Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
net/publication/305722477
Orisinalitas Tasawuf
CITATIONS READS
0 487
1 author:
Dr. Ja'far, MA
State Islamic University of Sumatera Utara, Medan Indonesia
26 PUBLICATIONS 8 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Perspektif Pendidik Al Washliyah dan Al Ittihadiyah tentang Paham dan Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia View
project
All content following this page was uploaded by Dr. Ja'far, MA on 30 July 2016.
B
agian ini akan mengungkap sejumlah doktrin pokok
tasawuf. Secara khusus, akan dikemukakan sejumlah
gagasan dasar dalam dunia tasawuf mencakup tujuan,
metode, serta konsep maqamat dan ahwal. Tema-tema ini
patut dikemukakan sebagai jalan untuk melacak keberadaan
tema-tema tersebut dalam nomenklatur Islam, baik al-Qur`an
maupun hadis.
73
Jadi, sebagai pemilik ilmu, ilmu-Nya tidak terbatas. Sebab, ilmu
adalah diri-Nya sendiri, sedangkan diri-Nya sendiri adalah tid-
ak terbatas.
Kendati manusia memiliki banyak keterbatasan, tetapi Al-
lah SWT. tiada pernah berhenti melimpahkan pengetahuan-
Nya kepada setiap manusia. Karena alasan inilah, Dia memberi
manusia dua kitab ilmu kepada manusia, yaitu kitab kecil dan
kitab besar. Kedua kitab ini berisikan ayat-ayat-Nya. Kitab kecil
berisikan ayat-ayat qauliyah. Kitab ini dikenal sebagai kitab suci,
yang berisikan kalam Ilahi, kepada seorang nabi dan rasul. Se-
dangkan kitab besar berisikan ayat-ayat kauniyah. Kitab ini
dikenal sebagai alam.2 Dalam Islam, alam dibagi menjadi dua
bagian yaitu alam besar (makro kosmos), yaitu alam semesta, dan
alam kecil (mikro kosmos), yaitu manusia, dan kedua alam ini
diciptakan sebagai tanda-tanda (ayat) keberadaan Allah SWT.3
Kedua alam ini bahkan memiliki dimensi lahir (fisik) dan di-
mensi batin (non-fisik).4 Setiap manusia diperintahkan Allah
SWT. untuk menafsirkan kedua kitab ilmu ini secara baik dan
benar, karena keduanya berisikan ayat-ayat Ilahi.
Dengan kata lain, sebagian ilmu telah diberikan Allah SWT.
secara langsung kepada manusia, tetapi melalui lisan para nabi
dan rasul, berupa wahyu. Wahyu Ilahi, seperti al-Qur’an dan
hadis Nabi Muhammad SAW. berisikan banyak ilmu, dan
wahyu Ilahi ini menjelaskan segala sesuatu (al-kitab tibyan li kul-
li syai’).5 Dalam tradisi Islam, ayat-ayat al-Quran memiliki
makna lahir sekaligus makna batin.6 Allah SWT. menyeru
manusia mempelajari kandungan ayat-ayat al-Qur’an7 dan
berupaya memahami ta’wilnya.8 Manusia diperintahkan oleh
Allah SWT. untuk menafsirkan dan menakwilkan kandungan
teks dari ayat-ayat al-Qur’an, supaya mereka bisa memahami
seluruh realitas.9 Sebagai teks suci, ayat-ayat al-Qur’an harus
ditafsirkan dan ditakwilkan secara benar. Dalam epistemologi
Islam, teks-teks wahyu bisa dipahami secara benar dengan
dengan metode bayani, yaitu tafsir dan ta’wil. Metode tafsir san-
74
gat tepat memahami makna lahir al-Qur’an, sedangkan metode
ta’wil sangat ampuh menelusuri makna batin al-Qur’an. Kedua
metode ini sangat membantu seseorang dalam memahami ayat-
ayat dalam kitab kecil tersebut.
Ilmu juga diberikan oleh Allah SWT. secara tidak langsung
kepada manusia. Dia menciptakan sebuah kitab besar bagi
manusia, yaitu alam semesta. Alam dibagi menjadi dua bagian,
yaitu alam besar (makro kosmos) dan alam kecil (mikro kosmos).10
Kedua alam ini memiliki dimensi gaib dan non-gaib. Jadi, kitab
besar mengandung dua dimensi yaitu dimensi lahir dan di-
mensi batin.
Al-Quran mengakui bahwa realitas itu bisa dibagi dua, yai-
tu realitas gaib dan realitas syahadah (non-gaib).11 Banyak
sekali ayat membicarakan realitas gaib seperti Allah SWT.,12
malaikat,13 ‘arsy,14 setan,15 iblis,16 surga,17 dan neraka.18 Tidak
sedikit juga ayat al-Quran yang membicarakan fenomena alam
fisik seperti langit dan bumi,19 matahari,20 bulan,21 gunung,22
dan pohon.23 Al-Qur’an sangat banyak memberikan contoh-
contoh bahwa alam memiliki dua dimensi, dimensi lahir dan
dimensi batin.
Sebagaimana kemestian untuk menafsirkan kitab kecil, Is-
lam juga menyeru manusia menafsirkan kitab besar ini, karena
kitab ini juga berisikan ayat-ayat (tanda-tanda) Ilahi.24 Agar
manusia mampu menafsirkan kitab ini, maka Allah SWT. men-
ganugerahkan indera, akal dan hati.25 Manusia akan berhasil
menafsirkan kitab besar ini, bila mereka mampu mengaktuali-
sasikan semua potensi epistemologinya itu secara sempurna.
Islam bahkan memerintahkan manusia menggunakan se-
luruh potensi epistemologinya (indera, akal dan hati), agar
mereka mampu memahami realitas. Allah SWT. akan
memurkai, bahkan memberikan derajat yang lebih rendah dari
derajat hewan ternak kepada manusia, apabila mereka enggan
menggunakan indera, akal dan hati untuk memahami ayat-ayat
75
Ilahi.26 Perintah Allah SWT. ini tidak lain adalah agar manusia
mampu memahami tanda-tanda keberadaan Sang Ilahi.27
Dalam epistemologi Islam, kitab besar akan bisa ditafsirkan
secara benar apabila manusia menggunakan metode tajribi,
burhani, dan ‘irfani.28 Metode tajribi (eksperimen dan observasi)
digunakan untuk memahami fenomena alam fisik, dan alam
fisik bisa dipahami lewat indera.29 Jadi, metode ini
menggunakan indera untuk memahami alam fisik. Para saintis
Muslim telah mengembangkan metode ini, dan hakikat metode
ini adalah melakukan pengamatan indriawi terhadap objek-
objek fisik dan percobaan-percobaan ilmiah terhadap mereka.
Terkadang, pengamatan indriawi ini bisa dilakukan secara
langsung tanpa alat bantu, namun terkadang membutuhkan
alat bantu, misalnya, mikroskop untuk mengamati benda-
benda paling kecil, dan teleskop untuk mengamati benda-
benda paling jauh. Karena alam fisik mengandung realitas ter-
dalam, dan alam fisik memiliki hakikat tersembunyi, maka
alam fisik tidak bisa diketahui secara sempurna hanya dengan
mengandalkan indera lahiriah semata. Karenanya, penalaran
akal memainkan peran besar bagi upaya pengamatan makna
terdalam dari alam fisik ini.30 Dengan demikian, alam fisik bisa
dipahami lewat indera, dan kelemahan indera mengetahui
hakikat terdalam dari alam fisik ditutupi oleh kemampuan
penalaran akal.
Metode burhani digunakan oleh kalangan filosof dari
berbagai aliran seperti Peripatetisme (hikmah masysya’iyah), Il-
luminasionisme, (hikmah isyraqiyah) dan Transendentalisme
(hikmah muta‘aliyah). Metode ini menggunakan akal sebagai alat
meraih ilmu. Metode ini menggunakan argumentasi logika
(silogisme).31 Selain membantu indera untuk memahami alam,
akal memiliki peran besar mengenal karakteristik alam gaib
(non-fisik). Indera tidak mampu mengenali alam gaib, se-
bagaimana akal memiliki kemampuan ini. Tetapi, kelebihan
akal sebagai alat mengenal objek-objek non-fisik tidak sekaligus
76
menjadi jaminan bahwa persepsi akal selalu benar. Agar akal
mampu mempersepsi objek-objek non-fisik secara akurat, se-
tiap akal manusia harus dilatih berpikir secara benar. Karena
itu, akal membutuhkan ilmu logika (‘ilm al-mantiq), agar akal
bisa berpikir secara benar, dan persepsi akal terhadap alam
gaib menjadi akurat.32 Akan tetapi, akal hanya mampu
mengenal dan mengetahui karakteristik objek-objek non-fisik
semata, tetapi tidak merasakan, mengalami, apalagi melihat
objek-objek tersebut.
Kelemahan akal tersebut ditutupi oleh metode ‘irfani yang
disebut juga sebagai tazkiyah al-nafs.33 Metode ini sangat
mengandalkan hati (qalb) manusia sebagai alat meraih ilmu.
Menurut metode ini, ilmu bisa diperoleh dengan cara mem-
bersihkan jiwa dan hati manusia dari segala dosa. Apabila hati
manusia telah suci, maka Allah SWT. akan melimpahkan ilmu
secara langsung ke dalam hati manusia. Ilmu ini disebut se-
bagai ilmu hudhuri atau ilmu laduni. Dikatakan ilmu hudhuri
adalah karena objek pengetahuan dicapai tanpa melalui peran-
tara apapun, baik berupa simbol, konsep maupun representa-
si.34
Metode ‘irfani ini digunakan oleh kalangan sufi, baik dari
mazhab Gnosisme, Illuminasionisme maupun Transendental-
isme. Dalam tradisi Islam, tasawuf atau ‘irfan menjadi ilmu
yang menggunakan metode ini. Keduanya kerap disebut mis-
tisisme Islam. Melalui metode ini para sufi akan mampu me-
rasakan dan melihat objek-objek non-fisik. Mereka bahkan akan
mampu memasuki alam gaib, dan memperoleh berbagai ilmu
dari alam gaib tersebut. Jika metode burhani hanya sebatas
mengenal dan mengetahui objek-objek non-fisik (alam gaib),
namun metode ‘irfani mampu mengalami, merasakan, bahkan
melihat objek-objek gaib tersebut. Semua ini bisa dipahami dari
kasus perjumpaan antara Ibn Sina, seorang filosof diskursif,
dan Abu Sa’id, seorang sufi. Ketika mereka bertemu, Ibn Sina
berkata “apa yang aku ketahui, ia telah melihatnya.” Se-
77
dangkan Abu Sa’id berkata pula “apa yang telah aku lihat, ia
telah mengetahuinya.”35
Contoh lain bisa disimak dari pertemuan antara Ibn Rusyd,
seorang filosof diskursif dengan Ibn ‘Arabi, seorang sufi yang
ketika itu masih berusia remaja. Ketika Ibn Rusyd bertemu
dengan Ibn ‘Arabi, ia memandangnya dan bertanya “ya?,”
lantas Ibn ‘Arabi menjawab “ya.” Ibn Rusyd bertanya sekali
lagi “ya?,” tetapi Ibn ‘Arabi menjawab “tidak!.” Seketika wajah
Ibn Rusyd pucat pasi. Peribncangan batin mereka sebenarnya
seputar masalah cara paling ampuh menuju Allah SWT. Ibn
Rusyd sangat meyakini bahwa jalan menuju-Nya hanya me-
lalui peningkatan dan penyempurnaan pengetahuan rasional.
Akan tetapi, bagi Ibn ‘Arabi bahwa cara menunju-Nya hanya
melalui jalan latihan ruhani dan mengikuti ajaran para sufi
yang tidak belajar dari buku-buku filsafat seperti Ibn Rusyd.36
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa pengetahuan akal
lebih tinggi kualitasnya dari pada pengetahuan inderawi, dan
pengetahuan intuitif lebih tinggi kualitasnya dari pada penge-
tahuan inderawi bahkan pengetahuan akal.
