Anda di halaman 1dari 45

Case Report Session (CRS)

Juli 2018

KERATITIS PUNGTATA SUPERFISIALIS OS

OLEH :

Dini Yuhelfi Nuryanto, S.ked

G1A216049

PEMBIMBING:

dr. H. Djarizal, Sp.M, M.PH

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)


KERATITIS PUNGTATA SUPERFISIALIS OS

OLEH :

Dini Yuhelfi Nuryanto, S.ked

G1A216049

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada, Juli 2018

Pembimbing

dr. H. Djarizal, Sp.M, M.PH

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Case Report Session (CRS) yang berjudul “KERATITIS PUNGTATA
SUPERFISIALIS OS” untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata,
Fakultas Kedokteran Universitas Jambi di RSUD Raden Mattaher.

Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada dr. H.


Djarizal, Sp.M, M.PHselaku konsulen ilmu mata yang telah membimbing dalam
mengerjakan Case Report Session (CRS) ini sehingga dapat diselesaikan tepat
waktu.

Dengan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi


penulis dan orang banyak yang membacanya terutama mengenai masalah
Keratitis. Saya menyadari bahwa Case Report Session (CRS) ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikan yang akan datang.

Jambi, Juli 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... .i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... .ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan ............................................................................................. 1
BAB II Laporan Kasus ......................................................................................... 7
BAB III Tinjauan Pustaka ................................................................................... 15
3.1 Anatomi dan Fisiologi ..................................................................................... 19
3.2 Keratitis ........................................................................................................... 19
Definisi ........................................................................................................ 20
Epidemiologi................................................................................................ 20
Etiologi... ..................................................................................................... 21
Patofisiologi... .............................................................................................. 21
Gejala dan Tanda... ...................................................................................... 22
Stadium... ..................................................................................................... 22
Klasifikasi ................................................................................................... 22
Diagnosis ...................................................................................................... 34
Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 36
Tatalaksana................................................................................................... 37
BAB IV Analisa Kasus ......................................................................................... 39
BAB V Kesimpulan……………………………………………………………..43
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... .44

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari
media refraksi, kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu epitel,
membran bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Endotel lebih
penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik
pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya
cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea
yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi.1,2
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus, dan jamur. Keratitis diklasifikasikan berdasarkan lapisan pada kornea yang
terkena, keratitis superfisial dan keratitis profunda, atau berdasarkan penyebabnya
yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan
obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap
konjungtivitis menahun. 2,3,4
Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris
yang meradang Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan
merasa ada yang mengganjal atau kelilipan. 3,4
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian terjadinya
keratitis antara lain perawatan lensa kontak yang buruk, Herpes genital atau
infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, higienis
dan nutrisi yang tidak baik.3

5
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua penyebab kebutaan dan bila terlambat
di diagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma
dan meninggalkan jaringan parut yang luas. Pada laporan kasus ini akan
membahas keratitis filamentosa.

6
BAB II

LAPORAN KASUS

Anamnesis

Identifikasi Nama : Tn. S

Umur : 36 Tahun

Jenis kelamin : Laki- laki

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Pekerjaan : Buruh Pabrik

Pendidikan : SMA

Alamat : Muara Sabak

Tanggal berobat : 09 Juli 2018

Keluhan utama Mata kiri pedih sejak ± 5 hari SMRS

Anamnesa Khusus ±5 hari SMRS pasien mengaku awalnya mata kirinya


memerah. Kemudian setelah itu terasa pedih. Keluhan
dirasakan terus menerus. Keluhan berkurang saat pasien
meneteskan obat yang dibelinya di apotik. Pasien
mengatakan lama kelamaan pandangan mata kirinya
menjadi kurang jelas, padahal pasien mengaku bahwa
sebelumnya pandangan mata kirinya terang dan jelas.

Pasien juga merasakan matanya semakin mengganjal dan


silau jika melihat cahaya. Kotoran mata banyak dan

7
berwarna kekuningan disangkal, sakit kepala di kening
yang menjalar disangkal, kelopak mata bengkak disangkal.

