Anda di halaman 1dari 40

Referat

INFEKSI PADA GENITALIA WANITA, PEMERIKSAAN


PAP SMEAR, DAN IVA

Oleh:
Bagus Sam Setiawan
1210070100046

Preseptor:
dr. H. Erman Ramli, Sp. OG (K)

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
RUMAH SAKIT ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
2017
KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang


Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya yang berlimpah kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat tentang “Infeksi pada Genitalia
Wanita, Pemeriksaan Pap Smear, dan IVA”.
Dengan selesainya penulisan Referat ini, perkenankanlah penulis untuk
mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Erman Ramli, Sp. OG (K) selaku
preseptor yang telah memberikan petunjuk dan serta bimbingan dalam penulisan
Referat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam pembuatan Referat ini dan berbagai sumber yang telah
digunakan sebagai data pada Referat ini.
Penulis menyadari tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat
sempurna, begitu pula dengan Referat ini.
Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan. Semoga Referat ini
bermanfaat bagi pembaca dan penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca.

Solok, Agustus 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1.Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2.Tujuan ...................................................................................................... 2
1.3.Manfaat .................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 4
2.1. Anatomi Alat Genitalia Wanita............................................................... 4
2.1.1. Alat Genitalia Eksterna ........................................................................ 4
2.1.2. Alat Genitalia Interna ........................................................................... 7
2.2. Infeksi pada Vulva .................................................................................. 9
2.2.1. Bartholinitis .......................................................................................... 10
2.2.2. Herpes Genitalis ................................................................................... 11
2.2.3. Kondiloma Akuminatum...................................................................... 12
2.3. Infeksi pada Vagina................................................................................. 13
2.3.1. Vaginosis Bakterialis ........................................................................... 14
2.3.2. Trikomoniasis....................................................................................... 15
2.3.3. Kandidiasis ........................................................................................... 16
2.3.4. (Vulvo)-vaginitis-atrofikans ................................................................. 17
2.4. Infeksi pada Serviks ................................................................................ 18
2.4.1. Klamida Trakomatis ............................................................................. 18
2.4.2. Gonorea ................................................................................................ 19
2.5. Infeksi pada Corpus Uteri ....................................................................... 20
2.6. Screening Pemeriksaan ........................................................................... 22
2.6.1. Pap Smear ............................................................................................ 22
2.6.2. Inspeksi Visual Asam asetat ................................................................ 26

ii
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 32

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi Genitalia Eksterna ......................................................... 6
Gambar 2. Anatomi Genitalia Interna ............................................................ 9
Gambar 3. Prosedur Melakukan Pap Smear .................................................. 24
Gambar 4. Leher Rahim dengan Pemeriksaan IVA ....................................... 29

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Diferential Diagnosis Infeksi Vagina .............................................. 17
Tabel 2. Kategori Temuan IVA ..................................................................... 29

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) semakin disadari telah menjadi masalah
kesehatan dunia masalah kesehatan masyarakat yang serius namun tersembunyi.
Infeksi alat reproduksi dapat menurunkan fertilitas, mepengaruhi keadaan umum
dan menggangu kehidupan sexual. Berdasarkan penyebabnya, infeksi genital
dibagi menjadi 3 yaitu: infeksi endogen oleh flora normal, penyakit menular
sexual, dan infeksi iatrogenik.1,2
Gejala yang paling sering ditemukan pada penderita ginekologik adalah
leukore (keputihan). Leukore (white discharge, flour albus) adalah gejala penyakit
yang ditandai oleh keluarnya cairan dari organ reproduksi, dan bukan berupa
darah. Keputihan adalah salah satu alasan yang paling sering mengapa perempuan
memeriksa diri ke dokter, khususnya dokter ahli kebidanan dan penyakit
kandungan. Leukore dapat dibedakan antara yang fisiologik dan patologik.
Penyebab paling penting dari leukore patologik adalah infeksi. Disini cairan
mengandung banyak sel darah putih dan warnanya kekuning-kuningan sampai
hijau, seringkali lebih kental dan berbau. Organ yang paling sering terkena infeksi
adalah vulva, vagina, leher rahim, dan rongga rahim.1,2
Pada wanita terdapat hubungan dari dunia luar dengan rongga perineum
melalui vulva, vagina, uterus, dan tuba fallopi. Untuk mencegah terjadinya infeksi
dari luar dan untuk menjaga jangan sampai infeksi meluas, masing-masing alat
traktus genitalis memiliki mekanisme pertahanan.3
Vulva umumnya lebih resisten terhadap infeksi, sehingga luka-luka ringan
lekas sembuh, kecuali jika terinfeksi kuman yang patogen. Penutupan vulva oleh
labia mayora dan labia minora sedikit banyak memberi perlindungan terhadap
infeksi.3
Pada vagina wanita dewasa adanya epitel yang cukup tebal dan glikogen serta
basil Doderlein yang memungkinkan pembuatan asidum laktikum sehingga
terdapat reaksi asam dalam vagina, memperkuat daya tahan vagina. Dalam vagina
terdapat banyak bakteri lain, akan tetapidalam keadaan normal basil Doderlein

1
dominan. Pada masa kanak-kanak dan dalam masa sesudah menopause epitel
lebih tipis dan glikogen serta basil Doderlein berkurang, dan ini merupakan
faktor-faktor yang memudahkan terjadinya infeksi.3
Pada serviks uteri kelenjar-kelenjar yang mengeluarkan lendir yang alkalis
serta mengental di bagian bawah kanalis servikaslis, dan ini mempersulit
masuknya kuman ke atas. Jika terdapat infeksi di endometrium, maka terlepasnya
dan dikeluarkannya sebagian besar endometrium pada waktu haid, mempersulit
infeksi untuk bertahan.3
Kuman-kuman dapat memasuki traktus genitalia wanita dengan berbagai
jalan. Koitus dapat menyebabkan penyakit kelamin (STD= Sexual Transmitted
Diseases) seperti gonorea, sifilis, ulkus mole, AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome), granuloma inguinale, lymphogranuloma venereum, herpes
genitalis dan trikomoniasis. Trauma pada vulva dan vagina sebagai akibat
perlukaan, kebakaran dan lain-lain merupakan ported’entree bagi kuman-kuman
dari luar. Selanjutnya adanya benda asing (korpus alienum) di vagina atau uterus,
melakukan tindakan atau pemeriksaan dengan alat-alat tidak steril dapat
menyebabkan infeksi.3
Pada waktu dan sesudah partus atau abortus, kemungkinan infeksi dan
meluasnya infeksi juga lebih besar karena menurunnya keadaan umum, terdapat
luka besar di uterus bekas tempat plasenta, serta luka-luka kecil pada serviks uteri,
vagina, dan vulva, hubungan antara kavum uteri dan dunia luar lebih terbuka, dan
lokia terdiri dari darah dan sisa-sisa desidua merupakan tempat yang lebih baik
untuk pertumbuhan bakteri.3
Infeksi pada alat genitalia dapat timbul secara akut dengan akibat
meninggalnya penderita, atau penyakit bisa sembuh sama sekali tanpa bekas, atau
dapat meninggalkan bekas seperti penutupan lumen tuba.3

