Anda di halaman 1dari 39

TUGAS KELOMPOK

Keperawatan Gawat Darurat I


(Emergency Nursing I)

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


DAN PENATALAKSANAAN PADA PASIEN DENGAN PPOK

Koordinator Mata Kuliah :

Ns. Lukmanulhakim, S.Kep.,M.Kep

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1
1. AGUNG NUGROHO (1014031006)
2. ELSA FITRI INDRIANI (1014031032)
3. EVA ZULMAYENI (1013031040)
4. NINING SULASTRI PRATIWI (1014031066)
5. TRIMA AMANAH (1014031100)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) FALETEHAN
SERANG – BANTEN
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana karena-Nyalah tugas ini dapat
terselesaikan. Terima kasih pada dosen pembimbing yang telah membantu
tersusunnya makalah laporan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
/ Kritis Dan Penatalaksanaan Pada Pasien Dengan PPOK”. Secara sistematis dan
tepat waktu.

Makalah laporan ini berisi tentang penjelasan, penguraian dan ilustrasi kasus
tentang penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). sesuai dengan sistematika
pembuatan makalah. Kami sangat menyadari tidak ada manusia yang sempurna
begitu juga dalam pembuatan makalah ini, apabila nantinya terdapat kekurangan,
kesalahan dalam karya tulis ini, kami selaku penulis sangat berharap kepada
seluruh pihak agar dapat memberikan kritik dan juga saran seperlunya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan bahan
pembelajaran kepada kita semua.

Serang, Maret 2017


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 3
1.4. Sistematika Penulisan .................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Review Anatomi Fisiologi ........................................................................................... 4
2.2. Konsep Penyakit .......................................................................................................... 7
A. Definisi ....................................................................................................................... 7
B. Etiologi ....................................................................................................................... 8
C. Klasifikasi ................................................................................................................ 10
D. Manifestasi Klinis .................................................................................................... 11
E. Patofisiologi ............................................................................................................. 11
F. Pathway .................................................................................................................... 14
G. Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang ....................................................................... 15
H. Penatalaksanaan ....................................................................................................... 16
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Ilustrasi Kasus .......................................................................................................... 28
B. Analisa Data ............................................................................................................. 32
C. Diagnosa Keperawatan ............................................................................................ 33
D. Rencana Keperawatan ............................................................................................. 33
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) masalah penyakit paru yang
dikarakteristikkan dengan penurunan aliran udara yang persisten. Gejala dari
PPOK adalah napas pendek atau terengah-engah yang memburuk secara
progresif, batuk kronik dan produksi sputum. Penyebab utama dari PPOK
adalah paparan dari asap rokok (baik perokok aktif maupun pasif). Factor
resiko lainnya termasuk paparan dari polusi udara, debu dan asap. Beberapa
kasus disebabkan oleh asma kronik dan emfisema (WHO, 2015).

Data WHO (2016), mencatat secara global di tahun 2015 diperkirakan sekitar
3 juta kematian disebabkan oleh PPOK (yang merupakan 5% dari semua
kematian di tahun itu). Lebih dari 90% kematian karena PPOK terdapat di
Negara berpenghasilan rendah dan tinggi. Di Indonesia sendiri PPOK berada
di urutan ketujuh penyebab kematian dengan angka kematian mencapai 3.1%
ditahun 2012 (sekitar 48 ribu jiwa). Presentase kematian karena penyakit ini
meningkat dari tahun 2000-2012 (WHO, 2016).

Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena


bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi
sebagai batuk kronik.Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis
parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus
alveolaris serta destruks dinding alveolar. (PDPI, 2010)

Tahun 2013, angka kejadian PPOK di Indonesia pada umur >30 tahun
berdasarkan gejala menurut hasil Riskesdas tahun 2013 mencapai 3.7% .
Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur
(10,0%), kemudian Sulawesi Tengah (8,0%), dan Sulawesi Barat (6,7%).
Sedangkan prevalensi PPOK terendah menurut riset yang sama di tahun yang
sama adalah Provinsi Lampung (1,4%), kemudian Provinsi Riau, Jambi, dan
Kepulauan Riau (2,1%). (GOLD, 2009)

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik


dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. (GOLD, 2009).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, tetapi dengan pengobatan medis dan fisik dapat membantu
mengurangi gejala, meningkatkan kualitas kehidupan dan mengurangi resiko
kematian. PPOK cenderung sulit untuk didiagnosa secara tepat dan dapat
mengancam kehidupan. Penyakit ini biasanya dicurigai pada orang yang
mengalami gejala seperti napas pendek, batuk kronik dan produksi sputum,
dan dapat dikonfirmasi dengan menggunakan tes spirometri untuk mengukur
seberapa banyak dan kecepatan seseorang dapat mengeluarkan napas secara
paksa (WHO, 2016).

Jadi, PPOK merupakan penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya.

1.2. Rumusan Penulisan


Berdasarkan angka kejadian penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yang
tinggi dan menjadi salah satu penyumbang terbanyak angka kematian
didunia,hal itu yang menjadi rumusan masalah dari penulisan makalah ini.
1.3. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman
tentang konsep penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan penatalaksanaan
asuhan keperawatan kritis pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik
2. Tujuan Khusus
a) Dapat memahami konsep penyakit paru obstuktif kronik (PPOK) secara
definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan, dan
penatalaksanaannya
b) Dapat merumuskan diagnosa keperawatan kritis pada pasien dengan
penyakit paru obstuktif kronik (PPOK)
c) Dapat menyusun asuhan keperawatan kritis pada pasien dengan penyakit
paru obstuktif kronik (PPOK) dengan intervensi berdasarkan penelitian
(Evidance Based Practice) terkait.

