Juli 2018
OLEH :
G1A216049
PEMBIMBING:
1
LEMBAR PENGESAHAN
OLEH :
G1A216049
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Case Report Session (CRS) yang berjudul “KERATITIS PUNGTATA
SUPERFISIALIS OS” untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata,
Fakultas Kedokteran Universitas Jambi di RSUD Raden Mattaher.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... .i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... .ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan ............................................................................................. 1
BAB II Laporan Kasus ......................................................................................... 7
BAB III Tinjauan Pustaka ................................................................................... 15
3.1 Anatomi dan Fisiologi ..................................................................................... 19
3.2 Keratitis ........................................................................................................... 19
Definisi ........................................................................................................ 20
Epidemiologi................................................................................................ 20
Etiologi... ..................................................................................................... 21
Patofisiologi... .............................................................................................. 21
Gejala dan Tanda... ...................................................................................... 22
Stadium... ..................................................................................................... 22
Klasifikasi ................................................................................................... 22
Diagnosis ...................................................................................................... 34
Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 36
Tatalaksana................................................................................................... 37
BAB IV Analisa Kasus ......................................................................................... 39
BAB V Kesimpulan……………………………………………………………..43
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... .44
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua penyebab kebutaan dan bila terlambat
di diagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma
dan meninggalkan jaringan parut yang luas. Pada laporan kasus ini akan
membahas keratitis filamentosa.
6
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Umur : 36 Tahun
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pendidikan : SMA
7
berwarna kekuningan disangkal, sakit kepala di kening
yang menjalar disangkal, kelopak mata bengkak disangkal.
Penyakit sistemik
8
Pemeriksaan visus dan refraksi
OD OS
Orthoforia Orthoforia
Pemeriksaan Eksternal
OD OS
9
Palpebra superior Palpebra superior
Cilia Cilia
Trikiasis(-) Trikiasis(-)
10
Kornea Kornea
Jernih Keruh
COA COA
Kedalaman Sedang, darah (-), pus (-) Kedalaman Sedang, darah (-), pus (-)
Pupil Pupil
Iris Iris
Coklat, kripta normal, prolaps (-) Coklat, kripta normal, prolaps (-)
11
Pemeriksaan Slit Lamp
Silia Silia
Conjungtiva bulbi : Injeksi siliar (-), Conjungtiva bulbi : Injeksi siliar (+),
injeksi konjungtiva (-), hiperemis (-) injeksi konjungtiva (-), hiperemis (-)
Bilik mata depan (COA): normal Bilik mata depan (COA): normal
Palpasi : Fluktuasi (+), tidak teraba Palpasi : Fluktuasi (+), tidak teraba
keras. (N) keras. (N)
12
Funduskopi
VISUAL FIELD
Pemeriksaan Umum
Berat badan 45 Kg
Nadi 76 kali/menit
Suhu 36,40C
Pernapasan 18 kali/menit
Diffrential Diagnosa :
- Keratitits Numularis
13
- Keratitis Disiformis
Pengobatan :
- Cendo Gentamysin 0,3% 3 x OS
- Cendo Floxa Eye Drop 0,6ML 6 x OS
- B complex 1x1 tab
- Mata tutup perban
Prognosis :
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Epitel
- Tebalnya 50 um, terdiri atas lim lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng. Sel basal berkaitan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
polygonal di depannya melalui desmosom dan macula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
- Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya.
Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ectoderm permukaan
16
2. Membrana Bowman
- Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi
3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membrana Descemet
- Membrane aselular;merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan
sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, tebal 40 um.
5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, tebal 20-40 um.
Endotel melekat pada membrane descemett melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrana Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf.Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
17
system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.8
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, di mana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitasnya,
dan deturgensinya.8
18
tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral
kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.10
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.
Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau
keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan
kepada kemungkinan adanya cedera kornea.12
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang bradittrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)
diperoleh dari 3 sumber, yaitu :12
Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya
Difusi dari humor aquous
Difusi dari film air mata
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap
lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan
kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat
pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.6
3.2 KERATITIS
3.2.1 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan
menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila
mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis
(atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.3
19
Gambar 2 Keratitis
3.2.2 Epidemiologi
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar
antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun
1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki
dan perempuan tidak begitu bermakna pada angka kejadian keratitis.
Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma,
pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan
lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan
tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak
baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.
3.2.3 Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur.
Selain itu penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan
pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang
masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik
mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak
yang kurang baik .3,8
3.2.4 Patofisiologi
21
Kongesti jaringan yang lebih dalam (iridosiklitis yang dapat
disertai hipopion)
3.2.7 Klasifikasi
22
a. Keratitis nummularis
b. Keratitis disiformis
3. Keratitis stroma
a. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis et lagoftalmus
Etiologi
Belum ditemukan organisme penyebabnya, namun dicurigai virus.
