Anda di halaman 1dari 286

Leila S. Chudori

http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori
9 dari Nadira
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

9 dari Nadira
http://pustaka-indo.blogspot.com

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
http://pustaka-indo.blogspot.com

9 dari Nadira

J akarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
http://pustaka-indo.blogspot.com

9 dari Nadira
© Leila S. Chudori

KPG 895 04 09 0303

Cetakan Pertama, Oktober 2009

Perancang Sampul
Wendie Artswenda

Ilustrator Sampul & Isi


Ario Anindito
(arioanindito.daportfolio.com)

Penata Letak
Bernadetta Esti W.U.

CHUDORI, Leila S.
9 dari Nadira
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009
xi + 270 hlm.; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-91-0209-6

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.


Isi di luar tanggung jawab percetakan.
http://pustaka-indo.blogspot.com

Untuk mereka yang percaya pada kehidupan:


Rain Chudori-Soerjoatmodjo
Leo Sutanto
Laksmi Pamuntjak
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Daftar Isi

Daftar Isi vii


Ucapan Terimakasih ix
1. Mencari Seikat Seruni 1
2. Nina dan Nadira 35
3. Melukis Langit 65
4. Tasbih 93
5. Ciuman Terpanjang 139
6. Kirana 165
7. Sebilah Pisau 181
8. Utara Bayu 211
9. At Pedder Bay 233
Catatan Karya 268
Tentang Penulis 269
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

UCAPAN TERIMAKASIH

BUKU kumpulan cer pen 9 dari Nadira tidak akan per nah
ter wujud tanpa mereka yang secara langsung m aupun tak
langsung telah membantu dan mendorong saya. Ucapan
ter im akasih saya tujukan kepada:
Rain Chudor i-Soer joatmodjo, seorang penulis yang
saya kagum i, seorang kr itikus yang saya perhitungkan, dan
se orang putr i yang menjadi m atahar i yang menyinar i hidup
saya.
Mereka yang member i dorongan moral sejak awal dan
per caya pada saya tanpa ragu: Leo Sutanto, J oko Anwar,
Dwi Set yo, Lala Ham id, Linda Chr istant y, Sitok Srengenge.
Seorang sahabat setia yang ikut mendampingi dan
me n iupkan energi setiap kali api mulai padam: Laksm i
Pamuntjak.
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ucapan Terimakasih

Ario Anindito yang senantiasa menyediakan waktu dan


ruang untuk berdiskusi tentang karakter Nadira, Nina, Ar ya,
Utara Bayu, dan menghasilkan ilustrasi yang cemerlang.
Mereka yang membaca dan memberi masukan pada draf
awal: Budi Darma, Joko Anwar, Lala Ham id, Ario Anindito,
Agus Sarjono, Jamal D. Rahman, Joss Wibisono, Nurlis
Meuko, Wisnu Dharmawan, Arswendy Nasution.
Keluarga KPG: Pax Benedanto dan Candra Gautama
yang bersedia memaham i mengapa saya menyebut ini sebagai
kum pulan cerpen dan bukan novel, dan seluruh tim editor
dan desain yang membantu menyempurnakan buku ini.
Mereka di dunia sastra yang menggocoh saya agar
kem bali menulis: Rendra (alm) yang memperkenalkan saya
pada ekonom i kata-kata; Sutardji Calzoum Bachri yang
meyakinkan saya bahwa “kata-kata mem iliki roh dan hi-
dup nya sendiri”; Mar tin Aleida yang mendorong saya agar
“kembali ke rumah saya di dunia sastra”; Seno Gum ira
Ajidarma, Nir wan Dewanto, Kurnia Effendi, Soni Farid
Maulana untuk korespondensi yang intens tentang proses
pen ciptaan.
Mereka di dunia ilm yang menyalakan energi saya
untuk terus menulis: Mira Lesmana, Riri Riza, Joko Anwar,
Dian Sastrowardoyo, Tora Sudiro, Harr y Dagoe, keluarga
Sinem Ar t: Mitzy Christina, Novi Christina, dan Cindy
Christina, ser ta Maruli Ara.
Keluarga besar Tem po: Yusril Djalinus (alm), Bambang
Har ymur ti, dan Toriq Hadad yang mendidik kam i tentang
integritas dalam jurnalisme. Ahmad Tauik, Hermien Kleden,
Arif Zulkili, Wahyu Muryadi, Amarzan Lubis, Putu Setia,
Edi R.M., Nugroho Dewanto, Seno Joko Suyono, dan Baskoro
yang tetap menghidupkan spirit Tem po dan menyalakan
imaji “majalah Tera” dalam buku ini.

x
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Rekan-rekan di bagian Teknologi, Perpustakaan, dan


Sekretaris Redaksi yang meladeni kerewelan saya: Handy
Dharmawan, Danny, Pak Soleh, Pak Haji, Eni, dan Em my.
Kawan-kawan alum ni Lester B. Pearson College of the
Paciic, Kanada, yang selalu menyalakan gairah di Pedder
Bay: Conor McCar thy, Michele Moore, Loralee Delbrouck,
Pierre-Olivier Colleye, Iggy Sison, Mar y Stockdale, Virginie
Magnat, Claudia Ricca.
Terimakasih untuk tempat-tempat yang melahirkan
rangkaian kisah ini:
J l. Proklamasi, Bintaro, Pondok Indah, J l. Rasuna Said
(Majalah Tem po pra-bredel), Tanah Abang Dua, Kafe Anomali
(Jakar ta), Bandung, Tanjung Pandan (Belitung), Am sterdam,
Pedder Bay dan Lester B. Pearson College of the Paciic
(Victoria, B.C., Kanada), Trent University (Peterborough,
Ontario, Kanada), Paris, dan New York.
Musik yang menemani selama penulisan: rangkaian
Gym nopaedie 1, 2, 3, dan Gnosienne no. 5 Erik Satie, The
Beatles, Nir vana, Thom Yorke, Ever ybody Loves Irene, The
Trees and The Wild, Greenday, / Rif, Netral, Pas.
Untuk orangtua saya, Willy dan Moham mad Chudori,
yang dengan kesabaran dan ketabahan membebaskan saya
untuk merasakan kebesaranNya.
Untuk kedua kakak saya, Zuli Chudori yang jauh dari
Jakar ta, tetapi selalu ada di hati saya, dan Rizal Chudori,
seorang “Ar ya” yang menjadi panutan dan kompas bagi saya
dalam hidup.

Terimakasih untuk segalanya.


Jakar ta, September 20 0 9
Leila S. Chudori

xi
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

MENCARI SEIKAT SERUNI

Inikah hari terbaik bertem u dengan-Mu

JAKARTA tidak m em iliki bunga seruni. Tetapi aku akan


m en carinya sam pai ke ujung dunia, agar Ibu bisa m engatup-
kan m atanya dengan tenang.
Ibu selalu berkata, jika dia m ati, dia tahu apa yang akan
ter jadi. Yu Nina akan menangis tersedu-sedu (mungkin dia
akan melolong); Kang Ar ya akan membacakan surat Yasin
dengan suara ter tahan sembar i mencoba mengusir air m ata-
nya. Aku akan melakukan segala yang paling pragm atis
yang tak ter pikirkan oleh mereka yang tengah berkabung:
me lapor kepada Pak RT, mengur us tanah pem akam an,
men car i mukena, mengatur menu m akanan dan botol
air m ineral untuk tamu, dan sekalian mencar i kain batik.
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Ter akhir, yang paling penting—yang selalu disebut-sebut


Ibu—aku pasti mengais-ngais bunga-bunga kesukaan Ibu
yang sulit dicar i di Indonesia: bunga ser un i putih. Dia tidak
menyebut melati; juga bukan m awar merah putih. Har us
ser un i ber war na putih. “Kenapa ser un i? Dan kenapa har us
putih?”
Ibu tidak menjawab. Dan aku tak pernah men desak nya.
Ram alan Ibu tepat. Itulah yang mem ang ter jadi.
Kam i menemui Ibu yang sudah membir u. Wajah yang
membir u, bibir yang bir u keunguan yang mengeluarkan bu-
sa putih. Di atas lantai yang licin itu, aku tak yakin apakah
Ibu terlihat lega karena bisa mengatupkan m atanya, atau ka-
rena dia kedinginan. Kam i menemukan sebuah sosok yang
te lentang bukan karena sakit atau ter jatuh, tetapi karena
dia memutuskan: hari ini, ak u bisa m at i.
Mungkin Ibu tak per nah bahagia.
Atau mungkin dia merasa hidupnya mem ang sudah
selesai hingga di sin i. Kang Ar ya memeluk tubuh dingin itu
tanpa suara. Aku hanya menutup mulut, sementara hatiku
r ibut. Tangan ku sibuk. Aku menutup segala per tanyaan ku
dengan pragm atisme: bagaim ana caranya mengangkat tu-
buh Ibu dar i lantai itu agar Ayah tidak melihat keadaan Ibu
yang serba bir u. J angan sampai Ayah melihat bahwa in i
sebuah per nyataan dar i Ibu. Selain itu, Ibu har us segera di-
angkat karena dia pasti kedinginan. Lihat, war na bir u itu
se m akin lam a sem akin ungu kekun ingan. Sayup-sayup ku-
dengar suara Ibu: hari ini ak u ingin m at i.
Untuk sementara, aku merasakan ada ombak yang ber-
gulung, menyesak dada. Tapi, aku mem iliki kekuatan yang
luar biasa untuk mengunci gudang air m ataku. Aku mem iliki
ke m ampuan menekan kepedihan seberat apapun agar har i
yang penuh luka in i bisa segera selesai. Sementara aku sibuk

3
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

ber tanya-tanya kenapa ibuku memu tuskan men inggalkan


kam i, tiba-tiba kulihat Yu Nina me nyer uak dar i ker umunan.
Dia mengusir tangan-tangan yang menghalanginya. Astaga,
tubuh sekecil Yu Nina bisa men dorong tangan para pam an
dan bibi yang sudah ikut ber ker umun. Yu Nina menyerbu
tu buh Ibu yang telentang. Tubuh Ibu yang sudah diam dan
te tap ber warna bir u. Yu Nina melolong… tapi suaranya tak
per nah keluar. Namun aku bisa mendengar lolongan Yu Nina
hingga har i in i.

***

Am sterdam , Desem ber 1963

Nadira m enolak t ubuhk u. Nadira m enolak susuk u. Ini


m em buatk u tak ny am an. Dia hany a m em ejam kan m a ta-
ny a sam bil sesekali m engeluarkan rint ihan kecil. Ak u m en-
dengar suara angin tajam y ang m enusuk-nusuk jen dela.
Angin Desem ber di Am sterdam sungguh m urung. “Wat een
melancholische dag is het vandaag...”1
Kuletakkan Nadira di atas tem pat t idur kam i (y ang
kam i sebut tem pat t idur sebenarny a hany a dua buah pet i
ka y u y ang kam i rapatkan; di atasny a kam i letakkan se-
lem bar kasur bekas). Nadira m enolak segalany a. Susu. Tu-
buh k u. Suara ay ahny a. Gangguan kedua kakak ny a: Nina
y ang bersuara ny aring. Ary a y ang tert ib dan taklid.
Dari jendela, ak u m em bay angkan sosok Bram m e ra-
pat kan kerah jaket ny a di keram aian Kalvelst raat. Musim
dingin bukan hany a m elahirkan berbagai peny ak it, tetapi
juga rasa kesendirian.
Sedangkan m usim panas, m eski Am sterdam selalu di-

1
Betapa murungnya hari ini...

4
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

banjiri t uris y ang ingin keliling Eropa, selalu m em berikan


rasa opt im ism e. Kalvelst raat selalu saja penuh sepert i
pasar, tapi Bram dan ak u selalu senang m eny usuri jalan ini
hany a unt uk sat u hal: m encium bau rendang di halam an
luar restoran Padang di pojok jalan; dan bau asap rokok
k retek y ang dijual oleh Andries.
Am sterdam kota y ang kont radikt if. Am sterdam selalu
rapi dan rajin m em basuh diri, sedangkan penduduk ny a
m alas m andi. Bram Suw andi di antara m ereka—sepert i
juga para penduduk Indonesia di sini—terlihat paling
bersih, rapi, dan rajin bertem u dengan air. Am sterdam
juga serba kont radikt if, karena sem asa k uliah, ak u bisa
m endapatkan dua tetangga y ang posisi apartem enny a
sekaligus m enunjukkan t it ik spekt rum y ang berlaw anan.
Johanna adalah seorang penganut Protestan y ang ketat,
y ang rajin ke gereja dan rak buk uny a penuh dengan
buk u-buk u renungan ilahiah; sem entara Bea adalah ga-
dis Belanda y ang pada hari pertam ak u di Am sterdam
m eng ajak si gadis Indonesia y ang sem ula dianggapny a
pem alu ini, m eny usuri rum ah-rum ah lam pu m erah, hany a
agar ak u kelojotan. Dia begit u kepingin tertaw a hingga
terbungk uk-bungk uk m elihat seorang gadis Asia y ang
m enjerit m elihat suasana Rosse Buurt Red Light Dist rict.
Terny ata reak sik u m em buat dia kecew a. Ak u m elalui
jalan it u dengan santai, m alah bany ak bertany a dan ik ut
duduk berbincang dengan Anneke, Carla, dan Elise sem bari
berbagi rokok, m endengarkan cerita tentang langganan
m ereka.
Aku terseny um m engingat itu sem ua. Hingga kini,
Johanna dan Bea tetap tem anku terbaik di apartem en ini.
Mesk i berbeda ideologi dalam hidup, m erekalah y ang
m em bant u pernikahank u y ang dilangsungkan dengan

5
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

begit u sederhana di kota ini. Jauh dari orangt ua dan jauh


dari suara-suara kekeluargaan dan bau rem pah-rem pah
y ang m eruap dari m asakan Indonesia.
Kulihat lam pu-lam pu jalanan sudah lengkap m ene-
rangi jalanan. Pada saat ini, Bram dengan sepedany a
tengah m em belah m alam . Setelah m enerjang angin dingin
m en cari berita di siang hari, dia akan pulang sebentar, lalu
berangkat lagi ke De Groene Bar hingga dini hari.
Suara derit pint u apartem en m enandakan Bram su-
dah di dalam apartem en. Ak u sudah tahu, pipiny a y ang
dingin it u akan terasa tebal, em puk, dan berw arna biru ke-
hitam an oleh janggut ny a y ang segera saja t um buh begit u
pisau cuk ur m enerabasny a set iap pagi. Bram m enut up
pint u. Dia tam pak lelah. Tapi m atany a tetap bersinar.
“Ada apa?” Bram m em andangk u tanpa seny um .
“Nadira agak aneh…”
“Aneh kenapa?”
“Dia m enolak susuk u…”
Bram m em buka sepat uny a sat u persat u dan m encopot
kaus kak iny a. Lalu dia segera m encuci tanganny a dan
m eng gosok ny a dengan sabun seolah sabun it u bisa m eng-
gusur jutaan bakteri Am sterdam . Akhirny a setelah y ak in
seluruh t ubuhny a bersih, Bram m eny ent uh dahi Nadira.
“Tidak dem am …,” gum am ny a, “kenapa… tadi kam u
m akan apa? Ay o, Schatj... wat scheelt jou...”2
Ak u m encoba m engingat-ingat. Tidak ada y ang aneh,
telur, sedik it kentang, dan say uran. Akhir bulan sepert i ini,
lem ari es kam i hany a berisi beberapa potong say ur dan
buah. Persediaan daging sudah m enipis dan it u sem ua ak u
siapkan unt uk Bram dan anak-anak. Bram m em egang
dahi dan pipi Nadira.

2
Kenapa kau, Sayang?

6
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Dia t idak dem am ...”


Tiba-t iba Bram m endengus. Ak u juga m encium bau
sangit. Dengan gerak cepat k ubuka selim ut Nadira. Kotoran
Nadira m erem bes ke m ana-m ana. Warna k usam seprei ber-
ubah m enjadi cokelat. Tanpa bany ak kata, kam i gerabak-
gerubuk m em bersihkan seluruh t ubuh Nadira y ang sudah
bele potan. Dengan tangkas, Bram m engangkat seprei dan
m en cem plungkanny a ke em ber. Pipik u basah, tapi segera
k u sem buny ikan. Kam i tak m am pu unt uk cengeng.
“Ak u telepon Jan…”
“Jangan!” Bram berseru. “Utang k ita sudah num puk!
Hoeft n iet.”3
Ak u duduk m enggant i celana dalam Nadira. Dia ha-
ny a m elenguh, lem ah. Nadira m asih m enolak susuk u. Ak u
te tap berpik ir keras m akanan apa y ang m eny ebabkan
Nadira m enolak susuk u.
Jam dinding berbuny i delapan kali. Set iap dentangny a
berbuny i bersam a detak jant ungk u.
“Ak u antar Nina dan Ary a t idur dulu…” kata Bram
tanpa m engeluarkan solusi apa-apa. Suarany a m uram ,
dan terasa m enekan rasa cem as.
Ak u m enggendong Nadira. Dia m eny andarkan ke pa la-
ny a y ang bundar dan bagus y ang diselim ut i ram but hitam
tebal it u ke pundakk u. Nadirak u... ak u ingin sekali pe-
ny ak it apapun y ang dideritany a pindah kepadak u. Hany a
beberapa m enit kem udian, ak u m endengar suara m esin t ik
Bram dari kam ar m akan. Lalu suara jari-jari y ang asy ik
it u se sekali diselingi deru angin bulan Desem ber.
“Kalau dia sudah t idur, art iny a dia t idak apa-apa…,”
ter dengar suara Bram di antara riuhny a m esin t ik.
Nadira m em ang sudah terlelap. Tapi dia belum m inum

3
Tidak perlu.

7
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

apa-apa. Ak u m eletakkan Nadira di atas tem pat t idur tanpa


seprei. Ak u m eletakkan Nadira tanpa setetes pun air susu
di dalam t ubuhny a. Ak u m engelus-elus pipiny a, sekaligus
m engusir-usir air m atak u y ang m em ak sa keluar.

***

J akar ta, Desember 1991

Bunyi geremengan surat Yasin itu terdengar seper ti


dengung lebah yang mengusap hati. Saling bersahut, mer u-
bung dan mem agar i Ibu. Dar i jendela dapur, aku melihat
laut an peci dan ker udung hitam yang duduk berbar is rapi
se per ti ir ing-ir ingan semut hitam . Tampak Ayah dan Kang
Ar ya membacakan Yasin di dekat kepala Ibu, seolah ingin
men jaga selur uh jasad Ibu dar i gangguan siapapun. Aku
me lihat seuntai tasbih ber war na cokelat tua di antara jar i-
jar i Ayah. Aku belum per nah melihat tasbih yang kelihatan
sudah tua itu. Di bela kang Ayah, kulihat Kakek dan Nenek
Suwandi membaca Yasin dengan suara yang lebih halus.
Orangtua Ibu sudah wafat beberapa tahun silam .
Aku m asih bisa mendengar sedu-sedan Yu Nina di ka-
m ar Ibu. Lalu terdengar beberapa bibi yang mencoba me ne-
nangkan dia, agar kecender ungan nya untuk hister is segera
reda.
Alangkah leganya jika kita punya kem ampuan ekspresif
seper ti Yu Nina. Alangkah bahagianya bisa mem antulkan
kem bali apa yang sudah memenuhi dada. Dar i m ana dia
bisa belajar menjer it, menangis, dan sesenggukan ber ke-
pan jangan seper ti itu? Ibu per nah mengatakan, sejak lahir
Yu Nina mem iliki pabr ik air m ata di beberapa kantung m a-
tanya. Apa saja yang tak ter penuhi akan menyebabkan kan-
tung air m atanya ser ta-mer ta produktif. Alangkah enaknya.

8
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Apakah karena aku lahir sebagai anak terakhir, m akanya


Ibu kehabisan persediaan kantung air m ata?
Beberapa ibu dar i kompleks tempat tinggal orangtuaku
menjer it kian-kem ar i menyiapkan m inum alakadar nya dan
se sekali mem inta persetujuan ku yang, entah oleh siapa, di-
angkat sebagai “pimpro” acara belasungkawa in i. Sebuah
mobil kijang mencer icit m asuk. Winda, salah seorang sepu-
puku yang keranjingan menjadi nyonya repot itu tur un dar i
mobil dan ber ter iak mem inta bala-bantuan. Seketika, tiga
atau empat pembantu menyambut Winda yang ter nyata
mem bawa beberapa baskom bunga melati. Tiba-tiba, untuk
kali per tam a, ada rasa panas yang membakar hatiku. Siapa
yang memesan melati di har i kem atian ibuku?
Aku mendekati Winda, “Siapa yang memesan kembang
melati in i?”
Aku terkejut mendengar suaraku seper ti siram an air
es. Dingin. Dingin. Padahal aku tahu betul ada api yang te-
ngah berkobar. Dadaku menggelegak.
Winda menatapku terkejut. Bibir nya yang mungil ha-
nya bergerak. Dia tahu betul aku jarang m arah.
“Siapa?”
Suaraku menekan. Winda tak beran i ber nafas.
“Aku pikir...”
Tiba-tiba saja, entah dar i m ana, ada tangan yang lang-
sung saja meraih baskom yang penuh dengan tum puk-
an melati itu. Dan entah bagaim ana, baskom melati ter -
pe lanting dan terdengar bunyi gedumbrangan di lantai.
Ratusan kuntum melati kecil yang ber nasib sial itu jatuh
ter burai-burai bersam aan dengan jatuhnya suara cempreng
bas kom yang terbuat dar i kaleng itu.
Bersam aan dengan suara ber isik itu, geremengan
surat Yasin di dalam terhenti seketika. Aku tak kuat lagi.

9
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

Aku bar u menyadar i, ter nyata tangan ku yang menyebabkan


bunyi ram ai itu. Dan entah bagaim ana, hanya dalam be-
berapa detik aku sudah berlar i dan berlar i ke belakang.
Aku berlar i diir ingi tatapan heran ratusan pelayat. Ser un i.
Ke m ana aku bisa mendapatkan bunga ser un i yang selalu
diingin kan Ibu?

***

Am sterdam , April 1957

De Groene Bar selalu m enjadi t ujuan Bea dan ak u,


jika kam i ingin bert ingkah sem auny a. Lebih tepat ny a: jika
Bea sedang gatal ingin lelak i dan ak u sedang haus m encari
alkohol. Kam i m em ang baru saja m endekam seharian
dengan Sen se and Sen sibilit y kary a Jane Austen, sebuah
no vel y ang harus kam i disk usikan besok, sem entara ak u
he ran sekali kenapa tahun pertam a kam i dijejali oleh novel-
novel kary a penulis Inggris abad 19 y ang selalu m engkha-
w at irkan jodoh dan harta. Bea dan ak u m ulai gelisah.
Austen m em buat kam i resah dan bosan. Keli hatan ny a ak u
but uh lelak i dan alkohol.
Bea m eny eretk u sem bari berbisik. Asap rokok ny a m e-
ngepul m engham bur ke m ukak u. Dia m em bisikkan sat u
na m a di telingak u sem bari cek ik ikan. Mendengar usulny a,
ak u m alah tak bersem angat.
“Malas ah! Ak u tak berm inat pada lelak i Indonesia.”
“Yang ini berbeda...”
“Apany a y ang berbeda? Mereka sem ua selalu m eng-
hak im i; rajin t idur dengan perem puan Belanda tapi ingin
kaw in dengan perem puan Indonesia y ang m anis dan pe-
nurut,” ak u m eny am bar jaketk u, “k ita ke Kalverst raat per-
sim pangan Spui saja.”

10
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Naaaaaay, k ita ke De Groene Bar,” Bea setengah m e-


m ak sa.
“Bosan! Penuh snob.”
“Biarkan. Percay alah, ada lelak i ganteng it u m alam
ini. Kau harus lihat.”
Hany a dalam w akt u setengah jam , t iba-t iba saja ak u
sudah berada di De Groene Bar y ang penuh sesak; bukan
saja oleh m ahasisw a Vrije dan Gem eentelijke Universiteit,
tetapi lengkap dengan arom a t ubuh m ereka y ang m alas
m an di bercam pur dengan asap rokok dan alkohol. Bea m e-
m ang sialan. Ak u tak berm inat m engunjungi bar ini, ka rena
90 persen pengunjungny a adalah m ahasisw a VU4 dan GU5
y ang m erasa diriny a sebagai senim an, intelekt ual, dan
ber t ingkah sok bohem ian. Mereka y ang baru saja kem bali
dari Sorbonne Universit y, Paris, hany a unt uk program per-
t ukaran sat u sem ester dan sem pat m elihat Sart re se kilas
dari jauh atau secara tak sengaja bertem u dengan pah la-
w ank u, Sim one de Beauvoir. Biasany a m ereka ha ny a be-
rani m enatap pasangan dahsy at it u; lantas di Am sterdam
para snob y ang dungu it u akan berkoar-koar m e rasa su-
dah berada di dalam lingkaran intelekt ual Eropa.
Dari tem patk u berdiri, ak u bisa m elihat Prof Ern st van
Dijk, seorang penulis Belanda terkem uka y ang dikagum i
para m ahasisw a (atau m ahasisw i tepat ny a; karena ak u
tak pernah m elihat dia berjalan dari sat u kelas ke kelas
lain tanpa entourage). Ada t iga m ahasisw i y ang duduk m e-
ngelilinginy a, dan dua m ahasisw a y ang m em esan anggur
m e rah. Salah sat u m ahasisw i, y ang blonda tent u saja,
m eng gelant ungkan lenganny a ke atas bahu sang profesor.

4
Vrije Universiteit.
5
Gemeentelijke Universiteit.

11
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

Tiba-t iba m ata Prof Van Dijk m enangkap pandangan-


k u. Dia terseny um dan m elam baikan tangan agar ak u
m eng ham piri m ejany a. Ak u pura-pura tak pa ham dan m e-
ny ibukkan diri dengan Bea.
“Bea, ak u tak tahan gerom bolan preten sius ini...,” ak u
m e narik lengan Bea. Tetapi tangan Bea m enunjuk pada se-
orang barkeeper y ang sedang m eladeni seorang m aha sis-
w a beram but panjang blonda y ang m engenakan sepa sang
ant ing y ang besar, bulat, dan panjang. Bar Man it u m em -
berikan sat u gelas jonge 6 pada si blonda. Dari ke jauh an,
dan dari cahay a bar y ang m inim , ak u bisa m elihat sebuah
w ajah Asia (atau jazirah Arab atau Afrika Utara?) y ang
tam pak terlalu serius dan sant un di tengah reriuhan m a-
ha sisw a gondrong, k um el, dan bau badan ini.
Tiba-t iba saja, tanpa sadar ak u sudah m eluncur m en-
dekat i bar. Past i t ulang hidungny a (y ang m ancung it u)
ter buat dari m agnet dan seluruh t ubuhk u terbuat dari besi
m urah-m eriah y ang bersedia m eny eret-ny eret diri unt uk
berpelukan dengan m agnet ini. Dan sang m agnet it u m e-
natapk u hany a dengan sat u lirikan y ang tajam .
“Mau m inum apa?”
Lo, dia tahu ak u bisa bahasa Indonesia?
“Kasih dia Ouwe 7...,” kata Bea cek ik ikan, “ak u pilsje.”8
Ak u diam , dan lelak i m ancung y ang bisa berbahasa
Indonesia it u m engam bil m inum an y ang dipesan it u sam bil
m atany a tetap m enatapk u.
“Kam u dari Jakarta...,” katany a y ak in.
“Say a bet ul-bet ul m eny angka kau dari Lebanon atau
Maroko.”

6
Sejenis gin Belanda.
7
Sejenis gin Belanda.
8
Bir Belanda.

12
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Dia m endorong gelas Ouwe it u ke depank u.


“Ya, bany ak y ang m eny angka ak u dari jazirah...”
“Jadi... kam u dari m ana? Bukan dari Jakarta?” Bea
ber tany a sam bil m elirik kenes. Si lelak i ganteng dan m an-
cung it u m encoba m eny ibuk kan dir i dan m eng gu m am kan
sebuah kata y ang tergilas di dalam jeritan suara rom -
bongan m ahasisw a y ang sedang bertepuk tangan di m eja
paling ujung. Entah siapa y ang sedang berulang tahun
atau m ungk in m eray akan werkstuk 9 y ang m endapat pu-
jian; ak u tak peduli. Belum sem pat ak u m em inta dia m eng-
ulang ucapanny a, Bea m em buat sebuah alasan y ang ber-
bau ‘dusun’ bahw a dia harus m enem ui Christel di m eja
lain. Bea m eninggalkan bar sem bari m engedipkan sebelah
m atany a.
Si lelak i ganteng terseny um . Barulah ak u m elihat, dia
m em ang dari Indonesia... Entah seny um ny a atau m ung-
k in bent uk daguny a, tetapi sekarang ak u y ak in dia orang
Indonesia. Ak u m erasa seseorang m em perhat ikan ak u
dari jauh. Profesor m aha tahu it u m enatapk u.
“Kenapa dia?” tany a sang lelak i ganteng it u dengan
nada curiga.
Ak u m eneguk Ouwe it u, tak peduli, “Past i dia m au
m e nagih werkstuk y ang terlam bat.”
“Menagih werkstuk di bar?” sang lelak i terseny um
dengan dalihk u. Sem ak in m agnet ik.
“Prof Van Dijk dan entourage sedang m em bicarakan
per tem uan m ereka dengan Sart re dan Sim one...,” katak u
ter seny um . Dia tertaw a m endengar suarak u y ang tak
tahan unt uk t idak m engejek.
“Biarkanlah dia bangga dengan pertem uan-perte-
m uan sekejap, m esk i hany a sebagai peserta sem inarny a,”

9
Makalah atau paper.

13
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

suarany a terdengar t ulus. Lelak i ganteng di balik bar y ang


m agnet ik it u kem udian m enggosok tanganny a dengan lap.
Lalu m engam bil jaket ny a.
“Mijn werk zit erop.10 Ak u antar kam u pulang.”
Siapa y ang m au pulang? Tapi ak u sudah m enem ukan
dirik u sepert i besi y ang m engik ut i lelak i y ang m agnet ik
it u; y ang m enggiringk u berjalan m em belah angin m alam
di aw al m usim sem i di Am sterdam . Tidak terlalu dingin
unt uk uk uran Belanda; tetapi kam i, para inlander, tent u
saja m engenakan jaket. Lelak i y ang seluruh t ubuhny a ter-
diri dari m agnet ini hany a m encangk ing jaket ny a di balik
bahu.
“Keluarga say a dulu t inggal di Bogor, lalu belakangan
pindah ke Jakarta...,” katany a m elangkah perlahan-lahan.
“Lum ay an terbiasa dengan udara sejuk.”
“Siapa nam am u?”
“Bram ant y o.”
“It u nam a Jaw a.”
“Ibu say a m em ang orang Jaw a. Ay ah say a dari
Cirebon.”
Kam i m asih berjalan dalam diam . Tiba-t iba saja ak u
m e rasa langit Am sterdam sungguh cerah.
“Say a adalah pohon y ang t um buh dari langit...”
“He?”
“Ibu say a lahir di Lam pung; ay ah dari Palem bang,
jadi say a t um buh dari langit, tanpa akar...”
Bram terseny um , “Kam u lahir di m ana?”
“Di Jakarta.”
“Dan it ulah akarm u.”
Ak u tak bisa tak terseny um .

10
Kerjaku sudah selesai.

14
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Past i w akt u lahir, orangt uam u tak lupa m em beri


nam a.”
Dia lucu juga. Dan sabar.
“Kem ala. Nam ak u Kem ala.”
“Masih tahun pertam a di VU?”
Ak u terseny um , “Terlalu kelihatan y a?”
“Tahun pertam a selalu penuh dengan anak-anak
y ang gelisah, y ang m encoba m em berontak dari hidup
y ang sudah dipetakan orangt uany a.”
Dia pengam at m anusia y ang ulung.
“Kam u sudah senior di VU?”
Bram anty o m engeluarkan sebungkus rokok, lalu m e na -
w arkanny a padaku. Aku m engam bil sebatang. “Di GU....”
Ak u m engangguk, “Jadi kam u term asuk rom bongan
jenius...”
“Jenius?”
“Anak-anak y ang dapat beasisw a.”
“Say a terpak sa m enem puh pendidikan di universitas
y ang m au m em berikan beasisw a. Sem ula ak u m enem puh
pen didikan di Fak ultas Kedokteran Hew an di Bogor, ka-
rena hany a jurusan it u y ang m em berikan beasisw a. Lalu
ada selek si beasisw a di GU, ak u langsung ik ut karena su-
dah lam a ak u ingin belajar polit ik dan ekonom i...”
Ak u diam . Tapi dia past i tahu, kekagum ank u padany a
sem ak in berlipat, karena ak u sem ak in m erapatkan t ubuh.
Bukan karena kedinginan, tetapi karena ak u besi dan dia
m agnet.
“Kam u m au am bil apa?” tany a Bram ant y o sam bil
m e ny alakan api unt ukk u. Jariny a m eny ent uh telunjuk ta-
ngan k u. Cuk up sek ilas, tetapi cuk up m eny et rum . Mung-
k in kah m agnet m engeluarkan set rum ?
Ak u m enghem buskan asap unt uk m enekan-nekan

15
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

set rum an sialan it u, “Mungk in sast ra... ak u belum tahu.


Ma hasisw a Sast ra Inggris dan Sast ra Prancis kelihatan
se pert i sek um pulan snob y ang dungu. Sibuk m engut ip
nam a-nam a besar di dalam set iap kalim at m ereka. Lalu
sejak Fran z Kaf ka m enjadi m ode di sini, set iap m a hasisw a
sast ra akan m engut ip dia. Pathetique! Ak u tak m au m enjadi
salah sat u gerom bolan pathetique.”
“Entourage Profesor Van Dijk?”
Bram ant y o terny ata m engetahui para sosok di VU.
“Dia past i m engincarm u sejak lam a. Dalam entourage-
ny a biasany a harus ada sat u barang ek sot ik,” kata Bram
tanpa em osi apa-apa. Datar.
Ak u t idak m enam bahkan observasiny a, karena se-
gala y ang dikatakanny a sudah tepat. Bram terseny um dan
m eng hem buskan asap rokok ny a. Ak u heran m elihat w ar-
na k ulit ny a. Jangan-jangan seluruh t ubuhny a terbuat dari
m agnet.
“Ak u sudah tahu m odus operandiny a. Bea sudah per-
nah t idur dengan dia. Pertam a, Van Dijk akan m engail
per hat ian para m ahasisw i dengan analisis dia terhadap
kary a-kary a y ang buruk. Dia akan m engeluarkan kalim at
cerkas, y ang m em buat k ita ik ut m enertaw akan para pe-
nulis wan nabe di Eropa. Lalu, ket ika m angsa sudah m u-
lai bersedia m enggelay ut di lenganny a atau di leherny a,
dia m ulai m em bisikkan beberapa bait sajak ciptaanny a.
Yang pa ling rom antis. Ditem ani anggur m erah. Selebihny a
m e reka akan bergulat sam pai pagi... habis-habisan. Dia
sangat ahli di tem pat t idur.”
Bram diam m endengarkan ulasank u.
“Kam u y ak in it u cer ita dar i Bea; bukan pe ng-
alam anm u?”
Ak u bisa m endengar segelint ir kecem buruan di dalam
pertany aan Bram ant y o.

16
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Dia bukan selerak u.”


Bram antyo berusaha m eyakinkan dirinya sendiri bah -
w a aku sedang m enceritakan pengalam an Bea; bukan peng -
alam ank u sendiri.
“Kalau bukan sast ra, apa pilihan keduam u?”
“Tidak ada pilihan kedua. Pilihan kedua m enunjukkan
hidup y ang terlalu tertata...,” jaw abk u tanpa berpik ir. Ak u
terkejut dengan kalim at it u.
Bram berhent i m elangkah dan m enatapk u.
“Kam u cum a ingin m engoy ak-ngoy ak peta y ang di-
buat orangt uam u.”
Ak u terdiam . Lagi-lagi w arna k ulit ny a agak m eng-
gang guk u. Mengganggu dalam art i y ang m eny enangkan,
te tapi m erepotkan gejolak darahk u.
“Kulit m u sepert i lelak i Maroko...”
“Ya?”
“Berw arna bron z...”
Bram tertaw a. Giginy a putih dan rata, kontras dengan
k ulit bron z it u. Apartem enk u sudah kelihatan. Dan tiba-tiba
saja ak u tak ingin kehilangan segum pal m agnet bron z ini.
“Musim panas ini kam u m au ke m ana?”
“Mencari kerja... ak u puny a lim a orang adik di Bogor...
uang kerja di m usim panas sangat lum ay an.”
Kerja. Tiba-t iba m alam m usim sem i m enjadi sem ak in
dingin. Ak u m enggigil.
“Kam u ke m ana?”
Ak u terbat uk-bat uk m erasa sungkan m endengar ren-
cana m usim panas Bram ant y o, seorang m ahasisw a, Bar
Man, berk ulit bron z it u. “Ngng... Bea m engajak ke pesta di
W ina. Lalu ak u akan bergabung dengan beberapa tem an
di Venice...”
Bram m engangguk. Tidak m enghak im i. Tiba-t iba ak u
ingin sekali m asuk ke dalam jaket ny a y ang terasa hangat.

17
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

Dan t iba-t iba it ulah y ang terjadi. Lebih gila lagi, Bram
sam a sekali t idak terkejut dengan serangank u y ang begit u
m en dadak.
“Ak u tak m au ke W ina dan ke Venice...”
Bram m alah m em elukk u sem ak in erat. Apakah m ag-
net terasa begini hangat; dan apakah ilm u fisika dulu sem -
pat m engajarkan bahw a m agnet bisa m engalirkan rasa
panas ke dalam t ubuh m anusia?
Malam it u kam i berbincang hingga pagi di kam ark u.
Kam i tak m elak ukan apa-apa, kecuali berpelukan dan ber-
pegangan tangan. Dan it u sudah cuk up m eng ge tar kan k u.
Ak u lebih bany ak bercerita tentang buk u-buk u y ang
tengah k ubaca. Saat it u ak u baru m eny elesaikan She Came
to Stay dari Sim one de Beauvoir. Bram m endengarkan
oceh an k u dengan tenang. Matany a sepert i sebuah danau
y ang sanggup m enelank u.
“Tulisan siapa y ang kau kagum i?” tany ak u setelah
m e ny adari ak u berbicara bany ak. Bram terseny um . Ha-
ny a beberapa hari kem udian, setelah ak u m am pir ke apar-
tem en ny a, ak u m elihat beberapa t ulisan kary a M. Natsir,
pem im pin Partai Masy um i.

***

J akar ta, 1992

Akhir nya kam i berhasil membuka gudang itu. Serom -


bongan debu menghambur. Yu Nina dan aku langsung saja
terbatuk-batuk; Kang Ar ya segera menyodorkan m asker.
Sementara mereka sibuk dengan perangkatnya m asing-
m asing untuk menghadang serbuan debu, aku lebih ter tar ik
pada sebuah peti antik kecil yang duduk sendir ian ditem an i
debu dan koran-koran bekas. Peti tradisional itu terbuat dar i

18
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

jati, polos, berdebu, dan hanya dihiasi empat lempengan


perak di setiap sisi. Di sebelahnya terlihat beberapa tumpuk
koran dan m ajalah yang tak boleh dijual oleh Ayah (sebuah
la rangan yang ser ing diterabas oleh Ibu, ter utam a jika ke-
uangan r um ah tangga sudah men ipis).
Kulihat Kang Ar ya mulai mengeluarkan beberapa kursi
antik yang rencananya akan dipoles oleh tukang antik lang-
ganan Ibu di Ciputat; tapi tidak kunjung ter jadi karena tak ada
uang. Yu Nina mulai mengger utu tentang orang-orang yang
me nanjak tua yang gem ar menumpuk barang-barangnya,
yang akhirnya tak pernah dinikm ati sam a sekali.
“Seper ti in i? Ngapain Ibu beli lampu seper ti in i... ada
enam biji...,” kata Yu Nina mem indahkan beberapa lampu
duduk ber war na hijau. “Ada gompelnya lagi, siapa yang m au
menggunakan lampu in i?”
Aku hampir tak mendengar omelan Yu Nina. Aku juga
hanya mendengar sayup-sayup suaranya yang member i
in s tr uksi dar i balik m asker nya, agar kam i mem isahkan
barang-barang itu sesuai kategor i: kursi dan meja antik
yang m asih har us dipoles; beberapa pir ing, m angkok, dan
sendok-gar pu antik; beberapa buah lampu antik; dan ter-
akhir buku-buku berbahasa Belanda m ilik Ibu dan Ayah
yang terletak di satu rak besar.
“Siapa yang m asih membaca bahasa Belanda?” Kang
Ar ya membuka-buka teks politik Ayah. Mataku m asih ter-
paku kepada satu peti jati itu. Suara ger undelan Yu Nina
dan komentar Kang Ar ya perlahan-lahan menghilang. Aku
duduk, menyemprot-nyemprot ingusku karena debu-debu
kurang ajar itu. Tumpukan koran dan m ajalah berdebu itu
ku pindahkan. Lalu, aku membuka peti yang tidak terkunci
itu. Tentu saja isinya bukan har ta kar un. Tetapi, seper ti
yang sudah kuduga, isinya adalah barang-barang pr ibadi

19
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

Ibu. Beberapa album foto, sebuah kipas hadiah Ayah untuk


Ibu, sebuah novel Sen se and Sen sibilit y kar ya J ane Austen
cetakan lam a sekali yang m asih utuh. Aku membuka bebe-
rapa halam an per tam a yang memperlihatkan beberapa ca-
tatan Ibu di tepi halam an. Tentu saja ditulis dalam ba hasa
Belanda. Aku yakin itu tulisan Ibu saat dia m asih kuliah.
Beberapa buku kar ya Simone de Beauvoir seper ti She Cam e
to Stay dan The Mandarin s juga m asih dalam kondisi yang
m asih bagus, bahkan desain sampulnya jauh lebih me nar ik
dar ipada m ilikku. Beberapa buku dalam bahasa Belanda
yang tak kupaham i ber tumpuk. Aku menyisihkan novel
kar ya J ane Austen dan Simone de Beauvoir itu, meski aku
sudah mem iliki versi bar u.
Mataku terhenti pada sebuah buku bersampul kulit
hitam . Nafasku terhenti. In i kelihatan seper ti sebuah buku
har ian. Tiba-tiba sebuah tangan merebut buku har ian yang
sedang kugenggam itu.
“Kita baca sam a-sam a...,” Yu Nina menukas.
Kang Ar ya yang sedang mengangkat kursi mem andang
kam i.
Dia meletakkan kursi yang bar u saja dipindahkan dan
mendekat, lalu ikut duduk di sebelahku.
“Mau dibaca sekarang?”
Yu Nina membuka satu halam an dan mencoba mem -
bacanya keras-keras:
“Am sterdam , Juni 1957... Musim panas y ang m em -
bakar. Bram lebih sering telanjang dada dan dia...
Euuwwww...”
Yu Nina melempar buku har ian itu ke pangkuan ku.
“Aku nggak m au baca tentang hubungan seks orang-
tuaku, euw, euw, euwwwww...,” Yu Nina menutup kupingnya
sendir i. Kang Ar ya ter tawa terbahak-bahak. Aku merasa
puas melihat Yu Nina menyerah.

20
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“J adi menur ut dia, Dir... kita in i dibawa oleh bur ung


bangau... bukan hasil dar i aksi panas dua tubuh yang...”
“Euw... euwwwww...!!!” Yu Nina menutup kupingnya,
“Aku hanya m au mengenang orangtuaku sebagai pasangan
yang betul-betul sudah tua: berambut putih, berkulit ke-
r iput, bersuara gemetar, dan organ tubuhnya sudah mulai
aus. Aku tak m au mengenang mereka sebagai pasangan yang
per nah muda dan panas bergairah... euwwww! Kalian yang
baca saja, dan laporkan padaku yang penting-penting. Ar ya,
keluarkan semua kursi!” tiba-tiba Yu Nina mengangkat
dir inya sebagai pimpro pembersihan gudang Ibu.
Aku membersihkan buku har ian Ibu dan menyimpan-
nya di dalam ran selku.

***

Jakarta, 1964

Ay ah Bram m em ilik i w ajah gem bil y ang senant iasa


m asam . Kesank u, w ajah dan t ubuhny a begit u berat se olah
seluruh persoalan dunia harus disangga sendirian oleh -
ny a. Tapi ak u m encoba m em aham iny a. Dia m em ilik i enam
orang anak. Dan dia m em puny ai perat uran y ang sa ngat
ketat, tapi cuk up progresif di sebuah zam an y ang m e-
m ent ingkan perkaw inan pada usia tertent u: sem ua anak-
ny a hany a boleh m enikah jika m ereka sudah m en capai
gelar sarjana. Bahkan adik Bram , Rania, y ang m e nem puh
pendidikan kedokteran pun, tak boleh m enikah sebelum
dia selesai k uliah. It u hal y ang sangat berat, karena la-
zim ny a m ahasisw a kedokteran baru m encapai akhir m asa
st udiny a hingga enam atau t ujuh tahun. Tapi ay ah Bram
y ang selalu m asam it u bersik uk uh Rania hany a boleh
m enikah setelah selesai sekolah.
Karena it u, perist iw a perkaw inan Bram dengank u

21
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

sem ak in m eningkatkan w ajahny a y ang m asam . Bram


belum selesai k uliah, tetapi sudah berani kaw in. Dia bekerja
sem bari m encari naf kah tam bahan di De Groene Bar dan
m e nulis berita di kantor berita Indonesia Merdeka.
Tent u saja kam i tak perlu berk isah bahw a t ingkahk u
y ang t idur berm alam -m alam di apartem enny a m em buat
Bram gelisah dan serta-m erta m engajakk u kaw in. Dia su-
dah m antap. Ak u sudah m elekat. Bagik u hij is de m an.11
Bagi Bram , dia tak bisa berpaling lagi ke arah lain, selain
ke arahk u. Dan karena Bram adalah m uslim y ang taat,
se m entara ak u perem puan y ang sedang jat uh cinta pada
m uslim y ang taat, m aka kam i sepakat m enikah segera.
Kam i sepert i pasangan lengket y ang tak bisa dipi sah -
kan siapapun juga, bahkan oleh t unt utan akadem is. Mun-
culny a t iga orang cucu y ang belum pernah ditem ui m er-
t uak u—karena jarak Am sterdam dan Jakarta—tak juga
m enghibur hat iny a.
Tak heran jika w ajah gem bil it u sungguh sulit m em -
ben t uk seny um saat bertem u dengan ak u, m enant uny a
y ang m ung kin nam pak seperti seorang perem puan m uda
dan binal y ang m engaw ini putra sulungny a dan ber hasil
m e ngoy ak-ngoy ak peta y ang sudah digam barkan orang-
t uany a. Se orang perem puan y ang m eny ebabkan pen di-
dikan anak su lungny a terulur-ulur. Dengan lahirny a Nina,
Ary a, dan Nadira, orangt ua Bram tak pernah m e ngetahui
pernikahan m a cam apa y ang dilalui putra sulungny a
(kecuali m elalui potret pernikahan kam i y ang sederhana
dengan kebay a pin jam an dan beberapa tangkai bunga
seruni putih y ang di selipkan di konde. Seruni. Bukan
y asm in. Bukan m aw ar. Seruni).

11
Dialah orangnya.

22
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Pertem uan kam i y ang pertam a, sepert i halny a per-


tem uan kam i selanjut ny a, tak pernah berlangsung lan car.
Dia duduk di teras depan, rum ah m ereka di Gang Bluntas,
kaw asan Salem ba y ang selalu terasa gerah. Ha ny a bebe-
rapa rat us m eter dari Gang Bluntas, ak u bisa m en dengar
dem on st rasi m ahasisw a y ang berkepanjangan. Sua sana
polit ik sungguh panas. Tetapi, bagik u, tak sepanas y ang
ter jadi di rum ah keluarga Suw andi y ang guncang oleh ke-
da tangank u.
Sem entara ak u m enggant i baju Nadira y ang selalu
basah oleh keringat dan m em andikanny a dengan bedak
y ang m endinginkan k ulit ny a; ak u m endengar buny i per-
cakapan antara Bram dan sang ay ah, patr iarch keluarga
Suw andi. Ak u m em bay angkan Pak Suw andi, m ert uak u
it u, duduk di k ursi besar ruang tengah; sebuah k ursi y ang
hany a boleh disent uh oleh dia, sedangkan k ursi ist riny a
ada di sam pingny a.
Tem bok antara kam ar depan, tem pat kam i “m e-
ngungsi”, karena Nadira ingin t idur, begit u t ipis. Ak u bisa
m en dengar sem ua y ang terjadi, seolah-olah ak u berada di
ruangan y ang sam a. Nina dan Ary a y ang sudah “disita”
oleh para bibi dan pam anny a di halam an be lakang tengah
m enik m at i rindangny a pohon m angga y ang konon dulu
ditanam Bram saat dia m asih kecil.
“Jadi dia anak keluarga Abdi Yunus? Pengusaha y ang
dekat dengan istana it u?”
“Ya, Pak.”
Hening.
“Sekolah apa di Belanda?”
“Tadiny a dia k uliah sast ra... lalu, y a lalu kam i kaw in
Pak, jadi...”
Ayah Bram m em bersihkan kerongkongannya. Mungkin

23
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

di sit u ada dahak. Mungk in juga t idak. Bram tak m e-


lanjutkan kalim at ny a.
“Jadi kam u kaw in dengan orang Sum atera...”
“Ada m asalah, Pak, dengan orang Sum atera?”
“Ndak...,” Pak Suw andi kem bali m em bersihkan ke-
rongkonganny a. “Sam a sekali ndak. Kaw an-kaw an Bapak
bany ak y ang dari Sum atera Barat, agam any a begini...”
Aku berasum si, “begini”pasti dilontarkan sam bil m eng -
acungkan jem polny a. Lalu ak u m endengar langkah se se-
orang y ang ik ut bergabung dalam disk usi (atau m onolog)
ini. Dari langkahny a y ang lunak, ak u m enebak past ilah it u
ibu m ert uak u.
“Mak sud Bapak...,” terdengar suara Bu Suw andi, ibu
m ert uak u, “apa dia salat, m engaji? Apa kalian m e nga jar-
kan m em baca Al-Quran pada anak-anak selam a kalian di
Belanda?”
Bram terdiam . Baru kali ini ak u m endengar per tany a -
an sepert i it u.
“Sekolah ist rim u sudah selesai Bram ?”
“Tadi dia sudah jaw ab Bu, m ereka kan kaw in di negeri
Belanda it u, terus anak-anak lahir...”
Hening.
“Mungk in orangt uany a dekat dengan PSI, Pak...,” Bu
Suw andi berbisik.
Hening.
“Ary a sudah disunat Bram ?”
“Ya Pak, begit u lahir langsung disunat.”
Terdengar suara keluhan kecew a Pak Suw andi.
“Bram ... kata Mang Priatna, kam u m em ilih Masy um i...,”
k ini giliran sang ibu m enginterogasi.
Oh, pem bicaraan bergeser dari sat u gum palan keke-
cew aan kepada gum palan kekecew aan lain. Mereka su-
dah kecew a tak dapat m eny ak sikan perkaw inan anak

24
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

su lungny a di Belanda. Kelahiran ket iga cucuny a. Dan ke-


ny a taan bahw a m enant uny a adalah put ri pengusaha ke-
luarga sek uler y ang tak terlalu pusing dengan kehidupan
spirit ual (kecuali jika spirit ualitas it u m elibatkan
alkohol).
“Keluarga ini sudah t urun-tem urun keluarga N U, ba-
gaim ana kam u bisa bergabung dengan Masy um i?”
“Ibu, say a akan selalu m enghorm at i pilihan polit ik
Bapak, Ibu, Ey ang Sur, dan Ak i. Tapi ini bukan kali per-
tam a ada y ang t idak m em ilih N U. Bibi Sam juga m em ilih
Muham m adiy ah. Say a m em ilih karena key ak inan hat i
say a.” Kini Bram terdengar sepert i puny a otot. Suarany a
lebih bening dan ak u m em bay angkan k ilatan w arna bron z
dari k ulit ny a it u past i sem ak in bersinar.
“Key ak inan apa it u?” tany a ibuny a dengan nada y ang
lebih terdengar kecew a daripada keinginan tahu.
“Bu, k ita akan m asuk dalam perdebatan y ang tak ada
ujungny a. Posisi say a sam a dengan posisi Bibi Sam soal
N U. Say a m em but uhkan sebuah partai y ang sikapny a le bih
k rit is terhadap pem erintah; apakah it u di zam an Belanda
m aupun sekarang pem erintahan Bung Karno y ang sedang
dekat dengan k iri. Biarlah keluarga besar Suw andi tetap
m enjadi keluarga N U. Say a m em ilih ik ut Pak Natsir.”
Hening.
“Sudahlah Bu... sekarang prioritasny a keluarga Bram
dulu. Alham dulillah akhirny a Bram sudah selesai seko-
lah ny a. Sudah kem bali ke Jakarta, biarpun lam a betul se-
lesainy a. Nah, kita harus ajarkan Islam dulu, biar m e nantu
dan cucu-cucu kita itu m engerti isi Quran. Soal Masy um i,
biar kita bicarakan nanti saja, y ang penting sam a-sam a
partai berbasis Islam ,” Pak Suw andi m enegur istriny a.
Hening. Suara nafas Nadira y ang sudah lelap m engisi
kesuny ian y ang tak ny am an.

25
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

“Ya sudah, panggil ist rim u. Kita pik irkan bagaim ana
m em perkenalkan Quran pada anak-anak m u. Sepupuny a
pada sudah jauh belajarny a. Tapi past i Nina dan Ary a bisa
cepat m engejar ketert inggalanny a.”
Ak u m endengar langkah Bram m endekat i pint u
kam ar. Ak u buru-buru m eny ibukkan diri, m enepuk-nepuk
paha Nadira y ang sebet ulny a sudah lelap bet ul. Tanpa
ber kata apa-apa, hany a dari pandangan m ata Bram , ak u
lang sung berdiri m eninggalkan Nadira y ang pulas m e-
ring k uk di tem pat t idur.
Ay ah Bram m em ilik i w ajah gem bil y ang senant iasa
m a sam . Dia m enatapk u tanpa em osi sam a sekali. Ak u
m eng ham piri k ursiny a dan m encium tanganny a. Lalu ak u
m en cium tangan ibu m ert uak u. Dua gerakan y ang tak
per nah k ulak ukan seum ur hidupk u. Ak u terbiasa dengan
m en cium pipi, m encium bibir, m encium leher... te tapi m en-
cium tangan? Kenapa tangan harus dicium ? Ba gaim ana
jika tanganny a baru saja digunakan unt uk m e ny em prot
ingus? Atau bagaim ana jika seseorang baru saja kem bali
dari toilet dan...
Ay ah m ert ua m endehem . Dahak ny a m engganggu
lagi.
“Jadi... Kum ala...”
“Kem ala...,” ak u m em perbaik i.
“Apa y ang kalian kenakan w akt u m enikah?” ibu m er-
t ua bertany a dengan nada y ang sangat sopan, m e nekan
rasa jengkel karena tak bisa hadir.
“Kebay a put ih, Bu...”
“Cara apa? Sunda? Jaw a?”
Ak u terdiam , “Cara... Indonesia.”
Ak u berani bersum pah, k ulihat ada sekelum it seny um
y ang tersem buny i di pojok bibir ay ah m ert uak u y ang
gem bil. Nam pak ny a dia m erasa ist riny a terlalu rew el

26
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

dengan hal y ang rem eh-tem eh.


“Lalu kondem u... kau bungk us dengan bunga apa?
Bunga m elat i?” tany a Bu Suw andi y ang sudah kehilangan
seny um .
“Bunga seruni, Bu...”
“Seruni? Kenapa seruni?”
Hening.
“Mem angny a susah m encari bunga m elat i di Belanda,
Bram ?”
Ak u tahu, Bram tak m ungk in m em bohong.
“Bukan susah, Bu. Ak u m em ang m eny ukai bunga
seruni.”
“Tapi bunga...”
“Sudahlah. Bunga seruni atau m elat i, y ang pent ing
m ereka m enikah secara Islam ...,” ay ah m ert ua m em otong
tak sabar. “Kalau dia suka seruni, y a seruni. Tak apa. Ijab
kabulny a lancar, Bram ?”
“Lancar, hany a sekali langsung jadi.”
“Bagus.”
Bapak m ert ua m engeringkan tenggorokan.
“Nah, Kum ala... tadi Bapak sudah bicara dengan suam i-
m u, anak-anak m u it u harus belajar m engaji...”
Ak u tak m enjaw ab.
“Mereka datang ke Salem ba saja set iap hari. Atau
kalau m au gam pang, selam a libur ini m ereka t idur di sini
sa ja, ada bany ak kam ar...”
Jant ungk u berdegup. Ak u m elirik Bram .
“Mereka libur sekolah kan, Bram ?” ibu m ert ua ber-
tany a.
“Ya Bu... tapi...”
“Bagus! Jadi Kum ala dan Bram nant i t inggal am bil
baju m ereka. Anak-anak m u t inggal di sini saja selam a libur
sekolah, biar kenalan sam a nenek-kakek ny a, kenalan sam a

27
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

sem ua pam an-bibiny a dan sepupu-sepupuny a sekalian be-


lajar m engaji. Nant i nenek ny a juga m engajarkan salat
lim a w akt u.”
Ay ah Bram kem udian m enut up pem bicaraan dengan
m engangguk padak u; tanpa m enant i perset ujuank u. Dia
m engam bil tongkat ny a dan berdiri. Bedug zuhur sudah
terdengar, dan hany a beberapa det ik kem udian terjadi
hiruk-pik uk seluruh isi rum ah m enuju kam ar m andi unt uk
m em basuh t ubuh dengan air w udu. Dari jauh ak u m e li-
hat Ray, adik bungsu Bram , tengah m engajar Ary a unt uk
m e ngam bil air w udu. Ibu Suw andi dan Bram sudah m e-
ning galkan ruang tengah, sem entara ak u m asih m e natap
bapak m ert uak u y ang berjalan dibant u tongkat.
“Ak u di sini saja, Pak.”
Bapak Suw andi m enoleh.
“Ak u akan salat kalau ak u ingin, kalau say a... siap,”
katak u m enatap m atany a.
Bapak Suw andi diam . Tapi, lagi-lagi, dari w ajah gem -
bil y ang m asam it u, ak u m elihat sinar m ata y ang sangat
ra m ah. Dia m eny odorkan seuntai tasbih y ang sejak tadi di-
pegangny a. Seuntai tasbih berw arna cokelat polos. Sangat
sederhana.
“Kalau begit u, Kum ala, pegang ini saja...”
Ak u m enerim any a. Ak u bahkan lupa unt uk m em per-
baik i cara dia m engucapkan nam ak u. Unt uk selanjut ny a
ak u akan m em biarkan dia m em anggilk u Kum ala, karena
entah bagaim ana, ak u bisa m elihat sinar y ang ram ah dan
t ulus y ang tersem buny i di balik w ajah y ang m asam it u.
Ucapan terim akasihk u m ungk in tak terdengar, karena
bapak m ert uak u kem udian berjalan tertat ih m enuju ka-
m ar m andi.

***

28
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

J akar ta, 1991

J enazah Ibu akan dim akam kan setelah salat J um at.


