Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

EFUSI PLEURA

Dokter Pembimbing:
dr. Yahya, Sp.P

Dibuat Oleh:
Camelia Farahdila Musaad 1102013061
Nevy Ulfah Hanawati 1102014192

Ilmu Penyakit Paru


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto Hospital
16 April 2018 – 30 Juni 2018
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. SY
b. No. RM : 923500
c. Usia : 45 Tahun
d. Agama : Islam
e. Suku : Jawa
f. Alamat : Kebagusan Besar
g. Perkawinan : Kawin
h. Tanggal masuk RS : 07-05-2018 pkl 09:24
2. Anamnesis
2.1 Keluhan Utama : Sesak napas
2.2 Keluhan Tambahan : Nyeri dada, batuk, mual, cepat capek, dan merasa
ngilu pada persendian
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS POLRI dengan keluhan sesak napas yang
dirasakan kurang lebih 1 bulan namun memberat dalam 2 hari SMRS. Sesak
yang dirasa sepanjang hari berlangsung terus menerus, terkadang disertai bunyi.
Pasien mengatakan bahwa sesak napas dirasa semakin berat ketika pasien
menarik nafas, melakukan aktifitas fisik, batuk maupun berbaring dengan satu
bantal. Pasien mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah merasakan hal
serupa. Sesak napas membaik ketika pasien beristirahat atau berbaring dengan
menggunakan 2-3 bantal. Pasien mengatakan bahwa dikarenakan sesak napas
yang dirasa oleh pasien, Ia merasa cepat lelah jika melakukan aktifitas fisik
ringan seperti berjalan dari kamar ke toilet. Pasien juga merasakan nyeri pada
dada yang terasa seperti tertusuk dibagian tengah dan dada bagian kanan bawah.
Selain itu pasien juga mengeluh batuk yang dirasakan pasien adalah batuk
kering namun sesekali terdapat dahak berwarna bening. Batuk dirasa sudah 1
bulan dan hilang timbul. Pasien mengeluh mual terasa seperti perut terisi penuh.
Pasien juga mengeluh bahwa seluruh badannya terasa ngilu. Batuk darah,

1
keringat malam, demam, pusing, dan muntah disangkal. Nafsu makan menurun,
berat badan menurun 3-5 kg.
2.4 Riawayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah dirawat di RS POLRI pada bulan Desember 2017 dengan
diagnosis saat itu adalah SLE. Saat dirawat tekanan darah pasien 140/90 dan
gula darah paisen saat itu 300 mg/dL. Pasien mengatakan bahwa Ia tidak
memiliki riwayat tekanan darah tinggi, diabetes maupun asma.
2.5 Riwayat Penyakit pada Keluarga
Orang tua pasien memiliki riwayat hipertensi. Riwayat keluarga pasien
yang memiliki keluhan seperti pasien saat ini tidak ada. Riwayat diabetes dan
asma pada keluarga disangkal.
2.6 Riwayat Alergi
Tidak ada
2.7 Riwayat Pengobatan
a. Gastrolan 1 x 30 mg
b. Gemfibrozil 1 x 300 mg
c. Simvastatin 1 x 10 mg
d. Captopril 1 x 6,25 mg
e. Methylprednisolon 2 x 4 mg
3. Status Generalis
3.1 Keadaan umum
a. Kesadaran : CM, GCS ( E4V5M6)
b. Keadaan Gizi : Baik
c. Suhu : 37,50C
d. Anemia : Tidak ada
e. Icterus : Tidak ada
f. Sianosis : Tidak ada
g. Edema : Tidak ada
h. Afonia :Tidak ada
i. Afasia : Tidak ada

2
3.2 Keadaan peredaran darah
a. Tekanan Darah : 130/80 mmHg
b. Nadi : 92 x/menit
c. Irama Nadi : Teratur
3.3 Keadaan Pernafasan
a. Frekuensi : 22 x/menit
b. Irama : Teratur
c. Inspirasi : Dalam
d. Ekespirasi : Normal
e. Napas berbunyi : Tidak ada
4. Pemeriksaan Fisik
4.1 Kepala
a. Bentuk : Normal
b. Nyeri tekan : Ada
c. Lain-lain : Tidak ada
4.2 Muka
a. Otot : Tidak ada
b. Kel. Kulit : Tidak ada
c. Tumor : Tidak ada
d. Oedem : Tidak ada
e. Kakheksia : Tidak ada
f. Kel. Parotis : Normal
4.3 Hidung
a. Bentuk : Normal
b. Lendir : Tidak ada
c. Darah : Tidak ada
d. Meatus : Normal
4.4 Lidah
a. Besar : Normal
b. Bentuk : Normal
c. Papil : Normal