1.4. Sistematika penulisan


Sistematika penulisan makalah ini adalah :BAB I Pendahuluan yang meliputi
Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, dan Sistematika
Penulisan. BAB II Review Anatomi Dan Fisiologi Ventilasi Dan Konsep
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). BAB III Asuhan Keperawatan
Kritis. BAB IV Kesimpulan.
BAB II
REVIEW ANATAMOI FISIOLOGI VENTILASI DAN
KONSEP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

2.1. Review Anatomi Fisiologi


Pernapasan atau respirasi adalah suatu peristiwa tubuh kekurangan oksigen
(O2) kemungkinan oksigen yang berada di luar tubuh dihirup (inspirasi)
memalui organ-organ pernapasan, dan pada keadaan tertentu bila tubuh
kelebihan karbon dioksida (CO2) maka tubuh berusaha untuk
mengeluarkannya dari dalam tubuh dengan cara menghembuskan nafas
(ekspirasi) sehingga terjadi suatu kesimbangan antara oksigen dan karbon
dioksida dalam tubuh. Sistem respirasi berperan untuk menukar udara dari
luar ke permukaan dalam paru-paru. setelah udara masuk dalam sistem
pernapasan, akan di lakukan penyaringan, penghangatan, dan pelembaban
pada udara tersebut di trakea agar tidak merusak permukaan yang lembut
pada sistem pernapasan.Perbedaan tekanan membuat udara masuk ke paru
paru melalui seluruh pernapasan.tekanan ini bertujuan menyaring, mengatur
udara, dan mengubah permukaan saluran nafas bawah pada tahap persiapan
pembukaan sistem pernapasan sampai tahap istirahat. (Syaifuddin, 2009).

A. Anatomi Bronkus
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada dua buah yang terdapat pada
ketinggian vertebra torakalis ke IV dan ke V. Bronkus kanan lebih pendek
dan lebih lebar dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hamper
vertical dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-
12 cincin, mempunyai dua cabang dan merupakan kelanjutan dari trakea
dengan sudut yang lebih tajam (Haryani, A., Alimatussadiah., Santy sanusi.,
2009).
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus
menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi
bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung
alveoli (kantung udara). Bronkus terminalis memiliki garis tengah kurang
dari 1 mm. bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi
dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh
saluran udara kebawah sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran
penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru (Haryani, A.,
Alimatussadiah., Santy sanusi., 2009).

B. Fisiologi Ventilasi
Komponen eksternal respirasi (Ventilasi) membawa udara yang dihirup ke
dalam saluran napas bawah dan alveoli paru. Kontraksi dan relaksasi otot-
otot respiratorius menggerakkkan udara keluar masuk paru-paru. (Kowalak
J.P 2011).
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah
bertekanan rendah yaitu menuruni gerakan tekanan, (Haryani, A.,
Alimatussadiah., Santy sanusi., 2009) yaitu :
a. Tekanan atmosfer (barometric) yaitu tekanan yang ditimbulkan oleh berat
udara diatmosfer terhadap benda-benda dipermukaan bumi.
b. Tekanan intra-alveolus (tekanan intrapulmonalis) yaitu tekanan di dalam
alveolus.
c. Tekanan intrapleura (tekanan intratoniks) yaitu tekanan di dalam kantong
pleura dan tekanan yang terjadi di luar paru di dalam rongga toraks.
Mekanisme inspirasi dan ekspirasi menurut (Haryani, A., Alimatussadiah.,
Santy sanusi., 2009) :
a) Mekanisme Inspirasi
 Beberapa otot-otot pernapasan berkontraksi, salah satunya adalah
diaphragm dan otot-otot intracostal eksternal. Otot intracostal eksternal
akan meregang antar tulang rusuk dan ketika otot intercostal eksternal
berkontraksi, tulang rusuk sekitarnya akan tertarik bersama-sama. Tulang
rusuk kehilangan kecepatannya sepanjang ujung anterior, dekat dengan
sternum, tulang rusuk tersebut bergerak ke atas dan keluar,
menggembangkan rongga dada.
 Rongga dada akan mengembang ketika otot-otot pernapasan berkontraksi
dan diaphragm mengerut. Meskipun intercosta dan otot abdomen sangat
penting dalam pernapasan, namun diaphragm adalah organ yang utama
dalam pernapasan.
 Otot abdomen harus dalam keadaan relaksasi ketika diaphragm mengerut/
berkontraksi.
 Meningkatnya ukuran rongga dada menyebabkan penurunan tekanan di
dalam rongga sampai 4 mmHg dibawah tekanan atmosfer, yaitu sekitar
756 mmHg dan udara akan mengalir dengan cepat melalui saluran
pernapasan ke dalam paru-paru.
b) Mekanisme Ekspirasi
 Otot intercosta eksternal dan diaphragm relaksasi, diikuti rongga dada
kembali dalam posisi semula, ukurannya lebih kecil oleh extrinsic elastic
recoil yang dibantu oleh tulang rawan, menyebabkan peningkatan tekanan
rongga dada. Penurunan volume dalam rongga dada adalah akibat bagian
dari entrinsik elastic recoil (pengembangan paru-paru) suatu jaringan
paru-paru tersebut, yang akan meregang selama inspirasi dan mendorong
diaphragm ke atas.
 Otot abdomen kontraksi, mendorong abdomen ke arah diiaphragma, dan
menyebabkan peningkatan tekanan dalam rongga dada.
 Paru-paru berkontraksi sehingga udara akan dikeluarkan.
Kowalak J.P.(2011), menerangkan bahwa disamping menghangatkan,
melembabkan, dan menyaring udara yang dihirup pada saaat inspirasi,
saluran napas bawah melindungi paru-paru melalui beberapa meaknisme
pertahanan. Mekanisme pembersihan (Klirens) meliputi refleks batuk dan
system mukosiliaris. System mukosiliaris memproduksi mucus (lender)
yang menangkap partikel-partikel asing. Lalu benda asing disapu ke saluran
napas atas untuk kemudian mengalami ekspektorasi oleh tonjolan-tonjolan
khusus berbentuk jari-jari tangan, yang dinamakan silia.gangguan
epithelium paru-paru atau system mukosiliaris dapat menyebabkan
malfungsi mekanisme pertahanan sehingga polutan dan iritan dapat masuk
ke dalam paru-paru dan menyebabkan inflamasi. Saluran napas bawah juga
membei perlindungan imunologis dan mengawali respon cedera pulmoner.