Kendati demikian, perbedaan kualitas ilmu tersebut tidak
membuat para sarjana Muslim Klasik mendiskriminasikan
salah satu dari ketiga metode ilmiah tersebut. Mereka
menerima ketiga metode ilmiah tersebut sebagai metode yang
valid untuk meraih ilmu. Mereka meyakini bahwa perbedaan
tersebut lahir sebagai konsekuensi dari perbedaan objek kajian
ketiga metode tersebut. Metode tajribi sangat ampuh meraih
ilmu dari objek-objek fisik, tetapi tidak ampuh meraih ilmu dari
objek-objek non-fisik. Sedangkan metode burhani sangat akurat
menimba ilmu dari objek-objek non-fisik, kendati metode ini
hanya mampu mengenali dan mengetahui karakteristik objek
non-fisik tersebut. Kelemahan metode burhani ditutupi oleh
metode ‘irfani, karena metode terakhir ini mampu merasakan,
melihat bahkan memasuki dunia non-fisik, dan meraup hakikat
dari dunia gaib tersebut. Dengan demikian, kevalidan ketiga
78
metode tidak perlu diragukan, karena ketiga metode ini
memiliki alat dan objek telaah masing-masing.
Keempat metode ilmiah ini diakui oleh al-Qur’an sebagai
cara tervalid memperoleh ilmu dari dua kitab suci Ilahi. Banyak
ayat al-Qur’an menyeru manusia untuk memperhatikan fe-
nomena-fenomena alam fisik37 dengan menggunakan potensi
panca inderanya.38 Inilah dasar bagi keabsahan penggunaan
metode tajribi. Selain itu, al-Qur’an juga memerintahkan manu-
sia agar menggunakan potensi akalnya untuk berpikir secara
benar,39 agar mereka mampu memahami fenomena alam fisik
dan alam gaib.40 Allah SWT. bahkan sangat memurkai mereka
yang tidak mau berpikir secara benar.41 Inilah dasar bagi ke-
absahan penggunaan metode burhani sebagai metode meraih
ilmu. Kemudian, al-Qur’an juga memerintahkan setiap manusia
mensucikan jiwanya, dan melarang mengotorinya, karena hati
yang suci akan mampu menerima ilham Ilahi,42 dan orang-
orang berhati bersih akan mendapatkan rahmat Ilahi berupa
ilmu yang datang langsung dari sisi-Nya (‘ilm hudhuri).43 Inilah
salah satu argumen kuat tentang kevalidan metode ‘irfani
menurut Islam. Tujuan semua perintah Allah SWT. ini adalah
agar manusia bisa memperoleh pengetahuan tentang realitas
secara benar, sehingga mereka bisa melihat tanda-tanda
kekuasaan Ilahi.44 Jelas sekali bahwa al-Qur’an mengakui ke-
absahan metode tajribi, metode burhani, dan metode ‘irfani se-
bagai metode menafsirkan kitab besar.
Dari sini dipahami bahwa karena semua ilmu berasal dari
Allah SWT., karena Dia menjadi sumber utama ilmu, dan Dia
menciptakan dua kitab sebagai wadah penampung semua
ilmu-Nya, maka pada dasarnya, tidak ada pertentangan antara
kitab kecil dan kitab besar. Tidak mungkin ada pertentangan
karena Allah SWT. adalah wujud sempurna dan sederhana,
dan karena Dia tidak berasal dari unsur-unsur yang berbeda,
apalagi bertentangan. Dia Maha Esa, dan karena Dia sebagai
sumber ilmu, maka kebenaran ilmu menjadi esa pula. Idealnya
79
tidak ada pertentangan antara kitab kecil dan kitab besar, kare-
na keduanya berasal dari satu kebenaran, yaitu Allah SWT. se-
bagai Maha Esa dan Maha Benar. Karena itu, sangat tidak
mungkin ada pertentangan antara wahyu dan filsafat.
Karena itu, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu filosofis,
keduanya sama-sama berasal dari Allah SWT. Atau, semua
ilmu, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu rasional, be-
rasal dari-Nya. Bedanya, ilmu-ilmu agama berasal dari wahyu
yang berasal langsung dari Allah SWT., sedangkan ilmu-ilmu
rasional berasal dari Allah SWT, tetapi tidak langsung, karena
manusia berusaha keras mencarinya lewat indera, akal dan
hati. Para nabi dan rasul menjadi aktor pemeroleh dan penye-
bar wahyu Ilahi, sebagai pengetahuan langsung dari Allah
SWT., sedangkan para pemikir semacam saintis, filosof dan sufi
menjadi aktor pemeroleh dan penyebar pengetahuan tidak
langsung dari Allah SWT tersebut. Pada dasarnya, sama sekali
tidak ada kontradiksi antara kedua bentuk ilmu ini. Dalam
tradisi intelektual Islam, para pemikir Muslim bahkan menjadi-
kan wahyu sebagai sumber inspirasi. Bagi kehidupan manusia,
keduanya saling melengkapi satu sama lain. Bahkan, ilmu-ilmu
non-agama lahir dari dorongan wahyu Ilahi. Semua pemikir
Muslim mengembangkan beragam ilmu atas dasar seruan Ilahi
sebagaimana disebutkan oleh berbagai ayat-ayat al-Qur’an.
Semua ini mereka lakukan demi menemukan bukti-bukti dari
keberadaan-Nya, agar keimanan mereka semakin teguh dan
kokoh.
Ringkasnya, tradisi intelektual Islam mengakui kevalidan
mistisisme sebagai ilmu. Islam mengakui hati (intuisi) sebagai
sarana ilmiah meraih ilmu, dan bahkan alat epistemologi ini
menjadi alat paling jitu menangkap hakikat realitas. Akan teta-
pi, hanya hati manusia suci yang mampu meraih ilmu hakiki
tersebut, karena manusia tersebut telah berhasil mensucikan
hatinya (tazkiyah al-nafs), sehingga Allah SWT. secara otomatis
melimpahkan ilmu ke dalam hati suci manusia tersebut. Dalam
80
epistemologi Islam, kualitas pengetahuan intuisi bahkan
dipandang sebagai pengetahuan yang tertinggi dibandingkan
pengetahuan inderawi dan akal.
B. Tujuan Tasawuf
Para sufi menekuni tasawuf dengan tujuan membersihkan
jiwa dan hati agar mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila
Allah). Tujuan ini bisa dilihat dari perkataan para sufi awal
tentang hakikat dan tujuan tasawuf. Husain ibn ‘Ali berkata
“tasawuf adalah kebaikan budi pekerti. Ia yang memiliki budi
pekerti yang lebih baik adalah sufi yang baik.”45 Al-Syibli
berkata bahwa “tasawuf adalah syirik, karena ia menjaga hati
dari pandangan terhadap yang lain dan yang lain tidaklah
ada.” 46 Al-Syibli berkata juga “tasawuf adalah duduk bersama
Allah tanpa merasa sedih sedikit pun.”47 Ahmad al-Jariri
berkata bahwa “tasawuf adalah memasuki dalam semua akhlak
nabi dan keluar dari semua akhlak yang tidak terpuji.”48
Ahmad al-Nuri berkata “tasawuf adalah akhlak, maka barang
siapa yang bertambah akhlaknya, maka akan bertambah
mantap tasawufnya.”49 Ahmad ibn Muhammad al-Ruzabari
berkata bahwa “tasawuf adalah menetap di pintu kekasih
(Allah), walaupun ia terusir (karena dosanya), dan kebersihan
hati yang dekat kepada Allah adalah setelah jauh dari Allah
karena kotoran dosa.”50 Dzun Nun al-Mishri berkata “para sufi
adalah orang-orang yang mengutamakan Allah daripada
lainnya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada
lainnya.”51 Al-Junaid berkata tasawuf adalah “memurnikan hati
dari berhubungan dengan makhluk lain, meninggalkan sifat-
sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari
godaan jasmani, mengambil pelbagai sifat ruh, mengikatkan
diri kepada ilmu-ilmu hakikat, mengumpulkan segala sesuatu
untuk masa yang kekal, sungguh-sungguh beriman kepada
Tuhan dan mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW.”52 Sahl
81
Abd Allah al-Tustari berkata bahwa “para sufi adalah orang
yang bersih dari ketidakmurnian dan selalu merenung, memu-
tuskan hubungan dengan manusia lain demi mendekatkan diri
kepada Allah”.53 Abu Yadzid al-Busthami berkata “para sufi
adalah anak-anak yang duduk di pangkuan Tuhan.”54 Ibn Sina
berkata tasawuf adalah “memisahkan diri dari semua
kesibukan kepada selain Allah SWT. sampai menjadi fana’ dan
meleburkan diri bersama Ilahi, sehingga bisa berperilaku sesuai
akhlak Ilahi dan mencapai hakikat tunggal, sehingga akhirnya
mencapai kesempurnaan”.55 Nashir al-Din al-Thusi berkata
“tasawuf adalah ilmu tentang Allah SWT. dari dimensi asma`,
shifat dan tajalli-Nya…ilmu tentang usaha melepaskan diri dari
segala keterikatan materi yang membelenggu seorang salik saat
menyatu dengan Allah SWT., dan ilmu tentang berperilaku
sesuai dengan sifat-sifat-Nya”.56
Berdasarkan pernyataan para sufi ini, para sarjana meru-
muskan tujuan seorang sufi dalam menekuni tasawuf. Menurut
Harun Nasution, tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar
bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Karena itu, intisari
dari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasing-
kan diri (khalwah) dan berkontemplasi. Lalu, kesadaran ini
mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan-Nya.57 Men-
dukung Harun, Mulyadhi Kertanegara menyatakan bahwa
tujuan dari tasawuf adalah pendekatan dengan sumber dan
tujuan hidup manusia, yaitu Tuhan.58 Sedangkan A. Rivay
Siregar menyatakan bahwa tujuan dari tasawuf adalah agar be-
rada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Secara khusus, ada
tiga sasaran tasawuf, yaitu pembinaan aspek moral, untuk
ma‘rifat Allah melalui penyingkapan langsung (al-kasyf al-hijab),
dan untuk membahas sistem pengenalan dan pendekatan diri
kepada Allah SWT. secara mistis filosofis dan pengkajian garis
hubungan antara Tuhan dengan makhluk.59 Dengan demikian,
82
tujuan tasawuf adalah membina diri dengan berbagai amal
ibadah, sehingga menjadi manusia berakhlak, dan dapat men-
dekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, setidaknya ada empat tujuan tasawuf
bagi seorang sufi. Pertama. Untuk membersihkan hati agar
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kedua. Untuk membina
akhlak mulia (akhlaq al-karimah). Ketiga. Untuk memperoleh
ma’rifah (pengetahuan sejati tentang Tuhan). Keempat. Untuk
memperoleh ilmu-ilmu hakikat (‘ilm al-ladunni). Karena tujuan-
tujuan inilah, para sufi melakukan sejumlah praktik/perjalanan
spiritual.
C. Metode Tasawuf
Kaum sufi menggunakan metode ‘irfani yang disebut juga
sebagai tazkiyah al-nafs.60 Metode ini mengandalkan hati (qalb)
manusia sebagai alat meraih ilmu. Menurut metode ini, ilmu
bisa diperoleh dengan cara membersihkan jiwa dan hati
manusia dari segala dosa. Apabila hati manusia telah suci,
maka Allah SWT. akan melimpahkan ilmu secara langsung ke
dalam hati manusia. Ilmu ini disebut sebagai ilmu hudhuri atau
ilmu laduni. Dikatakan ilmu hudhuri adalah karena objek penge-
tahuan dicapai tanpa melalui perantara apapun baik berupa
simbol, konsep maupun representasi.
Jika para filosof menjadikan akal sebagai alat meraih ilmu
dan para saintis menjadikan indera sebagai sarana pemeroleh
ilmu, maka para sufi menggunakan jiwa dan hati sebagai
sarana memperoleh ilmu langsung dari Allah SWT. Para sufi
menyadari bahwa indera dan akal memang bisa membantu
manusia mendapatkan kebenaran, namun keduanya memiliki
kelemahan. Dari sini mereka mencari alat lain untuk
mendapatkan kebenaran sejati, dan menyimpulkan bahwa
mereka akan memperoleh kebenaran sejati melalui jiwa dan
hati. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa tidak semua jiwa
83
dan hati manusia mampu memperoleh kebenaran sejati itu,
sebab kebenaran seperti itu hanya diperoleh oleh jiwa dan hati
tertentu, yaitu jiwa dan hati yang suci dan bersih. Sebab itulah,
mereka berusaha menyucikan dan membersihkan hatinya agar
mendapatkan pengetahuan sejati, sebab pengetahuan seperti
ini hanya diperoleh oleh manusia-manusia suci dan bersih.