Riwayat penyakit a. Riwayat keluhan serupa (-)


dahulu b. Riwayat operasi (-)
c. Riwayat penyakit DM disangkal
d. Trauma pada mata (-)
e. Alergi (-)
Anamnesa keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti pasien

Riwayat gizi IMT = BB/(TB)2= 45/155 = 18,75= normal

Keadaan sosial Menengah


ekonomi

Penyakit sistemik

 Tractus respiratorius Tidak ada keluhan


 Tractus digestivus
Tidak ada keluhan
 Kardiovaskuler
 Endokrin Tidak ada keluhan

 Neurologi Tidak ada keluhan


 Kulit
Tidak ada keluhan
 THT
 Gigi dan mulut Tidak ada keluhan
 Lain-lain
Tidak ada keluhan

Tidak ada keluhan

Tidak ada keluhan

8
Pemeriksaan visus dan refraksi

OD OS

Visus : 6/6 Visus : 6/12, PH 6/9

II. Muscle Balance

Kedudukan bola mata

Orthoforia Orthoforia

Pergerakan bola mata

- Duksi Baik Baik


- Versi Baik Baik

Pemeriksaan Eksternal

OD OS

Infiltrat pungta (+) di permukaan


kornea

9
Palpebra superior Palpebra superior

Blefarospasme (-), benjolan(-), Blefarospasme (-), benjolan(-),


hiperemis(-) hiperemis(-)

Palpebra Inferior Palpebra Inferior

Benjolan(-),hiperemis(-) enteropion (-) Benjolan(-),hiperemis(-) enteropion(-)

Cilia Cilia

Trikiasis(-) Trikiasis(-)

Maderosis (-) Maderosis (-)

Distrikiasis (-) Distrikiasis (-)

Aparatus Lacrimalis Aparatus Lacrimalis

Tampak normal Tampak normal

Conjugtiva tarsus superior Conjugtiva tarsus superior

Papil(-), folikel(-), litiasis (-), Papil(-), folikel(-), litiasis (-),


hiperemis (-) hiperemis (-)

Conjungtiva tarsus inferior Conjungtiva tarsus inferior

Papil(-), folikel(-), litiasis (-), Papil(-), folikel(-), litiasis (-),


hiperemis (-) hiperemis (-)

Conjungtiva Bulbi Conjungtiva Bulbi

Injeksi Siliar (-) Injeksi Siliar (+)

Injeksi Konjunctiva (-) Injeksi Konjunctiva (-)

Kimosis (-), ekimosis (-) Kimosis (-), ekimosis (-)

10
Kornea Kornea

Jernih Keruh

Edema (-) Edema (+)

Infiltrate (-) Infiltrat pungta (+) di permukaan


kornea
Ulkus (-)
Ulkus (-)
Makula (-)
Makula (-)

COA COA
Kedalaman Sedang, darah (-), pus (-) Kedalaman Sedang, darah (-), pus (-)

Pupil Pupil

Bulat, regular Bulat, regular

Refleks Cahaya : Refleks Cahaya :

- Direct (+) - Direct (+)


- Indirect (+) - Indirect (+)
Diameter : 3 mm Diameter : 3 mm

Iris Iris

Coklat, kripta normal, prolaps (-) Coklat, kripta normal, prolaps (-)

Lensa : Jernih Lensa : Jernih

11
Pemeriksaan Slit Lamp

Silia Silia

Trikiasis (-) Trikiasis (-)

Conjungtiva tarsus Conjungtiva tarsus

Papil (-), folikel (-) Papil (-), folikel (-).

Conjungtiva bulbi : Injeksi siliar (-), Conjungtiva bulbi : Injeksi siliar (+),
injeksi konjungtiva (-), hiperemis (-) injeksi konjungtiva (-), hiperemis (-)

Kornea : Jernih, edema (-), infiltrate Kornea : Keruh, Edema (+),infiltrat


(-),sikatriks (-) pungtata (+)

Bilik mata depan (COA): normal Bilik mata depan (COA): normal

Iris : Kripta iris normal Iris : Kripta iris normal

Lensa : Jernih Lensa : Jernih

Tekanan Intra Okuler

Palpasi : Fluktuasi (+), tidak teraba Palpasi : Fluktuasi (+), tidak teraba
keras. (N) keras. (N)

Tonometer Schiotz : tidak dilakukan Tonometer Schiotz : tidak dilakukan

12
Funduskopi

Funduskopi: tidak dilakukan Funduskopi: tidak dilakukan

VISUAL FIELD

Konfrontasi : Sama dengan pemeriksa Konfrontasi : Sama dengan pemeriksa

Pemeriksaan Umum

Tinggi badan 155 Cm

Berat badan 45 Kg

Tekanan darah 100/60 mmHg

Nadi 76 kali/menit

Suhu 36,40C

Pernapasan 18 kali/menit

Kerdiovaskuler BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Traktus gastrointestinal Bising usus (+)

Paru-paru Vesicular (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Neurologi Tidak dilakukan