1.2. Tujuan
Mengetahui dan memahami tentang Infeksi pada Genitalia Wanita, Pemeriksaan
Pap Smear, dan IVA

2
1.3. Manfaat
1. Sebagai sumber media informasi mengenai Infeksi Genitalia Wanita dan
Skrining Pemeriksaan (Pap Smear, dan IVA)
2. Untuk memenuhi tugas referat kepanitraan klinik senior di Bagian Obstetrik
dan Ginekologi RSAM Bukittinggi 2017.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Alat Genitalia Wanita


2.1.1. Alat Genitalia Eksterna
1. Vulva
Meliputi seluruh struktur eksternal yang dapat dilihat mulai dari pubis
sampai perineum, yaitu mons veneris, labia mayora dan labia minora, klitoris,
selaput dara (hymen), vestibulum, muara uretra, berbagai kelenjar, dan struktur
vaskular.
2. Mons veneris
Bagian yang menonjol di atas simfisis dan pada perempuan setelah
pubertas ditutup oleh rambut kemaluan. Pada perempuan umumnya batas atas
rambut melintang sampai pinggir atas simfisis, sedangkan ke bawah sampai ke
sekitar anus dan paha.
3. Labia mayora
Terdiri atas bagian kanan dan kiri, lonjong mengecil ke bawah, terisi oleh
jaringan lemak yang serupa dengan yang ada di mons veneris. Ke bawah dan ke
belakang kedua labia mayora bertemu dan membentuk commisura posterior.
Labia mayora analog dengan skrotum pada pria.
4. Labia minora
Suatu lipatan tipis dari kulit sebalah dalam bibir besar. Berupa dua buah
lipatan kulit yang berjalan dari klitoris dan menyatu di bagian posterior untuk
membentuk frenulum labia minora atau fourchette.
5. Klitoris
Kira-kira sebesar kacang ijo, tertutup oleh preputium klitoridis dan terdiri
atas glans klitoridis, korpus klitoridis, dan dua krura yang menggantungkan
klitoris ke os pubis. Glans klitoridis terdiri atas jaringan yang dapat mengembang,
penuh dengan urat saraf, sehingga sangant sensitif.
6. Vestibulum Vagina
Berbentuk lonjong dengan ukuran panjang dari depan ke belakang dan
dibatasi di depan oleh klitoris, kanan dan kiri oleh kedua bibirkecil dan di

4
belakang oleh perineum (fourchette). Embriologik sesuai dengan sinus
urogenitalis. Kurang lebih 1 – 1,5 cm di bawah klitoris ditemukan orifisium uretra
eksternum (lubang kemih)berbentuk membunjur 4 – 5 mm dan tidak jarang sukar
ditemukan oleh karena tertutup oleh lipatan-lipatan selaput vagina. Tidak jauh
dari lubang kemih, di kiri dan di kanan bawahnya, dapat di lihat dua ostia skene.
Saluran Skene (ductus parauretral) analog dengan kelenjar prostat pada laki-laki.
Di kiri dan kanan bawah di dekat fossa navikulare, terdapat kelenjer Bartolin.
Kelenjar ini berukuran diameter lebih kurang 1 cm, terletak di bawah otot
konstriktor kunni dan mempunyai saluran kecil panjang 1,5 – 2 cm yang bermuara
di vestibulum, tidak jauh dari fossa navikulare. Pada koitus kelenjar Bartholin
mengeluarkan getah. Struktur ini identik dengan galndula Bulbourethrall
(Cowper’s) pada laki-laki.
7. Bulbus Vestibuli
Merupakan pengumpulan vena terletak di bawah selaput lendir
vestibulum, dekat ramus osis pubis. Panjangnya 3 – 4 cm, lebarnya 1 – 2 cm dan
tebalnya 0,5 – 1 cm. Bulbus vestibuli mengandung banyak pembuluh darah,
sebagian tertutup oleh muskulus iskio kavernosus dan muskulus konstriktor
vagina. Embriologik sesuai dengan korpus kavernosum penis. Pada waktu
persalinan biasanya kedua bulbus tertarik ke arah atas ke bawah arkus pubis, akan
tetapi bagian bawahnya yang melingkarivagina sering mengalami cedera dan
sekali-sekali timbul hematoma vulva atau perdarahan.
8. Introitus Vagina
Mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Terletak posterior-
inferior dari Maetus Urethrae Eksternus dengan bentuk dan lebar yang derajatnya
sesuai dengan virginitas, usia dan paritas. Introitus vagina vagina ditutupi oleh
selaput dara (hymen). Hymen ini mempunyai bentuk yang berbeda-beda, dari yang
semiulnar (bulan sabit) sampai yang berlubang-lubang atau yang bersekat
(septum). Konsistensinya pun berbeda-beda, dari yang kaku sampai yang lunak
sekali. Hiatus himenalis (lubang selaput dara) berukuran dari yang seujung jari
sampai yang mudah dilalui oleh dua jari. Umumnya himen robek pada koitus dan
robekan ini terjadi pada tempat jam 5 atau jam 7 dan robekan sampai mencapai
dasar selaput dara itu. Pada beberapa kasus himen tidak megalami laserasi

5
walaupun sanggama berulang talah dilakukan. Setelah pesalinan himen robek di
beberapa tempat dan yang dapat dilihat adalah sisa-sisanya (Karunkula
himenalis).
9. Perineum
Perineum dibentuk oleh sejumlah struktur. Sebagian besar fungsi
penyangga perineum merupakan tugas dari diafragma pelvik dan diafgragma
urogenitalis.
Diafgragma pevik terdiri dari :
a) M. Levator Ani
b) M. Coccygeus (dibagian posterior)
Diafragma urogenitalis terletak diluar diafragma pelvis dan meliputi daerah
segitiga antara tuber ischiadica dan simfisis pubis. Diafgragma urogenitalis terdiri
dari:
a) M. Transversus perinealis profunda
b) M. Constrictor urethrae
c) Fascia penutup bagian superficial dan profunda.

Gambar 1. Anatomi Genitalia Eksterna

6
2.1.2. Alat Genitalia Interna
1. Vagina
Saluran musculo-membarne yang terbentang dari vestibulum sampai
uterus. Berjalan kearah postero-superior dan membentuk sudut tajam dengan
servik uteri sehingga dinding posterior vagina akan lebih panjang (sekitar 1,5 - 3
cm) dibandingkan dengan dinding anterior (6 – 7,5 cm). Penonjolan serviks
kedalam vagina akan membentuk Cavum Douglass dan membagi puncak vagina
menjadi fornix anterior – posterior dan lateralis.
Dibagian anterior, vagina berbatasan dengan trigonum vesicalis dan di
bagian posterior dengan rektum. Dibagian posterior ¼ bagian distal vagina
terpisah dari saluran anus dengan corpus perinalis, 2/4 bagian tengah vagina
berhimpitan dengan ampula recti, ¼ bagian proksimal vagina dibelakang fornix
posterior tertutup dengan peritoneum membentuk Cavum Douglass.
Lendir yang membasahi vagina berasal dari serviks yang menjadi asam
akibat fermentasi glikogen epitel oleh bakteri vagina.
2. Uterus
Organ muskuler yang tebal, memiliki rongga dan berada diantara vesika
urinariadisebah anterior dan rektum di sebelah posterior. Panjang uterus 7,5 cm
dan lebar 4 – 5 cm dengan berat sekitar 60 gr. Bagian uterus diatas isthmus
disebut korpus uteri dan bagian bawah isthmus disebut serviks. Dalam keadaan
normal posisi uterus adalah antefleksi – anteversi. Servik uteri dibagi menjadi 2
bagian: pars vaginalis dan pars supravaginalis, dibagian dalam serviks terdapat
kanalis servicalis.
Corpus uteri merupakan bagian terbesar uterus, di bagian anterior
menempel pada vesica urinaria dan di bagian posterior menempel pada
intestinum, di bagian lateral menempel pada berbagai struktur yang berbeda
didalam ligamentum latum (tuba falopii – ligamentum rotundum – ligamentum
ovarii proprium – vasa uetrina dan ureter).
Arteri uterina menyilang ureter sebelum berjalan di dinding lateral uterus.
Titik persilangan tersebut kira-kira 1.5 cm dari forniks lateris.
Kavum uteri berbentuk segitiga dengan kubah yang berda pada bidang stinggi
kedua ostium tuba falopii dan apeks bagian bawah setinggi ostium uteri internum.