Ber baskom -baskom bunga melati di dapur itu m asih me-
numpuk sementara geremengan pembacaan surat Yasin
sem akin nyar ing. Kulihat Yu Nina kin i sudah bisa berdir i dan
keluar dar i kam ar diir ingi dua orang bibiku yang mem apah
Yu Nina, seolah dia sudah lumpuh total. Kedua m atanya
bengkak. Kenapa aku m asih saja belum bisa mengeluarkan
air m ata sebutir pun?
“Dira...”
Aku mengenal suara itu.
Utara Bayu. Bagaim ana dia bisa menyelip ke dapur, di
antara puluhan bibi dan pam an yang begitu banyak, yang
sedang wara-wir i tak ker uan? Utara mendekat. Apakah
wajah dingin dan galak sehar i-har i di kantor itu sebuah
topeng yang dia tanggalkan? Utara memegang tangan ku
dengan kedua tangan nya.
“Saya ikut berduka cita.”
“Ter im akasih...”
Lalu dia berbisik, “Bunga ser un i bisa kamu car i di
sin i... agak jauh. Tapi kalau kita ngebut, saya rasa kita bisa
kembali tepat waktu.”
Aku menatap ker tas kecil yang diserahkan Utara
kepadaku:
Daisy Nursery, Cileum ber, Jaw a Barat.
Hanya satu menit kemudian terdengar suara Nina
member i per intah kepada pembantu di dapur untuk me-
racik kembang melati menjadi untaian yang akan diletakkan
di atas jenazah Ibu. Aku melipat ker tas yang ber isi alam at
itu dan mengembalikan nya kepada Tara. Aku mencoba me-
nyusun kalim at: bagaim ana Tara tahu aku sedang mencar i

29
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

bunga ser un i? Tetapi sementara hatiku sibuk ber tanya, dar i


mulutku m alah meluncur kalim at yang menggelegar:
“J angan!!”
Beberapa tangan yang semula akan meraup kembang
melati di atas baskom itu berhenti seper ti patung. Yu Nina
terkejut. Semua yang tengah sibuk di dapur terdiam . Untung
saja kegiatan pengajian m asih berlangsung, karena aku
m asih bisa mendengar geremengan surat Yasin.
“Aku akan mencar i bunga ser un i untuk Ibu...,” kataku
pada Yu Nina.
Yu Nina mendekatiku dan nampak ber usaha menekan
rasa m arah, “Bunga... apa?”
“Ser un i... bunga ser un i...”
Yu Nina melangkah lagi hingga jarak kam i begitu dekat.
“Bunga ser un i?”
“Aku akan mencar i bunga ser un i untuk Ibu,” kataku
mengulang ucapan ku.
Aku melihat beberapa bibi menjauhkan baskom melati
dar i kam i berdua. Barangkali mereka khawatir akan ter jadi
sesuatu; entah apa.
Yu Nina memegang kedua bahuku, seolah aku anjing ga-
lak yang siap menerkam jika perm intaannya tak dika bulkan.
“Nadira...”
“Aku akan mencar i bunga ser un i untuk Ibu!” aku me-
ngucapkan kalim at itu dengan tekanan yang yakin.
“Nina!”
Kakek yang sudah tak gembil, dan sudah tak m asam itu,
ber dir i di belakang Yu Nina. Bukan saja dia kehilangan le-
m ak di tubuhnya, tetapi dia juga kehilangan daya hidupnya.
Ada kesedihan yang sungguh mendalam yang bisa kubaca
dar i m atanya.
“Biarkan Nadira mencar i bunga kesukaan ibumu.”

30
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Tiba-tiba saja Kakek Suwandi yang selam a ini nampak


dingin dan m asam saat mengajar kam i membaca Quran itu,
kini seper ti seorang lelaki tua yang bercahaya. Kepalanya
yang diselimuti rambut ber warna keperakan itu bersinar. Ge -
lom bang laut yang luar biasa itu kembali mendesak dadaku.
Tapi Ar ya yang tiba-tiba sudah muncul di sebelah Kakek
kemudian merogoh sesuatu dar i kantungnya. Dia melempar
kunci mobil landrover tua m iliknya. Aku menangkapnya
dan menar ik tangan Tara. Kam i men inggalkan Yu Nina yang
nampaknya m asih belum paham apa yang tengah ter jadi.

***

Am sterdam , Juli 1957

“Wajahm u berseri... sepert i...”


Bea m em bet ulkan kondek u dan m enjenguk cerm in.
Ak u m elihat w ajahk u y ang m engenakan rias y ang sangat
t ipis dan rapi. Entah dari m ana Bea belajar m em buat
konde sepert i ini; dan entah bagaim ana Johanna bisa
m enjahit kebay a put ih y ang terbuat dari brokat Belanda
y ang hargany a paling terjangkau.
“Sepert i bunga seruni...,” kata Johanna sam bil m e m a-
sang bunga seruni it u sat u persat u m enut upi kondek u.
“Mestinya kita m asih bisa m endapatkan bunga yasm in,”
Bea m enggerutu
“Tolong am bilkan kotak y ang biru it u,” katak u pada
Johanna. Kotak biru beludru it u adalah k irim an Mam a di
Jakarta.
“O, Kem ala, ini indah sekali...,” Bea m engeluarkan
seuntai kalung berm ata bat u t urquoise.
Aku m engenakanny a sepasang dengan giw angku. Sete-
lah m em at ut-m at ut terakhir kaliny a, Johanna m em asang

31
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mencari Seikat Seruni

sat u tangkai seruni terakhir di kondek u.


“Kam u akan m enjadi pengant in paling cant ik di
Am sterdam ...,” kata Johanna.
“Di dunia...,” kata Bea m em berikan buket kem bang se-
runi ke tangank u.
Di cerm in it u, ak u m elihat seorang pengant in berbaju
put ih, berhiaskan kem bang seruni put ih. Pengant in y ang
paling berbahagia di dunia.

***

J akarta, 1991

Utara mem arkir mobil di depan toko kembang keenam


di J akar ta. Nadira bersikeras untuk mencar i bunga ser un i
di J akar ta. Har us putih. Tidak boleh kun ing; tidak boleh
merah. Celakanya, semua toko bunga yang didatangi hanya
menyediakan bunga ser un i ber war na kun ing. Tetapi Tara
tidak menyemprotkan sepatah kata pun yang ber isi protes,
meski jar um jam sudah menunjukkan pukul 12 siang.
J enazah akan dim akam kan setelah asar.
Belum selesai Tara menyelesaikan ur usan parkir,
Nadira sudah kembali dengan wajah lesu dan menggeleng.
“Mem ang cum a ada di Daisy Nursery...,” gum am Tara.
“Bisa kita ke sana dan kembali lagi sebelum pem a-
kam an?”
Utara berkon sultasi dengan jam tangan nya. Dia meng-
injak gas dengan sengit. Mobil landrover tua m ilik Ar ya
itu mender u, membelah semua rentetan mobil J akar ta.
Nadira hanya memejam kan m atanya dan tak ingin tahu-
menahu kecepatan mobil itu. Dia seper ti tengah melayang
ke luar bum i dan mempercayakan selur uh jiwa dan raganya
kepada Tara. Dia merasa berada di sebuah pesawat—yang
selalu tergambar dalam im ajinasinya jika ia ingin keluar

32
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

dar i kesem rawutan dun ia—yang tengah melepas dir i dar i


banalitas di bum i; yang membuat semua kegiatan di bum i
terhenti hanya untuk beberapa detik. Dia hanya mendengar
sayup-sayup suara Lou Reed di dalam tape mobil. Hanya
bunyi rem yang bercer icit yang akhir nya membangun kan
Nadira dar i terbangnya.
“Sudah sampai...,” Tara berbisik ke telinga Nadira.
Nadira sungguh merasa bibir Tara sudah hampir menyentuh
telinga kanan nya. Tetapi begitu dia membuka m atanya,
aneh. Tara tampak duduk di belakang setir: dingin dan
kaku seper ti biasa.
Nadira menoleh: Daisy Nursery. Dan dia melihat suatu
pem andangan yang tak pernah terbayangkan. Beratus-
ratus atau mungkin ber ibu keranjang bunga ser un i tampak
membungkus toko bunga dan perkebunan itu. Di m ana-
m ana, di m ana-m ana. Nadira terbelalak. Tiba-tiba saja
ada gelombang air yang menyerbu tenggorokan nya dan
dadanya. Dia merasa ada sebuah dam yang selam a in i
ter tahan dan membludak. Dia menoleh melihat Tara yang
tengah mem andangnya. Mata Tara, yang selam a in i selalu
dingin dan hanya ber isi per intah itu kin i tengah berkata:
bunga ser un i untuk Ibu.
Pada saat itulah ombak itu kembali bergulung-gulung
men desak dada Nadira. Dia tak bisa menahan nya lagi.
Nadira menangis tersedu-sedu. Air m atanya mengalir tak
ber kesudahan.

****

J akarta, 31 J anuari 20 0 9-Maret 20 0 9

33
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

NINA DAN NADIRA

SATU, DUA, TIGA... kepalany a m asih di dalam jam ban


it u. Beberapa det ik. Nadira m asih bisa bertahan dengan
arom a air kencing dan bacin y ang m enggelegak m asuk ke
dalam hidung dan m ulut ny a. Tetapi ia tak bisa tahan rasa
sak it dan perih ram but ny a y ang ditarik oleh Nina.
Sam pai hit ungan ke-10, Nina m engangkat kepala
adik ny a. Tepat ny a, dia m enjam bak ram but adik ny a dari
jam ban it u.
“Uang siapa? It u uang siapa? Kam u curi dari m ana?”
Nina m enjerit di telinga adikny a.
“Uangku.”
Nina m enceburkan kepala Nadira ke dalam jam ban
ber isi air kencing itu. Lagi dan lagi dan lagi.
“Masih m au bohong? Uang SIAPA?”

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Kali ini volum e suara Nina m enggelegar, m erangsek


gen dang telinga Nadira.
“Ngaku..., kam u m encuri uang belanja Yu Nah? Iy a?
Kam u m encuri? Ngaku!!”
“Uangku, Yu! Uangku,” Nadira m enjaw ab, air m atanya
ber linang-linang bercam pur dengan air jam ban dan
kencing.
“Mana m ungkin kam u puny a uang sebany ak itu. Ibu
tak pernah m em beri uang saku sebany ak itu. Bohong!
Bohong!”
Nina kem bali m em asukkan kepala adik bungsuny a it u.
Lagi, lagi, dan lagi... hingga akhirny a Nadira ingin sekali
teng gelam selam a-lam any a ke dalam jam ban.

***

Mata Nina mengikuti aliran warga New York yang tak henti-
hentinya mengalir seper ti air bah. Para peker ja setengah
berlari seolah kantornya akan menghilang disapu angin jika
mereka tidak datang tepat waktu. Para peker ja perempuan
mengenakan rok, blazer, dan—ini khas New York—sepatu
kets yang nanti pasti akan diganti dengan sepatu berhak
lim a sentimeter saat mereka tiba di gedung tinggi pencakar
awan. Lalu para peker ja lelaki, mengenakan jas dan celana
ser ta dasi, membawa segelas kopi. Sebagian menghilang ke
bawah kerajaan subw ay; sebagian berdiri di pinggir jalan
berebut taksi.
Nina melir ik arlojinya. Dia m asih mempunyai 35
men it bersam a Ruth Snyder untuk berkeluh-kesah. Tetapi
har i itu Nina tak ingin mengungkapkan bab m asa lalunya
dar i lem ar i dendam nya. Biasanya, 60 men it bersam a Ruth
Snyder tak per nah bisa memuat selur uh lautan isi hati Nina
yang membludak. Kali in i, Nina terdiam . Masa kecil mereka
di J akar ta berkelebatan, keluar-m asuk dalam ingatan nya.

37 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

“Nina...”
Nina tidak menjawab. Ruth Snyder, psikolog yang su-
dah menem an inya selam a dua tahun terakhir selalu sa bar
jika Nina mulai melamun mem andang keluar jen dela. Ruth
tahu, Nina tengah mengingat sesuatu: yang me nye nangkan,
yang menyakitkan. Ruth paham , Nina pasti tengah mengusir
kelebatan bayangan yang ser ing meng gang gunya.
Mata Nina kembali mengikuti aliran orang-orang New
York yang m asih tergesa-gesa dikejar pagi yang hampir
se lesai. Lam a-kelam aan mereka seper ti satu gar is yang
bergerak-gerak ke beberapa arah.
Nina tak berhasil mengingat apapun yang bisa dice-
r itakan kembali pada Ruth. Dia ter ingat sebuah per istiwa
yang paling mengganggunya; yang tak akan per nah dia ce-
r ita kan kembali pada orang lain.

Jalan Kesehatan, Jakarta, Oktober 1973

“Nina...”
“Ya, Bu...”
Kem ala berdiri di depan pint u kam ar Nina. Wajahny a
pucat dan tam pak khaw at ir.
“Nadira dem am ... Ibu sudah kasih obat.”
Nina terdiam , hat iny a berdebar. Dia sedang m em baca
di tem pat t idurny a.
“Dia sedang t idur...,” Kem ala berjalan m endekat i tem -
pat t idur.
“Ibu m encium ram butny a, bau pesing. Ada apa, Nina?
Kenapa dia basah-k uy up?”
Malam sudah t urun bersam a hujan bulan Oktober.
Nina t iba-t iba m erasakan angin m alam y ang tak ram ah
pada k ulit ny a. Ibuny a m em baw a sebuah m ajalah di

38 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

tangan ny a. Dia m endekat dan duduk di pinggir tem pat


t idur. Tanpa se patah kata pun, ibuny a m eny odorkan m a-
jalah it u. Nina m e nerim any a dengan ragu.
“Bacalah.”
Nina m em baca sek ilas. Sebuah cerita pendek anak-
anak berjudul “Perjalanan ke Negara Biru”. Penulis:
Nadira Suw andi. Kini desiran angin m alam it u sem ak in
m a rah; terasa kering dan panas. Tapi it u belum seberapa
dibanding pandangan ibuny a y ang m enghunjam . Ibuny a,
pe rem puan y ang m elahirkanny a, y ang m eny usuiny a, y ang
m engajarkan bagaim ana m em baca dan m encintai buk u-
buk u hingga m ereka bert iga m em but uhkan buk u sepert i
m a nusia m em but uhkan ok sigen. Ibuny a y ang dengan sa-
bar m engajarkan bahw a m ereka harus bersikap sopan dan
ram ah kepada siapa saja jika ingin diperlak ukan de m ik ian
oleh orang lain. Ibuny a y ang m engajarkan m ereka ber t iga
unt uk m em perlak ukan sem ua orang dengan baik, tanpa
m elihat w arna k ulit, jender, stat us sosial, agam a, atau per-
bedaan pem ik iran. Dan ibuny a y ang m engajarkan bah w a
sebagai kakak tert ua, dia harus m enjaga dan m eraw at
adik-adik ny a.
“Nadira bukan seorang pencuri, Nak. Uang y ang di-
m ilik i Nadira adalah honorarium dari cerita...”
“Bu!!”
Nina m enubruk ibuny a. Kem ala m erasakan bahu ny a
basah oleh air m ata Nina.

***

“Saya tak per nah m inta m aaf pada Nadira.”


Ruth mem andang Nina dar i balik kacam atanya.
“Com e again?”
“Saya tak per nah m inta m aaf pada Nadira.”

39 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

Ruth mempunyai sebuah buku sakti yang ber isi semua


catatan pasien nya. Buku sakti itu tebal dan bersampul kulit
itu selalu dipangku sambil mendengarkan pasien nya yang
lazim nya tiduran di sofa panjang di hadapan nya. Nina ada-
lah salah satu pasien nya yang jarang menggunakan sofa
itu. Dia lebih suka berdir i di muka jendela dan mem andang
keluar, menyaksikan New York di pagi har i.
“Kenapa tidak?”
“Saya merasa lebih bersalah pada Ibu.”
“Kenapa? Kamu menyiksa adikmu; menuduhnya men-
cur i uang. Kamu ber utang pada adikmu. Kenapa kamu me-
rasa bersalah pada ibumu; bukan pada Nadira?”
“Ruth, saya pasti banyak melakukan kesalahan dalam
hidup in i. Tapi ada satu peraturan dalam hidup saya: saya
men coba untuk tidak mengecewakan orangtua saya. Saya
men coba menjadi anak sulung yang baik. Karena itu, saya
me rasa bersalah pada Ibu, karena saya telah mengecewakan
Ibu. Karena Ibu selalu ingin saya menjadi kakak yang me-
nya yangi dan merawat adik-adik...”
“Are y ou?”
Nina kin i duduk di sofa dan bersender. “Saya tidak
tahu, Ruth. Tapi yang jelas, saya tak per nah bisa mem inta
m aaf pada Nadira.”
“Bagaim ana perasaan mu?”
Nina mengangkat bahunya, seper ti tak peduli. Tetapi
Ruth Snyder terlalu tahu Nina yang tengah menyembunyikan
perasaan nya. “Saya hanya tahu, per istiwa itu sudah lam a
saya hapus dar i lem ar i ingatan saya. Saya tutup, saya kunci,
dan saya buang kuncinya ke lautan.”
Ruth meletakkan pena dan menutup buku saktinya.
Dia melepas kacam atanya.
“Nina..., tugasmu sekarang adalah, car ilah kunci itu, ke

40 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

dasar lautan sekalipun; kau ambil, kau buka kembali, dan


kau hadapi. Dengan dem ikian, kamu bisa berdam ai dengan
m asa lalumu. Setelah itu, bar u kita bisa melangkah m aju
membicarakan perkawinan mu dengan Gilang.”

***

J akar ta, 1989

Sudah ham pir satu jam Nadira m enanti, tetapi Gilang


tak kunjung m uncul. Nadira m enengok arlojinya. Novel yang
sedang dibacanya kem udian ditutup, lalu dia m em utuskan
m engham piri m eja Raisa, sekretaris Gilang.
“Mbak Raisa...”
“Aduh, maaf sekali, Nadira. Pak Gilang masih di dalam,
saya tak berani mengganggu. Atau mau kembali lagi besok?”
Wajah Raisa betul-betul terlihat tak nyam an dengan
tingkah laku atasan nya sendir i. In i membuat Nadira jatuh
ka sihan.
“Tak apa Mbak, saya tunggu. Kalau boleh tahu, siapa
tamunya? Orang dar i Depar temen P dan K? Atau Dewan
Ke sen ian?”
Raisa menggar uk-gar uk leher nya dan mendadak sibuk
dengan komputer nya, “Bukan...”
Nadira kembali ke kursi dan bukunya. Setengah jam
ke mudian Nadira mendengar gerabak-ger ubuk. Dia meng-
angkat kepalanya. Akhir nya... akhir nya Gilang Sukm a
mun cul: tinggi, gondrong, penuh senyum . Tak lam a ke mu-
dian, seorang perempuan berkulit putih, berambut pan jang,
ber tubuh sintal menyusul. Entah mengapa, Nadira se gera
memutuskan untuk pura-pura membaca, meski ekor m a-
tanya tetap mengam ati tingkah laku Gilang dan pe rem puan
sintal berambut ter urai hingga pinggang itu.

41 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

“Hai, Nadira!”
Suara Gilang tak terlalu nyar ing, tapi Nadira hampir
me loncat dar i kursinya karena merasa ter tangkap basah
saat dia mengintip dengan ekor m atanya.
“Ya, Mas...”
Gilang melambai-lambaikan tangan nya agar Nadira
datang menghampir i mereka. Gilang dan perempuan sintal
be rambut ter urai hingga pinggang. Nadira membereskan
buku ke dalam ran sel lalu berlagak tersenyum menghampir i
mereka.
“Mia, ini Nadira, wartawan majalah Tera. Nadira, ini Mia,
calon penar i untuk koreografiku yang terbar u. Dia akan
menjadi Ken Dedes.”
Nadira langsung menjabat tangan Mia dengan sopan.
Mia yang ber tubuh sintal itu menyambut tangan Nadira.
Se telah mereka berbicara dan ter tawa kecil dan saling me-
me gang lengan dan leher, akhir nya Gilang terlepas dar i ge-
lungan Mia, sang penar i ber tubuh sintal berambut ter urai
hingga pinggang.
“Ayo, m asuk, Nad...,” Gilang membuka pintu r uang
stu dionya lebih lebar. Nadira sudah mengenal studio
tempat Gilang berlatih dan ber meditasi. Gilang Sukm a
adalah salah satu narasumber di m asa awal Nadira menjadi
repor ter m ajalah Tera. Meski Nadira lebih banyak diputar
ke r ubr ik kr im inalitas dan politik, setiap kali Gilang Sukm a
akan mementaskan kar yanya yang terbar u, Nadira pasti
ditugaskan mewawancarai koreografer itu.
Ketika mereka duduk bersila, saling berhadapan,
Nadira hampir saja melontarkan per tanyaan yang sejak tadi
ber tengger di kerongkongan nya:
“Apa yang sedang kau lakukan, Mas? Apakah kamu
m a sih m ilik Yu Nina?”
Tetapi Gilang yang gagah, tampan, gondrong, dan kar is-

42 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

m atik itu m alah asyik mencer itakan proses kreativitasnya.


Pada men it kelim a, saat Gilang mulai men ce r itakan tafsir nya
ten tang sosok Tunggul Ametung, Nadira lupa per tanyaan
yang akan dilontarkan nya.

***

New York, September 1992

Nina berjalan kaki sendirian di kawasan Greenwich


Village di sebuah sore. Nina tahu, inilah bagian New York
yang disukai Nadira di m asa lalu: bohem ian, berarom a
inte lek tual, dan membebaskan warganya untuk menjadi
dir i sendiri. Tetapi Nina lebih m erasa bergairah di tengah
Manhattan. Meski Greenwich Village berlokasi di Lower
Manhattan, Nina selalu berm im pi suatu hari dia m enjadi
ba gian dari Upper East, di mana kehidupan warganya ada-
lah gambaran tokoh-tokoh Woody Allen: kaya-raya tan pa
m e m ikirkan sum ber uang; m enyaksikan opera se bagai ba-
gian dari kegiatan akhir pekan; m engadakan m akan m a lam
yang m enggairahkan bersam a para penulis, editor, sineas,
dram awan, sem bari m em bicarakan karya-karya se nim an
ter kem uka di apartem en yang dindingnya dige lan tungi lito-
grafi dan patung karya senim an dari negara-negara Dunia
Ketiga (dem ikianlah para New Yorker m enyebut negara
seperti Indonesia).
Nadira tak cocok dengan karakter Amer ika, kecuali
New York. Bagi Nadira, New York membuat dia bisa me-
m a ham i Woody Allen dan J.D. Salinger, dua sen im an
dun ia yang me lekat di hatinya. Tapi Nadira tak akan me-
m ilih Amer ika sebagai tempat tinggal. Alasan Nadira:
Amer ika mem aksakan kon sep m elt ing-pot, siapa saja yang
datang dan menjadi im igran, diceburkan dengan paksa ke
dalam m angkok be sar ber nam a Amer ika Ser ikat sehingga

43 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

kepr ibadian asal sang im igran akan hilang sebagian, jika


tak selur uhnya. Kanada, menur ut Nadira, adalah pemegang
kon sep pot pour r i. “Menur ut saya Kanada sam a seper ti
Indonesia,” kata Nadira dalam salah satu perdebatan nya
dengan Nina, “bersatu dalam keragam an nya.”
Nina mencintai Amer ika, jauh lebih dalam dar ipada
cintanya pada tanah air sendir i. Seandainya dia tak men ikah
dengan Gilang Sukm a pun, Nina akan mencar i jalan untuk
pindah ke negara in i. Nina merasa cocok dengan keteraturan,
segala yang serba sistem atis dan rapi gaya Amer ika.
Itulah sebabnya Nina dan Nadira seper ti sepasang
rel kereta api yang lur us yang tak per nah ber m inat untuk
ber temu di tengah.

Di sebuah sore di musim sem i, Nina mem ilih ber jalan


kaki di Greenwich Village agar ia bisa menemukan “kunci”
yang ia sudah lempar ke dasar laut.
Kunci...
Nina tahu, dia tidak membenci Nadira. Dia tak akan
bisa membenci adiknya sendir i. Tapi sejak lam a Nina sudah
menyadar i, dia tak akan bisa hidup bersam a di bawah satu
atap; atau bahkan di satu kota bersam a kedua adiknya:
Nadira dan Ar ya. Dan penyebabnya? Ruth menyaran kan
Nina menyelam dan mencar i kunci yang sudah dia buang
jauh-jauh.
Nina memutuskan duduk di salah satu bangku di
Washington Square Park. Musim sem i mem ang m asih me-
n iupkan sisa-sisa angin dingin yang membuat pipinya beku
dan merah. Tapi Nina sudah akrab dengan angin New York.
Dia mencoba mengingat-ingat apa yang menyebabkan dia
tak bisa membicarakan Gilang pada Ruth Snyder. Ah, ya...
m alam itu.

44 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Jalan Kesehatan, 1989

“Ak u akan m enikah dengan Gilang Suk m a.”


Ucapan Nina sepert i sebuah bom y ang dijat uhkan
dari pesaw at ke sebuah tam an bunga y ang penuh kelinci
y ang berloncatan.
Malam it u, keluarga Suw andi tengah m enik m at i
m akan m alam y ang terdiri dari pepes ikan m as, say ur
asem dengan ulekan kem iri y ang kental, sam bal terasi
y ang digerus tom at hijau dan cabe raw it, ikan asin jam bal
goreng, dan lalap jant ung pisang godog. Menu ini selalu
dinant i Ary a dan Nadira. Biasany a m enu it u tersaji set iap
tanggal 28, sehari setelah Ay ah m enerim a gaji. Tetapi sejak
Ary a m em ilih k uliah di Bogor, Kem ala m engadaptasikan
tanggal peny ajian m enu it u persis saat kedatangan Ary a
ke Jakarta set iap akhir bulan.
Nadira dan Ary a belum sem pat m em egang piring,
ke t ika Nina m engucapkan kalim at y ang m engguncang se-
luruh keluargany a.
“Gilang Suk m a... koreografer? Gilang Suk m a...?”Ary a
m enganga, “Kapan kalian saling m engenal? Say a bahkan
tak tahu kalian berkencan.”
Nina tertaw a kecil dan m enarik k ursi. Dia m ulai m en-
ciduk nasi sem entara orangt ua dan kedua adik ny a m asih
sepert i pat ung m enatapny a, m em inta penjelasan.
“Nina...”
“Ya, Bu...”
“Ini harus dibicarakan dengan serius...”
“Iy a Bu, Nina serius.”
Bram m asih diam m encoba m encari kata-kata. Anak
sulungny a y ang cant ik dan cerdas it u akhirny a m e m u-
t uskan unt uk m enikah dengan seseorang y ang hany a dia

45 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

kenal m elalui koran dan m ajalah. Seorang senim an y ang,


m enurut koran-koran, sudah m enikah dan bercerai t iga
kali!
“Yu..., sudah y ak in? Ini Gilang Suk m a, Yu...,” Nadira
m en coba m encari kalim at y ang tepat.
“Kenapa Gilang Suk m a?”
“Mau k ita beberkan biodatany a di m eja m akan?”Ary a
m enciduk nasi dengan em osional hingga terlihat nasi y ang
m enggunung di atas piringny a, “Tiga kali kaw in, t iga kali
cerai, pacar di m ana-m ana. Tany a Nadira, dia past i tahu
bet ul gay a hidup Gilang Suk m a!”
Tiba-t iba sem ua m ata m enatap Nadira. Det ik it u juga,
Nadira m erasa ada beban berat di pundak ny a. Seolah-
olah kalim at apapun y ang m eluncur dari m ulut ny a akan
m en jadi babak penent uan kehidupan kakak sulungny a.
“Ay o, ceritakan sem ua y ang kau k isahkan padak u,
Nad. Ceritakan bagaim ana dia biasa m em baw a penari-
penariny a ke st udio, bukan hany a unt uk berlat ih tetapi...”
“Ary a.”
Suara Bram tegas, m esk i tetap tenang dan lem but.
Cuk up sat u kata, Ary a langsung m engunci m ulut ny a.
“Sebaik ny a k ita m akan dulu. Sesudah m akan, Ary a
dan Nadira tolong bant u Yu Nah cuci piring. Ibu dan Ay ah
akan berbicara dengan Yu Nina,” Kem ala m em ut uskan
sam bil m eny odorkan piring ikan pepes pada Ary a. Ary a
m e nerim any a dan m enggrauk ikan pepes it u tanpa ber-
pik ir.
“Tinggalkan pepes ikanny a buat y ang lain, Say ang,”
Kem ala m enegur.
Unt uk lim a m enit pertam a, sem ua terdiam , m eny ibuk-
kan diri dengan m akanan m enu Sunda y ang seharusny a
dahsy at di lidah. Tetapi berita ini m em buat ikan pepes
dan say ur asem buatan Yu Nah terasa ham bar. Ary a y ang

46 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

biasa m elahap m akanan apapun—kalau perlu k ursi goreng


pun akan dia telan—hany a m engorek-ngorek ikan pepes
it u tanpa gairah. Bram berhasil m eny odok m akanan it u
ke m ulut ny a, m esk i ia tengah berpik ir, sedangkan Kem ala
sibuk m eny orong piring lauk kepada suam iny a, Nina,
Ary a, dan Nadira.
“Gilang seorang peray u, Yu Nina! Dia bukan lelak i
y ang set ia.”
Nadira terkejut oleh ucapanny a y ang m eluncur be gi-
t u saja dari m ulut ny a, tanpa kont rol, tanpa sen sor. Ter-
de ngar suara dent ing sendok dan garpu. Ary a m elipat
ke dua tanganny a dengan w ajah puas; dia m em andang
ka kak ny a.
“Bukan cum a peray u, Yu Nina. Dia t ukang kaw in.
Tu kang kaw in. Yu Nina akan m enjadi ist riny a y ang ke-
em pat... Tiga ist riny a diceraikan hany a setelah bebe rapa
tahun dia m enikah,” Ary a tak tahan lagi m engeluarkan
fakta-fakta tentang Gilang Suk m a y ang sebet ulny a sudah
diketahui seluruh dunia.
“Ary a, Nadira...,” Kem ala m engeluarkan suarany a
y ang dingin. Ini nada suara y ang paling ditak ut i oleh ke-
t iga anak-anak ny a. Tapi nam pak ny a Ary a dan Nadira su-
dah nekad m elalui garis y ang dibentangkan ibuny a.
“Bu, beberapa kali ak u w aw ancara Gilang di st udio,
selalu saja ada perem puan y ang...”
“Nadira!”
Kali ini Bram m engeluarkan suarany a y ang berat.
Nadira terdiam . Dia baru m eny adari Nina m enunduk dan
terisak. Nadira baru m eny adari orangt uany a m encoba
m enjaga harga diri kakak ny a.
Say ur asem dengan kem iri giling y ang dahsy at it u
nam pak ny a sudah m ulai dingin; ikan pepes dan sam bal
tom at juga m enggeletak begit u saja di atas piring. Seluruh

47 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

gairah unt uk m elahap m enu Sunda kesukaan keluarga


Suw andi it u sudah pupus hingga ke t it ik nol.
Sam bil bergum am unt uk perm isi dari m eja m akan,
Ary a kem udian berdiri dan m em baw a piringny a ke dapur.
Nadira kem udian m eny usul abangny a.

***

New York, 1992

Senja sudah turun di Washington Square Park, jantung


Greenwich Village yang selalu dipilih Nadira sebagai tem pat
m em baca buku. Di m asa Nadira sekolah di Kanada persis
sem bilan tahun silam , dia m em ilih Greenwich Village se bagai
tem patnya melarikan diri selama musim panas. Dia bekerja di
beberapa tempat—belakang panggung Off Broadway, m agang
di beberapa m edia lokal, dan bahkan sem pat m enjadi tukang
cuci piring di sebuah kafe—untuk m engisi koceknya selam a
m usim panas. Nina hanya sem pat m engunjunginya satu kali
di New York karena dia sendiri tengah m enyelesaikan kuliah
di J urusan Sejarah di kam pus Rawam angun Universitas
Indonesia.
Musim panas tahun 1983, tiba-tiba membangun se-
buah hubungan yang bar u tanpa sejarah. Tanpa ingatan
m asa lalu. Tanpa bercak-bercak hitam di dasar hati. Tentu
saja Nina dan Nadira mempunyai pandangan yang berbeda
ten tang New York. Bagi Nina, New York adalah kemegahan
dan keberhasilan kapitalisme yang bisa din ikm ati melalui
Empire State Building di m alam har i; sedangkan Nadira me-
n ikm ati New York pada setiap senja di Washington Square
Park sambil membaca salah satu buku yang dibelinya di
toko buku bekas. Bagi Nina, New York adalah kekuatan
Wall Street yang menjadi kompas bagi pergerakan saham

48 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

dunia, yang selalu membuat darahnya mengalir dengan


deras; atau Metropolitan Museum of Ar ts yang seakan tak
habis-habisnya member ikan peluang bar u bagi inter pretasi
sejarah. Nadira lebih suka keluar-m asuk teater kecil di Off
Broadway menikm ati per tunjukan teater eksper imental. Se-
kali waktu, ketika ada festival “Mostly Mozar t” di Lincoln
Center, bar ulah Nadira bersedia mengeluarkan uang
untuk menginjakkan kaki di gedung per tunjukan yang
ter m asyhur itu.
Dua pekan itu adalah har i-har i yang menyenangkan
bagi Nina dan Nadira, meski sekaligus sem akin memper-
jelas: mereka seper ti sepasang rel kereta api yang tak akan
per nah bersentuhan.
“Aku har us kembali ke sin i untuk S2..., NYU atau
Columbia,” kata Nina dengan nada penuh cita-cita.
“Let’s drink to that!” Nadira mengacungkan botolnya.
Mereka mendentingkan botol ber isi soda sembar i me-
ngunyah m akanan jalanan. Nina mem ilih pretzel, Nadira
me ngunyah falafel. Mereka menyusur i jalan di kawasan
Greenwich Village di sebuah sore di ujung musim panas.
Ke tika kaki sudah mulai lelah, mereka mem ilih duduk di
bangku panjang di Washington Square.
Di bangku panjang itulah, sembilan tahun kemudian
Nina merenung, mencoba mencar i-car i kunci yang dia lem -
par ke lautan. Bayangan har i-har i bersam a adiknya di New
York itu mungkin sebuah kenangan yang diseleksi untuk m a-
suk dalam kategor i: menyenangkan. Tetapi Ruth me nya ran-
kan, jika Nina ingin bisa melangkah m aju dalam hidup se-
cara sehat lahir-batin jika dia bisa menghadapi m asa la lunya
dengan tabah dan ikhlas. Dia har us mengambil “kunci” itu.
Nina merasa belum menemukan “kunci” yang dia
lem par ke dalam lautan m asa lalu. Mungkin karena dia

49 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

men car i di tempat yang salah. Mungkin karena secara tak


sengaja, dia menyeleksi kenangan m asa kecilnya bersam a
Nadira. Nina menyadar i ada banyak per istiwa hitam yang
tak ingin diingatnya. Kenangan nya di Greenwich Village,
di selur uh urat nadi New York bersam a Nadira sangat
terang-benderang. Tapi kenangan yang lain? Di m ana dia
mengubur nya?
Tenggorokan terasa ker ing. Nina memutuskan untuk
menghir up kopi di Cup of J ava, salah satu tempat kopi ke-
sukaan Nadira di Greenwich Village. Sembari ber jalan, Nina
ter paku pada tumpukan poster-poster di din ding bangunan
yang tengah direnovasi. Salah satu poster per tunjukan Gilang
Sukm a beberapa bulan silam yang menampilkan Gilang
dengan dada telanjang dan hanya mengenakan celana batik
dalam salah satu posisi tar inya, ber judul Tunggul Am et ung.
Poster itu berada di antara tumpukan poster tua 42nd
St reet, Cats, dan Les Miserables.
Nina ingat saat-saat perkenalan awal dengan Gilang
ke tika dia tengah memulai proses penciptaan Tunggul
Am et ung. Nina sengaja menyembunyikan hubungan nya
dengan Gilang untuk beberapa lam a, karena dia tahu ke-
luar ganya akan terlalu banyak tanya, ter utam a Nadira yang
me m ang sudah mengenal Gilang. Nina tidak ingin menjadi
spesies yang disorot di bawah m ikroskop; ter utam a jika
yang menyorot adalah kedua adiknya yang rewel itu.
Nina memejam kan m atanya. Semula, mereka hanya
se r ing menyaksikan film , per tunjukan musik, atau tar i di
Tam an Ism ail Marzuki. Sejak merasakan cium an Gilang
yang lebih lezat dar ipada es kr im van illa itu, Nina khawatir
pada dir inya sendir i. Dia akan mudah jatuh ke pelukan
Gilang seper ti seekor lalat tersangkut tanpa daya di jar ing
laba-laba.

50 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Setiap kali Gilang mengajaknya untuk berkunjung ke


r um ahnya, Nina menolak. Tetapi, suatu m alam , Gilang
me ng undangnya menyaksikan awal penciptaan koreografi
Tunggul Am et ung di studio Gilang. Nina menyanggupi,
mes ki setengah ragu. “Aku akan ajar i kamu ber meditasi...,
ba gus untuk keseimbangan tubuh dan jiwa,” kata Gilang.
Malam itu, dia melihat Gilang duduk bersila di atas
lantai kayu, di tengah studio yang luas yang dikelilingi cer-
m in. Gilang tersenyum mem andang Nina yang melangkah
m asuk. Begitu Nina mendekat, Gilang langsung saja me-
nar iknya dan mendudukkan Nina di atas pangkuan nya.
“Katanya kau akan mengajar iku meditasi...,” Nina men-
coba protes dengan suara lem ah.
Gilang tersenyum . Ujung telunjuk Gilang menyentuh
dada Nina. Sekilas. Tapi itu cukup membuat Nina gelagapan.
Ketika tangan Gilang perlahan membuka kancing baju Nina
dan mengelus-elus buah dadanya, Nina akhirnya ter jun
masuk ke dalam tubuh Gilang. Dia menikmatinya. Luar biasa.
Tiba-tiba saja Nina merasa dirinya seper ti se orang penari
yang lepas, bebas, dan mampu mencapai se buah ketinggian
yang tak per nah dirasakan sebelum nya.
Sejak m alam itu, Nina tahu, dia tak akan bisa me le pas-
kan dir i dar i Gilang. Gilang membuat dia merasa tu buhnya
begitu sempur na dan begitu hidup.
Nina membuka m atanya. Dia kembali berada di sebuah
senja di Greenwich Village. Tiba-tiba dia merasa suara
Nadira ada di m ana-m ana.
“Mas Gilang seorang peray u, Yu Nina!”

***

“Mengapa Tunggul Ametung? Mengapa tidak meng-


ambil dar i pandangan m ata Ken Dedes, m isalnya?”

51 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

Nadira ber tanya dengan notes dan pena di pangkuannya.


Gilang ter tawa, “Aku sudah menduga, pasti kamu akan lebih
ter tarik sudut pandang Ken Dedes.”
“Oh, tidak. Tunggul Ametung pun menar ik, sosok yang
tragis, dan mungkin akan men imbulkan simpati,” Nadira
bur u-bur u menjawab, “tapi kan saya har us tahu mengapa
Anda mem ilih tokoh in i sebagai sentral cer ita.”
Gilang ter tawa terbahak-bahak, “Sudah m au jadi calon
ipar, m asih menggunakan kata ‘Anda’...”
Nadira tidak menyambut keakraban Gilang dengan
ser ta-mer ta. Dia mencorat-coret notesnya tanpa tujuan dan
ber sumpah-serapah dalam hati karena dia tidak mem iliki
ke ahlian seper ti Kr is, ilustrator jagoan itu, yang selalu saja
bisa membuat sketsa apa saja di kala jengkel.
“Kamu dan Ar ya m asih meragukan n iatku mengawin i
Nina.”
Nadira tak bisa menjawab. Bagaim ana dia bisa men ja-
wab. Dia yakin penar i ber tubuh sintal dan berambut pan-
jang hingga ke pinggang itu bar u saja bercinta dengan calon
kakak ipar nya itu.
Gilang duduk di lantai, berhadapan dengan Nadira.
“Nadira... kamu per nah jatuh cinta?”
Nadira menger utkan ken ing.
Gilang tersenyum , “Aku mencintai Nina. Ber ilah aku
kesempatan untuk memujanya...”
Nadira tidak menjawab.

***

Keris yang dielus-elus oleh Em pu Gandring itu bisa ber-


diri tegak di atas bum i. Ken Arok tercengang dan silau
oleh sinarnya. Perlahan dia m endekati dan m enyentuhnya
dengan ujung jarinya. Tiba-tiba saja Ken Arok m erasa silau

52 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

oleh cahaya yang berkilau-kilau yang terpancar dari keris


itu. Gerakan Ken Arok berputar dengan satu kaki, diiringi
gamelan yang riuh-rendah itu menggelegak. Ken Arok tiba
pada kesadaran: keris itu adalah sebuah jalan m enuju ke-
besarannya.
Nadira menyaksikan itu semua dengan dada bergetar.
Gilang mengangkat tangan nya, gamelan berhenti. Para pe-
nar i berhenti.
“Kita istirahat dulu, kembali lagi setelah makan siang...”
Gilang mendekati Nadira yang sedang mencatat semua
latihan dan wawancara dengan penar i yang dilakukan se-
belum nya. Gilang mengeluarkan rokok dan menyalakan
api, tersenyum melihat Nadira tampak bergairah setelah
menyaksikan sebagian ciptaan nya.
“Mas Sapto luar biasa, Mas...” Nadira m asih memberes-
bereskan notes, kamera, dan alat perekam . Gilang ter-
senyum , dia menar ik tangan Nadira, “Ayo, ikut...”
Nadira tercengang, tapi juga ingin tahu, ter pontal-
pontal menggeret ran selnya mengikuti Gilang yang setengah
ber lar i menyeberang studionya. Gilang berhenti duduk di
hadapan rak ber isi tape recorder besar lengkap dengan
sound sy stem . Dia menyalakan nya.
“Dengar...”
Terdengar bunyi sitar lam at-lam at mengeluarkan nada
pentaton ik: nglangut, mengusap-usap hati yang penuh r in-
du. Nadira mendengarkan dengan lekat.
“In i musik untuk adegan per temuan Ken Dedes dan
Ken Arok...,” kata Gilang perlahan mendekat. Nadira tak
menyadar i betapa dekat wajah Gilang dengan wajahnya.
Ia memejam kan m ata mendengarkan petikan sitar itu dan
mem bayangkan tubuh Ken Dedes disiram cahaya bulan.
Tiba-tiba, dia merasakan nafas arom a tembakau yang

53 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

begitu dekat dengan nya. Im aji Ken Dedes hilang. Dan


begitu Nadira membuka m atanya, ter nyata wajah Gilang
sudah berada hanya beberapa sentimeter di depan nya...

***

New York, 1991

“Mas...”
“Ya, Say ang...”
“Kam u past i lupa...”
“Ah... astaga... ak u lupa w akt u, Say ang... Musim
dingin selalu m engaburkan siang dan m alam .”
Nina terdiam .
“Nina..., ak u harus m eny elesaikan tarian ini...”
“Ya, Mas... tak apa... Mas m asih di st udio?”
“Ya, ak u harus m editasi dulu, Say ang.”
Nina m enut up teleponny a. Dia m elirik m akan m alam
ist im ew a y ang sudah disiapkan sejak dua jam y ang lalu. Ini
adalah hari ulang tahun perkaw inan m ereka y ang kedua.
Nina m eniup lilin m erah y ang sejak tadi m enari ke sana-
ke m ari dan m eny im pan Chicken Cordon Bleu dan m ashed
potatoes kesukaan Gilang ke dalam oven. Dia m enuang
anggur m erah ke dalam gelas dan m eregukny a sam bil m e -
m andang keluar jendela apartem en. Tiba-t iba, y a t iba-
t iba saja, Nina m erasa ada y ang sesuat u y ang aneh. Dia
ber diri dan m engam bil jaket, topi, dan sy al, serta sarung
tanganny a.
Udara m usim dingin di Brookly n pada jam sepuluh
m a lam m enggerogot i k ulit ny a. Nina berjalan dengan ce-
pat m enuju stasiun subway. Wajahny a terlihat garang
dan nafasny a tersengal. Ada sat u kata y ang m eny angk ut
di otak ny a, di dadany a. Ada suat u bay ang-bay ang y ang
m e nggangguny a. Meditasi... m editasi. Apa y ang dianggap

54 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

m editasi oleh seorang Gilang Suk m a selalu m elibatkan


akt iv itas ek st ra k urik uler.
Nina tiba di Greenw ich Village dan m em buru angin
m alam seperti seekor anjing betina y ang tengah dikejar
angkara-m urka. Di depan studio m ini Gilang, Nina m eng-
hentikan langkah. Nafasny a tersengal. Dia ragu. Say up-
say up dia m endengar buny i gendang. Nina m asuk dari
pintu sam ping. Gelap. Suara gendang itu sem akin jelas
m eray ap ke telingany a. Kini sem akin dekat, Nina m endengar
kom binasi suara gendang dan suara desah, suara-suara
erangan. Jantung Nina berdegup.
Meski gelap, Nina bisa m eny ak sikan sebuah adegan
m elalui jendela. Sebuah adegan y ang sangat dikenalny a.
Meski hany a ada seurai cahay a bulan y ang m eny elinap
m asuk ke lantai studio itu, Nina bisa m elihat Gilang duduk
bersila tepat di tengah studio. Seperti biasa, seperti beberapa
tahun silam , Gilang duduk bersila telanjang dada. Tapi kini
bahuny a y ang bidang dan dadany a y ang padat dan keras
itu ditutup oleh ram but panjang seorang perem puan y ang
duduk di pangkuanny a. Buny i gendang itu m enghentak
sem akin cepat, sem akin keras, dan sem akin riuh m engikuti
naik-turunny a gerakan perem puan itu.
Nina terpaku. Udara dingin New York telah m em buat
dia beku.

***

J akar ta, 1989

“Ibu...”
“Ya, Sayang...”
“Seandainya... ini seandainya, Bu..., sahabat Ibu di
Belanda dulu, siapa Bu?”
“Beatrice... Tante Bea, kenapa?”

55 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

“Nah, seandainya Tante Bea jatuh cinta dengan seorang


lelaki. Lalu di suatu har i yang nahas, lelaki itu m alah merayu
Ibu...”
Kem ala mem andang Nadira terkejut. Ken ingnya ber-
ker ut. Kegiatan m inum kopi pagi itu tiba-tiba terganggu
oleh sebuah per tanyaan yang tak lazim .
Nadira duduk di samping ibunya sambil mengaduk-
aduk kopinya.
“Ada apa, Nad?”
“J awablah, Bu..., kalau itu ter jadi, apakah Ibu akan
member itahu Tante Bea?”
“Pengalam an Ibu mengatakan, perempuan yang jatuh
cinta mem ilih untuk menyangkal tingkah-laku pasangan nya
yang tidak setia. Mereka cender ung ber musuhan dengan
pem bawa ber ita bur uk itu.”
Nadira terdiam , “J adi seandainya Ibu melaporkan pe-
r istiwa itu, Tante Bea pasti menepis...”
“Mungkin dia tak akan langsung percaya. Dia akan
meng interogasi kekasihnya; dan tentu saja seper ti biasa
sang le laki membantah. Dan Tante Bea akan menenangkan
dir i, me ngatakan bahwa itu laporan yang tak relevan.
Hubungan Ibu dan Tante Bea akan merenggang, karena
Tante Bea akan men jauhkan dir i. Dia tak ingin diingatkan
oleh in siden yang dianggap tak ada itu.”
Kem ala menatap Nadira dengan tajam , “In i sebuah
pilihan, apakah kamu akan menjadi pembawa ber ita bur uk
itu atau tidak. Yang m anapun yang kamu pilih, r isikonya
sam a-sam a akan melukai Nina.”
Nadira tersentak.
“Bu, kalau ada sesuatu yang bur uk tentang pasangan
saya, saya pasti ingin mengetahuinya,” kata Nadira dengan
nada yakin.

56 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Kem ala tersenyum dan menggeleng-geleng, “Saya rasa


kamu tak ingin mendengar satu kata pun yang bur uk ten-
tang orang yang kau cintai.”
“J adi, kita menyaksikan Yu Nina dibohongi ter us-
mener us oleh Mas Gilang?”
“Kita menyaksikan Yu Nina belajar untuk menjadi
de wasa; belajar menghadapi r isiko dar i keputusan nya,”
Kem ala mengucapkan kalim at itu dengan tegas.
Kem ala mengusap-usap codet kecil di atas alis m ata
Nadira, “Nad, kamu ingat dulu Ibu per nah mengatakan apa
yang ter jadi kalau Ibu m ati?”
“Ya, Bu...,” suara Nadira serak dan khawatir, “tapi saya
tak per nah membayangkan Ibu m ati. Untuk saya, Ibu ada-
lah per wujudan puisi Chair il Anwar. Ibu akan hidup 1.0 0 0
tahun lagi...”
Kem ala mengelus rambut Nadira yang berantakan,
yang tak mengenal sisir itu. Lalu ujung jar inya mengusap
codet di atas alis m ata kir i Nadira.
“Kamu paham mengapa Yu Nina selalu membutuhkan
dukungan moral dua kali lipat dibandingkan kamu atau
Ar ya?”
Nadira menggelengkan kepala.
“Tidak Bu, tidak paham . Tapi saya yakin Ibu punya
alas an yang tepat.”
Kem ala menghir up kopinya, “Kita harapkan saja dia
bahagia dengan pilihan nya, Nad..., dan Ibu m inta, kalian
berdua mendukungnya dengan ikhlas.”
Nadira mengangguk.

***

57 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

Am sterdam , 1964

Sebuah codet kecil di atas alis m ata kiri Nadira m em -


pu ny ai sejarah.
Aku tengah m engepak barang-barang untuk dikirim ke
Jakarta. Sebulan lagi, kam i akan pulang. Salem ba Bluntas
m eny im pan bany ak teka-teki, salah satuny a: bagaim ana
reak si keluarga Bram nanti ketika berkenalan denganku,
m enantuny a. Dan aku m engusir rasa senew en itu dengan
m engepak buku-buku Bram untuk dikirim m elalui kapal.
Sore itu anak-anak sudah m akan dan m engenakan piy am a.
Aku sudah m engingatkan Nina y ang saat itu berusia enam
tahun untuk m enjaga adik-adiknya, karena aku hanya m au
m em anaskan susu Nadira. Sesekali kudengar suara Ary a
y ang m enjerit-jerit. Dia pasti sedang m engajak kakak adik-
ny a untuk m eloncat-loncat di atas tem pat tidur.
Tiba-tiba, aku m endengar suara bergelundungan di
tangga. Lalu disusul jeritan Nina. Jantungku m eloncat dan
aku m elesat m enuju tangga. Astaga, Nadira sudah telung-
kup di lantai. Ini kali ketiga Nadira m enggelundung ke ba-
w ah. Pada usia yang m encapai dua tahun—usia yang m e-
rasa sudah bisa m enjelajah dunia—Nadira m em ang sukar
untuk patuh. Bram sudah m em asang gelang dengan lonceng
kecil di pergelangan kaki Nadira, agar aku bisa m endengar
jika Nadira yang bandel ingin turun tangga. Gelang itu
hanya berusia dua hari, karena Nadira tidak betah dan
m inta abangnya m elepas gelang itu. Sang Abang segera
m elepasnya dan m engutak-atik gelang itu m enjadi rentetan
m erjan y ang digunakan untuk m enim puk-nim puk Nina.
Aku segera m em eluk Nadira dan perlahan m engang-
katny a. Dia tidak m untah, tapi aku tetap m em baw any a ke
pediatrik, agar m erasa am an. Terny ata Nadira baik-baik

58 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

saja. Karpet budukan pem bungkus tangga kay u itu selalu


m eny elam atkan Nadira. Tetapi kali ini ada luka kecil y ang
m eny ebabkan kulit di atas alis m ata kiriny a sobek kecil.
Mungkin karena saat m encapai lantai baw ah, dahiny a m e-
ngenai m obil-m obilan m ilik Ary a. Kulit di atas alis Nadira
harus dijahit, tapi kam i boleh langsung pulang.
Tiba di rum ah aku m elihat Bram sudah berhadapan
dengan Nina dan Ary a y ang m enunduk ketakutan.
“Sudahlah Bram , aku tadi m eninggalkan sekejap untuk
m em buat susu..., bukan salah m ereka.”
“Masakan m enjaga si kecil barang satu m enit saja tak
bisa,” gerutu Bram , “say a dulu m enjaga adik-adik say a, tak
pernah ada goresan sedikit juga...”
Ak u m elotot m endengar ocehan Bram y ang gem ar
m em banding-bandingkan kehebatanny a sebagai seorang
kakak y ang m enjaga adik-adikny a. Aku m enidurkan Nadira
y ang sudah ny eny ak sejak di trem . Kulihat m ata Nina sudah
m ulai berkaca-kaca.
“Kenapa, Nina?”
“Salah Nina, Yah... tadi adik lari-lari... lalu jatuh...”
Kini pipi Nina basah oleh air m ata. Aku tak pernah tega
m elihat anak-anakku m erasa bersalah. Tetapi tetap ada
y ang tak beres dari ceritany a.
“Ary a?”
“Ya Bu?” Ary a m engorek-ngorek hidungny a.
“Ary a tadi m ain dengan adik?”
“Iy a Bu, m ain petak um pet... Adik y ang m inta... katany a,
y uk, Kang m ain, m ain, m ain...,”Ary a m em beri alasan sam bil
sibuk m enggali-gali lubang hidungny a.
Bram dan aku berpandangan. Kam i tahu, jika Ary a
sudah sibuk dengan kotoran hidungny a, artiny a dia sedang
m enutupi kesalahanny a.

59 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

Kulihat Nina m engham piri Nadira dan m engusap-


usap luka di atas alisny a.
“Ini lukany a bisa bikin otakny a adik rusak, Bu?” Nina
ter isak-isak.
“O tidak, Nak..., itu sobek, sudah dijahit oleh dokter...
Otak adik bagus, sem purna...,” jaw abku.
Aku m em utuskan untuk m enem ani m ereka tidur.
Sebelum m ereka m em ejam kan kata, kuceritakan lanjutan
kisah Mahabharata. Ary a y ang bandel, pengagum Bhim a
itu, m endengarkan dengan m ata m elotot.
“Jadi Ary a, Bhim a itu tak akan pernah m enutupi ke-
sa lahanny a. Kalau dia berbuat sesuatu, dia akan m em inta
m aaf..., dia tak akan m em biarkan abang atau adikny a y ang
m engam bil alih tanggung jaw ab.”
Aku m elirik pada Ary a y ang m em andangku dengan ke-
dua bola m ata y ang m em besar dan m ulut y ang m enganga.
Upilny a terlihat m enggelantung di cuping hidungny a y ang
kem bang-kem pis. Itu pertanda dia m erasa bersalah.
“Bu..., tadi adik jatuh karena lari-lari sam a Ary a, bu-
kan salah Yu Nina...,” Ary a y ang ingin m enjadi Bhim a itu
lang sung m engucapkan pengakuan resm i.
“Ya, Ary a, Ibu tahu...”
Aku m encium Nina dan Ary a dan m erapatkan selim ut
m ereka. Ketika kupindahkan Nadira ke tem pat tidur kam i,
Bram m enggeleng kepala.
“Kenapa Nina selalu harus m erasa bertanggung jaw ab
atas sem ua kejadian?”
“Mungkin karena dia m erasa anak sulung...,” kataku
sam bil m engelus-elus luka Nadira.
Bram m enggeleng, “Dia selalu butuh pengakuan, bahw a
dia anak y ang bertanggung jaw ab, bahw a dia bisa diper-
hitungkan dan bahw a dia sudah cukup besar untuk diikut-
sertakan dalam persoalan orang dew asa,” kata Bram .

60 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Jiw a y ang begitu tua dalam tubuh kecil berusia enam


tahun. Nina akan selalu kucintai dan kulindungi.

***

J akar ta, 1993

Nina membuka m atanya ketika selajur m atahar i pagi


menyerang m atanya. Dia melihat siluet Nadira membuka
tirai kam ar, lalu duduk di samping Nina yang m asih te-
lungkup. Nina mem icingkan m ata, lalu menutup ke palanya
dengan bantal. Nadira mengacungkan gelas ber isi kopi panas
dan meletakkan gelas itu dekat wajah Nina. Cuping hidung
Nina bergerak-gerak. Dia ter paksa membuka m atanya dan
menyambar gelas kopi itu dar i tangan adiknya.
“You are so relentless!”Nina menggerutu, tapi toh meng-
hir up kopi itu. Matanya kin i mulai terbuka.
Nadira tersenyum dan membuka semua tirai dan
jendela.
“Sudah lim a har i, Yu... Kalau kam ar in i punya mulut,
pasti dia akan menjer it-jer it m inta dim andikan... Yu
Nina betah dengan bau kam ar in i? Sudah lim a har i tidak
dibersihkan...,” Nadira mengger utu sambil membereskan
kotak pizza, bungkus m ie ayam , kaleng soda, tempat
yoghur t, bungkus es kr im , kotak pop-cor n, bungkus cokelat,
dan beberapa botol m ineral kosong yang menggeletak di
m ana-m ana. Celana jin s, rok, t-shirt, blus lengan panjang,
bra ber gelantungan di atas kursi, meja, tempat tidur.
“Kandang kambing jauh lebih bersih daripada ini, Yu...”
Nina melempar bantal ke arah wajah Nadira, tapi
Nadira berhasil menghindar. Dia ter tawa dan akhir nya ikut
tiduran celentang.
Kin i mereka berdua berbar ing celentang tak berkata
apa-apa. Tapi Nina tahu, dalam beberapa detik, Nadira akan

61 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Nina dan Nadira

mem inta dia untuk men inggalkan segala kepedihan nya dan
memulai lembaran bar u atau saran-saran sem acam itu yang
dilontarkan seorang adik yang sayang pada kakaknya.
“Yu...”
“Dira..., biarkan aku berkemah di kamar ini sampai bu-
suk. Sampai aku betul-betul puas makan dan berak di sini...”
“J angan Yu, in i kam ar Ibu...”
Nina diam , kin i dia memejam kan m atanya bukan ka-
rena m asih ingin tidur, tetapi karena ingin melar ikan dir i
dar i percakapan yang sudah lam a dia ingin hindar i. Kedua
kakak-adik itu menatap langit-langit seolah bayang-bayang
ibu mereka berkelebatan di kam ar itu.
“Yu...”
“Hm ...”
“Waktu itu, aku per nah ber tanya pada Ibu...”
Yu Nina memejam kan m atanya, tapi Nadira yakin te-
linganya tidak tidur.
“Aku ber tanya pada Ibu, kalau saja Tante Bea...”
“Tante Bea?”
“Ya, Tante Bea, sahabat Ibu yang di Am sterdam ...”
“Oh...”
“Kalau Tante Bea punya kekasih, yah seandainya Tante
Bea punya kekasih, dan kekasih Tante Bea itu merayu Ibu...,
apakah Ibu akan melaporkan tingkah laku kekasihnya itu
pada Tante Bea?”
Nadira bisa melihat wajah Nina yang tampak ber ubah.
Matanya m asih tetap ter pejam , tapi bola m atanya bergerak-
gerak. Bibir nya menger ut menahan dir i untuk tidak meng-
ucapkan sesuatu.
“Ibu mengatakan perempuan yang dia kenal biasanya
cender ung menyangkal kenyataan bahwa suam inya atau
kekasihnya punya kecender ungan tidak setia. Mereka biasa-

62 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

nya m alah akan menghajar siapapun yang membawa ber ita


bur uk itu...”
“Ibu membuat generalisasi yang berbahaya,” Nina
meng gum am .
Nadira terdiam . Bar u kali in i dia mendengar Nina
mem bantah pendapat ibunya.
“Yu...,” suara Nadira mulai serak. “Yu Nina har us betul-
betul melupakan Mas Gilang. Sungguh, Yu Nina terlalu ber-
harga buat dia.”
Hen ing.
Nadira membersihkan tenggorokan nya, memberan i-
kan dir i. Ia har us melakukan in i, agar kakaknya bisa kem -
bali sehat.
“Yu..., beberapa tahun yang lalu, sebelum kalian
men ikah... Mas Gilang...”
Nina mencengkeram tangan Nadira. Dia menggeleng-
geleng. Matanya m asih ter pejam , tapi air m atanya mengalir
ter us-mener us. Setelah lim a har i mengur ung dir i di kam ar
r um ah keluarga Suwandi di Bintaro, bar u kali in i Nina
menangis.
“Aku tahu..., aku tahu..., tak perlu dicer itakan... Aku
tahu dar i cara Gilang bercer ita tentang kamu...”
Nadira memeluk kakaknya erat-erat seolah tak ingin
melepasnya lagi. Kepala Nina menyusup ke dada adiknya.
Tiba-tiba saja, Nina bar u tahu letak kunci yang dia lempar
ke dalam lautan itu. Dan kin i dia merasa sudah siap untuk
mem inta m aaf kepada adiknya.