Diagnosis : Keratitis Pungtata Superfisial OS

Diffrential Diagnosa :
- Keratitits Numularis

13
- Keratitis Disiformis

Anjuran pemeriksaan : Tes fluoresein, Mikrobiologi

Pengobatan :
- Cendo Gentamysin 0,3% 3 x OS
- Cendo Floxa Eye Drop 0,6ML 6 x OS
- B complex 1x1 tab
- Mata tutup perban

Prognosis :

Q Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi


3.1.1 Anatomi Kornea

Gambar 1. Anatomi kornea

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran


11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari
total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber
astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.
Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak
dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea
15
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan.
Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus 5
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan, dari anterior ke
posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang terdiri atas: 6,7

1. Epitel
- Tebalnya 50 um, terdiri atas lim lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng. Sel basal berkaitan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
polygonal di depannya melalui desmosom dan macula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
- Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya.
Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ectoderm permukaan
16
2. Membrana Bowman
- Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi

3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membrana Descemet
- Membrane aselular;merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan
sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, tebal 40 um.
5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, tebal 20-40 um.
Endotel melekat pada membrane descemett melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrana Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf.Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan

17
system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.8
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, di mana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitasnya,
dan deturgensinya.8

3.1.2 Fisiologi Kornea


Fungsi utama kornea adalah sebagai membrane protektif dan sebuah
“jendela” yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea
dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang
sifat deturgescencenya. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis
special dari komponen-komponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari masing-
masing fibril kolagen berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang kecil (300
A) dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan
pemisahan dan regularitas yang menyebabkan sedikit pembiasan cahaya
dibandingkan dengan inhomogenitas optikalnya. Sifat deturgescence di jaga
dengan pompa bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barbier dari epitel dan
endotel. Kornea di jaga agar tetap berada pada keadaan “basah” dengan kada air
sebanyak 78%.9,10
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang
sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25
dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74%
dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada
kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi fisus
seseorang.11
Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea
sangat lah sensitif. Saraf – saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui
membrana bowman dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epithelial serta

18
tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral
kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.10
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.
Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau
keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan
kepada kemungkinan adanya cedera kornea.12
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang bradittrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)
diperoleh dari 3 sumber, yaitu :12
 Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya
 Difusi dari humor aquous
 Difusi dari film air mata
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap
lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan
kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat
pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.6

3.2 KERATITIS
3.2.1 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan
menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila
mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis
(atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.3

19
Gambar 2 Keratitis

3.2.2 Epidemiologi
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar
antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun
1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki
dan perempuan tidak begitu bermakna pada angka kejadian keratitis.
Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma,
pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan
lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan
tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak
baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.

3.2.3 Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur.
Selain itu penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan
pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang
masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik
mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak
yang kurang baik .3,8

3.2.4 Patofisiologi

Karena kornea avaskular, maka pertahanan sewaktu peradangan tidak


dapat segera datang. Maka badan kornea, sel-sel yang terdapat di dalam stroma
20
segera bekerja sebagai makrofag baru kemudian disusul oleh pembuluh darah
yang terdapat di limbus dan tampak sebagi Injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrat, yang tampak sebagai bercak bewarna kelabu, keruh, dan
permukaan yang licin. Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel kornea dan timbul
ulkus yang dapat menyebar ke permukaan dalam stroma. Pada peradangan yang
hebat, toksin dari kornea dapat menyebar ke iris dan badan siliar dengan melalui
membran descemet dan endotel kornea. Baru demikian iris dan Badan siliar
meradang dan timbullah kekeruhan dicairan COA, disusul dengan terbentuknya
hipopion. Bila peradangan terus mendalam, tetapi tidak mengenai membran
descemet dapat timbul tonjolan membran descement yang disebut mata lalat atau
descementocele. Pada peradangan dipermukaan kornea, penyembuhan dapat
berlangsung tanpa pembentukan jaringan parut. Pada peradangan yang lebih
dalam, penyembuhan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut yang dapat
berupa nebula, makula, atau leukoma. Bila ulkusnya lebih mendalam Lagi dapat
timbul perforasi yang dapat mengakibatkan endoftalmitis, panoftalmitis, dan
berakhir dengan ptisis bulbi.2

