juga menyukai