Para sufi telah merumuskan cara mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Dalam hal ini, mereka hanya bertumpu kepada
metode penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) semata, dan sama
sekali menolak argumentasi dan demonstrasi rasional para
filosof Peripatetik.61 Untuk bisa dekat diri kepada Allah SWT.,
kaum sufi melakukan perjalanan ruhani, sehingga mereka bisa
mengetahui dan sampai kepada hakikat (Allah SWT).62 Dengan
kata lain, kaum sufi menggunakan metode intuitif. Bagi kaum
sufi, pengetahuan dari hasil penyingkapan intuisi (hati) lebih
unggul dari pengetahuan dari hasil silogisme akal. Karena itu-
lah, pengetahuan para sufi lebih unggul dari pengetahuan para
filosof.63 Meskipun setiap sufi menggunakan metode intuitif,
tetapi tiap-tiap mereka merumuskan metode khas tersendiri
sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan hal ini
bisa dilihat dari rumusan-rumusan (amalan-amalan) milik para
sufi dan berbagai tarekat tentang metode mendekatkan diri
kepada-Nya.
Menurut al-Ghazali, ada beberapa metode agar seorang su-
fi dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pertama. Ri-
yadhah dan muraqabah. Riyadhah adalah latihan kejiwaan. Se-
dangkan muraqabah adalah upaya manusia untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Kedua metode ini juga harus dilakukan
secara baik dan benar sesuai dengan syariat Islam.64 Kedua. Ta-
fakkur, yaitu berpikir tentang realitas alam semesta. Metode ta-
fakkur ini harus dilakukan secara baik dan benar sesuai dengan
syarat-syarat berpikir. Tafakkur sangat bermanfaat bagi seorang
sufi untuk menjadi ulama sempurna, berakal, mendapatkan
ilham, dan ahli hujjah.65 Ketiga. Tazkiyah al-Nafs, yaitu proses
84
penyucian jiwa manusia melalui tiga tahap, yaitu takhalli, tahal-
li, dan tajalli. Pada tahap pertama, takhalli, seorang sufi berupa-
ya mengosongkan jiwanya dari sifat-sifat tercela, misalnya,
tamak, fitnah, dan dusta. Pada tahap kedua, tahalli, seorang sufi
mengisi jiwanya yang telah kosong dengan akhlak terpuji.
Proses ini berlangsung secara berangsur-angsur melalui be-
berapa maqam, yaitu taubat, sabar, syukur, harap, takut, zuhud,
fakir, ikhlas, waspada, tawakkal, cinta, rindu dan rida. Se-
dangkan pada tahap ketiga, tajalli, seorang sufi memperoleh
hasil kegiatannya tersebut berupa karunia keis-
timewaan/karamah dari Allah SWT. Upaya penyucian jiwa
66
ini penting dilakukan oleh seorang sufi karena Allah tidak akan
bisa didekati oleh jiwa-jiwa kotor. Keempat. Zikir. Zikir kepada
Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi, setelah mereka ber-
hasil menghilangkan rintangan jiwa dan membersihkan jiwa
dari akhlak tercela. Ketika jiwa telah bersih dan kosong dari
segala sesuatu selain Allah, para sufi menghiasi jiwa mereka
dengan zikir. Zikir memiliki manfaat besar bagi seorang sufi,
sebab zikir dapat menjadi sarana untuk membersihkan jiwa,
membuka tabir alam malakut, mendatangkan ilham, dan men-
dekati Allah SWT. Jadi, zikir sangat penting bagi seorang sufi,
karena zikir dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Zikir mampu menyucikan dan mem-
bersihkan hati seorang sufi, dan zikir menjadi santapan hati,
ungkapan-ungkapan dialog kepada Tuhan, sekaligus menun-
jukkan keakraban manusia terhadap Tuhan.67
Menurut al-Ghazali, zikir memiliki tiga kerja spiritual. Per-
tama. Zikir lahir dengan gerakan lidah. Zikir ini sangat dianjur-
kan dalam bacaan dari beberapa bentuk ibadah. Kedua. Zikir
sirr (rahasia). Kedudukan zikir ini lebih mulia dari ibadah dan
sedekah. Ketiga. Zikir kalbu (qalb). Zikir kalbu muncul sebagai
ketidakbutuhan terhadap makhluk dan kesibukan dengan Kha-
lik. Apabila seorang sufi sudah sampai pada tahap ini, berarti
sufi tersebut telah memasuki fana’ pertama. Dari fana’ pertama
85
ini, sufi tersebut akan memperoleh fana’ kedua. Dalam fana’
kedua, sufi tersebut akan gaib dari dirinya sendiri untuk ber-
musyahadah kepada Allah SWT. Fana’ kedua ini diperoleh dari
zikirnya dalam bentuk membaca al-Qur’an, bertasbih, ber-
shalawat kepada Nabi Muhammad SAW., istighfar dan do’a.
Apabila sufi tersebut terus menerus melakukan zikir seperti ini,
maka sufi tersebut akan menyingkap rahasia ketuhanan. Sufi
tersebut akan menyaksikan rahasia alam malaikat, alam jin,
alam jiwa, bahkan akan dapat mendengar tasbih benda-benda
mati kepada Tuhan.68
Dalam tarekat Kubrawiyah, menurut Syaikh Najm al-Din
al-Kubra, ada dua jenis prinsip sebagai cara menuju Allah,
yakni prinsip lahiriah dan prinsip batiniah. Prinsip-prinsip
lahiriah berupa pengamalan aturan-aturan seperti memutuskan
diri dari belenggu kepemilikan materi dan menjauhkan diri
dari keterikatan duniawi, menyendiri dan menjauhkan diri dari
orang banyak, melindungi tujuh organ tubuh dari segala yang
dibenci Allah, melawan hasrat hawa nafsu dan keinginannya,
mencari seorang syaikh sempurna dan bijaksana, menyibukkan
diri dengan berbagai amalan seperti doa, zikir dan salat
sunnah, senantiasa berpuasa, menjaga kebersihan tubuh, selalu
bangun malam, dan berusaha keras memperoleh penghasilan
dan pendapatan yang halal. Selanjutnya, menurut Syaikh Najm
al-Din, prinsip-prinsip batiniah adalah berupa pengamalan
aturan seperti memelihara dan menjaga diri, ekspresi
kerendahhatian, kefakiran dan kehinaan di hadapan Allah,
taubat (taubah) dan menyesal (inabah) di hadapan-Nya baik
dalam keadaan sulit maupun senang, kepasrahan kepada
perintah-Nya, kerelaan (ridha) yaitu menerima ketentuan-Nya
tanpa mengemukakan pertanyaan sekalipun terasa pahit,
kesedihan permanen (huzn), berprasangka baik (husn al-zhan),
tidak menganggap diri tidak terjangkau oleh rencana-Nya,
cinta (mahabbah), dan menyerahkan diri kepada kehendak
(masyi‘ah) dan kebebasan (ikhtiyar) seseorang serta
86
memasrahkan diri kepada Allah.69 Menurut Syaikh Najm al-
Din, semua aturan ini akan mampu menyempurnakan lahiriah
dan batiniah seorang penempuh jalan spiritual dan
membawanya selalu dekat kepada Allah SWT.
Dalam tradisi Syi’ah, menurut Muthahhari, ‘irfan dibagi
menjadi dua yaitu ‘irfan teoritis dan ‘irfan praktis. Ajaran ‘irfan
didukung oleh referensi al-Qur`an, sunnah Nabi Muhammad
SAW. dan para Imam, serta praktik para sahabat yang utama.70
Pernyataan Imam sebagai referensi irfan menjadi pembeda an-
tara tasawuf dengan ‘irfan. ‘Irfan teoritis berusaha memahami
eksistensi. ‘Irfan teoritis berupaya mendefinisikan subjek, prin-
sip-prinsip dan problematika-problematika wujud. ‘Irfan be-
rusaha menafsirkan wujud, baik tuhan, alam maupun manusia.
‘Irfan teoritis mendasarkan deduksinya kepada prinsip-prinsip
yang ditemukan melalui pengalaman mistis, dan kemudian
diubah menjadi bahasa akal untuk menjelaskan pengalaman
mistis tersebut. Dalam konteks ini, ‘irfan tidak menggunakan
akal sebagai alat utama dalam meraih pengetahuan sejati. ‘Irfan
teoritis menggunakan hati, usaha rohani, penyucian, disiplin
diri dan dinamisme batin sebagai sarana utama mencapai inti
eksistensi yaitu Tuhan, dan terhubungkan dengan-Nya, bahkan
menyaksikan-Nya.71
Menurut Muthahhari, ‘irfan praktis ingin menguraikan
relasi dan tanggungjawab manusia kepada dirinya, alam dan
Allah SWT. Dari sini ‘irfan memiliki kesamaan arti dengan eti-
ka. Ajaran ‘irfan praktis disebut rencana perjalanan rohani (sayr
wa suluk). ‘Irfan praktis berbicara tentang sebuah titik keber-
angkatan, tempat tujuan, tahapan-tahapan, dan stasiun-stasiun
yang benar. Dalam konteks ini, ‘irfan praktis ingin memperoleh
tauhid sejati, yakni selain Allah tidak ada, dan untuk seorang
musafir rohani (disebut salik) diberi penjelasan tentang titik
awal keberangkatan, tahap-tahap yang dianjurkan, stasiun-
stasiun yang harus dilewati dan kondisi-kondisi yang akan di-
alami. Semua ini harus dilewati dengan bimbingan seorang
87
manusia sempurna (khidr). Tauhid sejati tersebut tidak di-
peroleh melalui metode rasional, karena ia merupakan upaya
hati dan dicapai melalui perjalanan, pembersihan dan pendi-
siplinan diri. ‘Irfan praktis berusaha mengubah manusia.72
Dalam konteks ini, mistisisme Syi‘ah banyak dipengaruhi oleh
metode Ibn ‘Arabi, Suhrawardi al-Maqtul dan Mulla Shadra.
Karenanya, metode tasawuf Syi’ah bisa dilihat dari
epistemologi ketiga sufi tersebut.
Sufi seperti Ibn Arabi hanya bertumpu kepada metode
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) semata, dan tidak bertumpu
kepada argumentasi dan demonstrasi rasional seperti kaum
Peripatetik.73 Ia melakukan perjalanan ruhani guna men-
dekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga mereka bisa menge-
tahui, bahkan sampai kepada hakikat.74 Ia menolak
penggunaan argumentasi rasional, sembari meyakini bahwa
kaki kaum rasionalis sebagai terbuat dari kayu rapuh.75
Menurutnya, pengetahuan sebagai hasil penyingkapan intuisi
lebih unggul daripada pengetahuan sebagai hasil olah akal, se-
hingga pengetahuan para sufi sebagai hasil dari penyingkapan
yang dicapai mereka lebih unggul dari pengetahuan filsuf se-
bagai hasil dari silogisme akal.76
Dalam kitab Hikmat al-Isyraq, Suhrawardi telah menjelas-
kan metode filsafat Illuminasi. Menurut Muthahhari, metode
filsafat Illuminasi hanya bertumpu kepada argumentasi rasion-
al, demonstrasi rasional, serta berjuang secara keras melawan
hawa nafsu dan menyucikan jiwa. Metode ini bertujuan untuk
menyingkap hakikat. Mazhab filsafat Illuminasi meyakini bah-
wa seorang sufi tidak akan bisa menyingkap hakikat, apabila
sufi tersebut hanya mengandalkan argumentasi rasional sema-
ta, tanpa upaya menyucikan jiwanya.77 Dalam konteks ini,
metode sufistik Suhrawardi al-Maqtul bisa dilacak dari metode
filsafat Illuminasi tersebut. Berikut ini adalah epistemologi fil-
safat Illuminasi.
88
Pertama. Seseorang harus menguasai filsafat diskursif
secara sempurna sampai ia bisa menjadi filsuf diskursif.