2.2. Konsep Penyakit


A. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversivel atau
reversible parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang berbahaya ( GOLD, 2009)

PPOK / COPD (Cronic obstruction pulmonary disease) merupakan istilah


yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsun
lama dan di tandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson :
2005).

PPOK adalah kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat


aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru paru (Bruner
& Sudarth 2002)
B. Etiologi
Faktor risiko penyebab terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik antara
lain, yaitu :
a. Merokok
Lebih dari 10 juta batang rokok dihisap setiap menit, setiap hari lebih
dari diseluruh dunia oleh 1 milyar laki - laki dan 250 juta perempuan
sekitar 900 juta (84%) perokok didunia hidup di Negara berkembang
termasuk Indonesia (WHO, 2009).
Indonesia menduduki urutan ketiga di dunia setelah China dan India
sebagai Negara dengan jumlah perokok terbanyak. Sebanyak 65 juta
penduduk Indonesia (28%) adalah perokok yang artinya setiap 4 orang
Indonesia terdapat seorang perokok (Rasmin, 2008).
Merokok terbukti menimbulkan berbagai efek kesehatan, diperkirakan
sekitar 50 masalah kesehatan dapat timbul dan sekitar 20 masalah
kesehatan berakibat fatal. Rokok menyebabkan 1 dari 10 kematian
orang dewasa di seluruh dunia. Data WHO tahun 2008 menunjukkan
rokok menyebabkan kematian 5,4 juta setahun (1 kematian setiap 6,5
detik). Angka kematian oleh rokok ini jauh lebih besar dari total
kematian manusia akibat HIV/AIDS, tuberkulosis dan malaria. Rokok
terbukti merupakan faktor risiko dari 6 diantara 8 penyebab kematian
tertinggi di dunia (WHO, 2008).
Penelitian di Amerika Serikat menunjukan merokok sebagai penyebab
3 kematian utama yaitu kanker paru, jantung koroner, dan Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (Susanto, 2009).
b. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 20 - 30% dari seluruh masalah respirasi disebabkan oleh
polusi udara (Haq, 2002). Hampir setengah penduduk dunia saat ini
hidup di daerah atau dekat daerah dengan kualitas udara yang buruk
(FIRS, 2010).
Selama dua puluh lima tahun terakhir, polusi udara meningkat dengan
pesat sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada
energi lebih banyak. Penggunaan bahan bakar bertimbal, proses
pembakaran yang tidak sempurna, kepadatan lalu lintas, buruknya
perawatan kendaraan bermotor dan keadaan jalan raya memperburuk
keadaan. Polusi udara di kota-kota besar Asia dengan penduduk diatas
10 juta jiwa seperti New Delhi, Beijing dan Jakarta semakin parah
disebabkan oleh efek akumulasi pertumbuhan penduduk, industilisasi
penignkatan penggunaan kendaraan. Efek kesehatan dapat timbul
akibat polusi udara tersebut. Yang lebih penting untuk diperhatikan
adalah polusi udara dalam ruangan (PUDR). Risiko PUDR jauh lebih
berbahaya dibandingkan dengan polusi udara luar ruangan (PULR).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa PUDR 1000
kali lebih dapat mencapai paru dibandingkan PULR. Polusi udara
dalam ruangan bukan saja terjadi di pabrik - pabrik dan di ruangan
perkantoran di perkotaan tetapi justru banyak terjadi di desa - desa
yang masih mengandalkan pembakaran kayu, arang, sekam dan
minyak untuk memasak. Dari penelitian kohort yang dilakukan
terhadap penderita PPOK disimpulkan bahwa menghirup bahan iritan
dalam waktu yang lama akan meningkatkan resiko kematian pada
orang yang rentan terjadinya PPOK dan efeknya meningkat dengan
meningkatnya waktu terekspos (Zanobetti, 2008).
c. Genetik
Faktor genetik dari PPOK dapat muncul jika ada interaksi antara suatu
genetik tertentu yang berinteraksi dengan lingkungan yaitu antara
merokok dan gen yang rentan. Laporan kasus adanya keluarga yang
menderita PPOK telah ada dilaporkan sejak tahun 1950-an. Namun
yang menarik tentang faktor genetik pada PPOK berkembang secara
luas sejak ditemukannya defisiensi berat dari alfa-1-antitripsin pada
tahun 1963 yang kemudian dikenal sebagai faktor genetik terpenting
sebagai penyebab PPOK (Silverman, 2009).
C. Klasifikasi
Stadium Karakteristik Terapi yang diberikan
SEMUA  Menghindari faktor resiko
 vaksinasi influenza
0: beresiko  gejala kronis
(batuk,sputum)
 pajanan terhadap faktor
resiko
 spirometri normal

I  FEV1/ FVC < 70%  Bronkodilator kerja singkat jika


PPOK ringan  FEV1> 80% yang di diperlukan
prediksi
 Dengan atau tanpa gejala

II II A:  Terapi teratur dengan satu atau


PPOK sedang  FEV1/ FVC < 70% lebih bronkodilator
 50% < FEV , <80% yang  Rehabilitasi
diprediksi  Inhalasi glukokortrikosteroid jika
 Dengan atau tanpa gejala terjadi gejala signifikan dan
respons fungsi paru
II B :
 FEV /FVC <70%
 30% < FEV , <50% yang  Terapi teratur dengan satu atau
diprediksi lebih bronkodilator
 Dengan atau tanpa gejala  Rehabilitasi
 Inhalasi glukokortrikosteroid jika
terjadi gejala signifikan dan
respons fungsi paru atau jika
terjadi eksaserbasi berulang.