3.2.5 Gejala dan Tanda Keratitis

a. Gejala keratitis 1,2,4

 Mata terasa sakit


 Gangguan penglihatan
 Trias keratitis (lakrimasi, fotofobia dan blefarospasme)

b. Tanda keratitis 1,2,4

 Infiltrat (berisi infiltrat sel radang, kejernihan kornea berkurang,


terjadi supurasi dan ulkus)
 Neovaskularisasi (superfisial bentuk bercabang-cabang, profunda
berbentuk lurus seperti sisir)
 Injeksi perikornea

21
 Kongesti jaringan yang lebih dalam (iridosiklitis yang dapat
disertai hipopion)

3.2.6 Stadium Perjalanan Keratitis

 Stadium infiltrasi. Infiltrasi epitel stroma, sel epitel rusak, edema,


nekrosis lokal. Hanya stadium 1 yang terjadi pada keratitis,
sedangkan stadium 2 dan 3 terjadi pada keratitis lanjut seperti pada
ulkus kornea. Gejala objektif pada stadium ini selalu ada dengan
batas kabur, disertai tanda radang, warna keabu-abuan dan injeksi
perikorneal.9
 Stadium regresi. Ulkus disertai infiltrasi di sekitarnya,
vaskularisasi meningkat dengan tes flouresensi positif.9
 Stadium sikatrik. Pada stadium ini terjadi epitelisasi, ulkus
menutup, terdapat jaringan sikatrik dengan warna kornea kabur.
Tanpa disertai tanda keratitis, batas jelas, tanpa tanda radang,
warna keputihan dan tanpa injeksi perikorneal.9

3.2.7 Klasifikasi

Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis


superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda
atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai
lapisan stroma. Pada keratitis epitelial dan keratitis stromal, tes fluoresin (+),
sedangkan pada keratitis subepitelial dan keratitis profunda, tes fluoresin (-).
Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut:13
I. Keratitis Superfisial
1. Keratitis epitelial
a. Keratitis punctata superfisialis
b. Herpes simpleks
c. Herpes zoster
2. Keratitis subepitelial

22
a. Keratitis nummularis
b. Keratitis disiformis
3. Keratitis stroma
a. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis et lagoftalmus

II. Keratitis Profunda


1. Keratitis interstisial
2. Keratitis sklerotikans
3. Keratitis disiformis

Keratitis dapat juga dibagi berdasar mikroorganisme penyebab infeksinya,


bentuk lesi, maupun etiologi lainnya. Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi
keratitis superfisial nonulseratif dan keratitis superfisial ulseratif.

1. Keratitis Superfisial nonulseratif


A. Keratitis Pungtata Superfisial
Definisi
Keratitis punctata superfisialis adalah penyakit bilateral recurens
menahun yang jarang ditemukan, tanpa pandang jenis kelamin maupun
umur. Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk
lonjong dan jelas, yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan
dengan flurescien, terutama di daerah pupil. Kekeruhan ini tidak tampak
dengan mata telanjang, namun mudah dilihat dengan slit-lamp atau kaca
pembesar. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel (lesi hantu) sering
terlihat semasa penyembuhan penyakit epitel ini.13

Etiologi
Belum ditemukan organisme penyebabnya, namun dicurigai virus.
Pada satu kasus berhasil diisolasi virus varicella-zoster dari kerokan
kornea.13,14 Penyebab lainnya dapat terjadi pada moluskulum

23
kontangiosum, acne roasea, blefaritis neuroparalitik, trachoma, trauma
radiasi, lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan
bahan pengawet lainnya.13

Gejala Klinis
Pasien dengan keratitis pungtata superfisial biasanya datang
dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi benda asing, mata berair,
penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) . Lesi pungtata pada
kornea dapat dimana saja tapi biasanya pada daerah sentral. Daerah lesi
biasanya meninggi dan berisi titik-titik abu-abu yang kecil. 13
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki
banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea
superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea bergesekan dengan
palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan
merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi
pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila
lesi terletak sentral pada kornea.13
Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh
kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah
fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada
kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan
pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang
purulen. Keratitis pungtata superfisial ini juga akan memberikan gejala
mata merah, silau, merasa kelilipan, penglihatan kabur.13

24
Gambar 2. Keratitis pungtata superfisial

Patofisiologi
Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan
pada waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan
lainnya yang banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea
pertama-tama akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai
injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-
sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat,
yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi
tidak licin.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini
dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang
berwarna kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam
dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan
parut, namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi
penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator
inflamasi yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke
iris dan badan siliar menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada
iris dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang
dapat terbentuk hipopion. 15