Suhrawardi menyatakan “jangan menguji karya ini kecuali oleh
ahlinya, yaitu orang-orang yang telah meneladani metode
kaum Peripatetik”.78
Kedua. Filsuf diskursif tersebut harus mulai melatih diri
secara spiritual dan melakukan kontemplasi.79 Filsuf tersebut
mesti melakukan sejumlah praktik-praktik esketik dan mistik
seperti dikatakan Suhrawardi “…hendaknya ia berkhalwat
selama empat puluh hari, meninggalkan makanan berdaging,
menyedikitkan makan, dan merenungkan cahaya Allah SWT.
dan apa yang diperintahkan oleh pemegang amanat wahyu
[Nabi Muhammad SAW.)”.80 Ia menambahkan “[filsuf tersebut
harus] mendekatkan diri kepada Allah SWT., terjaga di malam
hari, bersikap pasrah...memperhalus rahasia batin, ikhlas
menghadapi Cahaya Maha Cahaya...membiasakan jiwa
mengingat-Nya...melantunkan bacaan atas mushaf-mushaf
sebagaimana diwahyukan [kepada Nabi Muhammad SAW.]
dan segera kembali kepada Zat pemegang segala urusan,
kesemuanya adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi
seseorang”.81
Ketiga. Filsuf diskursif tersebut memasuki tahap Iluminasi,
yakni ketika ia memperoleh pancaran cahaya (al-Nur al-sanih)
dari Nur al-Anwar. Cahaya ini memberikan sang filsuf
pengetahuan sejati. Suhrawardi berkata “[jika telah dilakukan
semua itu] barangkali kelak akan muncul seberkas sinar dari
alam jabarut (alam cahaya), dan ia pun akan melihat alam
malakut (alam mitsal)”.82 Maksudnya, jiwa sang filsuf akan
memperoleh iluminasi dari cahaya tertinggi (yakni al-Nur al-
sanih),83 sehingga ia akan mampu melihat alam cahaya. Sinar
cahaya (al-Nur al-sanih) dari alam tertinggi ini adalah
pengetahuan, dan cahaya ini membawa pengetahuan sejati itu
menuju jiwa suci sang filsuf.84 Sang filsuf akan memperoleh
beraneka macam iluminasi cahaya.85 Karena ia memperoleh
89
iluminasi cahaya dari alam cahaya, sehingga ia mendapatkan
pengetahuan, sang filsuf pun akan memperoleh sejumlah
keutamaan seperti maqam kun, yakni kemampuan mewujudkan
ide-ide otonom (mutsul qayyimah)86 pengetahuan tentang hal-hal
gaib,87 kemampuan melihat alam cahaya,88 ketundukan alam
semesta,89 dan segala jiwa kepadanya.90 Demikianlah, sang
filsuf memperoleh iluminasi dari alam cahaya, sehingga ia
memperoleh pengetahuan dan keutamaan.
Keempat. Filsuf diskursif itu mengkonstruksi pengetahuan
perolehan dari cahaya Ilahi tersebut dengan menggunakan
analisis diskursif. Pengetahuan itu diuji oleh sang filsuf secara
demonstrasi. Ia berkata “ilmu-ilmu hakiki (al-‘ulum al-haqiqiyah)
tidak bisa dielakkan lagi (harus dibuktikan) dengan
menggunakan demonstrasi, yakni silogisme yang disusun dari
premis-premis meyakinkan [tidak diragukan kebenarannya]”.91
Sistem pembuktian Posterior Analytics Aristoteles harus
dijadikan sebagai sistem pembuktian bagi ilmu-ilmu hakiki itu.
Jadi, sang filsuf mesti membuktikan pengalaman intuitifnya
secara akliah.
Kelima. Filsuf tersebut mendokumentasikan hasil
konstruksi tersebut secara tulisan. Jadi, filsuf tersebut
memindahkan pengetahuan sejati itu setelah pengetahuan itu
diuji secara demonstrasi Aristotelian, dari pikirannya ke bahasa
tulisan. Suhrawardi sendiri telah melakukan hal ini. Setelah ia
melewati masa khalwat dan kontemplasi, ia memperoleh
pengalaman intuitif, lalu ia menguji pengalaman itu secara
diskursif, lantas menuliskannya, sehingga jadilah kitab Hikmat
al-Isyraq.92 Kendati Suhrawardi dikenal sebagai seorang filosof,
namun ia memadukan metode tasawuf dan filsafat dalam
meraih kebenaran. Metode tasawuf menurut tokoh ini bisa
dilihat pada poin kedua di atas.
Dapat dilihat bahwa metode filsafat Illuminasi Suhrawardi
memuat metode tasawuf. Agar bisa mendekatkan diri kepada
90
Allah, seorang sufi harus berkhalwat selama 40 hari,
meninggalkan makanan berdaging, menyedikitkan makan, dan
merenungkan cahaya Allah SWT. dan apa yang diperintahkan
oleh pemegang amanat wahyu (Nabi Muhammad SAW.),
mendekatkan diri kepada Allah SWT., terjaga di malam hari,
bersikap pasrah, memperhalus rahasia batin, ikhlas
menghadapi Cahaya Maha Cahaya, membiasakan jiwa
mengingat-Nya, melantunkan bacaan atas mushaf-mushaf
sebagaimana diwahyukan [kepada Nabi Muhammad SAW.]
dan segera kembali kepada Zat pemegang segala urusan. Akan
tetapi, metode ini adalah bagian awal dari metode filsafat
Illuminasi. Dalam filsafat Illuminasi, seorang sufi harus
menguasai filsafat diskursif terlebih dahulu, sebelum
melakukan praktik sufistik. Karena, sebuah pengalaman ruhani
harus bisa dibuktikan secara rasional.
Sementara itu, metode tasawuf Mulla Shadra bisa dilacak
dari epistemologi filsafat Hikmah Muta’aliyah. Filsafat hikmah
ini memiliki prinsip-prinsip khas, sebagai pembeda antara ali-
ran ini dengan pelbagai aliran lain seperti Peripatetisme, Illu-
minasionisme, Gnosis dan Kalam. Prinsip Hikmah Muta’aliyah
ini terlihat jelas dalam kata-kata Mulla Shadra sendiri “penge-
tahuan Hikmah Muta’aliyah haruslah didasarkan pada argumen-
tasi rasional dan pandangan rohani serta sesuai dengan
syari’at”. “adalah mustahil hukum-hukum syari’at yang benar
berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti (pengetahuan
intuitif), dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya
tidak selaras dengan al-Qur’an dan sunnah”.93 Berdasarkan
pernyataan Mulla Shadra tersebut, jelas bahwa Hikmah Mu-
ta’aliyah memiliki tiga prinsip yakni argumentasi demonstratif,
pembuktian intuitif, dan dukungan syari’at, baik al-Quran,
hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. maupun hadis-hadis
keduabelas Imam Syi’ah. Berdasarkan prinsip ini, maka ke-
bijaksanaan (wisdom) harus diperoleh lewat pencerahan spiritu-
al (zawq), disajikan secara deduktif-silogistik (burhan), dan
91
didukung oleh doktrin syari’at (wahy).94 Bagi aliran ini, sebuah
pengetahuan dikatakan sebagai pengetahuan hakiki, apabila
memenuhi ketiga prinsip ini.
Jadi, filsafat Hikmah Muta’aliyah berusaha mengkombinasi-
kan antara disiplin intelektual dengan pengalaman spiritual.95
Mulla Shadra menciptakan suatu harmonisasi sempurna antara
kutub rasionalisme dan persepsi mistik. Ia membuat sintesis
antara tiga jalan besar menuju kebenaran bagi manusia, yaitu
wahyu, akal dan intuisi, dan hasil sintesis ini dinamakan
Hikmah Muta’aliyah. Ia menyelaraskan secara utuh antara ar-
gumentasi rasional, kesadaran spiritual, dan wahyu.96
Secara khusus, menurut Hasan Bakti, aliran ini melakukan
tiga cara utama. Pertama, dimulai dari pengalaman rohani, lalu
digambarkan secara diskursif, dan kemudian dicari dukungan
syari’at. Metode ini seperti kata Mulla Shadra “kajian kami tid-
ak hanya didasari kepada mukasyafah dan zawqi…tanpa
didasarkan kepada dalil (hujjah) dan argumentasi (burhan) serta
tata aturan logika”. Kedua, dimulai dari kajian diskursif, lalu
dihayati dengan pengalaman rohani dalam bentuk mukasyafah
dan musyahadah, dan kemudian dicari dukungan syari’at.
Metode ini seperti dikatakan Mulla Shadra “kajian kami tidak
cukup didasarkan kepada…taklid dalam bidang syari’at, tanpa
didasarkan kepada dalil dan argumentasi serta tata aturan
logika.” Ketiga, dimulai dari pernyataan-pernyataan syari’at,
lalu dicari dukungan rasio, atau digambarkan secara diskursif,
kemudian dipertajam dengan pengalaman rohani. Metode ini
seperti dikatakan Mulla Shadra “kajian kami tidak hanya
didasarkan kepada mukasyafah dan zawqi, atau berpegang
kepada syari’at, tanpa didasarkan kepada dalil, argumentasi
dan tata aturan logika. Pembenaran hanya atas dasar mukasya-
fah tidaklah memadai tanpa didukung oleh argumentasi
(burhan), seperti halnya pembenaran argumentasi burhani tanpa
didukung mukasyafah, merupakan kekurangan yang sangat
tinggi.”97
92
Senada dengan uraian tersebut, Musa Kazhim menuliskan
bahwa ada beberapa langkah Mulla Shadra dalam merumus-
kan proyek filsafat hikmah. Pertama. Meletakkan sistem filsafat
hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri, sembari
menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self evi-
dent). Kedua. Menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis
untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip
swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut.
Ketiga. Menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang
bersumber kepada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah
mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Keempat. Me-
nyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah
dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan mem-
perluas bangunan filsafat hikmah. Kelima. Mengajukan metod-
ologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana
tersebut di atas secara teoritis dan praktis.98 Dari metode ini,
Mulla Shadra menghendaki bahwa kebenaran suatu ilmu harus
ditopang oleh syari’at, akal, dan intuisi. Dengan kata lain, ilmu
itu harus tidak bertentangan dengan ajaran syari’at, hukum
akal, dan pengalaman ruhani. Atau, sebuah ilmu harus sesuai
dengan ajaran Islam, bisa dirasionalkan, dan tidak berten-
tangan dengan pengalaman spiritual.
Melalui Hikmah Muta’aliyah, Mulla Shadra berusaha men-
jelaskan filsafat, sebagai pelajaran penalaran, secara sistematis
seperti kaum ‘arif menjelaskan masalah perjalanan ruhani
(hati). Kaum ‘arif meyakini bahwa seorang penempuh jalan
spiritual (salik) harus menempuh empat perjalanan ruhani. Per-
tama. Perjalanan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq
ila al-Haq). Pada tahap ini, salik berusaha keras melewati
(meninggalkan) alam realitas (fisik) dan sebagian alam meta-
fisika, sehingga salik mampu menemui al-Haq dan tidak ada lagi
tirai pembatas antara keduanya, salik dan al-Haq. Kedua. Perjal-
anan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada
tahap ini, salik mengadakan perjalanan dalam berbagai kesem-
93
purnaan dan sifat-sifat-Nya atas bantuan-Nya. Ketiga. Perjalan-
an dari al-Haq menujuk makhluk dengan al-Haq (sayr min al-Haq
ila a-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, salik kembali memasuki
komunitas masyarakat, tanpa meninggalkan al-Haq. Pada tahap
ini, salik menyaksikan eksistensi al-Haq pada segala sesuatu
bahkan bersama sesuatu. Keempat. Perjalanan dalam makhluk
dengan al-Haq (sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, salik be-
rusaha member petunjuk kepada masyarakat serta membimb-
ing mereka kepada al-Haq.99
Berdasarkan empat perjalanan ruhani itu, Mulla Shadra te-
lah menyusun berbagai masalah filsafatnya yang bersifat men-
tal (akliah) menjadi empat bentuk perjalanan. Pertama. Perjal-
anan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq).
Pada tahap ini, Shadra membahas dasar dan landasan tauhid.
Dalam tahap ini, topik-topik umum filsafat (metafisika umum)
dibahas secara rinci. Pembahasan ini disebut sebagai kajian on-
tologi. Pada hakikatnya, pembahasan ini mengindikasikan per-
jalanan pemikiran seorang filsuf dari makhluk menuju al-Haq.
Kedua. Perjalanan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi
al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas masalah tauhid dan
pengenalan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dalam tahap ini, fil-
safat alam (kosmologi) dibahas secara rinci. Karenanya, pem-
bahasan ini disebut sebagai kajian kosmologi (natural philoso-
phy). Ketiga. Perjalanan dari al-Haq menuju makhluk dengan al-
Haq (sayr min al-Haq ila al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Shadra
membahas masalah berbagai perbuatan Allah dan berbagai hi-
erarki alam eksistensi. Tahap ini disebut juga sebagai pembaha-
san teologi. Keempat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-Haq
(sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas ma-
salah jiwa dan tempat kembali jiwa. Dalam tahap ini, konsep
psikologi/antropologi dan eskatologi dibahas secara rinci.100
Lewat empat bentuk perjalanan ini, sebenarnya Shadra juga
mengajarkan metode mendekatkan diri kepada Allah SWT.