Pada satu kasus berhasil diisolasi virus varicella-zoster dari kerokan
kornea.13,14 Penyebab lainnya dapat terjadi pada moluskulum
23
kontangiosum, acne roasea, blefaritis neuroparalitik, trachoma, trauma
radiasi, lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan
bahan pengawet lainnya.13
Gejala Klinis
Pasien dengan keratitis pungtata superfisial biasanya datang
dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi benda asing, mata berair,
penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) . Lesi pungtata pada
kornea dapat dimana saja tapi biasanya pada daerah sentral. Daerah lesi
biasanya meninggi dan berisi titik-titik abu-abu yang kecil. 13
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki
banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea
superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea bergesekan dengan
palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan
merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi
pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila
lesi terletak sentral pada kornea.13
Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh
kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah
fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada
kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan
pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang
purulen. Keratitis pungtata superfisial ini juga akan memberikan gejala
mata merah, silau, merasa kelilipan, penglihatan kabur.13
24
Gambar 2. Keratitis pungtata superfisial
Patofisiologi
Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan
pada waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan
lainnya yang banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea
pertama-tama akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai
injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-
sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat,
yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi
tidak licin.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini
dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang
berwarna kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam
dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan
parut, namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi
penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator
inflamasi yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke
iris dan badan siliar menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada
iris dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang
dapat terbentuk hipopion. 15
25
B. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer
26
C. Keratitis Disiformis dari Westhoff
D. Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada
satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Kekeruhan subepitel bulat.
Sensasi kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema
palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan
perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk
pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau pembentukan simbelfaron. 2,
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel
terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-bulan
27
namun tidak meninggalkan jaringan parut ketika sembuh. 4 Keratokonjungtivitis
epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-
anak mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit
tenggorokan, otitis media, dan diare.4 Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan
oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia).
Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes
netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear
primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 2
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui
jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril, atau
pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anastetika topikal,
mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari
konjungtiva atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi
sumber penyebaran. 2,4
Kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril
pribadi atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara
teratur di antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang
menyentuh mata khususnya tonometer. Tonometer aplanasi harus dibersihkan
dengan alkohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan
dengan hati-hati. 4
28
B. Keratokonjungtivitis Flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Pada
mata terdapat flikten yaitu berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan
yang terdapat pada lapisan superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan
kornea. 2,5
Bentuk keratitis dengan gambaran bermacam-macam, dengan
ditemukannya infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran
karakteristiknya adalah dengan terbentuknya papul dan pustula pada kornea
ataupun konjungtiva. Pada mata terdapat flikten pada kornea berupa benjolan
berbatas tegas berwarna putih keabuan, dengan atau tanpa neovaskularisasi yang
menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bersifat bilateral yang dimulai dari
daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas
disertai gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di dapatkan
benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hyperemia. Bila
terjadi penyembuhan akan terjadi jaringan parut dengan noevaskularisasi pada
kornea.
Pada anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang
menjadi tukak kornea karena infeksi sekunder. Tukak flikten sering ditemukan
berbentuk sebagai benjolan abu-abu, yang pada kornea terlihat sebagai:
29
- Ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea dengan
pembuluh darah jelas dibelakangnya.
- Flikten multipel di sekitar limbus
- Ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus.
C. Keratitis Herpetika
30
Gambar 3.8 Keratitis dendritik
31
Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek
lakrimasi berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup.
Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6
minggu.
Klasifikasi Diagnosis:
Hogan dkk. (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes
simpleks sebagai berikut:
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma,
geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan,
stroma dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini
keratouveitis dibedakan atas bentuk ulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis
pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu,
pada beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang
diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum.
Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat
oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika,
dendrogeografika, geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.
32
D. Keratokonjungtivitis Sika
36
1. Mengidentifikasi agen patogen dan tes sensitivitas. Hal ini dilakukan dengan
mengambil apusan dasar ulkus sebagai bahan sampel dan inokulasi media
kultur untuk bakteri dan fungi. Spesimen lensa kontak yang digunakan juga
harus diambil dan di kultur untuk memastikan sumber dari bakteri atau jamur.
2. Dilakukan pewarnaan dengan Gram dan Giemsa pada spesimen yang diambil
untuk mendeteksi bakteri.
3. Apabila dicurigai suatu infeksi virus, tes sensitivitas kornea dianjurkan
dimana hasil sensitivitasnya akan berkurang.