7
Dinding uterus terdiri dari 3 lapisan:
a) Serosa (peritoneum visceralis)
b) Miometrium
c) Endometrium

3. Tuba Fallopi
Dua buah saluran muskuler yang terbentang dari sudut superior uterus kearah
lateral dengan panjang masing-masing sekitar 8 – 14 cm. Saluran ini
menghubungkan cavum uteri dengan cavum peritoneum.
Tuba dapat dibagi menjadi 4 bagian:
a) Pars uterina / intertitium
b) Pars isthmica (penampang melintang paling sempit)
c) Pars ampullaris
d) Pars infudibularis (fimbriae)
Dinding tuba falopii terdiri dari 3 lapisan:
a) Lapisan serosa
b) Lapisan muscularis
c) Lapisan mucosa
Mukosa tuba dilapisi selapis sel kolumnar yang sebagian memiliki bulu getar
(silia) dan sebagian lain memiliki kelenjar.

4. Ovarium
Ovarium (indung telur) adalah sepasang organ berbentuk seperti buah
almond yang berada di samping uterus di dekat dinding lateral pelvis dan berada
pada lapisan posterior ligamentum latum, postero-caudal tuba falopii. Panjang
kira-kira 2,5 – 5,0 cm dengan lebar kira-kira 1,5 – 3,0 cm. Masing masing
memiliki permukaan medial lateral. Masing-masing ovarium memiliki tepi
anterior (mesovarium) dan tepi posterior yang bebas.
Ligamentum penyangga ovarium adalah:
a) Lig. Suspensarium ovarii (lig. Infudibulo-pelvicum)
b) Lig. Ovarii proprium.

8
Gambar 2. Anatomi genitalia Interna.

2.2. Infeksi Pada Vulva


Pada vulvitis, vulva membengkak, merah, dan agak flyer, kadang-kadang
disertai dengan gatal.3
Umumnya vulvitis dapat dibagi menjadi:3
a) Bersifat lokal
Infeksi pada kulit, termasuk rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar
keringat. Infeksi ini timbul karena trauma luka atau sebab lain, dan dapat
menimbulkan folikulitis, ftrunkulosis, hidradenitis, dan sebagainya
b) Timbul bersama-sama atau sebagai akibat vaginitis
c) Penularan atau manifestasi dari penyakit umum

9
1) Penyakit kelamin : gonorea, sifilis, ulkus mole, limfogranuloma
venereum, dan granuloma inguinale
2) Tuberkulosis
3) Vulvitis disebabkan oleh infeksi karena virus : limfogranuloma
veneretun, herpes genitalis dan kondiloma akuminata
4) Vulvitis pada diabetes melitus

2.2.1. Bartholinitis
Bartolinitis adalah infeksi pada kelenjar bartolin atau bartolinitis juga
dapat menimbulkan pembengkakan pada alat kelamin luar wanita. Biasanya,
pembengkakan disertai dengan rasa nyeri hebat bahkan sampai tak bisa berjalan.
Juga dapat disertai demam, seiring pembengkakan pada kelamin yang memerah.
Bartolinitis disebabkan oleh infeksi kuman pada kelenjar bartolin yang
terletak di bagian dalam vagina agak keluar. Mulai dari chlamydia, gonorrhea, dan
sebagainya. Infeksi ini kemudian menyumbat mulut kelenjar tempat
diproduksinya cairan pelumas vagina
Gejala klinis dari bartholinitis adalah:
a) Vulva : perubahan warna kulit, membengkak, timbunan nanah dalam
kelenjar, nyeri tekan.
b) Kelenjar bartolin membengkak, terasa nyeri sekali bila penderia berjalan
atau duduk, juga dapat disertai demam
c) Kebanyakkan wanita dengan penderita ini datang ke PUSKESMAS
dengan keluhan keputihan dan gatal, rasa sakit saat berhubungan dengan
suami, rasa sakit saat buang air kecil, atau ada benjolan di sekitar alat
kelamin.
d) Terdapat abses pada daerah kelamin
e) Pada pemeriksaan fisik ditemukan cairan mukoid berbau dan bercampur
dengan darah.
Pengobatan yang cukup efektif saat ini adalah dengan antibiotik golongan
cefadroxyl 3 x 500 mg selama sedikitnva 5-7 hari, dan asam mefenamat 3x500
mg untuk meredakan rasa nyeri dan pembengkakan, hingga kelenjar tersebut
mengempis.

10
2.2.2. Herpes Genitalis
a) Etiologi
Herpes genital adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2). Tipe 1
biasa ditemukan di daerah mulut (herpes oral) dan tipe 2 disebut herpes genital. Di
Amerika sekitar 1 dari 6 orang berusia 14 - 49 tahun menderita infeksi oleh HSV-
2.
b) Gejala
Pada umumnya infeksi virus herpes tidak menimbulkan gejala atau hanya
gejala ringan, sehingga orang dengan infeksi HSV-1 atau HSV-2 tidak menyadari
bahwa mereka sedang sakit. Apalagi gejala sering dianggap sebagai kelainan kulit
lain.
Jika penyakit timbul, di tengah-tengah daerah dengan radang dan edema
tampak sejumlah vesikel yang biasanya berlokasi pada labia minora, bagian dalam
labia mayora dan prepusium. Tempat tersebut dirasakan panas dan gatal, dan
karena digaruk sering timbul infeksi sekunder. Kadang-kadang tampak pula
ulkus-ulkus kecil yang dangkal. Selain pada vulva, penyakit ini ditemukan pula
pada vagina dan serviks uteri yang menyebabkan leukorea, perdarahan, dan
dysuria.
c) Penularan
Herpes genital hanya dapat ditularkan melalui kontak seksual antara orang
yang sudah memiliki virus dalam tubuhnya dengan orang yang belum terinfeksi.
Kontak seksual dapat berupa anal, vaginal maupun oral. Penyebaran infeksi dapat
terjadi dari pasangan yang terinfeksi tanpa ada luka dan bahkan tidak menyadari
bahwa dirinya memiliki infeksi virus herpes.
d) Diagnosis
Penyedia layanan kesehatan dapat mendiagnosa herpes genital dengan
pemeriksaan secara visual, yakni mencari luka khas akibat pecahnya gelembung
herpes. Diagnosis herpes genitalis dapat dibuat dengan cara kultur pada luka-luka
di vulva, vagina, atau serviks dan dengan tes serologi.

