Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULAN

A. LATAR BELAKANG
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan dan merupakan
proses alami yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu. Proses alami ditandai
dengan menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri / mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Contantinides, 1994 dalam Nugroho, 2000).
Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai
dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh (Papalia, 2007). Secara umum,
populasi penduduk lansia 60 tahun ke atas pada saat ini di negara-negara dunia
diprediksikan akan mengalami peningkatan. Jumlah penduduk lanjut usia di dunia
saat ini diperkirakan ada 500 juta dengan usia ratarata 60 tahun dan diperkirakan
pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Antara tahun 2007 dan 2050,
presentasi jumlah penduduk lansia di Amerika Afrika diperkirakan mengalami
peningkatan dari 8,3% mencapai 11%, sementara itu perkiraan peningkatan
jumlah populasi lansia juga terjadi di Asia antara tahun 2007 dan 2050 dari 2,3%
mencapai 7,8% (Meiner, 2011).
Peningkatan populasi lanjut usia di Indonesia dimulai pada tahun 1971
sebesar 4,48%, pada tahun 2000 jumlah lansia di Indonesia sebesar 7,28%,
kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi 9,77%, dan pada tahun 2020
diproyeksikan menjadi sebesar 11,34% (Astuti et al, 2007). Dilihat sebaran
penduduk lansia menurut provinsi, persentase penduduk lansia paling tinggi ada
di Provinsi DI Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur (10,40%), Jawa Tengah
(10,34%), sedangkan Sumatra Barat menduduki posisi ke tujuh yaitu 8,09%
(Susenus, 2012).

Penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, otot,


tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya.
Kemampuan regenerasi yang terbatas dan pertahanan terhadap infeksiyang
menurun membuat lansia menjadi lebih rentan terhadap berbagai masalah
kesehatan dibandingkan dengan orang dewasa lain (Adriani dan Wirjatmadi,
2012).
Salah satu kelemahan otot pada lansia yaitu penderita paraplegia memiliki
masalah yang kompleks diantaranya dalam pemenuhan aktivitas kehidupan
sehari-hari yang mengalami perubahan keterbatasan mobilitas akibat dari
kecacatan yang terjadi, sehingga menjadikan suatu hambatan dalam melaksanakan
tugasnya.
Paraplegia adalah kelumpuhan anggota gerak bagian bawah akibat
kerusakan pada medulla spinalis dibagian thorakal, lumbal dan sacrum (Powell,
1986). Adapun penyebab paraplegia antara lain : trauma yang menimpatulang
punggung, infeksi tulang punggung, HNP (Hernia Nucleus Pulposus),tumor pada
tulang belakang dan dari cacat bawaan (Speharso, 1980).
Paraplegia sendiri bukanlah suatu penyakit, paraplegia merupakan kondisi
cedera pada sumsum tulang belakang yang mengenai sistem saraf pusat dan
kebanyakan disebabkan karena jatuh dari ketinggian, kecelakaan parah dan ada
juga karena penyakit bawaan. Kebanyakan pasien paraplegia mengalami
kelumpuhan pada kedua kaki dan mati rasa pada bagian perut hingga ujung kaki
akibat cedera sumsum tulang belakang sehingga menyebabkan pasien paraplegia
menggunakan kursi roda dan alat bantu lainnya untuk mendukung hidup mereka
(Arif, 2013).
Salah satu penyebab dari paraplegi adalah spinal cord injury (SCI). Spinal
cord injury mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis yang menimbulkan
perubahan baik sementara maupun permanen pada fungsi motorik, sensorik atau
otonom (Dawudo, 2005).
Menurut ASIA (2000) seperti yang dikutip Trombly (2002), paraparese
karena spinal cord injury dapat berupa paraplegi komplit dan paraparese
inkomplit. Pada paraparese komplit, pasien kehilangan fungsi sensorik dan
motorik hingga segmen sakral yang terbawah. Sedangkan pada paraparese
inkomplit pasien kehilangan sebagian fungsi sensorik dan atau motorik di bawah
level cedera termasuk hingga segmen sakral yang terbawah.
Pasien yang mengalami pereplegia mengakibatkan tirah baring yang
lamadan menghambat pasien untuk beribadah. Salah satu pasien pada lansia
mengalami depresi karenaterlalu lama berbaring di tempat tidur.
Secara epidemologik, di negara barat depresi dikatakan terdapat pada 15 -
20% populasi usia lanjut di masyarakat. Insidensi bahkan lebih tinggi pada lansia
yang ada di institusi. Sedangkan di Asia angkanya jauh lebih rendah. Keadaan ini
diduga karena terdapat faktor sosiokultural- religi yang berpengaruh positif.
Angka yang didapatkan pada lansia yang menderita depresi sebanyak 2, 3%,
angka di masyarakat juga didapatkan lebih rendah (Martono, cit Darmojo, 2010).
Depresi semakin berat apabila tingkat kereligiusan lansia rendah. didunia
kedokteran dan keperawatan barat awalnya hanya mengandalkan pada aspek
biopsikososial. Beberapa dekade terakhir ini pandangan tersebut mulai berubah
dimana manusia dipandang secara holistik meliputi biopsikososiospiritual
(Hawari, 2002).
Menurut Hawari (2001 dalam Saputri, 2011) depresi merupakan salah satu
bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood disorder), yang
ditandai dengan ketidakgairahan hidup, kemurungan, kelesuan, putus asa dan
perasaan tidak berguna. Gangguan depresi sendiri apabila tidak diobati maka akan
mengakibatkan kesulitan pada penderitanya yang terlihat dalam pencapaian
akademik yang buruk, keterlambatan dalam perkembangan psikososial,
penyalahgunaan zat adaptif, bahkan percobaan bunuh diri.
Selama melakukan praktik Keperawatan Gerontik di Ruang Geriatri lantai
dasar RSUP Dr. Kariadi Semarang kami mendapatkan data terdapat sejumlah 1
orang pasienn yang mengalami depresi dengan diagnosa paraplegia.
Salah satu intervensi untuk mengatasi depresi pada lansia yaitu dengan
cara terapi psikoreligius. Berdasarkan jurnal Saseno (2014) tentang efektifitas
terapi spikoreligius terhadap penurunan depresipada lansia di panti wreda.
Didapatkan hasil psikoreligius efektif terhadap penurunan depresi pada lansia.
Berdasarkan uraian diatas kam ibertujuan untuk menerapkan tindakan asuhan
keperawatan terapi religius terhadap penurunan depresi pada lansia berdasarkan Evidance
Based Nursing (EBN) pada pasien depresi dengan diagnosa paraplegia.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh tindakan asuhan keperawatan terapi psikoreligius terhadap
peningkatan tingkat depresi pada pasien dengan diagnosa paraplegia.
2. Tujuan khusus
a. Melakukan pengkajian pada pasien yang mengalami depresi dengan diagnosa
paraplegia
b. Menentukan diagnosa keperawatan berdasarkan masalah yang muncul
c. Merencanakan intervensi berdasarkan Evidence Based Nursing (EBN) yang akan
diberikan pada pasien yang mengalami kelemahan otot dengan diagnosa medis
paraplegia.
d. Melakukan implementasi dan evaluasi tindakan berdasarkan Evidence Based
Nursing (EBN)

C. Manfaat
1. Bagi Perawat
a. Menambah pengetahuan tentang paraplegia berdasarkan Evidence Based Nursing.
b. Dapat memberikan intervensi pada klien dpresi dengan penyakit paraplegia pada
lansia.
c. Dapat mengetahui prosedur dalam melakukan intervensi pada klien dengan
paraplegia.
2. Bagi Masyarakat
Dapat menambah pengetahuan tentangparaplegia pada lansia.
3. Bagi Klien dan Keluarga
Dapat tanggap terhadap gejala-gejala atau faktor resiko dari penyakit paraplegia serta
keluarga dan klien dapat menggunakan terapi psikoreligius untuk meingkatkan
depresi pada klien.

Anda mungkin juga menyukai