****

J akar ta, Mei 1992-September 20 0 9

63 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

MELUKIS LANGIT

UNTUK kelim a kalinya Nadira menekan nomor telepon r u-


m ahnya dengan tak sabar. Masih nada yang sam a. Sibuk.
Sudah jam dua siang. Apakah Ayah tengah ber pidato di
telepon? Nadira membanting gagang telepon itu.
Yosr izal, yang sejak tadi mengintip dar i balik m ajalah,
ter tawa cekikikan.
“Santai, ayahmu baik-baik saja.”
“Taik. Kamu nggak tahu kalau Ayah sudah menelepon
Pak Mahmud? Gila. Lim a jam . Gagang telepon sampai pa-
nas, Yos. Isinya: pengalam an di penjara zam an revolusi yang
diulang-ulang. Selur uh rekam an pengalam an m asa la lu nya
sudah diputar di muka setiap orang.”
“Ayahmu biasa mengisi har i dengan peker jaan jur na-
listik. Sekarang dia ditinggal ter us oleh anaknya yang setan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

ker ja,” Yos membuka-buka m ajalah Tera yang m asih hangat


sehabis keluar dar i percetakan.
Nadira melir ik sambil ter us memencet nomor telepon
r um ahnya. Entah untuk keberapa kali.
“Ayah...?”
“Eh, Dira... Aduh, Ayah bar u saja selesai ngobrol.”
“Ayah pidato lagi, ya? Nanti reken ing telepon nya men-
julang lagi.”
Terdengar tawa ayahnya terkekeh-kekeh. Nadira men-
jauh kan gagang telepon nya sejenak, lantas mendekatkan-
nya kem bali ke daun telinganya. Yos tersenyum .
“Anu, Dir..., Pak Mahmud tadi memuji-muji wawan ca-
ramu di m ajalah Tera. Katanya tajam betul per tanyaan mu.
Ayah bilang kan itu karena Dira ketur unan Ayah…,” ayahnya
terkekeh kembali.
Nadira tersenyum , “Bicara tiga kalim at saja har us sam -
pai lim a jam , Yah...”
“Ah, ya tidak sampai lim a jam , Dira. Ayah bar u cer ita
itu, film di tivi siang in i. Bagus sekali. Kamu sok menger itik
tivi swasta. Kamu tak tahu saja, tivi swasta muter film
bagus-bagus. Buktinya kem ar in mereka menayangkan film -
nya J ohn Wayne. Ayah ter ingat ketika awal per temuan
dengan ibumu. Gilanya, Ayah juga per nah mengajak pacar
Ayah satu lagi nonton film yang sam a….” Kin i bunyi tawa
ayah nya seper ti suara gor ila. Nadira kemudian duduk dan
tangan nya mulai mem asang komputer di atas mejanya.
“Film J ohn Wayne kok ditonton.”
“Kamu... Persis sen im an sok intelektual itu. Kamu
kan tidak paham idiom -idiom J ohn Wayne, Clark Gable,
Humphrey Bogar t, atau Gregor y Peck?” suara ayahnya me-
n ing gi. Nadira menghela nafas dan menjepit kop telepon itu
di antara pipi kir inya dan bahunya. Sepuluh jar inya mulai

67 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

mengetik usulan laporan yang akan dibawakan dalam rapat


perencanaan siang itu.
“Mereka mem ang aktor-aktor yang hidup di m asa lalu;
tetapi film -film nya m ampu menembus lorong waktu. Kau
jangan menganggap nam a J ohn Wayne itu sebagai kosa kata
m asa lalu. Apalagi sekarang kamu cum a tahu nam a-nam a
Rober t de Niro, J ack Nicholson, Dustin Hoffm an, atau siapa
itu yang jadi banci dalam penjara Brazil itu...”
“William Hur t... “
“Ya, William Hur t. Tapi nam a-nam a itu tidak legen-
dar is. Film -film mereka belum tentu abadi, meski dalam
re sen simu itu kau puja-puja seolah mereka itu m ampu me-
nembus lorong waktu. Nanti kita lihat apakah nam a-nam a
yang kau sebut sebagai aktor legendar is itu m ampu ber ta-
han atau tidak.”
Nadira terdiam . Matanya menatap layar, karena dia se-
dang mengusulkan beberapa liputan. Di telinganya dia men -
dengar nam a J ohn Wayne, sedangkan di layar dia sedang
men coba mencar i sesuatu yang menar ik dar i soal Petisi 50
yang hidupnya sedang ber m asalah dengan pemer intah.
“Lantas apa bagusnya J ohn Wayne?”
“Wah, ya itu…kau tak bisa menghargai gerak-ger ik dan
olah tubuhnya J ohn,” ayahnya kin i menyebut nam a J ohn
Wayne seolah dia adalah sahabat dekatnya. “Dia me nun-
jukkan m achism o tanpa har us jungkir-balik seper ti jagoan
n inja zam an sekarang. Dia sangat teguh, tegap, dan me-
wakili ketetapan hatinya. J ohn hanya berdir i di ujung jalan,
menghadapi 11 penembak ulung. Tapi kita tahu, mereka
semua akan m ati di tangan nya. Dor!”
In i gawat. Ayahnya sudah m asuk dalam fase yang susah
dipo tong kalim atnya.
“Dan sebelas orang itu terkapar semua,” ayahnya me-
n ir u kan naik-tur un nada seorang komentator sepak bola.

68 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Nadira ter tawa kecil.


“Itu yang tidak menar ik, Yah. Kita sudah tahu J ohn
Wayne bakal menang. Tidak ada daya kejut.”
“Daya kejut? Apa pula itu? Anak zam an sekarang kok
mementingkan adegan kagetan suspen se. Intinya bukan
siapa yang bakal menang atau kalah,” ayahnya sudah
naik pada nada yang ter tinggi. “Tapi bagaim ana ia bisa
mendapatkan kemenangan itu...”
Nadira menghela nafas. Dia mem indahkan telepon ke
telinga kanan, lalu mengusap telinga kir inya yang sudah
basah oleh ker ingat. “Ayah belum m akan, ya?”
Tak terdengar jawaban apa-apa.
“Yah...?”
“Yaaa, sudah m inum kopi tadi pagi. Kopi itu cukup
mengisi per ut Ayah. Waktu dulu Ayah kon feren si IGGI 1 di
Am sterdam ...”
“Yah,” Nadira memotong kalim at ayahnya, meski ia
men coba meluncurkan kalim at yang lunak. Dia melir ik,
Utara Bayu, sang Kepala Biro, sudah terlihat ujung
kepalanya. Ar tinya, usulan para repor ter sudah har us
terkumpul. “Kok cum a kopi. Yu Nah janji m au m asak lasagna
kesukaan Ayah...”
“Tapi lain dengan lasagna buatan kantin...,” suara ayah-
nya terdengar mengger utu. Ada nada m anja orang tua. Tapi
Nadira mendengar suara kehilangan.
Nadira terdiam .
“Mana ada m asakan kantin yang enak, Yah? Sudah.
Saya bawa cah kailan restoran Tr io, ya. Mau?”
“Tidak!” suara ayahnya menyentak, “Makanan kantin
kantor Ayah paling enak.”

1
Intergovernmental Group on Indonesia, dibubarkan tahun 1992, merupakan fo-
rum internasional yang membantu Indonesia menyusun program perekonomian.

69 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

Nadira menggigit bibir nya. Dar i kejauhan dia melihat


En i mem anggil karena ada telepon untuknya di kawasan
Koordinator Repor tase. “Yah, sudah ya, Yah... Ada telepon
untuk Dira...”
“Tunggu, Dira. Kalau m au bawa m akanan buat Ayah,
dar i kantin kantor Ayah saja ya? Beli lasagna buatan Ibu
Mur n i. Lantas, sekaligus beli kue lumpur surga beberapa
buah. Nanti m alam ada film Alfred Hitchcock di tivi.”
“Ya, ya...,” Nadira menutup telepon nya.
Utara Bayu sudah ada di hadapan nya.
“Dira, wawancara Menter i Sudomo besok subuh, dia
m au ter im a kita, kejar soal Petisi 50 . Lalu kejar semua ang-
gota Petisi 50 . Oh, ya siap-siap hubungi kontak kamu di
Man ila. Kam i sudah memutuskan, kamu berangkat lagi.”
Suara Utara Bayu, kepala bironya, meluncur tanpa titik,
tanpa kom a, tanpa jeda. Seandainya Nadira terkena kan ker
pun, Utara nampaknya tak akan ber tanya. Di otaknya yang
ter tutup oleh rambut tebal, ikal, dan bagus itu hanya ada
setumpuk persoalan jur nalistik.

***

Matahari sudah selesai tugasnya m engurai-urai cahaya hari


itu. Seluruh J akarta sudah cukup berkeringat. Suara penyiar
televisi yang m erdu dan dengung nyam uk di kupingnya
m em berikan sebuah tanda. Ayahnya sudah duduk di depan
pesawat televisi. Ham pir setahun lam anya, pem andangan itu
m en jadi bagian rutinitas kehidupan keluarga Suwandi. Saat
ini, keluarga Suwandi hanya tinggal Nadira dan ayahnya.
Yu Nina m asih m em ilih New York sebagai tem patnya m e-
nem puh pendidikan. Arya bertapa di tengah hutan.
Kem ala Suwandi, ibu Nadira, telah lam a mem ilih bah wa
hidupnya sudah selesai. Itu ter jadi setahun lalu, tahun 1991.

70 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Hingga detik in i, Nadira tak per nah tahu kenapa ibunya


memutuskan untuk pergi. Apa yang ada dalam pikiran
ibunya; apa yang dirasakan nya hingga dia memutuskan
untuk menenggak pil tidur itu di suatu pagi yang suram .
Apa karena dia tak tahan hidup bersam a tiga anak yang
selalu penuh kon flik? Itu tesis yang bur uk, karena ibunya
adalah ibu yang paling sabar dalam menengahi gejolak ketiga
anak nya yang berkarakter kepala batu. Apakah ibunya tak
tahan dengan kehidupan war tawan yang ekonom inya sangat
pas-pasan? Ibunya, Kem ala Yunus, adalah putr i sulung
Abdi Yunus, seorang pengusaha terkemuka di zam an Bung
Kar no. Ia menempuh pendidikan di Belanda dengan harapan
bisa mener uskan per usahaan ayahnya di m asa yang akan
datang. Tetapi dia ber temu dengan Bram ant yo Suwandi,
ayah Nadira, seorang m ahasiswa beasiswa di Gemeente
Un iversiteit di Am sterdam . Nadira bisa membayangkan
ayah nya terlalu tinggi hati untuk mener im a fasilitas dan
uang dar i kakek Nadira yang kaya-raya.
Beker ja sebagai war tawan dengan tiga orang anak ter-
lalu mengisap selur uh perhatian Bram ant yo pada peker-
jaan nya. Ayahnya begitu bersem angat dengan peker jaan nya,
m aka sungguh mengejutkan ketika suatu har i ayahnya men-
dadak mendapat sebuah tawaran kedudukan yang ganjil.
Kepala Bagian Iklan. Tepatnya, bukan sebuah tawaran; me-
lain kan sebuah per intah.
Hanya Nadira yang menyadar i, ayahnya mendadak
lum puh dalam hidup. Ayahnya pasti tersiksa, mengapa
ber ita-ber ita yang begitu dahsyat lalu-lalang di hadapan nya,
dan dia tak bisa menjadi bagian yang mengur us rangkaian
be r ita itu. Dia har us mengur us penghasilan iklan. Adalah
Nadira yang perlahan men iupkan sem angat ke dalam hidup
ayahnya dengan ter us-mener us memperlihatkan sikap

71 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

berguru pada ayahnya. (“Sebetulnya apa latar belakang Petisi


50 , Yah? Tolong cer itakan. Ayah kenal Ali Sadikin, kan? Ibu
S.K. Tr imur ti? Kenapa mereka menyebut kelompok pejabat
itu Berkeley Mafia, Yah?” Dan seter usnya). Dan sang ayah,
se orang war tawan sen ior yang dihor m ati itu, dengan se-
nang hati mencer itakan semua latar belakang politik dan
ekonom i republik yang dia cintai in i. Terkadang dia ber-
sem angat hingga suaranya menggedor jendela saking ting-
ginya; terkadang m atanya berkaca-kaca karena banyak
se kali tokoh yang dia cer itakan itu kin i tengah dipenjara.
Nadira mencatat itu semua dengan takzim . Dan itu membuat
Ayahnya terhibur.
Nampaknya, selam a fase “menem ani” sang ayah, Nadira
dan kedua kakaknya lupa bahwa ibunya juga sudah rapuh.
Di suatu pagi yang mur ung, Nadira menemui wajah
ibunya yang bir u di pinggir tempat tidur (“Mula-mula aku
mengira ia sedang tidur di lantai. Malam -m alam Ibu ser ing
kegerahan,” Nadira berbisik kepada Utara Bayu, pada har i
penguburan ibunya. Tanpa ratapan. Tanpa air m ata). Nadira
ingat, itulah satu-satunya saat Utara menggenggam tangan
Nadira dan mengucapkan duka citanya. Hanya saat itu dia
tahu, Utara Bayu yang jarang bicara dengan para repor ter
itu ter nyata bukan sesosok mesin yang hanya m ampu me-
nge luarkan per intah.
Kem atian ibunya yang mendadak telah membuat
Nadira begitu tua. Sejak penguburan ibunya setahun silam ,
lingkaran hitam di bawah kedua m atanya tak per nah
hilang. Dan sejak kem atian itu pula, Nadira mem andang
segala sesuatu di mukanya tanpa war na. Semuanya tampak
kusam dan kelabu. Dia tidur, bangun, dan merenung di
kolong meja ker janya. Setiap har i. Dia hanya pulang sesekali
menjenguk ayahnya, tidur sem alam dua m alam di r um ah,

72 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

untuk kembali lagi merangsek kolong meja itu.


Ar ya sem akin ser ing ber tapa di dalam hutan dan seper ti
tak ingin keluar lagi dengan alasan hutan jati di Indonesia
membutuhkan in sinyur kehutanan seper ti dia: pecinta po-
hon dan dedaunan. Pecinta alam yang menghargai anu ge-
rah Tuhan dan merasa ber tugas menjaganya. Hu bungan
Ar ya dengan berbagai kekasih (dar i yang luar biasa cantik,
hingga yang luar biasa cerdas) tak per nah ada ke lanjutan.
Ar ya menjadi anggota keluarga Suwandi yang lam a sekali
membujang.
Nina tak ber m inat pulang ke J akar ta. Nina tak per nah
ber m inat dengan apapun di Indonesia. Bagi dia, adalah hak-
nya untuk mem ilih berdom isili di New York dan mem biarkan
ke dua adiknya mengurus kepusingan ke luarga. Nadira meng-
anggap kakaknya m asih terluka akibat kepergian ibu nya
yang begitu mendadak.
Hanya Nadira sendiri yang menghadapi ayahnya. Nadira
memperhatikan tawa ayahnya yang terkekeh-kekeh itu se-
bagai sebuah upaya untuk mengusir air m atanya yang selalu
mendesak keluar. Nadira juga tahu ketak-ketok bakiak ayah-
nya setiap jam tiga pagi adalah bunyi detak jantung ibunya
yang saling berkejaran dengan bunyi lonceng kem atian.
Dan kin i, dia juga tahu, meski ayahnya sedang duduk
di muka televisi, menyaksikan adegan dem i adegan tanpa
ber kedip, pikiran ayahnya berada jauh melayang-layang ke
la pangan jur nalistik: ke per temuan OPEC, IGGI, berbagai
ne gara Afr ika yang per nah dia sentuh bersam a war tawan
sen ior lain nya. Sudah jam delapan. Ayahnya segera me-
m atikan televisi. (“Saya tak sanggup melihat acara gun-
ting pita dan pukul gong. Semuanya adalah pameran ke-
pandiran,” ujar ayahnya. Dan itu dilakukan secara r utin
sejak kem atian ibunya). Ayahnya mem asukkan kaset video

73 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

yang sudah dikenalnya: All the President’s Men. Film itu


sudah ditonton nya puluhan kali. Tiba-tiba ayahnya merasa
ada yang memperhatikan dir inya. Ia menoleh.
“Nadira...”
Nadira menyodorkan pir ing ber isi lasagna dan mem -
bersihkan kerongkongan nya, “Lasagna buatan kantin kan-
tor Ayah. Masih ada dua potong terakhir...”
Mata ayahnya berkilat menatap pir ing di tangan anak-
nya. Ia tersenyum kecil.
“Ketemu siapa saja di kantin?”
Nadira mengambil pir ing di lem ar i dan menjawab
sekilas. “Pak Riswanto...”
Ayahnya terdiam . Dipandangnya dua potong lasagna
itu. Kilat m atanya kembali redup. Kemudian menatap ke
layar televisi. Ada adegan kesibukan di r uang kantor har ian
The Washington Post. Lantas muncul Dustin Hoffm an. Ter-
dengar dengung nyamuk di kupingnya.
“Yah, in i sudah saya bawakan, Yah... Ada kue lumpur
surga juga, Yah”
“Ya, ya..., tolong pindahkan ke pir ing kecil.”
Nadira mem indahkan dua potong lasagna dan mem in-
dahkan beberapa potong kue lumpur surga ke pir ing kecil
yang lain. Didekatinya ayahnya dan disodorkan nya kedua
pir ing itu. Ayahnya mengambil pir ing-pir ing itu dar i tangan
anak bungsunya. Diletakkan nya kedua pir ing itu ke atas
meja kecil di sebelah kursinya. Tatapan nya tetap lur us ke
arah layar televisi.
Nadira diam . Lalu dia menyambar handuk dan m asuk
ke kam ar m andi. Segayung air dingin yang dibanjurkan ke
mukanya bercampur dengan air hangat yang mengalir mem -
basahi pipinya.

***

74 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Yu Nin...”
“Hei, Dira? Gila..., jam berapa in i?”
Nadira melirik ke jam dindingnya. Jam setengah tiga pagi.
“I need y ou...”
“Of course... Kalau tidak kau tak akan segila in i. Ada
apa?”
Nadira terdiam . Dia tak bisa langsung menjawab apa
yang ingin diutarakan nya. Kelihatan nya begitu sepele, be-
gitu remeh-temeh, hingga ingin rasanya ia meletakkan
ga gang telepon itu. Namun suara Yu Nina yang biasanya
m an tap dan sedikit tergesa-gesa karena kesibukan nya,
kin i terdengar lebih sabar. Mungkin karena dia menyadar i
urgen sinya telepon adik bungsunya itu. Nadira mem ang
tak terlalu ser ing menelepon kakak sulungnya yang tengah
ber gulat menyelesaikan diser tasi doktor nya di Amer ika.
Selain ongkos telepon terlalu m ahal, dia tak suka dengan
ke tergesaan kakaknya yang selalu sibuk untuk mengem -
balikan buku ke per pustakaan atau har us ber temu dengan
salah satu pembimbingnya.
“Kenapa, Dira? Ayah?”
“Dia tidak m akan m akan, sudah sehar ian in i...,” akhir-
nya meluncur juga kata-kata itu.
“God, that m an... Sudah berapa lam a?”
“Kem ar in sih m akan, meski cum a gado-gado dar i
kantin. Padahal Yu Nah sudah membuatkan urap kesukaan-
nya. Empat har i yang lalu, dia juga menolak m akan lalu me-
nyu r uh saya membelikan soto ayam dar i kantin. Yu Nah
sudah mulai tersinggung, merasa m asakan nya nggak di-
hargai.”
“J adi in i mengadu soal Yu Nah atau Ayah?”
Nadira bisa mendengar, suara Yu Nina sudah mulai
jengkel dan tak sabar.
“Ya, dua-duanya. Tapi Ayah mender ita sekali, Yu. Lagi-

75 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

pula, dia terserang in som n ia akhir-akhir in i. Setiap m alam


aku dengar kletak-kletuk bakiaknya di dapur.”
“Insomnianya kan sudah lama, sejak dia jadi wartawan...”
“Ya, tapi m akan nya? Kan Ayah biasa jagoan m akan?”
“Ya, itu m anja saja, Nad. Nanti juga dia m akan kalau
lapar...”
Nadira menggigit bibir. “Dia... dia hanya suka menonton
televisi, Yu. Tepatnya nonton video. Dia nonton video All the
President’s Men ber ulang-ulang cum a untuk mengingat
m asa lalunya sebagai war tawan.”
“Ya, bagus dong. Dar ipada seper ti Oom Arbi yang
menghabiskan waktunya m inum di bar?”
“Oom Arbi kan mem ang suka alkohol. Ayah tidak suka.
Aku yakin, dia jadi bar tender zam an m ahasiswa cum a
untuk cuci m ata….” Nadira mencoba bergurau. Tetapi dia
tak mendengar sambutan apapun dar i Nina. Kakaknya tidak
me nanggapi humor Nadira.
“Lagi pula, sumber fr ustrasi mereka berbeda. Oom
Arbi kan di-PHK, kalau Ayah...”
“Nah... Ayah kenapa? Dia yang keras kepala! Coba
tawaran mutasi Pak Riswanto diter im a...”
“Gim ana sih kau, Yu? Ayah itu lulusan Gemeente
Un iversiteit, dia sar jana politik. Semua itu dia raih dengan
bea siswa sambil ker ja. Gila, kan? Anak dusun, ketur unan
keluarga NU ker ja sebagai bar tender? Selam a jadi war tawan
dia sudah meliput berbagai sidang internasional seper ti IGGI
dan OPEC. Sudah per nah mewawancarai tokoh-tokoh besar
seper ti….”
“Oi,oi, kok kamu jadi ketularan Ayah, memutar rekam an
lam a. Aku kan sudah mendengar biografi Ayah sejak kamu
m asih bayi. Tapi dengan segala latar belakang intelektual itu,
apa salahnya dia jadi Kepala Divisi Iklan? Merasa terhina?”
Nadira tak tahan. Dadanya terbakar hingga dia merasa

76 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

hatinya melepuh saking panasnya. Ucapan Nina pasti dise-


bab kan dua hal: per tam a, Nina merasa kon sentrasinya ter-
ganggu, hingga ucapan-ucapan nya m ir ip orang mencret.
Atau, kedua, Nina mem ang terlalu pragm atis dan tak peduli
pada kegairahan hidup m anusia lain di luar dir inya. Nadira
men coba ber pikir positif: Nina tidak peka terhadap ayahnya
karena dia sedang sibuk dengan diser tasinya.
Nadira meletakkan gagang itu perlahan-lahan. Ketika
telepon berder ing-der ing kembali, Nadira mem atikan lampu
kam ar nya. Dan der ing telepon itu pun berhenti. Kehen ingan
m alam itu hanya diganggu suara bakiak ayahnya yang
mondar-m andir di dapur. Nadira keluar dar i kam ar nya dan
menyeret kakinya ke kam ar m andi. Dicelupkan nya selur uh
kepalanya ke dalam bak m andi, lantas diangkatnya selur uh
kepalanya yang kuyup. Dipandangnya tembok putih kam ar
m andi itu. Semuanya kelihatan kelabu. Ber ulang-ulang dia
mencelupkan kepalanya ke bak m andi dan mengangkatnya
kembali. Sementara jam dinding m ilik kakek mengumum -
kan waktu pukul tiga pagi.

***

“Nadira?
“Ya, Ayah? In i Ayah?”
“Wah, jelas betul terdengar nya, Dira... Seper ti kau ada
di J akar ta. J ustr u kalau telepon satu kota, kita har us ter iak-
ter iak, ya. Nad, kau baik-baik saja, kan?”
“Ya, oke saja. Di Bandara Ninoy tadi agak m igren. Biasa.
Kan kumuh dan bau. Tapi tadi sempat tidur dua jam , lalu
m akan m alam dengan Tony.”
“Kau betul baik-baik saja?”
“Ya, Yah. Kenapa, sih?”
“Tadi sore di koran ada ber ita, Honasan mengancam
akan menggulingkan pemer intahan Cor y lagi.”

77 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

“Ah, politik Filipina kan selalu ada ancam an itu setiap


men it. Biasa, Yah. Orang mendiskusikan tentang kudeta se-
enteng orang bilang m au ke pasar. Begitu saja...”
“Tapi itu bukan sekadar ger tak sambal. Hotelmu dijaga
ketat? Dan sebaiknya kau ke m ana-m ana dengan si Tony
saja...”
“ Tenanglah, Yah. Aku mengenal Man ila seper ti menge-
nal por i-por i tubuhku sendir i.”
“Nadira, hati-hati dengan anak buah En r ile.”
Nadira ter tawa sembar i mengambil tape recorder dar i
dalam ran selnya dan mengecek kaset yang m asih kosong.
“Yah, mereka bukan m afioso. Tenanglah. Besok aku
akan mewawancarai En r ile di Makati.”
“Sudah dapat janji?”
Nadira mem asuk-m asukkan kaset kembali ke dalam
tas, mengecek bolpen dan notes sambil mem indahkan kop
te le pon nya dar i telinga kir i ke telinga kanan.
“Ya, sudah, dong. Sam a Fidel Ramos juga sudah. Peja-
bat tinggi Filipina kan tidak seper ti kebanyakan pejabat
tinggi Indonesia, sok penting. Sok mem andang rendah
sam a war tawan.”
“Kenapa tidak sekalian dengan presiden nya saja?”
“Ah, Ayah...”
“Kenapa tidak? Ayah dulu ketika mewawancarai Indira
Gandhi...”
“Ya, Ya..., aku ingat Ayah sudah wawancara Indira
Gandhi.”
“Oh, kalau soal wawancara J enderal Zia-ul-Haq? Ayah
di kasih pisau pembuka surat yang bergagang m ar mer itu?
Lantas dipajang di kantor Ayah?”
“Sudah, Yah. Sejak aku di SD, Ayah sudah per nah meng-
a jak aku ke kantor Ayah supaya bisa lihat pisau bergagang
m ar mer itu.”

78 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Sejak kau SD? Sudah begitu lam akah? Aduh, rasanya


bar u kem ar in Ayah ke Pakistan. Ayah cum a m au menasihati,
meski kau tak setuju dengan kebijakan politik pejabat yang
kau wawancarai, kau har us tetap bersikap netral. Sebaliknya
kalau mewawancarai Cor y Aquino, mentang-mentang pe-
rem puan, jangan lantas jatuh simpati tak kar uan. Dingin.
Kau har us tetap dingin.”
“Yah, wawancara Cor y Aquino bukan dalam rencanaku.
Lagi pula...”
“Yaaaa, in i kan seandainya... Ayah saja waktu wawan-
cara Indira Gandhi juga tak ada rencana dan semula tak ter-
tar ik. Semuanya mengalir begitu saja. Pak Mahmud m asih
punya klipingnya...”
Nadira terdiam dan menggigit bibir nya. Dia menying-
kap tirai jendela hotelnya. Alangkah jauhnya ayahnya. Tapi
alangkah dekatnya suara itu. Tiba-tiba, di tengah kawasan
Roxas Boulevard Man ila, Nadira melihat sebuah layar ka pal
yang besar dan hitam . Dan dengan jelas ia melihat ayah-
nya yang mengenakan sar ung mondar-m andir di dapur
mencar i-car i kaleng kopi dan gula.
Lantas ia mendengar bunyi ketak-ketok bakiak...
“Nadira...”
“Ayah, tidurlah. Sudah malam. Memangnya susah tidur
lagi?”
“Ah, ya kebetulan habis nonton All the President’s
Men... Bukan video. Televisi!”
“Ya Tuhan, apa Ayah tidak bosan nonton film itu?”
“Luar biasa. Ayah r indu pada Bob. Hei, Ayah sudah ce-
r ita waktu berkunjung ke kantor The Washington Post kan?
Ayah sudah kasih lihat foto bersam a Bob Woodward? Ooo,
dia sangat rendah hati. Dia war tawan luar biasa. Salah satu
yang terbaik di dun ia. Mana ada war tawan kita yang se-
hebat dia?”

79 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

“Yah...”
“Bukannya Ayah mengharapkan agar war tawan bisa
menggulingkan seorang pem impin. Bukan. Tapi kem am pu-
an Woodward dan Ber n stein dalam invest igat ive report ing
itu, Nak. Apa kamu tidak ingin seper ti mereka?”
Nadira terdiam . Ran selnya sudah siap. Dia melongok
ke luar jendela. Kin i yang terlihat, sebuah r uang yang luas
di sebuah gedung tinggi yang melambai-lambai ke langit
dengan m asyarakat war tawan di dalam nya. Tiba-tiba, me-
lalui jendela kaca itu, Nadira merasa sedang menonton ke-
sibukan dan ketergopohan kawan-kawan nya yang tengah
mem bur u ber ita. Masyarakat war tawan, di m ata Nadira,
ada lah sebuah m asyarakat yang selalu menuntut hal-hal
yang besar, yang terbaik, terkadang muluk dan paradoksal.
Se buah m asyarakat yang, terkadang secara tidak sadar,
me rasa moralnya berada di atas apa yang disebut sebagai
‘m asyarakat awam’. Sebuah kelompok yang mengklaim
dir inya sendir i sebagai pembawa kebenaran, atau bahkan
mesiah yang bisa menyembuhkan borok dalam pemer intah
dan borok dalam m asyarakat. Masyarakat war tawan m ir ip
rom bongan komentator olahraga yang dengan asyiknya
ber kata, “Ya, tendangan nya kurang akurat kali in i saudara-
saudara...,” dan mereka sendir i bukan lah pem ain bola. Bah-
kan menyentuh r umput lapangan bola pun tak per nah.
“Selain itu, menur ut Ayah, bagaim ana kita bisa bikin
film sebagus itu, coba? Apa bisa? Di Indonesia, membuat
film politik yang bagus adalah sebuah kemustahilan. Belum
apa-apa, judulnya sudah diubah oleh pemer intah. Debat
judul saja sudah m akan dua tahun. Lantas, skenar ionya
har us dibaca dulu. Membuat film kok har us m inta izin.”
Bayangan di hadapan Nadira hilang. Kelap-kelip lampu
kapal ber munculan satu persatu.

80 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Nadira bisa membuat film yang bagus, Yah.”


“Apa?”
“Saya bisa membuat film tentang kehidupan war tawan..
Tapi bukan seper ti All the President’s Men. Saya akan mem -
buat war tawan yang idealis, yang ingin membawa ke be-
naran, yang...”
“War tawan yang tak mungkin menulis tentang kebe-
naran, karena kalau kita menulis tentang bisn is anak-anak
pejabat, kita akan ditelepon.”
“J udulnya: Meluk is Langit. Cer itanya tentang bagai-
m ana para war tawan dengan sem angat menggebu-gebu me-
liput tentang kebanjiran di sebuah desa; tentang jatuhnya
se buah kapal terbang, tentang kudeta di Thailand dan
Filipina, dan juga tentang kasus pembebasan tanah. Tapi
kita tak bisa menulis tentang borok di neger i sendir i. Kita
ha nya bisa menulis tragedi di neger i orang. Para war tawan
dalam film saya in i akan terlihat gagah dan bersem angat.
Mereka merasa sebagai m akhluk yang paling moralistis di
atas muka bum i in i…”
“Menjadi war tawan mem ang har us mem iliki n ilai-n ilai
moralistis yang tinggi, Nak.”
“Lantas suatu har i, sang war tawan kita in i sudah capek
men jadi pahlawan kebenaran yang keok di neger inya sen di-
r i. Dia ber temu dengan seekor kucing yang sedang menyusui
keempat ekor anaknya di trotoar. Dia segera menyambar
anak kucing itu, dan dim asukkan nya ke dalam tasnya
yang biasa digunakan untuk menenteng tape recorder dan
kamera kecil m ilik kantor...”
“Film apa itu, Nak?” ayahnya terdengar terkejut.
“Di dalam taksi menuju kantor nya, kucing itu meng-
geliat-geliat dan mengeong-ngeong hingga sang supir taksi
menengok ke belakang beberapa kali dan mem andang

81 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

wajah sang war tawan dengan cur iga. Tapi war tawan itu
tenang-tenang saja sambil menghembuskan asap rokoknya.
Mengisap, menghembus. Mengisap, menghembus. Ketika
taksi berhenti di muka kantor nya yang ber tingkat 30 itu,
sebuah kantor yang pucuknya melambai-lambai ke langit,
supir taksi itu ber tanya, ‘Bawa apa, Neng?’
“Sang war tawan mem andang supir taksi itu dengan
jijik, lalu ia meludah. Crott! Sambil ter tawa terbahak-bahak,
sang war tawan mem asuki gedung kantor itu...”
“Nadira..., kamu perlu tidur...”
Suara ayah Nadira terdengar bergetar.
“Di dalam lift yang penuh sesak, beberapa pegawai ban k
mengam ati wajah sang war tawan, seolah-olah dia m akh luk
asing yang tur un dar i planet. Tas kain yang disandang
war tawan itu bergerak-gerak dan itu membuat selur uh
penduduk lift itu sem akin tegang. Tapi mereka tak beran i
ber tanya. Ada kilat di m ata war tawan itu yang membuat
mereka lebih suka menutup bibir serapat mungkin. Ketika
bunyi berdenting pada lantai 27, pegawai-pegawai ban k itu
menghela nafas lega dan bersiap menghambur keluar, agar
bisa menjauh dar i war tawan aneh itu.
“Kin i war tawan kita melangkah ke luar lift. Sebelum
pintu lift ter tutup, ia meludah dengan sem angat Crot! Crot!
Lantas ter tawa sejadi-jadinya. Ditinggalkan nya penduduk
lift yang terbelalak mem andangi tingkahnya….”
“Nadira!”
“Di r uang besar lantai dua puluh tujuh, seper ti biasa
para war tawan ke sana-kem ar i dibur u deadline; dibur u
persaingan; dibur u tuntutan eksklusivitas. Mereka ter tawa
terbahak-bahak sementara jar i-jar inya mengetik ber ita
ten tang seorang gadis ber usia tujuh tahun yang diperkosa
kakeknya sendir i atau kor uptor kelas kakap yang dibebaskan
dar i tuduhan. Di pojok yang lain, ia melihat salah seorang

82 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

kawan nya dengan bibir menganga mem andangi layar


komputer v ideo gam e. Sekitar tujuh orang mengelilinginya
dan mengerutkan kening, ikut mem ikirkan langkah-langkah
yang har us dilakukan seolah-olah ur usan v ideo gam e ada-
lah soal hidup dan m ati.
“Sang war tawan ber jalan ke tengah r uangan. Lantas ia
mengeluarkan kucing itu dar i dalam tas. Kedua m ata kucing
itu menatapnya, pasrah, dan mengerang perlahan. Ia segera
mengambil tali rafia dar i meja salah satu redaktur yang
gem ar menar ik mobil-mobilan dengan tali rafia di waktu
senggangnya. Beberapa pasang m ata mulai mem andangnya
dengan was-was ”
“Nadira…, sadar, ibumu datang. Lihat, ibumu datang
melalui jendela... Nadira, bukakan pintu...”
“War tawan itu memegang ekor kucing itu dan meng-
ayun-ayun kepalanya seper ti sebuah pendulum . Beberapa
temannya, para sekretaris ber teriak melihat kela kuan war ta-
wan itu. Dia malah tersenyum. Ia senang melihat beberapa
kawannya masih punya belas kasih terhadap bina tang itu.
Dengan menggunakan benang rafia, sang war tawan meng-
ikat ekor kucing itu dengan erat lantas digantungkan nya pada
pegangan pintu. Erangan kucing itu sem akin nyar ing...”
“Nadira..., ibumu datang...”
Di luar jendela, kelap-kelip lampu kapal sudah hilang.
Malam begitu pekat Nadira seper ti ter jebak ke dalam
gumpalan tinta gur ita. Dan dia terengah-engah.

***

“Bu...”
“Nadira... Kamu kur us sekali.”
“Aku sedang m impi ya, Bu. Kan sehar usnya Ibu sudah
m ati...”
Wajah ibunya yang bulat berser i sem akin seper ti bulan

83 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

pur nam a karena senyum nya yang lebar. “Tentu saja kau
sedang m impi. Mana bisa kita ber temu di luar m impi?”
Nadira merebahkan kepalanya di atas paha ibunya yang
gembur karena kelebihan lem ak. Begitu empuk dan hangat.
Dalam sekejap, paha ibunya sudah basah oleh air m atanya.
Ibunya mengusap dan sesekali mencium kepalanya.
“Ber ikan kopi jahe saja pada Ayah, Nadira,” bisik
ibunya.
“Nanti dia akan sem akin rajin mondar-m andir ke
dapur setiap m alam , Bu. Tanpa kopi saja dia sudah susah
tidur.”
“Pijiti kakinya...”
“Mana ada waktu... Setiap har i aku mengejar
deadline.”
“Kau m asih betah jadi war tawan, Nadira?”
Nadira diam tak menjawab. Bibir nya bergerak-gerak.
“Kamu har us keluar dar i kolong meja itu, Nadira.”
Nadira menggelengkan kepalanya perlahan.
“Aku ingin ber tanya, Bu.”
Ibunya terdiam . Dan Nadira tahu, dia tak mungkin
me na nyakan satu hal yang selalu mengganggu hatinya, hati
ayahnya, hati kedua kakaknya. Apa yang sebetulnya ter jadi
setahun yang lalu, hingga akhir nya ibunya memutuskan
untuk menyelesaikan hidupnya.
Ibunya mengusap-usap kepala Nadira.
“Kopi jahe, Dira..., untuk Ayah.”

***

“Kok pagi-pagi betul?” tanya ayahnya heran melihat


Nadira sudah menyisir rambutnya. Yu Nah bar u saja me re-
bus air panas untuk m andi, sementara ayam jago tetangga
se belah bar u saja menjer it-jer it, mengumum kan bahwa pagi
itu dialah yang sedang piket. Ayahnya tengah menghadap

84 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

se cangkir kopi hitam berkepul-kepul untuk menghalau


kan tuknya. Di tangan nya, m ajalah Tera menampilkan
kulit muka Cor y Aquino yang berhasil diwawancarai oleh
Nadira.
“Bukan nya setelah tugas begitu berat, biasanya boleh
istirahat, sehar i dua har i?” ayahnya membuka-buka m aja-
lah itu dengan wajah m asih mengantuk, meski ia tam pak
bangga.
“Har us meliput kasus Petisi 50 ..., dan...”
Kalim at itu membuat ayahnya melotot, “Kamu akan
ber temu siapa? Pak Hoegeng? Pak Ali Sadikin?”
“Ya, Ayah.”
“Pak Natsir!”
Nadira terdiam . Dia hampir saja lupa, ada nam a penting
in i. Penting untuk ayahnya.
“Kamu har us menulis ber ita in i dengan ber imbang.
Mereka adalah orang-orang yang telah ber jasa untuk neger i
in i.”
“Ya, Ayah.”
“Lalu, selain Petisi 50?”
“Mau jemput J.P. Pron k.”2
“O, kamu ikut meliput Pron k? Tolong titip salam dar i
Ayah,” tiba-tiba wajah ayahnya yang mengantuk itu berkilat-
kilat.
“Nadira tak akan mewawancarainya. Itu bagian desk
ekonom i. Ini cum a peliputan biasa, Yah. Paling-paling melihat
Pron k tur un dar i pesawat dan disalam i pejabat Indonesia
dan menjawab per tanyaan war tawan. Begitu saja...”
Nadira mengenakan sepatunya perlahan-lahan tanpa
ingin melihat wajah ayahnya.

2
J.P. Pronk adalah seorang Belanda yang pernah menjabat sebagai ketua IGGI
periode 1973-1977 dan 1989-1992.

85 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

“Kenapa kau tidak mewawancarai Pron k? Ayah punya


bahan IGGI yang paling lengkap. Sejak kamu m asih bayi,
Ayah adalah salah satu war tawan per tam a yang selalu me-
liput IGGI. Ayo, jangan bilang kamu enggan dengan soal
ekonom i. Masalah bantuan IGGI kan bukan hanya per-
soalan ekonom i. In i persoalan sosial dan politik,” Ayah
Nadira menggebu-gebu.
Nadira mem andangi sepatunya dengan saksam a
seolah-olah ada kutu yang ber tengger di situ. Tapi ayahnya
ter us-mener us mengoceh tentang pengalam an nya meliput
IGGI di Belanda, ketika “Ayah m asih gagah dan lincah se-
per ti kau”. In i gawat.
Tiba-tiba Nadira ingat m impinya sem alam .
“Mau kopi jahe, Yah?”
Ocehan ayahnya berhenti seketika.
“Kopi jahe?” ada jeda beberapa detik, “kok tumben.
Kau m au bikin in?”
“Oke deh...,” Nadira melompat dengan lincah dan
melesat ke dapur.
Ketika Nadira kembali membawakan secangkir kopi
jahe yang mengepul-ngepul, ayahnya sibuk mem ijit-m ijit
nomor telepon.
“Telepon siapa, Yah? Masak pagi-pagi m au pidato sam a
Mahmud?”
“Neen..., neen... Ik w il de Nederlandse Am bassadeur
telefoneren.3 Ayah m au m inta daftar acara Pron k. Kita
undang saja dia m akan siang di sin i...”

***

“Nadira...”

3
Tidak..., tidak... Saya akan telepon Duta Besar Belanda.

86 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Yu Nina...”
Nadira melir ik jam di atas meja, pukul dua pagi.
Kakaknya sinting.
“Di New York tidak ada arloji?” Nadira merebahkan
kepalanya, suaranya serak dan pasrah. Tak m ampu untuk
m arah.
“Tentang m impimu… dalam suratmu itu.”
“Mimpi yang m ana? Aku m impi melulu setiap jam
dalam hidupku. Berganti-ganti. Bisa jadi badut, lalu jadi
ratu, lalu jadi pelacur...,” Nadira terkekeh, meski suaranya
m asih parau.
“Mimpimu tentang kucing yang kamu ikat dengan
benang rafia itu.”
“Ralat. Itu bukan m impi. Itu cer ita pendek yang ku-
ciptakan dalam sekejap…”
“Oh, Thank God. J adi itu bukan m impi. Suratmu ku-
baca terbur u-bur u. Kalau soal per temuan dengan Ibu? Itu
pasti m impi…”
“Ya, itu m impi. Ibu gemuk sekali dalam m impiku.”
Kakaknya terdiam . Tapi Nadira bisa mendengar bunyi
nafasnya.
“Itu karena kamu kesepian, mengur us Ayah sendir ian.
Aku sibuk dengan kuliah; Ar ya sibuk dengan hutan hingga
dia sudah m ir ip orang utan. Dan kamu, seper ti biasa
anak yang berbakti, sendir ian,” suara Yu Nina terdengar
men jengkelkan. Suara seorang kakak ter tua, sulung, me-
rendahkan.
“Lalu ada m impi lain..., did I tell y ou?”
“Yang m ana lagi?”
Kin i Nadira duduk, dia menyenderkan punggungnya.
“Aku ber m impi, kepalaku berkali-kali dim asukkan ke
dalam air toilet. Masuk, keluar, m asuk, keluar. Dan setiap

87 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

kali kepalaku keluar, aku dipaksa mengatakan am pun,


ak u tak akan m encuri lagi. Am pun, ak u tak akan m encuri
lagi…. Lalu sem akin lam a aku mengucapkan kalim at itu,
sem akin lam a pula kepalaku disodokkan ke dalam jamban
toilet yang sudah ada kencing yang belum disiram ...”
Kali in i Nadira tak mendengar apa-apa. Dia hanya
men dengar der u nafas kakaknya. Nafas yang membur u.
“Dan terdengar suara lelaki yang menjer it dan
menyur uh kegiatan in i dihentikan. Akhir nya aku bisa
ber nafas… aku mengangkat kepalaku. Ter nyata…”
“Soal Ibu…” suara Nina terdengar sedingin es, “dia me-
m ang tak per nah bahagia… Dia terlalu mencintai Ayah, dan
tak m ampu menampung semua persoalan Ayah dan per-
soalan dir inya, persoalan keluarga ibunya…”
“Ter nyata ketika aku bisa ber nafas, aku bar u menyadar i,
orang yang sedang menghukum ku itu adalah Yu Nina…”
Nadira ter tawa berderai-derai.
Nina terdiam . Hen ing.
Nadira melanjutkan. Dia men ikm ati sekali saat-saat
se per ti in i. “Untuk beberapa saat, di dalam m impi itu, aku
tak ingat, kenapa Yu Nina menghukum ku… Kenapa aku
dianggap sudah mencur i. Bagaim ana Yu Nina bisa me-
nuduhku bahwa aku mencur i...”
“Nadira..., keluarga Ibu adalah keluarga yang dis fungsi-
onal. Sejak awal, aku merasa Ibu selalu ingin memberontak.
Belum lagi, Ibu har us menyangga persoalan Ayah sebagai
war tawan; persoalan keluarga Ayah dan juga tiga anaknya
yang mem iliki kesulitan nya sendir i-sendir i,” Nina nyerocos
seolah-olah Nadira sedang mendengarkan dengan penuh
perhatian.
“Apakah Ibu terlalu cengeng dan rapuh? Selam a in i,
aku menyangka Ibu adalah seorang m anusia yang tahan

88 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

ban ting. Lihat bagaim ana kuatnya Ibu ber tahan beker ja di
dalam in stitusi m acam UNHCR, 4 di m ana ia har us meng-
hitungi jum lah korban perang yang tak habis-habisnya
sementara setiap pulang kantor ia har us menyediakan
r uang di dadanya untuk menampung keluh-kesah Ayah.
Tubuh Ibu tak cukup untuk menampung persoalan Ayah.”
Nadira kini diam, tapi bukan karena mendengarkan ka-
kaknya. Suara kakaknya terdengar jauh, sayup-sayup, bu kan
karena dia menelepon dar i New York, tetapi karena Nadira
sedang m asuk ke sebuah per iode yang aneh, yang gelap, di
m asa kecilnya.
Nadira berbisik pada dir inya sendir i, “Dan ter nyata…
Yu, belakangan aku menyadar i, itu bukan m impi...,” Nadira
tersenyum . Dia merasakan asin air m atanya, “karena sam -
pai sekarang aku m asih bisa merasakan rasa dan arom a pe-
sing air jamban…”
Nadira berbicara sendir i, setengah berbisik. Telepon
itu tidak lagi diletakkan di telinga kir inya tetapi kin i sudah
ter kulai di atas pangkuan nya, sementara Nina m asih mene-
r uskan monolognya.
“Nadira, Ibu telah tumbuh menjadi seorang pelukis yang
mengukir langit dengan angan-angannya: tentang se buah
keluarga yang sakinah, yang m an is dan santun; tentang
m asa depan neger inya. Ketika kita menemukan nya dengan
wajah membir u di pinggir tempat tidur dan botol obat
tidur yang menggeletak di sampingnya, mungkin Ibu bar u
menyadar i bahwa apa yang dilihatnya selam a in i adalah
hasil lukisan nya di langit. Bukan hasil lukisan Tuhan di
kanvas hidup… Nadira… kamu har us menyadarkan Ayah

4
UNHCR: United Nations High Commissioner for Refugees, organisasi PBB yang
melindungi dan membantu pengungsi sedunia.

89 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Melukis Langit

agar dia jangan ikut m ati bersam a Ibu. Ayah berhak hidup
dan men ikm ati hidup… sehar usnya dia mener im a tawaran
posisi bar u itu, dan kita semua bisa hidup tenang…”
Nadira meletakkan kop telepon itu. Mati.
Di luar, suara ketak-ketok bakiak ayahnya mengisi ke-
he n ingan. Lantas jam dinding m ilik kakeknya kembali me-
nyentaknya. Pukul tiga pagi.

***

“Nak Dira... Kok kur us betul kamu. Bar u m inggu ke-


m ar in kem ar i, kok, kayaknya daging kamu susut...”
Nadira tersenyum , “Dua bungkus lasagna, Bu.”
Bu Mur n i mengangguk dan mencomot dua potong
lasagna dar i oven.
“Kebetulan m asih panas. Ayah baik-baik saja?”
“Seper ti biasa. Kangen m asakan Bu Mur n i.”
Bu Mur n i, ibu yang m akmur dengan daging dan ke-
ringat itu, semakin lebar senyum nya. “Ini Ibu tambahkan kue
lumpur surga dua buah. Ndak usah bayar. Ibu nger ti, ayahmu
suka betul sam a kue lumpur surga...,” katanya ter tawa.
“Alaa, Bu. J angan begitu...” Nadira bur u-bur u me-
ngorek-ngorek dompetnya dan mengeluarkan selembar se-
puluh r ibu r upiah.
“Sudah-sudah... Bayar lasagna saja. Nih, kembalinya.
Salam buat ayahmu, ya. Aduh, Ibu ir i. Ayahmu sudah bisa
ongkang-ongkang men ikm ati pen siun ya.”
Ayah bukan pen siun, ucap Nadira dalam hatinya sambil
menuju bajaj yang menantinya. Ayah bukan pen siun.
J am setengah tujuh. Seper ti biasa, ayahnya ditem an i
dengung rombongan nyamuk dan suara “good evening”
yang fasih dar i pembaca ber ita televisi. Nadira melangkah
perlahan dan berhenti tepat di belakang kursi ayahnya. Ada
pember itaan tentang acara serah-ter im a jabatan pimpinan

90 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

di sebuah har ian. Adegan di televisi itu berlangsung begitu


cepat. Di situ ada Ayah. Dan di situ ada Pak Riswanto.
Kin i Pak Riswanto menduduki jabatan Ayah. Nafas Nadira
ter tahan.
“Yah..., saya bawa lasagna buatan kantin...”
Ayahnya menengok. Tiba-tiba Nadira melihat wajah
ayahnya yang begitu tua. Bar u kali in i Nadira menyadar i
kepala ayahnya diselimuti war na putih. J antungnya ber-
degup.
“Ayah...,” Nadira terbata-bata sambil menyodorkan
pir ing ber isi beberapa potong lasagna dan kue lumpur
surga, “Kue lumpur surga dar i Bu Mur n i...”
Plak!
Ayahnya menepis tangan anaknya. Pir ing itu ter pental
dan pecah berkeping-keping. Kue-kue itu, lasagna itu, ber-
tebaran dan celemotan di lantai. Nadira tercengang. Lebih-
lebih ketika melihat ayahnya ber jongkok, memunguti kue
itu satu persatu dan meletakkan nya kembali ke atas pir ing,
se mentara pipinya basah.
Nadira berlar i ke kam ar m andi. Dicelupkan nya kepa-
la nya ke dalam bak m andi. Lantas diangkatnya. Kali in i
dia bar u menyadar i, in i kebiasaan yang ter jadi karena dia
terbiasa dihukum dengan mencelupkan kepalanya ke jam -
ban ber isi kencing.
Dia mencelupkan kepalanya. Semua gelap-gulita se-
per ti tinta gur ita. Dicelupkannya kepalanya. Lagi. Lagi. Ber-
kali-kali.

****

J akar ta, Maret 1991-Feb 20 0 9

91 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

TASBIH

Di dalam s.e.r.u.n.i
k utelusuri diri-Mu.

***

SETIAP kali melalui r um ah itu, Nadira selalu membentang-


kan sebuah skenar io bar u dalam benaknya. Mungkin r um ah
itu m ilik seorang pengusaha; atau seorang pengacara yang
ge m ar membela m afia. Atau seorang pejabat pemer intah
yang rajin kor upsi. Yang pasti, r um ah itu bukan m ilik se-
se orang yang rendah hati. Pem ilik r um ah in i begitu ber-
se m angat memperlihatkan selur uh har ta benda dan ke-
kuatan nya.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Rumah itu terletak di sebuah pojok di kawasan Bintaro.


Setiap kali Nadira bar u saja mengunjungi r um ah ayahnya
di Bintaro pada akhir pekan, ia sengaja melalui r um ah be-
sar in i. Biasanya, Nadira mem inta supir taksi yang ditum -
panginya berhenti sejenak. Lim a men it, atau 10 men it. Bah-
kan dia mempersilakan sang supir merokok, sementara
Nadira membuka jendela kaca taksi yang ditumpanginya,
dan menatap r um ah besar dan mewah itu.
Rum ah itu menonjol sendir ian di antara r um ah-r um ah
Bintaro yang mem iliki for m at yang m ir ip antara satu dengan
yang lain. Rum ah-r um ah di kompleks Bintaro lazim nya
lebih seper ti deretan kotak korek api yang tak mem iliki
kepr ibadian. Rum ah in i berdir i dengan angkuh di atas luas
tanah yang tak terbayangkan; ber tingkat empat disangga
oleh tiang-tiang yang tinggi seolah ingin menggapai langit.
In ilah perangai sang r um ah: megah, besar, dan m ampu
melahap m anusia. Lalu, lihatlah motor-motor besar yang
ter lihat galak itu, yang ber pose di halam an depan dan
bukan di dalam garasi yang sangat luas?
Yang paling menar ik m ata Nadira adalah patung lelaki
besar yang menyer upai sosok Napoleon itu. Wajah patung
nampaknya digantikan oleh wajah empunya r um ah: muka
lelaki J awa ber usia sekitar 50 -an dan berkum is tipis.
Di sekeliling patung Napoleon dar i J awa itu, Nadira
me lihat dua patung Cupid yang mendampinginya. Selain
itu—nah, in i adegan yang paling disukai Nadira—tujuh
patung perempuan yang tengah menatap kagum kepada
Napoleon. Nadira seolah bisa mendengar bisikan salah satu
pa tung perempuan yang mem inta Tuan Besar Napoleon
untuk menyemprotkan kasih cintanya barang setetes. Nadira
sengaja tak ingin ber tanya pada pem ilik war ung ro kok di
pojok jalanan tentang identitas pem ilik r um ah in i. Ia lebih
suka ber m ain-m ain dengan im ajinasinya.

95 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

Setelah upacara m ingguan itu selesai, Nadira kembali


ke realita, ke atas taksi yang menantinya, lalu berangkat
mengar ungi lautan kem acetan J akar ta.

***

Tara m enghela nafas.


Lagi-lagi dia melongok ke bawah meja ker ja yang penuh
dengan buku-buku, beberapa boks, dan seorang perempuan
muda yang bergelung seper ti seekor kucing kedinginan.
Nadira Suwandi.
Tara tahu, Nadira ingin menenggelam kan selur uh
ke se dihan nya ke kolong meja itu. Dia hanya akan keluar
jika ter paksa. Ter paksa untuk beker ja. Atau ter paksa me-
lawan m atahar i. Mata Nadira m asih ter pejam . Tetapi, Tara
tahu Nadira bukan sedang terlelap. Bibir nya kom at-kam it
mengucapkan entah apa. Arloji dinding m ajalah Tera
menunjukkan pukul delapan pagi. Dan Nadira m asih me-
ngenakan baju yang sam a seper ti kem ar in.
“Mas Tara...,” Satim in berbisik sembar i menggenggam
tongkat pel, “saya ndak beran i mbangun in Mbak Dira...”
Tara mengangguk dan member i isyarat agar Satim in
me ngepel di bagian lain saja dulu. Satim in mengangguk
pa tuh. Tara memegang bahu Nadira dengan lembut agar
Nadira tak terkejut. Perlahan-lahan Nadira membuka
m atanya. Begitu dia menyadar i pem ilik tangan yang mem -
ba ngun kan nya, Nadira segera duduk tegak dan menggosok-
gosok m atanya. Dia keluar dar i kolong meja; menyambar
han duk dar i salah satu lacinya.
“Selam at pagi, Mas... Saya ke kam ar m andi dulu...”
“Saya tunggu di r uang rapat lantai delapan ya, Dir...”
“Siap!”
Hanya 30 men it kemudian, Nadira sudah hadir di r uang
rapat, lebih segar dan sudah berganti baju. Tara tersenyum ,

96 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

meski tak bisa menyembunyikan kepr ihatinan nya. Nadira


langsung duduk di hadapan Tara dan melir ik ke kir i dan
kanan.
“Yang lain m ana?”
“Yang lain sedang liputan, Dir. Saya m au bicara...”
“Oh...,” Nadira terdiam beberapa saat, “saya juga m au
me ngajukan satu per mohonan, Mas...”
“Ya?”
“Saya tahu, kita tak boleh mem ilih penugasan. Tapi,
hanya untuk m inggu in i... saya m inta untuk tidak dilibatkan
dalam tim laporan utam a.”
Dalam keadaan biasa, sang Kepala Biro akan member i
ceram ah dua jam tentang filsafat m ajalah Tera: bahwa
siapapun tak boleh menolak penugasan yang diber ikan. Te-
tapi setelah tiga tahun kem atian ibu Nadira, Tara tak per nah
me lihat Nadira tersenyum atau menangis (kecuali ketika
me reka menemukan bunga ser un i yang mengir ingi ke per-
gian jenazahnya ke liang lahat). Diam -diam Tara mem per-
ha tikan, Nadira sudah tak mem iliki emosi. Apa yang disebut
emosi (yang diperkirakan Tara bersatu-padu dengan “hati”,
dan dalam hal in i Tara tak ingin berdebat apakah hati se-
harusnya merupakan ter jemahan dari “jantung” atau “liver”),
seper ti ikut-ikutan menguap bersam a roh sang ibu; dan
se olah tak ada rencana kembali ke tubuh Nadira. Dengan
kata lain, selam a tiga tahun, Nadira tak per nah me lakukan
apa pun selain beker ja 24 jam sehar i, tujuh har i dalam se-
m inggu.
Semua tugas investigasi dan tugas-tugas peliputan ke
luar neger i dilahapnya sigap; dan begitu peker jaan selesai,
Nadira tak segera pulang. Dia terlelap bergelung di bawah
mejanya, hingga Pak Satim in yang bebersih di pagi har i ter-
paksa membiarkan kawasan meja Nadira dibersihkan siang
har i, setelah si Non berangkat liputan.