11
e) Pengobatan
Tujuan pengobatan herpes adalah untuk mencegah atau mempersingkat
durasi outbreak, biasanya dengan pemberian antiviral. Sebagai tambahan,
pemberian terapi supresif (misalnya penggunaan harian obat antiviral) untuk
herpes dapat mengurangi kemungkinan terjadi penularan kepada pasangannya.
Terapi yang dapat diberikan dapat berupa:
1) Simptomatis
Obat-obat mengurangi rasa nyeri dan gatal, dan mengeringkan
daerah daerah yang kena infeksi
2) Analgesik /kompres jika ada ulserasi
3) Anti-Viral (pilih salah satu)
 Acyclovir 5 x 200 mg (± 7-10 hr) (p.o)
 Valacyclovir 2 x 500 mg (± 7-10 hr) (p.o)
 Famcyclovir 3 x 250 mg (± 7-10 hr) (p.o)
4) Aplikasi lokal dari 1% larutan neutral-red atau 0,1% larutan provaline,
diikuti dengan penyinaran dengan sinar fluoresensi (20 - 30 watt) selama
10 -15 menit dengan jarak 15 - 20 cm.

2.2.3. Kondiloma Akuminatum


a) Defenisi
Adalah infeksi vulva, vagina, atau serviks oleh beberapa subtipe human
papilloma virus (hPV). Infeksi hPV adalah penyakit menular seksual yang paling
biasa dan terkait dengan lesi-lesi intraepitelial di serviks, vagina, dan vulva, juga
dengan karsinoma skuamosa dan adenokarsinoma. Subtipe yang menyebabkan
kondilomata eksofitik biasanya tidak terkait dengan terjadinya karsinoma.
b) Epidemiologi
Kondiloma akuminatum merupakan 9,47% dari penyakit menular seksual
di delapan rumah sakit umum di Indonesia pada tahun 1986-1988. Insidensi
puncak pada umur 15 sampai 25 tahun. Pasien dengan kehamilan, imunosupresi,
dan diabetes berisiko lebih tinggi.

12
c) Gejala Klinis
Keluhan dan gejala-gejala berupa lesi lunak bertangkai pada setiap
permukaan mukosa atau kulit yang bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Lesi
biasanya tidak menimbulkan keluhan kecuali kalau terluka atau terkena infeksi
sekunder, menyebabkan perdarahan, nyeri, atau keduanya.
d) Diagnosis
Diagnosis dibuat terutama dengan inspeksi kasar. Pemeriksaan kolposkopi
dapat membantu identifikasi lesi-lesi serviks atau vagina. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan melihat perubahan-perubahan akibat hPV pada pemeriksaan
mikroskopik spesimen biopsi atau usapan Pap. Dapat juga dilakukan pemeriksaan
DNA.
e) Penatalaksanaan
Terapi berupa mengangkat lesi jika ada keluhan atau untuk alasan
kosmetik. Tidak ada terapi yang dapat digunakan untuk membasmi habis virus
hPV.
1) Podofilin. Lesi diusapi dengan podofilin setiap minggu selama 4 sampai 6
minggu. Podofilin harus dicuci setelah 6 jam. Terapi ini merupakan
indikasi kontra untuk pasien hamil.
2) Asam trikloroasetat dipakai setiap 1 sampai 2 minggu sampai lesinya
lepas.
3) Krim imikuimod 5% dipakai 3 kali seminggu sampai 16 minggu. Biarkan
krim di kulit selama 6 sampai 10 jam.
4) Terapi krio, elektrokauter atau terapi laser dapat digunakan untuk lesi
yang lebih besar.

2.3. Infeksi pada Vagina


Flora vagina terdiri atas banyak jenis kuman, antara lain basil Doderlein.
streptokokus, stafilokokus, difteroid, yang dalam keadaan normal dalam
seimbang. Jika keseimbangan ini terganggu, dan jika kuman-kuman seperti
streptokokus, stafilokokus, basil koli, dan bertambah banyak, timbulah vaginitis

13
nonspesifik. Umumnya vaginitis nonspesifik dapat disembuhkan dengan
antibiotik. 3
Gejala yang penting pada vaginitis ialah leukorea, terdiri dari cairan yang
kadang-kadang bercampur lendir, dan dapat menjadi mukopurulen. Gejala ini
disertai oleh rasa gatal dan membakar. Vaginitis disertai dengan vulvitis.
Permukaan vagina dan vulva pada vulvovaginitis menjadi merah dan agak
membengkak, pada vagina dapat ditemukan pula bintik-bintik merah (vaginitis
granularis). Pada vaginitis, basil Doderlein sedikit atau tidak ada, fluor yang
dikeluarkan mengandung banvak leukosit. 3

2.3.1. Vaginosis Bakterial (Vaginitis Nonspesifik)


a) Defenisi dan etiologi
Vaginosis bakterial (VB) adalah penyebab vaginitis paling biasa.
Umumnya tidak dianggap sebagai penyakit menular seksual karena pernah
dilaporkan kejadiannya pada perempuan muda dan biarawati yang secara seksual
tidak aktif. Tidak ada penyebab infeksi tunggal tetapi lebih merupakan pergeseran
komposisi flora vagina normal dengan peningkatan bakteri anerobik sampai
sepuluh kali dan kenaikan dalam konsentrasi Gardnerella vaginalis. Dalam waktu
yang bersamaan terjadi penurunan konsentrasi laktobasili.
b) Epidemiologi
VB dapat meningkatkan terkenanya dan penularan HIV. VB juga
meningkatkan risiko penyakit radang panggul (PID). VB lebih sering dijumpai
pada pemakai AKDR dibanding kontrasepsi lain (OR 2,0; IK 95% 1.1-3.8) dan
meningkatkan risiko penyakit menular seksual (OR 1,7; IK 95% 1.1-2.9). Pada
ibu hamil dengan VB meningkatkan infeksi klamidia dua kali (19,5% vs 8,2%)
dan gonorea enam kali lipat (3,2% vs 0,5%). Di samping itu, ada hubungan kuat
antara VB yang didiagnosis pada umur kehamilan 16 sampai 20 minggu dengan
kelahiran prematur (umur kehamilan kurang dari 37 minggu) (OR 2,0; IK 1.0-
3.9).
c) Keluhan dan Gejala
Ciri-ciri keputihan VB adalah tipis, homogen, warna putih abu-abu, dan
berbau amis. Keputihannya bisa banyak sekali dan pada pemeriksaan dengan

14
spekulum lengket di dinding vagina. Pruritus atau iritasi vulva dan vagina jarang
terjadi.
d) Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan cara sebagai berikut.
1) Identifikasi mikroskopik sel-sel clue pada usapan basah (lebih dari 20%).
Sel-sel clue adalah sel-sel epitel vagina dengan kerumunan bakteri
menempel pada membran sel. Tampak juga beberapa sel radang atau
laktobasili.
2) pH cairan vagina sama atau lebih dari 4,5.
3) Uji whiff positif yang berarti keluar bau seperti anyir (amis) pada waktu
ditambahkan larutan potasium hidroksida (KOH) 10% sampai 20% pada
cairan vagina.
4) Eritema vagina jarang.
e) Terapi:
1) Metronidazol 500 mg per oral 2x sehari selama 7 hari.
2) Metronidazol per vagina 2x sehari selama 5 hari.
3) Krim klindamisin 2% per vagina lx sehari selama 7 hari.