3
d. Frenulum : Normal
e. Pergerakan : Normal
4.5 Mata
a. Pergerakan : N/N
b. Icterus : -/-
c. Reflex cahaya : +/+
d. Pupil : Isokor
e. Kornea : Jernih
f. Konfergensi : +/+
g. Konjungtiva : Normal
4.6 Telinga
a. Cairan : -/-
b. Pendengaran : N/N
4.7 Faring
a. Mukosa : Normal
b. Tonsil : T1/T1
c. Dinding : Normal
d. Uvula : Normal
4.8 Leher
a. Inspeksi : Normal
b. Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB, massa (-), nyeri tekan (-)
4.9 Axilla
Tidak ada pembesaran KGB
4.10 Thorax
A. Depan
a. Inspeksi : Dalam batas normal
b. Palpasi : Nyeri tekan (-), pergerakan napas simetris, fremitus
vokal menurun pada kedua basal paru
c. Perkusi : Redup ICS VI sinistra dan ICS VI dextra
d. Auskultasi : Bunyi napas vesikuler dan menghilang pada kedua
basal paru

4
B. Belakang
a. Inspeksi : Dalam batas normal
b. Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus vokal menurun pada kedua
basal paru
c. Perkusi : Redup ICS VII dextra dan ICS VII sinistra
d. Auskultasi : Suara napas vesikuler menghilang dan pada kedua
basal paru
4.11 Abdomen
a. Inspeksi : Bentuk normal, simetris, sikatrik (-)
b. Auskultasi : Suara usus normal, tidak terdapat suara aliran dalam
pembuluh darah
c. Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-), ascites (-),
massa (-)
d. Perkusi : Shifting dullness (-)
4.12 Regio Inguinal dan Genital: DBN
4.13 Ekstremitas atas dan bawah
a. Kulit : Normal
b. Otot : Nyeri
c. Tulang : Normal
d. Nyeri tekan : Normal
e. Edema : Normal
f. Tremor : Normal
4.14 Saraf
a. Refleks Patologis : -/-
b. Perasaan ditangan : N/N
c. Perasaan di kaki :N/N
d. Tes sensibilitas : Normal

5
5. Pemeriksaan Penunjang
5.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Tanggal 03/05/2018 di RS POLRI pengantar rawat jalan
Kimia Klinik
Protein total 6,5 6,0-8,7 g/dL
Albumin 3,3 3,5-5,2 g/dL
Globulin 3,2 2,5-3,1 g/dL

b. Tanggal 06/05/2018 di IGD RS POLRI


Hematologi

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 11,5 12.0-14.0 g/dL

Hematokrit 34 37-43 %

Leukosit 4.900 5-10 103 /L

Trombosit 224 150 – 400 103 /L

Kimia Darah
Gula darah
GDS 91 >= 200 mg/dL
Ginjal
Ureum 35 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 0,6 0,5 – 1,3 Mg/dL

6
c. Tanggal 09/05/2018
Analisa Pleura
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Makroskopis
Warna Kuning
Kejernihan Keruh
Bekuan Ada
Mikroskopis
Jumlah leukosit 225 <1000 /L
Hitung sel PMN 28%
Hitung sel MN 72 %
Kimia
Protein 3,6 <3,0 g/dL
Glukosa 87 <60 mg/dL
Rivalta +

5.2 EKG

7
5.3 Radiologi
Cor : Sulit dievaluasi
Pulmo : Tampak perselubungan laterobasal hemithorax bilateral
Sinus : Kedua sinus costofrenicus dan kedua hemidiaghfragma serta batas
kedua jantung tertutupi perselubungan.
Tulang organ dada: Kesan intak

