Bab 2

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mata Kering

2.1.1 Definisi Mata Kering

Mata kering adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan

konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya volume air mata. Pasien akan mengeluh

gatal, mata seperti berpasir, silau, dan penglihatan kabur. Mata akan memberikan gejala

sekresi mukus yang berlebihan, sukar menggerakkan kelopak mata, mata tampak

kering dan terdapat erosi kornea, konjungtiva bulbi edema, hiperemi, menebal dan

kusam, kadang-kadang terdapat benang mukus kekuning-kuningan pada forniks

konjungtiva bagian bawah (Ilyas, 2011).

2.1.2 Faktor yang mempengaruhi mata kering

Mata kering dipengaruhi oleh idiopatik, gaya hidup, penyakit jaringan ikat, luka

di konjungtiva, obat-obatan, infiltrasi kelenjar lakrimal, defisiensi vitamin A, dan

kontrasepsi.(Williams, 2012).

2.2 Air Mata

Air mata adalah cairan bersifat basa yang dihasilkan terus-menerus oleh

kelenjar lakrimal. Air mata menjaga permukaan konjungtiva yang saling bersentuhan

tetap lembab dan menyingkirkan debu (John Gibson, 2002).

5
6

2.2.1 Sistem Lakrimal

Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari sistem sekresi lakrimal,

distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular, dan drainase melalui sistem

ekskresi lakrimal. Abnormalitas salah satu dari keempat proses ini dapat menyebabkan

mata kering. Sistem lakrimal terdiri dari sistem sekresi dan sistem ekskresi (Kanski,

2011) yaitu :

2.2.2.1 Sistem sekresi.

Aparatus sekretorius lakrimalis terdiri dari kelenjar lakrimal utama, kelenjar

lakrimal assesoris (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra

(kelenjar meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistem sekresi terdiri

dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah sekresi air mata tanpa ada

stimulus dari luar, sedangkan refleks sekresi terjadi hanya bila ada rangsangan

eksternal (Kanski, 2011).

2.2.2.2 Sistem ekskresi.

Perjalanan ekskresi lakrimal dimulai dari punkta, kemudian ekskresi air mata

akan masuk ke kanalikulus, setelah itu bermuara di sakus lakrimal melalui ampula.

Pada 90% orang, kanalikulus superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus

komunis sebelum ditampung dalam sakus lakrimal. Pada kanalikulus, terdapat katup

rosenmuller yang berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata. Setelah ditampung

di sakus lakrimal, air mata akan diekskresikan melalui duktus nasolakrimal sepanjang

12-18 mm ke bagian akhir di meatus inferior. Di sini juga terdapat katup hasner untuk

mencegah aliran balik (Sullivan, 2004).


7

(Wagner, 2006)
Gambar 2.1
Anatomi Sistem Lakrimal

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi sekresi air mata

Semua jaringan pada permukaan bola mata, kelenjar sekretorius, palpebra

dan saluran ekskretorius dari jalur nasolakrimal terhubung oleh jaringan neural

yang kompleks atau unit fungsional lakrimal. Jalur sensori aferen berasal dari saraf

ofthalmik cabang dari saraf trigeminus. Jalur eferen bersifat otonom yaitu simpatis

dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis berasal dari ganglion servikal superior.

Saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivarius superior yang berlokasi di pons,

keluar dari batang otak bersama saraf fasialis (n.VII). Saraf lakrimal kemudian

meninggalkan n VII menuju kelenjar lakrimal. Persarafan yang kompleks ini

berfungsi untuk mengontrol fungsi kelenjar lakrimal sehingga menjaga homeostasis

lapisan air mata dan berespon terhadap stress dan trauma (American Academy of

Ophthalmology, 2012).
8

Gangguan pada jalur aferen dan atau eferen pada lengkung reflek

menurunkan sekresi lakrimal. Gangguan jalur aferen dapat disebabkan antara lain

karena pengunaan lensa kontak, akibat operasi seperti laser insitu keratomileusis

