Anda di halaman 1dari 2

● TELAAH

KLAIM HALAL

Pada label kemasan (packaging) sering dijumpai, kata “Halal”, atau


‘Khalal”, atau “Halal 100 %”. Juga dengan logo tulisan Arab, yang
pesan intinya adalah produsen hendak mengomunikasikan kepada
konsumen (khalayak) bahwa produk itu (isi di dalam kemasan) dibuat dari
bahan-bahan dan proses yang “syah”, “diizinkan”, sesuai syariat agama
Islam. Pencantuman kata dan logo “halal” dalam perdagangan merupakan
strategi marketing, dalam upaya meraih lebih banyak konsumen muslim.
Strategi itu menjadi lebih bermakna di Indonesia, mengingat hasil sensus
penduduk tahun 2010, menyebutkan lebih 85 % penduduk Indonesia atau
sekitar 195 juta jiwa adalah muslim. Pertanyaannya, bisa
dipertanggungjawabkankah klaim “halal”, yang sering produsen tuliskan itu?

Sesuai dengan bunyi pasal 7 (a) UU No.8/1999 (UU Perlindungan


Konsumen), disebutkan bahwa pelaku usaha (produsen) wajib memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang dan jasa yang
ditawarkan. Lebih lanjut pada pasal 8 (1:f) dinyatakan pelaku usaha
(produsen) dilarang memproduksi dan mengedarkan barang/jasa yang tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label/etiket/iklan atau promosi
penjualan barang dan jasa itu. Lebih lanjut di dalam Permenkes No.
82/Menkes/SK/I/1996, pasal 5 disebutkan, produsen dan importir yang
mencantumkan label “halal”, harus bertanggungjawab atas kehalalannya.

Permasalahannya tidak sesederhana itu. Bahwa pertanggungjawaban


pencantuman tulisan/logo “Halal”, tidak boleh klaim sepihak (pelaku
usaha/produsen) tanpa disertai bukti uji kehalalan. Ada pihak lain, dalam hal
ini tim penguji (penilai) kehalalan dari unsur Dirjen Pengawasan Obat dan
Makanan (POM) dan Departemen Agama, yang akan turun ke lapangan
sesuai permintaan pelaku usaha (produsen), melihat dan menguji seluruh
bahan dan peralatan yang dipakai serta proses produksinya. Selanjutnya
hasil uji diserahkan kepada Komisi Fatwa Majeles Ulama Indonesia (MUI),
untuk diputuskan status “halal”, atau “tidak halal”, atas produk itu.
Singkatnya untuk disetujui atau ditolak permintaan sertifikasi halal-nya. MUI
lah yang memiliki hak paten, logo “Halal” dalam lingkaran berwarna hijau
itu. Sementara Dirjen POM yang menolak atau memberikan persetujuan
pencantuman pada label/packaging.
Dengan demikian jelaslah bahwa, pelaku usaha (produsen) yang
mencantumkan tulisan atau logo “Halal”, pada label atau kemasan produk,
sekalipun tulisan atau logo itu tidak sama persis dengan logo milik MUI,
tanpa dapat menunjukkan bukti izin pemakaian logo yang sah, maka produk
itu dianggal illegal. Maka sesuai dengan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan
dan KUHP, maka produsen yang bersangkutan bisa diancam pidana.

Maka, apa yang dilakukan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan
(BBPOM) Semarang, beserta satuan Perangkat Kerja daerah (SKPD), dengan
melarang pihak pedagang (retailer) memajang dan menjual produk yang
berlogo Halal tidak standar MUI (suara merdeka, 6/8/2010 hal. F. Ini sebuah
langkah preventif dan pembinaan yang cukup arif terhadap produsen dan
pedagang pengecer dalam rangka melindungi konsumen. Meski hal itu jelas-
jelas termasuk pelanggaran pidana, tampaknya pendekatan pembinaan
masih dijalankan. Ini sebetulnya sangat disayangkan, mengingat UU Pangan
dan UU Perlindungan konsumen sudah lebih 10 tahun diundangkan! Waktu
yang cukup untuk sosialisasi. Bagi konsumen, berhati-hatilah membeli
barang jadilah konsumen cerdas dan merdeka yang tahu hak dan
kewajibannya.

Anda mungkin juga menyukai