6. Resume
Pasien datang ke IGD RS Polri dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan
dan memberat dalam 2 hari SMRS. Pasien juga mengeluh nyeri dada dibagian
tengah dan dada bagian kanan bawah yang dirasa seperti tertusuk. Pasien juga
merasa batuk kering yang hilang timbul terkadang berdahak dan mual (+). Pasien
pernah dirawat sebanyak satu kali di RS POLRI yaitu pada bulan Desember 2017
dengan diagnosa SLE. Pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital dalam batas normal,
pemeriksaan thorax bagian depan didapatkan fremitus vokal menurun pada kedua
basal paru, redup ICS VI sinistra dan ICS VI dextra, bunyi napas vesikuler dan
menghilang pada kedua basal paru, pemeriksaan thorax bagian belakang didapatkan
fremitus vokal menurun pada kedua basal paru, redup ICS VII dextra dan ICS VII
sinistra, suara napas vesikuler menghilang dan pada kedua basal paru. Pemeriksaan
penunjang pada cairan pleura didapatkan warna kuning, keruh, terdapat bekuan,
pada pemeriksaan kimia didapatkan protein dan glukosa meningkat serta rivalta (+).
Pada foto thorax ditemukan perselubungan pada kedua basal paru yang menutupi

8
jantung dan diafragma. Pasien mengaku mendapat obat – obatan yang dikonsumsi
dalam 1 bulan terakhir yaitu Gastrolan 1 x 30 mg, Gemfibrozil 1 x 300 mg,
Simvastatin 1 x 10 mg, Captopril 1 x 6,25 mg dan Methylprednisolon 2 x 4 mg.
Riwayat anggota keluarga yang mengalami hal serupa disangkal namun orang tua
memiliki riwayat hipertensi.
7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
a. Diagnosis kerja : Effusi pleura bilateral e.c SLE
b. Diagnosis banding : Gagal jantung, Eodem paru akut
8. Penatalaksanaan
a. Masuk Rumah Sakit: Beri 𝑂2 4 liter/menit
b. Tanggal 08/05/2018
Ranitidin 2x1 Amp Inj
Ketorolac 3x1 Amp Inj
c. Tanggal 09/05/2018
Methylprednisolon 2 x 4 mg
9. Rencana Diagnostik
USG Thorax marker, Torakosintesis
10. Rencana Monitoring
a. Vital sign
b. Keluhan
c. Follow Up
1) Tanggal 08/05/2018
S : Sesak, nyeri dada, batuk, dan mual
O : TD: 130/80 HR: 92 RR: 24 T: 37 0C
Paru : Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), pergerakan napas simetris, fremitus
vokal menurun pada kedua basal paru
Perkusi : Redup ICS VI sinistra dan ICS VI dextra
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler dan menghilang pada
kedua basal paru
A : Efusi pleura bilateral

9
SLE
P : Pungsi pleura bilateral
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
Inj. Ketorolac 3 x 1 amp
2) Tanggal 09/05/2018
S : Sesak (+) berkurang, nyeri dada (+) jika batuk, batuk hilang timbul,
mual (-)
O : TD: 130/80 HR: 98 RR: 22 T: 36,7 0C
Paru : Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), pergerakan napas simetris, fremitus
vokal menurun pada kedua basal paru
Perkusi : Redup ICS VI sinistra dan ICS VI dextra
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler dan menghilang pada
kedua basal paru
A : Efusi pleura bilateral post pungsi pleura
SLE
P : Pungsi pleura bilateral 600 cc
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
Inj. Ketorolac 3 x 1 amp
Methylprednisolon 2 x 4 mg
11. Prognosis
a. Ad Vitam : Dubia ad bonam
b. Ad Sanationam : Dubia ad bonam
c. Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