94
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, Mulla
Shadra mengajarkan bahwa seorang sufi tidak saja dituntut
menguasai pengetahuan syariat semata, tetapi juga filsafat dan
tasawuf. Sebelum melakukan praktik spiritual, seorang sufi
harus menguasai pengetahuan syariat, filsafat dan tasawuf
sekaligus. Dalam implementasi metode tasawuf, ia melakukan
pengasingan diri (khalwat/uzlah).101 Para ahli berbeda pendapat
tentang berapa lama Shadra mengasingkan diri. Satu pendapat
menyatakan bahwa ia berkhalwat selama 15 tahun. Pendapat
lain pernah menyatakan bahwa ia berkhalwat selama 11 tahun,
dan pendapat lain adalah selama 7 tahun.102 Dalam periode
pengasingan ini, ia melaksanakan mujahadah dan riyadhah. Ia
melaksanakan segala bentuk ibadah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, dan merenungkan berbagai masalah
wujud, Tuhan, dan alam secara intuitif, lebih daripada
menggunakan penalaran logika.103 Karena metode inilah,
Shadra berhasil menempuh empat perjalanan ruhani tersebut.
Selain itu, menurut ‘Abd al-Halim Mahmud, praktik
tasawuf akan bisa dilakukan secara benar bila melalui
perantaraan seorang syaikh (guru). Tasawuf tidak bisa
dipelajari lewat buku, karena tasawuf bukan amalan ilmiah dan
pembahasan teoritis. Karya-karya tasawuf hanyalah berfungsi
sebagai pendorong yang bisa memberi kekuatan bagi calon
sufi. Dengan membaca karya-karya tasawuf, seseorang bisa
terbantu untuk memahami ajaran tasawuf.104
Menurut ‘Abd al-Halim al-Mahmud, ketika seorang sufi te-
lah berhasil menempuh perjalanan spiritual tersebut, niscaya
sufi tersebut akan mencapai maqam kewalian. Terkadang,
seorang wali akan tetap menjadi wali, dan terkadang Allah
memilihnya menunaikan suatu tugas, sehingga ia diangkat
menjadi Nabi/Rasul. Karena itu, kenabian lebih tinggi dari
kewalian.105
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jailani berkata:
95
Dalam pendidikan tasawuf, tidak dapat tidak, harus ada
seorang penghubung antara orang yang sedang belajar
dengan Allah SWT. Karenanya, seorang pemula harus
mendapat bimbingan intensif dari seorang penghubung
antara dirinya dengan Allah, yakni seorang wali yang ber-
fungsi sebagai Nabi Muhammad SAW. yang menghub-
ungkan orang dengan Allah SWT.106
D. Maqamat
Dalam tradisi tasawuf, maqamat mendapatkan perhatian
khusus dari para sufi. Semua sufi, apapun aliran tasawufnya,
sepakat bahwa tasawuf menjadi disiplin ilmu yang berguna
sebagai sarana penyucian jiwa dan hati manusia, sehingga ke-
lak menusia tersebut akan mampu dekat dengan Allah SWT.
Sebagai cara untuk dekat kepada Allah SWT., para sufi meru-
muskan tangga-tangga pendakian spiritual seorang sufi, yang
disebut maqamat.
Para ahli telah mendefinisikan pengertian maqamat. Abi
Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi menjelaskan
bahwa maqamat adalah tingkatan antara seorang hamba dengan
Allah SWT. yang diperoleh dari ‘ibadah, mujahadah, dan riyadah
hingga dekat dengan-Nya.107 Al-Qusyairi menuliskan bahwa
maqamat adalah suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan
diwujudkan oleh seorang pesuluk dengan melalui beberapa
tingkatan mujahadah secara gradual, dari suatu tingkatan per-
ilaku batin menuju pencapaian tingkatan maqam berikutnya
dengan sebentuk amalan tertentu; sebuah pencapaian kese-
jatian hidup dengan pencarian yang tidak kenal lelah, beratnya
syarat, dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk
memperolehnya, seorang sufi akan selalu sibuk dengan
berbagai riyadhah.108 Harun Nasution mendefinisikan maqamat
sebagai jalan panjang seorang sufi menuju Tuhan.109 Menurut
Asmaran bahwa maqamat adalah tingkatan spiritual yang telah
96
dicapai oleh seorang sufi.110 Abudinnata mendefinisikan
maqamat sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah SWT.111 Mu-
hammad Solihin dan Rosihon Anwar menjelaskan bahwa
maqamat adalah tingkatan seorang hamba di hadapan-Nya da-
lam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa.112 Dengan demikian,
maqamat adalah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, dari
tingkatan paling mendasar sampai tingkatan paling tinggi, yai-
tu dekat dengan Allah SWT., yang diperoleh melalui ibadah
dan latihan-latihan jiwa tertentu.
Tasawuf tidak saja dikembangkan oleh sufi dari kalangan
Sunni, tetapi juga oleh kalangan Syi‘ah. Dari kalangan Sunni,
Abi Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi (w. 988 M),
misalnya, menyebutkan bahwa tingkatan maqamat adalah tau-
bat (at-taubah), wara‘, zuhud (az-zuhd), kefakiran (al-faqr), sabar
(az-shabr), tawakkal (at-tawakkul), kerelaan (ar-ridha).113 Al-
Kalabazi (w. 995 M) menulis bahwa tingkatan maqamat adalah
taubat (at-taubah), zuhud (az-zuhd), sabar (ash-shabr), kefakiran
(al-faqr), rendah hati (tawadhu‘), tawakkal (at-tawakkul) dan kere-
laan (ar-ridha).114 Al-Qusyairi (w. 1073 M) menyebutkan bahwa
tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), wara‘, zuhud (az-
zuhd), tawakkal (at-tawakkul), sabar (ash-shabr) dan kerelaan (ar-
ridha).115 Al-Gazali (w. 1111 M) menyebutkan bahwa tingkatan
maqamat adalah taubat (at-taubah), sabar (ash-shabr), kefakiran
(al-faqr), zuhud (az-zuhd), tawakkal (at-tawakkul), cinta (al-
mahabbah), ma‘rifah (pengetahuan), dan kerelaan (ar-ridha).116
Tiap-tiap maqam ini akan diperoleh seorang sufi secara mandiri,
bukan pemberian gratis dari Tuhan.
Dari kalangan Syi‘ah, Nashr ad-Din ath-Thusi (w. 1274 M)
menyebutkan bahwa maqamat dibagi menjadi enam bagian.
Pertama, tahapan awal suluk dan syarat-syaratnya yaitu dimu-
lai dari iman, keteguhan (at-taubah), niat (an-niah), kejujuran
(ash-shiddiq), penyesalan (al-inabah) dan ketulusan (al-ikhlash).
Kedua, rintangan dan hambatan pada jalan suluk yaitu dimulai
97
dari taubat, zuhud, kemiskinan (faqir), kedisiplinan diri (ri-
yadhah), perhitungan (muhasabah) dan kehati-hatian (muraqabah),
dan takwa (taqwa). Ketiga, pencarian kesempurnaan dan
maqamat para ahli suluk, yaitu dimulai dari pengasingan diri
(khalwah), berpikir/merenung (tafakkur), takut (khauf) dan duka
cita (huzn), harap (raja‘), sabar (shabr) dan berterima kasih
(syukr). Keempat, maqamat sebelum puncak hakikat, yaitu dim-
ulai dari keinginan (iradah), kerinduan (syauq), kecintaan (ma-
habbah), pengetahuan (ma‘rifah), keyakinan (yaqin), dan ke-
tentraman (sukn). Kelima, maqamat puncak hakikat yaitu dimu-
lai dari pasrah (tawakkul), kepuasan (ridha), ketaatan (taslim),
keesaan Allah (tauhid), penyatuan (ittihad), kesatuan (wahdah),
dan fana` sebagai maqam tertinggi.117
Berdasarkan keterangan para sufi terkemuka di atas, baik
dari kalangan Sunni maupun Syi‘ah, bisa disimpulkan bahwa
tidak ada kesepakatan tentang urutan, jumlah dan akhir dari
sebuah tingkatan spiritual (maqamat). Kesepakatan hanya ter-
letak bahwa sebelum seorang pesuluk hendak mendekatkan
diri kepada Allah SWT., maka pesuluk tersebut harus
menempuh maqam taubat (at-taubah). Bagi kalangan Sunni, sep-
erti terlihat dalam konsep maqamat menurut al-Kalabazi, al-
Gazali, al-Qusyairi, dan Abi Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali al-Sarraj
ath-Thusi, kerelaan (ar-ridha) adalah maqam tertinggi. Akan
tetapi, bagi kalangan Syi‘ah, seperti terlihat dalam pandangan
Nashr ad-Din ath-Thusi, fana` adalah maqam tertinggi.
Sejumlah sufi dari aliran tasawuf falsafi memiliki pan-
dangan lain tentang maqam tertinggi. Abu Yazid al-Busthami
(w. 947 M), misalnya, meyakini bahwa fana`, baqa` dan ittihad
sebagai maqam tertinggi. Dzun Nun al-Mishri (w. 860 M) meya-
kini ma‘rifah sebagai maqam tertinggi.118 Menurut al-Hallaj,
maqam tertinggi (w. 922 M) adalah hulul.119 Akan tetapi,
menurut Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) bahwa maqam tertinggi yang
bisa dicapai seorang sufi adalah wahdah al-wujud.120 Pendapat
seperti ini didukung oleh para sufi dari kalangan Syi‘ah Itsna
98
‘Asyariyah, sebab ajaran tasawuf falsafi, misalnya ajaran Ibn
‘Arabi, dikembangkan secara gencar oleh para sufi beraliran
Syi‘ah di Iran sejak era kekuasaan Dinasti Safawi, Dinasti Qajar,
dan Republik Islam Iran.
Konsep Syi‘ah tentang maqam tertinggi ini bisa dipahami
pula dari ajaran Mulla Sadra (w. 1640 M), seorang sufi Syi‘ah
paling berpengaruh era dinasti Safawi, bahkan sampai era Re-
publik Islam Iran. Menurut Mulla Sadra, kaum sufi meyakini
bahwa seorang penempuh jalan spiritual (salik) harus
menempuh empat perjalanan ruhani. Pertama. Perjalanan dari
makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq). Pada tahap
ini, salik berusaha keras melewati (meninggalkan) alam realitas
(fisik) dan sebagian alam metafisika, sehingga salik mampu
menemui al-Haq dan tidak ada lagi tirai pembatas antara
keduanya, salik dan al-Haq. Kedua. Perjalanan dengan al-Haq
dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada tahap ini, salik men-
gadakan perjalanan dalam berbagai kesempurnaan dan sifat-
sifat-Nya atas bantuan-Nya. Ketiga. Perjalanan dari al-Haq
menujuk makhluk dengan al-Haq (sayr min al-Haq ila a-khalq bi
al-Haq). Pada tahap ini, salik kembali memasuki komunitas
masyarakat, tanpa meninggalkan al-Haq. Pada tahap ini, salik
menyaksikan eksistensi al-Haq pada segala sesuatu bahkan ber-
sama sesuatu. Keempat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-
Haq (sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, salik berusaha
memberi petunjuk kepada masyarakat serta membimbing
mereka kepada al-Haq.121
Berdasarkan empat perjalanan ruhani itu, Mulla Sadra me-
nyusun berbagai masalah filsafat menjadi empat bentuk perjal-
anan. Pertama. Perjalanan dari makhluk menuju Allah (sayr min
al-khalq ila al-Haq). Pada tahap ini, Sadra membahas dasar dan
landasan tauhid. Dalam tahap ini, topik-topik umum filsafat
(metafisika umum) dibahas secara rinci. Pembahasan ini dise-
but ontologi. Pembahasan ini mengindikasikan perjalanan
pemikiran seorang filosof dari makhluk menuju al-Haq. Kedua.
99
Perjalanan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq).
Pada tahap ini, Sadra membahas masalah tauhid dan
pengenalan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dalam tahap ini, fil-
safat alam (kosmologi) dibahas secara rinci. Karenanya, pem-
bahasan ini disebut kosmologi (natural philosophy). Ketiga. Per-
jalanan dari al-Haq menuju makhluk dengan al-Haq (sayr min al-
Haq ila al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Sadra membahas ma-
salah berbagai perbuatan Allah dan berbagai hierarki alam ek-
sistensi. Tahap ini disebut sebagai pembahasan teologi. Keem-
pat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-Haq (sayr fi al-khalq bi
al-Haq). Pada tahap ini, Sadra membahas masalah jiwa dan
tempat kembali jiwa. Dalam tahap ini, konsep psikolo-
gi/antropologi dan eskatologi dibahas secara rinci.122 Dari kon-
sep ini bisa dipahami bahwa maqam tertinggi menurut para sufi
Syi‘ah era Modern adalah sayr fi al-khalq bi al-Haq, sebuah
maqam yang lebih tinggi dari wahdah al-wujud versi Ibn ‘Arabi.