III PPOK berat  FEV1 / FVC<70%  Terapi teratur dengan satu atau
 FEV1 <30% yang lebih bronkodilator
diprediksi atau ada gagal  Rehabilitasi
nafas atau gagal jantung  Inhalasi glukokortrikosteroid jika
kanan terjadi gejala signifikan dan
respons fungsi paru atau jika
terjadi eksaserbasi berulang
 Terapi komplikasi
 Terapi oksigen jangka panjang
jika terjadi gagal nafas
 Pertimbangkan terapi pembedahan

(Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Respir


Care 46:810, 2009.)
D. Manifestasi Klinik
1. PPOK dicirikan oleh batu kronis, produksi sputum dan dispneu saat
mengerahkan tenaga kerap memburuk seiring dengan waktu
2. Penurunan berat badan sering terjadi
3. Hemoptisis
4. Mengi (pertama – tama pada ekspirasi, kemudian bisa juga terjadi
selama inspirasi)
5. Dieforesis, takikardi dan pelebaran tekanan nadi mungkin dapat di
jumpai
6. Pasien menderita sakit akut dengan tanda yang mirip dengan infeksi
pernafasan atau pneumonia (demam, berkeringat dimalam hari, nyeri
pleura, batuk, anorexsia, penurunan berat badan).

E. Patofisiologi
Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologi berikut biasanya
terjadi secara berurutan : hipersekresi mukus, disfungsi silia,
keterbatasan aliran udara hiperinfasi ppulmonal. abnormalities
pertukaran gas, hipertensi pulmonal, dank or pulmonal. jalan nafas
perifer menjadi tempat utama obstruksi pada pasien PPOK. perubahan
stuktural dinding jalan nafas adalah penyebab terpenting peningkatan
tahanan jalan nafas perifer. perubahan inflamsi seperti edema jalan nafas
dan hipersekresi mukus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas
perifer. Hipersekresi mukus disebabkan oleh stimulasi pembesaran
kelenjar yang menyekresi mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh
mediator inflamasi seperti leukotrien, protainase, dan neuropeptida. Sel
epitel yang bersilia mengalami metaplasia, skuamosa, yang
menyebabkan gangguan pembersihan mukosilia, yang biasanya
merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali terjadi pada
PPOK.abnormalitas ini dapat terjadi selama beberapa tahun sebelum
abnormalitas lain terjadi keterbatasan aliran udara ekspirasi adalah
temuan penting pada PPOK. ketika proses penyakit berkembang, volume
ekspirasi kuat dalam satu detik (corced exspiratory volume in 1 second,
FEV1) dan kapasitas vital kuat ( corced vital capacity, FVC) menurun;
hal ini berhubungan dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas ,
penurunan kelekatan alveolat, dan penurunan recoil elastis paru. sering
kali, tanda pertama terjadinya keterbatasan aliran udara adalah
penurunan rasio FEV/FVC menurut global initiative for cronic
obstructive lung disease (GOLD) 2001, adanya FEV1pasca bronkodilator
kurang dari 80% dari nilai prediksi yang dikombinasi dengan rasio
FEV1/FVC kurang dari 70% menegaskan adanya keterbatasan aliran
udara yang tidak refersibel sepenuhnya. pada PPOK berat udara
terperangkat diparu selama ekspirasi kuat, yang menyebabkan kapasitas
residual fungsional (fungtional residual capacity, FRC) tinggi secara
abnormal. peningkatan FRC menyebabkan hiperinflasi pulmonal. pada
PPOK lebih lanjut obstruksi jalan nafas perifer,destruksi parenkim, dan
iregularitas vascular pulmonal mengurangi kapasitas paru untuk
pertukaran gas sehingga menyebabkan hipoksemia (oksigen darah
rendah) dan hiperkapnia (karbon dioksida darah
tinggi).Ketidakseimbangan rasio ventilasi, perfusi adalah kekutan
pendorong dibelakang hipoksemia pada pasien PPOK, tanpa
memperhatikan stadium penyakit.Hiperkapnia kronis biasanya
mengindikasikan disfungsi otot inspirasi dan hipoventilasi alveolat.
Ketika hipoksemia dan hiperkapnia berkembang lambat pada PPOK,
hipertensi pulmonal sering terjadi yang menyebabkan hipertropi
ventrikel kanan, lebih dikenal sebagai cor pulmonal.Gagal jantung kanan
menyebakan statis vena lebih lanjut dan trombosis yang dapat berpotensi
menyebabkan embolisme paru dan lebih lanjut mengganggu sirkulasi
paru (WHO, 2011).
F. Pathway

perokok aktif faktor pencetus

(asma, bronchitis, emfisema)