97 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

J ika kali in i Tara membuat perkecualian untuk Nadira,


pasti bukan karena perasaan yang selam a in i ditekan-tekan
di lapisan hati yang paling bawah, melain kan karena Tara
tahu betul, Nadira berhak untuk mem inta istirahat.
“Saya setuju. Kamu perlu libur. Kam i semua sudah
kha watir, karena selam a in i...”
“Saya tidak m inta cuti!” Nadira menyela.
“Oh...”
Nadira menyenderkan punggungnya, lalu melempar
pandangan nya ke luar jendela dan bergum am . Tapi Utara
bisa mendengar kalim at Nadira dengan jelas. Hanya untuk
pekan in i, Nadira m inta ditugaskan meliput sesuatu yang
r ingan, seper ti kr im inalitas atau hukum . Tara menatap
Nadira. Tara member ikan jawaban yang sudah diulang-
ulang kepada hampir setiap repor ter yang pada tahun-ta-
hun per tam a m asih mencoba merengek. Nadira tak per-
nah merengek. Bar u kali ini dia mem inta sesuatu. Tapi
Tara merasa har us member ikan pidato umum itu. Se bagai
repor ter yang sudah senior, Nadira tetap tak boleh mem ilih.
“Lagi pula, siapa bilang liputan kr im inalitas itu lebih
r ingan?” Tara menambahkan di ujung kalim atnya, karena
Nadira tak kunjung menjawab.
“Maksud saya, lebih r ingan untuk hati saya,” kata
Nadira. “Rubr ik Kr im inalitas punya tujuan yang jelas, pem -
bu nuh bersalah; yang dibunuh adalah korban. Pemerkosa
itu salah; yang diperkosa itu korban.”
“Dan itu lebih mer ingan kan hati kamu?”
“Lebih r ingan karena saya tidak perlu ber temu dengan
orang-orang yang merasa dir i pandai... Dun ia politik, ter-
utam a anggota DPR, penuh dengan orang-orang seper ti itu.
Dun ia sen i terlalu ber isik,” Nadira melihat keluar jen dela
lagi. Bibir nya menggum am . Kali in i Tara hanya me lihat

98 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

gerak bibir Nadira.


“Aku menemukan buku har ian Ibu...,” Nadira
mengulang kalim atnya.
Tara terdiam beberapa lam a sebelum member ikan
reaksi.
“Kapan?”
“Dua tahun yang lalu, kam i sedang membongkar
gudang...”
Tara akhir nya duduk tepat di sebelah Nadira.
“Sudah dibaca?”
“Ya...”
Sunyi. Tara mem andang sepatunya.
“Ibu menyebut-nyebut seuntai tasbih…”
“Seuntai apa?”
“Tasbih, seuntai tasbih…”
“Oh…”
Mereka terdiam lagi.
“Menur ut catatan har ian Ibu, tasbih itu diperoleh dar i
Kakek Suwandi...”
“Ya?”
“Ibu selalu merasa tenang memegang tasbih itu...”
Tara m asih diam menanti kalim at ber ikutnya.
“Aku... aku per nah melihat tasbih itu...”
Tara menunggu lanjutan kalim at Nadira. Tapi kalim at-
nya ter tahan segumpal ludah.
“War nanya cokelat..., mungkin dar i kayu. Atau bahan
se m a cam kayu ber war na redup, mungkin war na yang bisa
mem buat Ibu tenang...”
“Kamu tahu bukan war nanya yang membuat dia
tenang.”
“Ya, Mas...”
“Kamu lihat di m ana, Nad?”

99 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

“Ayah… Ayah memegangnya waktu Ibu...”


Tiba-tiba saja Tara ingin mengambil kepala Nadira dan
mem benam kan selur uh tubuh yang gelisah itu ke dadanya.
Tetapi dia tetap diam dan hanya menatap tumpukan m ap
pe nugasan di atas meja. Nadira kemudian menenangkan
dir inya. Kin i dia menatap lur us pada Tara.
“Liputan Kr im inalitas dan Hukum m inggu in i sebe tul-
nya sangat berat...”
Nadira menyodorkan tangan nya. Tara menghela nafas
putus asa. Dia member ikan dua m ap ber isi lembar penu-
gasan. Setelah Nadira membaca sekilas, dia kembali me-
natap Tara.
“Penugasan kr im m inggu in i akan menguras hati,” Tara
mengingatkan. “Semula aku akan member ikan in i kepada
Andara. Dia kan belajar psikologi. Rencanaku tadinya m au
mem asukkan kamu ke tim laporan utam a bersam a Yosr izal.
Kita ada liputan besar kasus pembelian kapal J er m an Timur.
Saya rasa kamu...”
“Saya ambil kr im , Mas!”
“Saya tidak setuju!”
“Kenapa?”
Tara menghela nafas. “Waktu Andara mengajukan
per m intaan wawancara, psikiater in i hanya bersedia di-
wawancarai kamu. Dia menyebut nam amu. Saya tidak nya-
m an, Dira.”
Nadira menger utkan ken ing. “Kenapa?”
Tara menggelengkan kepalanya, “Saya tidak m au
mengabulkan per m intaan seorang kr im inal seper ti dia.”
“Mungkin saya har us menemui dia. Nanti saya car i
tahu, kenapa dia ingin ber temu dengan saya.”
Tara m asih sangsi.
Nadira berdir i. Dia menatap Tara kembali. Menekan.

100 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Tiba-tiba Tara melihat kesedihan yang luar biasa yang ter-


pancar dar i m ata Nadira yang besar. Tara selalu ber usaha
menghindar i tatapan m ata Nadira yang mem inta. Bagi
Tara, kedua bola m ata Nadira terbuat dar i air danau yang
ber war na bir u. Tara menam akan nya Danau Kembar yang
m ampu membuat Tara tenggelam ke dasar dan tak akan
per nah bisa muncul ke per mukaan realita. In i sangat
berbahaya. Tara tak ingin tenggelam . Dan Tara tak ingin
gelagapan. Karena itu, ketika danau kembar itu kembali
ham pir melahapnya, Tara bur u-bur u mengangguk.
Nadira berdir i, tiba-tiba dia ingat sesuatu.
“Mas tadi m au membicarakan apa?”
Tara terdiam . Dia sudah tak tahu lagi apakah cukup
penting untuk menyaran kan Nadira istirahat di r um ah dan
tidur. Dia bahkan tak tahu apakah saran untuk cuti akan
membantu mengembalikan Nadira yang dulu, yang per nah
hidup tiga tahun yang lalu sebelum ibunya wafat.
“Mas kepingin tahu kapan saya pindah dar i kolong
meja?”
Tara mengangguk perlahan.
“Saya ingin kamu bisa tidur yang lelap.”
“Saya ser ing ber m impi, saya celentang... tidak bergerak,
tidak berbicara apa-apa. Hanya celentang di lubang kubur.
Saya merasa tenang di sana. Dan saya selalu menyesal setiap
kali bangun dar i m impi itu.”
Tara terdiam . Tidak bereaksi.
Nadira membersihkan tenggorokan nya dan melangkah
pergi.

***

Mayor Polisi Ray Wiradi member i tanda kepada anak buah-


nya. Ray Wiradi, seorang serse muda yang sudah sangat lama

101 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

mengenal Nadira sejak dia m asih menjadi repor ter bar u


m ajalah Tera. Kedua anak buahnya keluar untuk menjemput
tahanan yang ingin ditemui Nadira.
“Kamu yakin, Dira? In i orang gila.”
“Kamu tahu kenapa dia mem inta kamu secara khusus?
Saya sebetulnya sudah menyampaikan pada Utara, tak perlu
mengabulkan per m intaan sinting itu.”
Nadira mengangkat bahu, “Mungkin karena dia per nah
membaca ber ita tentang kem atian Ibu. Kan sempat ada
ber itanya juga, Bang..., meski kecil.”
Ray agak sangsi dengan jawaban Nadira. Dia meng-
gar uk-gar uk dagunya yang tidak gatal, kebiasaan nya kalau
tidak bisa menggenggam sesuatu yang tidak jelas.
“Apapun motivasi dia, Bang, kam i perlu wawancara
eksklusif dengan Bapak X. J adi... biarlah, saya tidak takut.”
Ray menghela nafas. Lalu akhir nya dia mengambil
sebuah m ap yang tebal.
“Secara gar is besar, in fo in i sudah kam i sampaikan
me lalui kon feren si pers. Tapi saya tahu, kamu selalu ingin
in for m asi yang lebih r inci...,” kata Ray sambil membuka
m ap itu.
Nadira tersenyum senang. Dia tahu betul, isi m ap yang
dipegang Ray sangat eksklusif. Ray melir ik tersenyum me-
lihat wajah Nadira yang sedikit lebih cerah.
“Saya bar u kali in i melihat kamu tersenyum lagi...”
“Tolong penjelasan yang kronologis, Bang,” Nadira
mengambil bolpen dan notes.
“Nad...”
Nadira mengangkat kepalanya.
“Dia bukan seorang psikiater biasa. Dia seorang jenius.”
“Saya bisa menghadapi dia, Bang Ray..., percayalah...”
“Hm ...,” Ray menjenguk isi m apnya yang ber isi laporan

102 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

dan foto-foto korban pembunuhan. “Korban yang paling


bar u ber nam a Mur yan i Handoko, 52 tahun, ibu seorang anak
lelaki. Dia ditemukan tewas di r um ahnya dua pekan lalu,
10 J un i 1994. Bapak X mengaku telah mencekik Mur yan i
dan... lihat in i...,” Ray memperlihatkan foto Mur yan i, “dia
mencongkel biji m ata kir inya dan merobek bibir nya post-
m ortem .”
Nadira terkesiap. Bagian ini tidak pernah ada di media.
“In i kam i simpan rapat dulu dar i publik,” kata Ray
yang sudah mengenal alam pikiran Nadira, “karena kam i
m asih ingin mencar i tahu, kenapa semua korban nya selalu
perempuan par uh baya yang mempunyai anak lelaki; dan
kenapa setelah dibunuh, mulut perempuan itu dirobek.”
Nadira mencatat itu semua dengan jar i-jar i gemetar
dan hati berdebar. Saat itulah Wisnu m asuk member itahu
bahwa Bapak X sudah siap diwawancarai oleh Nadira.
“Data lim a korban lain nya kita ter uskan setelah kamu
wawancara dia, Nad... Saya hanya bisa member i waktu
setengah jam saja dengan dia. Cukup, kan?”
“Sangat cukup, Bang. Ter im akasih,”
Ray mengangguk kepada anak buahnya. Hanya bebe ra-
pa men it, mereka menggir ing seorang lelaki setengah baya
ke hadapan Nadira. Ray tersenyum sin is dan member i tan-
da pada Bapak X untuk duduk di r uang tengah kantor polisi
yang hanya diisi dengan sebuah meja, dua buah kursi, dan
potret Presiden Soehar to dan Wakil Presiden Tr y Sutr isno
yang digantung di dinding.
Nadira langsung melontarkan selur uh pandangan nya
hanya dengan satu kali “tonjokan”. Nadira mem iliki apa
yang disebut Tara sebagai “photographic m em ory ”. Wajah
seorang lelaki yang usianya sudah merambat pada tingkat
melebihi setengah abad; sebuah tahap yang membuat para

103 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

lelaki di dun ia menger ut dan tak berdaya, karena pen isnya


sudah lebih m ir ip buah ter ung yang layu dan bergelayut sia-
sia. Pada tahap in i, mereka merasa kelelakian mereka sudah
mulai diper tanyakan.
Nadira menatap wajah Bapak X. Wajah lelaki ber usia
62 tahun itu telah ter pampang di berbagai media. Entah
bagaim ana, Bapak X selalu tersenyum menunjukkan rang-
kaian gigi putihnya setiap kali kamera mengarah pa danya.
Seolah tak ada yang lebih membuatnya bangga dar ipada
ter tangkap dan disorot oleh berbagai kamera televisi. Tetapi
dia hanya ingin diwawancarai oleh satu orang.
“Nadira Suwandi...”
Suara Bapak X berat, ber iram a seper ti seorang pe-
nyanyi. Dia menatap Nadira. Dan Nadira mem andangnya
tanpa rasa takut.
“Akhir nya saya mendapatkan anugerah yang sudah
lam a saya ingin kan,” Bapak X memejam kan m atanya, se-
per ti men ikm ati kehadiran Nadira. Nadira ber usaha tidak
ter pengar uh oleh gaya teatr ikal Bapak X.
Nadira memotret selur uh kehadiran Bapak X. Tinggi
180 sentimeter; tubuh atletis yang sudah pasti dipelihara
oleh peralatan gim dan berbagai vitam in dan nutr isi; ram-
but berombak perak; dan wajah yang penuh bilur-bilur yang
sudah dipastikan kena tonjok orang-orang yang m arah
padanya.
“Apa yang bisa saya bantu, Nadira?”
Nadira mengeluarkan notes dan bolpen nya.
Bapak X ter tawa lembut. Nadira mengangkat wajahnya.
“Kenapa?”
“Betul kata orang. Kau war tawan yang tak suka meng-
gunakan tape recorder kalau tak ter paksa…”
“Saya ingin ber tanya tentang m asa kecil Anda.”
Bapak X ter tawa kecil, nyar is tak mengeluarkan suara.

104 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Halus dan mengelus.


“Har i sudah senja, m asih juga percaya pada Freud...”
Dia menyentuh tangan kir i Nadira yang ditumpukan
di atas meja. Nadira ser ta-mer ta menar ik tangan nya. Ray
jengkel dan berdir i mendekati Bapak X. Nadira menahan
Ray.
“Bang Ray kan sedang sibuk... Biarkan saya ur us dia
sendir i.”
Bapak X tersenyum menang.
Ray ingin sekali menghabiskan binatang di depan nya
in i dengan sekali hajar; pasti mudah sekali. Sekali ayun,
muka yang halus itu langsung jadi bubur, dan serangkaian
giginya yang putih itu rontok satu persatu, berantakan.
“Pintu tetap saya buka. Di luar ada Pak Anton dan Pak
Wisnu. Ter iak aja kalau dia aneh-aneh...,” Ray bergum am
dengan nada tak ikhlas.
Nadira mengangguk tersenyum .
Akhir nya Ray pergi men inggalkan mereka berdua
dengan wajah yang sangat tidak rela. Tetapi Nadira tahu,
Ray ada di r uang sebelah, dan dia sengaja membuka pintu
penghubung antara kedua r uangan itu.
Bapak X mem ajukan wajahnya hingga wajah Nadira
ha nya ber jarak beberapa sentimeter dar i hidungnya. Tapi
Nadira sam a sekali tidak ter intim idasi oleh tingkah laku
in i.
“Bisa saya bantu?”
”Ayah Anda men inggal waktu Anda m asih kecil. Apa
yang ter jadi?”
Bapak X menyenderkan punggungnya dengan m alas
dan mengambil sebatang rokok.
“Kamu tak ingin tahu kenapa saya mem inta ber temu
dengan mu?”
Nadira menggeleng.

105 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

“Itu penting. Sangat, sangat penting. Kamu perempu-


an istimewa. Yang sudah menulis cer ita pendek sejak kecil,
dan mempunyai dua orang kakak yang pasti merasa menjadi
bayang-bayangmu... Saya tebak, pasti kakak perempuan mu
bukan kakak yang menyenangkan. Dan saya yakin, seumur
hidupmu, kamu adalah sosok yang gelisah.”
Nadira merasa aliran darahnya berhenti seketika.
“Keluarga saya baik-baik saja, kakak-kakak saya sangat
mendukung saya,” Nadira mencoba tenang. “Saya ingin tahu
tentang ibu Anda...”
“Ibu...,” tiba-tiba saja senyum Bapak X hilang, “yang
mengambil sem angkuk cabe rawit giling dan menyem ir nya
ke mulutku waktu saya m asih ber usia tujuh tahun…”
Bapak X menggosok-gosok bibir nya sendir i, mem per-
lihat kan bagaim ana ibunya memborehkan cabe rawit giling
ke mulutnya. Nadira menunduk dan ber pura-pura sibuk me-
nulis agar dia tak ter pengar uh.
“In i adalah hukum an jika saya melontarkan kata yang
tak senonoh... Waktu saya ber usia sembilan tahun, dan
saya terlambat pulang sekolah, Ibu mengikat saya di tiang
r um ah belakang... Codet di jidat saya in i? Ibu melempar
sebuah pir ing, karena saya tidak menghabiskan m akan
siang saya...”
Nadira terdiam. Bapak X mem andangnya dengan raut
puas, karena merasa membuat Nadira tak m ampu ber debat.
Nadira mengambil catatan nya, dan mengumpulkan
segala kekuatan nya, “J adi karena m asa kecil Anda yang
bur uk, Anda mempunyai dorongan untuk membunuh setiap
perempuan yang sudah ber usia senja; yang mem iliki anak
lelaki tunggal seper ti Anda...?”
“Saya ingin membantu anak-anak lelaki yang disiksa
ibunya sendir i...,” Bapak X menggosok-gosok tangan nya

106 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

dengan sem angat.


“Bagaim ana Anda mengetahui anak-anak in i disiksa
ibunya sendir i?”
“Saya tak per nah ragu... Saya tahu tanda-tanda anak-
anak yang dihajar oleh ibunya sendir i... Ray, polisi yang
jatuh hati padamu itu, sudah memperlihatkan foto-foto
kar ya sen i saya?” Bapak X ter tawa berderai-derai. Nadira
tidak menjawab dan menyibukkan dir i dengan mencatat.
“Korban per tam a...?” Nadira ber tanya dengan suara
yang sangat dikontrol.
“Meidina Sat ya!” Bapak X menyela seper ti seorang
pe ser ta kuis yang merasa mengetahui jawaban yang di-
lon tarkan pembawa acara. “Dia ber usia 54 tahun, seorang
ibu yang mengontrol jadwal anak lelakinya dar i menit ke
men it...,” Bapak X berser u dengan nyar ing dan girang.
“Setiap kali anaknya terlambat hanya beberapa men it, dia
akan menghukum anaknya. Dia mengikatnya, mengur ung
anaknya sehar ian tanpa m akan dan m inum ...”
Bapak X mencer itakan itu dengan ber nafsu dan hampir
tak ber nafas. “Menghabiskan dia paling gampang...”
Nadira memperhatikan wajah Bapak X yang men ce r i-
ta kan setiap adegan pembunuhan itu dengan r inci, seper ti
mem ber ikan sebuah kursus kepada seorang pembunuh pe-
mula.
“Waktu kali per tam a saya merobek mulut Meidina Sat ya,
rada susah..., agak liat. J adi saya har us menggunakan kedua
tangan saya...,” Bapak X bercer ita dengan sem angat, m ata-
nya berkilat-kilat girang dan kedua tangan nya mem ber ikan
contoh bagaim ana ia menguakkan bibir korban nya.
Nadira mencatat sembar i mencoba meredam debar
di dadanya. “Nah, setelah beres...,” Bapak X melanjutkan,
“bar ulah saya membereskan bola m atanya.”

107 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

“Kenapa...” suara Nadira serak, “kenapa har us bibir


dan m ata?”
“Mata adalah pancaran jiwa; mulut adalah pancaran
hati...,” kata Bapak X seper ti tengah membaca puisi.
“Kamu m au catat yang kedua juga kan?” Bapak X ter-
lihat sem akin r iang. Nadira ter paksa mengangguk dengan
jengkel melihat Bapak X yang menemui kebahagiaan nya
dengan membicarakan korban-korban nya itu.
“Maulina Hadi... 47 tahun, ibu dar i kembar lelaki dan
perempuan... Wajah anak lelakinya terlalu m ir ip suam inya
yang jalang. J adi kembaran itu tumbuh seper ti sepasang
anak em as dan anak tir i... Anak lelakinya hidup seper ti
pem bantu.”
“Bagaim ana Anda ber temu dengan mereka semua?”
“O, m acam -m acam . Yang per tam a dan kedua adalah
pasien saya...,” jawab Bapak X dengan nada r iang.
“Yang ketiga...”
“Naaah...,” Bapak X memotong per tanyaan Nadira
dengan cer ia, “Mar yati Danu itu sebetulnya ibu m aha siswa
saya. Mahasiswa saya itu seper ti seonggok daging busuk
yang ter paksa hidup di kelas saya. Setelah saya ca r i latar
belakangnya..., seper ti halnya saya car i latar belakangmu,
Nadira..., saya langsung tahu pender itaan dia. J adi saya
selesaikan saja.”
Nadira terdiam cukup lam a. Dia merasa Ray berdir i di
ambang pintu ikut mendengarkan wawancara itu. Tiba-tiba
saja, tanpa diduga, Bapak X menembak Nadira dengan satu
per tanyaan.
“Bagaim ana posisi ibumu waktu kau temukan? Celen-
tang atau mer ingkuk?”
Nadira tersentak. Bapak X menyer ingai. Sederet gigi-
nya yang putih tampak bersinar ditimpa cahaya lampu di

108 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

r uang serse. Bapak X tahu betul, Nadira kin i tengah mem -


bayangkan kembali posisi ibunya saat per tam a kali dite mu-
kan dalam keadaan tak ber nyawa.
“Cer itakan bagaim ana kakakmu yang kau benci itu
men jer it, melengking..., dan kau pastilah anak yang selalu
ha r us membereskan semua persoalan keluargamu...,” Bapak
X menyer ingai kembali. Bapak X tampak terlalu percaya
dir i. Perlahan dia menyentuh jar i-jar i Nadira. Dan seper ti
disetr um listr ik, Nadira tersentak. Darahnya mendidih.
“Ada apa?” tanya Ray yang sudah melesat ke dalam
r uangan. Suaranya seper ti godam palu yang siap meme cah-
kan batok kepala Bapak X.
“Tidak apa-apa...,” Nadira menjawab sembari mene-
nangkan dir inya sendir i. Dengan m atanya, dia mem inta Ray
kem bali ke r uangan sebelah agar dia bisa menyelesaikan
wa wancaranya.
“Pokoknya kalau kamu menyentuh Nadira, sekali
saja...,” Ray menggebrak meja hingga jantung Nadira
hampir loncat ke leher, “awas!” Ray menatap Bapak X
selekat mungkin; nyar is seper ti seekor har im au yang siap
mengganyang m angsanya.
Bapak X, nampaknya sudah terbiasa dengan tempe ra-
men Ray, mengangguk. Memperlihatkan kepatuhan yang
me nga gum kan.
“Nadira akan utuh.”
Ray keluar dar i r uangan seraya sekali lagi menghunjam -
kan pandangan yang men ikam pada Bapak X.
Nadira kembali pada posisi semula: war tawan.
“Kenapa semua korban Anda ber in isial hur uf M?”
“Kamu cerdas... pasti sudah tahu jawaban nya. Ray,
serse yang sangat melindungimu itu, pasti sudah member i
arsipku padamu.”

109 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

“Nam a ibu Anda ber in isial M?”


Bapak X terkekeh-kekeh.
“Ber in isial M, beranak lelaki satu orang; anak lelaki
yang tak diingin kan; yang tak jelas siapa ayahnya...”
Nadira mulai tercekam . Keterangan in i tak ada di dalam
arsip serse. Dia bisa mendengar langkah Ray mendekati pin-
tu dan ikut mendengarkan, meski dia memenuhi janji pada
Nadira untuk tak mencampur i wawancara itu.
Bapak X merasa senang ada hadir in yang sungguh ber-
m inat pada ucapan nya. Dan “hadir in” itu ber nam a Nadira
Suwandi. Itu membuat dia terangsang untuk berkisah.
“J adi... keenam nya adalah perempuan par uh baya yang
sendir ian, yang membenci anaknya sendir i, dan membenci
predikat sundal dar i m asyarakat...”
“Saya tak percaya... Saya tak percaya mereka adalah
ibu yang jahat. Itu semua karangan mu saja,” Nadira mulai
emosional.
Bapak X tersenyum , “Tentu saja... Tentu saja kau tak
percaya... Ibumu mencintai kalian seper ti seekor induk
bur ung yang sayapnya mer ingkus kalian ber tiga ke dalam
satu pelukan yang ketat, yang protektif dan penuh cinta...”
Nafas Nadira ter tahan. Untuk kali per tam a, ada pera-
saan yang asing yang mulai tumbuh; campuran rasa takut,
benci, sekaligus kagum pada Bapak X. Psikiater in i mem ang
cerdas. Melalui perkiraan, ser ta membaca in for m asi ke m a-
tian ibunya di beberapa media, tiga tahun silam—seorang
istr i war tawan sen ior tewas bunuh dir i—psikiater in i sudah
bisa membuat sebuah kesimpulan yang jitu.
“Nah, sekarang saya har us tahu: bagaim ana ibumu
meng habiskan nyawanya? Racun? Pil tidur? Yang pasti
bukan gantung dir i, itu terlalu purba...,” Bapak X ter tawa ha-
lus. Bapak X terkekeh-kekeh. Matanya berkilat-kilat karena
merasa Nadira sudah m asuk dalam teras r um ahnya.

110 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Tetapi tawanya menusuk jantung Nadira. Tepat di


tengah-tengah. Detaknya berhenti seketika.
Bapak X men ikm ati wajah Nadira yang pucat.
“Apa yang kau lihat per tam a kali...”
“Bunuh diri m em ilik i sebuah bahasa khusus...”1

Bapak X mengucapkan ini dengan nada yang mengalun.


Nadira tersentak. Bapak X, psikiater ter nam a in i me-
nyitir sajak An ne Sexton:

Suicides have a special language.


Like carpenters they w ant to k now W hich Tools.
They never ask W hy Build. 2

Nadira tidak menjawab sam a sekali dan tidak ber n iat


me laden i kegilaan Bapak X. Tetapi sialan! Per tanyaan itu
m a lah membentangkan sebuah layar m asa lalu, tiga tahun
lalu tepatnya, ketika kali per tam a dia menemukan ibunya
ter geletak di lantai r um ah, dalam keadaan tak ber nyawa.
Tubuh yang bir u. Pipi yang bir u. Dan bibir yang keputihan
karena busa yang ker ing. Bunga ser un i yang memenuhi
m akam Ibu.
“Cer itakan...,” Bapak X berbisik dengan ber nafsu, “cer i-
ta kan perasaan mu... Bagaim ana reaksi kakak-kakakmu...
Aku bisa membayangkan dinam ika kehidupan kalian...”
“Kami baik-baik saja. Saya mencintai kakak-kakak saya!”
Nadira buru-buru menancapkan pagar di sekeliling tubuhnya.
Bapak X ter tawa terbahak-bahak. Girang sekali melihat
Nadira ter pancing.
“Kenapa saya tak percaya?”

1
Terjemahan bebas puisi “Wanting to Die” karya penyair Anne Sexton.
2
Puisi “Wanting to Die” karya Anne Sexton.

111 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

Suara Bapak X kali in i tur un drastis. Lembut.


Tetapi suara seper ti in i yang membuat Nadira lupa
bah wa dia berada di kantor polisi. Dia lupa di r uang se belah
ada Ray yang sedang ber jaga-jaga agar tak ter jadi apa-apa
dengan Nadira. Ruangan itu mendadak gelap. Hitam. Dan
tiba-tiba saja dia merasa ada di sebuah r uang m asa lalu,
tepat 20 tahun yang lalu...

Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, 8 Januari 1974

Nadira m encium arom a asap bubuk hitam y ang


m eny eruduk m asuk ke ruang m akan. Nam pak ny a arom a
it u datang dari halam an belakang di m ana Ary a dan ke-
dua put ra Bibi Rania tengah jejingk rakan m eny ulut pe-
tasan. It u sisa petasan m alam tahun baru y ang selalu saja
m asih disim pan oleh Ary a dan kedua sepupuny a, Iw an
dan Mursid.
“Meny am but tahun 1974!” kata Ary a dengan sinar m a-
ta berkilat-kilat. Ay ah sedang pergi karena bany ak sekali
protes m ahasisw a m enjelang kedatangan Perdana Men teri
Jepang Tanaka. Ibu sedang m enem ani Bibi Rania ke dokter.
Dari m eja m akan, tem pat Nadira tengah m e nget ik cerita
pendek, ia m endengar say up-say up suara T VR I y ang
pas t i hany a disak sikan Yu Nah. Lonceng y ang berbuny i
delapan kali it u lantas sam bung-m eny am bung dengan
suara ledakan petasan dan sorak-sorai sang abang dan dua
“baw ahanny a”. Sungguh m engganggu kon sen t rasi. Nadira
berdiri dan m engham piri ket iga lelak i rem aja it u.
“Main petasanny a pindah dong...,” Nadira bertolak
pinggang jengkel. Dia m em elotot i rum put halam an be la-
kang y ang sudah berselim ut kapuk. “Ibu akan m enikam
kam u!”
Ary a, si Bandel, terseny um -seny um , “It u cum a bantal

112 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

bekas y ang sudah bau busuk... Ay o, Sid! Siap!”


Duar, duar!!!!
Petasan m eledak. Dua buah bantal hancur-lebur dan
ju taan kapuk m elay ang-lay ang sepert i salju y ang m eny e-
lim ut i rum put tanam an belakang.
“Salju, salju di Jakarta!!” t iga ekor m ony et m enari-
nari di atas r um put y ang penuh oleh kapuk.
Nadira m enggelengkan kepalany a. Abangny a dan
kedua sepupuny a it u seharusny a sudah m em asuk i usia
rem aja y ang “dew asa”. Mereka bert iga duduk di kelas sat u
sekolah m enengah atas, tetapi t ingkah lak u m ereka lebih
m irip penghuni Ragunan.
Nadira duduk kem bali di m uka m esin t ik m ilik ay ahny a
di m eja m akan. Ini adalah cerita pendek ny a y ang keenam
y ang akan dik irim ke m ajalah Mata Hati. Lim a cerita pen-
dek y ang sebelum ny a sudah dim uat, sudah digunt ing sang
ay ah dan dibingkai, dipajang di ruang kerja ay ahny a.
Ay ahny a begit u bangga. Set iap kali m ereka m akan m alam
ber sam a, ay ahny a akan m encium ubun-ubun Nadira dan
m eny atakan anak bungsuny a y ang baru berusia 12 tahun
itu pasti bisa m eneruskan pekerjaan ay ahny a kelak. Dada
ay am goreng y ang biasany a disim pan unt uk sang ay ah
k ini ber im igrasi dar i pir ingny a ke pir ing anak bungsu.
Nadira tak pernah m eny adari sepasang m ata Yu Nina
y ang berk ilat-k ilat m arah m eny ak sikan perpindahan se-
po tong dada ay am y ang berharga it u. Nadira terlalu sibuk
m e nangk is kak i Ary a y ang m enendang t ulang keringny a
dan w ajah Ary a y ang m em ohon... Sepert i biasa, Nadira
t idak tega dengan w ajah abangny a y ang sangat m e ny ukai
dada ay am it u. Dia akan m em indahkan sepotong ay am it u
ke piring abangny a. Adegan-adegan sepert i ini hany a ber-
bekas di hat i Nina. Unt uk Ary a si Bandel, y ang pent ing dia
m endapatkan jatah dada ay am . Beres.

113 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

Duar, duar!!!
Terdengar sorak-sorai gem bira t iga m ony et it u. Makin
ber gairah dan m akin m engguncang rum ah t ua m ereka di
ka w asan Petojo, di pusat Jakarta. Nadira m enghela na-
fas. Dia akhirny a m engem as kertas-kertas dan m esin t ik-
ny a. Untuk kali pertam a dia m em utuskan m enggunakan
“fasilitas”y ang dianugerahkan ay ahny a, y aitu, “kam u boleh
m enggunakan kam ar kerja Ay ah kalau ingin m encari
ketenangan.”
Nadira m eletakkan m esin t ik it u tepat di tengah m eja
kerja ay ahny a; kertas uk uran folio di sebelah k iri dan dua
halam an pertam a y ang sudah selesai diket ik di sebelah ka-
nan m esin t ik. Nadira m eny adar i: dia dikelilingi cerpen-
cerpen kar y any a y ang dipajang ay ahny a di dinding. Nadira
m e rasa risih dan aneh. Mungk in it u pent ing bagi ay ahny a.
Tetapi Nadira m erasa t idak ada sebut ir debu dibanding
penulis-penulis y ang dipujany a: Mark Tw ain, Louisa May
Alcott, dan Charles Dicken s. Mereka m em bangun sebuah
dunia y ang m am pu m engisap pem baca. Mereka berhasil
m em buat para pem baca m elekat di dalam dunia it u
seum ur hidupny a. Art iny a: para penulis luar biasa ini,
m enurut Nadira, m em buat dia tak ingin kem bali ke dunia
ny ata. Mereka sudah m em berikan k unci pada sebuah
dunia gaib di abad silam dengan cerita y ang oh, luar
biasa, sungguh Nadira tak ingin dipak sa unt uk m enaik i
tangga dan ny em plung ke Jakarta di tahun 1974. Sungguh
suram , k usam , dan tak m enarik. Nadira sudah terlanjur
m erasa sepert i bagian dari huruf-huruf y ang dibacany a.
Dia adalah penduduk dunia rekaan para penulis y ang di-
cintainy a.
Karena it u, Nadira m erasa t idak (atau belum ) lay ak
m e m ajang cerpen-cerpenny a di saat y ang m asih terlalu
pagi dan dini di dinding ruang kerja ay ahny a. Mungk in

114 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

bo leh saja dia m em ajang di dinding kam arny a, tapi jangan


di sini, di kam ar kerja ay ahny a. Nadira m erasa dia t idak
sebanding dengan para penulis pujaanny a. Dia m enu run-
kanny a satu persatu dan m em baw a kelim a bingkai itu ke
kam arny a: sebuah kam ar besar y ang ditem pati oleh Nadira
dan Nina. Nina m elirik heran. Dia tengah m engerjakan pe-
kerjaan rum ahny a.
“Apa t uh?”
“Cerpenk u y ang dibingkai Ay ah. Ak u m au sim pan di
lem ari saja...”
“Disim pan di sini? Kenapa?”
“Risih...”
“Jadi, kam u m au letakkan di lem ari pakaian k ita?”
Nadira baru m eny adari nada keberatan kakak ny a.
“Iy a..., disim pan, supay a tak perlu dipam er...”
“Kenapa?”
Nadira heran. Apakah Yu Nina t uli?
“Ak u sudah bilang, ak u risih.”
“Ay ah sudah tahu? It u kan dipajang di dinding kam ar
kerja Ay ah.”
Nadira m engangkat bahu, “Nant i ak u jelaskan. Ak u
keberatan kalau kary ak u dipajang di tem bok Ay ah...”
“Ini kam ark u juga. Lem ari pakaian bersam a. Ak u ke-
beratan juga.”
Nadira m engerutkan kening. Tak paham .
“Ak u bukan m au m em ajang di tem bok, Yu. Justru ak u
ingin m eny im pan di bagian baw ah lem ari, kalau perlu di-
k ubur di paling baw ah, dit um puk di baw ah seprei,” Nadira
m enjelaskan dengan sabar, karena t idak bisa m em baca
hat i kakak ny a y ang m ulai m endidih.
“Ak u t idak m au m elihat om ong-kosongm u di lem ari
k ita. Di kam ar ini.”
Kini Nadira sem ak in tak paham apa y ang tengah

115 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

terjadi. Dia m eletakkan kelim a cerpen y ang sudah dibingkai


it u sat u persat u di dasar lem ari pakaian y ang m ereka gu-
na kan bersam a. Nina m eny ak sikan gerak-gerik adik ny a
dengan sat u lirikan. Dia m enut up buk uny a dengan geram
dan m eninggalkan kam ar.
Nadira m enut up lem ari pakaian it u. Dia kem bali ke
m eja kerja ay ahny a dan m encoba kon sent rasi. Sepuluh
jariny a y ang kecil m ulai bergerak lincah. Suara rentetan
petasan tak terdengar, karena keasy ikan Nadira dalam
duniany a. Tiba-t iba...
Duar...
Duar...
Duar! Duar!
Nadira tersentak. Buny i petasan kali ini sepert i
m eng hantam sebuah benda keras. Bahkan ledakan beri-
k ut ny a sepert i m engak ibatkan pecahny a berbagai barang
pecah-belah. Nadira berdebar-debar. Hany a dalam bi-
lang an sedet ik dia sudah berada di depan kam arny a.
Pem bant uny a, Yu Nah tengah m enjerit. Dia m elihat Yu
Nina hany a berdiri di depan kam ar tanpa ek spresi apa-
apa m eny ak sikan kam arny a y ang m endadak sepert i kor-
ban ledakan bom . Saat it u juga, Nadira m endengar t iga
m ony et geruw alan berlari m eny usul dan ternganga m e-
lihat kam ar Nina dan Nadira.
Nadira m elangkah perlahan m endekat i lem ari pakai-
an ny a y ang sudah hancur pint uny a. Baju-baju Nina dan
Nadira sebagian koy ak dan hangus. Beberapa sepat u
berhak t inggi y ang disim pan dalam kotak sepat uny a han-
cur berantakan. Lim a cerita pendek Nadira sudah han-
cur berkeping-keping. Nadira m em andang per cikan gelas
bingkai y ang bertebaran sepert i pecahan ber lian. Dia m e-
noleh dan m elihat w ajah Ary a y ang pucat.
Ary a m enggeleng-gelengkan kepalany a tak percay a.

116 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Nadira bisa m elihat dengan jelas, abangny a bukan hany a


ke tak utan, tetapi juga terkejut dan heran. Bagaim ana
m ung k in t iga m ony et y ang sedang berloncatan di luar bisa
m eledakkan petasan di dalam kam ar? Sudah past i ada
orang lain y ang m elak ukanny a. Tapi siapa?
Yu Nah m enjerit dan m engancam akan m em beritahu
Ay ah dan Ibu saat m ereka sudah pulang dari kondangan.
Nadira m elirik Nina y ang m asih berdiri di pint u, m elipat
tanganny a. Wajahy a tanpa ek spresi. Dia tak m arah m e-
lihat baju-bajuny a y ang digant ung hancur-lebur dihajar
pe tasan. Nina hany a m engeluarkan sat u perintah unt uk
Yu Nah.
“Yu Nah, jangan bany ak m ulut. Bersihkan saja!”
Kalim at it u terdengar dingin. Nina m em balikkan t u-
buh ny a dan m eninggalkan kam arny a.
Sejak it u, y a sejak it u, Nadira tahu: dia tak akan per-
nah m em aaf kan kakak sulungny a. Ket ika dia m elihat
abangny a dihuk um oleh Ay ah dan Ibu (tak boleh m ain
petasan seum ur hidup; tak boleh keluar pada hari Minggu;
tak boleh m ain bola, m em baca Quran set iap hari di r um ah
Kakek Suw andi; tak boleh nonton telev isi; dan y ang pa-
ling sulit, tak boleh bertem u dengan Iw an dan Mursid
unt uk w akt u y ang lam a), Nadira m eny im pan kem arahan
y ang sungguh dalam . Dia tak m au lagi t idur sat u kam ar
dengan Nina. Dan dia tak m au lagi m elihat m ata kakak
sulungny a.

***

“Kamu membenci kakakmu... Saya bisa melihat dar i


m atamu.”
Suara Bapak X yang r iang mengembalikan Nadira ke
dalam r uangan serse. Nadira segera mengumpulkan ke sa-
daran nya yang ter pecah-belah. Dia mengambil sehelai tisu

117 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

dar i dalam ran selnya dan mengusap-usap bibir nya.


“Kamu membencinya...,” Bapak X terlihat men ikm ati
raut muka Nadira yang berker ingat.
Nadira mulai m asuk ke dalam arena yang dibentangkan
Bapak X. Psikiater itu pasti cerdas dan licin. Seper ti tukang
sihir dalam dongeng anak-anak Han sel dan Gretel, yang
mem bujuk lidah anak-anak dengan r um ah gula-gula. Ba-
pak X tahu betul, ada sesuatu yang hitam dan membusuk di
dasar hati Nadira yang perlu dicungkil dan dikeluarkan.
“Cer itakan... bagaim ana kakakmu melolong waktu
menemukan ibumu tewas...”
“Bagaim ana Anda tahu dia melolong?”
Oh, betapa kilat-kilat m atanya menger jap bahagia.
Nadira terdiam , dan dia m asih bisa mendengar suara lo-
longan Yu Nina.
“Ibu selalu mengingin kan bunga ser un i...,” tiba-tiba
Nadira berbicara, lebih untuk dir inya sendir i.
“Ya...,” Bapak X seolah-olah paham , “kalau saya di-
ekse kusi nanti, saya juga sudah mempunyai per m intaan
khusus...”
Nadira seper ti tak lagi berada di r uangan itu. Dia su-
dah terlempar lagi ke dalam kehidupan nya tiga tahun silam ,
ketika dia menyer uak selur uh J akar ta untuk mencar i bunga
ser un i dem i ibunya.
“Ibu tidak m au bunga melati... dan Yu Nina ter us-me-
ner us melolong; menangis tersedu-sedu...,” Nadira meng-
ucapkan itu sembar i menerawang.
Bapak X perlahan tersenyum . Nadira sudah m asuk
da lam genggam an nya. Alangkah lezatnya. Bapak X me na-
han dir i untuk tidak menyentuh jar i-jar i Nadira, khawatir
Nadira terbangun dar i keasyikan nya.
“Aku tak per nah paham kenapa Ibu memutuskan untuk
m ati.”

118 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Ibumu pasti punya beban yang begitu berat..., kalau


tidak, dia pasti tak akan mungkin memutuskan untuk me-
n inggalkan ketiga anaknya yang sangat dia cintai... Kenapa,
menur utmu, kenapa dia memutuskan untuk pergi?”
Per tanyaan itu. Per tanyaan itulah yang selalu meng-
gang gu Nadira hingga detik in i. Per tanyaan yang membuat
Nadira bergelung di kolong meja ker janya setiap m alam .
Per tanyaan yang membuat Nadira tak ingin pulang untuk
me nemui ayahnya yang pasti duduk di depan televisi
dite m an i r ibuan nyamuk yang berdesing. Per tanyaan
yang mem buat Nadira bahkan tak beran i lagi mendekati
r uangan tem pat ibunya ditemukan tergeletak tiga tahun
lalu, tanpa nyawa. Per tanyaan yang mendesak-desak syaraf
keingintahuan Nadira, hingga Nadira kerap menjeduk-
jedukkan kepalanya ke dinding kam ar nya, karena rasa sakit
di ubun-ubun nya yang tak kunjung pergi. Per tanyaan yang
akhir nya mendorong Nadira untuk pindah ke tempat kos,
karena dia tak sanggup lagi tinggal di r um ah yang m asih
dihantui kenangan ibunya.
“Aku... tak per nah paham kenapa Ibu mengingin kan
bunga ser un i yang mengantar nya ke r um ahnya yang ter-
akhir,” suara Nadira mulai serak. Dia menahan tangis.
Bapak X menyentuh tangan Nadira. Dan kali in i Nadira
tidak menolak.
“Arom a bunga melati terlalu semerbak..., mem ang
tidak cocok dengan kepr ibadian ibumu...”
Nadira terdiam menahan air m atanya yang nyar is tum -
pah. Suara Bapak X men iup-n iup luka hatinya yang tengah
menganga.
“Bunga sedap m alam terlalu m istis...,” Bapak X meng-
ucapkan itu seper ti menyanyi.
“Nadira, mem ang bunga ser un i cocok untuk seseorang
yang...”

119 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

Nadira seper ti tersentak.


“Seseorang yang apa...?”
“Seseorang yang...” Bapak X sengaja memotong ka li-
m at nya; sengaja membuat Nadira sem akin m asuk dalam
ka m ar tidur im ajinatifnya.
“Apa?” Nadira hampir meledak.
“Seseorang yang lelah dengan dun ia... Seseorang yang
ingin pen siun dar i hidupnya...”
Suara Bapak X sangat lembut diatur seper ti satu bait
lagu. Dia mengucapkan itu sembar i memejam kan m atanya.
Dia sudah mencapai tingkat ekstase yang diingin kan nya.
Hanya dalam waktu dua detik, wajah Bapak X dihajar
sebuah tonjokan yang luar biasa keras.

***

Sinar m atahari pagi seperti tum pah-ruah m enyiram i ge rom -


bolan alam anda di kebun rum ah keluarga Suwandi.
Di bawah lindungan rer imbunan kembang kun ing itu-
lah Bram Suwandi ter tatih memer iksa anggreknya satu
persatu. Tepatnya anggrek m ilik alm arhum ah istr inya. Tara
me m arkir mobilnya di samping r um ah, dan dia bisa melihat
ayah Nadira yang hampir mencapai usia 70 tahun itu tengah
ber usaha membuat sisa hidupnya lebih berar ti: berbincang
dengan bunga-bunga pen inggalan istr inya.
Meski dia sudah senja, dan telinga kir inya sudah mu lai
tak ber fungsi dengan baik, Bram selalu punya in sting yang
jitu. Ada seseorang yang berdir i di belakangnya. Dia me no-
leh. Senyum nya mengembang perlahan.
“Selam at pagi, Pak...”
Tara menyalam i Bram Suwandi, war tawan veteran
yang sangat dikagum inya; yang memberinya inspirasi untuk
menjadi war tawan. Bram mempersilakan Tara duduk di kursi
kebun agar dia bisa menatap anggrek m ilik istrinya itu.

120 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Daun-daun nya sudah lam a tidak saya ber i m inyak...,”


Bram menggum am . “Mau kopi atau teh, Nak?”
“Ter im akasih, Pak... Saya bar u sarapan...”
Bram mengangguk dan mereguk kopinya, “Apa yang
saya bisa bantu, Nak? Nadira sudah tidak tinggal di sin i,
kan dia kos dekat kantor Tera... Akhir m inggu biasanya dia
ke sin i...”
“Ya..., saya tahu, Pak...”
Tara memperbaiki letak kursinya.
“Maaf mengganggu pagi Bapak... Nadira ser ing
mengatakan, pagi untuk Bapak adalah waktu menyapa
kebun...”
Bram ter tawa terkekeh-kekeh.
“Tidak apa-apa, Nak Tara...”
“Bagaim ana penulisan buku Bapak?”
Bram menggar uk-gar uk kepalanya yang m asih menyi-
sakan rambut yang m asih lum ayan tebal dibanding lelaki
tua seusianya.
“Belum saya pegang lagi... sejak...” Bram membersih kan
ke rongkongan nya, “m asih belum saya ter uskan lagi. Saya
juga bingung apakah pembaca m asa kin i m asih ter tar ik
dengan soal Malar i...”
“Penting, Pak..., mumpung beberapa tokohnya m asih
hidup dan Pak Bram salah satu war tawan yang menyaksikan
pe r istiwa itu.”
Bram mengangguk, meski wajahnya memperlihatkan
ke sangsian. Bukan sangsi pada ucapan Tara, tetapi pada
dir inya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nak?”
Tara ber pikir cukup lam a, hingga akhir nya dia memu-
tus kan langsung saja pada tujuan nya untuk datang.
“Nadira... menyebut seuntai tasbih m ilik ibunya...”
Bram menger utkan ken ingnya.

121 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

“Tasbih? Yang dar i kayu itu? Itu pember ian ayah saya
untuk istr i saya,” Bram tersenyum .
“Ya, Pak... Nadira bercerita tentang tasbih itu... Apa bisa
saya pinjam sebentar, agar Nadira memegangnya? Mungkin...
agar dia bisa... bisa tenang...”
Bram terdiam .
“Nadira m asih belum bisa tidur?”
“Hampir setiap m alam dia tidur di kantor..., di kolong
mejanya...,” Tara menjawab dengan suara agak bergetar.
Bram mengambil sebatang rokok dan menawarkan pada
Tara. Tara menolak dan mengucapkan ter im akasih. Dengan
suara rendah Bram mencer itakan di antara para sepupunya
yang ber jum lah 21 orang itu, Nadira—seper ti ibunya—yang
saat itu bar u ber usia enam tahun, selalu menolak mem atuhi
str uktur. Setiap libur, mereka diwajibkan belajar membaca
Quran, mendengarkan Kakek Suwandi bercer ita tentang
mukjizat para nabi. Bram ingat bagaim ana m ata puluhan
ke ponakan nya, para sepupu Nadira, yang membelalak men-
dengar kisah Nabi Musa yang membelah Laut Merah.
“Ayah saya bercer ita sembar i menggambarkan lautan
yang terbelah itu di papan tulis dengan kapur war na-war n i...
Fantastis...,” kata Bram mengisap rokoknya.
Tara tersenyum membayangkan gerombolan sepupu
Nadira.
“Tapi pasti ada satu kisah Nabi yang paling melekat di
hati Nadira...,” Tara menebak.
Bram tersenyum , “Waktu pelajaran membaca Quran,
Nadira tidur-tiduran di bale sambil membaca. Kadang-
kadang ketika para sepupunya tengah diceram ahi aqidah
oleh neneknya, Nadira ber m ain kem ah-kem ahan dengan
meng gu nakan kelambu m ilik nenek dan kakeknya. Ayah saya
mem biarkan dia melakukan apa yang diingin kan nya. Ibu
saya kurang suka dengan ketidakaturan Nadira, dan ser ing

122 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

se kali menegur istr i saya...,” Bram mereguk kopinya. “Tapi


ayah saya membiarkan Nadira dengan tingkah laku nya.
Gara-gara itu, ayah dan ibu saya ser ing berselisih pa ham ,
karena ibu saya sangat rapi dan percaya pada str uktur...,”
Bram mengisap rokoknya lagi dan menghembuskan nya
dengan tenang.
“Ayah saya bersikeras membiarkan Nadira berkembang
se suai alam . Karena setiap kali saat mereka diuji membaca,
ter nyata Nadira membaca dengan baik, dengan suara yang
merdu. Mem ang Nadira menolak mengenakan ker u dung
selendang saat mengaji, karena dia kepanasan dan se lur uh
kulitnya br untus saat berker ingat. Dengan ker ingat ber-
leleran itu, toh Nadira m ampu membaca surah Al-Baqarah
dengan begitu merdu, yang membuat selur uh r uangan
terdiam . Senyap.
“J adi ayah saya tak peduli kapan Nadira mempelajar i
itu semua, dia juga tak peduli apakah Nadira mengenakan
ker udung itu atau tidak, yang penting, dia bisa membaca
Quran...,” Bram mem atikan rokoknya.
“Dia menyukai kisah Nabi Chaidir...,” kata Bram lagi,
menjawab per tanyaan Tara.
Tara mengangguk dan entah mengapa, dia sendir i su-
dah menebak pasti kisah Nabi Chaidir itulah yang melekat
di hati Nadira.
“Di saat kam i salat ber jem aah pada bulan Ram adhan,
istr i saya duduk di belakang, menghor m ati, tapi tak ingin
ikut bergabung. Biasanya Nadira duduk di pangkuan ibunya,
pada hal badan nya sudah mulai liat dan ber isi, karena ser ing
lar i-lar ian atau m ain galah dengan anak Gang Bluntas...”
Tara m asih tak paham apa yang ingin disampaikan
ayah Nadira dengan kisah nostalgia m asa kecil in i. Tapi
dia sabar menunggu. Yang penting dia bisa melakukan se-
suatu yang bisa membuat Nadira kembali menjadi sosok

123 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

yang dikenalnya dulu. Ber tahun-tahun yang lalu. Sebelum


per istiwa...
“Saya tak per nah tahu apa yang dilakukan istr i saya
saat kam i salat. Biasanya saya menjadi im am bergantian
dengan ayah saya. Tetapi, suatu har i, saya datang terlambat
untuk salat tarawih. Waktu itu tahun 1968, Soehar to sudah
mengambil-alih pimpinan neger i ini. Setiap war tawan asing
m aupun lokal, term asuk saya, sedang mencar i cara agar bisa
menemui Bung Kar no yang ter isolasi saat itu. Gagal ter us.
Saat saya datang ke Gang Bluntas untuk salat, saya lihat
ayah saya sudah memulainya. Dan, seper ti biasa istr i saya
duduk di lantai, di atas tikar di r uangan yang sam a. Dia
memejam kan m atanya. Nadira saat itu duduk di sampingnya
sambil men idurkan kepalanya...”
Tara mem ajukan kepalanya.
“Istri saya memegang tasbih cokelat itu... dan dia kom at-
kam it... Saya yakin Nadira menerim a hembusan zikir itu ke
daun telinganya...”
Kali in i Tara yakin, dia melihat m ata tua yang berkaca-
kaca.
Tara ter ingat bagaim ana dia menemukan Nadira di
bawah kolong meja yang memejam kan m ata sambil kom at-
kam it.
“Mungkin... Mungkin jika Nadira memegang tasbih
ibu nya itu... dia akan bisa lebih tenang. Lebih ikhlas dengan
ke pergian ibunya,” kata Tara, penuh harap.
Bram menghela nafas. Dia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Tasbih itu tidak ada pada saya, Tara...”
Bram mengambil rokok dan kembali menawarkan ke-
pada Tara. Tara menolak sembar i mengucapkan ter im a-
kasih.

124 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Bram mengisap rokoknya dalam -dalam , dan dengan


suara bergetar dia menar ik Tara ke sebuah m asa yang pe-
nuh asap, ker ingat demon stran. Ketika J akar ta dikoyak-
koyak sejarah...

Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, 16 Januari 1974

Jarum jam sudah m enunjukkan puk ul t iga pagi.


Ary a m em berondong m asuk ke ruang tengah dan Kem ala
langsung m enjerit. Dia m em eluk anak lelak i kam i, sekaligus
m engguncang-guncang t ubuh Ary a sem bari berlinangan
air m ata. Berkali-kali Kem ala m em pertany akan dari m ana
dia sem alam an. Dari nadany a, Kem ala agak m eny alahkan
say a. Ket ika it u, Nina baru berusia 16 tahun dan Ary a
15 tahun; m ereka m asing-m asing duduk di kelas 2 dan 1
SM A. Nadira m asih di sekolah dasar dan dia m em puny ai
duniany a sendiri. Dia sedang asy ik m enulis cerita pendek,
m esk i say a tahu, dalam diam ny a, Nadira m em perhat ikan
t ingkah lak u kedua kakak ny a.
Kem ala tak set uju say a sudah berbagi cerita polit ik
pada anak kam i pada usia sedini it u. Say a m em ang sudah
m engajak m ereka berdisk usi tentang sit uasi polit ik y ang
tengah panas: partai-partai polit ik y ang sudah ditakluk-
kan, dom inanny a pem erintahan Orde Baru, k unjungan
Perdana Menteri Tanaka, soal penanam an m odal luar
negeri. Ist ri say a m enganggap inform asi sepert i it u terlalu
berat unt uk disangga anak-anak say a y ang seharusny a
m asih se kolah. Har i it u, tanggal 15 Januar i, ket ika say a
sibuk m e liput kerusuhan dem on st rasi dan pem bakaran
m obil-m obil buatan Jepang, say a baru tahu terny ata kedua
anak say a m enghilang sem alam an. It ulah y ang m eny e-
babkan Kem ala histeris.

125 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

“Say a cum a ik ut-ik utan m engem piskan ban m obil


buat an Jepang di daerah Menteng,”kata Ary a m enggaruk-
garukkan kepala sam bil m enggosok-gosok leherny a y ang
bersim bah peluh. Nina m enggosok-gosok kepala Ary a.
Bangga.
“Kam u! Kam u dari m ana?” Kem ala m enunt ut Nina
dengan suara y ang garang.
“Nina cum a ke Salem ba, Bu. Cum a ik ut ny any i dan
tepuk tangan dengan kakak-kakak m ahasisw a. Dengan
tem en-tem en sekolah.”
“Kam u ik ut t urun ke jalan?!!” suara Kem ala ham pir
m e rontokkan rum ah kam i.
Nina m enggeleng, “Hany a di Salem ba, duduk-duduk,
ik ut y el-y el...”
“Kam u bolos?”
“Tidak ada y ang sekolah hari ini, Bu. Kan dari pagi
sudah dium um kan ada dem o di m ana-m ana... Nina diajak
tem en-tem en.”
Kem ala sudah siap m eraung ket ika Nadira m endadak
m uncul dengan ram but aw ut-aw utan, m engenakan piy a-
m a dan m ata setengah terpejam . Dia agak heran m elihat
seluruh anggota keluargany a berk um pul tanpa diriny a.
“Da apa, Bu?”
“Tidur sana!” Nina m erasa terganggu karena t iba-
t iba saja perhat ian kam i terpecah.
“Sini...!”
Kem ala m enarik Nadira dan m engajak dia t iduran di
atas pangk uanny a. Nadira langsung saja tert idur kem bali
se telah Kem ala m engusap-usap alis m ata Nadira.
“Kita harus bersepakat bahw a t idak ada lagi anak-
anak Ibu y ang ik ut-ik utan t urun ke jalan sam pai kalian
m aha sisw a!” suara Kem ala lantang hingga Nadira y ang
sudah m em ejam kan m ata terbangun lagi.

126 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Bu!” Nina protes.


“Tidak ada taw ar-m enaw ar!”
Kem ala m enarik Nadira dan m engajak ny a kem bali ke
kam arny a. Nina dan Ary a m em andang say a dengan jeng-
kel. Say a diam -diam terseny um . Lalu k utepuk-tepuk bahu
Nina dan Ary a. Terus-terang say a bangga. Tapi Kem ala
tak boleh tahu bahw a say a gem bira.
“Sebentar lagi kalian k uliah... Sabarlah.”

***

“Saya selalu merasa mengecewakan Nina..., ter utam a


karena ketika dia lahir, kam i tak mem iliki apa-apa; kam i
hidup dengan keuangan yang sangat terbatas saat kam i di
Am sterdam ,” Bram mengambil rokoknya lagi.
Tara m asih belum m ampu menghubungkan cer ita itu
dengan per tanyaan nya.
“Tasbih itu saya ber ikan pada Nina. Setelah Kem ala
pergi, roh anak-anak saya seper ti ikut bersam anya. Saya
pun juga seper ti tak punya guna...,” suara Bram terdengar
serak. Ia mencoba menghalangi air m atanya yang akan
tum pah. “Saya merasa, Nina paling membutuhkan tasbih
ibunya. Saya tahu Ar ya dan Nadira selalu kuat; selalu bisa
me ngatasi luka kehilangan ibunya.”
Tara mengangguk, setengah paham .
“Di m alam 15 J anuar i itu, saya tahu betul: Nina ingin
se buah pengakuan dar i saya. Sedangkan Ar ya lebih ter tar ik
oleh gairah suasana yang heroik. Tapi Nina... Nina selalu
mem butuhkan pengakuan.”
Kin i Tara mengangguk dalam -dalam .

***

“Tulang hidung yang r usak; m ata yang lebam ... dan se-
buah som asi!”

127 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

Tara duduk di hadapan Nadira. Setengah putus asa.