Dewasa ini, para ulama Syi‘ah Iran sangat mengagumi dan
mengikuti ajaran Mulla Sadra, dan bahkan sejumlah lembaga
pendidikan Islam Iran memasukkan filsafat Mulla Sadra dalam
kurikulumnya.
Berikut ini akan disebutkan beberapa pendapat sufi tentang
hakikat maqamat. Pertama. Taubat (at-taubah). Para sufi sepakat
bahwa taubat adalah jalan pertama menuju Allah. Ada bebera-
pa pengertian taubat. Bagi para sufi, taubat diartikan sebagai
lupa kepada segala hal, kecuali Allah.123 Junaid al-Bagdadi
mengatakan bahwa taubat adalah penyesalan, tekad mening-
galkan apa yang dilarang Allah, dan berusaha memenuhi hak-
hak orang yang pernah dianiayanya.124 Ath-Thusi mengatakan
bahwa taubat adalah menghindarkan diri dari dosa.125 Menurut
al-Qusyairi, taubat adalah kembali dari sesuatu yang dicela da-
lam syari`at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari`at.126 ‘Abd
al-Halim Mahmud mengatakan bahwa tobat adalah me-
nyucikan diri dari maksiat dan menghapus kesalahan sebe-
lumnya.127
100
Kedua. Wara‘. Menurut kaum sufi, wara` diartikan sebagai
menjauhi hal-hal yang tidak baik, atau meninggalkan segala
yang di dalamnya terhadap syubhat tentang halalnya sesua-
tu.128 Menurut Ibrahim ibn Adam, wara‘ adalah meninggalkan
hal-hal yang syubhat dan yang tidak pasti, yakni meninggalkan
hal-hal yang tidak pasti. Asy-Syibli menyatakan bahwa wara‘
adalah upaya menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak
berkaitan dengan Allah SWT.129 ‘Abd al-Halim Mahmud
mengatakan bahwa wara` adalah keluar dari segala hal yang
syubhat dan meninggalkan segala yang yang syubhat.130
Ketiga. Qana‘ah. Menurut kaum sufi, seperti diungkap al-
Qusyairi, qana‘ah adalah sikap tenang karena tidak ada sesuatu
yang dibiasakan. Menurut Muhammad ibn ‘Ali at-Turmudzi,
qana‘ah adalah jiwa yang rela terhadap pembagian rezeki yang
telah ditentukan. Sufi lain berpendapat bahwa qana‘ah adalah
menganggap cukup dengan sesuatu yang ada dan tidak
berkeinginan terhadap sesuatu itu yang tidak ada hasilnya.131
Kedua konsep ini sangat tidak asing dalam ajaran Islam, karena
selain Alquran, hadis sangat menganjurkan kedua sikap ini.
Keempat. Zuhud (az-zuhd). Bagi sufi, zuhud dimaknai se-
bagai keadaan meninggalkan dunia dan hidup keduniaan.132
Al-Qusyairi mengemukakan banyak pandangan para sufi ten-
tang zuhud. Ada pendapat menyatakan bahwa zuhud adalah
meninggalkan yang haram, karena yang halal dibolehkan oleh
Allah. Pendapat lain menyatakan bahwa zuhud adalah
meninggalkan yang haram adalah wajib, dan meninggalkan
yang halal adalah keutamaan. Abu ‘Ali ad-Daqaq mengatakan
bahwa zuhud adalah sikap anti kemewahan dunia, tidak
berkeinginan membangun pondok dan mesjid. Ibn Jalla`
mengatakan bahwa zuhud adalah memandang kehidupan
dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak mempunyai
arti dalam pandangan. Ibn Khafif menyatakan bahwa zuhud
adalah hati merasa terhibur meninggalkan berbagai bentuk ke-
hidupan dan menghindarkan diri dari harta. Nashr ‘Adadzi
101
menyatakan zuhud adalah mengisolir diri dari dunia. Abu
Sulaiman ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan berbagai ak-
tifitas yang mengakibatkan jauh dari Allah SWT. sedangkan
Ruwaim mengatakan bahwa zuhud adalah memperkecil ke-
hidupan dunia dan menghilangkan berbagai pengaruh yang
ada di dalam hati.133 Ath-Thusi mengatakan bahwa zuhud ada-
lah tidak adanya hasrat atau tidak memiliki keinginan terhadap
hal-hal duniawi.134 ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa
zuhud adalah meninggalkan apa yang dicintai jiwanya dan
meninggalkan dunia.135
Kelima. Kefakiran (al-faqr). Bagi para sufi, fakir diartikan se-
bagai tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri
kita, atau tidak meminta rezeki, kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajibannya, dan/atau tidak meminta, namun
jika diberi ia menerima.136 Ath-Thusi mengatakan bahwa fakir
adalah seseorang yang tidak memiliki kecintaan terhadap
kekayaan dan hal-hal duniawi, dan jika sekiranya dia memiliki
semua hal tersebut, dia tidak berkeinginan untuk menyimpan
dan mengumpulkannya.137 Al-Qusyairi menyebut sejumlah
pendapat sufi tentang fakir. Yahya ibn Mu‘az menyatakan
bahwa fakir adalah hendaknya seseorang tidak merasa cukup
kecuali dengan Allah. Asy-Syibli menyatakan bahwa hakikat
fakir adalah hendaknya jangan merasa cukup dengan sesuatu
selain Allah. Menurut Abu al-Qasim, fakir adalah tidak adanya
tuntutan kepada Allah, tidak mengajukan pilihan, dan bahkan
puas sekaligus rela dengan ketentuan Allah. Abu Bakar ibn
Thahir menyatakan bahwa fakir adalah tidak memiliki keingi-
nan. Jika harus memiliki keinginan, ia tidak melampaui batas
keinginannya, kecuali secukupnya.138
Keenam. Sabar (ash-shabr). Para sufi memaknai sabar sebagai
menunggu datangnya pertolongan Allah. Menurut kaum sufi,
sabar terdiri atas sejumlah hal yaitu sabar dalam menjalankan
perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar
dalam menerima segala cobaan dari-Nya.139 Ath-Thusi menga-
102
takan bahwa sabar adalah mencegah jiwa dari perasaan was-
was ketika terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan,
melindungi diri dari pergolakan, mencegah lidah dari keluhan,
serta menjaga anggota tubuh agar tidak melakukan perbuatan
yang merugikan.140 ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bah-
wa sabar dibagi menjadi dua yaitu sabar lahir dan sabar batin.
Sabar lahir adalah sabar dalam menjalankan perintah Allah,
sabar dalam menjauhi segala larangan-Nya, dan sabar dalam
melaksanakan hal-hal yang sunnah. Sedangkan sabar batin
adalah sabar dalam menerima kebenaran dari siapa saja yang
membawa kebenaran itu.141
Beberapa sufi terdahulu telah mendefinisikan makna sabar
ini. Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa sabar adalah men-
jauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika mene-
lan pahitnya cobaan, dan menampakkan sikap kaya dengan
menyembunyikan kefakiran di dalam kehidupan. Ibn ‘Atha`
menyatakan bahwa sabar adalah tetap berperilaku baik ketika
ditimpa oleh cobaan. ‘Amr ibn ‘Utsman menyatakan bahwa
sabar adalah tetap bersama Allah SWT. dan menerima cobaan-
Nya dengan lapang dada dan senang hati.142
Ketujuh. Berterima kasih (asy-syukur). Asy-Syibli menya-
takan bahwa syukur adalah memperhatikan Allah sebagai
pihak yang memberikan kenikmatan, bukan kepada kenik-
matan-Nya. Bagi al-Qusyairi, syukur adalah memuji Allah
dengan mengingat kepada-Nya. Abu Bakar al-Warraq menya-
takan bahwa syukur adalah memperhatikan pemberian Allah
dan menjaga kehormatan.143 Menurut ath-Thusi syukur terdiri
atas tiga hal yaitu pengetahuan tentang kemurahhatian Allah
yang terbentang dari puncak ufuk sampai jiwa; perasaan se-
nang dalam memperoleh kemurahan tersebut; dan melakukan
sesuatu upaya sejauh kemampuan untuk menyenangkan-
Nya.144 Menurut ‘Abd al-Halim Mahmud, syukur ada tiga yaitu
syukur hati yaitu mengetahui bahwa nikmat itu hanya dari Al-
lah dan tidak lain dari-Nya; syukur lisan yaitu memuji dan
103
menyanjung-Nya, menyebarkan nikmat-Nya, dan menyebut
kebaikan-Nya; dan syukur badan yaitu tidak menggunakan
jasmani dalam maksiat dan mentaati Allah dengan jasmani ter-
sebut.145
Kedelapan. Tawakkal (at-tawakkul). Bagi para sufi, tawakkal
adalah menyerah kepada qadha` dan putusan dari Allah;
percaya kepada janji Allah; selamanya dalam keadaan tenteram
jika mendapat pemberian maka ia berterima kasih, jika tidak
mendapat apa-apa bersikap sabar, dan menyerah kepada qadha
dan qadar-Nya.146 Ath-Thusi mengatakan bahwa tawakkal ada-
lah mempercayakan semua urusan kepada Allah.147 ‘Abd al-
Halim Mahmud mengatakan bahwa tawakkal adalah mem-
benarkan Allah dan bersandar kepada-Nya dalam segala ke-
jadian, dan keluarnya kebimbangan dari hati tentang urusan
dunia dan rezeki.148 Al-Qusyairi menulis sejumlah pendapat
sufi tentang makna tawakkal. Menurutnya, Hamdun al-
Qashshar mengatakan bahwa tawakkal adalah berpegang
teguh kepada Allah. Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa
tawakkal adalah meninggalkan hal-hal yang diatur oleh nafsu
dan melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Sahl ibn
‘Abd Allah mengatakan bahwa tawakkal adalah melepaskan
segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepa-
da Allah SWT. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan
bahwa tawakkal adalah melepaskan anggota tubuh dalam
penghambaan, menggantungkan hati dengan ketuhanan dan
bersikap merasa cukup.149
Kesembilan. Rendah hati (at-tawadhu‘). Al-Qusyairi telah me-
nyebut beberapa makna dari rendah hati (at-tawadhu‘). Menurut
Fu«ail ibn ‘Iya« bahwa at-tawadhu‘ adalah rendah diri untuk
kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan meneri-
ma kebenaran dari orang lain. Junaid al-Bagdadi menyatakan
bahwa at-tawadhu‘ adalah merendahkan lambung kepada orang
lain dan lemah lembut kepada mereka. Ibn ‘Atha` menyatakan
104
bahwa at-tawadhu‘ adalah menerima kebenaran dari orang
lain.150
Kesepuluh. Cinta (mahabbah). Menurut sejumlah sufi, cinta
bermakna memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci
sikap melawan kepada-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada
yang dikasihi, dan mengosongkan hati dari segala hal kecuali
dari diri yang dikasihi.151 Al-Qusyairi telah menyebut beberapa
pendapat sufi tentang hakikat cinta. Menurut Husain ibn al-
Manshur bahwa hakikat cinta itu adalah jika kamu berdiri ber-
sama kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu. Mu-
hammad ibn ‘Ali al-Kattani menyatakan bahwa cinta harus
lebih mengutamakan yang dicintai. Asy-Syibli menyatakan
bahwa cinta adalah menghapus hati dari ingatan semua selain
yang dicintainya. Junaid al-Bagdadi mengatakan bahwa cinta
adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang
mencintainya. Menurut al-Qusyairi, cinta dimaksud adalah cin-
ta kepada Allah SWT.152 Ath-Thusi mengatakan bahwa cinta
adalah kepatuhan penuh ketika seorang sufi sudah mengetahui
Sang Kekasih sebagai Penguasa Mutlak dan Dia-lah Pemegang
Kekuasaan itu sepenuhnya.153 ‘Abd al-Halim Mahmud menga-
takan bahwa cinta adalah menyebut Allah dengan hati dan
lidahnya yang dijadikan sebagai kewajiban pada dirinya, takut
akan kealpaan, dan beristighfar darinya, dan menggunakan
jasmani hanya untuk mengabdi kepada yang dicintainya.