10
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura. Hal
ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya
absorbsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling
sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner,
inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.
2. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 119 pasien dengan efusi
pleura di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2010-2011, efusi pleura paling
banyak disebabkan oleh keganasan (42,8%) dan tuberkulosis (42%). Penyakit lain
yang mungkin menyebabkan efusi pleura antara lain pneumonia, empiema thoraks,
gagal jantung kongestif, sirosis hepatis.
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta orang,
3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Secara keseluruhan, insidensi efusi pleura
sama antara pria dan wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasus-kasus tertentu
dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Misalnya, hampir dua
pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita. Dalam hal ini efusi pleura
maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan keganasan ginekologi.
Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan dengan sistemic lupus
erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada wanita. Di Amerika
Serikat, efusi pleura yang berhubungan dengan mesotelioma maligna lebih tinggi
pada pria. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya paparan terhadap asbestos.
Efusi pleura yang berkaitan dengan pankreatitis kronis insidensinya lebih tinggi
pada pria dimana alkoholisme merupakan etiologi utamanya. Efusi rheumatoid juga
ditemukan lebih banyak pada pria daripada wanita. Efusi pleura kebanyakan terjadi
pada usia dewasa. Namun demikian, efusi pleura belakangan ini cenderung
meningkat pada anak-anak dengan penyebab tersering adalah pneumonia.

11
3. Etiologi

Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik 


itu pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura
tersering adalah gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura dan
merupakan penyebab efusi pleura tersering), pneumonia, keganasan serta emboli
paru.
4. Patofisiologi
Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1-0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya adalah untuk memfasilitasi
pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura
diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura
yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi maksimal
drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki
konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer. Cairan
dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan hidrostatik,
tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta kemampuan
drainase limfatik (gambar 2.1). Efusi pleura terjadi sebagai akibat gangguan
keseimbangan faktor-faktor di atas.

Gambar 2.1 Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura.

12
Terlihat bahwa cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada
membran pleura parietal dan viseral (ditunjukkan pada panah yang terputus-putus).
Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular interkostal) merupakan terpenting
pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan rongga pleura dan
memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler bronkial pada
pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh mikrovaskuler,
sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran limfatik pada pleura
parietal (panah utuh).
Persamaan yang menunjukkan hubungan keseimbangan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik adalah sebagai berikut : Q = k x [(Pmv – Ppmv) – s (nmv –
npmv)]. Pada persamaan ini, Q merupakan tekanan filtrasi, k merupakan koefisien
filtrasi, Pmv dan Ppmv merupakan tekanan hidrostatik pada ruang mikrovaskular
dan perimikrovaskular. s merupakan koefisien refleksi bagi total protein mulai dari
skor 0 (permeabel penuh) hingga 1 (tidak permeabel). nmv dan npmv menyatakan
tekanan osmotik protein cairan di mikrovaskular dan perimikrovaskular. Pada
keadaan normal, cairan yang difiltrasi jumlahnya sedikit dan mengandung protein
dalam jumlah yang sedikit pula.
Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut:
a. Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal dari
pleura parietalis
b. pH 7,60-7,64
c. Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)

d. Kadungan sel darah putih < 1000 /m3

e. Kadar glukosa serupa dengan plasma


f. Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.
Berikut ini merupakan mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura:
a. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya : inflamasi,
keganasan, emboli paru)
b. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya : hipoalbuminemia,
sirosis)

13
c. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan pembuluh darah
(misalnya : trauma, keganasan, inflamasi, infeksi, infark pulmoner,
hipersensitivitas obat, uremia, pankreatitis)
d. Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi sistemik dan
atau sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung kongestif, sindrom vena
kava superior)
e. Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan
terhambatnya ekspansi paru (misalnya : atelektasis ekstensif, mesotelioma)
f. Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau bahkan dapat
terjadi blokade total, dalam hal ini termasuk pula obstruksi ataupun ruptur
duktus torasikus (misalnya : keganasan, trauma)
g. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang
diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya : sirosis,
dialisa peritoneal)

h. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral 


i. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten dari efusi
pleura yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkan akumulasi cairan
lebih banyak lagi.
Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin
datar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan
parietal, serta defek ventilasi restriktif. Efusi pleura secara umum diklasifikasikan
sebagai transudat dan eksudat, bergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil
kimia cairan efusi tersebut. Cairan transudat dihasilkan dari ketidakseimbangan
antara tekanan hidrostatik dan onkotik, sementara eksudat dihasilkan oleh proses
inflamasi pleura ataupun akibat berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada
kasus-kasus tertentu, cairan pleura dapat memiliki karakteristik kombinasi dari
transudat dan eksudat.
4.1 Transudat
Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam tekanan
hidrostatik dan onkotik pada membran pleura, misalnya jumlah cairan yang
dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini, endotel