Gadis muda itu sudah mendadak tua; ter utam a sejak
ibunya begitu saja pergi. Dia bar u ber usia 32 tahun; dan
ada kemungkinan dia mem ilih tidak men ikah sam a sekali.
Tetapi di m ata Tara, Nadira sudah ber usia 45 tahun. Ling-
karan hitam di bawah m atanya; segerombolan ker ut yang
tiba-tiba menyerbu dahinya tanpa diundang. Dar i m ana ke-
tuaan itu datang?
“Saya tidak akan m inta m aaf.”
Tara sudah tahu Nadira akan menyodorkan kalimat itu.
“Pasti sebentar lagi Mas Tara akan mengatakan, saya
kan sudah bilang, jangan menger jakan penugasan itu...”
Tara menyeret kursinya dan duduk begitu dekat dengan
Nadira yang sedang dikelilingi api dan asap kem arahan.
“Som asi itu akan dicabut kalau kau m inta m aaf.”
“Saya tidak takut dituntut ke pengadilan.”
“Yang bilang kamu takut, siapa?”
Nadira terdiam .
“Nadira..., kamu tahu berapa kali aku menemukan mu
me r ingkuk di bawah kolong meja ker jamu? Tidak tidur;
kamu cum a memejam kan m ata.”
Nadira menelan ludah.
“Apa hukum an saya, Mas? Potong gaji? Tidak boleh me -
liput dua bulan? Saya akan jalan i.”
“Apa yang membuat kamu lepas kontrol?”
“Dia menghina Ibu.”
Tara menger utkan ken ing, “Menghina ibumu?”
“Pokoknya dia menghina Ibu!”
Tara menahan dir i untuk tidak menyemprot Nadira.
In i bukan waktu yang tepat.
“Kamu har us menulis ber ita acara yang lengkap dan
r in ci tentang semua kejadian; apa yang dia katakan; apa yang
dia lakukan, men it per men it; tran skr ip semua wawancara

128 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

ka lian. Lalu difotokopi untuk Pem impin Redaksi, Redaktur


Eksekutif, bagian Legal, dan saya.”
“Ya, Mas...”
Nadira m asih duduk, menanti von is hukum an nya. Tara
mengorek-ngorek tumpukan m ap penugasan nya. Terlihat
sibuk atau pura-pura sibuk. Yang jelas gerak-ger iknya yang
terasa lamban itu membuat Nadira ingin sekali menem pe-
leng dia. Toh dia sudah menonjok satu orang gila; kenapa
tidak sekalian dia tempeleng atasan nya yang susah betul
meng ucapkan satu bentuk hukum an, agar siksaan itu se-
lesai: mengepel kakus; puasa menulis dua bulan; tak boleh
me me gang liputan tiga bulan; duduk menyor tir surat di
meja sekretar is enam bulan; atau potong gaji? Ayo. Lempar
hu kum an itu sekarang juga.
Nadira hanya menatap Tara, dan Tara tetap terlihat
sibuk mengorek-ngorek tumpukan m ap di atas meja. Nah,
akhir nya dia menemukan apa yang dicar inya, lalu dia mem -
ber ikan nya pada Nadira: Penugasan Wawancara.
Nadira ter perangah.
“J angan girang dulu. Itu hukum an mu yang per tam a.
Nanti ada serangkaian hukum an ber ikutnya. Apalagi kalau
kamu tidak m au m inta m aaf, kita akan menghadapi tun-
tutan Bapak X. Tapi saya kira, in i akan berakhir dam ai.
Nanti sore kamu har us menghadap Pem impin Redaksi. Biar
be liau saja yang meyakin kan kamu untuk m inta m aaf.”
Nadira berdir i.
Sebelum melangkah, dia mendengar Tara mem ang-
gilnya. Kali in i dengan suara yang lebih netral, seolah-olah
ke m arahan nya sudah mulai menguap.
“Aku ada sesuatu untukmu...,” Tara mengambil seikat
bunga ser un i ber war na putih dar i laci. “Aku tak berhasil
me nemukan tasbih ibumu...”
“He?”

129 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

“Bawa saja...”
Nadira mener im a seikat kembang itu dan menatapnya,
m asih tak percaya. Lalu dia mencabut tiga tangkai ser un i
dan mem asukkan nya ke dalam ran selnya.

***

Nadira berdiri di m uka rum ah itu, rum ah di pojok ka was an


Bintaro. Yang selalu m elahirkan skenario baru da lam be nak-
nya. Ternyata rum ah ini adalah istana m ilik Tito Putranto.
Nadira m enahan nafas. J adi Tito Putranto ingin kita sem ua
m engetahui bahwa ia m em punyai rum ah ber tingkat em pat
yang disangga tiang-tiang yang tinggi dan tebal; dia juga
ingin kita sem ua tahu bahwa dia m em iliki m otorboat dan
m otor-m otor besar yang konon harganya m e lebihi harga
m obil itu.
Nadira bar u menyadar i, pem ilik r um ah yang selalu
mem buat dia menyetop per jalanan nya itu, ter nyata seorang
pe ngusaha ter kemuka di neger inya yang dikenal sebagai sese-
orang yang mem iliki puluhan per usahaan proper ti (untuk
ter nak uangnya), mem iliki beberapa ban k (untuk mencuci
uangnya), dan gem ar m ain di pasar uang. Pengusaha yang
ter kenal sebagai ter m inal terakhir pem injam an duit jika
ban k sudah sekarat karena pendarahan: pengusaha yang
dikenal per nah menyiksa salah satu ban kir yang ter lambat
mengembalikan pinjam an kepadanya; atau per nah juga
ada bisik-bisik bahwa dia menggelantung pacar anak nya di
balkon lantai 17, dengan kaki di atas dan kepala melayang-
layang; kaki siap dilepas dar i genggam an jika dia tidak
ber janji men inggalkan anak sang konglomerat. Tito yang
dikenal mem iliki ratusan orang yang ber fungsi sebagai pa-
sukan pengam anan pr ibadinya; yang konon dilatih me lebihi
kesigapan pasukan khusus m iliter di Indonesia.
Seorang lelaki yang mengenakan safar i hitam mem -

130 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

bukakan pintu dan mempersilakan Nadira m asuk.


“Bapak sudah menunggu, silakan m asuk.”
Nadira melangkah perlahan, karena dia ingin “me-
motret” halam an depan. Oh, patung Napoleon itu, Nadira
har us, har us menyentuhnya. Napoleon Putranto itu berdir i
dengan gagah perkasa menghadap jalanan dikelilingi tujuh
orang bidadar i (entah bagaim ana ada perkawinan antara
kisah J oko Tar ub dan Napoleon). J ika bidadar i dalam kisah
J oko Tar ub kehilangan selendang; di sin i ketujuh bidadar i
tampak mengagum i tubuh Napoleon Putranto. Dar i ketujuh
bidadar i yang duduk di pinggir, ada salah satu bidadar i
mem bawa tempayan yang memuncratkan air m ancur ke se-
lur uh penjur u.
Nadira menghampir i salah satu bidadar i m alang pem -
bawa tempayan itu, dan mencuci tangan nya.
Kemudian dia melangkah m asuk. Prajur it bersafar i
hitam tadi membawa Nadira ke dalam lorong-lorong pan-
jang yang akhir nya ber ujung pada sebuah r uangan besar
ter tutup beratap tinggi penuh ukiran keem asan yang me-
lin dungi sebuah kolam renang yang bir u, luas, dan tenang.
Di sebelah kir i kolam renang, Nadira melihat sebuah tubuh
tengah membelah kolam bir u itu menjadi dua dengan gaya
bak dolfin yang lincah, naik-tur un, naik-tur un, naik-tur un.
Dengan sekejap sang Dolfin sudah tiba di pinggir ko-
lam renang. Kepalanya yang basah muncul dan dia segera
mem buka kacam ata renangnya.
“Nadira? Hai...,” Tito segera meloncat naik ke pinggir
kolam renang.
Nadira tersenyum mengangguk, dan tidak tahu apakah
dia har us tetap berdir i menyaksikan sang Dolfin mengibas-
ngibas air dan mem amerkan dadanya yang tegap, atau dia
duduk saja di rentetan kursi besi di pinggir kolam renang.
Dalam sekejap, entah dar i m ana datangnya, tiga orang me-

131 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

nyodorkan handuk, membantu sang Dolfin mengenakan ki-


mono handuk ber war na bir u dengan pinggir keem asan; se-
buah tangan lain lagi menyodorkan sepasang sandal r um ah
ber war na bir u dengan sulam an em as ber in isial TP.
“Duduk saja dulu, Nad... Saya ganti baju dulu ya...”
Nadira mengangguk dan kemudian mem ilih salah satu
kursi besi. Dia mem andang air kolam renang bir u yang me-
nam pilkan dasar kolam yang terbuat dar i mozaik keram ik
yang membentuk hur uf TP. Nadira mulai membayangkan
ba gaim ana para peker ja keram ik yang m alang dihardik
untuk menghasilkan hur uf TP itu dengan saksam a dan rapi
seper ti itu. Kepala Nadira ikut m ir ing mengikuti hur uf T
yang melingkar-lingkar ber pelukan dengan hur uf P dengan
presisi yang mengagum kan. Pada saat itulah cu ping Nadira
mengembang karena arom a par fum se gar yang menyerbu.
Nadira mengangkat kepalanya. Tito Putranto sudah berdir i
di sampingnya. Tersenyum . Dia kin i mengenakan celana
hitam dan kemeja putih.
“Suka renang?”
“He?”
“Ayo..., kita pindah ke dalam ...”
Kali ini mereka mem asuki sebuah r uang duduk sebe sar
lapangan bola. Tiba-tiba saja Nadira diserbu warna em as yang
menyilaukan m atanya. Belum pernah dia melihat tembok
yang dipenuhi ukiran em as yang begitu banyak. Kali in i
dia melihat lukisan wajah Tito Putranto yang dicangkokkan
ke tubuh Napoleon Bonapar te. Lukisan seluas dinding itu
dibingkai ukiran yang ker iting, lagi-lagi, ber war na em as.
“Oh, itu cat em as mur n i...,” kata Tito menanggapi
Nadira yang tengah menatap bingkai itu dengan takjub.
Nadira m asih menganga. Em as. Dia membayangkan para
peker ja yang mengukir bingkai yang terbuat dar i em as
mur n i itu pasti senewen betul; bayangkan jika ter jadi setitik

132 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

kesalahan, bukan kah itu em as mur n i?


“Ayo... duduk, duduk Nadira. Mau kopi, teh, juice? Atau
air m ineral?”
Nadira duduk di kursi, berhadapan dengan Tito yang
duduk di sofa berselimut beludr u bir u keem asan. Di bela-
kangnya, ter pajang lukisan Napoleon ber wajah Tito. J adilah
Nadira merasa sedang berhadapan dengan dua sosok Tito.
Yang mengenakan celana panjang hitam dengan kemeja pu-
tih dan yang mengenakan seragam Napoleon. Se orang ga dis
berkulit bersih, ber m ata ben ing dan berlesung pipit, ber usia
sekitar 20 -an, mengenakan rok den im m in i dan t-shirt
dengan ukuran satu nomor kekecilan, berdir i di sam ping
Nadira. Nadira menengadah dan tidak tahu kenapa gadis
ber lesung pipit dan t-shirt kekecilan itu menatapnya. Tito
ter senyum .
“Saya m au latte saja..., kamu m au apa, Nad?”
“Oh... Kopi hitam saja, Mbak...”
“Tessa, nam a saya Tessa...,” si lesung pipit tersenyum
m an is.
“Ter im akasih, Tessa,” kata Nadira setengah linglung.
“Cream or m ilk?” tanya Tessa dengan suara seper ti
suara pramugar i di atas pesawat.
Nadira menger utkan ken ing, lalu menggeleng.
“Sugar?” Tessa ber tanya lagi. Nadira menggeleng. Si
Lesung Pipit melenggang menghilang.
“Nah, Nadira..., apa yang saya bisa bantu? Katanya
kamu ingin mengetahui kasus saya dengan Anto J anuar?
Semua ke terangan pengacara saya tidak cukup?”
“Begin i, Pak Tito...”
“Tito saja...”
Nadira menelan ludah. ”Eh, ya... Begin i... keterangan
Pak Er win semuanya nor m atif. Saya membutuhkan yang
lebih r inci sebetulnya; dan saya mengharapkan Pak Tito...”

133 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

“Tito...”
“Ya, saya mengharapkan Anda bersedia terbuka dan
be ran i menjawab apa adanya...”
Mata Nadira yang bulat bercahaya menantang Tito
Putranto; konglomerat muda yang tak bisa ditantang. Dia
ter senyum .
“Shoot y our quest ion!”
“Per tanyaan saya sederhana sekali. Apa yang sebetulnya
ter jadi pada tanggal 19 Mei jam 11 m alam di kantor Anda
lantai 17?”
Tessa datang bersama nampan, lengkap dengan se cang-
kir kopi latte, secangkir kopi hitam , dan sepasang le sung
pipit.
“Ter im akasih, Mbak...,” kata Nadira mener im a kopi
hitam itu.
“Tessa...,” si Lesung Pipit mengoreksi Nadira.
“Ah, ya... Ter im akasih, Tessa.”
“Saya selalu ingin semua pelayan saya orang-orang
yang bersih, cantik, dan terdidik,” kata Tito menatap Tessa
yang melenggang, menghilang dar i r uangan em as itu.
“Nah, jawaban dar i per tanyaan mu tadi, sederhana
saja...,” Tito tersenyum , “J anuar sudah mempunyai per janji-
an legal dengan per usahaan saya untuk mengembalikan
pin jam an ser ta bunga secara ber tahap. Sudah jatuh tempo
enam bulan yang lalu, kam i hanya member i per ingatan...”
“Dengan menggelantung tubuhnya terbalik di balkon,
seper ti seekor kelelawar yang sedang gelayutan di pohon?”
Terdengar ledakan tawa Tito. Terbahak-bahak.
“Kamu cerdas... Kamu sungguh cerdas... Kelelawar yang
gelayutan..., itu sebutan yang jitu,” Tito ter pingkal-pingkal
hingga air m atanya menyembul dar i ujung m atanya.
Nadira menggar uk dagunya yang tidak gatal.

134 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“J adi J anuar mem ang digelantung dengan kaki di


atas, kepala di bawah di balkon lantai 17 kantor Anda?”
Nadira mem ajukan tape recorder-nya, “Pengacara Anda
menyangkal...”
“Ah, dia kan har us menger jakan per intah saya... Saya
mem bayar dia begitu m ahal, m asakan tidak bisa mengusir
per kara sepele seper ti in i...”
Nadira diam . “Apa yang ter jadi?”
Tito tersenyum . “Har us ada tiga orang yang memegang
satu kakinya. J anuar lelaki yang sangat kuat. Dia juga gem ar
berenang dan jogging seper ti saya. Bedanya, dia juga senang
m ain golf. Buat saya, golf itu olahraga untuk pem alas. Lihat...,
saya tak punya per ut kan?” Tito menunjukkan tubuhnya
yang tegap dan atletis dan menepuk-nepuk per utnya yang
keras. Nadira terkesiap. Bukan karena acara pamer tubuh
itu; tetapi karena Tito dengan santai mem amerkan metode
penyiksaan nya.
“Setelah dia akhir nya menyebut nomor account gun-
dik nya yang ber isi segudang duit, bar u kam i bebaskan
J anuar. Dia mem ang licin; dan belut seper ti dia har us di...,”
Tito menggebrak meja, “hajar!”
J antung Nadira hampir meloncat keluar dar i dadanya.
Tito tersenyum lagi.
“Akhir nya, hanya dalam waktu 10 men it, selur uh
pinjam an lengkap dengan bunganya kembali... Beres!!
Ter us-terang dia juga menawar i saya untuk mem akai gun-
diknya. Tapi saya m alas. Saya tidak selera dengan yang
montok...”
“Soal tuntutan J anuar yang lain...,” Nadira segera me-
mo tong kalim at Tito yang sudah mulai kacau, “J anuar me-
nga takan penyiksaan itu juga menyebabkan kedua tangan-
nya patah; kepala gegar otak dan m ata kir inya nyar is buta

135 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

karena habis diinjak? Itu kan ar tinya ada proses pe nyiksaan


sebelum nya?”
“Oooh, itu bukan tanggung jawab saya. Mungkin dia
ke seleo atau ketabrak pohon sesudah dia membayar ke wa -
jiban nya pada saya. Waktu dia pulang dar i per temuan kam i,
dia baik-baik saja. Saya hanya ber tanggung jawab soal gaya
kelelawar tadi...,” Tito kembali ter tawa, “Itu bagus juga se-
butan mu... Lain kali saya akan menggunakan istilah itu.”
“J adi, yang Anda lakukan m alam itu hanya meng ge-
lan tung...”
“Oh, bukan saya, yang melakukan itu anak-anak buah
saya. Malam itu saya nonton sepak bola.”
“Iya, m aksud saya...,” darah Nadira mulai naik ke ubun-
ubun melihat betapa dingin nya bandit in i, “J anuar disiksa
oleh ketiga orang sur uhan Anda, atas per intah Anda...”
“Bukan disiksa..., hanya diber i pelajaran agar dia meng-
hor m ati per janjian kam i!” Tito mengoreksi kalim at Nadira
seper ti seorang gur u Bahasa Indonesia memperbaiki kali-
m at mur idnya.
Nadira ingin sekali menyemprot wajah Tito dengan
selang air yang bergelung-gelung di kebun nya yang sangat
luas itu.
“Begin i, Nadira..., ada empat hal yang orang har us ingat
ka lau berhadapan dengan saya. Per tam a, jangan per nah se-
kalipun mengingkar i kesepakatan yang telah dibuat dengan
saya; kedua, jangan per nah membohongi saya dan ketiga,
jangan mengkhianati saya. Kalau ketiga hal in i dilanggar,
me reka semua sudah tahu akibatnya. Tetapi saya tak akan
per nah membunuh. Itu kr im inal.”
Nadira menger utkan ken ing. Menyiksa itu boleh, mem -
bunuh itu tindak kr im inal.
“Yang keempat...?”

136 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Yang keempat...,” Tito berdir i. Sebuah pintu, yang


menghu bungkan r uang em as itu dengan r uang lain, mem -
buka diri. Seonggok tubuh tua yang bungkuk duduk di atas
kur si roda, meluncur menghampirinya. Tito mendekati kursi
roda itu dengan takzim dan mencium tangan orang itu.
Nadira yakin selur uh tubuh perempuan itu seolah dise li-
muti selembar kulit penuh ker ut. Rambutnya seputih sal-
ju disanggul ke be lakang. Nadira mengira-ngira, usianya
mungkin sudah men capai 90 tahun. Tidak salah, tidak lain,
in ilah ibunda Tito.
Setelah Tito mencium kedua pipinya dengan lembut,
dia membiarkan suster yang mendorong kursi roda sang ibu
membawanya ke luar r uangan.
“Keempat..., aku hanya akan membunuh mereka yang
beran i menghina ibuku...”
Tito Putranto mengucapkan kalim at itu sembar i me-
m an dang ibunya yang tengah meluncur di pinggir kolam
re nang. Selajur cahaya m atahar i menyelinap melalui gelas
kaca yang menaungi sebagian atap kolam renang. Nadira
melihat dengan jelas: m ata Tito berkilat-kilat. Kali in i dia
tidak ber gurau.
“Ibuku adalah sumber kekuatan ku...,” katanya dengan
nada teatr ikal.
Nadira menelan ludah. Tiba-tiba saja suara Bapak X
yang merdu itu kembali menggaung di telinganya.

***

Tara m enjenguk kem bali ke kolong m eja itu. Kali ini Nadira
m eringkuk dengan m ata yang m asih terbuka. Tara m elihat
jejak air m ata di pipi Nadira, sem entara jari-jarinya sibuk
m encabut setiap helai bunga seruni pem berian Tara.
Bibirnya kom at-kam it tanpa suara. Sem ula Tara berniat

137 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tasbih

m enegurnya. Tetapi belakangan dia m enyadari: Nadira tak


berada di situ bersam anya. Dia berada di alam lain bersam a
m antra yang diucapkannya pada setiap helai seruni itu.

****

J akar ta, 4 J un i 20 0 9

138 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

CIUMAN TERPANJANG

TIBA-TIBA saja Niko menghampir i perempuan itu. Dia me -


ngenakan gaun putih dan berdir i sendir ian di pojok r uang-
an seper ti sebatang patung yang terbuat dar i lilin. Entah
ba gaim ana, r uangan yang penuh sesak oleh sekitar ser ibu
tamu resepsi perkawinan itu—perkawinan anak pe jabat
yang ter paksa mereka hadir i—hampir terlihat se per ti se ge-
rombolan sosok kelabu yang tidak penting. Kegiatan mereka
berhenti, seperti dalam sebuah adegan ilm yang dihentikan
oleh satu tombol jeda. Niko Yuliar adalah satu-satunya
sosok ber war na yang bergegas melintasi r uangan dan
menyambar tubuh perempuan itu; perempuan yang pipinya
penuh jejak air m ata. Niko mengambil pipi perempuan
yang sudah lam a ingin dia usap. Sebelum seisi r uangan itu
sempat mengeluarkan bunyi desis, sebelum seisi r uangan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

diizin kan bergerak, Niko melakukan sesuatu yang dia


ingin kan sejak kali per tam a dia ber temu dengan nya. Dia
mencium bibirnya. Sebuah cium an yang panjang, yang tak
member i kesempatan bagi perempuan itu untuk bernafas.
Sebuah cium an yang ter us-mener us; cium an yang begitu
dalam hingga menancap ke tulang-belulang, ke sum sum ,
dan akhir nya ke jantung hati sang perempuan. Cium an
yang membuat patung lilin yang semula terdiam kaku itu
ke mudian meleleh dan membentuk dir inya sesuai yang di-
ingin kan kedua tangan lelaki itu. Patung lilin itu menjelm a
men jadi setangkai Nadira yang menyerahkan selur uh isi tu-
buhnya kepada lelaki yang begitu beran i.
Pada saat itu, dun ia betul-betul berhenti; seolah mem-
be r ikan kesempatan kehidupan bagi pasangan bar u in i.

***

Tara m elongok ke kolong m eja Nadira. Ajaib. Bersih. Licin.


Tak ada sebutir debu pun yang berani bertengger di situ.
Satim in pasti bahagia sekali karena dia bisa m enyapu dan
m engepel kolong m eja ini dengan baik, tanpa harus m e ng-
usir em punya m eja.
“Mbak Nadira sedang m akan di kantin. Tadi sam a m as
yang…”
“Ya, ya, ya.”
Tara memotong penjelasan Satim in. Sudah jelas dia tak
ber m inat mendengar nam a itu.
“Orangnya tinggi, besar, ganteng, dan…”
“Ya, Mas…”
“Dan rajin m engantar Mbak Dira…”
“Ya, ya….”
Tetapi Satim in nam paknya asyik dengan kekagum an-
nya sendiri. Dia tak paham bahwa tingkat kem asam an

141 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

wajah m ajikannya sudah m encapai titik puncak. Artinya,


Tara harus pergi meninggalkan Satimin yang kelihatannya
ikut berbahagia m enyam but perubahan yang terjadi pada
Nadira.
Hidup Nadira m em ang tengah berwarna m erah jam bu.
Kolong m eja kerjanya kini bersih, karena Pak Satim in
dengan m udah bisa m enyapu dan m engepel. Nadira sudah
lam a tak bergelung di sana. Hidup Nadira m enjadi m erah
jam bu, karena dia kini tidur teratur dan bangun dari tem pat
tidur yang nyam an dengan dua buah bantal dan satu
guling yang setia m em berinya kehangatan. Dia m ulai rajin
m em buat sarapan dan hidup sehat seperti para perem puan
“norm al” lainnya yang m andi dan berdandan, m engenakan
pem oles bibir dan sedikit bedak dan m inyak wangi segar;
yang m engenakan jins dan kem eja terbaiknya setiap hari,
lalu m elangkah di udara. Tara m engetahui itu; seluruh
kantor m engetahui itu. Nadira kini tak lagi m enyeret-nyeret
kakinya seperti seorang narapidana yang kakinya ditahan
se buah bola besi. Kaki Nadira kini m enjadi ringan, se ringan
kapas, seringan hatinya, setelah em pat tahun dia m e rasa
ditindih sebuah batu yang m em buat ia tak m am pu ber-
nafas.
Tara bisa melihat itu. Seluruh isi kantor bisa melihat itu.
Itulah sebabnya Tara tak ingin mempersoalkan hu bung-
an Nadira dengan lelaki yang nampaknya mampu meng-
angkat batu yang selama bertahun-tahun menindih hati
Nadira.
“Saya m inta cuti, Mas...”
Akhirny a, akhirny a dia m inta cuti. Setelah bertahun-
tahun aku m eny uruhny a untuk cuti sejak kem atian ibuny a,
baru sekarang dia m erasa butuh untuk cuti dari kantor
dan m eninggalkan kolong m ejany a y ang sudah busuk itu.
Nadira m enyodorkan dua halam an form ulir warna kuning,

142 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

form ulir cuti. Tara m engam bil form ulir cuti itu dengan eng-
gan, tetapi dia juga agak lega. Karena itu artinya dia tak
per lu m elihat lelaki itu, lelaki yang sangat dikenalnya itu,
men jemput Nadira setiap malam. Tara mengambil bolpen
dari sakunya, dan tiba-tiba dia m em baca sebuah kata dalam
form ulir itu yang m em buat tubuhnya m em batu.
“Cuti... m enikah?”
“Ya, Mas...”
Tara menatap wajah Nadira. Dia melihat danau kem-
bar itu berkilat-kilat, bercahaya. Nadira kelihatan begitu hi-
dup dan begitu bahagia. Tara m enelan ludah. Dia m e nan-
datangani form ulir itu dengan jari yang sedikit ge m etar, lalu
m eninggalkan kertas kuning itu di atas m eja.

***

Arya tengah m em baca, atau tepatnya m enatap buku karya


Nurcholis Madjid. Tetapi matanya tak bisa beranjak dari
kata yang sam a. Buku yang selam a beberapa hari terakhir
ini berhasil m eringkus per hatian Arya kini hanya se per-
ti lautan kata, kata, kata... Perhatian Arya kini ada pada
adik bungsunya. Adiknya m em utuskan untuk m enikah.
Seharusnya Arya ikut berbahagia, karena akhirnya Nadira
berhasil m enem ukan kebahagiaannya di usia 33 tahun. Dia
akan m enikah dengan Niko Yuliar, lelaki berusia 39 tahun.
Arya memandang Nadira yang tengah memberes-beres-
kan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam kotak
kar dus. Sejak Nadira pindah ke tempat kos dekat kan tor-
nya, ia hanya m em bawa baju dan beberapa buah buku
saja, karena kam ar kosnya terlalu sem pit. Tetapi kini, m en-
jelang pernikahannya, Nadira dan calon suam inya be ren-
cana pindah ke sebuah rum ah Niko Yuliar yang asri, yang
kebetulan terletak tak jauh dari Bintaro; dekat dengan ru-
m ah keluarga Suwandi.

143 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

Nadira m em isahkan buku-buku yang akan dibawanya


ke rum ah cinta bersam a Niko. Buku-buku itu dicem plung-
kan ke dalam kardus berlabel N N . Huruf NN itu kem udian
dilingkari dengan gam bar hati. Arya jadi sakit perut. Sejak
kapan adiknya senang m enggam bar hati?
Dan lihat itu, buku-buku m alang yang dielim inasi
dari hidup Nadira, dim asukkan ke dalam kardus berjudul
Gu d a n g . Setiap kali Nadira m encem plungkan buku-buku-
nya ke dalam kardus, darah Arya terasa bergerak sem akin
deras.
“Nad...”
“Ya...”
Arya m encoba m encari kalim at yang tepat. Kata,
kata, kata. Kenapa kata-kata justru sering m engaburkan
m akna.
“Mem angnya m au langsung pindah?”
“Ya, barang-barang sebaiknya dipindah dari sekarang,
jadi habis akad nikah, bisa langsung beres.”
“Hm ... Nad...”
“Ya?”
“Nad, berhenti. Kang Arya m au tanya sesuatu.”
Nadira m enghentikan kesibukannya. Abangnya ter de-
ngar serius.
Kata, kata, kata...
“Nad..., kam u sudah cukup m erasa kenal dengan Niko?
Sudah m erasa yakin?”
Nadira m erasa heran dengan pertanyaan abangnya.
“Aku kira Kang Arya akan ikut senang.”
“Pasti, pasti Akang ikut senang kalau kam u bahagia.
Tapi Akang hanya m au pasti betul..., kam u sudah m antap
dengan Niko?”
Nadira tertawa dan m eneruskan m em bereskan buku-

144 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

buku. Virginia Woolf, Sylvia Plath, Anne Sexton, kenapa be-


gitu banyak sastrawan yang m em utuskan bunuh diri? Nadira
m enyingkirkan buku-buku itu dan m encem plungkannya ke
dalam kardus yang diberi label Gu d a n g .
“Itu sem ua karya-karya kesukaan Ibu!” Arya ham pir
m en jerit.
“Ya, tapi hidupku m enjadi gelap m em baca karya m e-
reka. Aku tinggalkan saja di sini, Kang.”
“Tapi itu karya-karya yang penting untuk kam u.”
Nadira sem akin sem angat m encem plungkan buku-
buku yang dianggap m am pu m enyurutkan hatinya m enjadi
kelam itu. Dia tam pak yakin ingin m enguburkan buku-buku
itu ke dalam kardus besar berjudul Gu d a n g . Dia tak peduli
jika m ata Kang Arya bakal m enggelinding. Lebih-lebih
ketika Nadira ikut m encem plungkan biografi Vincent van
Gogh sebagai korban penggusuran berikutnya. Arya ham pir
tak bisa bernafas. Bagaim ana bisa adiknya yang m e m ajang
serangkaian karya Van Gogh yang dibuat dalam ben tuk
poster yang dibelinya di Museum Tropen Am sterdam itu
kini m engubur sem uanya ke dalam gudang?
“Pokoknya sem ua senim an yang selam a hidupnya
ha nya penuh dengan depresi sebaiknya m enjauh dariku.
Aku ingin m elihat m atahari. Aku ingin m elihat hidup yang
sesungguhnya.”
Arya m enggaruk-garuk dagunya. Dia sem akin tak m am -
pu ikut bergem bira m elihat adiknya yang tengah m elalui se-
buah pencerahan.
Plung, plung, plung. Buku-buku sastrawan Rusia sem ua
dicem plungkan ke dalam kardus elim inasi.
“Apa pula dosa Tolstoy, Chekov, dan Dostoyevsky?”
“Oh, m ereka tidak salah apa-apa, cum a Niko benar. Pe-
nulis Rusia sering bertele-tele, meski tema karya-karyanya

145 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

memang penting. Anna Karenina?” Nadira mengacungkan


novel yang luar biasa tebal itu, “kata Niko sebaiknya
digunakan untuk m engganjel kaki m eja yang tak rata,”
Nadira ter kekeh-kekeh.
“Oh. J adi penulis m ana yang m enurut dia hebat?”
Arya tak bisa m enyem bunyikan nada sinis dalam
suaranya.
Nadira tak m endengar atau pura-pura tak m endengar.
Dia sibuk m enyeleksi beberapa buku yang sudah jelas tak
disukai Niko.
“Robert Browning, minggir. Keats, minggir. Semua J ane
Austen minggir, minggir, minggir. Apalagi Charles Dickens
dan Thom as Hardy, m inggir saja. Nah, T.S. Eliot dan J oseph
Brodsky akan aku bawa. Milan Kundera, Octavio Paz, se la-
m at datang ke rum ah baru.”
“Dengan kata lain, Niko tidak m enyukai karya klasik
abad 19,” Arya m enyim pulkan. Dingin.
“Sebetulnya bukan begitu...,” suara Nadira tetap riang,
sam a sekali tidak m em perhatikan nada suara Arya, “m enu-
rut Niko, beberapa karya sastra Inggris abad 19 sering
m em buat pem ikiran m acet. Persoalan utam a dalam karya
m e reka adalah m encari jodoh dan harta. Dan Kang Arya...
Aku yakin, sebelum para penulis era Victoria itu m em buat
se buah novel, m ereka sudah m em buat sem acam diagram ,
di m ana setiap bab akan ada kejutan versi opera sabun. Si
A ternyata anak dari hubungan di luar nikah antara se orang
tuan tanah dengan pelayannya; atau si B ternyata m em -
punyai hubungan gelap dengan sepupunya sendiri... Sem ua
seluk-beluk perselingkuhan dan hubungan gelap selalu men-
jadi masalah di setiap bab. Masalah perbedaan kelas dan
revolusi industri akhirnya semakin kabur.”
Ini pendapat yang sungguh klise. Nadira tak perlu

146 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

m engutip Niko kalau cum a m au m em aparkan kelem ahan


novel era Victoria. Sem ua orang yang m em baca novel era
Victoria akan tahu risikonya. Sebetulnya Arya setuju dengan
pendapat itu. Tetapi karena Nadira m engutip Niko—seolah
adiknya yang luar biasa cerdas itu m enjelm a m enjadi orang
dungu karena bertem u lelaki tam pan seperti Niko—m aka
Arya m erasa itu pendapat yang konyol.
Kini tum pukan kaset-kaset kena giliran penggusuran.
Genesis, ikut. Yes, ikut. Led Zeppelin, tentu saja. Rolling
Stones, apalagi. Sem ua kaset itu dim asukkan ke dalam
kardus “rum ah cinta”. Lalu selebihnya dielim inasi. Queen,
Tears for Fears, dan sem ua band tahun 1980 -an. Tunggu
dulu.
“Apa pula dosa Queen?”
“Niko suka tertawa kalau aku pasang Queen...,” Nadira
m engangkat bahu, “dia bilang suara dan gaya Freddie
Mercurie bukan selera dia.”
Arya terdiam .
“Tapi kam u kan suka sekali suara Freddie Mercury,
Nad.”
“Ya, tapi daripada nanti kam i bertengkar...
Sudahlah...”
“J adi...” m uka Arya m ulai berwarna m erah karena m e-
nahan rasa jengkel, “nanti isi rum ahm u adalah sem ua karya
sastra yang hanya disukai Niko; jenis m usik yang didengar
Niko; sem ua lukisan yang hanya disukai Niko, sem ua
m akanan yang hanya disukai Niko...”
“Tentu yang disukai kam i berdua...,” Nadira tertawa
renyah. Dia sam a sekali tak m enyadari nada jengkel abang-
nya. “Nam anya orang kawin, ya sem ua yang ada di rum ah
kam i m ewakili selera kam i berdua. Dua m enjadi satu..., hati
kam i terpadu,” Nadira m engatakan itu sem ua dengan pipi

147 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

yang bersem u m erah.


Arya belum pernah m elihat adiknya tertawa sekenes
itu. Ini perangai yang tidak beres. Apakah Nadira sudah ke-
m asukan setan?
“Itu lirik lagu dangdut?” tanya Arya yang sudah tak
tahan lagi.
Nadira tertawa terkekeh-kekeh ceria dan tak m enyadari
bahwa Arya sem akin berlipat kedongkolannya.
Arya m endehem , “Nad..., aku sungguh ingin kam u
bahagia. Aku harus tahu, apa kam u yakin ini m em ang
pilihanm u.”
Kini wajah Nadira berubah m endung. “Ada apa, Kang?
Kenapa Kang Arya tidak suka Niko?”
“Oh bukan, bukan, ini tidak ada urusannya dengan
Niko...,” Arya buru-buru m enenangkan adiknya yang wa-
jahnya m enjadi kelabu. “Akang cum a heran..., apa yang ter-
jadi dengan Tara? Bukannya dia sudah lam a m enaruh hati
pa dam u? Sudah ratusan tahun, tepatnya begitu...
“Sosok Niko ini baru kau kenal selam a enam bulan,
tiba-tiba kam u sudah dilam ar. Ada baiknya kalian saling
m engenal dulu lebih jauh. Pernikahan kan kalau bisa sekali.
Kam u sudah lihat bagaim ana rum ah tangga Yu Nina dan
Mas Gilang.”
Nadira terdiam . Dia sam a sekali tak berm inat m en-
de ngarkan kegagalan rum ah tangga kakaknya. Tepatnya,
urusan perkawinan Yu Nina dan Gilang itu selalu dikelir
war na hitam di dalam lem ari ingatan Nadira.
Sebuah buku hitam kini tergenggam di tangan Nadira.
Nadira tak bisa m em utuskan, apakah dia akan m em bawa
buku harian ibunya itu ke rum ah barunya; atau ditinggalkan
saja di Bintaro.
“Nad..., tolong, tolong dengarkan Kang Arya,” kini Arya

148 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

se tengah m endesak.
“Kang Arya...,” mata Nadira menatap abangnya dengan
tajam.
Arya m engem balikan tatapan tajam itu. Dia m enantang
Nadira dan m engharapkan serangkaian jawaban yang galak,
yang tegas, dan m ungkin defensif. Yang serba Nadiralah
pokoknya. Tetapi, ternyata Arya hanya m elihat sepasang
bibir yang bergerak-gerak tanpa m engeluarkan suara.

Kang Ary a, pernahkah kau m erasa hidupm u hany a


bersinggungan dengan em pat dinding lubang kubur; dan
pandanganm u hany a terdiri dari langit y ang berubah-
ubah w arna. Pernahkah kau m erasa kau ingin segera
saja bersatu bersam a tanah; karena ingin bersatu dengan
segala zat y ang ada di dalam ny a. Bukankah kitab-kitab
suci m engatakan bahw a kita sem ua diciptakan dari
tanah?
Tahukah Kang, selam a bertahun-tahun sejak Ibu pergi
m eninggalkan kita, ada sebuah batu besar y ang m em bebani
tubuhku, hatiku, jantungku, y ang m eny ebabkan aku hany a
bisa celentang di dalam kubur itu, tanpa bisa hidup, dan
juga tidak m ati?
Dan tahukah, Kang Ary a, tidak ada satupun, tidak
ada siapapun y ang bisa m engangkatku dari lubang kubur.
Tara hany a bisa m enjenguk diriku ke perm ukaan liang
kubur dan m em berikan w ajah sim pati. Seisi kantor hany a
bisa kasak-kusuk m engasihani aku, seorang w artaw an
y ang bernasib m alang karena ibuny a bunuh diri. Yang
kem udian tak akan pernah berani m enjalin hubungan y ang
serius dengan lelaki m anapun. Di luar? Sanak saudara kita
tak m erasa m em puny ai reaksi y ang tepat... antara rasa
prihatin, sedih, kasihan sekaligus am arah.

149 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

Bertahun-tahun, setelah aku terpuruk di lubang kubur


itu, aku tak kunjung m endapatkan jaw aban: m engapa Ibu
sengaja m em utuskan pertalian kita. Mengapa Ibu m em ilih
untuk m eninggalkan kita dengan cara y ang begitu sia-sia.
Sam pai akhirny a hany a satu, y a satu lelaki y ang da-
tang dan m eny odorkan tanganny a. Dia langsung m eng-
am bil tanganku dan m engajakku untuk bangun dari
lu bang kubur itu. Tanpa ragu, tanpa jeda. Dia tak m em bu-
tuh kan w aktu untuk berpikir ulang, karena dia y akin aku
ha rus bersam a dia.
Hany a satu lelaki y ang bisa m em buat badan ini hidup
kem bali. Dia tidak hany a m em andang aku di perm ukaan
liang kubur seperti y ang dilakukan Utara Bay u, tetapi dia
langsung m engguncang aku, m eny adarkan aku, bahw a
aku seorang perem puan y ang bisa hidup bahagia. Dialah
y ang berhasil m em buat hidup ini berguna. Dialah y ang
m enghidupkan hidupku y ang sudah m ati. Dan lelaki itu
bernam a Niko...”

Pada saat itulah air m ata Nadira runtuh. Seluruh isi


hatinya hanya m am pu berhenti di dadanya. Dia tak berhasil
m engeluarkan lautan kata-kata itu m elalui m ulutnya. Bi-
bir nya bergetar dan air m atanya m em bentuk sungai yang
m eninggalkan jejak di pipinya. Seketika itu pula Arya
m enyesal telah bersikap begitu keras. Dia m em egang tangan
adiknya dengan penuh kasih.
“Biar Kang Arya yang m enyim pan buku harian Ibu ini.
Teruskanlah beberes... Nanti buku-buku yang tidak kam u
bawa, kita sim pan di gudang.”
Nadira m engangguk-angguk sem bari m engusap air
m atanya.

150 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

***

Jalan Kesehatan, Jakarta, Juni 1989

Benarkah apa y ang dikatakan Nina, bahw a dari tu-


buhny a lahir cahay a y ang m em buat hidup Nina lebih
hangat? Benarkah Gilang adalah seseorang y ang m am pu
m em buat dia m enjadi pusat kehidupan?
Hari ini Nina m engirim kabar itu. Bram dan aku tak
tahu apakah kam i harus ikut berbahagia karena anak su-
lung kam i y ang cantik itu m em utuskan untuk m enikah;
atau kam i harus khaw atir karena Gilang Sukm a, penari
dan koreografer terkem uka itu sudah pernah m eninggal-
kan ketiga perkaw inanny a y ang terdahulu. Tiga!
Sudah past i ak u tak akan m engham burkan per ta-
ny aan- pertany aan ala keluarga besar Suw andi, seperti:
apa kerjany a? Apakah dia puny a penghasilan bulanan?
Apakah kalian akan tinggal di Jakarta atau di New York?
Lalu pertany aan Bram y ang sudah m enjadi sebuah
per tany aan utam a dari keluarga Salem ba Bluntas: apa-
kah kalian akan m enikah secara Islam ? Apakah Gilang
salat, khatam Quran, puasa bulan Ram adan, dan setia
ber zakat?
Kalau m au m engikuti pertany aan y ang akan didesas-
desuskan adik-adik Bram , inilah kira-kira y ang akan m e-
luncur: Ha? Dia sudah m enikah tiga kali? Kenapa? Kenapa
bisa cerai? Kenapa Nina y ang cantik dan pandai itu harus
berjodoh dengan seorang duda? Apa pekerjaanny a? Me-
nari? Lo, m em ang m enari ada gajiny a?
Sekali lagi, sekali lagi aku diingatkan oleh kata-kata
Mam a dulu: perkaw inan di Indonesia adalah perkaw inan
dua keluarga, dua kultur, dua kebuday aan.

151 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

Persatuanku dengan Bram terny ata bukan hany a per -


satuan sepasang m anusia y ang ingin hidup bersam a, te-
tapi m enjadi sebuah kontrak sosial antara sebuah keluarga
Suw andi dan sebuah keluarga Abdi Yunus. Sebuah keluarga
Sunda y ang sangat relijius, y ang dekat dengan partai NU,
dan sebuah keluarga sekuler y ang bergaul dengan orang-
orang PSI. Perkaw inan dua kelom pok y ang harus saling
ber adaptasi dan m encoba m em aham i.
Apakah N ina m eny adari itu? Apakah N ina tahu bah-
w a kedisiplinanny a dari dunia akadem is akan m engalam i
adap tasi y ang luar biasa dengan kehidupan kesenian
Gilang? Aku tak tahu. Bram juga tak tahu. Tetapi N ina
tam pak begitu bahagia. Dia kelihatan sangat m encintai
Gilang, duda y ang sudah pernah m enikah tiga kali dan
su dah ber cerai tiga kali itu.
Ary a dan Nadira nam pak khaw atir. Tetapi m ereka tak
ber suara. Pada acara m akan m alam y ang lalu, aku sudah
m em bay angkan hal-hal y ang terburuk; sebagaim ana y ang
sering terjadi dalam hidupku. Aku sengaja m eny ajikan
em pek-em pek lenjeran buatanku sendiri, hidang an y ang
lazim ny a berhasil m em buat suasana hati anak-anakku
terangkat. Sedangkan untuk m akan m alam , aku m em asak
em pal gentong Cirebon kesukaan Bram ha sil ajaran ibu
Bram .
Bram m engenakan kem ejany a y ang terbaik; Ary a
m en coba m em asang seny um , sedangkan Nadira seperti
biasa berupay a keras m enunjukkan sikap dukungan ter ha -
dap keinginan saudara-saudarany a, m eski aku tahu Nadira
tengah m em asang tanda “w aspada” y ang ter pancar dari
sorot m atany a.
N adira m engenal Gilang dari beberapa acara pem en-
tas an di Tam an Ism ail Marzuki dan Gedung Kesenian
Jakarta. Beberapa kali N adira m eliput kesenian di m asa

152 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

aw alny a bekerja di m ajalah Tera. Dia pernah m ew a w an-


carai Gilang. Entah bagaim ana, aku m endapat kesan,
N adira agak khaw atir dengan m asa depan hubungan
N ina dan Gilang.
“Jadi, setelah pesta, kalian langsung kem bali ke
New York?” tany a Bram dengan ceria, sem entara Nina
m eng am bilkan potongan em pek-em pek ke piring calon
suam iny a. Ary a sangat m eny ukai em pek-em pek lenjeran—
ter utam a jika digoreng hingga reny ah. Karena itu dia m e-
lotot m elihat Nina m eraup sem ua potongan em pek-em pek
y ang reny ah itu ke dalam m angkuk Gilang. Tapi kelihatan-
ny a dia tak bisa apa-apa, karena hari ini adalah hari untuk
Nina dan Gilang Sukm a.
“Kam i akan ke Solo dan Yogy a dulu karena ada latihan
dengan para penari...”
“Oh...”
“Gilang m em buat tafsir tentang Panji Sem irang, Yah...,”
kata Nina dengan bangga sam bil m enuangkan cuka ke
dalam m angkuk Gilang.
“Oh, itu cerita y ang betul-betul m encuri w aktu tidur
say a...,” aku tiba-tiba saja berseru dan m elupakan kera-
guan ku terhadap Gilang.
“Terutam a ketika di sebuah pagi Candra Kirana m en-
jelm a m enjadi seorang Panji...,” Nadira juga tiba-tiba ber-
gairah. Bukan karena Gilang, tetapi Nadira m em ang selalu
bergairah pada cerita-cerita klasik. “Judulny a apa, Mas?”
“Kirana. Judulny a Kirana, Nad.”
“A very beautiful choice of title,” Nadira m engangguk.
Ary a m enguny ah-nguny ah em pek-em pek sam bil
m endelik m elihat aku dan Nadira tiba-tiba seperti ‘ber-
khianat’ dan m eny eberang ke pihak ‘m usuh’.
“Ya, say a m engam bil tafsir Jaw a, karena secara geo -
grais ini cerita tentang kerajaan Daha dan Kediri. Saya

153 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

sudah m eny usuri sejarahny a dan bertahun-tahun m eri-


set ny a dengan beberapa dalang dari Jaw a Tengah dan
Jaw a Tim ur. Ini tafsir y ang m odern, tentu saja...,” Gilang
berbicara dengan suara y ang berat dan rasa percay a diri
y ang berlipat.
“Tapi orangtua Gilang ini dari Tanah Pasundan, bu-
kan?” kata Bram .
“Oh, iy a, Pak. Keduany a sudah alm arhum . Tetapi
kam i berdua, say a dan adik say a, sebetulny a cukup lam a
belajar di Yogy a...”
“Itu sebabny a kary a-kary a Mas Gilang ini lebih ba-
ny ak dipengaruhi tari Jaw a, Yah,” kata Nina. “Of course it
is a m odern rendering...”
Gilang m enjelaskan beberapa m aster tari Jaw a kla sik
y ang selam a ini m enjadi guruny a, sem entara Bram m eng-
angguk-angguk. Gilang y ang m em perlihatkan diriny a
sebagai seorang senim an besar itu akhirny a m enjaw ab
per tany aanku: ketika anakku berdam pingan denganny a,
pusat kehidupan itu bukan Nina, tetapi Gilang. Seperti
y ang dia pernah akui padaku, anak sulungku itu akan bisa
hidup dan bernafas karena kehadiran Gilang. Nina tam -
pak m erasa hangat, karena Gilang seperti m atahari y ang
m enguraikan cahay a.
Kulihat Ary a sibuk m engaduk-aduk cuka em pek-em pek
tanpa m enguny ahny a sam a sekali. Dia seperti tengah m en-
cari sebutir intan di situ.
Begitu sibukny a dia m engaduk-aduk, hingga m enge-
luarkan suara y ang agak bising dan m enguing. Kulihat
Bram m ulai terganggu dengan tingkah Ary a dan m encari
cara untuk m elibatkan Ary a dan Gilang ke dalam sebuah
peradaban.
“Ary a baru saja m eny elesaikan kuliahny a di Fakultas
Kehutanan... di Bogor.”

154 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Gilang m engangguk dengan sopan, “Apa rencana se-


lanjutny a, Ary a?”
Ary a m asih m engaduk-aduk m angkukny a. Kasihan
betul sendok itu.
“Kang Ary a m au kuam bilkan em pek-em pek lagi?” ta-
ny a Nadira dengan nada khaw atir. Nadira sangat sa y ang
pada abangny a itu. Dia tak ingin ada friksi di m eja m a kan,
m eski Nadira pasti tahu ketidakny am anan ini bu kan gara-
gara kurang m akan.
Ary a m enatap Gilang dengan tajam , “Aku hany a ingin
kepastian...”
“Silakan Ary a, keluarkan pertany aanm u,” Gilang m e-
ny am but dengan tenang. Pasti ini bukan kali pertam a Gilang
disam but dengan dingin oleh keluarga calon istriny a.
“Apakah Yu Nina akan diperlakukan dengan baik?”
“Ary a!” suara Bram m enghantam .
Tiba-tiba saja aku kehilangan nafas. Suara bentakan
Bram y ang jengkel itu tidak m em buat Ary a m erunduk. Dia
m alah sem akin m enantang. Gilang m em balas tatapan Ary a
dengan berani. Aku khaw atir rum ah kam i y ang sudah tua
itu akan m eledak karena kedua anak m uda ini.
“Aku m em baca dan m endengar nasib tiga bekas istri-
m u. Anak-anakm u. Aku harus m erasa y akin, kau tak akan
m em perm ainkan Yu Nina!”
“Ary a! Cukup!”
Kini Yu Nina berdiri. Dia m em inta Ary a untuk pergi
m eninggalkan m eja m akan. Ary a berdiri dan m em inta
per m isi pada Bram , aku, dan kedua saudarany a. Aku tahu,
Ary a pasti m engam bil air w udu dan salat. Dari ketiga
anakku, dialah satu-satuny a y ang sangat rajin beribadah
dan m em atuhi sem ua pendidikan agam a dari m ertuaku.
Setelah Bram m em inta m aaf atas tingkah laku Ary a,
kam i m elanjutkan m akan m alam seolah tak pernah terjadi

155 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

apa-apa. Gilang m em uji em pal gentong buatanku dan


tam pak m enikm atiny a. Dia m em uji betapa seim bangny a
porsi santan dan kuny itny a dan juga potongan kucai y ang
m em buat rasa em pal gentong itu sedap dan segar. Pada
saat aku m eny endokkan sesendok besar em pal gentong
ke m angkuk Gilang, aku sudah m ulai m erelakan anakku
m enikah denganny a.
Kam i m em bicarakan anak-anak Presiden y ang se-
karang sudah dew asa dan m ulai berbisnis. Kulihat, per-
lahan, Bram juga sudah m ulai jatuh hati pada Gilang,
karena senim an ini m em ang berw aw asan luas. Tetapi se-
belum m em inta diri, Gilang m eny atakan sesuatu kepada
Bram dan aku:
“Bagi say a, perceraian adalah bentuk lain dari sebuah
perdam aian. Jika itu bentuk y ang harus say a lalui, m aka
say a harus m elakukanny a. Bukan sesuatu y ang say a
banggakan, tetapi itu sem ua harus say a lalui,” katany a
m encoba m enjelaskan posisiny a sebagai duda dari tiga
m antan istri.
Bram dan aku terdiam . Nina juga tak m engeluarkan
suara apa-apa.
Tetapi dengan kalim at akhir inilah Gilang m em buatku
run tuh, “Ibu, Bapak, say a tak bisa m enjanjikan sesuatu
y ang m uluk. Say a hany a bisa m eny erahkan seluruh diriku
untuk Nina.”
Bram m enepuk bahu Gilang. Dan aku paham artiny a.
Kam i sem ua ingin Nina bahagia. Karena itu, kam i
hany a akan berdoa. Meski aku tidak rajin beribadah, aku
sangat m encintai-Mu. Aku selalu kangen m eny ebut nam a-
Mu setiap kali aku m em inta perlindungan bagi Nina.
Aku ingin dia bahagia.

***

156 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Arya menutup buku harian ibunya dan menghela nafas. Enam


tahun kemudian, Arya merasa keluarga Suwandi mengha dapi
problem yang sama. Seorang lelaki mencoba masuk dalam
keluarga. Kali ini, Arya tak ingin dianggap seperti begundal
yang menyusahkan. Dia mencoba memaha mi adiknya, meski
luar biasa sulit. Apakah Niko menjadi ma tahari yang membuat
Nadira merasa hangat? Arya tak per nah lupa wajah Nadira
yang lebih mirip mayat hidup sejak ibunya tewas empat tahun
yang lalu. Arya mengubur diri ke hutan, sementara Nadira
mengubur diri dalam pekerjaan. Memang baru kali ini Arya
melihat kilat-kilat pada mata Nadira. Arya tahu, dia harus
merelakan Nadira memilih jalan hidupnya. Dia hanya bisa
berharap adiknya membuat pilihan yang tepat.

***

...
Gunung-gunung m enjulang
Langit pesta w arna di dalam senjakala.
Dan aku m elihat
Protes-protes y ang terpendam ,
Terhim pit di baw ah tilam ,

(“Sajak Sebatang Lisong”, Rendra)

Nadira perlahan bergeser dari rak-rak buku yang m elekat


pada dinding itu m enuju sebuah teras. Sayup-sayup dia
m endengar suara Niko Yuliar yang tengah m em bacakan
sajak karya Rendra di atas panggung kecil dadakan yang
dibangun khusus untuk acara ini. Mata Nadira m enyisir
judul-judul buku itu, sem entara suara Niko m asih terdengar
sayup-sayup.
Nadira m engam bil salah satu buku karya Am artya

157 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

Sen ketika dia mendengar tepukan para tamu. Nadira tak


m e nyadari dia sudah cukup lam a m engungsi ke per pus ta-
kaan rum ah Niko. Inilah kali pertam a dia diundang ke acara
m akan m alam di rum ah Niko. Nadira tahu betul, acara m akan
m alam dan kum pul-kum pul ini sebetulnya tak penting betul
untuk diliput. Tetapi Tara dan Andara m e yakinkan Nadira
bahwa dia perlu kem bali “keluar” dan ber gaul kem bali
dengan dunia sastra. Niko Yuliar seorang aktivis terkem uka
di zam annya. Dia ikut berdem onstrasi m e nentang NKK
dan BKK1 di akhir tahun 1970 -an. Tara m engajaknya ke
sana karena dia butuh beberapa ha sil penelitian lem baga
survei yang diketuai Niko; dan juga karena dalam acara
yang diselenggarakan Niko, “Makanannya selalu sedap;
dia selalu m enyajikan sop kam bing Bang Dul, m artabak
Kubang, dan kerak telor si As, lengkap dengan gerobaknya,”
kata Andara nyengir. Itu saja sudah cukup m em buat Nadira
ingin ikut berbondong-bondong m engunjungi rum ah Niko
yang dibangun dari kayu dan dilindungi rerim bunan pohon-
pohon.

Inilah sajakku
Pam plet m asa darurat
Apakah artiny a kesenian,
Bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artiny a berpikir,
Bila terpisah dari m asalah kehidupan.2

2
NKK dan BKK adalah singkatan dari Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan, dibentuk berdasarkan SK Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 0457/0/1990. Kebijakan pemerintahan Orde Baru ini
membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan
kebijaksanaan pemerintah saat itu. Dua akronim tersebut menjadi momok bagi
aktivis gerakan mahasiswa tahun 1980-an.
3
“Sajak Sebatang Lisong”, karya Rendra.

158 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Nadira m endengar tepukan tangan yang keras. Artinya


pem bacaan puisi sudah selesai. Nadira m elangkah keluar.
Oh, ini pasti teras yang disebut-sebut Tara sebagai teras
ter indah, tem pat dia ngobrol tentang politik dan ekonom i
dengan Niko Yuliar. Teras itu terletak di lantai dua bangunan
rum ah Niko, di luar perpustakaan. Nadira m elihat dua buah
kursi yang terbuat dari rotan dengan bantal-bantal yang
em puk dan sebuah sofa gantung yang seolah m enyam but
sem ilir angin m alam . Nadira m elangkah perlahan sem bari
m e nenteng buku Am artya Sen dan m encoba m em utuskan
kur si m ana yang akan didudukinya.
“Sofa gantung itu enak sekali, kunam akan dia sofa
bulan sabit...”
J antung Nadira m eloncat. Niko Yuliar sudah berada di
belakangnya. Tersenyum .
“Hai..., kam u pasti Nadira dari Tera...”
“Ya, sori, saya lancang naik ke sini... Mas Tara bilang
teras perpustakaan Anda nyam an sekali.”
Niko tersenyum dan m em persilakan duduk. Nadira
akhirnya duduk di sofa itu dan berayun-ayun. Niko duduk
di hadapannya.
“Tara dan Andara m encari-cari kam u. Mereka di
bawah...”
“Oh, kalau begitu...”
“Ah, m ereka sudah dewasa... Ngapain am bil Am artya
Sen?” Niko m enunjuk buku yang tengah digenggam Nadira.
“Oh, cum a m au baca saja sedikit. Mas Tara pernah m e-
wa wancarai beliau di Inggris. Saya jarang m em baca buku-
buku ekonom i. Tapi Mas Tara m enjelaskan begitu m enarik,
jadi saya tertarik m em bacanya.”
Niko m engangguk, “Saya ada beberapa buku karya dia
kalau m au pinjam .”
“Oh, biar saya baca ini dulu saja.”

159 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

Niko m engangguk. Dia terdiam lam a karena tertarik


pada sepasang m ata Nadira yang bening seperti Danau
Maninjau. Dia m em bayangkan betapa sejuknya terjun ke
dalam danau itu.
“J adi kam u sekarang m eliput apa?”
“Saya sedang tertarik dengan hukum dan kriminalitas.”
Niko m engangguk, “Saya baca wawancaram u dengan
Bapak X, sangat tajam !”
“O ya?”
Ini bukan pertanyaan yang m eragukan ucapan Niko,
te tapi pernyataan senang. Nadira sendiri terkejut oleh
ucapan nya sendiri.
“Ya..., wawancaram u itu m enjadi diskusi banyak orang,
term asuk kawan-kawan di kantor saya.”
Baru kali ini Nadira m ulai m erasa bisa tersenyum kem -
bali setelah bertahun-tahun bibirnya digem bok oleh ke pe-
dih an. Pujian Niko terasa sebagai sebuah perhatian yang tu-
lus pada hasil pekerjaannya.
“Sebetulnya ada insiden sesudah wawancara itu,” kata
Nadira.
“Oh ya...?” Niko tam pak tertarik sekali, “Insiden apa?”
Nadira tak langsung m enjawab. Dia baru m engenal
Niko beberapa detik, dan jika dia m em beritahu insiden
yang m em alukan itu, Niko akan segera m enghakim i Nadira
sebagai perem puan yang em osional, yang tidak bisa m e-
nahan diri. Tetapi ada sesuatu di dalam m atanya yang m em -
buat jantung Nadira berloncatan kian kem ari.
“Saya tonjok dia!”
Niko tertawa terbahak-bahak, terurai-urai begitu pan-
jang hingga Nadira bisa m elihat air m ata yang m enyem bul
di ujung m atanya. Bunyi gelegak tawa itu begitu m enular,
sehingga Nadira akhirnya ikut tertawa terkikik-kikik.
“Dia... terlalu tahu situasi hati saya,” Nadira m asih

160 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

tertawa.
“Akhirnya... Akhirnya... blep... Saya tonjok m ukanya...”
Mereka tertawa begitu seru, seolah sebuah sekrup da-
lam otot bibir Nadira dan Niko sudah dol.
Sejak pertem uan itulah Nadira m enjadi pengunjung
tetap kantor Niko, Lem baga Survei Ekonom i Nusantara. Di
perpustakaannya, Nadira hanya akan m em injam salah satu
buku untuk sekadar dibuka-buka; Niko akan m enyelesaikan
rapat dengan stafnya, lalu m ereka pergi m enyusuri pori-pori
J akarta. Mie ayam di Petak IX, sop kam bing di Petam buran,
nasi goreng kam bing di Kebon Sirih, buku bekas di Pasar
Senen, pem entasan dram a Teater Kom a, dan pem bacaan sa-
jak di Tam an Ism ail Marzuki.
Di suatu m alam , di tahun 1995, em pat tahun setelah
kem atian ibu Nadira, Niko m enggenggam tangan Nadira
begitu erat dan dia m em bisikkan sebait puisi. “Sajak Ibunda”
karya Rendra:

“Mengingat ibu
Aku m elihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
Aku percay a akan kebaikan hati m anusia
Melihat photo ibu,
Aku m ew arisi naluri kejadian alam sem esta...”