Tanda cinta adalah menyesuaikan diri kepada yang dicintai,
mengikuti cara-caranya dalam segala urusan, dan dekat kepa-
da-Nya dalam segala urusan.154
Kesebelas. Kerelaan (ar-ridha). Bagi kalangan sufi, kerelaan
(ar-ridha) adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah,
menerima qadha dan qadar Allah dengan senang hati, merasa
senang menerima cobaan seperti senang dalam menerima nik-
mat.155 Menurut Dzun Nun al-Mishri, bahwa kerelaan adalah
meninggalkan usaha sebelum keputusan, menghilangkan
kepahitan sebelum keputusan, dan apabila mendapat cobaan,
105
ia tetap cinta. Rabi‘ah al-Adawiyah mengatakan bahwa kere-
laan adalah senang mendapat musibah seperti senang ketika
mendapat nikmat. Menurut Ruwaim, kerelaan adalah meneri-
ma hukum dengan senang hati. Harits al-Muhasibi mengatakan
bahwa kerelaan adalah tenangnya hati di bawah tempat-tempat
berlakunya hukum. Sedangkan menurut an-Nuri, kerelaan ada-
lah senangnya hati karena menerima pahitnya keputusan.156
Ath-Thusi mengatakan bahwa kerelaan adalah kepuasan, atau
tidak ada rasa kecewa baik lahir maupun batin di dalam hati,
perkataan atau pun perbuatan.157 ‘Abd al-Halim Mahmud
mengatakan bahwa kerelaan adalah menerima musibah dengan
segala kesenangan dan kegembiraan.158
Keduabelas. Ma‘rifah. Menurut para sufi, ma’rifah adalah
mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat
melihat Tuhan.159 Menurut al-Hujwiri, ma’rifah adalah ke-
hidupan hati lewat Tuhan dan berpalingnya manusia dari
semua yang bukan Tuhan.160 Menurut al-Thusi, ma’rifah adalah
derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah.161 Menurut al-
Qusyairi, ma’rifah menurut pada sufi adalah pengosongan diri
untuk selalu mengingat Allah, tidak menyaksikan selain-Nya
dan tidak kembali selain-Nya. Menurut Dzun Nun al-Mishri,
seorang ahli ma’rifat berakhlak dengan akhlak Allah. Husain
Manshur al-Hallaj berkata “jika seorang hamba telah sampai
kepada ma’rifah Allah, maka Allah akan membisikkan kepa-
danya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata
hati yang tidak benar. Tanda seorang ahli ma’rifat adalah jika
seseorang telah kosong dari dunia dan akhirat.” Al-Syibli ber-
kata “seorang ahli ma’rifat tidak memperhatikan kepada selain
Allah, tidak berbicara selain Allah dan selalu menjaga dirinya
dari selain Allah.” Abu Yadzid al-Busthami berkata “seorang
ahli ma’rifat adalah ketika tidur ia tidak melihat selain Allah.
Ketika terjaga, ia tidak melihat selain Allah. Ia tidak beribadah
selain kepada Allah, dan tidak melihat kecuali kepada Allah.162
Menurut al-Kalabadzi, ma’rifat adalah hati menyaksikan
106
kekuasaan Tuhan dan merasakan besarnya kebenaran-Nya,
dan mulianya kehebatan-Nya, yang tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata.” Menurut al-Kalabadzi, ahli ma’rifat telah
berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya kepada Tuhan
dan ma’rifatnya merupakan suatu perwujudan apa yang telah
diberikan oleh Tuhan kepadanya. Karena itu, ia sungguh-
sungguh berpaling dari segala sesuatu demi Tuhan. Mengutip
pendapat seorang sufi, al-Kalabadzi mengatakan bahwa
ma’rifat terdiri atas dua jenis, pertama. Ma’rifat kebenaran yaitu
penegasan keesaan Tuhan atas sifat-sifat yang dikemukakan-
Nya. Kedua. Ma’rifat hakikat yaitu ma’rifat yang tidak bias di-
capai oleh alat apa pun, disebabkan oleh sifat Tuhan yang tidak
dapat ditembus dan kebenaran ketuhanan-Nya mustahil dipa-
hami.163 Sufi lain berkata “ma’rifah mengambil bentuk pan-
dangan rendah terhadap semua nilai kecuali nilai-nilai Tuhan,
dan tidak melihat nilai lain selain Tuhan.”164
Ketigabelas. Fana`, Baqa` dan Ittihad. Fana` adalah penghan-
curan diri yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang
adanya tubuh kasar manusia. Baqa` adalah kesadaran bahwa
wujud jasmani telah tiada dan yang ada adalah wujud ro-
haninya.165 Menurut al-Qusyairi, ketika seorang sufi mengalami
fana` dari dirinya, lalu ke-baqa`-an sifat-sifatnya mengada
dengan sifat-sifat al-Haq, lalu muncul kesaksiannya bersama
penampakan al-Haq, kemudian timbul fana` berikutnya dari
kesaksian ke-fana-annya bersama kehancuran dirinya dalam
wujud al-Haq. Menurutnya, jika dikatakan bahwa seseorang
fana` dari dirinya dan keseluruhan makhluk, maka sebenarnya
dirinya dan seluruh makhluk itu masih ada. Akan tetapi, orang
yang mengalami hal seperti itu tidak memiliki pengetahuan,
perasaan, dan kabar tentang dirinya dan semua makhluk.166
Menurut al-Kalabadzi, fana` adalah suatu keadaan para sufi
yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga
sufi tersebut tidak mengalami perasaan apa-apa, dan ke-
hilangan kemampuan membedakan. Artinya, sufi tersebut telah
107
luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesua-
tu yang menyebabkan ia luruh. Sedangkan baqa’ adalah para
sufi meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, dan
tetap tinggal dikarenakan sesuatu yang menjadi milik Tuhan.167
Sedangkan ittihad adalah bersatu dengan Allah, atau suatu
tingkatan di mana antara yang mencintai dan yang dicintai te-
lah menjadi satu.168 Menurut al-Kalabadzi, ittihad adalah pem-
isahan dari segala sesuatu yang selain Allah, dalam hati tidak
melihat dalam arti memuja apa-apa kecuali Tuhan, dan tidak
mendengar apa-apa kecuali firman tuhan. Al-Kalabadzi men-
gutip pendapat ibn ‘Umar mengatakan bahwa ittihad adalah
pemujaan kepada tuhan telah mengacaukan pemujaan kepada
selain-Nya. Ittihad dimaknai pula sebagai ketika seorang hamba
tidak bersaksi atas apapun kecuali penciptanya (yaitu Allah
SWT.).169 Menurut ath-Thusi, ittihad adalah melihat segala
sesuatu sebagai wujud Allah, tanpa harus dipaksa untuk
mengatakan bahwa segala sesuatu selain-Nya berasal dari-Nya,
sehingga semuanya adalah satu. Ittihad bisa diartikan juga se-
bagai cahaya manifestasi Allah telah memancar ke dalam
penglihatan manusia, sehingga dia tidak akan melihat lagi
sesuatu selain Allah semata.170
E. Ahwal
Abi Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi men-
jelaskan bahwa ahwal adalah keadaan (kondisi) hati.171 Al-
Qusyairi menuliskan bahwa ahwal adalah makna, nilai atau ra-
sa yang hadir dalam hati secara otomatis, tanpa unsur
kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan. Keadaan-keadaan
tersebut adalah pemberian. Keadaan tersebut ibarat kilat, se-
buah rasa, nilai atau getaran yang menguasai hati, kemudian
hilang.172 Menurut ‘Abd al-Halim Mahmud, ahwal adalah angin
rohani yang bertiup dengan lembut di atas orang yang
menempuh jalan, yang sekejap saja menyegarkan jiwa sang
108
pelaku jalan spiritual, kemudian berlalu dengan meninggalkan
wewangian, lalu roh akan merindukan kembali untuk
menghirup wewangian yang menyegarkan tersebut.173
Menurut A. Rivay Siregar bahwa ahwal adalah situasi kejiwaan
yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari
hasil usahanya.174 Menurut Mulyadhi Kertanegara, ahwal ada-
lah keadaan mental yang dialami oleh para sufi di sela-sela per-
jalanan spiritualnya.175 Dengan demikian, ahwal diartikan se-
bagai keadaan jiwa seorang sufi sebagai hadiah yang memba-
hagiakan dari Tuhan, dan diperoleh ketika sufi tersebut sedang
menempuh perjalanan spiritual (maqamat).
Cara mendapatkan ahwal ini tidak sama seperti cara
mendapatkan maqamat. Menurut ath-Thusi bahwa ahwal tidak
diperoleh melalui jalan al-mujahadah, ‘ibadah, dan riyadhah seper-
ti maqamat.176 Tiap-tiap ahwal ini diperoleh oleh setiap sufi
secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan, bukan hasil dari
usaha gigih sufi tersebut.
Menurut ath-Thusi, contoh-contoh ahwal antara lain kehati-
hatian (al-muraqabah), kedekatan (qurb), cinta (al-mahabbah),
takut (al-khauf), harap (ar-raja`), rindu (asy-syauq), intim (al-uns),
tenang (ath-thuma`ninah), penyaksian (al-musyahadah) dan keya-
kinan (al-yaqin).177 Menurut al-Qusyairi, contoh-contoh ahwal
antara lain adalah gembira (thurb), sedih/duka cita (huzn),
lapang (basth), sempit (qabdh), rindu (syauq) dan takut (al-
khauf).178 Harun Nasution menambahkan contoh ahwal lain yai-
tu rendah hati (at-tawadhu‘), takwa (at-taqwa), ikhlas (al-ikhlash),
gembira (al-wijd), dan syukur (asy-sukr).179
Pertama. Kehati-hatian (muraqabah). Menurut al-Qusyairi,
muraqabah adalah ilmu hamba untuk melihat Allah SWT. Mak-
sud muraqabah adalah seorang sufi merasa dirinya selalu di-
awasi sehingga membentuk sikap yang selalu awas pada
hukum-hukum Allah SWT. Muraqabah juga bermakna
seseorang selalu mengawasi dirinya sendiri terhadap segala hal
109
pada masa lalu, memperbaiki keadaan sekarang, berada pada
jalan yang benar, mengadakan kontak baik dengan Allah SWT
sambil menjaga hati, memelihara nafas agar selalu berhub-
ungan dengan-Nya, dan memelihara-Nya dalam segala hal.
Orang tersebut mengetahui dengan hatinya bahwa Allah SWT.
Adalah Zat Maha Pengawas. Orang tersebut merasa bahwa Al-
lah mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya dan
mendengar ucapannya.180
Beberapa sufi menjelaskan hakikat muraqabah ini. Menurut
Dzun Nun al-Mishri bahwa muraqabah adalah “mementingkan
sesuatu yang telah dipentingkan oleh Allah SWT., menga-
gungkan sesuatu yang telah diagungkan oleh-Nya, dan men-
gecilkan sesuatu yang telah dikecilkan oleh-Nya.” Ja’far ibn
Nashr menyatakan bahwa muraqabah adalah “menjaga hati un-
tuk memandang Allah SWT. dalam setiap gerakan.” ‘Abd Allah
al-Murta’isy berkata “muraqabah adalah memelihara hati
dengan memperhatikan Allah SWT. dalam setiap langkah dan
perkataan.” 181
Kedua. Harap (raja`). Menurut al-Qusyairi, “raja` adalah
ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan ter-
jadi di masa yang akan datang.” Pengertian raja` yang lain ada-
lah sikap percaya terhadap kedermawanan Allah SWT., melihat
Tuhan dengan pandangan yang baik, dekatnya hati terhadap
kelembutan Tuhan, senangnya hati terhadap tempat kembali
yang baik.” Al-Qusyairi juga berkata bahwa raja` adalah
“keinginan akan terwujudnya sesuatu yang dicintainya, atau
mewaspadai dengan harapan hilangnya sesuatu yang dibenci
dan keterpeliharaan dari yang dibenci.” ‘Abd Allah ibn Khubiq
berkata “bahwa raja` memiliki tiga bentuk. Pertama. Orang yang
mengerjakan pekerjaan baik dan berharap dapat diterima.
Kedua. Orang yang mengerjakan perbuatan buruk, lalu bertau-
bat, dan mengharapkan ampunan. Ketiga. Orang yang berdusta
dan tidak mengulangi pekerjaan dosa, lalu mengharap am-
punan. Ahmad ibn ‘Ashim al-Anthaki berkata “bahwa tanda
110
raja` bagi seorang hamba adalah apabila mendapatkan ke-
baikan, maka ia akan bersyukur dengan mengharapkan kenik-
matan yang sempurna dari Allah di dunia dan pengampunan
yang sempurna di akhirat.182
Ketiga. Takut (al-khauf). Menurut al-Qusyairi, al-khauf ada-
lah kekhawatiran akan kehilangan sesuatu yang dicintainya
atau kehadiran sesuatu yang dibencinya.” Ia berkata juga
“takut kepada Allah bermakna takut kepada siksaan-Nya, baik
di dunia maupun di akhirat.” ‘Abd al-Qasim al-Hakim menya-
takan bahwa takut ada dua bentuk, yaitu rahbah dan khasyyah.