asap rokok masuk ke

saluran nafas PPOK

asap rokok menginfeksi perubahan anatomis

saluran nafas parenkim paru

kelenjar yang mensekresi hiperatrofi kelenjar mukosa

lendir meningkat

penyempitan udara secara

sel goblet meningkat periodik

fungsi silia menurun ekspansi paru menurun

sputum meningkat kompensasi tubuh untuk

suplai O2 tidak memenuhi kebutuhan oksigen

batuk adekuat dengan meningkatkan flek

pernafasan

Bersihan Jalan hipoksia


Nafas Tidakefektif
hipoksia kontraksi otot pernafasan
meningkat
sesak

Intoleransi
Pola Nafas Tidak Efektif Aktivitas
G. Pemeriksaan Dignostik / Penunjang
a. Spirometri
Keterbatasan aliran udara ekspirasi adalah tanda diagnostic utama
PPOK. Karena spirometri adalah pengukuran keterbatasan aliran udara
yang paling dapat diulang dan objektif, spirometri tetap menjadi
standar untuk mendiagnosis PPOK dan memantau kemajuannya.
Spirometri dilakukan pada pasien yang mengalami batuk kronis dan
produksi sputum walaupun tanpa dispnea. Spirometri mengukur
volume maksimal udara yang diekshalasi secara kuat dari titik
inspirasi maksimal (FVC) dan volume udara yang diekshalasi selama
detik pertama latihan ini (FEV1). Rasio dua pengukuran ini
(FEV1:FVC) kemudian dihitung. Pengukuran spirometri dievaluasi
dengan membandingkan hasil dengan nilai rujukan yang sesuai usia,
tinggi, jenis kelamin, dan ras. Pasien PPOK mengalami penurunan
FEV1 dan FVC, dan derajat abnormalitas spirometrik biasanya
menggambarkan keparahan penyakit ini. Pada penyakit itu sendiri,
rasio FEV1:FVC adalah pengukuran keterbatasan aliran udara yang
paling sensitive, dan rasio FEV1:FVC kurang dari 70% dainggap
sebagai tanda awal keterbatasan aliran udara pada pasien yang
memiliki FEV1 tetap normal (minimal 80% dari nilai yang diprediksi)
(WHO, 2011)
b. Arteri Gas Darah
Pengukuran Gas Darah Arteri harus dilakukan pada semua pasien
dengan FEV1 kurang dari 40% yang diprediksi atau ketika tanda klinis
gagal napas atau gagal jantung kanan terjadi (mis., sianosis sentral,
pembengkakan pergelangan kaki, peningaktan tekanan vena
jugularis).Gagal napas diindikasikan oleh tekanan parsial oksigen
arteri (PaO2) 60mmHg dengan atau tanpa tekanan parsial karbon
dioksida arteri (PaCO2) 45 mmHg jika udara pernapasan sejajar
permukaan air laut.Beberapa tindakan kewaspadaan harus dilakukan
untuk memastikan hasil yang akurat. Pertama, harus dicatat jika pasien
saat ini mendapatkan sumber oksigen dan sejumlah oksigen diberikan
kepada pasien selama masa sampel gas darah. Kedua, jika fraksi
oksigen inspirasi (Fio2) berubah, periode 20 sampai 30 menit harus
berlalu sebelum tekanan gas diperiksa kembali (WHO, 2011).

H. Penatalaksanaan

a. Farmakologi / Medis

 Terapi Farmakologis untuk pasien PPOK yang stabil terutama adalah,


bronkodilator dan glukokortikosteroid. Terapi farmakologis lainnya
kadang kala digunakan yaitu: (GOLD,2011).
 Bronkodilator

Brokodilator adalah bagian penting penatalaksananan gejala pada


pasien PPOK dan diresepkan sesuai kebutuhan atau secara teratur untuk
mencegah atau mengurangi gejala. Bronkodilator memperbaiki
pengosongan paru, mengurangi hiperinflasi pada saat istirahat dan
selama latihan, dan memperbaiki performa performa
latihan.Bronkodilator meningkatkan FEV1 dengan memperlebar tonus
otot polos jala napas, bukan dengan mengubah sifat rekoileslastis
paru.Bronkodilator kerja lama paling sesuai untuk kondisi ini.Inhalasi
merupakan rute pemberian yang lebih dipilih.Agens bronkodilator
utama adalah agonis beta, -adregenik, antikolinergi, dan terfoili;
kombinasi obat-obatan ini efektif.Pilihan bentuk tertentu terapi
bronkodilator bergantung pada ketersediaan dan respons pasien dalam
hal pegurangan gejala dan efek samping.Terapi kombinasi, bukan
peningkatan dosis agens tunggal, dapatmenyebabkan perbaikan
efektivitas dan penurunan risiko efek saping.Tabel 26-9 meringkas
informasi tentang bronkodilator yang paling sering digunakan.
Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat serat diutamakan
pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang
(long acting).

Macam - macam bronkodilator :

1. Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai


berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi
lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
2. Golongan agonis beta – 2 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi
sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi berat.Kombinasi antikolinergik dan
agonis beta–2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat
efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita.
3. Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan
berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
akut.
4. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah

Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis


Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Agonis ß2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu
( pada waktu
aktiviti )
Gejala terus Antikolinergik Ipratropium bromida 20 2 - 4 semprot ® 3
menerus µgr - 4 x/hari
Inhalasi Agonis ß2 Fenoterol 2 - 4 semprot ® 3
kerja cepat 100µgr/semprot - 4 x/hari
salbutamol 2 - 4 semprot ® 3
100µgr/semprot - 4 x/hari
Terbutalin 2 - 4 semprot ® 3
0,5µgr/semprot - 4 x/hari
Prokaterol 2 - 4 semprot ® 3
10µgr/semprot x/hari
Kombinasi terapi Ipratropium bromid 2 - 4 semprot ® 3
20µgr+salbutamol - 4 x/hari
100µgr ® persemprot
Pasien memakai Inhalasi Agonis ß2 Formoterol 6µgr, 1 - 2 semprot ® 2
Inhalasi agonis ß2 kerja lambat 12µgr/semprot x/hari tidak
kerja (tdk dipakai untuk melebihi 2 x/hari
eksaserbasi )
Atau
timbul gejala pada salmeterol 1 - 2 semprot ® 2
waktu malam atau 25µgr/semprot x/hari tidak
pagi hari melebihi 2 x/hari
Teofilin Teofilin lepas lambat 400 - 800mg/hari
Teofilin/ aminofilin 150 3 - 4 x/hari
mg x 3 - 4x/hari

Anti oksidan N asetil sistein 600mg/hr

Pasien tetap Kortikosteroid oral Prednison 30 - 40mg/hr


mempunyai gejala (uji kortikosteroid) Metil prednisolon selama 2mg
dan atau terbatas
dalam aktiviti
harian meskipun
mendapat
pengobatan
bronkodilator
maksimal

Uji kortikosteroid Inhalasi Beklometason 50µgr, 1 - 2 semprot ® 2


memberikan Kortikosteroid 250µgr/semprot - 4 x/hari
respons positif

Budesonid 100µgr, 200 - 400µgr ®


250µgr, 2x/hari maks
400µgr/semprot 2400µgr/hari

Sebaiknya Flutikason 125 - 250µgr ®


pemberian 125µgr/semprot 2x/hari maks
kortikosteroid 1000µgr/hari
inhalasi dicoba bila
mungkin untuk
memperkecil efek
samping
(sumber: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/konsensus-
ppok-isi2.html)