Nadira m enatap Niko. J antungnya kem bali berloncatan


kian kem ari dan ham pir saja keluar m elesat dari dadanya.
Dan em pat tahun setelah kem atian ibunya itu, dunia Nadira
yang kelabu perlahan berwarna m erah jam bu.

***

161 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

Dari jauh, Yosrizal m elihat kepala Tara yang m em bela-


kanginya. Ini terlalu klise, patah hati dan m inum di J oe’s
Bar. Yosrizal duduk di sebelah kiri Tara dan m em esan bir.
Tara diam tak bereaksi. Di atas m eja bar, Yosrizal m elihat
undangan perkawinan Nadira Suwandi dan Niko Yuliar
yang berwarna beige. Undangan itu sudah dibagikan ke
seluruh penjuru.
Yosrizal m enghela nafas.
“Taruhan seluruh gajiku, m ereka tak akan bertahan
lam a. Paling lam a lim a tahun, m ereka akan bercerai,” kata
Yosrizal.
“Lim a tahun terlalu lam a...,” tiba-tiba Andara
bergabung dan duduk di sebelah kanan Tara, “Kacangnya,
J o..., aku taruhan gaji dan bonusku, dua tahun m ereka akan
pisah. Niko itu orang gila!”
Tara sam a sekali tak terhibur dengan kalim at solidaritas
kawan-kawannya. Dia bahkan tak peduli dengan sepiring
ke cil kacang goreng yang biasa dikunyah. Ini sudah gelas
anggur keem pat.
“Nadira ingin bahagia... dan m ungkin Niko hanya satu-
satunya yang bisa m em bahagiakan dia,” Tara bergum am
pada dirinya sendiri. Yosrizal dan Andara terdiam .
“Saya banyak m endengar cerita tentang Niko...”
“J angan m em bicarakan yang tidak pasti! Kita bukan
wartawan penggunjing!” Tara m enyentak Andara. Tiba-tiba
m ereka tertawa tanpa sebab. Dan untuk seterusnya, ketiga
lelaki itu hanya berbicara yang rem eh-tem eh sem bari m e-
nertawakan segala hal yang tidak lucu.
Ketika jarum jam sudah m enunjuk pada angka dua, ke-
tiganya sudah tak punya bahan untuk ditertawakan. Tara
ter m enung m em andang gelas anggurnya yang kosong. Dia
sudah tak bisa m enghitung lagi berapa gelas yang sudah di-

162 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

habiskan.
Pada saat itulah seorang perem puan berusia sekitar 50
tahunan, m engenakan celana panjang kulit, ikat pinggang
rantai, blus tanpa lengan, dan sepatu hak setinggi lim a
sentim eter m asuk ke bar, berpegangan tangan dengan se-
orang pem uda yang tinggi, berkulit terang, berwajah halus
dan licin dan lebih pantas jadi anaknya. Tara m e ne lan ludah.
Dia m erasa berada di dalam dunia kom ik karya Zaldy.3
“Aku rasa Nadira terbetot oleh Niko karena dia
karism atik...,” Yosrizal m ulai berteori.
Tara m asih m enatap perem puan paruh baya itu dari ke-
jauhan. Pasangan itu duduk di pojok dan bercium an begitu
he bat. Tara m asih m enatap m ereka dengan kepala yang su-
dah m ulai berputar.
“Karism atik taik!” Andara m enjawab sem barangan.
“Zam an dem o anti NKK/ BKK, katanya dia top.”
“Heri Akhm adi itu top. Niko Yuliar itu siapa? Dia bukan
siapa-siapa...”
Tara seolah tidak mendengarkan debat kedua kawannya.
Dia sudah setengah m abuk. Dan pikirannya m elayang ke
berbagai arah. Dia sendiri tak tahu apakah dia tengah m e -
racau atau tengah m elam un. Sekali lagi, dia m erasa ber ada
di dunia kom ik Zaldy.
“Apa Nadira tahu, sebelum dia ada Marita...,” Tara
m enggum am .
“Dan Yani,” Andara m enam bahkan.

4
Zaldy adalah seorang komikus “roman Jakarta” terkemuka di tahun 1970-an.
Jika Hans Jaladara dan Ganes T.H. dikenal sebagai komikus silat, maka Zaldy di
masa itu dikenal sebagai pencipta komik melankolik yang biasanya bercerita
tentang mahasiswa yang jatuh cinta pada seorang perempuan cantik, tapi akhir-
nya sang mahasiswa jatuh ke pelukan perempuan yang usianya dua kali lipat
dari sang pemuda.

163 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ciuman Terpanjang

“Dan Opi,” Yosrizal m engucapkan nam a itu sem bari


ber dahak.
“Dan Tante Nila.”
“Dan Tante Sofie.”
Tara tak tahan dengan godam yang terus m em ukul-
m ukul kepalanya. Kepalanya m enyungkur di atas m eja bar.
Te tapi bibirnya terus m eracau.
“Dan Alina...”
Kali ini, Andara dan Yosrizal tersentak. Mereka saling
m e m andang, tak percaya.
“Eh, siapa? Siapa? Alina?”
“Iya..., Alina... Tante Alina, Ibu Alina... Alina,” Tara
mengucapkan nam a itu sem bari tiduran.
“Maksudm u, Alina... Alina...”
“Iya, Alina Putranto..., istri Tito Putranto...”
Setelah m engucapkan itu, Tara terjerem bab ke lantai.
Undangan perkawinan Nadira dan Niko m elam bai jatuh,
m e nutupi wajah Tara. Gelap. Hitam .

****

J akarta, 24 J uli 20 0 9

164 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

KIRANA

DAN di dalam gelap, aku m elihat dia duduk di pojok.


Sen dirian. Dari selajur sinar y ang m elalui w ajahny a,
aku m elihat jejak air m ata di pipiny a. Aku m enyem bah
sedalam -dalam nya sem entara lam at-lam at terdengar den-
ting gam elan yang m engiringi gerak tubuhku. Dan dari
ujung jariku, tercipta dunia Kirana: 1

1
Pertunjukan tari Kirana karya Gilang Sukma dalam cerita ini adalah tafsir dari
kisah Panji Semirang. Candra Kirana adalah putri Raja Daha yang teraniaya oleh
ibu tirinya, Paduka Liku. Candra Kirana memutuskan untuk eksil bersama se-
jumlah tentara dan dayang, dan menyamar menjadi seorang lelaki bernama
Panji Semirang. Dalam penyamaran sebagai Panji, ia mendirikan perkampungan
Asmarantaka, sembari mencari kekasihnya, pangeran Kediri Inu Kertapati.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Sy ahdan ram but Kirana


bagaikan kain beludru hitam
m eny elim uti halam an istana,
m elilit tiang-tiang
m em belai kulit m uka bum i;
m engikat hati pangeran Kediri”

Aku menunduk, dan rambutku yang menutupi seluruh pang-


gung kemudian diinjak oleh Sang Prabu yang murka. Pa duka
m engeluarkan perintah yang m enggelegar.

“Katakan
Apakah ram but sutera m alam
y ang berhasil m em bungkus jantung Sang Pangeran
adalah tanda harkatm u”

Sang Prabu m aju dua langkah. Bunyi gam elan m em berontak,


m em ecah panggung. Aku hanya bisa m enunduk dan seluruh
dunia tertutup oleh ram butku. Sang Prabu m enjejakkan
kakinya begitu keras ke atas ram butku yang m enyelim uti
bum i. Dan bum i bergetar begitu hebat. Kulihat sepasang
m ata di pojok, berkaca-kaca. Air sungai y ang m engalir
perlahan...

“Seketika...
Ram butku y ang m elilit tiang istana
Yang m eny elim uti lantai
Dan seluruh dataran hutan
Sem akin erat m em eluk bum i
Seolah tak ingin lepas dari kepalaku”

167 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kirana

Tangan Baginda sungguh perkasa. Seluruh ram butku lepas


dari akarnya...

***

Nadira baru saja selesai m em andikan J odi ketika dia m en-


dengar suara pertengkaran di teras rum ah. Sem ula Nadira
m e ngira ribut-ribut itu berasal dari tetangga. Tetapi ke m u-
dian dia m enyadari, itu suara Yu Nah yang tengah m em per-
tahankan pendapatnya bahwa sang nyonya sedang m e m an-
dikan anaknya, sedangkan sang tuan... Dia tak tahu ke m ana
Tuan Niko Yuliar.
Nadira m engeringkan tubuh J odi dan segera m enge na-
kan kaus biru kesukaan si kecil yang baru berusia tiga tahun.
Suara Yu Nah sem akin tinggi. Nadira m ulai khawatir. Dia
m em berikan buku bacaan kecil yang dibelikan ayah Nadira
untuk sang cucu. J odi m enyam barnya dan m enatap gam bar-
gam bar itu dengan asyik. Nadira m elangkah keluar. Astaga.
Yu Nah m enghadapi dua pria yang ukuran tubuhnya dua
kali lipat Yu Nah.
Salah satu dari m ereka, yang berkulit gelap dan tubuh-
nya hanya terdiri dari tulang dan otot, langsung m enerobos
m engham piri Nadira. Yu Nah m enjerit-jerit m elihat lelaki
itu m asuk ke dalam tanpa diundang.
“Ibu Nadira?”
“Ya, ada apa, Pak?”
“Kam i m encari Pak Niko, Bu,” katanya dengan suara
tegas, m eski tetap sopan.
“Pak Niko sedang ke luar kota.”
“Ke m ana, Bu?” lelaki yang satunya, yang warna kulitnya
lebih terang dan tubuhnya sedikit lebih kem pis daripada
lelaki pertam a, kini m enerobos juga.

168 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Nadira tersenyum tenang. Perlahan dia m enggiring ke-


dua lelaki itu kem bali ke teras.
“Mari duduk di teras saja. Yu Nah, tolong sediakan m i-
num untuk tam u kita. Lantas tem ani J odi...”
Yu Nah m endelik, enggan m enyediakan m inum untuk
kedua lelaki yang sudah jelas lebih m irip tukang pukul dari-
pada tam u yang layak diperlakukan dengan sopan.
“Bapak siapa? Ada perlu apa dengan suam i saya? Bagai-
m ana Anda tahu nam a saya?”
Kedua lelaki itu m asih berdiri dan m enatap kursi teras
rum ah Nadira seperti kutu asing yang tak pernah m ereka
tem ui.
“Silakan duduk, Pak.”
Akhirnya lelaki berkulit legam itu m encoba duduk,
m eski terlihat dia tidak nyam an. Mungkin karena tubuhnya
ter lalu besar untuk kursi teras sekecil itu. Mungkin juga
seum ur hidupnya dia tak pernah dipersilakan duduk, karena
harus berdiri bertolak pinggang.
“Sekali lagi, kalian berdua siapa?”
Mereka m asih diam tak m enjawab. Mungkin m ereka
terbiasa sebagai sosok anonim .
Yu Nah datang dengan nam pan berisi dua cangkir kopi
hitam. Kepulan asap dari kedua cangkir itu pasti mewakili
ke pulan kem arahan Yu Nah yang nam pak keluar dari
telinganya.
“Saya... Obi, Bu... Ini J o...”
Nadira selalu tak tahu bagaim ana bereaksi jika sese-
orang m em perkenalkan diri dengan nam a panggilan belaka.
Dia m asih diam , m enanti keterangan selanjutnya.
“Suam i saya sedang pergi. Bisa saya bantu?”
Obi saling berpandangan dengan J o. Mereka tidak
bisa m em buka m ulut. Tiba-tiba saja kedua bangunan tubuh

169 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kirana

yang kokoh dan tegap itu m ulai rontok. Nadira m ulai dapat
m eraba-raba.
“Pak Obi bekerja untuk siapa?”
“Saya bekerja sam a siapa saja...”
Nadira tersenyum , “Siapa yang m enyuruh Pak Obi dan
Pak J o m enem ui suam i saya?”
Lagi-lagi m ereka berpandangan.
“Kam i pam it saja, Bu...”
“Kopinya dim inum dulu...”
Obi dan J o berusaha m eraih cangkir dan m ereguk
dengan terburu-buru. Mereka berdiri, hanya m engangguk,
dan perm isi pergi. Nadira m em andang keduanya berjalan
m e nuju m obil SUV berwarna hitam yang terparkir di depan
rum ah.

***

Angin m alam berdesir. Mem bisikkan kata-kata penuh den-


dam . Di dalam hem busan angin, Sang Panji bisa m endengar
sebuah keputusan: hancurkan pesta perkawinan itu. Kata-
kanlah, w ahai angin. Kenapa Kirana dalam tubuh Panji,
seperti lautan dendam y ang m em iliki om bak y ang berlipat-
lipat.
Aji Sirep m enyihir Daha. Sem ua warga berjalan di udara.
Ajeng tidur di atas awan. Dem i m elihat peraduan pengantin,
Sang Panji, Sang Kirana, m engobrak-abrik seluruh ruangan.
Peraduan dijungkirbalikkan. Ajaib. Ajeng tetap tertidur di
atas awan. Dia tak tahu, perkawinannya telah digagalkan.
Kedua punggawa m erobek tirai, m erangsek singgasana.
Menyulut obor dan m em bakar seluruh keputren. Terdengar
suara gam elan m enggedor-gedor. Daha riuh-rendah.
Di pojok penonton. Perem puan dengan jejak air m ata
di pipiny a tam pak penuh hasrat m em andangku.

170 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Sebelum m eninggalkan Daha, Sang Panji m em buka


Aji Sirepnya. Perlahan suara gam elan yang lam at itu m em -
bangunkan Daha. Daha m enjerit. Sang Panji m em etik se -
helai daun Surga, daun berbentuk hati dari pohon yang
hanya tum buh di Daha. Ia m enyim pannya di balik telinga.

***

Nun di sebuah jalan, di pojok J akarta. Sebuah ke pala diadu


berkali-kali ke tem bok beton. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Em pat kali. Bunyi jeritan pem ilik kepala itu ter tutup oleh
suara kedua lelaki tegap yang m enyiksanya.
“Yang ini dari Bapak Tito!”
Kaki yang besar dengan sepatu bergerigi m enginjak
pipi lelaki itu.
“Yang ini dari Ibu Alina!”
Sebuah tendangan ke punggung menghentikan jeritan-
nya.
Nun di sebuah jalan. Tubuh yang sudah hancur-lebur
itu dilem par. Ia m enggelinding dari sebuah m obil SUV ber-
warna hitam . Itu sem ua terjadi di pojok J akarta.

***

Pagi yang basah. Kirana m enatap ribuan jarum air yang m e-


nusuk bum i. Di atas batu besar itu, dia m elihat sepe rangkat
kain, panah, busur, dan m ahkota Sang Panji. J arum air itu
tak m am pu m em basahinya.

“Aku berm im pi
Seekor burung m em baw a kabar
Dim ulai dari sebuah pagi
Aku akan m enjadi seorang Panji”

171 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kirana

Seorang ksatria, yang tam pan dan jelita, yang tegap


dan gem ulai, yang berm ata elang dan beram but ikal panjang
m em balut bum i; berjari keras berkuku lentik; berwajah
lelaki bersuara perem puan, kini berdiri di tengah hutan.
Menantang dunia. Menantang nasib. Mencari cinta. Mencari
kebahagiaan di dalam Kirana.
Tetapi siapakah itu, seorang perem puan yang sejak
tadi m em andangku dari pojok ruang. Di antara penonton
yang gelap, tanpa nam a, tanpa suara, dia satu-satunya yang
tam pak bercahaya m enatapku tak berkesudahan. Matanya
bertanya.

“Siapakah engkau
Ksatria dengan jem ari y ang gem ulai
Kenapa aku terpikat padam u
Meski aku tahu kau hany a ada dalam dunia reka”

Di belakang panggung, hanya ada selajur sinar lampu


yang menjurai. Dia melangkah menghampiriku. Aku baru
saja akan melepas baju Sang Panji, hendak kembali ke tu-
buhku, tubuh Kirana. Tangannya yang halus itu meng-
genggamku.

Bisakah kita beberapa saat terlupa. Siapa engkau,


siapa aku. Siapa siang, siapa m alam . Siapa perem puan,
siapa lelaki. Bisakah kita m em bebaskan diri. Dari sem ua
nam a-nam a y ang m em batasi tubuh ini. Bisakah kita ber-
gerak m engikuti hasrat?

Aku m enarik tubuhnya. Dan tercium arom a tubuhnya


lak sana suasa. Seluruh darahku melesat berkumpul pada
satu titik hasrat. Dari mana aroma itu? Dari mana hasrat itu?

172 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Dan hanya dalam beberapa detik, bibirnya sudah ber satu


dengan bibirku. Darahnya berdesir di antara aliran da rahku.
Tubuhnya berada di dalam tubuhku.

***

“Kita harus bercerai.”


Suara Nadira terdengar datar. Tenang. Tanpa em osi.
Seperti sebatang sungai di pedalam an kawasan Ontario
yang tak m engenal riak dan gerak.
Nadira tengah m em asukkan potongan tom at ke dalam
panci berisi sup Hungarian Goulash. Sedangkan Niko ter-
seok-seok m enuju m eja kerjanya. Mukanya berwarna biru
lebam . Tetapi, m encoba gagah perkasa, dia tidak peduli
dengan tubuhnya yang rontok. Nadira juga berpura-pura
tak m em perhatikan tubuh Niko yang sudah berubah bentuk
dan warna. Dia tahu, Niko akan lebih berterim akasih jika dia
tak banyak tanya. Niko sibuk m em asukkan beberapa buah
buku ke dalam ransel besarnya. Dia hanya m enggum am dan
m engatakan setuju.
“Ya, ya, ya, pulang dari Yogya nanti, saya akan beres-
beres dan keluar dari rum ah ini.”
Nadira m erasa m atanya panas. Apakah karena bawang
bom bai yang tadi dia potong-potong? Atau barangkali karena
secercah lada memutuskan untuk menyelip ke ujung matanya?
“Kalau kam u sudah siap, kita bisa bicarakan soal anak,
harta, dan rum ah ini. Senin depan, aku sudah kem bali dari
Yogya. ”
“Aku tidak ingin apa-apa. Kecuali J odi. Aku hanya ingin
J odi.”
Kali ini Niko m enghentikan kegiatannya m engepak. Dia
m enatap Nadira. Matanya yang berwarna biru dan m erah,
cam pur-aduk itu, m em andang Nadira.

173 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kirana

“Kam u berhak m endapatkan rum ah ini.”


Nadira m enggelengkan kepala, “Aku hanya ingin J odi.”
“Saya tak tahu apakah saya juga akan tinggal di sini,”
Niko m enggum am dan m elanjutkan m em bereskan ransel;
m e m a suk kan tiket dan beberapa pernak-pernik kecil,
“m ungkin ya, m ungkin tidak...”
Nadira m asih m engaduk-aduk sup Hungarian Goulash
yang sem ula diduga telah m em buat m atanya begitu panas.
Kini air m ata m enitik. Nadira m em atikan api, sup Goulash
belum beres. Tetapi dia sudah tak m ungkin m eneruskan ke-
giatan nya. Nadira duduk di hadapan suam inya. Suam inya
yang begitu dicintainya pada awal perkawinan m ereka.
“Kita tidak harus berpura-pura pedih,” kata Niko sam -
bil m elirik Nadira yang tengah m engusir air m atanya dengan
usapan yang kasar.
“J elaskan pada saya, apa yang sebetulnya terjadi? Apa-
kah kam u akan segera m engawini Rim a?”
“Saya hidup dalam kebohongan. Kam u pernah tidur
dengan suam i kakakm u!”
Nadira terpana.
“Kau baru saja berbincang dengan Yu Nina...”
“Tak penting siapa narasum bernya. Gilang Sukm a ada-
lah tokoh terkem uka, setiap perem puan yang ditidurinya
akan diketahui publik.”
“Aku tidak pernah tidur dengan Gilang.”
Niko m em andang wajah Nadira.
“Itu tidak benar, Niko.”
“Bagaim ana caranya saya harus percaya padam u?”
“Karena aku tidak m enghorm ati apa yang dilakukan
Gilang pada perem puan, Niko.”
Niko m em andang wajah istrinya dengan sangsi.
“Ini bukan pem belaan diri, Niko. Ini fakta.”

174 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Itu hanya gunjingan?”


“Mungkin gunjingan yang sam a yang wara-wiri tentang
kam u, Niko, yang m engatakan kam u tidur dengan sederetan
perem puan, term asuk berbagai istri kawan-kawanm u, bah-
kan setelah kita m enikah.”
Niko tidak m enjawab. Dia tam pak m alas sekali m en-
jawab ucapan Nadira yang terdengar m ulai nyinyir. “Itu soal
lain. Aku lelaki. Dan perem puan-perem puan yang kutiduri
itu tidak ada yang kau kenal.”
Tiba-tiba saja dunia Nadira yang gelap m enjadi terang-
ben derang. Nadira m endapatkan pencerahan. Dia kini pa-
ham kenapa abangnya tak pernah setuju dan tak pernah suka
ke hadiran Niko dalam hidupnya. Bahkan setelah J odi lahir,
sang abang hanya bisa m enunjukkan sikap kasih kepada
J odi sem ata. Begitu berhadapan dengan Niko, per sediaan
ke ram ahan Arya ludes seketika. Arya tak pernah per caya
bahwa Niko akan m em perlakukan Nadira dengan baik.
“Itu sem ua tak terlalu penting,” kata Niko sam bil m eng-
hela nafas, “inti perm asalahannya adalah: kita tidak saling
m en cintai lagi.”
Nadira tak m enjawab. Niko dengan wajah yang kini
ber warna cam puran biru, m erah, ungu itu kem udian m e-
lun curkan senjatanya yang terakhir, “Aku m endengar
kam u sekarang rajin m enyaksikan pertunjukan tari Kirana,
ciptaan Gilang Sukm a. Dia sudah m enjadi m antan suam i Yu
Nina. Mantan! Tapi tetap saja kam u ke sana. Setiap m alam .
Setiap m alam kam u m enyaksikan pertunjukan itu.”
Nadira berdiri dan kem bali m enyalakan api. Dia m ene-
ruskan kesibukannya yang tadi terganggu: Sup Hungarian
Goulash. Tidakkah dia tahu. Aku m enem ukan seseorang
y ang begitu indah. Aku bertem u seorang panji. Kam i tak
tahu kam i hidup di abad keberapa. Kam i tak peduli kam i

175 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kirana

ber cinta di dalam jelaga m alam atau sebuah pagi. Kam i


sosok-sosok y ang tak perlu bicara. Arom a dan dengusan
ada lah pertanda.
“Urus saja perceraian kita. Aku tahu kam u akan m e-
nga wini Rim a. Aku juga sudah tahu tentang persoalanm u
dengan Alina dan Tito Putranto.”
Tiba-tiba saja wajah Niko m em beku. Baru kali ini
nam a-nam a itu m eluncur dari m ulut istrinya. Wajahnya te-
rasa panas. Dia bukan saja tertangkap basah karena tidur
dengan perem puan lain. Ternyata istrinya tahu: segala per-
juangan nya selam a ini sudah basi.
“Ada dua orang prem an yang datang ke rum ah ini
beberapa bulan yang lalu,” kata Nadira m engaduk-aduk isi
pancinya dengan tenang. “Mereka kirim an Tito Putranto,”
kata Nadira. Kini dia berbicara dengan nada yang sangat
tenang. Mulut Niko terkunci begitu erat.
“Aku hanya ingin J odi. Selebihnya, aku tak peduli,”
kata Nadira dengan lega. Seolah-olah beban yang selam a ini
m em berati pundaknya sudah lepas. Matanya sudah kering.
Niko m engangguk, lalu berdiri dan m enghilang. Dan
selesailah perkawinan itu.

***

Dengarlah langkah kuda Sang Pangeran. Aku sudah m ene-


m u kan sang kekasih. Pangeran yang telah m encariku hingga
ke pelosok hutan; m endesak ke seluruh gua, m endaki sem ua
gunung, dan m em belah sungai. Dia bersum pah tak akan pu-
lang, sebelum m enem ukan aku.
Ia tak berubah. Hanya sorot wajahnya lebih tua. Ber-
tahun-tahun dia m encariku. Seluruh urat nadi perm ukaan
bum i ditelusurinya. Oh, betapa aku m encintainya. Aku sudah
siap kem bali m enjadi Kirana. Tetapi tunggu. Dia, perem -

176 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

puan dengan jejak air m ata di pipinya itu, m enghadang. Dia


m encengkeram tubuhku. Biarkan dirim u m enjadi Panji.
Oh, betapa aku m erindukannya.

“W ahai m atahari y ang m elahirkan pagi


Sury a y ang m engungkap seorang panji
Jangan segera datang,

Biarkan m alam tetap berjelaga


Kita m enjadi sosok tanpa nam a”

Dia m enolak Kirana. Dia ingin berenang dalam tubuh


Panji. Arom a tubuhnya kem bali m enguasai hidungku. Cam -
puran arom a jeruk dan daun Surga. Seluruh syarafku m acet
hanya karena sergapan yang begitu cepat, keras, dan efektif.
J ari-jarinya m enyusuri setiap jengkal tubuhku. Aku lum puh
tak bergerak. Dan kekasihku Sang Pangeran terasa sem akin
jauh...

***

Baju-baju, sepatu, lukisan, televisi, lem ari es, alat dapur,


dan sem ua buku-buku itu sudah m asuk ke dalam puluhan
kardus. Tetapi buku-buku itu... Apakah dia akan m em bawa
Das Kapital? Siapa pem ilik Death in Venice karya Thom as
Mann? Niko atau Nadira? Lalu siapa yang akan m em bawa
sem ua kum pulan cerita J .D. Salinger? Mereka m em belinya
bersam a-sam a ketika sedang berhenti di sebuah toko buku
kecil di Am sterdam . Lalu buku foto Henri Cartier-Bresson
yang m ereka beli di Shakespeare & Co di Paris? Siapa yang
akan m em bawa cangkir kopi dengan wajah Sam uel Becket
yang dibeli di Dublin itu? Dan buku Things Fall Apart yang
ditandatangani oleh Chinua Achebe yang m ereka tem ui

177 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kirana

dalam sebuah acara sastra di Dublin? Bukankah tandatangan


itu bertuliskan: To Nadira and Niko, tw o interesting people
from Indonesia.
Nadira sulit m em utuskan. Karena sesungguhnya dia tak
suka m enginjakkan kaki di tanah orang. Kecuali kebodohan
yang pernah terjadi beberapa tahun silam ketika dia berada
di studio Gilang Sukm a, hingga seluruh dunia langsung
m enuduhnya dia sudah tidur dengan suam i kakaknya.
Tuduhan keji itu akan m enghantui Nadira seum ur hidupnya.
Tapi hanya Nadira—dan ibunya di Surga—yang percaya,
Nadira tak akan m elakukan tindakan yang m enurunkan
harkatnya. Karena itu, Nadira juga m em utuskan untuk tidak
akan berebut harta.
Niko juga nam pak tak peduli. Dia hanya ingin bebas.
“Nik... Franny and Zoey ?”
“Am bil...”
“On the Road?”
“Am bil.”
“Kum pulan dram a Sam uel Beckett?”
Niko m engham piri Nadira, m eraih kedua bahunya,
“Nadira..., am bil seluruh isi perpustakaan ini. Kam u tak
m au m engam bil rum ah ini, jadi paling tidak am billah sem ua
isinya..., bahkan kursi kesayanganm u itu, seharusnya kam u
bawa.”
Nadira m erasa m atanya kem bali panas. Kursi itu
khu sus dipesan Niko ketika Nadira baru m elahirkan J odi.
Saat itu Niko m erasa Nadira m em butuhkan sebuah pojok
yang nyam an untuk m enyusui J odi. Tetapi Nadira tak
ingin m enangis di depan m antan suam inya. Kam u salah.
Sebetulny a kita m asih saling m encintai. Hany a kam u ter-
lalu m encintai dirim u, dan aku tak cukup untuk m enam -
pung egom u y ang jauh lebih luas daripada negeri ini.
Nadira m em asukkan sem ua buku-buku itu dan m en-

178 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

coba m encem plungkan wajahnya ke dalam kardus agar Niko


tak m elihat air m atanya. Sayup-sayup dia m endengar suara
seorang perem puan m encericit. Niko nam pak m engenali
suara itu, sem entara Nadira tetap m eneruskan m em beres-
kan buku-bukunya.
“Hai..., Mbak Dira.”
Nadira m erasa disiram seem ber es. Tetapi dia m em -
balikkan tubuhnya dan berhasil m em bentuk senyum .
“Hai, Rim a...”
“Sibuk, Mbak? Mau saya bantu? Aduh, bener kata Bang
Niko, buku Mbak Dira banyak sekali...”
Rim a, gadis berusia 25 tahun itu, tam pak seperti seekor
bu rung prenjak yang bercuit-cuit tanpa henti. Nadira ter-
senyum dan m em asukkan buku-bukunya sem bari m e na-
nam kan kepalanya sem akin dalam ke dalam kardus besar
bekas pem bungkus lem ari es.
Karena Nadira tak m enjawab tawarannya, Rim a m e ng-
undang dirinya sendiri untuk ikut m engangkat buku-buku
yang bertebaran dan m em bacanya sekilas. O, Am uk Kapak,
Sutardji Calzoum Bachri. Bila Malam Bertam bah Malam ,
Putu Wijaya. To the Lighthouse, Virginia Woolf.
Ketika Rim a m em buka-buka sebuah buku hitam te-
bal, Nadira m elirik. J antungnya langsung m elonjak, dan
m e lesat keluar dari dadanya. Entah bagaim ana, tiba-tiba
tangan kanannya seolah m em iliki jiwanya sendiri. Tangan
itu m enyam bar sang buku hitam dengan sigap dan sedikit
kasar. Rim a m enguik terkejut seperti seekor tikus yang
diinjak sepotong kaki bersepatu lars tentara. Tetapi insiden
itu segera terlupakan.
Hanya beberapa saat sebuah langkah kecil berlari-lari.
Rim a kem bali m enguik dan m enangkap J odi sem bari m e-
m eluknya.
“Haiiiii, J odiiiiii..., apa kabar, Sayang?”

179 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kirana

J odi m enggeliat dan m inta m elepaskan diri dan m e-


m e luk kaki ibunya. Saat itu Nadira m enem ukan sehelai
daun berbentuk hati; daun Surga dari Asm arantaka. Dia
tersenyum . Apakah aku sedang berm im pi. Atau dia
m em ang terus berkelebat m elintas antara dunia ny ata
dan dunia tari? Nadira m engam bil daun Surga yang sudah
m ulai kering itu dan m encium nya. Arom a itu. Arom a yang
m em bawa m ereka pada sebuah hasrat. Dia m eletakkan daun
Surga itu di dalam buku bersam pul hitam m ilik ibunya, lalu
dia m em asukannya ke dalam ransel.
“Tunggu dua jam lagi, kam u sudah bisa m enem pati ru-
m ah ini. Biarkanlah saya m em bereskan buku-buku saya,”
kata Nadira dengan nada datar. Dia m enggiring J odi ke ka-
m ar, m em bantu m engepak m ainan dan buku-buku.

***

Penghuni hutan Asmarantaka tertawa. Langit biru me-


nyelimuti atap hutan. Aku memutuskan untuk menetap di
sini, selamanya. Bersama dia. Tanpa nam a. Tanpa tepi y ang
m em batasi. Tanpa ujung y ang pasti.

****

J akarta, Maret 20 0 8-Tanjung Pandan, J uli 20 0 9

180 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

SEBILAH PISAU

SUDAH dua jam . Rapat ini belum juga selesai. Aku selalu
he ran m elihat kem am puan reporter dan redaktur untuk
ber celoteh tak berkesudahan. Mirip burung cucakrawa yang
ba ru m inum obat perangsang. Tidakkah m ereka tahu: se-
m a kin banyak m ereka berbicara, sem akin dungu wajah m e-
reka? Misalnya Yosrizal, inilah yang biasa dia lakukan ber -
sam a Andara.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Biasanya kalau kedua redaktur dungu itu sibuk ber-


de bat tentang laporan utam a apa yang layak, Tara akan
m e ne ngahi m ereka. Tara m em ang cocok jadi wasit. Dia
punya obsesi terhadap filsafat “w in-w in solution”. Nam a
te ngahnya m em ang Utara “w in-w in solution” Bayu, karena
se tiap problem di kantor ini selalu diselesaikannya dengan
“m enyenangkan sem ua pihak”.
Aku hampir mati karena bosan. Rapat antara desainer
dan bagian tata letak dan ilustrator m ajalah Tera biasanya
tak banyak cingcong. Tidak seperti rapat redaksi yang bi-
cara kesana-kem ari tak jelas ujungnya; atau saling pam er
pe nge tahuan (“m enurut info dari sum ber saya, akan ada
m erger dua perusahaan raksasa itu...”); saling pam er nam a-
nam a terkenal (“tapi Menteri A kem arin telepon saya dan
m em bantah tuduhan itu: Menteri B siang ini m engajak saya
m akan siang.”).
Di antara acara pam eran itu, aku selalu m em perhatikan
satu sosok yang tak banyak bicara. Setelah mengajukan usul,
biasa nya dia duduk di pojok, membaca. Sekali waktu, dia
mem baca Franny and Zoey karya J .D. Salinger. Kali lain, bi-
birnya ter senyum ketika m enenggelam kan wajahnya ke da-

183
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

lam novel Buddha of Suburbia karya Hanif Kureishi. Pernah


juga satu kali, ketika Yosrizal m ulai bertengkar di dalam
rapat, perem puan ini m engeluarkan kom ik Lat, dan dia ter-
tawa sendiri.

Nadira m em punyai dunianya sendiri.


Dan aku tak pernah berhasil m eraba isinya.

***

Aku bertem u dengan Nadira Suwandi tahun 1989. Dia


m eluncur di hadapanku sebagai sosok yang m em asuki dunia
jurnalism e dengan penuh daya hidup. Dia perem puan m uda
yang segar; beram but ikal panjang (yang agak jarang disisir,
tapi selalu cukup rapi untuk digerai hingga m enyentuh
bahunya); m alas berdandan seperti lazim nya wartawan pe-
rem puan lainnya di dunia m edia berita (kecuali seulas be dak
tipis dan polesan gincu yang sam ar-sam ar, nyaris ber warna
seperti bibirnya). Hari pertam a di m ajalah Tera, Nadira
m engenakan jins dan kem eja putih. Dia m enyandang se-
buah ransel dari bahan jins yang sudah m em udar yang pe-
nuh dengan buku-buku. Mungkin Nadira m enyangka m a-
jalah Tera adalah sebuah kam pus. Tetapi sejak hari pertam a

184
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

ke datangannya, dia sudah menjadi bahan pembica ra an. Aku


rasa karena dia sudah dikenal sebagai penulis. Atau bisa juga
karena Nadira sangat ekonom is dengan kata-kata sehingga
dia m em ilih untuk m em baca saja daripada ber bincang
dengan rekan-rekannya.
Di dalam ruang rapat, Nadira pasti m em bawa buku—
kali ini dia m em bawa novel berjudul Novem ber—dan agen-
da tebal serta sebatang pena. Selam a Utara Bayu m em -
per kenalkan Nadira kepada para reporter, Nadira hanya
m e ngangguk dan tersenyum pada setiap reporter. Matanya
yang bagus itu m enatap papan tulis putih dengan intens
ketika Tara m enje laskan rencana laporan utam a. Selam a
m e natap papan tulis itu, tangannya tetap m em egang novel
itu dengan erat, seolah dia takut bukunya akan m elesat ke-
luar dari jari-jarinya.

Karena beberapa kawan langsung m erubung dan m eng-


ajak nya berbincang, aku langsung m em batalkan rencana
untuk m enanyakan isi buku yang dibacanya.
Kali pertam a kam i bertukar kata ketika Nadira ikut
antre di m eja panjang, tem pat m akanan katering disediakan
setiap J um at dan Sabtu m alam . Inilah antrean ular yang ter-
jadi di m eja m akan lantai tujuh kantor kam i setiap J um at

185
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

m alam . Dia satu-satunya yang antre sam bil m em baca buku


sem bari m aju selangkah dem i selangkah setiap kali antrean
sem akin m endekati m eja.
Karena aku berdiri persis di belakang Nadira, aku selalu
harus m encoel bahunya jika sudah ada “om pong” di depan
antre kam i. Dan dia akan m aju selangkah tanpa m enoleh.
Begitu seterusnya.
Ketika dia terlalu lam a tidak m aju, padahal antrean
su dah panjang, aku m endehem . Nadira agak terkejut dan
m e noleh. Secara spontan dia m engatakan m aaf sem bari
m engam bil satu langkah yang besar. Dan saat itu, dia baru
m enyadari ke ha dir an orang lain di luar bukunya yang sudah
m engisap per hatian dia.
“Bukunya pasti bagus sekali...,” aku m engucapkan itu,
sedikit m enyentil. Nadira menoleh lagi dan tersenyum .
“Iya..., m aaf...,” Dia m aju selangkah dan kini kam i
sudah ada di ujung m eja. Nadira m eletakkan bukunya yang
kecil itu ke saku jaketnya dan m engam bil satu piring m akan
untukku dan untuk dirinya.
“Tentang seorang anak rem aja yang lari dari
rum ahnya... Dia m erasa terlalu tergantung pada ibunya dan
dia ingin m elepas segala ikatan prim ordial. Dia tidak ingin
dikenal sebagai anak sang ibu, hingga dia m enggunakan
identitas yang baru dan m engalam i banyak peristiwa yang
m engejutkan sepanjang perjalanan.”
“Kenapa judulnya Novem ber?”
“Perisiwa kaburnya dia dari rum ah pada bulan Novem -
ber, ketika setiap hari dari langit tum pah hujan,” jawab
Nadira dengan sem angat sam bil m enciduk nasi begitu
banyak. Dia pasti lapar sekali.

186
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Porsi nasi perem puan lain Porsi nasi N adira

Ketika Nadira sudah m engam bil lauk dan m eletakkan-


nya di gunung nasinya itu, dia perm isi dan duduk di m eja
ker janya di antara lautan cubicle reporter yang lain. Kam i
tak banyak berinteraksi setelah pertem uan pertam a, karena
urusanku lebih banyak dengan ilustrasi dan desain. Para
desainer dan ilustrator berkantor di lantai delapan, sedang-
kan redaksi ditem patkan di lantai tujuh kantor kam i. Tetapi
aku tak pernah sabar m enanti setiap J um at dan Sabtu m alam
untuk antre bersam a m engam bil m akanan yang disediakan
kantor. Setiap kali antre, aku selalu berusaha ber diri di bela-
kang Nadira.
Tidak sukar juga m elihat ada beberapa lelaki yang sejak
awal m encoba m eringkus perhatian Nadira. Tetapi yang pa-
ling nyata adalah tingkah laku Tara. Sebetulnya Tara, seperti
juga diriku, bukan lelaki yang ekspresif.
Tetapi karena dia tidak ekspresif, m aka kam i m elihat
se buah perbedaan ketika Tara m enawarkan Nadira untuk
m inum teh hangat saat J akarta dihajar hujan; atau m em per-
ha tikan riset apa yang dibutuhkan sang reporter dalam se-
buah laporan utam a; atau kecenderungan Tara untuk lebih
ge m ar m engecek kelom pok reporter yang duduk di dekat
jendela (dekat m eja Nadira) dibanding kelom pok reporter

187
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

yang duduk di sebelah barat. Yosrizal senang sekali m eledek


kecenderungan Tara yang baru ini.
Nadira kelihatan lebih sibuk dengan tugasnya, dengan
tantangannya m engejar Menteri Sudom o dalam kasus Petisi
50 dan m engejar beberapa narapidana dalam rubrik krim i-
nalitas. Pada saat yang agak luang, Nadira akan tenggelam
dengan buku-buku yang dibawanya, dan m eladeni satu-
dua pertanyaan atau kom entar rekannya. Tetapi kesan ku,
dia bu kan perem puan yang gem ar bersosialisasi. Tepatnya,
dia bukan orang yang senang berada di dalam rom bongan.
Buktinya jika dia tengah berbincang berdua saja dengan
Tara atau dengan Andara, dia tidak kikuk. Tetapi begitu dia
berada dalam sebuah kelom pok, m atanya terlihat redup,
dan perlahan dia akan m elipir keluar rom bongan, dan
m engam bil buku dari sakunya, lalu tenggelam sendiri dalam
dunianya.
Aku sungguh tak bisa m eraba dunia Nadira.

***

Setelah tiga bulan bergabung dengan m ajalah Tera, Nadira


m ulai m enyadari: hidup tidak m anis seperti gulali. Sebagian

188
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

reporter m enjadi sahabatnya; sebagian m enjadi kritikusnya.


Yang belakangan biasanya adalah orang-orang yang rendah
diri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selain m encerca
orang lain yang berhasil m elibas m ereka. Itu dunia politik
m ajalah Tera. Itulah dunia politik perkantoran.
Dan sudah pasti, itulah yang terjadi ketika Nadira ber -
hasil m ewawancarai Presiden Cory Aquino pada saat
Presiden itu bertahan dari upaya kudeta. Nadira pulang ke
J akarta m enerim a kritikan yang sam a banyaknya dengan pu-
jian. Tentu saja Tara dan beberapa redaktur pelaksana m e-
m uji-m ujinya, Nadira seperti biasa, tidak bersuara. Hanya
m atanya yang berbinar. Tetapi dengan segera, m atanya
kem bali redup ketika beberapa redaktur lain m enghajarnya
di papan otokritik (sebuah papan yang diletakkan di tengah
ruang redaksi yang berisi berbagai kritik tentang tulisan
m ajalah Tera yang dianggap kurang bagus).
Kini dia duduk di lantai delapan, karena dia harus m e-
nye rahkan beberapa hasil foto hasil liputannya di Manila ke
bagian Foto. Dia m enggunakan kam era Nikon m anual.
“Ini pasti bukan m ilik kantor,” kataku m engham piri
Nadira dan kam eranya.
“Ya. Ini kamera milik saya.” Nadira memegang dan me -
mangku kamera itu seperti seorang ibu memangku anaknya.
Aku m em inta izin m em egang kam eranya dan m engintip
dari balik lensanya. “Ini kam era bagus. Klasik.”
Nadira tersenyum , dia berdiri dan m engam bil film nya
untuk dicuci-cetak bagian film nya.
“Selam at ya…”
Nadira m engerutkan kening.
“Ya, kam u berhasil m ewawancarai…”
“Oh itu, lupakanlah. Tidak penting,” katanya dengan
wajah m urung.

189
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

Aku m em berinya isyarat untuk duduk. Dia duduk dan


kembali memangku kameranya. Belum pernah kulihat mata-
nya redup seperti itu.
“Aku tidak m enyangka aku akan jatuh cinta pada
pekerjaan ini,” tiba-tiba saja dia nyerocos. Aku belum
pernah m endengar Nadira m engucapkan kalim at sepanjang
itu. Astaga.
“Itu pertanda bagus kan?” kataku seadanya.
“Ngng… m ungkin tidak. Karena sekali aku jatuh cinta,
aku bisa jadi obsesif, terlalu konsentrasi pada satu hal. Pada
hal yang kucintai.”
“Lo, itu bagus dong,” kali ini aku berkata dengan tulus.
“Untuk kantor ini, ya bagus. Tapi untuk kehidupan so-
sialku, ini hal yang buruk. Aku jadi tidak pernah nonton,
mulai sulit mencari waktu membaca, apalagi mengutak-atik
cerita pendekku.”
Oh, panjangnya kalimat itu. Apa dia pernah berbicara
se banyak ini dengan Tara?
“Kamu terganggu dengan sikap beberapa reporter?”
“Sam a sekali tidak, Mas. Kita sem ua perlu dikritik,”
nada bicara Nadira terdengar jujur.
“Kritik mereka lebih bernada politis…,” kataku dengan
nada datar.
Nadira diam. Dia malah berdiri dan menghampiri me-
ja ku. Tiba-tiba matanya membelalak. Matanya berpindah
dari satu gambar ke gambar lain. Semuanya, oh hampir se-
mua lembar sketsaku menggambarkan Nadira atau ke giatan
Nadira. Kakinya. Wajahnya. Matanya.
Gila. Aku lupa menyimpannya. Membuangnya. Menyem -
bunyikannya. Sinting. Dia pasti menyangka aku seorang peng-
intip kehidupan pribadinya.

190
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Nadira terlihat pucat dan bingung. Dia kemudian pergi


meninggalkan ruang desain tanpa permisi.
Aku merasa seperti orang paling dungu di dunia.

***

Untuk waktu yang cukup lam a, aku tak pernah berte m u


dengan Nadira. Bahkan aku lupa kehadirannya; sam pai
akhir nya aku m endengar berita yang sungguh m engguncang.
Pada tahun 1991, dua tahun setelah Nadira bergabung dengan
kantor ini, ibu Nadira tewas bunuh diri. Ah….

Sejak itu, wajah Nadira tak pernah sama seperti yang


kukenal. Ram butnya sem akin berantakan; wajahnya kusut
dan pipinya selalu terdapat jejak air mata, seolah dia tak
pernah mem basuh mukanya. Kolong meja kerjanya berubah
menjadi tempat dia menyembunyikan seluruh kesedihannya.
Aku sering m elihat kaki Nadira yang m engenakan se-
patu kets m enyem bul dari kolong m ejanya. Itu tepat se bulan
sesudah kem atian ibu Nadira, di suatu siang di tahun 1991.
Aku ingin sekali m enegurnya, tapi Tara m enggelengkan ke-
palanya. Akhirnya aku duduk dan m encoba m enggam bar

191
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

dan m enggam bar. Tapi tak pernah berhasil. Sem ua gelon-


dongan kertas berakhir di tem pat sam pah. Aku hanya ingat
kaki Nadira yang dibungkus sepatu kets yang m uncul dari
kolong m eja itu.
Tiba-tiba aku tak paham , kenapa hatiku seperti ikut
dita rik oleh sebuah batu besar dan perlahan m elayang ke
dasar danau.

***

Aku m eninggalkan sehelai sketsa di atas m ejanya ketika dia


sedang tertidur di kolong m ejanya. Kolong m eja itu sudah
m enjadi “rum ahnya”. Sketsa wajah Nadira ketika dia sedang
tertawa m endengar gurauan Guntur Wibisono, pem im pin
redaksi kam i. Aku m enulis nota kecil:

Aku tak bisa m em bay angkan gelapny a duniam u,


Nadira. Tapi kam i sem ua m enem ani kam u...
m udah-m udahan suatu hari kam i bisa m elihat
w ajahm u seperti ini.

Kris.

***

Guntur Wibisono adalah seorang penyair, sebelum dia m en-


jadi seorang Pemimpin Redaksi. Dan seluruh dunia ter sirap
oleh kata-katanya, kecuali Nadira. Setiap kali Mas G, de m i-
kian kam i m em anggilnya, m em asuki ruang redaksi di lan tai

192
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

tujuh, m aka sekitar em pat atau lim a orang akan segera m e-


rubungnya seperti segerom bolan laron yang lengket dengan
lampu neon. Mereka akan meminta pendapatnya, men-
coba ikut m asuk dalam lingkaran diskusinya, atau bah kan
sekadar m enatapnya dengan penuh kekagum an. Kadang-
ka dang, aku turun ke lantai tujuh untuk m enem ui Tara,
dan dari jauh kulihat Nadira tetap saja bergelung di kolong
m ejanya. Tak peduli dengan gejolak dunia, apalagi sekadar
kehadiran Mas G.
Suatu kali Mas G ikut m elongok ke kolong m eja. Serta-
m erta Nadira m elonjak seperti seorang prajurit yang ke ta-
huan tengah m engorek kutilnya.
“Siap, Pak….”
Mas G terlihat iba m elihat wajah pucat Nadira. Tetapi
m ungkin dia tahu Nadira tak ingin dikasihani.
“Betah ya, tidur di kolong?” Mas G berusaha bertanya
dengan nada yang sangat biasa. Datar.
“Ngng….”
“Nanti m am pir ke ruangan saya ya, Dira.”
Nadira m engangguk dengan wajah tegang.
Mas G hanya m enepuk bahunya dan m eninggalkan m e-
ja Nadira diikuti em pat-lim a orang penggem arnya. “Peng-
gem ar”, m aksudku ya itu tadi, orang-orang yang selalu ber-
upaya m e nyenang-nyenangkan dia. Aku yakin setiap kantor
m e m iliki spesies sem acam itu.
Pada saat itulah Nadira baru melihat ada memo dan
sket sa yang kuletakkan tadi pagi. Dia membacanya dan nam-
pak menatap sketsa itu. Dan entah bagaimana, dia seperti
mengetahui bahwa aku memperhatikan dari jauh. Nadira
menoleh. Ada sedikit senyum di ujung bibirnya. Mata nya
m engucapkan terim akasih.
***

193
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

“Beres?”
Utara Bayu, seorang wartawan serius, berhidung lan-
cip, berm ata tajam . J ika dia dipaksa untuk ikut pentas wa-
yang orang, pasti dia dim inta m em erankan Arjuna, m eski
na m anya m engandung kata Bayu. Hidungnya yang lancip
itu yang sering m em buat orang m engira-ngira di antara
pohon keluarga Tara yang penuh dengan nam a-nam a J awa,
pastilah ada seorang tuan atau noni Belanda yang sem -
pat m enikah dengan nenek m oyangnya. Bibirnya selalu
terkatup m enyim pan seluruh perasaan dan kata-kata di
da lam tubuhnya. Dia sekap, dia gem bok, dan kuncinya di-
lem par ke sebuah danau. Seharusnya hanya Nadira yang bisa
m engam bil kunci itu di dasar danau. Tetapi seorang Nadira
terlalu sibuk dengan tragedi dalam hidupnya. Bagaim ana
m ungkin dia akan m enyelam ke danau m ilik Tara dan
m engubek-ubek kunci hatinya.
Mungkin karena itu, seorang Utara Bayu yang ber-
hidung lancip dan berm ata tajam dan cerdas itu, hingga
akhir hayatnya tak akan pernah bisa m enggapai Nadira.
Dia tak akan bisa m enyentuh apalagi m em iliki hati Nadira.
Tindak-tanduknya yang m inim -kata terlalu m irip dengan
tingkah laku Nadira.
“Apanya yang beres? Mas G m inta aku tetap m enugas-
kan Nadira seperti biasa, karena kelihatannya Nadira belum
m au m enghadapi kesedihannya. Dia m aunya kerja dan tidur
di kolong m ejanya.”
Tara terdiam menatap keluar jendela, mobil-mobil yang
ber seliweran m elalui kawasan Kuningan itu tak peduli de-
ngan apapun yang terjadi dengan kunci yang dilem par
Tara ke sebuah danau. J akarta di tahun 1992 sedang ber-
be nah karena pem erintah akan m enjadi tuan rum ah sebuah
per helatan dunia. Puluhan kepala negara akan hadir di
Indonesia, term asuk Yasser Arafat.

194
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Mas G m alah m enyuruh aku m em asukkan Nadira da-


lam tim peliputan Konferensi Non Blok.”
Tara m enghela nafas.
“Lalu?” aku tak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku
tahu, Tara adalah seorang wartawan dan manajer yang baik.
“Ya, aku akan m em asukkan dia dalam tim liputan ini.
Problem nya bukan pada kom petensinya, tetapi suasana
hatinya. Dia sangat m enyim pan kesedihannya. Suatu hari,
aku khawatir, dia akan m eledak.”
Apa yang dikhawatirkan Tara terjadi.

***

Liputan Konferensi Non Blok yang lebih m irip sebuah pang-


gung teater dunia itu diselenggarakan para reporter dengan
baik. Nadira m engerjakannya dengan patuh dan sigap. Ma-
ta nya yang tajam dan berbinar-binar itu selalu m em buat
langkahku berhenti sejenak di lantai tujuh.
Dia m elahap sem ua tugas Tara seperti seorang gem bel
yang sudah berpuasa selam a berm inggu-m inggu. Tak peduli
dengan m enu m akanan, seluruh isi piring ditelan begitu
saja. Dia ingin m engubur luka hatinya dengan tugas yang
tak berkesudahan.

Tiga tahun setelah kem atian ibunya, Nadira sudah


m em perlakukan kolong m ejanya seperti sebuah kam ar pri-
badi. Sem ua buku, sepatu, kertas-kertas dokum en inves-
tigasi berserakan di kolong m eja, seperti seorang gem bel
yang m em perlakukan kolong jem batan sebagai ru m ahnya.
Sleeping-bag yang dibentangkan di kolong m eja sudah
berwarna m erah pudar; tetapi kesedihan Nadira tidak
kunjung berlalu. Mas G m elarang para redaktur yang ingin
m erecoki ketidaklazim an ini. Ketika salah seorang re-
daktur m engeluh arom a sleeping-bag Nadira yang sudah

195
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

m engganggu, Mas G m alah m endelik. Maka bubarlah sudah


per debatan “apakah kita perlu m enertibkan gem bel yang
ber nam a Nadira dari kolong m eja.” Satu pelototan Mas G
sudah diterjem ahkan sebagai kalim at perintah: “Biarkan dia
tidur di situ.”
Akibatnya, Nadira m endapat julukan “penjaga kolong
m eja Tera”. Dia tak peduli, atau m ungkin tak m endengar
bisik-bisik itu.
Terkadang aku sengaja berjalan m elalui m ejanya,
dengan wajah sibuk.
Aku bertingkah seolah-olah aku tengah m engham piri
m eja Yosrizal atau m eja Tara. Tetapi sebetulnya aku cum a
ingin m elirik ke arah m eja Nadira, dan m em eriksa, siapa
tahu kaki yang terbungkus sepatu kets itu tidak m enjulur
keluar. Siapa tahu, karena sebuah keajaiban, kolong m eja itu
sudah kosong dan dia sudah hidup norm al seperti m anusia
lainnya: tidur di atas tem pat tidurnya di rum ah.
Tetapi setiap kali aku tertipu. Setiap kali aku m enyangka
kolong m eja itu kosong dan bersih, pada detik itu pula
kaki berbungkus sepatu kets m erah pudar itu m uncul
seketika. Tung! Kaki yang dibungkus sepatu kets brodol itu
m engejekku dan m engatakan, “Ini rum ahku!”
“Masih. Dia m asih seperti gem bel. Mau m enggam bar
lagi?”
Andara tersenyum. Lalu terbahak-bahak meninggalkan ku.

***

Nadira duduk di hadapanku m engusap-usap tangannya.


Lantai tujuh tengah heboh karena Nadira baru saja m enon-
jok salah satu sum bernya, Bapak X, seorang psikiater yang
saat ini sedang ditahan polisi. Aku tak tahu persis apa yang
ter jadi dalam wawancara itu. Yang aku tahu, di tengah ke-

196
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

sibukanku m elukis untuk sam pul depan laporan utam a,


Nadira tiba-tiba saja sudah m eluncur ke hadapanku dengan
wajah kem erah-m erahan, ram but berantakan, dan tubuh
yang dibanjur keringat. Dia m enatapku dengan m ata berair,
bukan karena ditim pa kesedihan. Mata itu m em ancarkan
kem arahan.
Untuk 15 m enit pertam a, karena aku belum paham
apa yang terjadi, aku m enghubungi Tara m elalui telepon
di m ejanya. Tara hanya m em berikan penjelasan versi ring-
kas: Nadira ditugaskan mewawancarai Bapak X, seorang
psikiater yang dituduh m em bunuh sejum lah perem puan pa-
ruh baya. Pada akhir wawancara (atau tepatnya di tengah
wawancara), Nadira m enonjoknya. Aku tak tahu apa yang
terjadi. Tara juga belum tahu rincian kisahnya, karena “Aku
cum a m endapat telepon dari Pak Ray dan Nadira langsung
ke lantai delapan dengan wajah yang sangat m arah. Aku m e-
nyangka dia ingin m enem ui Mas G.”
“Tidak. Dia ada di sini sekarang, di m ejaku,” kataku
berbisik sam bil m elirik Nadira yang sedang m engusap-usap
kepalan tangannya.
“Kris, tolong tem ani dia dulu. Anak-anak redaksi se-
dang ram ai m em bicarakan dia di sini. Aku sedang m encoba
m enghalau gerom bolan burung nazar ini. Aku juga harus
m e ngurus keluhan dari pengacara Bapak X,” kata Tara
dengan nada datar.
Aku m enutup telepon. Nadira tam pak m enggosok-gosok
tangannya dengan wajah gelisah. Wajahnya basah. Aku tak
tahu apakah itu keringat atau air m ata. Aku m enyodorkan
tisu, tetapi Nadira tidak m enyam butnya. Aku m em berikan
se gelas air putih.
Dia m enyodorkan kepalan tangannya, dan berkata agak
lantang, “Tolong buat sketsa kepalan tanganku, Mas Kris.”

197
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

“He?”
“Iya. Kan Mas Kris sering m em buat sketsa badan saya...
Tolong buat sketsa kepalan ini, kepalan yang sudah m eninju
wajah Bapak X.”
Aku m asih belum tahu apa yang ada di dalam tubuh
dan kepala Nadira. Tetapi tanganku, seperti ada nyawanya
sendiri, sudah m enyam bar sehelai kertas dan pensil. Nadira
m enyeringai dan m enyodorkan kepalan tangan kanan
seperti seorang anak kecil yang m enyuruh kita m enebak isi
tangannya. Kepalan tangan Nadira berwarna kem erahan
dan kulitnya nam pak terkelupas. Sesekali aku m eluruskan
posisi tangan Nadira agar aku bisa m em buat sketsa itu
dengan baik. Kulit Nadira selicin batu pualam . Pantas saja
Tara tidak pernah bisa m enghalangi dirinya untuk tidak
tertarik pada perem puan aneh ini. Sesekali Nadira tak
tahan, dia m enggaruk pipinya yang basah oleh keringat; lalu
m enyodorkan tangannya.
“Lantai tujuh heboh ya?” tanyaku sam bil m encorat-
coret di atas kertas.
“Mungkin...” Nadira menjawab dengan nada tak peduli.
Sketsa itu selesai.

Nadira m enatap sketsa itu dengan intens. Perlahan se-


nyum nya m engem bang. Tiba-tiba dia berdiri dan m enarik
lenganku.

198
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Pertanyaanku tak kunjung dijawab. Di lantai tujuh, dia


m enyam bar ranselnya dan m engajak aku pergi ke luar kan-
tor. Aku m erasakan seluruh isi warga lantai tujuh m e ngikuti
tingkah laku Nadira dengan ekor m atanya.
Pem akam an Tanah Kusir siang itu tidak terlalu ram ai.
Hanya berisi nisan, rum put gersang, dan angin kering m u-
sim kem arau. Aku m engikuti langkah Nadira yang begitu
lincah seperti baru saja m enenggak obat perangsang. Kam i
ber henti di muka sebuah makam yang diberi nisan batu hitam
yang sangat sederhana.

Bersam a tanah, dedaunan, dan batu-batu


Bersam a doa dan rindu
Ibu, istri, dan kakak kam i, Kem ala Suw andi
Pergi di sebuah pagi
Untuk berjum pa kem bali, suatu hari

Lahir: Tanjungkarang, 9 Septem ber, 1932


Wafat: J akarta, 10 Desem ber, 1991

Aku hampir yakin, itu adalah hasil tulisan Nadira. Tetapi


aku tak sempat bertanya apa-apa, karena kulihat tangan
Nadira membersihkan beberapa helai rumput teki yang mulai
tumbuh di pinggir makam ibunya. Dia me nun duk sebentar
dan berdoa. Aku juga menunduk dan pura-pura berdoa meski
ekor mataku mencuri pandang mem per hatikan Nadira. Hanya
beberapa menit, lalu dia me le takkan sketsa buatan ku di atas
makam ibunya. Setelah Nadira mengusap wajahnya sendiri,
barulah dia mengajak aku kembali ke kantor. Angin kering itu
berhembus. Bintik keringat di wajah Nadira itu..., akhirnya
aku mengambil tisu dan, entah bagaimana, tanganku seperti
memiliki ruhnya sen diri. Tangan itu mengusap keringat di
kening Nadira. Nadira perlahan-lahan tersenyum.