Rahbah adalah orang yang berlindung kepada Allah SWT., se-
dangkan khasyyah adalah seseorang ditarik oleh kendali ilmu,
sehingga ia melaksanakan kebenaran syari`at. Abu ‘Utsman
menyatakan bahwa kebenaran takut adalah meninggalkan per-
buatan dosa baik lahir maupun batin. Ahmad al-Tsauri menya-
takan bahwa takut adalah orang yang lari dari tuhan menuju
tuhan.183 Menurut ath-Thusi takut adalah perasaan batin yang
khawatir terhadap kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak
diinginkan. Dalam tasawuf, takut dimaknai sebagai takut un-
tuk melakukan dosa atau ketakutan kehilangan kesempatan
karena sebelumnya kurang memperdulikan ibadah kepada Al-
lah. Takut diartikan pula sebagai suatu perasaan hormat yang
muncul dari suatu kesadaran tentang penghormatan kepada
kebesaran Yang Maha Benar, Yang Maha Agung dan Yang Ma-
ha Mulia, juga kesadaran tentang segala kekurangan seseorang
dalam menghambakan diri kepada Allah atau karena kealpaan
di dalam akhlak penghambaan atau karena pelanggaran ter-
hadap ketaatan.184 ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan takut
adalah perasaan bahwa Allah melihat setiap geraknya, lalu
mengembalikan segala yang dibenci-Nya dengan memohon
pertolongan Allah, sehingga hatinya menjadi suci dan bercaha-
ya.185
Keempat. Rindu (asy-syauq). Rindu (asy-syauq) adalah contoh
lain dari ahwal. Al-Qusyairi pernah menyatakan bahwa rindu
111
adalah kegoncangan hati untuk menemui yang dicintainya.
Kerinduan tergantung kepada dalamnya rasa cinta. Abu ‘Abd
Allah ibn Khafif menyatakan bahwa rindu itu damainya hati
dan jiwa, dan senang bertemu dan berada di dekat-Nya. Al-
Junaid pernah ditanya dhdari manakah tangisan seseorang
kepada kekasihnya yang dijumpainya?dh Jawabnya dhdia me-
nangis seperti itu karena gembira, dan hatinya yang sangat rin-
du kepada kekasihnya. Abu ‘Ali ad-Daqaq berkata bahwa Nabi
Daud a.s. pernah keluar ke beberapa padang sahara sendirian.
Kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya, wahai Daud,
belum pernah Aku melihatmu sendirian? Maka Nabi Daud
berkata dhwahai Tuhan ku, kerinduan untuk bertemu dengan-
Mu telah mengalahkan semua keinginan hatiku dan telah
menghalangiku bersahabat dengan makhluk. Maka Allah SWT.
berfirman dhkembalilah kepada mereka, sesungguhnya jiwa
kamu datang kepada-Ku dengan membawa seorang hamba
yang lari dari tuannya, maka Aku akan tetapkan di Lauh Mah-
fuz bahwa kamu adalah seorang arif yang dapat membedakan
antara yang baik dan jelek.186 Dengan demikian, rindu (asy-
syauq) adalah sebuah keadaan jiwa di mana seorang sufi ingin
dan senang untuk bertemu dan dekat dengan Allah SWT.
Kelima. Takwa (at-taqwa). Menurut Nashr ‘Abadzi, seperti
dikutip al-Qusyairi, makna takwa adalah tidak takut kepada
apapun kecuali hanya kepada Allah SWT. Sahal menyatakan
bahwa takwa akan menjadi benar apabila seseorang mening-
galkan semua perbuatan dosa. Dzun Nun al-Mishri menya-
takan bahwa takwa adalah tidak mengotori jiwa lahir dengan
hal-hal yang bertentangan, dan tidak mengotori jiwa batin
dengan interaksi sosial. Sedangkan Ibn ‘Atha` menyatakan
bahwa takwa dibagi menjadi dua, takwa lahir yaitu men-
jauhkan diri dari hal-hal yang dilarang, dan takwa batin yaitu
niat dan ikhlas.187
Keenam. Rendah hati (at-tawadhu‘). Menurut Fudhail ibn
‘Iyadh bahwa at-tawadhu‘ adalah rendah diri untuk kebenaran,
112
menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima kebena-
ran dari orang lain. Junaid al-Bagdadi menyatakan bahwa at-
tawadhu‘ adalah merendahkan lambung kepada orang lain dan
lemah lembut kepada mereka. Ibn ‘Atha` menyatakan bahwa
at-tawadhu‘ adalah menerima kebenaran dari orang lain.188
Ketujuh. Ikhlas (al-ikhlash). Menurut al-Qusyairi, ikhlas ada-
lah melakukan sesuatu hanya untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa
ditujukan untuk makhluk, tidak mencari pujian manusia atau
makna-makna lain selain pendekatan diri kepada Allah SWT.
Ikhlas dimaknai pula sebagai penjernihan perbuatan dari cam-
puran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-
pengaruh pribadi. Dzun Nun al-Mishri berkata bahwa “ada ti-
ga tanda yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu keti-
adaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang
amal perbuatannya di dalam amal perbuatannya dan lupa
menuntut pahala atas amal perbuatannya di kampung
akhirat.189
Kedelapan. Penyaksian (al-musyahadah). Al-Qusyairi berkata
bahwa musyahadah adalah “kehadiran al-Haq dalam hati tanpa
bingung dan linglung.” Menurut al-Junaid, musyahadah adalah
wujud al-Haq bersama kelenyapanmu.”190
Kesembilan. Keyakinan (al-yaqin). Menurut al-Junaid,
“keyakinan adalah ilmu yang stabil dan tidak berbolak-balik,
tidak berpindah-pindah dan tidak berubah-ubah dalam hati.”
Junaid berkata pula bahwa “yakin adalah hilangnya keragu-
raguan di hadapan Allah.” Sahl ibn ‘Abd Allah berkata
“permulaan yakin adalah terbukanya tabir rahasia.” Abu ‘Abd
Allah berkata “yakin adalah nampaknya berbagai rahasia
melalui penerapan hukum-hukum.” Sebagian ulama, kata al-
Qusyairi, menyatakan bahwa “yakin adalah mukasyafah,
terbukanya tabir rahasia.”191
113
Kesepuluh. Intim (al-uns). Junaid al-Baghdadi berkata
“keintiman (al-uns) adalah hilangnya kegugupan bersamaan
dengan berlangsungnya pesona.” Dzun Nun al-Mishri berkata
bahwa “keintiman adalah keberanian si pecinta kepada Yang
Dicintainya.” Al-Syibli berkata “keintiman adalah rasa terpisah
dari diri sendiri.”192
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa
kaum sufi tidak memiliki konsensus dalam merumuskan
konsep maqamat dan ahwal. Mengenai urutan maqamat,
misalnya, mereka berbeda pendapat. Tidak hanya itu, mereka
juga berbeda pandangan dalam menentukan bagian-bagian
maqamat dan ahwal. Dalam hal ini, sebagian sufi menyebut
sejumlah bagian dari maqamat sebagai ahwal, dan bagian dari
ahwal sebagai bagian dari maqamat. Artinya, bagi sebagian sufi,
bagian tertentu dalam maqamat menurut sufi lain adalah ahwal.
Perbedaan ini muncul, salah satunya, adalah karena para sufi
memiliki pengalaman batin yang saling berbeda.
Seperti akan dibuktikan, para sufi merumuskan gagasan
sufistik mereka menurut petunjuk al-Qur`an dan hadis. Setiap
gagasan itu memiliki landasan dan disinari oleh al-Qur`an dan
hadis. Fakta ini sangat lumrah, karena para sufi adalah para
pecinta Allah dan rasul-Nya, sehingga mereka akan mendekati
Allah sesuai dengan petunjuk Kalam-Nya dan ucapan Nabi
Muhammad SAW.[]
114
Catatan:
1Muhammad Fana’i Eskavari, Ratapan Suci Para Sufi: Tafsir Doa Khidir
Hujurat/49: 18.
12Q.S. al-Taubah/9: 129; Q.S. al-Zukhruf/43: 82; Q.S. Ali ‘Imran/3: 2,
Q.S. al-Anbiya’/21: 44; Q.S. al-Furqan/25: 45-54; Q.S. al-Rum/30: 50-51; Q.S.
Saba’/34: 9.
25Q.S. al-Nahl/16: 78.
26Q.S. Yunus/10: 100; Q.S. al-A‘raf/7: 179.
27Q.S. Fushshilat/41: 53.
28Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta:
115
31Muthahhari, Mengenal Epistemologi, h. 87.
32Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 189-191.
33Muthahhari, Mengenal Epistemologi, h. 87.
34Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 192-193.
35Idries Shah, Jalan Sufi, terj. Karsidjo Djojosuwarno (Jakarta: Pustaka
Daftary (ed.), Tradisi-Tradisi Intelektual Islam, terj. Fuad Jabali dan Udjang Tha-
lib (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 80-81.
37Q.S. al-Ghasyiah/88: 17-20.
38Q.S. al-A’raf/7: 79; Q.S. al-Nahl/16: 178.
39Q.S. al-Baqarah/2: 44, 72, 242; Q.S. al-A’raf/7: 169; Q.S. Hud/11: 51;
Q.S. Yusuf/12: 2.
40Q.S. al-Baqarah/2: 164; Q.S. Ali ‘Imran/3: 190-191; Q.S. Fu-
shshilat/41: 9-12.
41Q.S. Yunus/10: 100; Q.S. al-A’raf/7: 179.
42Q.S. al-Syams/91: 7-10.
43Q.S. al-Kahfi/18: 64.
44Q.S. Fushshilat/41: 53.
45Al-Hujwiri, The Kashf al-Mahjub, terj. R.A. Nicholson (New Delhi:
116
60Muthahhari, Mengenal Epistemologi, h. 87.
61Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj. Ibrahim Hu-
sain al-Habsyi, et al. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 327.
62Ibid., h. 327.
63William C. Chittick, “Ibn ‘Arabi,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan
117
93Musa Kazim, “Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan,” dalam
171.
95Seyed G. Safavi, “Mulla Shadra and Perception,” dalam Trancendent
2009), h. 193.
112Muhammad Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung:
118
113Lihat uraiannya dalam al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma‘ fi Tarikh
ad-Din, translate Al-Hajj Maulana Fazlul Karim, Vol. IV (New Delhi: Islamic
Book Service, 2006).
117Lihat rinciannya dalam Nashr al-Din al-Thusi, Menyucikan Hati
considered (New Delhi: Kitab Bhavan, 2006); Louis Massignon, The Passion of
al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam, trans. Herbert Mason (Princeton: Prince-
ton University Press, 1994); Herbert W. Mason, al-Hallaj (Surrey: Curzon
Press, 1995).
120Lihat ulasan tentang konsep ini dalam A. E. Affifi, “Ibn ‘Arabi,”
fi al-Asfar fi al-‘Aqliyah al-Arba‘ah, Jilid I-IX (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-
‘Arabi, 1981).
123Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 67.
124Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, h. 123.
125Al-Thusi, Menyucikan Hati, h. 19.
126Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, h. 116.
127Mahmud, Hal-Ihwal Tasawuf, h. 233.
128Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 67.
129Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, h. 146-147.
119
130‘Abd al-Halim Mahmud, Lentera Hati: Panduan Suci Menuju Allah
120
169Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, h. 136.
170Al-Thusi, Menyucikan Hati, h. 96.
171Al-Thusi, Al-Luma‘, h. 40.
172Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, h. 58.
173Mahmud, Hal Ihwal Tasawuf, h. 219.
174Rivai Siregar, Tasawuf, h. 131.
175Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 179.
176Al-Thusi, Al-Luma‘, h. 40.
177Ibid., h. 41.
178Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairiyah, h. 58.
179Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 63.
180Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, h. 268.
181Ibid., h. 271.
182Ibid., h. 178-179.
183Ibid., h. 169-170.
184Al-Thusi, Menyucikan Hati, h. 49-51.
185Mahmud, Lentera Hati, h. 70.
186Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, h. 490-498.
187Ibid., h. 140.
188Ibid., h. 202-203.
189Ibid., h. 298.
190Ibid., h. 90-91.
191Ibid., h. 251-257.
192Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, h. 132-133.
121