25
B. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer

Gambar 3.5 Keratitis Numularis

Keratitis numularis disebut juga keratitis sawahica atau keratitis punctata


tropica. Keratitis numularis diduga diakibatkan oleh virus. Diduga virus yang
masuk ke dalam epitel kornea melalui luka setelah trauma. Replikasi virus pada
sel epitel diikuti penyebaran toksin pada stroma kornea sehingga menimbulkan
kekeruhan atau infiltrat berbentuk bulat seperti mata uang. Pada kornea terdapat
infiltrat bulat-bulat subepitelial dan di tengahnya lebih jernih, seperti halo. Tes
2,3,7
fluoresinnya (-).
Untuk melihat adanya defek pada epitel kornea dapat dilakukan uji
fluoresin. Caranya, kertas fluoresin dibasahi terlebih dahulu dengan garam
fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih
dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama
20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau dan
disebut sebagai uji fluoresin positif.

26
C. Keratitis Disiformis dari Westhoff

Gambar 3.6 Keratitis disiformis

Disebut juga sebagai keratitis sawah, karena merupakan peradangan kornea


yang banyak di negeri persawahan basah. Penyebabnya adalah virus yang berasal
dari sayuran dan binatang. Pada anamnesa umumnya ada riwayat trauma dari
lumpur sawah. Pada mata tanda radang tidak jelas, mungkin terdapat injeksi silier.
Apabila disertai dengan infeksi sekunder, mungkin timbul tanda-tanda
konjungtivitis. Pada kornea tampak infiltrat yang bulat-bulat, di tengahnya lebih
padat dari pada di tepi dan terletak subepitelial. Tes Fluoresin (-).3 Terletak
terutama dibagian tengah kornea. Umumnya menyerang orang-orang berumur 15-
30 tahun.

D. Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada
satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Kekeruhan subepitel bulat.
Sensasi kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema
palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan
perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk
pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau pembentukan simbelfaron. 2,
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel
terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-bulan
27
namun tidak meninggalkan jaringan parut ketika sembuh. 4 Keratokonjungtivitis
epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-
anak mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit
tenggorokan, otitis media, dan diare.4 Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan
oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia).
Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes
netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear
primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 2
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui
jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril, atau
pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anastetika topikal,
mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari
konjungtiva atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi
sumber penyebaran. 2,4
Kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril
pribadi atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara
teratur di antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang
menyentuh mata khususnya tonometer. Tonometer aplanasi harus dibersihkan
dengan alkohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan
dengan hati-hati. 4

2. Keratitis Superfisial Ulseratif

A. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa

Penyakit ini didahului oleh konjungtivitis katarak, akibat stafilokok


ataupun pneumokok. Tes fluoresin (+).4

28
B. Keratokonjungtivitis Flikten

Gambar 3.7 Keratokonjungtivitis flikten

Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Pada
mata terdapat flikten yaitu berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan
yang terdapat pada lapisan superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan
kornea. 2,5
Bentuk keratitis dengan gambaran bermacam-macam, dengan
ditemukannya infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran
karakteristiknya adalah dengan terbentuknya papul dan pustula pada kornea
ataupun konjungtiva. Pada mata terdapat flikten pada kornea berupa benjolan
berbatas tegas berwarna putih keabuan, dengan atau tanpa neovaskularisasi yang
menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bersifat bilateral yang dimulai dari
daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas
disertai gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di dapatkan
benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hyperemia. Bila
terjadi penyembuhan akan terjadi jaringan parut dengan noevaskularisasi pada
kornea.
Pada anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang
menjadi tukak kornea karena infeksi sekunder. Tukak flikten sering ditemukan
berbentuk sebagai benjolan abu-abu, yang pada kornea terlihat sebagai:

29
- Ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea dengan
pembuluh darah jelas dibelakangnya.
- Flikten multipel di sekitar limbus
- Ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus.

C. Keratitis Herpetika

Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh


infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat infeksi
herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh
adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,
bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kebanyakan kasus bersifat
unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopi.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi
primer dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion nervus trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan
virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan
sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks6.

30
Gambar 3.8 Keratitis dendritik

Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik.


Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang
diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian
sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat
berkembang menjadi keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi
ulkus.
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam
hal ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril,
deepitelisasi meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong
dengan ukuran beberapa milimeter dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat
dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descemet.

31
Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek
lakrimasi berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup.
Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6
minggu.
Klasifikasi Diagnosis:
Hogan dkk. (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes
simpleks sebagai berikut:
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma,
geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan,
stroma dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini
keratouveitis dibedakan atas bentuk ulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis
pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu,
pada beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang
diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum.
Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat
oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika,
dendrogeografika, geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.

Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempurna, mengingat


sangat jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri
sendiri tanpa melibatkan adanya keratitis.

32
D. Keratokonjungtivitis Sika

Gambar 3.9 Keratokonjungtivitis sika

Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea


dan konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan :
1. Defisiensi komponen lemak air mata. Misalnya: blefaritis menahun,
distikiasis dan akibat pembedahan kelopak mata.
2. Defisiensi kelenjar air mata: sindrom Sjogren, sindrom Riley Day,
alakrimia congenital, aplasi congenital saraf trigeminus, sarkoidosis
limfoma kelenjar air mata, obat-obat diuretik kimia, atropin dan usia tua.
3. Defisiensi komponen musin: benign ocular pemphigoid, defisiensi vitamin
A, trauma kimia, sindrom Stevens Johnson, penyakit-penyakit yang
mengakibatkan cacatnya konjungtiva.
4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neroparalitik,
hidup di gurun pasir, keratitis lagoftalmus.
5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.
Pada keratokonjungtivitis sika terdapat rasa gatal pada mata. Pada mata
didapatkan sekresi mukus yang berlebihan. Sukar menggerakkan kelopak mata.
Mata kering karena dengan erosi kornea.
Pada pemeriksaan lama celah didapatkan miniskus air mata pada tepi kelopak
mata bawah hilang, edema konjungtiva bulbi, filamen (benang-benang) melekat di
kornea.1
33
3.2.8 Diagnosis
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien
yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau
(fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasme). Adapun radang kornea ini
biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau propunda. Keratitis superfisial termasuk lesi
inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman superfisial.9
Sangat penting untuk dilakukan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda-tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari penebalan epitel, Punctate
Epitelial Erosion (PEE), dan lecet kornea untuk pseudodendrites. Dapat menjadi
reaksi traumatis sekunder dan alergi terhadap lensa kontak. Pada pewarnaan
fluorescein terutama terihat pada posisi pukul 3 dan pukul 9 kornea, edema ringan
dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial.
Pada keratitis stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang,
edema yang bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari
stroma lalu ke epitel kornea.9,10
Periksa ketajaman visual dengan lensa kontak atau kacamata, jika pasien
tidak memiliki kacamata, gunakan lubang jarum dari occluder periksa pergerakan
lensa kontak dan defect kornea pada slit lamp. Minta pasien melepaskan lensa
kontak jika mampu, dapat menggunakan satu tetes proparacaine atau anestesi
topikal lain untuk membuka mata agar dapat diperiksa secara koperatif.10
Periksa reaktivitas pupil dengan senter, pemeriksaan slit lamp dengan
memperhatikan daerah konjungtiva bulbar dan palpebral untuk mencari setiap
papillae atau folikel, permukaan kornea untuk menyingkirkan ulkus kornea, dan
reaksi pada ruang anterior mata.10
Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada
keratitis melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat
menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan
34
inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan
kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan
dengan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya
sementara memindahkan cahaya dengan hati-hati ke seluruh kornea. Dengan cara
ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat.10
Keratitis herpetika disebabkan oleh herpes simpleks dan herpes zoster,
yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan
stromal. Hal yang murni epitelial adalah dendritik dan stromal adalah diskiformis.
Biasanya infeksi herpes simpleks ini berupa campuran epitel dan stroma.
Perbedaan ini akibat mekanisme kerusakannya berbeda. Pada yang epitelial
kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel epitel, yang akan
mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea superfisial. Stromal
diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien sendiri terhadap virus yang
menyerang. Antigen (virus) dan antibodi (pasien) bereaksi di dalam stroma kornea
dan menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan
proteolitik untuk merusak antigen(virus) yang juga akan merusak jaringan stromal
di sekitarnya.6
Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia dan
air mata yang berlebihan. Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi
biasanya pada daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik – titik
berwarna abu – abu yang kecil. Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan ini,
tergantung faktor penyebabnya.7
Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-soluble
yang tersedia dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25% dengan zat anestetik
(benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-iodine), maupun
dalam zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Floresens
akan menempel pada defek epithelial pungtata maupun yang berbentuk
makroulseratif (positive stanining) dan dapat memberikan gambaran akan lesi
yang tidak bebrbekas melalui film air mata (negative staining). Floresens yang
terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam strauma
kornea dan tampak dengan warna hijau pada kornea.15
35
3.2.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Fluoresein
Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas
fluoresein dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian
diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu
penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama
20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna
hijau sebagai uji fluoresein positif.
2. Uji Fistel
Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada
konjungtiva inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea
akan terlihat pengaliran cairan mata berwarna hijau.
3. Uji Placido
Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai
papan plasido yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih
hitam yang menghadap pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri
membelakangi sumber cahaya. Melalui lubang di tengah dilihat gambaran
bayangan plasido pada kornea. Normal bayangan plasido pada kornea
berupa lingkaran konsentris.
4. Uji Sensibilitas Kornea
Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan
meminta penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan
kapas basah dari bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip,
rasa sakit atau mata berair berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik. 2
Diagnosis yang tepat dan pengobatan infeksi kornea sedini
mungkin sangatlah penting dalam menghindari penurunan penglihatan
secara permanen. Diagnosis dari setiap jenis infeksi keratitis pada
dasarnya meliputi langkah-langkah berikut:1