(LASIK) ataupun ekstraksi katarak ekstrakapsular (EKEK). Gangguan jalur eferen

dipengaruhi oleh konsumsi obat antikolinergik seperti antihipertensi; antidepresan;

antiaritmia; antiparkinson; dekongestan seperti efedrin dan pseudoefedrin;

antihistamin; anti ulkus dan obat untuk spasme otot. Obat antihipertensi yang terbukti

menurunkan produksi air mata antara lain clonidine, prazosin, propanolol, reserpine,

methyldopa dan guanethidine. Antidepresan dan psikotropik seperti amitriptilin,

imipramide, phenothiazine, dan diazepam menimbulkan mata kering. Disopyramide

dan mexiletine adalah obat untuk antiaritmia yang berpotensi menimbulkan

penurunan sekresi air mata. Antiparkinson seperti trihexyphenidyl, benztropine,

biperiden dan procyclidine berpotensi menurunkan produksi air mata (American

Academy of Ophthalmology, 2012).

Gangguan kelenjar lakrimal dapat berhubungan dengan penyakit sistemik

dan autoimun lainnya. Walaupun kelenjar lakrimal bukan sebagai target primer,

namun proses inflamasi dapat terjadi. Salah satu penyakit yang dapat mengganggu

sekresi air mata adalah diabetes melitus (Grus, 2002). Kelenjar lakrimal sering

menjadi target sistem imun dan menunjukkan tanda-tanda inflamasi pada kondisi

patologis tertentu. Hal ini dapat terjadi pada penyakit autoimun (Sjogren syndrome

) atau pada proses penuaan. Inflamasi kelenjar lakrimal akan mengganggu sekresi

air mata.
9

Mekanisme hormonal juga berperan dalam pengaturan sekresi air mata, hormon

tersebut antara lain leutinizing hormone, follicle stimulating hormone, prolactin,

thyroid stimulating hormone, progesteron, dan estrogen (Lemp, 2008). Sistem endokrin

berpengaruh terhadap fisiologi kelenjar lakrimal seperti aktivasi sel asinar untuk

memproduksi aqueous dan lipid yang berguna untuk menjaga mata agar tetap lembab

dikarenakan terdapat reseptor mRNA hormon androgen, estrogen, progesteron, dan

prolaktin dalam jaringan mata manusia yang mengatur fungsi dan sekresi kelenjar

lakrimal dan meibom (Wulandari & Meida, 2013). Hormon yang telah disebutkan lebih

banyak terdapat pada wanita sehingga mata kering lebih sering dialami oleh wanita.

Keadaan wanita yang beresiko mengalami mata kering adalah saat kehamilan,

menyusui, pemakaian obat kontrasepsi, dan menopause (Dry Eye Workshop, 2007)

Sekresi kelenjar lakrimal dipengaruhi oleh reflek lakrimasi yang dipicu oleh

suatu iritasi pada permukaan bola mata. Reseptor sensoris merespon kondisi

permukaan bola mata yaitu pada kornea dan konjungtiva, selanjutnya akan

mengirimkan sinyal aferen ke sistem saraf pusat yang kemudian akan memberikan

impuls eferen berupa parasimpatis dan simpatis pada kelenjar lakrimal. Kondisi emosi

seseorang juga dapat memicu reflek lakrimasi dan menghasilkan sekresi air mata dalam

jumlah yang banyak, dimana penting untuk melarutkan material asing seperti debu,

alergen dan toksin pada permukaan bola mata (Tsubota, 2008).

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan sekresi air mata tidak menurun, antara

lain gaya hidup seseorang seperti sering mengkonsumsi ikan tuna yang kaya omega-3,

dimana eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) dalam asam

lemak omega-3 mempunyai fungsi sebagai agen anti-inflamasi, rutin meminum air
10

putih 1,5 – 2 liter sehari dapat membantu mata untuk memproduksi lebih banyak air

mata. Orang yang jarang terpapar oleh angin dan melindungi matanya ketika

melakukan aktivitas di luar ruangan cenderung tidak mengalami penurunan kualitas air

mata, hal ini dikarenakan permukaan bola terlindungi dari benda asing seperti debu

yang dapat menyebabkan inflamasi di bola mata terutama pada kelenjar lakrimal

(American Academy of Ophthalmology, 2012).