 Glukokortikoid

Terapi inhalasi glukokortikosteroid yang rutin untuk PPOK hanya sesuai


pada pasien dengan penyakit simptomatik dan respons spirometrik yang
tercatat terhadap glukokortikosteroid, atau pada pasien dengan FEV1
kurang dari 50% yang diprediksi dan eksasebrasi berulang yang
memerlukan terapi dengan antibiotik dan glukokortikosteroid oral.Terapi
inhalasi glokokortikosteroid yang lama dapat mengurangi gejala, namun
tidak mengubah penurunan jangka panjang FEV1 yang biasanya terlihat
pada pasien PPOK, Hubungan dosis-respons dan keamanan jangka panjang
inhalasi glukokortikosteroid pada PPOK tidak diketahui sepenuhnya, dan
tidak ada rekomendasi terapi glukokortikosteroid jangka panjang. (Tierney
L, et al: current medical diagnosis & treatment (COPD) Newyork: 2001)

b. Non Farmakologi / Keperawatan


1. Terapi Oksigen

Terapi oksigen adalah salah satu terapi nonfarmakologi utama untuk pasien
yang mengalami PPOK berat. Terapi okseigen dapat diberikan sebagai
terapi kontinu jangka panjang, selama olahraga, dan untuk mengurangi
dispnea akut (Morton, PG., fortaine, D., Hudak, CM., Gallo, BM 2011).

 PaO2 berada pada atau dibawah 55 mm Hg atau SaO2 berada pada atau
dibawah 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia
 PaO2antara 55 mm Hg dan 60 mm Hg atau SaO2 dibawah 90%, jika ada
tanda-tanda hipertensi pulmonal, gagal jantung kongestif, atau
polisitemia.
2. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada


PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma (PDPI, 2009)

Menurut PDPI (2009) Tujuan edukasi pada pasien PPOK yaitu :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan


2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara


berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di
unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi
diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasanSecara umum bahan edukasi
yang harus diberikan adalah:

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK


2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan


ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

a. Berhenti merokok : Disampaikan pertama kali kepada penderita pada


waktu diagnosis PPOK ditegakkan.
b. Pengunaan obat – obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
c. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
e. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,


langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.
Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi
yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang
ireversibel.

 Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :


a. Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
b. Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
c. Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
(PDIP, 2009)

3. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena
berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darahMalnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan
otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak


akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak
dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat.
Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori
yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus
menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah


karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons
ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan
gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan
kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada
PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat
sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi
adalah :

- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan
pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil
dengan waktu pemberian yang lebih sering (PDPI, 2009).

4. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu
tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis
dan psikologi.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.

1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem


transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :

- Peningkatan VO2 max


- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan

a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan


b. Endurance exercise

Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan. Latihan ini


diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada
otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan
insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang
dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan
bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti
hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak mampu
melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar
manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan
oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan
pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan
pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar,
sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan
ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.
Endurance exercise Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat
terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal
dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat. Latihan
jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi
latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti
kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan
toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian
oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas
bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ
menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah
kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki
mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan
latihannya. Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan
menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 -
6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter serat
otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring
ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan
menurunnya oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler (PDPI, 2009).

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2009) Latihan fisik bagi


penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :

 Di rumah
- Latihan dinamik

- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda

 Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per
minggu. Tipe latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi,
lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan
keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil
pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah
6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang
obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk
penderita di rumah adalah ergometri dan walking-jogging.
Ergometri lebih baik dari pada walking-jogging. Begitu jenis
latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang
cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal.
Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung
60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan
2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah
sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi
maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk
penderita dapat diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani
secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal, dalam bentuk
aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental,
gangguan koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan

2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan
apabila diperlukan dapat diberikan obat (PDPI,2009)

3. Latihan pernafasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak
nafas teknik latihan meliuputi pernapasan diafragma dan pursed lips
guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen
dan toraks. serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan
memperkuat otot ekstrimiti (PDPI, 2009)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Ilustrasi Kasus
PENGKAJIAN
1. Biodata Klien
Nama klien : Tn. K
Jenis kelamin :L
Usia : 76 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Cibunyuh Cilaku Curug

2. Riwayat Kesehatan Klien


a. Riwayat Kesehatan Sekarang
1) Keluhan utama
Pasien mengatakan sesak,

2) Riwayat kesehatan sekarang


Sebelum masuk RS pasien mengeluh dadanya sesak sudah 5 hari,
sesak makin bertambah bila posisi pasien berbaring dan sesak
berkurang saat posisi pasien duduk, rasa sesak seperti di remas
remas dan sesak timbul pada pagi hari dan malam hari. demam (-),
batuk (+), sputum ( + ) pasien mengatakan tidak kuat jalan jauh,
jika pasien tidur membutuhkan 2 – 3 bantal, pasien juga memiliki
riwayat paru.

3) Riwayat masa lalu


pasien memiliki penyakit PPOK sudah 6 tahun yang lalu, pasien
berobat jalan ke poli penyakit dalam, dan pasien juga menjalani
pengobatan rutin, dulu pasien adalah seorang perokok aktif, tetapi
semenjak 6 tahun yang lalu pasien sudah tidak merokok lagi.

4) Riwayat keluarga
Anggota keluarga yang tinggal satu rumah tidak ada yang
mempunyai riwayat sesak, tidak ada yang didiagnosis PPOK
sebelumnya, dan tidak ada yang pernah dirawat karena infeksi
paru sebelumnya. Lingkungan tempat tinggal : lantai dari keramik,
pencahayaan matahari bagus, ventilasi udara bagus.