3.2.10 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G
atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin
atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret
mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk
jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat
yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan.13
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan
mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan,
sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung
metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan
viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
Pemberian tetes kortikosteroid pada Keratitis Pungtata Superfisial ini bertujuan
untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut
pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun
pada umumnya pada pemberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena
steroid juga dapat memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari
keratitis tersebut adalah virus.3,10
37
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis pungtata superfisial
ini harus terus diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk
waktu lama dapat memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan
berakibat timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah
kemungkinan infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga
steroid ini dapat menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan
kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan
untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah
menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga
mengatasi peradangannya seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari
steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma
yang terinduksi steroid.3,10
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala,
supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan
palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik
mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat
beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.10
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan
juga bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada
keratitis tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40
menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal
kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek
samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%)
efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai
dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari.
Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan
efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini
sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.10
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
KPS. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik
38
dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak
terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena KPS ini dapat juga
terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah
memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.16
Pada KPS dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu
tangan, dan tissue.3,10,16
3.2.11 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan
meninggalkan gejala sisa.
Meskipun sebagian besar KPS memberikan hasil akhir yang baik namun
pada beberapa pasien dapat berlanjut hingga menjadi ulkus kornea jika lesi pada
KPS tersebut telah melebihi dari epitel dan membran bowman. Hal ini biasanya
terjadi jika pengobatan yang diberikan sebelumnya kurang adekwat, kurangnya
kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang sudah dianjurkan, terdapat
penyakit sistemik lain yang dapat menghambat proses penyembuhan seperti pada
pasien diabetes mellitus, ataupun dapat juga karena mata pasien tersebut masih
terpapar secara berlebihan oleh lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari
ataupun debu.1
39
BAB IV
ANALISA KASUS
Anamnesis
Fakta Teori
±5 hari SMRS pasien mengaku awalnya mata Keratitis adalah peradangan kornea
kirinya memerah. Kemudian setelah itu terasa yang dapat disebabkan oleh infeksi
pedih. Keluhan dirasakan terus menerus. bakteri, jamur, virus atau suatu proses
Keluhan berkurang saat pasien meneteskan alergi-imunologi. Mengakibatkan
obat yang dibelinya di apotik. Pasien kornea menjadi keruh sehingga tajam
mengatakan lama kelamaan pandangan mata penglihatan menurun. Infeksi pada
kirinya menjadi kurang jelas, padahal pasien kornea biasanya diklasifikasikan
mengaku bahwa sebelumnya pandangan mata menurut lapisan kornea yang terkena.
kirinya terang dan jelas.
Karena kornea memiliki serabut nyeri,
Pasien juga merasakan matanya semakin kebanyakan lesi kornea, superficial
mengganjal dan silau jika melihat cahaya. maupun dalam menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat
Kotoran mata banyak dan berwarna
oleh gesekan palbebra (terutama palbebra
kekuningan disangkal, sakit kepala di kening
superior) pada kornea akan menetap
yang menjalar disangkal, kelopak mata
sampai sembuh. Karena kornea berfungsi
bengkak disangkal..
sebagai jendela bagi mata dan
membiaskan berkas cahaya, lesi kornea
umumnya agak mengaburkan
penglihatan, terutama kalo letaknya dari
pusat.
40
Fotofobia pada penyakit kornea
adalah akibat kontraksi iris beradang
yang sakit. Dilatasi pembuluh iris
beradang yang sakit. Dilatasi
pembuluh iris adalah fenomena
reflex yang disebabkan iritasi pada
ujung saraf kornea.
Pemeriksaan Oftalmologikus
Fakta Teori
Cendo gentamycin tetes mata adalah obat yang digunakan untuk mengobati radang
41
pada mata yang disertai infeksi oleh bakteri tertentu. Cendo gentamycin tetes mata
mengandung gentamicin, obat yang termasuk antibiotik golongan aminoglikosida
Cendo Floxa merupakan larutan antibiotik steril yang mengandung ofloxacin 3 mg.
Cendo Floxa digunakan untuk mengobati infeksi pada mata yang disebabkan oleh
bakteri yang sensitif. Ofloxacin pada Cendo Floxa dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dengan menghambat produksi protein yang diperlukan bakteri untuk tumbuh
42
BAB V
KESIMPULAN
43
DAFTAR PUSTAKA
44
13. ILyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi 4; 2013. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
14. Riordan Paul – Eva, et al : ”Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum”.
Jakarta : EGC, edisi 17, 2009 : hal 126-143.
15. Andrew A Dahl. Superficial Punctate Keratitis, available at URL :
https://emedicine.medscape.com
16. James bruce, et all. Lecture note oftalmology. Edisi Kesembilan. Penerbit
erlangga 2006. h.67-69
45