2.2.4 Evaluasi sekresi lakrimal

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan aqueous air mata

adalah dengan Schirmer 1. Pemeriksaan ini menggunakan strip kertas saring Whattman

41. Kertas diletakkan pada palpebra bawah sampai ke cul-de-sac tanpa didahului

pemberian anestesi, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral. Pasien

dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah karena air

mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti Schirmer negatif

yaitu produksi air mata normal. Nilai dibawah 5,5 mm merupakan diagnostik dari

aqueous tear deficiency (ATD) (Dry Eye Workshop, 2007).

(Asyari. 2007)
Gambar 2.2
Pemeriksaan Schirmer
11

2.3. Kontrasepsi Kombinasi Metode Suntik

Kontrasepsi kombinasi metode suntik adalah kontrasepsi suntik sebulan sekali

mengandung estrogen dan progesteron yang sangat efektif, dengan angka kegagalan

kurang dari 1%. Sebagian besar wanita usia reproduksi lebih menyukai obat suntik

sebulan sekali daripada obat suntik jangka panjang karena menghasilkan perdarahan

bulanan teratur dan jarang menyebabkan spotting, dan efek menghambat fertilitas-nya

cepat hilang (WHO, 2007).

Jenis suntik kombinasi mengandung Depo Medroksiprogesteron Asetat dan 5

Estradiol Sipionat yang diberikan secara suntik intra muscular. Cara kerja kontrasepsi

ini antara lain menekan ovulasi, membuat lendir serviks menjadi kental sehingga

penetrasi sperma terganggu, atrofi pada endometrium sehingga implantasi terganggu,

dan menghambat transportasi gamet oleh tuba. Pada tahun pertama penggunaan hanya

terjadi 0,1-0,4 kehamilan per 100 perempuan (Saifuddin, 2006).

2.4. Usia Reproduksi

Usia Reproduksi adalah masa pada perempuan usia 15-46 tahun. Selama usia

reproduksi terjadi maturase folikel, ovulasi, dan pembentukan korpus luteum. Proses

ini terjadi akibat interaksi hipotalamus-hipofisis-gonad. Proses ini melibatkan folikel

dan korpus luteum, hormon steroid, gonadotropin hipofisis, dan faktor autokrin atau

parakrin. Pada usia reproduksi hormon estrogen dan progesterone sangat berperan pada

tubuh seorang wanita (Sarwono, 2011)

Kehamilan banyak terjadi pada usia subur sehimgga banyak perempuan

menggunakan alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan, mengatur jarak kehamilan,


12

dan mencegah kehamilan. Alat kontrasepsi yang digunakan beraneka ragam, mulai

alami, mekanik, dan hormonal.

2.5. Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Kombinasi dengan Menurunnya Kualitas

Air Mata

Produksi air mata dipengaruhi oleh keseimbangan hormon estrogen,

progesteron, dan androgen (Gligorijevic J, 2011). Reseptor mRNA hormon tersebut

terdapat pada kelenjar lakrimal, kelenjar meibom, palpebral, dan kornea. Hormon

tersebut mengatur karakteristik struktural dan fungsi jaringan okular. Reseptor mRNA

tersebut rentan terhadap kontrasepsi hormonal. (Idu, et al, 2013).

Salah satu kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi kombinasi metode suntik.

Kontrasepsi tersebut dapat mengganggu keseimbangan hormon mulai dari dua minggu

setelah pemakaian (Suzuki, 2006). Hingga saat ini belum diketahui berapa kadar

normal estrogen dan progesteron pada kelenjar mata manusia sehingga dapat menjaga

dari keluhan mata kering.

Pemberian progesteron dan estrogen berperan sebagai antagonis androgen dengan

cara mengganggu efek yang diinduksi androgen melalui jalur testosteron dengan cara

melemahkan pengikatan testosteron dan menganggu konversi testosteron menjadi

androgen yang poten. Androgen bekerja pada sel epitel asinus kelenjar sehingga

menjaga stabilitas air mata dengan mencegah evaporasi. Sel asinar pada kelenjar

mukosa merupakan penghasil aqueos yang berfungsi membasahi permukaan mata pada

struktur kelenjar lakrimal dan juga menghambat reseptor mRNA androgen yang
13

menyebabkan penurunan hormon androgen di kelenjar lakrimal. Kadar hormon

androgen yang berkurang ini berefek menurunkan transforming growth factor sehingga