36
1. Mengidentifikasi agen patogen dan tes sensitivitas. Hal ini dilakukan dengan
mengambil apusan dasar ulkus sebagai bahan sampel dan inokulasi media
kultur untuk bakteri dan fungi. Spesimen lensa kontak yang digunakan juga
harus diambil dan di kultur untuk memastikan sumber dari bakteri atau jamur.
2. Dilakukan pewarnaan dengan Gram dan Giemsa pada spesimen yang diambil
untuk mendeteksi bakteri.
3. Apabila dicurigai suatu infeksi virus, tes sensitivitas kornea dianjurkan
dimana hasil sensitivitasnya akan berkurang.

3.2.10 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G
atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin
atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret
mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk
jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat
yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan.13
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan
mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan,
sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung
metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan
viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
Pemberian tetes kortikosteroid pada Keratitis Pungtata Superfisial ini bertujuan
untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut
pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun
pada umumnya pada pemberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena
steroid juga dapat memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari
keratitis tersebut adalah virus.3,10

37
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis pungtata superfisial
ini harus terus diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk
waktu lama dapat memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan
berakibat timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah
kemungkinan infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga
steroid ini dapat menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan
kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan
untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah
menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga
mengatasi peradangannya seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari
steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma
yang terinduksi steroid.3,10
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala,
supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan
palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik
mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat
beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.10
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan
juga bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada
keratitis tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40
menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal
kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek
samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%)
efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai
dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari.
Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan
efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini
sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.10
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
KPS. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik
38
dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak
terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena KPS ini dapat juga
terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah
memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.16
Pada KPS dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu
tangan, dan tissue.3,10,16

3.2.11 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan
meninggalkan gejala sisa.
Meskipun sebagian besar KPS memberikan hasil akhir yang baik namun
pada beberapa pasien dapat berlanjut hingga menjadi ulkus kornea jika lesi pada
KPS tersebut telah melebihi dari epitel dan membran bowman. Hal ini biasanya
terjadi jika pengobatan yang diberikan sebelumnya kurang adekwat, kurangnya
kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang sudah dianjurkan, terdapat
penyakit sistemik lain yang dapat menghambat proses penyembuhan seperti pada
pasien diabetes mellitus, ataupun dapat juga karena mata pasien tersebut masih
terpapar secara berlebihan oleh lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari
ataupun debu.1

39
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini, Tn.S usia 36 tahun, di diagnosis keratitis pungtata


superficial OS berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis yang
dilakukan.

Anamnesis

Fakta Teori

±5 hari SMRS pasien mengaku awalnya mata Keratitis adalah peradangan kornea
kirinya memerah. Kemudian setelah itu terasa yang dapat disebabkan oleh infeksi
pedih. Keluhan dirasakan terus menerus. bakteri, jamur, virus atau suatu proses
Keluhan berkurang saat pasien meneteskan alergi-imunologi. Mengakibatkan
obat yang dibelinya di apotik. Pasien kornea menjadi keruh sehingga tajam
mengatakan lama kelamaan pandangan mata penglihatan menurun. Infeksi pada
kirinya menjadi kurang jelas, padahal pasien kornea biasanya diklasifikasikan
mengaku bahwa sebelumnya pandangan mata menurut lapisan kornea yang terkena.
kirinya terang dan jelas.
Karena kornea memiliki serabut nyeri,
Pasien juga merasakan matanya semakin kebanyakan lesi kornea, superficial

mengganjal dan silau jika melihat cahaya. maupun dalam menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat
Kotoran mata banyak dan berwarna
oleh gesekan palbebra (terutama palbebra
kekuningan disangkal, sakit kepala di kening
superior) pada kornea akan menetap
yang menjalar disangkal, kelopak mata
sampai sembuh. Karena kornea berfungsi
bengkak disangkal..
sebagai jendela bagi mata dan
membiaskan berkas cahaya, lesi kornea
umumnya agak mengaburkan
penglihatan, terutama kalo letaknya dari
pusat.