3. Pengkajian Primary dan Secondary


1. Keadaan Umum
1) Tingkat Kesadaran
Compos Mentis
2) Tanda-tanda vital
TD : 180/110 mmHg
P : 109 x/menit
R : 25 x/menit
S : 36,60 C
2. Pengkajian Primer
1) Airway
Jalan nafas bersih, tidak ada sumbatan
2) Breathing
Pasien terlihat sesak, pernafasannya cepat dan dangkal, respirasi
25x/menit, pengembangan dada simetris, terdapat suara ronkhi di
lobus kanan bagian bawah ICS 4 sampai 5, pada saat di perkusi
bunyi paru pekak di lobus kanan bagian bawah ICS 4 sampai 5
3) Circulation
Nadi= 109 x/Menit ( takikardi ), TD= 180/110 mmHg, S =
36,80C, akral hangat, tidak ada perdarahan, turgor kulit normal
4) Disability
kesadaran Penuh, GCS (E4M6V5)
5) Eksposure
Suhu 36,60, Tidak ada tanda tanda trauma atau udema
6) Folley Chateter
Tidak terpasang Folley Chateter
7) Gastric Tube
Tidak terpasang Gastric Tube
3. Pengkajian Sekunder
1) Tanda – Tanda Vital
TD : 180/110 mmHg
P : 109 x/menit
R : 25 x/menit
S : 36,60 C
2) Pemeriksaan Fisik head to toe / Fokus
kepala : konjungtiva ananemis, tidak ada pernafasan cuping
hidung.
3) dada : bentuk dada simetris, bentuk dada normal,
pergerakan dada simetris, retraksi dada (+), warna
kulit dada coklat kemerahan, tidak ada jaringan
parut, lesi (+), pengembangan dada simetris, pada
saat di perkusi bunyi paru terdapat pekak di lobus
kanan bagian bawah ICS 4 sampai 5, pada saat di
auskultasi suara paru vesikuler tapi di lobus kanan
bawah terdengar ronkhi .
4) abdomen : datar, asites (-), pengembangan diafragma 3cm,
ada pernafasan perut, adanya retraksi abdomen.
5) ekstremitas : clubbing finger (-), akral hangat, crt <3 dtk
atas

1. Data Penunjang / Diagnostik


a. Rontgent dada : kesan : - bronchitis dengan empisema pulmonik
- tidak tampak kardiomegali

b. Lab darah

TANGGAL NAMA HASIL NILAI NORMAL INTERPREST


PEMERIKSAAN ASI
HASIL LAB
22-04-2017 Hemoglobin 15,6 g/Dl 12,00-15,30g/dL Normal
Leukosit 14100/ µL 4.400-11.300/ µL Tinggi
Hematocrit 46,9 % 35,00-47,00% Norrnal
GDS 95 Mg/dL < 140 Mg/dL Normal
Ureum 63 Mg/dL 6,00 – 46,00Mg/dL Normal
Creatin 1,2 Mg/dL 0,60 – 1,50Mg/dL Normal

2. Terapy
a. IUFD Nacl 0,9% 20 tpm
b. Nebu Kombiven 2 ml
c. Codein 2x1 gr
d. Cefotaxime 2x1 gr
e. Amlodipin 10mg 1x1
f. Ranitidin 2x1 gr

B. Analisa Data

Sign & Symptom Etiologi Masalah

Ds : Perokok aktif bersihan jalan nafas


- Klien mengatakan tidakefektif
Batuk
-Dispnea Asap rokok masuk ke saluran
-Klien mengatakan sulit nafas
berbicara/ mengeluarkan
suara
Asap rokok menginfeksi
saluran nafas

DO: Kelenjar yang mensekresi


- Sputum (+) lendir meningkat
- RR : 25x/menit
- Pasien tampak gelisah
- Pola nafas cepat dan
dangkal Sel goblet meningkat
- Batuk tidak efektif
- Terdapat ronkhi di ics 4 -5
bagian kanan Fungsi silia menurun
-Hasil rontgent dada :
Bronchitis dengan
empisema Sputum meningkat
pulmonik

batuk

bersihan jalan nafas


tidakefektif

C. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


1. bersihan jalan nafas tidakefektif b.d infeksi saluran nafas
D. Rencana Keperawatan
Dx. Kep Tujuan Intervensi Rasional
bersihan Setelah dilakukan tindakan kep 6 - Bantu klien - Ventilasi maksimal
jalan nafas jam pasien menunjukan nafas dalam
membuka lumen
tidakefektif keefektifan pola nafas dengan
b.d infeksi criteria hasil : jalan nafas dan
saluran
meningkatkan
nafas yang Respiratory status : ventilation
di tandai Respiratori status : airway gerakan secret
oleh : patency
kedalam jalan nafas
Ds : - mendemonstrasikan besar untuk di
- Klien batuk efektif dan suara
keluarkan.
nafas yang bersih, tidak
mengatakan ada dispnea ( mampu
batuk mengeluarkan sputum,
- Meningkatkan
mampu bernafas dengan
DO: mudah) - Atur posisi ekspansi dada
- Sputum semi fowler
- Batuk yang terkontrol
(+) - menunjukan jalan nafas
- RR : yang paten ( frekuensi - Ajarkan cara dan efektif dapat
25x/menit pernafasan dalam batuk efektif
memudahkan
rentang normal, tidak
ada suara abnormal) pengeluaran secret
yang melekat di jalan
- tanda tanda vital dalam
rentang normal nafas
(TD,RR,N,S)
- Untuk membantu
menaikan sekresi
sehingga dapat di
keluarkan atau di
- Lakukan
fisioterapi hisap dengan mudah
dada dengan - Pemberian
teknik
postural bronkodilator via
drainage dan inhalasi akan
fibrasi dada
langsung menuju area
bronchus yang
mengalami spasme
- Kolaborasi sehingga lebih cepat
pemberian
obat : berdilatasi
Bronkodilator