sel asinar mengalami disfungsi atau kerusakan. Sel asinar pada kelenjar lakrimal

merupakan penghasil aqueos yang berfungsi membasahi permukaan mata, bila terjadi

disfungsi sel asinar maka akan menyebabkan produksi air mata menurun. Sel asinar

pada kelenjar meibom adalah penghasil lipid yang berfungsi mencegah penguapan

berlebihan. Oleh karena itu, penurunan kuantitas dapat terjadi karena dipicu oleh

disfungsi sel asinar (Carlos, 2007). Beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan

penurunan hormon androgen antara lain adalah karena usia, penggunaan kontak lensa,

alergi, pemakaian terapi anti-androgen, inflamasi pada permukaan okuler, penyakit

autoimun dan insensivitas androgen. Sehingga, penurunan hormon androgen

menyebabkan penurunan kuantitas air mata (Zierhut, 2002).

Meningkatnya kadar hormon estrogen dan progesteron akan menyebabkan

hiperosmolaritas air mata sehingga menyebabkan kerusakan pada permukaan epitel

dengan mengaktifkan kaskade inflamasi pada lekenjar lakrimal, yang kemudian akan

menyebabkan peningkatan ekspresi gen apoptosis pada sel asinar. Hiperosmolaritas

air mata disebabkan karena ketidakseimbangan antara sekresi, ekskresi dan penguapan

yang terjadi di permukaan okular.

Estrogen, progesteron, atau keduanya bersama-sama mempengaruhi secara

signifikan ekspresi gen di kelenjar lakrimal. Perubahan yang terjadi antara lain

aktivitas gen yang berhubungan dengan transkripsi, pertumbuhan atau pemeliharaan,

komunikasi sel, sinyal transduksi, katalis enzim, ekspresi imun, metabolism asam
14

nukleat dan protein. Sehingga peningkatan kedua hormone tersebut dapat menurunkan

kuantitas air mata (Suzuki, 2006).

Estrogen menyebabkan pengeluaran enzim lisosomal dan berakibat perusakan

sel dini (Sullivan, 2009). Hormon estrogen memiliki efek negatif pada kelenjar

lakrimal, yaitu menyebabkan regresi kelenjar lakrimal, penekanan produksi protein

lakrimal, dan menurunkan sekresi air mata. Level protein lakrimal yang tinggi yaitu 20

kilo dalton, akan mengalami penurunan saat kadar estrogen tinggi. Penurunan level

protein lakrimal dapat terjadi pada wanita yang menggunakan kontrasepsi kombinasi

jangka lama sehingga dapat menyebabkan penurunan produksi air mata oleh kelenjar

lakrimal (Sullivan, 2004).

Progesteron menurunkan ekspresi FoxP3 atau Forhead box P3 yang merupakan

faktor transkripsi dalam mengatur fungsi limfosit, sehingga fungsi limfosit terganggu.

Selain itu, progesteron juga menurunkan ekspresi dari protein Cluster of Differentiation

86 atau CD86, Interleukin-12 atau IL-12 dan chemokine ligand 28 atau CCL28 yang

merupakan natural killer cell dan berhubungan dengan respon tubuh terhadap

inflamasi. Apabila ekspresi protein tersebut menurun maka sel mudah mengalami

inflamasi. Penurunan dari FoxP3, CD86, IL-12 dan CCL28 tersebut memudahkan

terjadinya inflamasi pada permukaan mata yang kemudian merusak fungsi kelenjar

lakrimal sehingga menurunkan kuantitas air mata (Mircheff, 2015).

Semakin lama penggunaan kontrasepsi kombinasi metode suntik akan semakin

menurunkan produksi air mata karena tingginya kadar estrogen dan progesteron dalam
15

jangka waktu lama adalah faktor resiko penurunan kualitas air mata. Hal ini terjadi

karena kelenjar lakrimal mengandung reseptor hormon estrogen dan progesteron untuk

regulasi dari sekresi kelenjar lakrima (Idu, et al, 2013). Paparan estrogen dan

progesteron yang terus menerus di kelenjar air mata akan merusak sel asinar yang

berfungsi untuk memproduksi aqueous dan akan menghambat sintesis hormon

androgen dalam waktu lama, sehingga mengakibatkan produksi air mata berkurang

(Emina dan Ubaru, 2012; Lines dan Albeson, 2006).

Anda mungkin juga menyukai