2.3.2. Trikomoniasis
a) Defenisi dan etiologi
Infeksi trikomonas adalah infeksi oleh protozoa Trichomonas vaginalis
yang ditularkan secara seksual. Merupakan sekitar 25% vaginitis karena infeksi.
Trikomonas adalah organisme yang tahan dan mampu hidup dalam handuk basah
atau permukaan lain. Masa inkubasinya berkisar 4 sampai 28 hari.
b) Gejala Klinis
Keluhan dan gejala bisa sangat bervariasi. Klasik cairan vagina berbuih,
tipis, berbau tidak enak, dan banyak. Warnanya bisa abu-abu, putih, atau kuning
kehijauan. Mungkin ada eritema atau edema vulva dan vagina. Mungkin serviks
juga tampak eritematus dan rapuh. Gambaran strawberry cervix pada pemeriksaan
dengan spekulum.
c) Diagnosis:

15
1) Pada pemeriksaan spekulum ditemukan gambaran strawberry cervix dan
duh tubuh khas Trikomoniasis vaginalis.
2) Preparat kaca basah memperlihatkan protozoon fusiformis uniseluler yang
sedikit lebih besar dibanding sel darah putih. Ia mempunyai flagela dan
dalam spesimen dapat dilihat gerakannya. Biasanya ada banyak sel radang.
3) Cairan vagina mempunyai pH 5,0 sampai 7,0.
4) Pasien yang terinfeksi tapi tidak ada keluhan mungkin diketahui terinfeksi
dengan diketemukannya Trichomonas pada usapan Pap.
d) Terapi
Dengan metronidazol 2 g per oral (dosis tunggal). Pasangan seks pasien
sebaik-nya juga diobati.

2.3.3. Kandidiasis
Vaginitis kandida bukan infeksi menular seksual karena Candida
merupakan penghuni vagina normal. Pada 25% perempuan bahkan dijumpai di
rektum dan rongga mulut dalam persentase yang lebih besar. Candida albicans
menjadi patogen pada 80% sampai 95% kasus kandidiasis vulvovaginalis, dan
sisanya adalah C. glabrata dan C. tropicalis. Faktor risiko infeksi meliputi
imunosupresi, diabetes mellitus, perubahan hormonal (misal kehamilan), terapi
antibiotika spektrum luas, dan obesitas.
Keluhan dan gejala. Beratnya keluhan tidak ada hubungannya dengan
jumlah organisme. Keluhan yang menonjol adalah pruritus, seringkali disertai
iritasi vagina, disuria, atau keduanya. Cairan vagina klasik berwarna putih seperti
susu yang menjendal dan tidak berbau. Pemeriksaan spekulum seringkali
memperlihatkan eritema dinding vulva dan vagina, kadang-kadang dengan plak
yang menempel.
Diagnosis dibuat kalau preparat KOH cairan vagina menunjukkan hife dan
kuncup (larutan KOH 10% sampai 20% menyebabkan lisis sel darah merah dan
putih sehingga mempermudah identifikasi jamur). Mungkin diperlukan untuk
melihat banyak lapangan pandangan agar dapat menemukan patogen. Preparat
KOH negatif tidak mengesampingkan infeksi. Pasien dapat diterapi berdasar

16
gambaran klinis. Dapat dibuat biakan dan hasilnya bisa diperoleh dalam waktu 24
sampai 72 jam.
Terapi terdiri dari aplikasi topikal imidasol atau triasol, seperti mikonasol,
klotri-masol, butokonasol, atau terjonasol. Obat-obat ini dapat diresepkan sebagai
krim, su-positoria, atau keduanya. Lama pengobatan bervariasi tergantung obat
yang dipilih. Dosis tunggal flukonasol 150 mg per oral mempunyai tingkat
kemanjuran tinggi.

2.3.4. (Vulvo)-vaginitis-atrofikans
Sesudah menopause (atau sesudah fungsi ovarium ditiadakan dengan jalan
pembedahan atau penyinaran) epitel vagina menjadi atrofis dengan hanya
tertinggal lapisan sel basal. Epitel demikian itu mudah kena infeksi, dan radang
dapat menjalar ke jaringan di bawah epitel. Penyakit ini menyebabkan leukorea
dan rasa gatal dan pedih. Vaginitis ini juga dinamakan vaginitis senilis. Urethra
dan kandung kencing dapat ikut terlibat dan menimbulkan gejala disuria dan
sering kencing.
Terapi terdiri atas pemberian estrogen per os (Premarin 1,25 mg atau
Oestrofeminal 1,25 mg) tiap malam dan pemberian dienestrol krem, premarin
vaginal cream, atau 0,1 mg suposotorium dietil stilbestrol per vaginam untuk 30
malam. Dewasa ini dapat dianjurkan pemakaian Synapause tablet dan Syr apause
krim.

17
Tabel 1. Diferential Diagnosa Infeksi Vagina

2.4. Infeksi pada Servik


Servisitis ditandai oleh peradangan berat mukosa dan submukosa serviks.
Secara histologik dapat dilihat infiltrasi sel-sel peradangan akut dan kadang-
kadang nekrosis sei-sel epitel. Patogen utama servisitis mukopurulen adalah C.
trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae, keduanya ditularkan secara seksual.
Servisitis mukopurulen dapat didiag-nosis dengan pemeriksaan kasar. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan pengecatan Gram. 5

2.4.1. Klamidia Trakomatis


Merupakan organisme yang paling sering ditularkan secara seksual. Secara
epidemiologik didapatkan angka kejadian infeksi klamidia di antara peserta KB di
Jakarta Utara pada tahun 1997 sebesar 9,3% sementara di antara perempuan yang

18
tinggal di daerah rural di Bali angka kejadiannya sebesar 5,6%. Faktor risikonya
antara lain meliputi umur di bawah 25 tahun dan aktif secara seksual, status sosial
ekonomi rendah, pa-sangan seksual banyak, dan status tidak kawin.
Mikrobiologi. C. trachomatis adalah organisme intraseluler wajib yang
lebih menyukai menginfeksi sel-sel skuamokolumner, yaitu pada zona transisi
serviks.
Keluhan dan gejala. Infeksi klamidia tidak menimbulkan keluhan pada
30% sampai 50% kasus dan dapat menetap selama beberapa tahun. Pasien dengan
servisitis mungkin mengeluh keluar cairan vagina, bercak darah, atau perdarahan
pascasanggama. Pada pemeriksaan serviks mungkin tampak erosi dan rapuh.
Mungkin ada cairan mukopurulen berwarna kuning-hijau. Pengecatan Gram
memperlihatkan lebih dari 10 lekosit polimorfonuklear per lapangan pencelupan
minyak.
Diagnosis dengan biakan adalah yang paling optimal tetapi cara ini makan
waktu, memerlukan keterampilan teknis tinggi, dan fasilitas biakan sel yang
memadai.
Pemeriksaan sampel endoserviks pada 415 pasien rawat jalan di tiga
rumah sakit di Kalimantan Selatan dengan memakai optical immunoassay (OIA)
menunjukkan sensitivitas 31,6% dan spesifisitas 98,8%. Hasil ini lebih rendah
dibanding pemeriksaan dengan ligase chain reaction (LCR).
Rekomendasi terapi dari Center for Disease Control and Prevention
(CDC):
a) Azitromisin 1 gr per oral (dosis tunggal) atau
b) Doksisiklin 100 mg per oral 2x sehari selama 7 hari.
Terapi alternatif:
a) Eritromisin bass 500 mg per oral 4x sehari selama 7 hari atau
b) Eritromisin etilsuksinat 800 mg 4x sehari selama 7 hari atau
c) Ofloksasin 300 mg per oral 2x sehari selama 7 hari atau
d) Levofloksasin 500 mg per oral lx sehari selama 7 hari.
e) Pasangan seks hams dirujuk ke klinik atau dokter untuk mendapatkan
pengobatan. Uji kesembuhan hanya diperlukan pada pasien hamil atau jika
tetap ada keluhan.