14
pembuluh darah paru dalam kondisi yang normal, dimana fungsi filtrasi masih
normal pula sehingga kandungan sel dan dan protein pada cairan efusi transudat
lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat diatasi maka efusi
pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut. Selain itu, efusi pleura
transudat juga dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal dari peritoneum, bisa
pula iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena sentra dan pipa
nasogastrik. Penyebab-penyebab efusi pleura transudat relatif lebih sedikit yakni:
a. Gagal jantung kongestif
b. Sirosis (hepatik hidrotoraks)

c. Atelektasis – yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru 


d. Hipoalbuminemia
e. Sindroma nefrotik
f. Dialisis peritoneal
g. Miksedema
h. Perikarditis konstriktif
i. Urinotoraks – biasanya akibat obstuktif uropathy

j. Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura 


k. Glisinotoraks – sebuah komplikasi yang jarang akibat irigasi kandung 


kemih dengan larutan glisin 1,5% yang dilakukan setelah pembedahan 


urologi.
4.2 Eksudat
Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan
biasanya diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi transudat.
Cairan eksudat dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi paru ataupun
pleura, gangguan drainase limfatik pada rongga pleura, pergerakan cairan eksudat
dari rongga peritoneal melalui diafragma, perubahan permeabilitas membran
pleura, serta peningkatan permeabilitas dinding kapiler atau kerusakan pembuluh
darah. Adapun penyebab-penyebab terbentuknya cairan eksudat antara lain :
a. Parapneumonia

15
b. Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara, limfoma, 


leukemia, sedangkan yang lebih jarang, kanker ovarium, kanker 
 lambung,

sarkoma serta melanoma)


c. Emboli paru

d. Penyakit-penyakit jaringan ikat-pembuluh darah (artritis reumatoid, 


sistemic lupus erythematosus)

e. Tuberkulosis 


f. Pankreatitis 


g. Trauma 


h. Sindroma injuri paska-kardiak 


i. Perforasi esofageal 


j. Pleuritis akibat radiasi 


k. Sarkoidosis 


l. Infeksi jamur 


m. Pseudokista pankreas 


n. Abses intraabdominal 


o. Pasca pembedahan pintas jatung 


p. Penyakit perikardial 


q. Sindrom Meig (neoplasma jinak pelvis disertai asites dan efusi pleura) 


r. Sindrom hiperstimulasi ovarian 


s. Penyakit pleura yang diinduksi oleh obat 


t. Sindrom yellow nail (kuku kuning, limfedema, efusi pleura) 


16
u. Uremia 


v. Chylothorax (suatu kondisi akut dengan peningkatan kadar trigilerida 
 pada

cairan pleura) 


w. Pseudochylotoraks (suatu kondisi kronis dengan peningkatan kadar 


kolesterol cairan pleura) 


x. Fistulasi (ventrikulopleural, billiopleural, gastropleural).


5. Manifestasi Klinis
Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung
pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak
bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya
berlangsung perlahan hanya menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan
gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat penyakit inflamasi, maka
gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses dan gejala dapat
menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang biasanya muncul pada
efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek hingga sesak
nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada
area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada
meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma
atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika
cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih
berat dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari penyakit
dasarnya seperti pneumonia atau lesi endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga
perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis
hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll.
Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini
dapat meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obat- obat
yang selama ini dikonsumsi pasien.
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.
Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300 mL.

17
Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks,
egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya dapat
ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang masif
(> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedikit
secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan pneumonia lobaris, tumor
pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien dalam pemeriksaan fisik dapat
membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi dapat bergerak berpindah tempat
sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik yang sesuai dengan penyakit dasar
juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer, distensi vena leher, S3 gallop pada
gagal jantung kongestif. Edema juga dapat muncul pada sindroma nefrotik serta
penyakit perikardial. Ascites mungkin menandakan suatu penyakit hati, sedangkan
jika ditemukan limfadenopati atau massa yang dapat diraba mungkin merupakan
suatu keganasan.
6. Diagnosis dan Diagnosis Banding
6.1 Diagnosis
a. Anamnesis
a) Nyeri dada dan sesak napas adalah dua kondisi yang terbanyak
disampaikan oleh pasien.
b) Nyeri membuat pasien membatasi gerakan rongga dada dengan
bernapas
c) Tidur miring ke arah sisi yang sakit
b. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum: sesak nafas dengan napas dangkal
b) Inspeksi: hemitoraks yang sakitruang sela iga yang melebar,
mendatar dan tertinggal pada saat pernapasan. Medistinum
terdorong ke arah kontra lateral
c) Palpasi: Fremitus suara lemah/ menghilang
d) Perkusi: terdengar suara redup di daerah tempat efusi
e) Auskultasi : suara pernafasan menjadi lemah sampai menghilang
pada daerah efusi pleura.
c. Pemeriksaan Penunjang