199
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

“Aku akan m em belikan kam u sebatang sisir,” kataku


m em perbaiki ram butnya yang awut-awutan.
Dia tertawa. Terbahak-bahak. Aku berhasil m em buat-
nya tertawa.

***

“Cerdas, tapi terlalu aneh.”


“Ya, pasti jadi aneh, ibunya bunuh diri, ya anaknya pasti
pada aneh sem ua.”
“Kalau ke kantor bawa buku satu ransel, seperti m au
kuliah!”
“Katanya Bapak X ditinju ya?”
“Babak-belur oi...”
“Ha? Babak-belur?”
“Yeah...”
“Cum a biru m ukanya, babak-belur apa?! Hiperbolik
betul kau!”
“Tulang hidungnya patah!”
“Halah, pem bunuh sinting begitu, biarlah!”
“Lo, m asalahnya dia itu narasum ber. Bajingan atau
pah lawan, kita harus tetap sopan dan bertugas m e wa wan-
carai. Habis perkara.”
“Nadira tidak bisa m enjaga letupan em osinya!”
“Dia tidak bisa m enjaga nam a m ajalah Tera.”
“Tapi pasti dia tidak dihukum ... Mas Tara terlalu lem bek
sam a dia.”
“Seharusnya dia dirawat di rum ah sakit jiwa, buat apa
punya reporter cerdas kalau sinting dan m enghajar nara-
sum ber?”
“Dia nggak sinting lah.”
“Ya, m iring lah…”

200
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Seandainya aku memiliki seember air berisi es, aku ingin


m enyiram kannya ke atas kepala burung-burung nazar ini.
Tapi aku hanya punya kertas dan pensil. Dan tentu saja tak
m ungkin aku m encelobot perut m ereka dengan pensilku
yang tajam . Aku tak ingin dipenjara. Apapun kesalahan
Nadira, seharusnya m ereka m em bela dia sebagai kawan;
sebagai anggota keluarga Tera.

***

“Apa kata Mas G?”


Nadira duduk di bawah kolong m ejanya, m enggigit apel
hijau. Aku sudah m em berinya sebatang sisir, tapi ram but
Nadira tetap berm inyak, berantakan, seperti belum kena air
se lam a sebulan. Penam pilannya seperti gem bel, m eski dia
m e ngenakan kem eja putih dan jins berm erek m ahal. Aku
duduk bersila di lantai. J adilah kam i duduk di lantai kantor
seperti lesehan di Malioboro.

201
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

“Pak G cum a m em berikan buku tentang Anne Sexton.


Penyair yang bunuh diri,” katanya sem bari m engunyah,
“Kenapa kam u m em anggil dia Pak G?” tanyaku heran.
Nadira m engerutkan kening, “Mau m enyebut dia ‘Mas’,
ter lalu aneh. Saya m engenal dia sejak kecil. Kawan Ayah.
Mau m enyebut dia ‘Om ’, juga aneh. Ini kan kantor, bukan
rum ah. Ya, saya panggil Pak G saja...”
Dia mengunyah apelnya dengan semangat. “Mau, Mas?”
dia m enyodorkan apel hijau yang sudah digigitnya itu. Aku
hanya m em andang gigitan apel itu..., besar sekali.

“Ibu selalu bilang agar saya m akan apel setiap hari, ka-
rena wartawan sering tidur larut m alam , dan perlu buah dan
m adu,” katanya terus m engunyah karena aku tak m e nyam -
but apel yang sudah digigit itu.
“Nadira...”
“Ya...,” dia tetap m enggerogoti apel hijau itu.
Aku tak bisa m enum pahkan kekhawatiranku. Nadira
tam pak terserap betul oleh nikm atnya sebuah apel; atau
tepatnya: Nadira terserap oleh dunianya sendiri. Biar ada
1.0 0 0 burung nazar yang beterbangan di atas jiwanya yang
sudah rapuh itu, Nadira akan lebih sibuk m eniupkan ke-
kuatannya untuk bangun dan berdiri.
“Kenapa, Mas?” dia m enjenguk jam tangannya, “Aku
harus ketem u Mas Tara, aku m au dihukum ... He he he...”

202
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Dia terkekeh. Hanya beberapa detik, Nadira terlihat lelah


dan tua. Dia berhenti mengunyah dan menyenderkan tubuh-
nya ke kaki m eja. Lalu dia m enggum am kan lagu “My Sweet
Lord” perlahan dan berulang, seperti sebuah mantra. “I really
w ant to see You/ I really w ant to be w ith You...”
Itu lagu yang m enggetarkan dari penyanyi dan pencipta
lagu paling jenius di dunia ini: George Harrison. Akhirnya
aku ikut m enggum am kan lirik lagu itu, dan baru m enyadari
repetisi kalimat keinginan untuk melihat-Nya. Aku baru tahu,
Nadira mengucapkannya seperti sebuah mantra.
Apel itu sudah tinggal gelondong. Nadira m em ejam kan
m a ta nya sem bari terus m enyanyikan lagu itu. Di sudut m a-
ta nya, aku m elihat sebutir air yang m enyem bul.

***

“Di Salemba Bluntas, kerjaku cuma main-main... Kakak-


kakak dan sem ua sepupuku tertib belajar m em baca Quran,
aku m alah m em buat kem ah di atas tem pat tidur m eng-
gunakan kelambu Kakek dan Nenek...,” Nadira bercerita
sam bil m e m andang langit J akarta yang hitam karena polusi.
Kam i tengah duduk di atas rooftop lantai sem bilan.
“Ibu jarang ikut salat jam aah, dia cum a duduk di be-
lakang dan aku tidur-tiduran di pangkuan Ibu. Waktu itu
aku m asih lim a atau enam tahun. Dan sum pah, aku m asih
ingat apa yang dibisikkan Ibu...,” Nadira tersenyum . Dia
m em bisikkan kalim at-kalim at zikir itu. Yang rupanya m em -
buat Nadira lebih tenang. Barangkali.
Aku tidak bisa m em berikan reaksi apa-apa, kecuali
m ena warkan rokok. Tentu saja dia m enolak. Lalu aku
m engisap se batang sem bari ikut m elihat langit J akarta yang
begitu kusam seperti air got.
“Aku sering m em bayangkan, ibuku bersam a orang-
orang hebat yang sudah m eninggal itu m ungkin sedang

203
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

ngobrol dan berdiskusi atau bahkan bertengkar: Karl


Marx, Darwin, J ohn Lennon, Virginia Woolf, Sylvia Plath,
Kartini, Bung Karno, Chairil Anwar... Apa saja yang m ereka
ributkan?” Nadira kini m em ejam kan m atanya.
“Mungkin Chairil Anwar yang ingin hidup 1.0 0 0 tahun
lagi akan berdebat dengan orang-orang seperti Virginia
Woolf, Sylvia Plath, dan Anne Sexton yang m em utuskan
tidak ingin hidup selam a itu...,” kataku agak sem barangan.
Nadira tampak terkejut. Aku juga terkejut oleh ucapanku.
Tapi Nadira kemudian tertawa. “Itu betul. Chairil akan sangat
m arah pada m ereka yang m eninggalkan hidup…”
Dia lam a terdiam , tapi aku yakin, kulihat bibirnya ber-
gumam terus-menerus seperti mengucapkan zikir. Mata nya
terpejam . Aku m ulai percaya, Nadira m enyelam atkan di-
rinya dengan zikir yang didengarnya sejak ia m asih kecil.
Kali ini hatiku pecah dan sekuat tenaga aku m elawan air
m ata. Sesungguhnya Nadira tengah berjuang m elawan ke-
ingin an untuk m ati.

***

Undangan itu bukan hanya m enyentakku, tetapi m e nyentak


seluruh isi kantor. Nadira akan m enikah! Em pat tahun
setelah kem atian ibunya, barulah Nadira hidup kem bali.
Dia dibangunkan oleh seseorang bernam a Niko Yuliar,
aktivis 1970 hingga 1980 -an yang pernah ikut dem onstrasi
m enentang NKK/ BKK.
Aku sendiri tak tahu apa profesi Niko saat ini. Aku
hanya m endengar dia sudah berm esraan dengan berbagai
pe ngusaha dengan judul pekerjaan “konsultan”. Entah apa
yang dikonsultasikan, karena keahlian Niko sebetulnya ber-
politik di lapangan. Mungkin dia jadi broker politik, atau
m ungkin juga dia betul-betul m enjadi konsultan profesional

204
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

dalam urusan bisnis, aku tak tahu. Yang jelas, Niko m em -


bangun sebuah kantor survei politik dan ekonom i. Tetapi
zam an sekarang m em bangun sebuah kantor dengan berbagai
nam a sam a m udahnya dengan m engeluarkan angin dari lu-
bang pantat.
Dan aku juga tahu, sosok yang paling m erasa terpuruk
karena perkawinan ini adalah Tara. Lelaki berhidung lancip
dan berm ata tajam itu tiba-tiba terlihat m urung dan gelap,
sem entara Nadira—seperti yang dium um kan segenap rom -
bongan burung nazar lantai tujuh m ajalah Tera—telah ber-
ubah m enjadi Tinkerbell yang lincah tak keruan. Tertawa
ba hagia hingga mengikik-ngikik seperti seorang gadis puber,
m e ngenakan baju dengan warna-warni yang cerah, m eng-
ucapkan selam at pagi atau selam at siang kepada siapa saja
yang ditem uinya, dan bahkan m encoba ikut bergabung
dengan kelom pok burung nazar m eski sekadar basa-basi
lim a m enit. Sem ua warga lantai tujuh m em buat m aklum at
bahwa Nadira Suwandi sudah “sem buh” dari kegilaannya,
dan sudah hidup “norm al” karena kolong m ejanya kini
bersih, licin, dan sentosa. Hanya Andara, Yosrizal, dan aku
yang memperhatikan, Tara adalah satu-satunya mahluk yang
ter lihat seperti seekor anjing yang dikhianati tuannya.
Di suatu pagi yang m asih gelap dan dingin, dua m inggu
sebelum pernikahan Nadira, aku m elihat tiga orang lelaki
m asuk ke lantai delapan. J am sudah m enunjukkan pukul
tiga. Saat itu kantor Tera hanya bersisa segelintir wartawan,
dan beberapa desainer dan penata letak yang terkantuk-
kantuk. Dari tinggi tubuhnya, aku sudah tahu, itu tubuh Tara
yang sedang ditopang oleh Andara dan Yosrizal. Aku segera
m em buru m ereka dan m em bantu Tara untuk duduk di sofa
lobi kantor kam i. Pori-pori Tara m eruapkan arom a alkohol.
Mereka pasti baru saja m inum habis-habisan di J oe’s Bar.

205
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

Tara m engucapkan terim akasih sem bari m em ijit-m ijit


kepalanya. Andara dan Yorizal m em inta agar aku m en ja ga
Tara, karena m ereka m asih harus m enyelesaikan pe nyun-
tingan nas kah. Pada jam tiga pagi sudah tak ada para Polisi
Rokok, m aka aku m em beranikan diri untuk m enge luarkan
rokok kretekku (Majalah Tera terdiri dari warga anti rokok
yang sangat berkuasa. Kami, para perokok, bagai budak yang
harus patuh pada peraturan m ereka).
Baru saja aku m enyalakan api, Tara m enyodorkan
lengannya yang panjang. Eh, m anja sekali anak ini. Aku
m em berikan rokokku dan m em biarkan dia klepas-klepus,
tenggelam di dalam kesedihannya.
“Mas Tara….”
“Shut up!”
Oh, oke. Aku diam m enatap tem bok. Kenapa tem bok-
tem bok kantor tak dibuat m ural saja? Bukankah m ajalah
Tera terdiri atas banyak senim an, term asuk Mas G, pem im -
pin redaksinya. Pasti para ilustrator seperti Mas Elan, Mas
Prajoko, dan aku bisa m engisi tem bok kosong yang m em -
bosankan ini dengan m ural yang ekspresif. Misalnya...
“Mas... Kris…?”
Astaga. Nadira? Apa pula ini? Kenapa dia harus m uncul
saat Tara sedang terlihat dungu?
Tara seperti disengat lebah, langsung duduk dan
m elotot.
“Ada apa, m alam -m alam m asih di sini?’
Nadira m engerutkan kening, “Kan Mas Tara bilang
aku harus m enyelesaikan sem ua utang laporan... J adi aku
kerjakan. Kan aku sudah m au cuti ka...”
“Ya, ya, ya…,” Tara m em otong dengan nada judes. Kata
“kawin”, “nikah”, “Niko”, atau “cinta” kini m enjadi m usuh
utam a Tara. Dia kini duduk tegak. Mungkin pengaruh

206
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

alkoholnya m endadak m enguap, atau m ungkin saja dia


terlalu tegang m elihat Nadira—yang sudah m au kawin itu—
yang m endadak m uncul di hadapannya.
Aku m erasa ini saat yang paling tepat untuk m enyingkir.
Barangkali saja Tara ingin m engucapkan “Selam at jalan,
Sayang... Ku selalu rindu padam u” atau sem acam itulah.
Tetapi Tara m alah m enahan tanganku. Tepatnya, dia
m encengkeram pergelangan tanganku seperti seorang
anak TK yang m encengkeram tangan ibunya yang m au
m eninggalkan dia pada hari pertam a sekolah.
“Mas...,” Nadira m alah ikut duduk di sofa tanpa di-
undang. Aku bisa m erasakan tubuh Tara sem akin tegang.
Tangannya sem akin m encengkeram pergelangan tanganku
dan aku m encoba m enahan rasa sakit. Mudah-m udahan da-
rahku bisa m engalir dengan lancar.
“Biarpun nanti saya cuti, kalau Mas Tara perlu saya ka-
lau ada yang sangat penting, panggil saya, Mas. Kita kan se-
dang kekurangan reporter.”
“Oh, jangan, cutim u tidak boleh diganggu. Reporter
lain banyak. Nikm ati saja liburanm u,” Tara m engucapkan
itu sem bari m enelan ludah.
“Mas....”
“Ya....?”
Aku berdiri, inilah m om en “Selam at jalan, Sayang” itu.
Aku harus m eninggalkan m ereka. Kali ini Tara tidak m eng-
ha langiku. Aku m enggum am , pura-pura ada sesuatu yang
per lu kuselesaikan. Tam paknya m ereka tak peduli. Tapi aku
sengaja m em buat kopi di pantry yang letaknya hanya be be-
rapa m eter dari lobi m ajalah Tera. Aku bisa m endengar per-
cakapan m ereka dengan jelas.
“Aku ingin tanya, Mas... Kenapa banyak sekali orang
yang tidak berbahagia aku m enikah dengan Niko?”

207
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sebilah Pisau

O, Nadira..., kenapa kau m esti m engeluarkan


pertanyaan itu? Kenapa?
Aku tak m endengar jawaban apa-apa. Lalu kudengar
Tara m engeringkan kerongkongannya.
“Ya, kecenderungan m anusia kan selalu iri oleh ke-
ba hagiaan orang lain, Dira. Kam u tak perlu m erasa ter-
ganggu….”
“Mas Tara kenal Niko kan? Menurut Mas Tara, dia le-
laki yang baik kan?”
“Ya, tentu saja saya kenal dia. Siapa yang tidak kenal
Niko Yuliar?”
“Dia lelaki yang baik kan?”
“Ya….”
Aku ham pir tak bisa m endengar bisikan Tara.
“Nadira..., aku harus m engatakan sesuatu…”
J antungku berloncatan kian-kemari. Tara, Tara, aduh….
“Ya, Mas….”
Hening.
Udara kantor terasa seperti kandungan seorang ibu yang
berusia sembilan bulan yang siap jebrol kapan saja. Dan isi
kandungan itu adalah rasa cinta yang sia-sia.
“Aku... m engenal Niko dengan baik...”
“Ya, Mas?”
“Nadira..., aku ingin kam u berbahagia dengan Niko...
Itu saja.”
Suara Tara ham pir pecah.
“Oh, terim akasih, Mas…” Aku bisa m endengar suara
Nadira yang riang, “Aku pasti akan bahagia. Sekarang pun
aku sudah bahagia... Aku pulang dulu ya, Mas…”
Kudengar Nadira m elangkah dengan ringan m eninggal-
kan lobi kantor. Hatiku terasa berat. Aku m engham piri Tara
yang m asih duduk dengan tegak. Aku m elihat di dadanya

208
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

tertancap sebilah pisau. Dan aku m elihat aliran darah dari


m atanya yang m engalir berkelok-kelok m em basahi seluruh
lantai lobi.

Paris, April 20 0 5-Anom ali, J akarta, J uli 20 0 9

209
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

UTARA BAYU

UNTUK seorang perempuan yang har i in i sudah mencapai


usia 63 tahun, Ar yati Abim anyu nampak seper ti setangkai
anggrek ungu. Anggun, kukuh, klasik, dan tak lekang di-
m a kan usia. Dia mewakili para ibu J awa yang rajin meng-
usap kulitnya dengan m inyak zaitun dan m andi air m awar
pada tanggal-tanggal yang sudah ditentukan. Dia tak pernah
absen mem bersihkan wajah dengan air melati. Sekali se bu-
lan, di luar acara undangan dan ar isan, segala tradisi r u tin
itu dia kombinasikan dengan perawatan moder n yang me-
wah: salon dan spa.
Setiap pagi, seperti juga pagi ini, Aryati m enghirup
jam u awet m uda singsetnya yang luar biasa pahit, tapi yang
telah m am pu m enyangga kehidupannya puluhan tahun. Dia
akan berjalan-jalan di sekitar kebunnya beberapa m enit,

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

memeriksa koleksi anggrek dan anthurium, mengusap-usap-


nya dengan m inyak agar daunnya berkilat, lalu kem bali lagi
ke kursi tam annya untuk m enghirup jam u paginya.
Setelah cangkir jam unya sudah ham pir bersih, m aka
suam inya akan keluar dari kam ar, duduk bersam anya
m em baca koran dan m enghirup kopi pagi. Mereka kem udian
sam a-sam a m enikm ati sarapan. Aryati akan m enikm ati
sepotong roti, m entega, dan seoles m adu; sedangkan suam i-
nya, Triyanto Abim anyu, akan m elahap dua buah telur se-
tengah m atang, dua potong pepaya, dan sepotong roti. Me-
reka saling bertukar inform asi tentang rencana m ereka hari
itu. Triyanto Abimanyu, pensiunan perusahaan minyak yang
kini m enjadi kom isaris di beberapa perusahaan, m engisi
harinya dengan m engadakan kunjungan dan pertem uan-
per te m uan kecil, sebelum akhirnya kem bali ke rum ah dan
m a kan m alam bersam a istrinya.
Pada hari Minggu, putri bungsu m ereka, Utari Dini,
datang bersam a suam i dan kedua anaknya untuk m e ngun-
jungi Eyang Putri dan Eyang Kakung; berenang di kolam
renang di belakang rum ah. Putra sulung m ereka, Utara Bayu,
jika tak sedang sibuk dengan deadline m ajalah Tera akan
ikut bergabung. J ika Tara berhasil hadir dalam kum pul-
kum pul m ingguan ini, dia akan m engeluarkan panggangan
barbeque berkaki tiga. Aryati dan Tari akan m e ngeluarkan
daging, ayam , udang, cum i, ikan, dan segala m acam bum bu
untuk kem udian dibakar dan dim akan beram ai-ram ai.
Hidup pasangan Abim anyu itu sungguh sem purna.
Ham pir sem purna. Seandainya saja, yah, seandainya saja
putra sulung m ereka yang jangkung, berhidung lancip, dan
ber m ata hitam dan tajam itu segera m enyusul adiknya yang
lebih dahulu berum ah tangga. Utara Bayu, lelaki yang halus
budi itu, adalah im pian banyak perem puan dan banyak calon

213 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

m ertua. Tetapi hingga kini, dia m enjadi pusat kegelisahan


sang ibu, karena m asih belum juga m au m em buhulkan hu-
bungannya dengan perem puan m anapun.
Aryati dan Triyanto Abim anyu tahu betul, jika bocah
lanang kesayangan m ereka itu belum kunjung m endapat
jodoh, pastilah bukan karena Utara Bayu tidak laku. Dia
sangat laku keras. Tetapi...
Inilah yang m enjadi topik pem bicaraan khusus pagi
itu, ketika Aryati Abim anyu tengah m enghirup sisa jam u
dan Triyanto m engupas telur setengah m atangnya.
“Saya betul-betul tak m engerti, Mas...”
“Hm m m ?” Triyanto m em baca halam an depan koran
pagi itu dan m enggeleng-gelengkan kepala, “Ndak tega
aku, biar bagaim ana beliau ini Presiden, orang tua...,”
Triyanto m em perlihatkan foto hari-hari akhir Presiden
Abdurrahm an Wahid di istana yang tengah m elam baikan
tangan perpisahan. Dia akhirnya digantikan oleh Megawati
Soekarnoputri.
Aryati hanya m em perhatikan sebentar, lalu m engge-
rutu, “Iya, gara-gara sibuk m ondar-m andir ke istana, Tara
tidak sem pat datang ke pesta barbeque tem po hari, Mas...”
“Ya, nam anya wartawan...,” Mata Triyanto m asih ter-
paku pada foto itu.
Aryati menghela nafas, “Lalu bagaimana soal Tara, Mas?”
“Hm m m ... Tara kenapa?”
Aryati m asuk ke persneling dua. Suaranya m ulai m e-
ninggi. ”Mas, dia belum juga punya calon…”
Triyanto hanya m enggum am dan m em buka halam an
ke dua koran itu “Mungkin hatinya m asih tertam bat pada
ga dis itu..., tem an sekantornya itu... Nadia..., Nadina...”
“Ooooo…,” Aryati Abim anyu ham pir tersedak; sejum put
jam u pahit itu ham pir saja m asuk ke hidungnya. Nam a itu
selalu m em buat jantungnya berdebar-debar.

214 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Nadira, Mas…”
“Ya, Nadira…ke m ana dia?” Triyanto kem bali m em buka-
buka halam an koran pagi yang sungguh tebal itu.
“Nadira yang ibunya bunuh diri itu, Mas…”
Triyanto Abim anyu, sang ayah, sang patriarki keluarga
yang ram butnya sudah diselim uti warna salju, tapi toh m em -
perlihatkan sisa-sisa ketam panan itu, m engerutkan kening,
“Dia bunuh diri?”
“Ibunya, ibunya yang bunuh diri...”
“Oooh, ibunya...”
“Lo, ya tetap saja itu tragedi to, Mas...”
“Lha iya... Tapi saya kira dia yang bunuh diri. J adi
artinya, Nadia ini m asih hidup to?”
“Nadira...”
“Iya, iya... Nadira. Bukan dia yang bunuh diri... Artinya
dia m asih hidup, m asih sehat... Lha sudah, undang saja dia
ke sini. Kenalan sam a Mas Priyatno...”
“Lho, Mas ini..., piye, kok m ain undang. Nadira itu bukan
pacarnya Tara, Mas... Dia itu tem annya..., bawahannya.”
“Terus kenapa?”
“Ya, buat apa diundang?”
“Lha, katanya m encari calon m antu?”
“Duh Mas, Mas... Dia sudah kawin, sudah cerai, sudah
ter bang ke Am erika...”
“Katanya Kanada...,” Triyanto m engoreksi istrinya.
“Ya, ya Kanada. Am erika... Apa to bedanya,” Aryati kini
m e nuang teh jahe ke dalam cangkirnya. Suam inya tidak
m en jawab. Dia tak berm inat m enjelaskan bahwa kedua ne-
gara itu sangat berbeda.
“Mas...”
“Hm ...”
“Ingat Novena?”
Suam inya m eletakkan korannya, “Novita?”

215 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

“Novena, Mas..., kan kita pernah diperkenalkan dengan


dia waktu pesta ulang tahun m ajalah Tera.”
Triyanto terdiam , artinya dia tak ingat. Dia m em utus kan
kem bali tenggelam dalam halam an koran yang bertum puk-
tum puk itu.
”Tem po hari saya sudah tanya Tara, ke m ana Nak
Novena itu... Tara diam . Tidak m enjawab.”
Kali ini suam inya baru m engangkat kepalanya.
“Siapa?”
Aryati m enghabiskan jam unya. Nam paknya suam inya
belum terlalu paham , atau belum m em fokuskan diri dalam
diskusi penting ini. Telur sudah habis, roti sudah hilang dari
piringnya.
“Kopinya dim inum , Mas...”
Sam bil m em baca, sang suam i m enghirup kopinya. Me-
m ang ajaib, hanya dalam waktu beberapa detik, suam inya
m ulai terlihat segar.
“J adi begini, Mas..., aku pikir, kita bikin acara barbeque
hari Minggu yang akan datang...”
“Yooo..., beli tenderloinnya nanti di Kem Chick saja….”
“J adi nanti Mas bicara sam a Tara, supaya undang sese-
orang, Mas…”
“Oke...”
“Betul? Nanti Mas yang bilang sam a Tara untuk m eng-
undang Novena ya?”
“He?” kepala Trianto keluar dari lem baran korannya,
“Novena? Siapa itu Novena?”
Aryati Abim anyu m enghela nafas. Dia m em utuskan
untuk berdiri dan m em beri instruksi pada pem bantu-pem -
ban tunya.
***

216 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Kara Novena lahir ketika hari tak pernah senja. Dia ada lah
sum ber kebahagiaan orangtuanya yang m erindukan se-
orang anak perem puan sesudah tiga anak lelaki yang lahir
se be lum nya. Kara Novena m enjadi pusat perhatian dalam
ke luarga Baskara.
Kara Novena tidak tumbuh menjadi anak manja. Dengan
kasih sayang yang berlim pah dari orangtua dan ke tiga
abangnya, Novena berkem bang m enjadi seorang pe rem -
puan yang penuh kasih dan kesabaran. Term asuk ke sabaran
m e nanti seorang lelaki yang sudah lam a dicintainya. Utara
Bayu. Lelaki berhidung lancip dan berm ata tajam itu sudah
m e nam bat hati Novena sejak hari pertam a pertem uan
m ereka.
Selam a dua tahun, Novena m enjadi reporter junior
yang m engikuti sem ua tugas liputan dan saran-saran Tara,
Kepala Bironya, hingga akhirnya Tara m eletakkan Novena
pada peliputan rubrik Lingkungan, Perilaku, dan Kesehatan.
Selam a dua tahun itu, Novena m erasa hidupnya tenteram ,
hingga kedatangan seorang reporter baru yang menjadi pem-
bicaraan di ruang redaksi. Pada tahun 1989, Novena ingat
sekali, seorang calon reporter baru yang m asih hangat ke-
luar dari panggangan akadem is di luar negeri m uncul di
ruang rapat lantai tujuh. Wajahnya tak disentuh oleh riasan
kecuali bedak dan selajur olesan m erah m uda pada bibirnya.
Ram butnya yang panjang itu nam paknya tak bersahabat
dengan sisir. Bibirnya hanya se se kali dibuka jika ada se se-
orang yang bertanya. Novena m en duga, Nadira tidak gem ar
berbelanja seperti um um nya pe rem puan J akarta. Dia hanya
suka m engenakan celana jeans dan kem eja putih. “Pasti dia
m em beli dua lusin kem eja putih dan dua lusin jeans dari
m erek yang sam a,” dem ikian Adina m em beri kom entar
tentang penam pilan Nadira.

217 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

“Hai..., pasti novelnya bagus sekali,” kata Novena


m engham piri m eja Nadira.
Nadira, reporter yang baru sem inggu bergabung dengan
m ajalah Tera itu langsung berdiri dengan sigap. Dia tahu
Novena reporter yang lebih senior daripada dirinya.
“Oh, duduk saja. Aku Vena... Novena...,” Vena m e nyo-
dor kan tangannya.
“Nadira, Mbak.”
“Ah tak perlu m em anggil aku Mbak, usia kita tak jauh
beda, Nad.”
Nadira m engusap-usap tangannya ke kem ejanya, ki-
kuk. Dia akhirnya duduk dan m eletakkan novel yang se dang
dibacanya.
“Novel tentang apa?” Novena m engam bil buku yang
sedang dibaca Nadira. Dia m elirik judulnya: Novem ber.
“Tentang seorang anak rem aja yang lari dari rum ahnya;
kisah pencarian diri begitulah, Mbak.”
“Vena... Novena...”
“Pasti lahir bulan Novem ber.”
Vena tertawa, “Ya...”
“Tokoh dalam novel ini juga lahir di bulan Novem ber...
Pe ristiwa yang dia alam i juga terjadi pada bulan
Novem ber.”
Vena mengangguk-angguk, “Ilustrasinya bagus sekali...”
Nadira m engangguk. Masih kikuk.
“Mbak...Vena... m eliput desk apa?”
“Kesehatan, Perilaku, dan Lingkungan, Nad. Kalau
kam u m enem ukan kasus m enarik, usulkan saja...”
“Oh ya, Mbak. Lingkungan pasti m enarik.”
Nadira pura-pura m em bersihkan key board kom puter
karena tak tahu bagaim ana caranya berbicara dengan se-
orang reporter senior yang begitu ram ah dan bersedia m eng-

218 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

ham piri m ejanya. Novena paham dan segera m e ninggalkan


m eja Nadira.
Setelah pertem uan pertam a itu, Nadira kelihatan sibuk
dengan tugas-tugas awalnya, sem entara Novena m em per-
ha tikan serangkaian reaksi Tara terhadap kehadiran Nadira.
Novena bisa m elihat: ada tenaga baru yang m e nyelinap ke
dalam tubuh Tara. Tenaga baru itu berhasil m en dorong Tara
m elahirkan ide-ide baru. Tara rajin m e ngum pulkan para
reporter dan m em buat diskusi-diskusi khu sus tentang bagai-
m ana m engejar sum ber. Dia m em buat program baru, yaitu
evaluasi laporan para reporter setiap Selasa pagi. Pada acara
evaluasi itu, selain Tara, para redaktur secara bergantian di-
undang untuk m em beri kritik, saran, dan m asukan pada
laporan para reporter. Tentu saja rom bongan reporter baru
itu m enelan sem ua ajaran Tara dan para redaktur dengan
m ata m elotot dan jari-jari yang jum palitan m enulis sem ua
kalim at dan petuah para wartawan senior. Tapi Novena se-
gera m enangkap sinyal itu: Tara m enciptakan pro gram itu
agar dia m em punyai alasan berinteraksi lebih intens dengan
Nadira.
Perhatian Tara yang istim ewa terhadap angkatan re-
por ter Nadira ini kem udian m enjadi bahan pem bicaraan
para burung nazar.
“Mem ang wajahnya m anis, m eski penam pilannya rada
berantakan...”
“Dia suka membaca, Tara pasti cocok ngobrol sama dia.”
“Tapi, Novena lebih cantik...”
“Apa urusannya dengan Vena?”
“Lah, bodoh pula kau, tidak tahu soal Vena?”
“Novena terlalu lem but buat Tara, terlalu m irip ibu
rum ah tangga. Mungkin Nadira m em buat bisa m em buat
Tara jadi hidup.”

219 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

“Hidup apa? Anak baru itu cum a senang bawa buku,


di pojok m em baca atau sibuk di lapangan. Apanya yang
m enggairahkan?”
Novena tak pernah m em usingkan para burung nazar.
Dia duduk dengan takzim di hadapan m ejanya yang tak jauh
dari m eja Tara. Dia m enulis laporan, m enyelesaikannya, dan
m enyerahkannya kepada Tara dan selalu siap m em bantu
kebutuhan Tara. Novena tahu, m ata Tara selalu lebih
banyak tertuju kepada layar kom puter atau kepada buku
yang dibacanya.
“Vena...”
“Ya, Mas...?”
“Ada konferensi soal AIDS, kam u ikut ya.”
“Ya, Mas...”
Tara m enyerahkan lem baran penugasan itu sem entara
m a tanya tetap m enatap layar kom puter. Novena berharap,
sua tu hari, Tara m enyerahkan lem baran penugasan sam bil
m e natap wajahnya dan hatinya.
Di tahun 1991, di sebuah pagi yang m urung dan basah
oleh rintik hujan, Novena sudah duduk di m ejanya m encari
bahan usulan untuk rubrik Perilaku. Saat itulah, dia m elihat
Yosrizal dan Andara berbincang dengan wajah tegang.
Novena perlahan berdiri dan tanpa sadar m endekati kedua
re kannya. Dari jauh dia bisa m elihat keduanya m engucapkan
nam a Nadira berulang-ulang.
“Ada apa, Yos?”
Yos m enatap Novena. Andara perm isi m eninggalkan
m ereka karena harus m enem ui Pem im pin Redaksi.
“Ibu Nadira wafat, Vena...”
Untuk pertam a kali, Novena m erasa hari m endadak
senja. Segala optim ism e dan sinar m atahari tiba-tiba redup.
Apalagi ketika dia m endengar kalim at Yosrizal berikutnya,
“Nadira m enem ukan ibunya di lantai, Vena...”

220 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Kara Novena merasakan bahwa sebuah hari harus meng-


alam i petang yang suram .

***

Tara berdiri di depan pintu ruang rapat lantai delapan


kantor m ajalah Tera. Dia m endengar suara dialog yang ber-
asal dari sebuah film . Tara m engetuk pintu dan terdengar
suara Novena yang m em persilakan dia m asuk. Ruang rapat
itu gelap, kecuali cahaya yang bersum ber dari layar televisi
m enyirat wajah Novena. Novena duduk sendirian m e-
nyaksikan tayangan sebuah video. Tara m em utuskan duduk
di sebelah Novena dan ikut m enyaksikan video itu.
“Apa ini?”
“Ssssshh...”
Tara dengan hikm at m enatap layar televisi. Film itu
m e nya jikan adegan seorang perem puan kulit putih yang
se dang m encurahkan isi hatinya kepada seorang psikiater.
Mungkin dia baru berusia sekitar 40 tahun. Aksennya m e-
nunjukkan dia berasal dari Inggris. Tersendat-sendat
perem puan itu m enceritakan bagaim ana dia m enjalani sisa
hidupnya di dunia ini. Nam un, katanya dengan wajah m e-
nerawang, dia selalu m erasa kem atian adalah solusi yang
paling tepat untuk m engatasi kegelisahannya. Tara m elihat
betapa gelisahnya sang perem puan. Sesekali dia m enggaruk
pergelangan tangannya yang diperban. Sesekali dia m enatap
keluar jendela. Pada adegan berikutnya, sineas dokum enter
itu m enyebutkan beberapa pekan setelah wawancara itu,
sang perem puan ditem ukan tewas gantung diri di kam ar
m andi.
Tara tersentak. Dia m engam bil rem ote, m em encet
tom bol, dan video itu mati dalam sekejap. Dia berdiri dan
menyalakan lampu.
“Buat apa ini, Vena?”

221 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

“Ini film dokum enter yang dipinjam kan Dr Yusri Sakti,


salah satu psikiater yang sedang aku wawancara. Aku sedang
m enggali info untuk liputan tentang kasus-kasus bunuh diri
di Indonesia.”
Tara m engerutkan kening. Hatinya berdebar. Tubuh
Tara m ulai berkeringat, pertanda dia m enahan am arah.
“Dr Yusri bahkan m em injam kan beberapa buku yang
m em bahas kasus bunuh diri dari sudut pandang antropologi,
sosiologi, dan psikologi. Ada lagi buku tentang bunuh dirinya
tokoh-tokoh selebriti dunia. Penyair, penulis, pelukis...”
“Aku tak pernah m enugaskanm u m em buat liputan ten-
tang kasus-kasus bunuh diri, Vena.”
“Oh, m em ang ini insiatifku, Mas... Aku sedang m encari
bahan dulu, setelah itu aku akan m engusulkan pada rapat
reporter pekan depan, Mas...”
Tara duduk di hadapan Novena. Dia m encoba m enahan
diri. Tetapi gagal. Sem entara Novena terlalu polos untuk
m em aham i gejolak hati Tara.
“Kenapa? Kenapa kam u harus m em buat peliputan
tentang kasus bunuh diri? Kenapa harus sekarang? Apa
pentingnya?”
Pada saat itulah Novena m enyadari, Tara tidak
m endukung idenya.
“Saya pikir... Saya pikir, setelah peristiwa ibu
Nadira yang bunuh diri bulan lalu, m asyarakat perlu
m em aham i...,”
“Itu nonsens!!”
Tara dan Novena sam a-sam a terkejut dengan bentakan
Tara yang begitu saja m elesat keluar dari m ulutnya.
Mata Novena m ulai berkaca-kaca. Dia tak pernah m e-
lihat Tara berbicara sekeras itu kepada siapapun. Dia segera
berdiri dan menghampiri video play er; mengeluarkan kaset
video dan memasukkannya ke dalam kotaknya. Air matanya

222 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

menetes perlahan.
“Vena...,” Tara berdiri dan m encekal lengan Novena
yang sudah bergerak m au pergi.
“Duduklah... Duduk...”
Novena patuh, tapi kali ini dia m enunduk.
“Saya tak berm aksud m em bentakm u, m aaf Vena...,
sungguh...”
“Ya, Mas..., saya tidak berm aksud jahat...”
“Saya tahu..., saya tahu... Cum a begini..., soal bunuh
diri adalah kasus yang sangat sensitif, yang m eninggalkan
traum a yang m endalam bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Saya rasa, ini tem a liputan yang bisa kita tulis suatu hari.
Bukan sekarang... Tidak ada urgensinya.”
Novena m asih terdiam .
“Majalah Tera kan seperti keluarga kedua buat kita,
Vena. Apa yang kau lakukan terhadap anggota keluarga yang
sedang ditim pa m usibah? Sensitif, toleransi, dan m em aham i
se gala luka yang sedang diderita Nadira. Mem buat liputan
se perti ini, apalagi berdasarkan peristiwa kem atian ibunya,
ada lah tindakan yang sangat tidak sensitif.”
Kali ini air mata Novena meluncur dengan deras. Novena
tak tahu apakah dia menangis karena menyesali per buatannya
yang dianggap tidak sensitif; atau karena dia menyadari bah-
wa Tara memang jatuh hati pada perempuan lain.

***

Tara m elirik alarm di atas m eja, pukul tujuh. Dia bisa m elihat
nom or telepon ibunya yang tercantum di layar telepon yang
sejak tadi berdering-dering m enyeruak sebuah pagi yang se-
harusnya sepi dan teduh itu. O, Ibu..., tidakkah kau ingin
anakm u cukup tidur? Tapi Tara bukan anak lelaki yang ku-
rang ajar. Dia m engangkat telepon itu m eski m atanya ter-
pejam .

223 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

“Ya, Bu...”
“Ee..., belum bangun kam u, to...”
“Ya sekarang sudah, Bu... Ada apa?” suara Tara m asih
ter dengar serak dan m enahan jengkel.
“Anu..., hari Minggu kam u m au bawa ikan atau
daging?”
“He?”
“Looo, bukannya Tari sudah telepon kam u, bulan
depan, m inggu terakhir kita m au m engadakan barbeque di
kebun. Bisa datang kan?”
Tara menggaruk-garuk kepalanya. Kelopak matanya se-
m a kin lengket.
“Ya, Tari sudah telepon, Bu...”
“Nah itu, kam u m au bawa ikan atau daging?”
“Ya, Ibu m aunya apa?”
“Ya wis, Ibu beli daging, kam u tolong beli ikan di Muara
Angke ya, Nak... Yang bagus dan segar. Tolong belikan
kakap, kerapu, bawal, baronang...”
“Mem angnya siapa yang m au sunatan, Bu? Banyak
betul...”
“Pakde Prayitno sekeluarga juga m au datang.”
Kali ini Utara Bayu, bocah lanang keluarga Abim anyu
langsung m elotot dan duduk, “Kok ada Pakde No?”
“Dia kangen, m em ang kenapa?”
Tara m elenguh seperti sapi yang digiring ke tem pat
pem bantaian.
“Kalau begitu, Tara tidak datang. Banyak pekerjaan.”
“Husy! Apa-apaan...”
“Capek Bu, selalu dijodoh-jodohkan sam a berbagai
perem puan. Saya takut naik darah, nanti saya kualat m arah
pada pakde sendiri.”
“Itu dia. Supaya pakdem u tidak neko-neko, Tara, m bok
ya bawa pacar...”

224 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Bawa apa?”
“Bawa pacar, Nak... Bawa gadis yang akan kau nikahi...”
“Katanya tadi minta bawa ikan baronang dan kerapu...”
Kini suara ibunya m ulai m eninggi. “Nak, jangan begitu,
coba sekarang usiam u sudah berapa? Dan ingat, Nak Nadira
kan sudah...”
“Iya, iya, saya tahu, Nadira sudah pergi ke luar negeri,
Bu, dan dia sudah bercerai... Apa hubungannya dengan
saya?” Kini Tara terpaksa bangun dan m em bawa teleponnya
ke dapur sem bari m em buat kopi.
“Adikmu Tari sudah punya dua anak. Kamu masih wara-
wiri sendirian ndak keruan. Ndak baik, Nak... Usiam u su dah
kepala 4. Bagaim ana kalau Ibu m eninggal besok?”
Tara m engaduk-aduk cangkir kopinya dan m enghirup-
nya. J am tujuh lewat 10 m enit dan dia m em bicarakan soal
jodoh dan kem atian dengan ibunya.
“Bu...,” Tara m engeluarkan suara sibuknya, “ada
telepon m asuk. Sepertinya bos saya, Bu...”
“Baik, baik, jadi hari Minggu, kamu bawa ikan dan bawa
pacarm u ya, Nak...”
“Saya akan bawa ikan, tapi tidak bawa pacar, Bu...”
Tara m enutup telepon dan m enghela nafas.

***

Kara Novena selalu berbahagia saat salah seorang ka-


w an ny a m em buhulkan hubunganny a dengan kekasih ny a
secara resm i. Novena dianggap seorang ibu y ang akan
m eng urus peray aan perkaw inan anggota kantor m ajalah
Tera. Pada saat Andara m enikah, Novena m em baw a nasi
kuning y ang dilahap dengan segera oleh seisi kantor; atau
ketika sekretaris redaksi, Mbak Im ung m eny ebar undangan,
Novena sibuk m engum pulkan uang untuk m em belikan
hadiah dari seluruh redaksi. Novena selalu m eny alakan

225 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

optim ism e pada w arga Tera, bahw a per ka w inan adalah


sebuah institusi y ang luhur, y ang perlu diray akan keluarga
Tera.
Karena itu, sungguh m engejutkan ketika suatu hari di
tahun 1995, ia m enem ukan sebuah undangan pernikahan
y ang ditem pelkan di papan redaksi. Nadira Suw andi dan
Niko Yuliar.
Novena langsung m encabut kartu undangan itu dan
bak anak panah, ia m elesat m enuju m eja Nadira. Nadira
y ang tengah bersiap-siap m engam bil lem baran cuti di
ruang Sum ber Day a Manusia terkejut m elihat Novena sudah
berdiri di hadapanny a seperti hantu y ang ber kelebatan.
“Benarkah?” Novena m engangkat kartu pernikahan
itu. Suarany a m eninggi dengan ekspresi kegem biraan
y ang tak tertahankan.
Nadira m engangguk, setengah heran, setengah bingung.
“Ya, Mbak... Datang y a...”
Novena tak tahu dari m ana datangny a keinginan itu.
Dia langsung m enjerit hingga lengkinganny a m encapai
langit sem bari m em eluk Nadira seerat m ungkin, seperti
seorang ibu y ang bahagia karena putriny a m eraih gelar
Miss Universe.
“Aku ikut senang. Ooo, aku ikut senang, Nadira!!”
Nadira sem akin bingung dan m engucapkan terim a-
kasih dengan sopan sem bari m enepuk-nepuk bahu Novena.
Dia bahkan m erasakan setitik air m ata Vena y ang tum pah
ke bahuny a.
“Kita harus ray akan, Nad. Nanti aku atur...”
“W ah, tak perlu Mbak... Say a sudah m au cuti, dan...”
“Tidak ada taw ar-m enaw ar. Sebelum kam u cuti, kita
bikin peray aan di rooftop. Kam u tak perlu m elakukan apa-
apa; aku paham kau sibuk dengan persiapanm u. Aku akan

226 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

atur dengan para sekretaris redaksi. Oke?”


Nadira m engangguk setengah terpaksa. Dia tidak ter-
lalu suka m eray akan apa-apa. Dia tak m enikm ati pesta.
Bah kan jika dia m em puny ai pilihan, dia ingin sekali perni-
kahanny a dilakukan hany a di depan keluarga dekat dan
beberapa kaw an saja. Tetapi, m ana m ungkin itu dilakukan
di dalam m asy arakat y ang kelihatan gem ar dengan pesta
per kaw inan ini?
Pesta versi m ajalah Tera m eny am but pernikahan
Nadira itu terjadi dengan m eriah di rooftop lantai 9 kantor.
Yosrizal m em baw a tape recorder dengan kaset m usik
reggae; Novena m eny ediakan berbagai m acam m akanan
dan Andara m em baw a aneka m inum an term asuk bir dan
anggur. Mungkin karena lelah dengan pekerjaan, pesta
itu m enjadi sem acam saluran bagi w arga Tera untuk m e-
lepas ketegangan. Nadira akhirny a ikut m enikm ati pes-
ta itu sem bari m eny eruput anggur bersam a Yosrizal di
pojok, m em andang kaw an-kaw anny a y ang berdansa se-
per ti m ony et kesiangan. Novena m engham piri Nadira
dan Yosrizal dengan w ajah m erah karena bahagia, seolah
dialah y ang akan m enjadi pengantin perem puan. Dia m e-
ny odorkan gelas anggur.
“Selam at... Cheers, Nadira!”
Nadira m endentingkan gelasny a dengan patuh. Novena
kem udian ikut m eloncat ke dalam lautan w artaw an y ang
tengah jejingkrakan m engikuti lagu Bob Marley y ang
m eny any ikan lagu “Red, Red W ine.”
“Yos...,” Nadira m enghirup anggurny a sem bari m em -
perhatikan m ony et-m ony et itu.
“Ya...”
“Kau tahu lagu ini sebetulny a diciptakan Neil
Diam ond?”

227 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

Yosrizal m enggeleng dan bersendaw a, “Tak terbay ang


kalau dia y ang m eny any ikan.”
“Yos...”
“Ya...”
“Mana Mas Tara?”
“Entah, Nadira...”
Mereka berdua terdiam . Dari jauh, entah bagaim ana
Yosrizal dan Nadira tiba-tiba saja paham sinar kebaha gia-
an y ang terpancar dari w ajah Novena.

***

Tara baru saja m enyelesaikan laporan koresponden


New York tentang tem uan terbaru atas peristiwa tragedi
Word Trade Center yang m engguncang dunia. New York
pe nuh dengan poster wajah-wajah orang hilang, dan setiap
m a lam selalu saja ada kelom pok yang m em asang lilin dan
ber doa untuk keselam atan m ereka yang belum ditem ukan
di antara reruntuhan gedung di kawasan ground zero. Hati
Tara pecah. Nadira terasa begitu jauh. Tapi dia tahu, Nadira
pasti sudah sibuk m engum pulkan m uridnya di Victoria
College untuk ikut berdoa.
Ini hari Minggu pagi. Tapi Tara m erasa harus berko-
m u nikasi dengan Nadira. Baru saja dia m au m em buka lap-
topnya, telepon rum ahnya berdering.
Astaga. Tara baru ingat. Barbeque. Ikan. Muara Angke.
“Ya, Bu?”
“Kam u ingat kan?”
Tara terdiam .
“Tara...”
“Ya, Bu, ini baru m au ke Muara Angke...”
“Kam u akan m em bawa tem an?”
“Ya, Tara akan ditem ani ikan baronang, Bu...”

228 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Terdengar ibunya m enghela nafas, “Ya sudah, Ibu


tunggu kam u dan ikanm u.”

Sore itu kebun keluarga Abim anyu penuh dengan asap,


arom a daging tenderloin, udang, cum i, jagung, ikan, bawang
bom bai, dan serangkaian tawa riang. Tari dan suam inya
tam pak sibuk m em buat m inum an yang disukai keluarga
besar Abim anyu jika sedang pesta barbeque: es lobi-lobi.
Rasa asam m anis lobi-lobi biasanya bisa m engim bangi le-
m ak daging yang m ereka kunyah. Aryati dan Triyanto m e-
nem ani para pakde dan bude duduk-duduk di teras; se m en-
tara Tara dibantu sim bok m em bolak-balik daging tender loin
dan jagung. Baru saja dia m ulai m em beri bum bu pada ikan
kerapu dan baronang yang dibelinya tadi pagi, dia m en-
dengar sebuah suara yang dikenalnya.
“Mas Tara...”
Tara m enoleh dan tidak percaya m elihat Novena sudah
berdiri di hadapannya, di kebun orangtuanya.

***

Nadira y ang baik...


Nadira,
Hey , Nad...
Nadira, apa kabar...
Kalau kau m em baca em ailku ini, Nad...
Jakarta, seperti juga seluruh dunia, terguncang oleh
peristiw a W TC...
Tara m enghela nafas. Sem ua kalim at awal itu diha pus-
nya kem bali. Apakah dia berhutang kepada Nadira untuk
m engisahkan tentang dirinya, tentang gejolak hatinya? Apa-
kah dia harus m elaporkan kepada Nadira bahwa m ungkin
akan ada perubahan dalam hidupnya? Apakah Nadira

229 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Utara Bayu

adalah orang yang pertam a yang harus tahu tentang... Tara


m enggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu, Nadira selalu
m e langkah dalam hidupnya tanpa m em perhitungkan keha-
diran Tara. Kawin, cerai, terbang ke Kanada. Nadira sam a
sekali tak pernah m em asukkan Tara sebagai faktor penting.
Kenapa pula Tara harus m em perhitungkan Nadira untuk
m em utuskan sesuatu yang penting?
Tara m enutup kom puternya.

***

Novena m engaduk-aduk cappucino itu, lalu m enghirupnya


perlahan. Tara tersenyum m elihat busa cappucino yang ter-
tinggal di bibir Novena. Dia m engam bil tisu dan m engusap
pinggir bibir Novena. Novena m erasa seluruh tu buhnya ter-
getar. Tara kem udian m enghela nafas dan m e natap kopi
hitam di hadapannya. Gelap.
Tara m erasa dirinya m enciut, m em iuh, m engecil m en-
jadi sebuah boneka yang berdiri di pinggir lautan kopi
yang hitam legam itu. Tara ham pir saja ingin m enerjunkan
dirinya ke dalam lautan kopi yang seolah tak m em iliki dasar
itu; tenggelam dan tak pernah m uncul lagi.
“Mas...”
Perlahan Tara m engangkat wajahnya. Di depannya ada
seorang Kara Novena yang tak m engenal kepedihan; tak
pernah m engenal m atahari yang turun pada senja; tak per-
nah berhenti m encintainya m eski dia tahu Tara tak kunjung
bisa m enatap m atanya.
“Aku selalu ingin bertanya... sejak dulu.”
“Ya?”
Novena m enghela nafas, karena dia akan m engeluarkan
pertanyaan yang sudah m em batu di dalam hatinya sepanjang
dia m engenal Tara. “Mengapa Mas Tara tak bisa m elihat
saya?”

230 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Tiba-tiba saja Tara tahu, dia tak boleh m enciutkan diri


dan terjun ke dalam lautan kopi hitam legam . Dia tak boleh
ikut larut dalam luka. J ika Nadira yang m engalam i sebuah
traum a besar dalam hidupnya bisa m encoba bangkit dan
hidup, Tara pun harus bisa bertahan, m eski tanpa Nadira
di sisinya.
Tara m enatap sepasang m ata yang jujur dan penuh
cinta itu.
“Mungkin m ulai hari ini, saya akan m enatap m atam u
sebagai panggilan hidupku.”
Tara m em egang tangan Novena, “Tolong sabar, karena
saya sudah lam a hidup dalam kesedihan,Vena.”
“Ya, Mas...,” Novena ham pir m enangis.
“Vena..., m aukah kau...”
“Ya, Mas... Aku m au...”
Tara kini m enggenggam tangan Vena dengan tulus. Dia
lega, m eski hatinya teriris. Dia harus m engucapkan selam at
tinggal kepada seseorang yang tak pernah dim ilikinya.

****

J akarta, Agustus-Septem ber 20 0 9

231 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

AT PEDDER BAY

MER AH.
Daun m apel di bulan Oktober m enyelim uti tanah
hingga bum i Victoria m irip sehelai kain batik Cirebon. Ber-
corak m eriah, m erah dan m erah.
Aku menghirup satu aroma khusus yang hanya bisa
ditem ukan di tem pat ini, di Pedder Bay. Bau hutan pinus
yang senantiasa m asih basah oleh em bun pagi hari, ber-
cam pur dengan bau daun m apel m erah yang m anis itu. Tak
ter tandingkan. Aku tak akan pernah m enem ui arom a itu
di J akarta, Manila, Tokyo, Am sterdam , atau Paris. Bau itu
m ilikku, hanya ada di Pedder Bay, di hutan pinus kam pus
kam i.
Di atas bukit itu, di belakang bangunan kayu Filsafat
dan Musik, aku bersam a ketiga kawanku—Maria, Finn, dan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Wai Tsz—biasa m enyaksikan bintang di m alam hari. Nun di


utara kam pus, adalah tem pat Rick Vaughn m em bawa pacar-
pacarnya untuk dicium hingga m ereka ham pir pingsan, sa-
king lezatnya. Kam i sem ua sudah m erasakan cium annya.
Tapi, di seluruh kampus, hanya aku dan ketiga kawanku saja
yang berhasil m enghindar dari bahaya m agnet tubuh Rick,
anak Inggris ganteng itu.
Senja sudah tiba. Tetapi di bulan Oktober pukul lima
sore masih terang-benderang, meski tubuh sudah rontok
oleh ku liah yang beruntun. Marc dan aku duduk berbantal
daun-daun m apel m erah yang em puk dan harum itu, m e na-
tap riak-riak Pedder Bay. Untuk beberapa m enit, kam i tak
berkata-kata.
“Seperti m ereka, riak-riak itu sedang m em bisikkan
puisi...,” kata Marc.
“Kam u adalah puisi.”
Marc Gillard adalah selarik puisi dari langit.
Dia bisa m elihat pori-pori tubuhku dari langit karena
Tuhan m enganugerahkan tubuh Marc yang m am pu m eng-
gapai pucuk pohon pinus. Pertem uan pertam a Marc dengan-
ku terjadi di sebuah m alam setelah kam pus kam i diusap hu-
jan, 19 tahun lalu.
Di atas bukit, di Gedung Filsafat dan Musik, aku m en-
dengar denting piano yang bernada m inor yang m engiris
hati. Tubuhku seperti m elayang ditarik oleh dentingan
suara itu. Tubuhku terbang m asuk m elalui jendela dan tiba-
tiba saja sudah tertanam di ruang Musik. Aku berdiri di
balik sebuah punggung m ilik setangkai tubuh yang tinggi,
kepala yang tenggelam di antara tuts yang ditutupi ram but
brunette seperti kacang alm ond yang tebal dan ikal. Setelah
selesai, dia duduk tegak dan m enebak kehadiranku.
“Nadira?”

235 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

Aku heran sekali. Kam i tak pernah berkenalan. Bagai-


m ana dia bisa tahu nam aku. Dia m em balikkan tubuhnya.
Bibirnya terlalu m erah untuk seorang lelaki. Dia tersenyum
dan m engajakku duduk di bangku piano, di sebelahnya.
“Aku selalu m elihatm u m em bawa setum puk buku m e-
nuju kelas Inggris.”
“Bahasa Inggrisku m asih buruk,” kataku terus-
terang, “aku m engam bil kelas ekstra agar bisa m engejar
Shakespeare.”
“Kamu tidak sadar kita sekelas di tutorial Shakespeare?”
Aku m enggeleng. Berbeda dengan lelaki Eropa yang
ku kenal, Marc m engirim kan bau tubuh dan ram but yang
ha rum . Ini sungguh ajaib. Aku belum pernah bertem u lelaki
Eropa yang bersahabat dengan air dan sabun. Aku segera saja
m enyukainya. Bukan hanya karena dia pecinta Eric Satie,
tetapi karena dia sangat harum . Ketika kam i bercium an, aku
bisa m erasakan arom a cengkeh.
“I love Indonesians...”
“He?”
Marc m engeluarkan rokok kretek dari kantungnya. Aku
segera m em aham i m aksudnya. “Kam i, para perokok jaha-
nam, menyebutnya Indonesians. Kalau sedang kepingin, kami
ke Am sterdam m em beli Indonesians..., rokok Indonesia.”
Aku m engangguk-angguk. Aku tidak pernah suka rokok.
Aku tidak suka asapnya dan sangat tidak cocok dengan akti-
vitasnya (keluar-m asuk m engisap sebatang kesia-siaan
hanya untuk m engotori udara. Untuk apa?). Tapi entah
ke napa, bau harum tubuh Marc yang berbaur dengan bau
cengkeh dari bibirnya m alah m em bangkitkan birahi. Ah,
kam i m asih pada fase tubuh yang segar dan teguh. Kam i
baru saja berkenalan dengan Pedder Bay dan kam pus yang
terisolasi di tengah hu tan pinus Victoria. Apa yang bisa

236 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

kam i lakukan—terutam a setelah m enyelesaikan tuntutan


akadem is—selain m elepas birahi?
Sem bilan belas tahun kem udian.
Begitu banyak yang terjadi. Terlalu banyak. Aku
m e ne ruskan pendidikan di Kanada, Marc terbang ke
Universitas Yale. Aku m enjadi warga m ajalah Tera; lalu
Ibu m em utuskan pergi m eninggalkan kam i. Aku bertem u
dengan Niko, m enikah, bercerai. Aku m em punyai J odi.
Itu se m ua kuceritakan pada Marc hanya dalam waktu dua
jam . Marc, yang m asih m enjulang ke langit, m asih brunette,
m asih tak m engenal sisir dan m asih bertubuh harum itu,
m en dengarkan tanpa m enyela. Dia m endengarkan dengan
se pasang m ata biru yang m enyorot dengan tajam . Yang
m em bedakan dia dengan Marc 19 tahun lalu adalah kerut di
sekeliling m atanya. Tetapi, dia m asih tetap sam a. Dan bibir-
nya m asih m engirim arom a cengkeh dari Indonesia.