19
2.4.2. Gonorea
Mikrobiologi. N. Gonorrhoeae adalah diplokokus gram negatif yang
menginfeksi epitel kolumner atau pseudostratified. Oleh karena itu, traktus
urogenitalis merupakan tempat infeksi yang biasa. Manifestasi lain infeksi adalah
gonorea faringeal atau menyebar. Masa inkubasi 3 sampai 5 hari.
Epidemiologi. Jumlah infeksi yang dilaporkan menurun pada tahun 1975
tetapi kemudian meningkat kembali sampai pada tingkat epidemi. Gonorea
merupakan 7,00% dari penyakit menular seksual di delapan rumah sakit umum di
Indonesia pada tahun 1986 - 1988.
Faktor risiko pada dasarnya sama dengan untuk servisitis Chlamydia.
Meskipun insidensi gonorea pada populasi secara keseluruhan lebih tinggi pada
laki-laki dengan rasio 1,5 dibanding 1, risiko penularan dari laki-laki ke
perempuan sebesar 80% sampai 90%, sedangkan risiko penularan dari perempuan
ke laki-laki lebih kurang 25%.
Keluhan dan gejala. Seperti infeksi klamidia, seringkali pasien tidak
mempunyai keluhan tetapi mungkin mereka datang dengan cairan vagina, disuria,
atau perdarahan uterus abnormal.
Diagnosis. Biakan dengan medium selektif merupakan uji terbaik untuk
gonorea. Lidi kapas steril dimasukkan ke dalam kanal endoserviks selama 15
sampai 30 detik kemudian spesimen diusap pada medium. Dapat juga digunakan
kulturet tetapi mungkin sensitivitasnya lebih rendah. Diagnosis ditegakkan jika
pada pengecatan Gram terlihat di-plokoki intraseluler tetapi sensitivitasnya hanya
sekitar 60%.
Rekomendasi terapi menurut CDC:
a) Seftriakson 125 mg i.m. (dosis tunggal) atau
b) Sefiksim 400 mg per oral (dosis tunggal) atau
c) Siprofloksasin 500 mg per oral (dosis tunggal) atau
d) Ofloksasin 400 mg per oral (dosis tunggal) atau
e) Levofloksasin 250 per oral (dosis tunggal).
Terapi untuk klamidia jika infeksi klamidia tidak dapat dikesampingkan.
Penelitian untuk menguji kerentanan antibiotika dilakukan pada 122 isolat N.
gonorrhoeae yang diperoleh dari 400 pekerja seks komersial di Jakarta.

20
Didapatkan kerentanan terhadap siprofloksasin, sefuroksim, sefoksitin,
sefotaksim, seftriakson, kloramfenikol, dan spektinomisin tetapi semua isolat
resisten terhadap tetrasiklin. Penurunan kerentanan terlihat pada eritromisin,
tiamfenikol, kanamisin, penisilin, gentamisin, dan norfloksasin.

2.5. Infeksi pada Korpus Uteri


Endometritis (Nonpuerperal)
Patofisiologi penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen yang naik dari
serviks ke endometrium. Bakteri patogen meliputi C. Trachomatis, N.
Gonorrhoeae, Streptococcus agalactiae, cytomegalovirus, HSV dan Mycoplasma
hominis. Organisme yang menyebabkan vaginosis bakterial dapat juga
menyebabkan endometritis histologik meskipun pada perempuan tanpa keluhan.
Endometritis merupakan komponen penting penyakit radang panggul (PID) dan
mungkin menjadi tahapan antara dalam penyebaran infeksi ke tuba fallopii.

Keluhan dan Gejala


 Endometritis kronik.
Banyak perempuan dengan endometritis kronik tidak mempunyai keluhan.
Keluhan klasik endometritis kronik adalah perdarahan vaginal
intermenstrual. Dapat juga terjadi perdarahan pascasanggama dan
menoragia. Perempuan lain mungkin mengeluh nyeri tumpul di perut
bagian bawah terus menerus. Endometritis menjadi penyebab infertilitas
yang jarang.
 Endometritis akut.
Jika endometritis terjadi bersama PID akut maka biasa terjadi nyeri tekan
uterus. Sulit untuk menentukan apakah radang tuba atau endometrium
yang menyebabkan rasa tidak enak di panggul.

Diagnosis
Diagnosis endometritis kronik ditegakkan dengan biopsi dan biakan
endometrium. Gambaran histologik klasik endometritis kronik berupa reaksi
radang monosit dan sel-sel plasma di dalam stroma endometrium (lima sel plasma

21
per lapangan pandangan kuat). Tidak ada korelasi antara adanya sejumlah kecil
sel lekosit polimorfonuklear dengan endometritis kronik. Pola infiltrat radang
limfosit dan sel-sel plasma yang tersebar di seluruh stroma endometrium terdapat
pada kasus endometritis berat. Kadang-kadang bahkan terjadi nekrosis stroma.

Terapi
Terapi pilihan untuk endometritis kronik adalah doksisiklin 100 mg per
oral 2x sehari selama 10 hari. Dapat pula dipertimbangkan cakupan yang lebih
luas untuk organisme anerobik terutama kalau ada vaginosis bakterial. Jika terkait
dengan PID akut terapi harus fokus pada organisme penyebab utama termasuk N.
gonorrhoeae dan C. tracho-matis, demikian pula cakupan polimikrobial yang lebih
luas.