18
1) Pemeriksaan pencitraan radiologis
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk
menilai jumlah cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta
kemungkinan adanya abnormalitas intratorakal yang berkaitan
dengan efusi pleura tersebut.
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral
sampai saat ini masih merupakan yang paling diperlukan untuk
mengetahui adanya efusi pleura pada awal diagnosa. Pada posisi
tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang menyebabkan hemitoraks
tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke lateral, serta
sudut kostofrenikus yang menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA
setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang terkumpul sebelumnya
agar dapat terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks lateral
dekubitus dapat mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih
kecil yakni 5 mL. Jika pada foto lateral dekubitus ditemukan
ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah melebihi 200 cc, ini
merupakan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan
torakosentesis. Namun pada efusi loculated temuan diatas mungkin
tidak dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang hingga
masif dapat memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang
homogen yang menyebar pada bagian bawah paru, selain itu dapat
pula terlihat elevasi hemidiafragma, disposisi kubah diafragma pada
daerah lateral. Tomografi komputer (CT-scan) dengan kontras harus
dilakukan pada efusi pleura yang tidak terdiagnosa jika memang
sebelumnya belum pernah dilakukan.
2) Pemeriksaan cairan pleura
Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat
memudahkan untuk mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut.
Prosedur torakosentesis sederhana dapat dilakukan secara bedside
sehingga memungkinkan cairan pleura dapat segera diambil, dilihat
secara makroskopik maupun mikroskopik, serta dianalisa.

19
Indikasi tindakan torasentesis diagnostik adalah pada kasus
baru efusi pleura atau jika etiologinya tidak jelas dimana cairan yang
terkumpul telah cukup banyak untuk diaspirasi yakni dengan
ketebalan 10 mm pada pemeriksaan ultrasonografi toraks atau foto
lateral dekubitus (gambar 2.2). Observasi saja diindikasikan jika efusi
yang terjadi diyakini akibat dari gagal jantung kongestif, pleurisi
viral, atau akibat pembedahan torak dan abdomen sebelumnya.
Namun, jika pada keadaan ini dijumpai adanya hal-hal berikut yakni
(1) pasien mengalami demam atau merasakan nyeri dada khas
pleuritik, (2) jika efusi yang terjadi unilateral atau bilateral namun
dengan ukuran yang jelas berbeda, (3) tidak ditemukan kardiomegali,
(4) efusi tidak respon dengan terapi gagal jantung.

20
Gambar 2.2. Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura.

Langkah diagnostik pertama dalam analisa cairan pleura


adalah membedakan antara transudat dan eksudat. Hal ini diperlukan
untuk menyederhanakan kemungkinan-kemungkinan etiologi
sebelum akhirnya dicapai kesimpulan etiologi yang benar. Selain itu,
langkah ini juga dapat menentukan apakah perlu untuk melakukan