E. Evidance Based Practice ( EBP ) terkait


Dibawah ini adalah Evidance based Practice yang ditemukan terkait dalam
menunjang penanganan dan pengelolaan pada kasus PPOK:
No SUB EBP Deskripsi
Latihan Peningkatan kualitas hidup pasien PPOK dengan menggunakan
Endurance latihan Endurance lebih baik dari pada latihan pernafasan, telah
Meningkatkan dibuktikan dengan jurnal “SPORT AND FITNESS JOURNAL VOL.
Kualitas 1. NO. 1: 20-30 JUNI 2015. Bahwa latihan pernafasan dan latihan
Hidup Lebih endurance sama-sama dapat meningkatakan kualitas hidup. Tetapi
Baik Dari latihan endurance dapat meningkat kan kualitas hidup lebih baik di
Pada Latihan bandingkan latihan pernapasan pada pasien PPOK, Latihan
Pernafasan Endurance bertujuan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas
Pada Pasien sistem transportasi oksigen.
PPOK Di Bp4
Yogyakarta.
2. Peran Upper Dibuktikan dengan jurnal“ JRespir Indo Vol. 35 No.3 Juli 2015.
Limb Dan Penelitian ini melibatkan 24 pasien PPOK dirumah sakit Dr.
Lower Limb Moewardi Surakarta. Kelompok subjek penelitian di bagi menjadi
Exercise dua. Kelompok pertama pada 13 pasien mendapatkan perlakuan
Terhadap berupa upper limb exercise training, Kelompok ke 2 mendapatkan
Kapasitas perlakuan berupa lower limb exercise setalah di lakukan exercise
Latihan Dan selama 6 minggu terlihat perubahan, bahwa kelompok upper maupun
Fat-Free Mass lower limb exercise training mengalami peningkatan secara
Penderita signifikan. upper limb dan lower limb exercise tiga kali sehari selama
Penyakit Paru 6 minggu dapat memperbaiki nilai 6MWT, VO2 maks (volume
Obstruktif maksimal oksigen) dan FFM pada penderita PPOK.
Kronik Stabil.
3. Effects of Berdasarkan evidence based practice bahwa latihan pernafasan yoga
Yoga (Pranayama) dapat dilakukan dalam pengelolaan pasien dengan
Breathing masalah pernafasan. Hasil penelitian latihan pernafasan pranayama
Exercises on pada pasien COPD/PPOK didapatkan hasil terjadi peningkatan nilai
Dyspnea and FVC, FEV1, PEF dan ada peningkatan aktivitas jalan dengan 6MWT
Functional serta terjadi penurunan gejala sesak nafas.
Abilities of
Patients with
COPD
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK
merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya
menimbulkan obstruksi. Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan berat)
ini disebabkan karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan partikel atau
gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala
utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.
Penyebab dari penyakit ini yaitu dari kebiasaan sehari-hari seperti merokok,
lingkungn yang tidak bersih, mempunyai penyakit saluran pernfasan, dll.
Penyakit ini tidak dapat disembuhkan secara total karena penyakit ini
merupakan penyakit komplikasi seperti asma, emphiema, bronkus kritis dll.
Hanya saja akan berkurang secara bertahap apabila rutin berkonsultasi
dengan dokter, mengubah pola hidup sehari-hari dan sering berolahraga.
Dari asuhan keperawatan Tn. K dengan diagnose PPOK ( penyakit Paru
Obstruktif Kronik ) maka Diagnosa keperawatan yang di dapat adalah
Bersihan jalan napas tidak efektif, Dari jurnal yang kita dapat bahwa Latihan
Endurance lebih baik dari pada latihan pernafasan, karna dapat
meningkatkan kalitas hidup pada penderita PPOK, dan jurnal kedua dengan
hasil peneltian bahwa peran Upper limb dan Lower Limb Exercise juga
dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita PPOK.
DAFTAR PUSTAKA

Global Obstructive Lung Disease (GOLD). (2009). Konsep Penyakit Paru


Obstruktif Kronik (PPOK). Media Centre : Online. Diakses pada tanggal 20
Maret 2017. Dari
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5314/3/T1_462008031_B
AB%20II.pdf

Haryani, A., Alimatussadiah. Santy. (2009). Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta:


CV Cakra.

Khotimah, S. (2013). Latihan Endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik


dari pada latihan pernafasan pada pasien PPOK di BP4 Yogyakarta, Sport
and Fitness Journal Vol 1 No 1.

Kementrian kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian


kesehatan RI.

Kowalak, JP., Mayer. Brenna, W., Wiliam, H., Andry. (2011). Buku ajar
patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Morton, PG., Fortaine, D., Hudak, CM., Gallo, BM. (2011). Keperawatan Kritis.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Novianti, Z., Suradi., Doewes, M. (2015). Peran Upper Limb dan Lower Limp
Exercise Terhadap Kapasitas Latihan dan Fat-Free Mass Penderita
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil, J Respir Indo Vol 35 No 3.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDIP). (2010). Penyakit Paru Obstruktif


Kronik (PPOK). Media Centre: Online. Diakses pada tanggal 10 maret
2017.Dari http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/konsensus-
ppok-isi2.html

Syaifuddin. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan


edisi 2. Jakarta : Salemba Medika

World Health Organization (WHO). (2016). Chronic Obstructive Pulmonary


Disease (COPD). WHO Media Centre: Online. Diakses pada tanggal 6
maret 2017. Dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/
World Health Organization (WHO). (2015). WHO Statistical Profile. WHO data :
Online. Diakses pada tanggal 6 Maret 2017. Dari
http://www.who.int/gho/countries/idn.pdf?ua=1
TANDA BUKTI KONSULTASI BIMBINGAN MAKALAH
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT TK. 3 SEMESTER VI
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FALETEHAN SERANG
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN SERANG
TAHUN AKADEMIK 2017 -2018

KONSULTASI MAKALAH / TEORI

NAMA :

NIK :

JUDUL KASUS :

Serang……………..2017

Pembimbing Makalah

(......................................................)

KONSULTASI MAKALAH / KASUS

NAMA :

NIK : ( )

JUDUL MAKALAH :

Serang, ……………………20…….
Serang……………..2017

Pembimbing Makalah
Ketua Prodi PSIK STIKes Fa,

(......................................................)

Anda mungkin juga menyukai