40
Fotofobia pada penyakit kornea
adalah akibat kontraksi iris beradang
yang sakit. Dilatasi pembuluh iris
beradang yang sakit. Dilatasi
pembuluh iris adalah fenomena
reflex yang disebabkan iritasi pada
ujung saraf kornea.
Pemeriksaan Oftalmologikus

Fakta Teori

1. Visus dasar : OD 6/6, OS 6/9 Pada kornea OS ditemukan infiltrat


2. Posisi bola mata ODS : ortoforia pungtata (+), Keratitis pungtata
3. Pergerakan bola mata ODS: duksi superfisialis ditemukan adanya
versi baik pembentukan infiltrat yang berupa titik-
4. Palpebra ODS: tidak ada kelainan titik pada kedua permukaan membran
5. Konjungtiva ODS: hiperemis (-) Bowman. Infiltrat tersebut dapat besar
6. Konjungtiva Bulbi ODS: injeksi atau kecil dan dapat timbul hingga
siliar (-) berratus-ratus.
7. Kornea OS
- Infiltrat pungtata (+)
8. Limbus : tidak terdapat kelainan
9. COA : sedang
10. Lensa : Jernih
11. TIO : normal
12. Lapangan pandang : tidak
menyempit
Tatalaksana Pada Pasien

- Cendo Gentamycin 0,3% 3 x OS

Cendo gentamycin tetes mata adalah obat yang digunakan untuk mengobati radang

41
pada mata yang disertai infeksi oleh bakteri tertentu. Cendo gentamycin tetes mata
mengandung gentamicin, obat yang termasuk antibiotik golongan aminoglikosida

- Cendo Floxa Eye drop 6 x OS

Cendo Floxa merupakan larutan antibiotik steril yang mengandung ofloxacin 3 mg.
Cendo Floxa digunakan untuk mengobati infeksi pada mata yang disebabkan oleh
bakteri yang sensitif. Ofloxacin pada Cendo Floxa dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dengan menghambat produksi protein yang diperlukan bakteri untuk tumbuh

42
BAB V

KESIMPULAN

Keratitis merupakan suatu infeksi pada kornea yang ditandai dengan


adanya infiltrat yang disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan
tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi keratitis pungtata
superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial. Berdasarkan
penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis, keratitis
fungal, keratitis viral dan keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan
bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten,
keratitis nurmularis dan keratitis neuroparalitik.

Gejala umum keratitis adalah visus turun mendadak, mata merah,


rasa silau, dan merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya
tergantung dari jenis-jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran
klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis
penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak
ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu
ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan
menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan
kebutaan.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San


Fransisco 2007
2. Vaughan, Daniel G et al. 2010. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta:
Widya Medika. Hal: 129 – 152
3. ILyas S. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Dalam : Ilyas
S. Ilmu Penyakit Mata edisi 4; 2013. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal ; 149
4. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious
keratitis. Indian Journal of Opthalmology. 2006. 56:3; 50-56
5. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata.
Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2013. h. 1-13
6. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophtalmology.
Thieme. 2006. p. 97-99
7. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eye Foutrth Edition. BMJ
Books. p. 17-19.
8. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas.
2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 462-466.
9. Tasman W, Jaeger EA. Duane’s Ophtalmology. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers. 2007
10. Chern KC. Emergency Ophtalmology a Rapid Treatment Guide. Mc
Graw-Hill. 2002.
11. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy S.
M. Lai. New Treatments for Bacterial Keratitis. Department of
Ophthalmology, Queen Mary Hospital, Hong Kong. 2012
12. Ann M. Keratitis, Available, at URL :
http://www.mdguidelines,com/keratitis.

44
13. ILyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi 4; 2013. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
14. Riordan Paul – Eva, et al : ”Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum”.
Jakarta : EGC, edisi 17, 2009 : hal 126-143.
15. Andrew A Dahl. Superficial Punctate Keratitis, available at URL :
https://emedicine.medscape.com
16. James bruce, et all. Lecture note oftalmology. Edisi Kesembilan. Penerbit
erlangga 2006. h.67-69

45

Anda mungkin juga menyukai