21
pemeriksaan lanjutan terhadap efusi pleura untuk memastikan
diagnosa.
Ada beberapa paramater yang saat ini dapat dipakai untuk
membedakan antara transudat dan eksudat, namun dari keseluruhan
parameter tersebut tidak ada yang memiliki akurasi 100%. Pada
awalnya, kadar total protein dalam cairan pleura dipakai untuk
membedakan jenis cairan pleura dimana jika kadar protein cairan
pleura > 3 g/dL maka cairan tersebut merupakan eksudat sedangkan
< 3 g/dL merupakan transudat. Terdapat pula parameter - parameter
lain yang dapat digunakan dalam penilaian efusi pleura seperti rasio
albumin pleura/serum, rasio kolesterol pleura/serum serta rasio
bilirubin pleura/serum, namun parameter-parameter yang disebutkan
terakhir tidak memberi hasil yang lebih memuaskan.
6.2 Diagnosis Banding
Diagnosis banding sesak pada efusi pleura antara lain pneumothoraks,
hemithoraks, emfisema paru, konsolidasi paru akibat pneumoni, keganasan
paru yang disertai kolaps paru, fibrosis paru serta gagal jantung.
7. Tatalaksana
Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya.
Namun demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat maupun eksudat dapat
menyebabkan gejala respiratori berat. Dalam keadaan ini, meskipun etiologi dan
penanganan penyakit dasarnya telah dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan
untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Penanganan efusi eksudatif bergantung
pada etiologi yang mendasarinya, tiga etiologi utama yang paling sering dijumpai
pada efusi eksudatif adalah pneumonia, keganasan dan tuberkulosis.
Parapneumonia yang mengalami komplikasi dan empiema harus didrainase untuk
mencegah pleuritis fibrotik. Efusi maligna biasanya didrainase untuk meringankan
gejala bahkan pleurodesis diindikasikan untuk mencegah rekurensi. Beberapa obat-
obatan diketahui dapat menyebabkan efusi pleura yang bersifat transudatif. Hal ini
perlu diketahui secara dini untuk menghindari prosedur diagnostik lain yang tidak
perlu.

22
7.1 Efusi parapneumonik
Dari seluruh efusi pleura eksudatif, efusi pleura parapneumonik
secara khusus mendapat prioritas utama untuk sesegera mungkin didiagnosa
dan penanganan berupa drainase meskipun antibiotik empiris telah diberikan.
Hal ini disebabkan karena efusi pleura yang terinfeksi dapat mengalami
koagulasi secara cepat dan membentuk lapisan fibrous sehingga nantinya
memerlukan tindakan bedah untuk dekortikasi. Adapun indikasi
torakosentesis urgensi pada efusi parapneumonia antara lain : (1) cairan
purulen ; (2) pH cairan pleura < 7,2 ; (3) efusi terlokulasi ; (4) dijumpai bakteri
pada pewarnaan Gram atau pada biakan. Pasien yang tidak memenuhi kriteria
diatas harus menunjukkan perbaikan dengan terapi antibiotik yang sesuai dan
diberikan selama 1 minggu.
7.2 Efusi pleura maligna
Efusi pleura merupakan suatu pertanda kondisi yang berat dengan
harapan hidup kurang dari 1 tahun. Pada beberapa pasien, drainase cairan
efusi pleura dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi gejala yang
disebabkan oleh distorsi diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis
efusi ini biasanya sering berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis
berulang, pleurodesis atau pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien
dapat mengeluarkan cairan efusi sesuai kebutuhan di luar rumah sakit. Pada
pasien yang mengalami efusi masif sehingga jaringan paru mengalami
pendesakan, maka pemasangan kateter yang menetap merupakan pilihan
utama. Namun jika tidak ada pendesakan terhadap paru, maka pilihan lain
yang dapat digunakan adalah pleurodesis (pleural sklerosis).