2.6. Screening Pemeriksaan


2.6.1. Pap Smear
a) Definisi Pap Smear
Tes Pap Smear adalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio untuk
melihat adanya perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau porsio
(displasia) sebagai tanda awal keganasan serviks atau prakanker.
Pap Smear merupakan suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari
leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pap Smear merupakan
tes yang aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk
mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim.
Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit, serta bisa
dilakukan setiap saat, kecuali pada saat haid.
Pap Smear pertama kali diperkenalkan tahun 1928 oleh Dr. George
Papanicolou dan Dr. Aurel Babel, namun mulai populer sejak tahun 1943.6

b) Manfaat Pap Smear


Pemeriksaan Pap Smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring
(skrining) dan pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini

22
sehingga kelainan prakanker dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih
murah dan mudah.
Pap Smear mampu mendeteksi lesi prekursor pada stadium awal sehingga
lesi dapat ditemukan saat terapi masih mungkin bersifat kuratif.7
Manfaat Pap Smear secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut:8
1) Diagnosis dini keganasan 
Pap Smear berguna dalam mendeteksi dini
kanker serviks, kanker korpus endometrium, keganasan tuba fallopi, dan
mungkin keganasan ovarium.
2) Perawatan ikutan dari keganasan 
Pap Smear berguna sebagai perawatan
ikutan setelah operasi dan setelah mendapat kemoterapi dan radiasai.
3) Interpretasi hormonal wanita 
Pap Smear bertujuan untuk mengikuti
siklus menstruasi dengan ovulasi atau tanpa ovulasi, menentukan maturitas
ke hamilan, dan menentukan kemungkinan keguguran pada hamil muda.
4) Menentukan proses peradangan 
Pap Smear berguna untuk menentukan
proses peradangan pada berbagai infeksi bakteri dan jamur.

c) Petunjuk Pemeriksaan Pap Smear


American Cancer Society (2009) merekomendasikan semua wanita
sebaiknya memulai skrining 3 tahun setelah pertama kali aktif secara seksual. Pap
Smear dilakukan setiap tahun. Wanita yang berusia 30 tahun atau lebih dengan
hasil tes Pap Smear normal sebanyak tiga kali, melakukan tes kembali setiap 2-3
tahun, kecuali wanita dengan risiko tinggi harus melakukan tes setiap tahun.
Selain itu wanita yang telah mendapat histerektomi total tidak dianjurkan
melakukan tes Pap Smear lagi. Namun pada wanita yang telah menjalani
histerektomi tanpa pengangkatan serviks tetap perlu melakukan tes Pap atau
skrining lainnya sesuai rekomendasi di atas.
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1989),
merekomendasikan setiap wanita menjalani Pap Smear setelah usia 18 tahun atau
setelah aktif secara seksual. Bila tiga hasil Pap Smear dan satu pemeriksaan fisik
pelvik normal, interval skrining dapat diperpanjang, kecuali pada wanita yang
memiliki partner seksual lebih dari satu.

23
Pap Smear tidak dilakukan pada saat menstruasi. Waktu yang paling tepat
melakukan Pap Smear adalah 10-20 hari setelah hari pertama haid terakhir. Pada
pasien yang menderita peradangan berat pemeriksaan ditunda sampai pengobatan
tuntas. Dua hari sebelum dilakukan tes, pasien dilarang mencuci atau
menggunakan pengobatan melalui vagina. Hal ini dikarenakan obat tersebut dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan. Wanita tersebut juga dilarang melakukan
hubungan seksual selama 1-2 hari sebelum pemeriksaan Pap Smear.9

d) Prosedur Pemeriksaan Pap Smear


Prosedur pemeriksaan Pap Smear adalah:
1) Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi spekulum bivalve (cocor
bebek), spatula Ayre, kaca objek yang telah diberi label atau tanda, dan
alkohol 95%.
2) Pasien berbaring dengan posisi litotomi.
3) Pasang spekulum sehingga tampak jelas vagina bagian atas, forniks
posterior, serviks uterus, dan kanalis servikalis.
4) Periksa serviks apakah normal atau tidak.
5) Spatula dengan ujung pendek dimasukkan ke dalam endoserviks, dimulai
dari arah jam 12 dan diputar 360 ̊ searah jarum jam.
6) Sediaan yang telah didapat, dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang
telah diberi tanda dengan membentuk sudut 45 ̊ satu kali usapan.
7) Celupkan kaca objek ke dalam larutan alkohol 95% selama 10 menit.
8) Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam wadah transpor dan dikirim ke
ahli patologi anatomi.10

24
Gmbar 3. Prosedur Melakukan Pap Smear

e) Interpretasi Hasil Pap Smear


Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap
Smear, sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN),
dan sistem Bethesda.
Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas,
yaitu: 11
1) Kelas I : tidak ada sel abnormal.
2) Kelas II : terdapat gambaran sitology atipik, namun tidak ada
indikasi adanya keganasan.
3) Kelas III : gambaran sitology yang dicurigai keganasan, dysplasia
ringan sampai sedang.
4) Kelas IV : gambaran sitology dijumpai dysplasia berat
5) Kelas V : keganasan

Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di


Amerika Serikat. Pada sistem ini, pengelompokan hasil uji Pap Semar terdiri
dari:12
1) CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada
kurang dari sepertiga lapisan epitelium.

25
2) CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga
epitelium.
3) CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana
telah 
melibatkan sampai ke basement membrane dari epitelium. 


Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988. Setelah



melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan klasifikasi
Bethesda 2001. Klasifikasi Bethesda 2001 adalah sebagai berikut:13
1) Sel skuamosa
 Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US)
 Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL)

 High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)

 Squamous Cells Carcinoma
2) Sel glandular
 Atypical Endocervical Cells
 Atypical Endometrial Cells
 Atypical Glandular Cells
 Adenokarsinoma Endoservikal In situ
 Adenokarsinoma Endoserviks
 Adenokarsinoma Endometrium
 Adenokarsinoma Ekstrauterin
 Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (NOS)

2.6.2. Inspeksi Visual Asam asetat


a) Definisi IVA
Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah
pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim
yang telah diberi asam asetat/ asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat
dengan penglihatan mata telanjang. Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
merupakan metode deteksi dini kanker serviks yang sesuai untuk negara
berkembang termasuk Indonesia. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna
bercak putih yang disebut acetowhite epithelium.14,15

26
b) Dasar Pemeriksaan IVA
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925)
dengan cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam
asam asetat 3-5%. Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal,
bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan
ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler
sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai
akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan
diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel
abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite).
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih
juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang
dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang
epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat
berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika
makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya.
Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel.
Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat
daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga
dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran leher rahim yang
normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang
tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi
disebut leukoplakia yang biasanya disebabkan oleh proses keratosis.

c) Tujuan Pemeriksaan
Untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari penyakit dengan
pengobatan dini terhadap kasus-kasus yang ditemukan. Untuk mengetahui
kelainan yang terjadi pada leher rahim.

d) Prosedur Pemeriksaan IVA


Jadwal Pemeriksaan IVA:
1) Skrining pada setiap wanita minimal 1X pada usia 35-40 tahun

27
2) Kalau fasilitas memungkinkan lakukan tiap 10 tahun pada usia 35-55
tahun
3) Kalau fasilitas tersedia lebih lakukan tiap 5 tahun pada usia 35-55 tahun
4) Ideal dan optimal pemeriksaan dilakukan setiap 3 tahun pada wanita usia
25-60 tahun.
5) Skrining yang dilakukan sekali dalam 10 tahun atau sekali seumur hidup
memiliki dampak yang cukup signifikan.
6) Di Indonesia, anjuran untuk melakukan IVA bila : hasil positif (+) adalah
1 tahun dan, bila hasil negatif (-) adalah 5 tahun

Syarat melakukan pemeriksaan IVA:


1) Sudah pernah melakukan hubungan seksual
2) Tidak sedang datang bulan/haid
3) Tidak sedang hamil
4) 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual

Persiapan alat:
1) Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.
2) Meja/ tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi
litotomi.
3) Sumber cahaya/ lampu sorot untuk melihat serviks
4) Spekulum vagina
5) Asam asetat (3-5%)
6) Swab-lidi berkapas
7) Sarung tangan

Pelaksanaan:
1) Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien akan mendapat penjelasan
mengenai prosedur yang akan dijalankan. Privasi dan kenyamanan sangat
penting dalam pemeriksaan ini.
2) Pasien dibaringkan dengan posisi litotomi (berbaring dengan dengkul
ditekuk dan kaki melebar).