23
7.3 Pleuritis tuberkulosa
Hal yang khas dari efusi yang disebabkan oleh tuberkulosa adalah
sifatnya yang dapat sembuh sendiri. Namun demikian, 65% pasien dengan
pleuritis tuberkulosa primer mengalami reaktivasi dalam 5 tahun. Oleh karena
itu pemberian obat antituberkulosis biasanya akan dimulai sebelum hasil
kultur diperoleh jika keadaan klinis mendukung, dan hasil analisa cairan
pleura menunjukkan suatu eksudat yang tidak dapat dijelaskan atau dengan
cairan efusi limfositik serta tes tuberkulin positif.
7.4 Intervensi bedah
Intervensi bedah paling sering diperlukan dalam penanganan efusi
parapneumonia yang tidak dapat didrainase secara adekuat dengan jarum
biasa ataupun dengan kateter ukuran kecil. Torakoskopi dengan tuntunan
video bermanfaat untuk dapat memvisualisasi dan biopsi pleura secara
langsung untuk mendiagnosa efusi eksudatif secara lebih baik. Tindakan
dekortikasi bermanfaat untuk membebaskan bagian paru yang terjebak pada
bagian pleura yang mengalami penebalan. Pemasangan pintasan
pleuroperitoneal merupakan salah satu pilihan dalam penanganan efusi pleura
yang mengalami rekurensi, simtomatik, dan kebanyakan hal ini dijumpai
pada efusi pleura maligna, namun digunakan pula pada efusi chylous. Namun
sayangnya jalur pintasan sering mengalami disfungsi sehingga sering
diperlukan pembedahan untuk perbaikan. Tindakan bedah juga diperlukan
untuk kasus-kasus jarang seperti defek diafragma pada pasien dengan ascites,
serta untuk mengikat duktus torasikus untuk mencegah reakumulasi efusi
chylous. Disiplin ilmu lain yang mungkin terlibat dalam penanganan efusi
pleura antara lain : pulmonologis, radiologi intervensi, serta bedah toraks
bergantung pada lokasi efusi dan kondisi klinis.
7.5 Torakosentesis terapeutik
Torasentesis teraputik betujuan untuk mengeluarkan cairan dalam
jumlah yang banyak pada efusi pleura untuk mengurangi sesak dan
menghambat proses inflamasi yang sedang berlangsung dan juga fibrosis
pada efusi parapneumonia. Tiga hal berikut penting untuk diperhatikan dalam

24
prosedur torasentesis yakni, (1) gunakan kateter berukuran kecil atau kateter
yang didesain khusus untuk drainase cairan dan upayakan jangan
menggunakan jarum untuk menghindari pneumotoraks. (2) monitoring
oksigenasi ketat selama dan setelah tindakan perlu dilakukan untuk
memantau oksigenasi arterial yang dapat saja memburuk akibat perubahan
perfusi dan ventilasi selama proses re-ekspansi paru. (3) Usahakan cairan
yang diambil tidak terlalu banyak agar tidak terjadi edema paru dan
pneumotoraks. Biasanya 400-500 cc cairan yang dikeluarkan telah
memberikan dampakk berupa berkurangnya sesak nafas. Sedangkan batasan
yang direkomendasikan dalam sekali prosedur torakosentesis adalah 1-1,5 L.
Batuk sering terjadi pada proses torasentesis. Hal ini sering terjadi dan tidak
merupakan indikasi untuk menghentikan prosedur kecuali pasien merasa
sangat tidak nyaman.
7.6 Pipa Torakostomi
Pipa torakostomi diindikasikan pada efusi yang lebih masif dan efusi
parapneumonia yang terkomplikasi ataupun empiema.
8. Komplikasi
8.1 Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase
yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura
viseralis. Keadaan ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat
menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada
dibawahnya. Pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan untuk
memisahkan membrane-membran pleura tersebut.
8.2 Atelektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang
disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.
8.3 Fibrosis paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan
ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan
jaringan sebagai kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan

25
peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat
menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan
fibrosis.
8.4 Kolaps paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan
ektrinsik pada sebagian / semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan
mengakibatkan kolaps paru.
9. Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang
mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan
pleura. Namun demikian, pasien yang lebih dini memiliki kemungkinan lebih
rendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien pneumonia yang disertai dengan efusi
memiliki prognosa yang lebih buruk ketimbang pasien dengan pneumonia saja.
Namun begitupun, jika efusi parapneumonia ditangani secara cepat dan tepat,
biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun jika tidak ditangani
dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis konstriktiva hingga sepsis.
Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk,
dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada pria
hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita lebih
sering karena keganasan pada payudara. Median angka harapan hidup adalah 3-12
bulan bergantung dari jenis keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap
kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan hidup yang
lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan analisa
biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan pleura
dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan tumor yang
lebih berat dan prognosa yang lebih buruk.

26
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Hadi. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta.
InternaPublishing. Hal 1631-1639.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta. EGC. Hal 799-801.
Khaerani A, et al. Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. J Respir
Indo. 2012. 32:155-160
Jeremy, et al. 2008. Efusi Pleura: At a Glance Medicine. Edisi II . Jakarta. EMS.

27

Anda mungkin juga menyukai