28
3) Vagina akan dilihat secara visual apakah ada kelainan dengan bantuan
pencahayaan yang cukup.
4) Spekulum (alat pelebar) akan dibasuh dengan air hangat dan dimasukkan
ke vagina pasien secara tertutup, lalu dibuka untuk melihat leher rahim.
5) Bila terdapat banyak cairan di leher rahim, dipakai kapas steril basah
untuk menyerapnya.
6) Dengan menggunakan pipet atau kapas, larutan asam asetat 3-5%
diteteskan ke leher rahim. Dalam waktu kurang lebih satu menit, reaksinya
pada leher rahim sudah dapat dilihat.
7) Bila warna leher rahim berubah menjadi keputih-putihan, kemungkinan
positif terdapat kanker. Asam asetat berfungsi menimbulkan dehidrasi sel
yang membuat penggumpalan protein, sehingga sel kanker yang
berkepadatan protein tinggi berubah warna menjadi putih.
8) Bila tidak didapatkan gambaran epitel putih padadaerah transformasi
bearti hasilnya negative.

29
e) Interprestasi
Tabel 2. Kategori Temuan IV
Kategori
1. Negatif  tak ada lesi bercak putih (acetowhite
lesion)
 bercak putih pada polip endoservikal
atau kista nabothi
 garis putih mirip lesi acetowhite pada
sambungan skuamokolumnar
2. Positif 1 (+)  samar, transparan, tidak jelas, terdapat
lesi bercak putih yang ireguler pada
serviks
 lesi bercak putih yang tegas,
membentuk sudut (angular),
geographic acetowhite lessions yang
terletak jauh dari sambungan
skuamokolumnar
3. Positif 2 (++)  lesi acetowhite yang buram, padat dan
berbatas jelas sampai ke sambungan
skuamokolumnar
 lesi acetowhite yang luas,
circumorificial, berbatas tegas, tebal
dan padat
 pertumbuhan pada leher rahim
menjadi acetowhite

Gambar 4. Leher Rahim dengan Pemeriksaan IVA

Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah
biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Apabila hasil skrining positif, perempuan
yang diskrining menjalani prosedur selanjutnya yaitu konfirmasi untuk penegakan
diagnosis melalui biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Setelah itu baru dilakukan
pengobatan lesi prakanker. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu

30
kuretase endoservikal, krioterapi, atau loop electrosurgical excision procedure
(LEEP), laser, konisasi, sampai histerektomi simpel.

f) Sasaran Skrining IVA


Sasaran skrining kanker leher rahim yang ditetapkan WHO adalah sebagai
berikut:16
 Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah
menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun
sebelumnya atau lebih.
 Perempuan yang pernah mengalami lesi abnormal pada pemeriksaan tes
Pap sebelumnya.
 Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan
pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda
dan gejala abnormal lainnya.
 Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.
Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat
ini adalah antara usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70
tahun yang belum pernah diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk
menghindari lolosnya kasus kanker leher rahim. Selain sasaran diatas, semua
perempuan yang pernah melakukan aktivitas seksual perlu menjalani skrining
kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan perempuan yang sudah
menopause menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher
rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoleher rahim dalam kanalis
servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.
Namun untuk pelaksanaan di Indonesia, perempuan yang sudah
mengalami menopause tetap dapat diikut sertakan dalam program skrining, untuk
menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu disertakan
informed consent pada perempuan golongan ini, mengingat alasan di atas. Tidak
ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada golongan
perempuan ini. Interval skrining dilakukan 5 tahun sekali, kecuali bila ditemukan
radang pada leher rahim, interval dapat diperpendek. 14,15,16

31
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Infeksi alat reproduksi dapat menurunkan fertilitas, mempengaruhi
keadaan umum dan mengganggu kehidupan seksual. Gejala yang paling sering
ditemukan pada penderita ginekologik adalah leukore (keputihan).
Infeksi pada vulva dapat berupa bartholinitis, herpes genitalis, dan
kondiloma akuminatum. Infeksi pada vagina dapat berupa vaginosis bacterial,
trikomoniasis, kandidiasis, dan (vulvo)-vaginalis-atrofikans. Infeksi pada serviks
dapat berupa klamidia trakomatis, dan gonorea. Infeksi pada korpus uteri
endometritis akut dan kronik.
Infeksi pada alat genitalia dapat timbul secara akut dengan akibat
meninggalnya penderita, atau penyakit bisa sembuh sama sekali tanpa bekas, atau
dapat meninggalkan bekas seperti penutupan lumen tuba.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel et al. 2005. ‘Why do women complain of vaginal discharge? A population


survey of infectious and physchosocial risk factors in a South Asian Community’
. International Journal of Epidemiology. Vol 34. No 4. Pp 853-862.
2. Amiruddin. M Dali. 2012. Buku Ajar: penyakit kulit di daerah tropis.
http://www.unhas.ac.id/lkpp/ kedok/dali%20-%20tdk.pdf.
3. Wiknjosastro, Hanifa. 1994. Ilmu Kandunagn Edisi kedua. Jakarta. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
4. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
5. Wiknjosastro, Hanifa. 2014. Ilmu Kandunagn Edisi kedua Cetakan kedua.
Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
6. Purwoto, G. & Nuranna, L., 2002. Metode Skrining Alternatif pada Kanker
Serviks. In: Ramli, H.M., et al, eds. Deteksi Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
7. Crum, C.P., Lester, S.C., Cotran, R.S., 2007. Sistem Genitalia Perempuan dan
Payudara. In: Hartanto, H., et al., ed. Buku Ajar Patologi (vol. 2),7th ed. Jakarta:
EGC.
8. Manuaba, I.B.G., 2005. Pemeriksaan Pap Smear. In: Rusmi & Sari, L., eds.
Dasar-Dasar Teknik Operasi Ginekologi. Jakarta: EGC.
9. Bhambhani, S., 1996. Gynecological Cytology Cervix. New Delhi: Interprint.
10. Soepardiman, H.M., 2002. Tes Pap dan Interpretasi. In: Ramli, H.M., et al, eds.
Deteksi Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
11. Saviano, E.C., 1993. Papanicolaou Smear & Cervical Intraepithelial Neoplasia.
In: Brown, J.S., Crombleholme, W.R., eds. Handbook of Gynecology &
Obstetrics. Stamford: Appleton & Lange.
12. Feig, R.L., et al., 2001. First Aid For The Obstetrics & Gynecology Clerkship.
US: McGraw-Hill.
13. Marquardt, N., 2002. Cervical Neoplasma and Carcinoma. In: Marquardt, N., ed.
Obstetrics and Gynecology, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
14. Sapto Wiyono dkk. 2004. Inspeksi Visual Asam Asetat untuk deteksi Dini Lesi
Prakanker Serviks. Universitas Diponegoro

33
15. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Skrining Kanker Leher Rahim
Dengan Metode Inspeksi Visual Asam Asetat.
16. Sinta Sasika, dkk,. 2010. Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Uji Sitologi dan
DNA HPV. Universitas Padjajaran Bandung.

34

Anda mungkin juga menyukai