***
Cepu, 11 Oktober 20 0 1

Nadira say ang,


Aku tahu, ini tahun pertam a pengasinganm u di antara
pohon-pohon pinus kesay anganm u. Aku bisa m em ba y ang-
kan, keinginanm u m enulis begitu deras. Aku bah kan bisa
m em bay angkan, setelah kam u m engajar, kam u m eng ha-
biskan w aktum u m enatap langit Victoria (y ang pasti jauh
lebih biru dan lebih bening dibanding langit Jakarta y ang
penuh polusi). Aku juga ingat, kau m engatakan langit
Victoria dihiasi segum palan aw an y ang kau katakan
m irip gulali rasa vanilla. Aku rindu m endengar suaram u,
tapi aku lega kau sudah bisa m endengarkan bisikan riak
Pedder Bay y ang kau katakan m em buatm u ny am an.
Maafkan jika perm intaanku akan m em aksam u untuk

237 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

m engam bil jeda sejenak dari percintaanm u dengan hutan


pinus di Kanada.
Akhirny a aku bertem u dengan Am alia Djum hana.
Seseorang y ang cantik hatiny a; m urni budiny a. Kam i
akan m enikah tiga bulan lagi, tepatny a bulan Januari
tahun depan. Orangtua Am alia m em inta kam i m enikah
tahun ini juga. Tetapi aku tak akan m enikah sebelum aku
m em perkenalkan Am alia pada orang y ang paling penting
dalam hidupku.
Perkaw inan kam i akan diray akan dengan sederhana,
Dira. Hany a untuk keluarga dan kaw an terdekat saja. Se-
telah peristiw a 11 Septem ber, dunia, term asuk Indonesia,
sa ngat m urung. Aku tak bisa m em bay angkan m engadakan
pes ta di antara kegilaan y ang tengah terjadi. Aku m em ba-
y angkan, seandainy a kam u m asih aktif di m ajalah Tera,
kau sudah sibuk m engirim seorang reporter ke New York;
atau m ungkin saja kau sendiri y ang akan berangkat ke
sana. Tetapi, aku kira keputusanm u untuk sabatikal sangat
tepat.
Kita m em butuhkan sebuah jeda dari hiruk-pikuk
aliran hidup kita.
Karena itu, tolong segera pulang. Setahuku, pada
akhir tahun, sem ua sekolah dan kam pus, term asuk Victoria
College m em berikan libur Natal dan Tahun Baru y ang
cukup panjang.
Pulanglah. Batalkanlah apapun y ang telah kau ren-
ca na kan bulan Desem ber dan Januari 20 0 2. Ray akanlah
tahun baru dan hari paling bahagia dalam hidupku ini
ber sam a abangm u (dan Am alia y ang akan m enjadi ka-
kakm u kelak; m eski dia sebenarny a sedikit lebih m uda
daripadam u).

Ary a Suw andi.

238 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

PS:
Ini bukan perm intaan, tetapi sudah sam pai tahap per-
m ohonan. Pulanglah. Aku ingin kam u bertem u dengan
Am alia, lengkap dengan aksen Cerbon y ang sungguh cantik
dan m elodious. Oh y a, ini kulam pirkan salah satu contoh
undangan kam i. Ah, alangkah jeniusny a penem u internet
ini, aku bisa m engirim apa saja ke hadapanm u. Kam u ingat
bagaim ana kita harus bersurat-suratan saat kam u m asih
sekolah di sana? Sem bilan belas tahun kem udian, kam u
jadi pengajar di sana, dan kita sudah bertukar inform asi
dalam bilangan detik.

Hanya beberapa hari setelah m enerim a surat elektronik


itu, sebuah surat dalam bentuk tradisional, lengkap dengan
am plop dan perangko (oh, betapa retro kata-kata itu: am plop
dan perangko) m elayang ke kotak suratku. Ternyata Kang
Arya m engirim sebuah contoh surat undangan berwarna
hijau m uda. Aku sudah tahu, warna ini pasti pilihan Kang
Arya yang m erasa hutan adalah rum ahnya: Am alia Djum hana
dan Arya Suwandi. Nam a-nam a itu ditulis seperti rangkaian
dedaunan.

***

Am alia Djum hana.


Dia seperti setangkai bunga yang m enyem buhkan
rindu.
Sudah begitu banyak kum bang dan naga yang siap
m enjerat hatinya, tetapi ia hanya terpikat oleh kum bang
bernam a Arya Suwandi.
Malam itu, Am alia tengah m em oles bibirnya. Untuk
kali pertam a keluarga besar Suwandi datang berkunjung.
Arya akan m elam ar Am alia. Am alia m enatap wajahnya
yang sungguh bercahaya. Kebaya m erah m uda. Kain Cerbon

239 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

penuh kem bang. Oh, cinta telah m engubah dirinya m enjadi


pelukis dengan kuas yang m encintai warna-warni cerah.
“Lia...”
“Yu Ina!”
Am alia m em eluk kakak sepupunya dengan erat.
“Aduh..., kapan datang. Aih, kangen, kangen... Langsung
dari Kuningan?”
Yu Ina m em eluk Am alia dan m engguncang-guncang ba-
hu nya. Dia m em bawa satu koper kecil berisi kain Cirebon.
“Ini Yu Ina bawakan kain Cerbonan... Ada pilihan dari
Uwak Mim i, Uwak Surti... Ayo pilih, pilih...” Yu Ina m em buka
koper dan m em ajang batik Cerbonan itu satu persatu.
“Aduh, ini kan batik untuk kawinan... Nantilah...”
Yu Ina m em andang Am alia yang betul-betul seperti
m awar yang m erekah. Dia duduk di pinggir tem pat tidur.
“Kam u kelihatan cantik dan bahagia... Ayuh..., ceritakan
tentang Arya itu... Bagaim ana perkenalannya?”
Am alia tertawa cekikikan, “Iya, ceritanya Yu Marni m au
m em perkenalkan saya dengan kawannya, Kang Dodi. Nah,
Kang Dodi itu datang ke rum ah bawa Kang Arya. Maksudnya
m enem ani, eh, saya m alah sukanya sam a Kang Arya. He he
he...,” Am alia tertawa. Suara tawa Am alia m em ang m udah
m enular. Siapa saja yang m endengarnya pasti langsung larut
dan ikut m asuk dalam arus tawanya yang begitu m erdu.
Yu Ina ikut tertawa terkekeh-kekeh, “Terus? Kang
Dodinya?”
“Ya tidak apa, dia juga sudah ketem u jodoh kok. Sudah
nikah tahun lalu. Istrinya sudah isi...”
“Sebentar lagi, kam u m enyusul,” kata Yu Ina.
Mereka berdua tertawa terkekeh-kekeh.
“J adi kam u m au diboyong ke J akarta? Atau ke hutan?”
“Ya, nanti ikut tergantung dia ditugaskan ke hutan

240 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

m ana, Yu. Sekarang kebetulan saja dia sedang di J akarta.


Tapi setahun dua tahun lagi, pasti dia ditem patkan di hutan.
Saya ya ikut saja sebagai istri...”
Ketika m engucapkan kata “istri”, Yu Ina yakin
dia m elihat ada sekelabatan cahaya yang berkilat-kilat
m em ancar dari kedua m atanya. Yu Ina tersenyum .
“Kam u sudah kenalan dengan keluarganya?”
“Aduh, keluarganya pencar-pencar. Kakaknya, Yu Nina,
ada di Am erika. Adik bungsunya, Nadira, sedang di Kanada,
m ungkin dia m au pulang... Kang Arya sudah m engirim
em ail, tapi belum tahu apa m ereka bisa pulang atau tidak.”
“J adi nanti yang datang hanya ibu dan bapaknya? Serta
pam an dan bibinya?”
Am alia tiba-tiba m erasa ingin sekali m em indahkan
topik ini kepada tem a pem ilihan kain untuk akad nikah.
Mungkin yang bergam bar burung, atau bisa juga bunga-
bunga itu..., tetapi bukankah hari ini kain yang dikenakannya
juga penuh bunga?
“Lia...”
“Oh, kain ini bagus sekali ya, Yu... Ini pasti punya Uwak
Surti...”
“Lia, nanti siapa yang datang?”
“Kang Arya, bapaknya dan adik-adik bapaknya...”
“Oh...”
“Ibunya Kang Arya sudah m eninggal 10 tahun yang
lalu...”
“Oh..., kasihan... Sakit apa?”
Kem bang warna salem itu terlihat lem but, m ungkin
bagus juga kalau pesta pernikahan m alam dia m engenakan
sesuatu yang lebih ceria. Tapi apakah kebayanya harus
berganti?
“Lia.”

241 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

Am alia sem akin m enyibukkan m atanya dengan pilihan


kain yang ditebarkan di atas tem pat tidur. Yu Ina m erasa Lia
bertingkah aneh.
“Ada apa, Lia?”
Am alia akhirnya m enatap m ata Yu Ina, sepupunya yang
paling dekat dengan dia sejak kecil, karena usia m ereka tak
jauh berbeda.
“Yu Ina ingat ada berita kecil di J akarta itu... 10 tahun
yang lalu, ada istri wartawan yang ditem ukan tewas bunuh
diri itu?”
Yu Ina m enutup m ulutnya seolah m enghalangi rang-
kaian kejutan yang ham pir m engham bur keluar. Am alia du-
duk di sam ping Yu Ina, dan Yu Ina entah kenapa m erasa
ha rus m em eluk bahu sepupunya itu.
“Aku tidak apa-apa, Yu Ina. Itu kan m em ang perjalanan
hidup Kang Arya.”
“Mereka pasti sedih sekali...”
“Itu sudah pasti, Yu... Bukan hanya sedih, tapi juga
m ungkin seperti Uwak Chusnul...”
Yu Ina m engerutkan kening, “Uwak Chusnul?”
“Uwak Chusnul m enderita diabetik... dan luka di ka-
kinya yang tak sem buh-sem buh. Terus-m enerus basah
dan sem akin m enganga. Menurut saya Teh, kem atian Ibu
Suwandi m em buat luka yang dalam pada anak-anaknya.”
Yu Ina m enggeleng-gelengkan kepalanya prihatin. Se-
ke tika saja, perhatiannya pada kain-kain yang ditebarkan di
atas tem pat tidur, susut ke tingkat paling bawah.
“Bagaim ana dengan kakak dan adiknya..., siapa nam a-
nya... Nina... dan Nadira. Dinas di m ana ?”
“Yu Nina m engajar di Am erika. Tadinya am bil program
Pe Ha De, kawin sam a Gilang Sukm a, koreografer terkenal
itu...”

242 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Oreo..., apa?”
“Koreografer...”
“Apa itu koreo...”
“Ya, m enari... m enciptakan tarian.”
“O, suam inya Nina suka nari-nari begitu?”
“Sudah bukan suam inya lagi...”
“He?”
Am alia kini m em utuskan untuk betul-betul pindah
topik. Tapi ternyata lepas juga dari m ulutnya.
“Mereka sudah bercerai...”
“O...”
Am alia m erasa kegem biraannya m engalam i defisit.
“Yu, tak perlulah kita bicarakan keluarganya….”
“Ei, itu penting. Perkawinan itu bukan antara kam u
dan Kang Arya. Tapi juga keluarga kita dan keluarga Arya...
Mereka punya anak?”
“He?”
Yu Ina tahu, Am alia m endengar pertanyaannya, tetapi
kelihatannya dia pura-pura tuli.
“Kakak Kang Arya itu, sudah punya anak dengan
suam inya?”
“Tidak.”
Yu Ina terdiam . “Kam u sudah kenal Nina?”
“Ya, saya sem pat bertem u di J akarta waktu Yu Nina
berkunjung Lebaran kem arin.”
“Baik?”
“Siapa?”
“Nina... Yu Nina….”
“Ya, baik atuh..., ya, begitulah...”
“Maksudm u?”
Am alia m enghela nafas. “Dia tanya pendidikanku.”
“Terus?”

243 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

“Ya, aku bilang, aku m asih kuliah ekonom i di Bandung,


tapi kalau sudah m enikah nanti, aku kan harus ikut Kang
Arya, jadi m ungkin aku berhenti kuliah.”
“Lalu?”
Amalia menghela nafas. Kegembiraannya sudah amblas.
“Yu Nina tiba-tiba saja m elabrak Kang Arya, m enga-
takan Kang Arya m em ikirkan diri sendiri. Dengan m enikah
denganku dan m em aksaku m engikuti dia ke m ana-m ana,
artinya Kang Arya m enghalangi pendidikanku. Kang Arya
sangat m arah. Mereka bertengkar habis-habisan, hingga
saya harus m enengahi dan m engatakan bahwa ini adalah
pilihan saya untuk ikut Kang Arya. Pendidikan akan saya
lan jutkan kalau sudah m em ungkinkan.”
Yu Ina m endengarkan sem ua penjelasan Am alia dengan
nafas yang naik-turun. Setiap kalim at sepupunya itu m em -
buat nafasnya sem akin cepat.
“Dan pertengkaran selesai?”
Am alia m enggelengkan. Dia m enyenderkan kepalanya
ke tem bok dan konde kecil yang sudah susah-payah dia
bentuk itu m ulai kem pis. Kini dia m erasa seperti pelukis
yang hanya bisa m enggunakan warna-warna suram : kelabu
dan hitam . Yu Ina juga sudah terlalu larut dalam cerita ini.
“Giliran Yu Nina m em beri ceram ah padaku bahwa se-
ka rang aku m em ilih untuk m enghentikan kuliah karena
aku m asih buta oleh cinta. Tetapi nanti jika terjadi apa-apa,
kalau saja suatu hari aku harus hidup sendiri, aku tak akan
punya m odal.”
“Ha? Maksudnya apa? Hidup sendiri?”
“Iya, Yu Nina m engkhawatirkan kalau saja perkawinan
kam i tidak bisa bertahan...”
“Masya Allah...,” Yu Ina ternganga. Dia belum pernah
m endengar cara berpikir dem ikian. “Kok sudah jauh sekali
ya pem ikirannya.”

244 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Am alia m erasa harus m em bela Yu Nina. Bagaim anapun


juga, ia akan m enikah dengan keluarga ini.
“Pasti m aksudnya baik, Yu... Bukannya dia ingin aku
bercerai. Tetapi dia sendiri kan bercerai. Adiknya, Nadira
juga baru saja bercerai...”
“Ha? Adiknya..., siapa nam anya..., Nadia?”
“Nadira. Dia juga sudah bercerai dari suam inya?
“Laaah, kok hobi ya... cerai-cerai...”
“Ya, bukan hobi Yu. Siapa yang punya rencana cerai?
Tidak ada...”
Yu Ina terdiam . “Nadira sudah punya anak?”
“Mereka punya satu anak lelaki, J odi. Tapi saya
belum pernah bertem u dengan Nadira dan J odi. Mereka di
Kanada.”
“Sekolah lagi?”
“Itu..., dia cuti dari kerja, dan m engajar di sekolah
alm am aternya, Yu.”
“Oh...”
Am alia m enghela nafas. Terasa ada batu berat yang
m enghalangi nafasnya yang panjang itu. Yu Ina m encoba
m encari kalim at hiburan yang tepat untuk sepupunya.
Tapi kini, wajah Am alia tam pak pucat, kondenya agak
berantakan, dan dandanannya sudah terhapus keringat.
Kali ini, Am alia m erasa seperti seorang pelukis gagal. Yu
Ina m erasa bersalah. Tetapi dia juga tak tahu di m ana letak
kesalahannya.
Terdengar suara ketukan pada pintu.
“Am alia, keluarga Kang Arya sudah datang... Hayuh,
hayuh...”
Am alia dan Yu Ina saling m em andang.

***

“J adi, kau akan ke J akarta?”

245 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

Nadira tak m enjawab. Dia m enutup bukunya dan m e-


m andang cahaya m atahari yang m em bentur perm ukaan
riak Pedder Bay.
Marc duduk di sebelahnya dan m erangkul bahunya,
“Saya m engira kam u sangat dekat dengan abangm u. Oui?”
“Ya...”
“J adi, kenapa m esti ragu?”
“Ke J akarta artinya banyak hal...”
Marc m enanti Nadira. Dia sudah m endengar sejarah
Nadira selam a 19 tahun yang diringkas dalam dua jam . Nadira
belum m em berikan versi asli yang pasti isinya berjilid-jilid.
Nam paknya Nadira belum siap untuk m engorek-ngorek
ruang gelap dalam sejarah hidupnya. Kem atian ibunya,
Yu Nina dan Gilang, perceraiannya dengan Niko. Apa se-
rangkaian m onum en hitam dalam hidupnya itu harus di-
kunjungi satu persatu? Marc duduk di sam ping Nadira,
m e m eluk kepala Nadira agar dia tiduran di atas pangkuan
Marc.
“Marc..., sebelum ke sini, terlalu banyak hal-hal yang
buruk yang terjadi padaku.”
“Kam u tak perlu m enceritakan kalau tak siap.”
“No, I really w ant to...,” nada Nadira sangat tegas.
“Saya tak m au lagi m eratap karena kepergian ibu. Saya
m asih m erindukannya; tapi saya tak m au hanyut dalam
kesedihan.…”
Marc diam , tak m engejar Nadira dengan pertanyaan
apapun.
“Ayah J odi… saya sangat m encintainya….”
Marc m enghela nafas, Nadira tersenyum . “Marc...,
waktu itu kita m asih terlalu m uda. Kita belum siap. Kam u
m asih m au m engam bil kuliah hingga ke ujung PhD, saya
m au pulang...”
“No,” Marc m enggelengkan kepala, m eski bibirnya

246 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

m enyem bunyikan senyum , “Kam u m engatakan ingin punya


anak, tapi kam u tak ingin m enikah. Rem em ber?”
Tentu saja Nadira ingat.
“Tapi saya paham . J odi anak yang cerdas dan tam pan,
saya bisa m em bayangkan ayahnya juga pasti sangat
ganteng,” kata Marc.
Wajah Nadira berubah serius.
“Aku rasa, aku terlalu lelah m erasa sedih. Tiba-tiba
Niko datang dan seperti m engajak aku m elem par kesedihan
itu jauh-jauh. Dia berhasil m engajak aku m elihat bagian dari
dunia lain yang lebih cerah. It w as a bliss... for a w hile.”
Marc m engangguk, m encoba paham .
“Perkawinanku yang pendek usia; kantorku yang penuh
burung nazar...”
“Kam u kan selalu berbahagia dengan pekerjaanm u.”
“Ya, saya berbahagia m enjadi wartawan. Tetapi, sam a
seperti kantor lain, di kantor saya, pastilah ada kelom pok
yang gila kerja, tapi ada juga yang gem ar bergunjing. Itu
m enu utam a para burung nazar.”
“Aaah, ya...”
“Tapi politik di kantor itu bukan hal yang terlalu penting,
sebetulnya. Mas Tara m engatakan, aku m em erlukan jeda
yang panjang. Meski, akhirnya, ketika aku m inta izin pergi,
Mas Tara terlihat berat hati. Kam i m em ang kekurangan
orang...”
Marc m em ainkan ram but Nadira, “Dia berat hati karena
takut kehilangan kam u.”
Nadira m elotot, “Kenapa ya sem ua orang m engatakan
itu?”
Marc m enggelengkan kepala, “Karena cum a kam u yang
tidak tahu, Tara m encintai kam u. Dari ceritam u saja, aku
sudah langsung tahu.”
Nadira tidak m enjawab. Dia celentang di atas pangkuan

247 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

Marc, tetapi m atanya m enikm ati langit Victoria.


“Nadira, sem ua persoalanm u di J akarta tak ada hu-
bungan nya dengan Arya. Kalau kam u pulang, harusnya
kam u bisa m enyingkirkan ketidaknyam anan itu. Ini hari
ter penting untuk dia kan?”
Nadira tidak m enjawab.
“Ceritakan tentang Arya…”
Nadira tersenyum . Dia m em ejam kan m ata dan
m em bayangkan puluhan tahun silam , ketika m ereka sem ua
kanak-kanak yang diwajibkan belajar m engaji di Gang
Bluntas……

Jalan Kesehatan, Jakarta, Februari 1974

Kang Ary a m encintai arom a dedaunan, tanah dan


tanah y ang basah. Meskipun kam i bertiga hidup di kota
besar, sejak pulang dari Am sterdam , Kang Ary a selalu
saja y ang paling betah berm ain di kebun belakang rum ah
kam i di Jalan Kesehatan, di tengah Jakarta. Dengan ke-
dua sepupu kam i, Iw an dan Mursid, Kang Ary a m em per-
lakukan kebun belakang sebagai kerajaanny a. Dia pernah
m enjadi juragan y ang m em im pin tiga ekor kelinci, dua
ekor anjing (Hero dan W iro, y ang diam bil dari nam a
kom ik y ang dia sukai), dan 20 ekor burung m erpati y ang
diberi sebuah rum ah. Dia juga m enanam pohon m angga,
ram butan, jam bu air, durian (y ang tak pernah berbuah),
dan belim bing.
Setiap hari Sabtu, sejak duduk di sekolah dasar hingga
duduk di SMA, Ary a bersam a Iw an dan Mursid, gem ar
m em bangun kem ah di halam an belakang. Dan acara
per kem ahan tiga m ony et itu tak selalu berjalan m ulus.
Pernah suatu m alam , ketika Ibu dan Ay ah m em enuhi
undangan m akan m alam Duta Besar Australia, trio bandel

248 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

ini pu ny a ide untuk m em buat api unggun. “Seperti kem ah


Jam boree...,” kata Kang Ary a.
Entah bagaim ana m ereka bisa m endapatkan setum -
puk kay u. Dari ruang kerja Ay ah, aku bisa m elihat m ereka
m eny im pan bensin ke atas tum pukan kay u itu dan by ar!!
Api m enggelegak. Berkobar. Tangan-tanganny a m en ju-
lur ke sana-kem ari, sem bari sesekali terdengar buny i ge-
m eletak kay u y ang tercium lidah api. Aku ikut-ikutan ke
kebun, m erasakan kehangatan api unggun bikinan ke-
tiga berandal itu. Kam i berem pat duduk m engelilingi api
unggun dan bertingkah seolah kam i berada di sebuah
negara dingin. Kam i m enjabarkan kesepuluh jari kam i,
berlagak m enghangatkan tubuh, padahal Jakarta sungguh
gerah dan tak m em butuhkan api unggun.
Tetapi aku m ulai m em aham i rom antism e y ang
dibangun ketiga berandal ini. Mereka hidup di dalam
fantasi kom ik y ang m ereka baca. Mungkin W iro, m ungkin
Tarzan, atau m ungkin Tintin. Tiba-tiba...
“Ary aaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Lo, ada apa?
Yu Nina m elangkah m endekati kam i dengan langkah
raksasa, w ajah berkeringat, dan dua bola m ata y ang ham -
pir m enggelinding. Ada apa gerangan?
Kulihat ketiga berandal itu m alah terseny um ; sam a
sekali tidak terkejut m elihat Yu Nina blingsatan.
“MANA MEJA BELAJARKU??!!!”
He? Meja belajar?
Ary a m alah cekikikan. Iw an dan Mursid m em per li-
hat kan w ajah heran.
“Meja belajar y ang m ana, Yu?”
“MEJA BELAJARKU, y ang terbuat dari kay u!! MA-
NAAAAAA? Pasti kalian y ang m em indahkan. Pasti kalian
y ang m eny em buny ikan. MANAAAAAA??”

249 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

“Meja belajar kay u? Kenapa bisa m enghilang dari ka-


m ar Yu Nina?” tany aku bingung.
Buny i kay u y ang berdetak bercam pur dengan udara
kem arahan Yu Nina. Tiba-tiba kulihat m ata Yu Nina
ham pir m elesat keluar dari kantung m atany a. Astaga. Aku
juga baru m eny adari... batangan kay u y ang bertum puk,
y ang berdetak-detak dibakar api itu... Apakah itu potongan
m eja kay u m ilik Yu Nina? Tidak m ungkin. Tapi...
“ARYAAAAA!!!!!!! IW AN! MURSIIIIID!!!!”
Dan ketiga begundal itu langsung angkat kaki dan
ber lari tunggang-langgang. Suara taw a m ereka y ang
ter bahak-bahak tertinggal di udara. Untuk beberapa
detik pertam a, Yu Nina m encoba m engejar trio tuy ul itu,
tetapi tentu saja dia kalah. Ary a dan kedua pengikutny a
itu gem ar berolahraga, sedangkan Yu Nina sangat m alas
gerak badan.
Yu Nina berhenti berlari. W ajahny a sem akin ber ke-
ringat dan sangat m urka.

***

Kini Nadira sudah duduk tegak karena Marc sibuk tertawa


terbahak-bahak tak berkesudahan. Cerita m asa re m aja Arya
itu terlalu lucu. Nadira tersenyum m elihat Marc be gitu
m enikm ati kisahnya. Ah, dia m asih m encintai Marc. Dia
masih melayang setiap kali melihat jari-jari panjang langsing
itu m engusap tuts piano. Dan yang paling penting, Marc
selalu m em bakarnya di tem pat tidur. Bersam a Marc, seprei
tak pernah teduh.
“Arya masih marah soal ledakan petasan di lemari itu?”1
Nadira m engangguk, “Ya... Tetapi orangtuaku tetap tak
bisa m enerim a alasan Arya.” Nadira m em andang birunya

1
Baca masa kecil Nina, Arya, dan Nadira dalam “Tasbih”.

250 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Pedder Bay, m elam un.


“Seorang kawan Ayah m engusulkan agar Kang Arya
dibawa ke psikolog. Hanya kunjungan pertam a, Kang Arya
cum a m engangguk-angguk sem bari m enggam bar sang
psikolog perem puan dengan kum is. Setelah itu Ibu tak m au
m em bawa Kang Arya ke psikolog itu lagi.”
Kini Marc tertawa tak berkesudahan. Dia kelihatan
sudah tertarik dengan karakter abang Nadira.
“Untuk beberapa waktu, para bibi dan uwak m eng-
usulkan agar Arya diganti nam anya. J adi nam a Kang Arya
sem pat diganti m enjadi Ardian...
“Ibu dan Ayah m em utuskan untuk m engadakan sela-
m at an nasi kuning segala. Kang Arya hanya m enyeringai
m e lahap m akan nasi kuning itu dengan nikm at. Toh ban-
delnya tidak hilang. Malah sem akin m enjadi-jadi. Dia per-
nah m eletakkan balon berisi air di kursi tem pat pacarnya
Nina duduk. Seluruh kursi dan celana pacar Nina basah-
kuyup. Pokoknya Kang Arya bandelnya sudah tak tertolong...
Akhirnya Ayah dan Ibu putus asa. Dia kem bali dipanggil
dengan nam a Arya.”
“Aku harus bertem u dengan Arya,” Marc m em utuskan
dengan nada yakin.
Nadira tertawa, “Kalian akan cocok sekali. J angan-
jangan di pertem uan kalian yang pertam a, dia akan m engajak
berkem ah atau hiking, m eninggalkan aku sendirian dengan
polusi J akarta.”

Marc m engatakan itu hal yang sangat m ungkin. Tiba-


tiba saja Nadira teringat sesuatu.
“Apa yang terjadi?” tanya Marc.
“Kang Arya tak pernah m erestui perkawinan Yu Nina
dengan Gilang.”
Wajah Nadira m enjadi serius. Dia kem bali m em andang

251 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

riak Pedder Bay. Aneh, bunyi riak itu seperti sebuah ritm e
yang tetap. Seperti ritm e zikir. Tiba-tiba saja Nadira
teringat zikir yang selalu m enenangkannya; helai-helai
bunga seruni... Seikat kem bang seruni yang diberikan Tara
kepadanya.
Matahari sore Victoria sudah m ulai turun. Anak-anak
sudah keluar dari kelas m ereka yang terakhir. Nadira m erasa
teluk itu m enjadi sebuah layar lebar m asa lalu m ereka.

Jalan Kesehatan, Jakarta, Juni 1989

Aku m elihat cahay a bulan seperti m engusap-usap ram -


but Kang Ary a. Mungkin alam tahu betul, seluruh tubuh
Ary a tengah dibakar api kem arahan. Dan m ungkin juga
cahay a bulan telah m em buatny a lebih dingin dan tenang.
Aku m endekati dia perlahan. Loteng rum ah kam i di Jalan
Kesehatan m em ang tem pat Kang Ary a m erenung setelah
dia salat.
Setelah sebuah m akan m alam y ang heboh dengan Yu
Nina, Mas Gilang, dan seluruh keluarga Suw andi, Kang
Ary a m enghilang.
“Kang...”
Kang Ary a tidak m enoleh dan tidak m enjaw ab. Aku
duduk di sam pingny a.
“Say a ingin kem bali lagi ke Am sterdam , kita tak per-
nah bertengkar di sana...,” tiba-tiba kudengar suara Kang
Ary a.
“Say a tidak ingat, Kang. Say a kan m asih kecil w aktu
kita kem bali ke Jakarta.”
“Menjadi dew asa m em buat kita jadi harus penuh
perhitungan dan strategi. Aku ingin sekali percay a pada
Gilang. Tetapi sejarahny a m em buat aku jadi penuh
curiga.”

252 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Kang..., biarkan itu m enjadi persoalan Yu Nina. Kita


kan sudah cukup m engingatkan dia. Pada akhirny a nanti,
dia y ang m enjalankan kehidupan rum ah tangga ber sam a
Mas Gilang. Mungkin ini terdengar klise..., tapi kita m en-
doakan saja, Kang.”
Kang Ary a tidak m enjaw ab.
Untuk beberapa bulan berikutny a, kam i m eny adari
bagaim ana Kang Ary a berusaha m asuk dalam peradaban
keluarga Suw andi. Dia m enjaw ab sebisany a jika Mas
Gilang tengah berada di antara kam i; Kang Ary a berusaha
tertarik dengan sem ua rencana perkaw inan pertam a di
dalam keluarga Suw andi (m eski dia m enggerutu padaku,
bahw a pasti Gilang sudah sangat berpengalam an dengan
upacara sem acam ini); Kang Ary a bahkan—tanpa
seny um —m em bantu m engurus peny ew aan tenda untuk
tam u-tam u di rum ah pada saat akad nikah.
Pada hari perkaw inan, seperti biasa, di akhir acara
selalu ada acara foto keluarga. Foto bersam a kaw an m em -
pelai lelaki, kaw an m em pelai perem puan; keluarga m em -
pelai lelaki, keluarga m em pelai perem puan. Nah, ketika
tiba saat keluarga kam i itulah terjadi kehebohan baru.
Tiba-tiba saja sulit sekali m encari Kang Ary a. Padahal
sejak akad nikah hingga resepsi, Kang Ary a selalu hadir
dan sibuk m em bantu. Ke m anakah dia?
Mbak MC y ang cerew et sudah m em anggil nam a Kang
Ary a berulang-ulang. Yu Nina tam pak gelisah, sem entara
Gilang m em pertahankan w ajah penuh w ibaw a. Akhirny a
aku m enciptakan alasan. “Kang Ary a perm isi ke kam ar
m andi, sudahlah, kita foto saja dulu. Nanti kita ulang lagi
kalau Kang Ary a datang.”
Maka jadilah foto keluarga Suw andi tam bah satu
anggota baru, m inus satu anggota lam a. Kang Ary a tak
pernah ada dalam foto pernikahan Yu Nina dan Gilang.

253 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

Hingga kini, aku tak pernah tahu ke m ana dia m enghilang


m alam itu.

Marc terdiam m endengar kisah itu.


“Apakah dia akan bisa m enerim a aku, Nadira?”
Nadira tersenyum , “Mem angnya kenapa? Kam u m au
m enikah dengan Kang Arya?”
Marc tersenyum .
“Aku tidak bisa berhenti m encintaim u.”
“Aku tak ingin pulang, dan kam u tak perlu bertem u
dengan keluargaku... Aku ingin di sini saja seperti orang
yang tak punya sejarah dan tak punya rum ah.”
“Rum ahm u ada di sini, bersam aku.”
Matahari Victoria seolah berhenti bergerak. Riak
Pedder Bay tiba-tiba m em beku. Marc m encium Nadira.
Tanpa akhir.
Hanya beberapa m enit kem udian, terdengar bunyi
gesekan daun m apel m erah kering yang m enjadi alas tidur
Marc dan Nadira.

***

New York, Novem ber 20 0 1

Nadira,
Say a m enulis ini agak tergesa.
Kehidupan di New York berkejaran dengan sisa nafas
kita.
Setelah tragedi Tw in Tow ers, ada satu pertany aan
y ang selalu m enghajar say a setiap hari: tolong jelaskan
pada say a tentang apa y ang terjadi.
Kenapa m ereka bertany a pada say a? Apa hany a ka-
rena say a sedang m engajar sejarah m asukny a Islam di
Asia; atau karena w ajah say a y ang sangat “un-Am erican.”

254 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

New York luka, seluruh Am erika kelam , seluruh dunia


gelap. Tetapi, say a tetap m eny im pan sisa optim istim e, dan
m encoba m enjaw ab pertany aan-pertany aan y ang penuh
sy ak w asangka itu dengan sabar.
Soal Ary a.
Sebaikny a kam u datang.
Say a sudah pernah bertem u dengan Am alia. Dia sangat
cantik, ram but panjang, dan... she has a fantastic sm ile.
Am alia adalah seorang m ahasisw a Ekonom i di Bandung.
Dia belum selesai kuliah dan Ary a m elam arny a. Jadi kau
bisa m em bay angkan apa y ang terjadi, kan? Am alia m e-
m utuskan “m enunda” kuliahny a untuk abang m u itu. Me-
nunda, biasany a akan berujung m enjadi: m eng hen tikan.
Kenapa? Karena m asy arakat Indonesia selalu m eng ha-
rap kan pasangan baru langsung m em puny ai keturunan.
(“Sudah isi? Kok belum ? Ay o, ay ahm u kan ingin m enim ang
cucu. Masakan sudah tiga tahun belum juga ada isi, salah
posisi y a? Ini say a ada orang pinter y ang bisa bantu...,
hay uh, hay uh...”)
Dan Kang Ary a bukan sosok y ang bakal m enentang
tun tutan m asy arakat. Mereka akan segera beranak-pinak.
Pastilah cita-cita Am alia m enjadi sarjana ekonom i ter bang
bersam a angin.
Sungguh...
Keputusan sem acam ini y ang m em buat darahku
m encapai ke ubun-ubun. (Ya, y a, y a, kau akan m engatakan,
“Biarkan Kang Ary a m em ilih kebahagiaanny a, dia sudah
dew asa.”). Aku hany a jengkel. Berapa puluh ribu Am alia
y ang m em utuskan sekolahny a bukan karena tak m am pu,
tapi karena lebih m em ilih berum ah tangga? Mungkin itu
sebabny a fem inism e di negara kita bergerak bak siput.
Ringkasny a, untuk perkaw inan Ary a ini kau W AJIB
hadir. Aku belum tentu bisa hadir karena aku sudah

255 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

telanjur m erencanakan sebuah sim posium besar di kam -


pus persis pada pekan pernikahan m ereka. Ini proy ek
lam a, dan kam i akan m enjadi tuan rum ahny a. Say a tak
m ungkin m eninggalkan proy ek y ang say a pim pin sejak dua
tahun lalu. Topik tentang sejarah Islam di Asia Tenggara
m em ang kam i geser sedikit, m em fokus pada posisi Islam
kini. Beberapa rekan m enekankan lahirny a per sepsi baru
setelah peristiw a 9/ 11. Itu m eny ebabkan say a sungguh ter-
ikat di New York, dan sam a sekali tak m ungkin pulang.
Tapi toh say a sudah berkenalan dengan Am alia, dan
bahkan sem pat ikut m enjadi panitia m enjelang lam aran,
saat say a sedang berada di Jakarta.
Lagi pula, kam u m asih m em puny ai beberapa per soal-
an y ang belum ditunaikan. Istilah kam i di sini “uninished
business”. Salah satuny a: uruslah Tara. Aku tak sengaja
bertem u dengan dia di acara diskusi di kantor LBH. Dia
m enjadi salah satu pem bicara. Kam i diperkenalkan, dan
dia langsung saja m eny am butku. Rupany a kau bany ak
bercerita tentangku pada dia. Hany a dalam w aktu satu
m enit aku tahu, lelaki ini jatuh cinta padam u. Habis-
habisan. Dia m endengarkan setiap kalim atku seperti
seorang kelaparan y ang m enanti butiran nasi, rem ah-
rem ah dari sisa m akanan restoran. Dia sebetulny a tahu,
aku sam a butany a dengan dia tentang dirim u karena kita
tinggal berjauhan. Aku di New York, kam u di Victoria. Ya
m em ang lum ay an lebih dekat daripada Victoria-Jakarta.
Tetapi orang Am erika sering m enganggap Kanada sebagai
negara antah-berantah.
Pendekny a, dia kelihatan rindu sekali ingin bertem u
denganm u (hm , pertem uan satu jam itu sudah m em buat
aku berkesim pulan sebany ak itu tentang Tara. Jadi kam u
bisa m em bay angkan w ajah Tara).

256 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Apakah kam u:
a. Sam a sekali tidak tertarik pada dia
b. Terlalu bodoh.
c. Terlalu sibuk dengan diri sendiri.
d. Sudah tak tertarik pada lelaki.
e. Lebih suka pada lelaki y ang sudah beristri?

Hany a kam u y ang bisa m enjaw ab.


Yang jelas, Ay ah bercerita, Tara pernah berkunjung
ke rum ah Ay ah hany a untuk m em inta tasbih Ibu y ang
ada padaku. Katany a, Tara berharap dengan tasbih itu,
engkau akan lebih tenang. Aku kagum dengan perhatian
Tara kepadam u. Tidak bany ak rekan dan kaw an y ang m au
berpay ah-pay ah m elakukan itu jika tidak karena cinta.
Dan ingat. Hingga kini Tara tak kunjung bisa m engikat
diri dengan siapapun (ini m enurut laporan Ary a).
Aku tak pernah m enem ukan cinta seperti itu pada
Gilang. Dan aku tak tahu apakah kau juga pernah
m enem ukan cinta sebesar itu dari Niko.
Pulanglah. Hadiri pernikahan Ary a dan Am alia.
Tem ui Ay ah. Dan terutam a, tem ui Tara.

Nina Suw andi.

Nadira m em baca surat elektronik itu dengan hati ber-


debar. Tentu saja dia menyadari perhatian Tara. Tetapi
tak m ungkin dia m enjelaskan isi hatinya pada orang lain.
Lagi pula—Nadira berpikir dengan defensif—kenapa harus
m em berikan alasan atau pertanggungjawaban kepada dunia
tentang pilihan hidupnya?
Nadira m em ejam kan m atanya. Mengingat hari ter -
akhir nya bersam a Tara sebelum dia berangkat ke Victoria.

257 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

Jakarta, Septem ber 1999

“Jadi sabatikal ini cum a dua tahun kan?”


“Pak G m em beri w aktu dua sam pai em pat tahun di luar
tanggungan. Jadi y a sebetahku, Mas...,”Nadira m em beres-
bereskan m ejany a, buku-bukuny a, dokum enny a, disket
y ang digunakan di tahun 1980 -an y ang m asih berserakan.
Tara m eny ender di atas m eja kerja Yos y ang berse-
belah an dengan m eja Nadira.
“Kam u akan rindu dengan peliputan. Kam u akan
m erasa jengkel kalau tak bisa berada di tengah kegairahan
kerja jurnalistik,” Tara kelihatan m enggunakan senjata
terakhir.
“Aku rindu dengan arom a hutan pinus...,” Nadira
terseny um . “Kalau aku bertahan terus di Jakarta, aku akan
gila. Aku jadi ingin bereksperim en dengan bany ak hal. Aku
harus pergi, Mas.”
Tara terdiam . “Kalau kam u tidak pulang setelah
setahun, aku akan m enjem putm u.”
Tara m engucapkan itu seperti lepas kontrol.
Nadira m engerutkan kening, “Setahun? Kenapa?”
“Karena aku tak tahu hidup tanpa kam u. Setahun
cukup. Setelah itu aku akan m enjem putm u.”
Kali ini Nadira betul-betul m eny adari perasaan Tara
kepadany a.
“Say a rasa kam u tidak akan m enjem putku...,” Nadira
terseny um dan m elirik pada Novena y ang sejak tadi terus-
m enerus m em perhatikan m ereka dari jauh.
“Kau akan m em ilih sebuah zona y ang am an. Yang
tenteram . Yang m em buatm u ny am an. Hidupku, Mas Tara,
terlalu penuh dengan dram a. Hidup bersam aku sesekali,
m em ang seperti bertam asy a ke daerah eksotis. Tapi itu
bukan pilihan y ang tepat untukm u...”

258 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

Nadira terseny um dan berbisik ke telinga Tara, “Ada


seseorang y ang sejak dulu jatuh cinta padam u.”
W ajah Tara berubah m endung dan terluka. Dia baru
m eny adari, Nadira m em ang tak pernah m encintainy a.

Nadira m enutup laptopnya. Dia m engam bil jaket dan


ranselnya, lalu berjalan m enerobos angin m usim gugur
m enuju perpustakaan kam pus. Daun m apel berwarna
m erah sore itu bertebaran di jalan seperti ham paran kain
batik Cirebon. Cerah dan m erah. Hati Nadira tersenyum .
Marc sudah m enunggunya di perpustakaan.

***

Gerom bolan bunga alam anda itu m asih sam a. Seolah-olah


m ereka adalah kelom pok bunga yang sudah pasti m e nyam but
kedatangan Tara. Dia m asih saja berdiri di de pan m obilnya,
tak kunjung m elangkah m asuk. Setelah m enghabiskan satu
batang rokok—satu kebiasaan baru yang dim ulai sejak dua
tahun lalu—Tara akhirnya m elangkah m asuk.
Bram Suwandi. Masih sam a. Kecuali, kini seluruh
ram butnya bak salju dan kulitnya seperti kulit jeruk yang
sudah m engering dan penuh bercak hitam . Sudah senjakah
hidup kita sem ua? Tapi Tara bisa m elihat kerjap sinar yang
se sekali m encelat keluar dari sepasang m ata tua itu. Dia
senang bertem u denganku, pikir Tara lega.
“Apa kabar, Pak...”
“Alham dulillah, Tara... Mari, m ari...”
Tara m ulai senewen. Akhirnya dia m enawarkan rokok
kreteknya. Bram tertawa m enggeleng dan m engatakan bah-
wa kini posisinya terbalik. Bram berhenti m erokok, se m en-
tara Tara m em ulai kebiasaan buruk itu.
Bram Suwandi, wartawan yang begitu perkasa di m asa
kejayaannya, kini berjalan tertatih-tatih dengan disangga

259 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

se batang tongkat. Tara m engikuti langkah jagoan tua itu.


Mereka duduk berhadapan, m em ulai basa-basi tentang per-
kem bangan berita terakhir: dari soal tem uan-tem uan baru
tragedi 9/ 11 sam pai soal istilah baru yang kini tengah populer:
w ar on terrorism . Berbagai teori pengam at internasional
m encoba m em baca paradigm a m acam apa yang ada di balik
para pelaku penyerang gedung World Trade Center itu.
Tetapi setelah berputar-putar dengan diskusi politik
dan ekonom i, dan m enghabiskan secangkir kopi, akhirnya
m ereka sam a-sam a kehabisan bahan pem bicaraan. Bram
Suwandi, m eski sudah digerus oleh usia, tetap peka dan
paham bahwa Tara datang bukan untuk m encari tem an ber-
gunjing soal politik; dan juga bukan untuk sekadar m em -
perlihatkan bahwa dia sekarang sudah m ulai m engisap
rokok kretek yang sam a.
“Sebetulnya Pak, saya m au datang m em bawa... m em -
berikan ini...,” Tara m engeluarkan sebuah surat undangan
ber warna biru dan m enyodorkannya pada Bram . Bram se-
gera m engenakan kacam atanya dan m enerim a surat un dang-
an itu. Senyum nya berkem bang, sebuah senyum bijaksana.
“Aaaah, akhirnya kau selesaikan m asa bujangm u yang
terlalu lam a. Selam at, selam at, Nak...”
Tara tersenyum dan m engangguk.
“Siapa gerangan calonm u yang beruntung ini, Nak?”
Tara tertawa, agak kikuk, “Tem an sekantor, Pak. Kara
Novena...”
Bram m engangguk-angguk, “Tanggal berapa ini... Oh,
untung, karena sepekan sebelum nya, Arya juga akhirnya
m em buhulkan ikatan dengan Am alia... Zam an sekarang,
m e nunggu bujangan lapuk dulu baru m enikah.”
Mereka sam a-sam a tertawa; m eski Tara berani berta-
ruh. Dia m erasa ada kegetiran di dalam suara Bram .
“Nak Tara tahu kan, Nadira sedang di Kanada... Yah,

260 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

ten tu saja kau tahu, kan dia pasti minta izin sabatikal
padamu...”
“Ya Pak..., tapi ini undangan untuk seluruh keluarga.
Saya kan juga sudah kenal Bapak dan Kang Arya...”
Bram m engangguk-angguk sem bari m em bisikkan teri-
m a kasih berulang-ulang. Matanya m enatap lantai.
Hening.
Tara tak tahu bagaim ana caranya m engisi kekosongan
itu. Akhirnya sem bari berpura-pura m engecek arlojinya dan
se olah-olah dia sudah ditunggu oleh puluhan anak buahnya,
Tara m em inta izin “m engurus naskah untuk berangkat ke
per cetakan.” Bram segera berdiri. Tara berdiri. Ketika Tara
m e ngulurkan tangannya untuk berjabatan, Bram m alah
m e m eluk bahunya dan m enepuk-nepuk punggungnya. Tara
berani bertaruh (entah dengan siapa), dia m erasakan ada
se titik air m ata yang m em basahi bahunya.
Begitu pintu rum ah keluarga Suwandi itu tertutup, Tara
tak m am pu m elangkah ke m obilnya. Kedua kakinya seperti
dipaku. Tepat di sana, di rum ah Nadira.

***

“Aku benci Rick. Aku ingin m em bunuh dia...,” tiba-tiba


Marc m enyem protkan kejengkelan m asa rem ajanya. Aku
tertawa terbahak-bahak.
Di m asa kam i m asih rem aja, di awal tahun 1980 -an,
Rick tak pernah berhasil m encicipi tubuhku dan ketiga
sahabatku. Tetapi, untuk sekadar iseng, aku pernah me nerima
tawarannya untuk makan malam. Dan selama tiga jam ber-
dikusi sem bari m enikm ati m akan m alam , aku segera paham
m engapa kawan-kawan sekam pus segera saja jatuh ke
pelukan Rick. Bukan hanya m atanya yang dalam dan tajam
itu yang m enarik jantung hati, tetapi ucapan-ucapannya
m em ang orisinil dan bahkan agak kontroversial.

261 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

“Mediocrity kills the soul...,” kata Rick sam bil m enghem -


buskan sebatang ganja. Dia sedang m engejek kawan-kawan
yang sibuk m engisi form ulir untuk m eneruskan pendidikan
ke berbagai universitas Ivy League di AS. Rick m em ang
terlalu cerdas. Dia tak pernah kelihatan di perpustakaan
atau m engutak-atik buku filsafat, sejarah atau m usik,
seperti halnya Marc. Tiba-tiba saja nilai esainya selalu ter-
tinggi, berlom ba-lom ba dengan Marc dan Neil. Tetapi dia
m enertawakan m ereka yang terengah-engah ingin m e lang-
kah m asuk Harvard atau Princenton atau Yale. “Itu hanya
gerbang konform ism e..., taik!” kata Rick.
Rick tahu, salah satu tujuan Marc dalam hidup adalah
m enyelesaikan pendidikan di Universitas Yale.
Rick sering terkekeh. Pasti karena ganja. Tetapi juga
karena sikapnya yang selalu terus-terang dan m enyem prot-
kan kritik dengan brutal. Sikap tengil ini m alah m enarik
perhatian seluruh perem puan kam pus. Dan aksen Inggrisnya
itu sem akin berhasil m enjerat perem puan seperti sarang
laba-laba yang m enangkap nyam uk.
Tapi kencan kam i tak berakhir dengan pergulatan tubuh
versi Rick. Rick sudah tahu—dari bahasa tubuhku—bahwa
aku sangat tidak tertarik. Tetapi cium annya m em ang seperti
sengatan seekor lebah. Menyetrum . Mem buat seluruh aliran
darah berdesir dengan kecepatan m aksim um .
Itu yang m em buat Marc ingin m em bunuh Rick.
Tetapi ini soal m asa lalu. Ketika kam i sem ua m asih
m uda, segar, dan kurang ajar. Kini kam i sudah m enjadi
pengajar dan harus bersikap dewasa, dan seharusnya m asa
lalu itu m enjadi lucu. Sayangnya, Marc tak bisa m enganggap
Rick sebagai bagian dari hum or. Apalagi Rick berniat
datang sebagai dosen tam u ke kam pus kam i. Marc m erasa
teritorinya tersenggol.

262 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Sebaiknya kam u pulang saja ke J akarta waktu dia ke


sini,” kata Marc jengkel.
Aku tersenyum . Ini saatnya m engum um kan kepu-
tusanku yang terbaru.
“Aku m em ang harus pulang, Marc...”
Marc tercengang, tapi kem udian tertawa m em elukku.
“Pulanglah. Dan segera kem bali. Mudah-m udahan saat
kam u pulang, kom posisiku sudah selesai.”
Marc tam pak gem bira dengan keputusanku.
“Aku benci m elihat cara Rick m em andangm u... Pergilah
ke J akarta. Kau tak harus m endengarkan arogansi Oxford
dari m onyet itu.”
“Aku tak pernah tertarik pada Rick...”
“Kau m engatakan cium annya...”
“Ya, ya, ya...,” aku tertawa, “hanya itu.”
Marc m em andangku tajam , “Kau tahu betapa bahayanya
sebuah cium an yang hebat?”
“Ya...,” aku tak bisa m em bantah argum en itu. Sebuah
cium an yang hebat m em ang lebih berbahaya daripada seks
yang dahsyat.
Aku m em andang m ata Marc yang biru, “Alasanku pu-
lang tentu bukan karena Rick. Aku tak peduli apakah Rick
m au m enjadi dosen tam u atau dia m au berenang m enye-
berang Pedder Bay,” kataku dengan nada tegas.
“Ya, ya, kam u akan pulang untuk m enghadiri perka-
winan Arya.” Marc m engangguk cepat-cepat.
“Ada soal lain yang harus kubereskan.”
Kini Marc m em andangku dengan tajam . Dia m em egang
kedua bahuku, seperti takut kehilangan.
“Ada apa?” dia berbisik. Marc tahu aku akan m enyam -
paikan sebuah berita buruk.
“Aku harus bertem u dengan Tara...”

263 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

Kedua tangan itu terasa m em beku. Bola m ata Marc


per lahan m enjelm a m enjadi Pedder Bay. Biru, bening, dan
basah.

***

Am alia tengah m em isah-m isahkan undangan yang akan


dibawanya untuk keluarganya, tem an-tem annya, tem an-
tem an ayahnya, tem an ibunya; kem udian setum puk lagi
untuk keluarga si Akang, tem an-tem an Akang di hutan,
kawan-kawan ayah Akang. Aduh, banyak sekali tem an ayah
si Akang ini.
“Ini undangannya tidak cukup atuh, Kang..., bagaim ana
yah...?” Am alia panik, tetapi m encoba m encari cara agar
undangan m iliknya bisa disisihkan untuk pihak si Akang.
Si Akang tidak m endengar. Matanya m em andang keluar
jendela. Di tangannya ada sebuah undangan perkawinan
ber warna biru.
“Ayuh, Akang..., bagaim ana iniiiih?”
Akang Arya m enatap kekasihnya penuh cinta.
“Terserah, kurangi saja jatah Ayah, Lia...”
“Ya, jangan atuh... Ini saya kurangi jatah tem an saya,
nanti m ereka saya kasih satu undangan sekaligus saja.
Bagaim ana?”
“Ya, boleh...,” Arya m enjawab setengah m elam un.
Sem ula Am alia ham pir m erasa jengkel. Tapi dia m elihat
si Akang seperti bersusah hati.
“Kang?”
“Nnng...”
“Mau tam bah kopinya?”
Si Akang m engangguk, m eski m atanya tetap m elayang
keluar jendela.
Am alia m alah m endekati Arya. Dia baru m enyadari si
Akang tengah m em egang kartu undangan lain. Berwarna

264 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

biru. Am alia m engam bilnya dari tangan Arya, lalu m em -


bacanya.
“Tara, Kang?”
Arya m engangguk dan m enggaruk-garuk dagunya.
“Taranya Nadira?”
“Ngng... Tara tem an kantor Nadira, ya.” Arya m erasa
perlu m em perbaiki kalim at Am alia.
Am alia yang sudah m em pelajari sejarah keluarga
Suwandi luar-dalam —perkawinan, perceraian, kelahiran,
dan kem atian—m enghela nafas.
“Tapi Akang bilang, Nadira kan tidak pernah...”
“Entah kenapa Lia, hati kecilku mengatakan, Nadira se -
betulnya tak m enyadari bahwa dia sangat m encintai Tara.
Tapi hanya dia sendiri yang tidak m engetahuinya.”
“Waduuuuh, susah am at ya, Kang...”
“Kalau terlalu m udah, pasti itu bukan nasib keluargaku,”
Arya m engatakan itu dengan datar; m encoba tidak pahit.
“Kalau m em ang Nadira cinta m ah, ya Nadira harus
dikasih tahu bahwa Tara m au m enikah, Kang,” tiba-tiba
Am alia panik.
Arya tidak m enjawab. “Akang sedang m encari cara,
Lia... Saya tidak ingin m enelepon dia. Mungkin ada untung-
nya juga dia tidak bisa m enghadiri perkawinan kita,” Arya
m engatakan itu dengan nada pasrah. Tentu saja dia ingin
Nadira hadir dalam hari terpenting dalam hidupnya. Namun
ketika adiknya membalas suratnya panjang-lebar men je las-
kan ketidaksiapan dia m enghadapi Indonesia yang ter lalu
m engingatkan kegelapan hidupnya, Arya tak bisa m em aksa.
“Lewat em ail juga rasanya tidak genah ya, Kang?”
Arya m engangkat bahu, “Belum tahu, Lia. Nanti saya
pikir-pikir dulu. Kam i sekeluarga tahu betul soal Tara dan
Nadira ini. Kam i tahu Tara m enanti Nadira begitu lam a,
begitu sabar dia m endam pingi Nadira. Dialah yang selalu

265 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
At Pedder Bay

dengan setia m enem ani Nadira setiap dia dalam kesulitan.


Tapi kam i tak pernah paham kenapa Nadira tak bisa
m em balas perasaan Tara.”
“... Kalau begitu...”
“... Sam pai sekarang,” Arya m em otong kalim at Am alia,
“kalau Nadira m endengar Tara akan m enikah, saya yakin
dia akan m enyadari arti Tara yang sesungguhnya buat dia.”
“Aduh, pelik am at ya, Kang...”
Si Akang m em eluk bahu kekasihnya dan m encium
ram butnya, “Kopinya m ana?”
“Eh, iya...,” Am alia tersenyum m alu, “biar aku yang
buatkan. Kasihan Yu Nah. Sekalian saya buatkan ayahm u
ya...”
Am alia m enghilang ke dapur. Arya m asih m elam un,
m en coba m engorganisir strategi agar adiknya jangan sam -
pai sem akin m enjauhi tanah airnya ini. Baru beberapa m e-
nit, dia duduk memandang kembang anggrek kesukaan ibu-
nya yang m asih terus dirawat ayahnya, terdengar dering
tele pon. J antung Arya nyaris m eloncat.
Dia mengangkat kop telepon dan mengucapkan sa lam
dengan nada agak m alas. Tetapi m atanya langsung ter be-
lalak. Isi dadanya berdebar-debar.
“Kang Arya...”
“Nadira?”
“Kang...”
“Eh, ada apa, Nad. Aku sudah terim a kok em ailm u,
Sayang. Tidak apa. Aku paham kalau kam u tak bisa datang.
Ayah juga paham ,” kalim at Arya m eluncur begitu saja.
“Kang, aku berubah pikiran, Kang. Aku sudah izin
dengan kam pus, aku bisa ke J akarta...”
“Oh...”
Arya m erasa ada segum pal ludah yang tersekat di
kerongkongannya.

266 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Leila S. Chudori

“Aku juga sedang berpikir-pikir, Kang... Yu Nina


m engirim em ail dan bercerita tentang Tara.”
Kali ini Arya ham pir tak bisa bernafas.
“Cerita apa?”
“Ya, sam a seperti Kang Arya, dia m enganggap aku ha-
rus m enyelesaikan hal-hal yang belum tuntas dengan Tara,
Kang. Aku pikir, aku berhutang pada diriku sendiri untuk
m en cari jawab. Aku harus bertem u dengan dia, dan aku
harus tahu apa yang kurasakan.”
“O...”
Arya m asih diam tak m enjawab. Nadira terus m enerobos
keheningan, seolah dia tengah berbicara sendiri.
“Beberapa hari terakhir, aku duduk m engikuti dan
m endengarkan suara riak Pedder Bay, seperti ritm e yang
teguh, yang m enentram kan. Seperti suara Ibu jika dia sedang
zikir... Kang, aku ingat suatu hari Tara pernah m em berikan
seikat kem bang seruni untukku..., kem bang seruni yang
disukai Ibu, Kang... Aku selalu berzikir untuk Ibu.”
Sunyi.
“Kang Arya benar, di dalam hati kecilku, aku m enyim -
pan sebuah tem pat untuk Tara... Mungkin selam a ini aku
terlalu sibuk m encari lilin, m encari obor... Hidup ini selalu
saja gelap, Kang. Aku m encari dan m encari, hingga ke Pedder
Bay... Hingga ke ujung bukit Victoria. Dan tiba-tiba aku baru
m enyadari, di m ana pun aku berada, selalu ada Tara.”
Sobek. Sobek. Hati Arya terkoyak-koyak.
“Kang...”
“Nadira...”
Arya tak m elanjutkan kalim atnya.

****

J akarta, J anuari 20 0 8-19 Agustus 20 0 9

267 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

CATATAN KARYA

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

TENTANG PENULIS

LEILA S. CHUDORI lahir di Jakar ta, 12 Desember 1962.


Ter pilih sebagai wakil Indonesia pener im a beasiswa pen-
didikan di Lester B. Pearson College of the Paciic (United
World Colleges) di Victor ia, Kanada, Leila memperoleh
gelar sar jana di bidang Political Science dan Comparative
Development Studies dar i Trent University, Kanada.
Kar ya-kar ya awal Leila dimuat saat ia ber usia 12 tahun
di m ajalah Si Kuncung, Kaw anku, dan Hai. Pada usia dini ia
menghasilkan kumpulan cer pen ber judul Sebuah Kejutan,
Em pat Pem uda Kecil, dan Seputih Hati Andra. Pada usia
dewasa cerita pendeknya dimuat di m ajalah Zam an, Matra,
m ajalah sastra Horison, jurnal sastra Solidarity (Filipina),
Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tentang Penulis

Malam Terakhir, kumpulan cer ita pendeknya yang


diterbitkan oleh Pustaka Utama Graiti (1989), telah
diter jem ahkan ke dalam ba hasa J erm an dengan judul Die
Letzte Nacht (Horlem m an Verlag). Cer pen Leila dibahas
oleh kr itikus sastra Tinneke Hellwig dalam “Leila S. Chudor i
and Women in Contemporar y Fiction Wr iting” yang dimuat
di Tenggara, sebuah jurnal sastra Asia Tenggara.
Selain sehar i-har i beker ja sebagai war tawan m ajalah
ber ita Tem po, Leila (bersam a Bambang Bujono) men jadi
editor buku Bahasa! Kum pulan Tulisan di Majalah Tem po
(Pusat Data Analisa Tempo, 20 0 8). Leila juga aktif me-
nulis skenar io dram a televisi. Dram a TV ber judul Dunia
Tanpa Kom a (produksi Sinem Ar t, sutradara Mar uli Ara)
yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro
ditayangkan di RCTI tahun 20 0 6. Terakhir, Leila menulis
skenario ilm pendek Drupadi (produksi Sinem Ar t dan
Miles Film s, sutradara Rir i Riza), yang mer upakan tafsir
kisah Mahabharata.
Leila tinggal di Jakar ta bersam a putr i tunggalnya, Rain
Chudori-Soer joatmodjo.

270 pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
9 dari Nadira
http://pustaka-indo.blogspot.com

Di sebuah pagi yang murung, Nadira Suwandi menemukan ibunya t ewas


bunuh diri di lant ai rumahnya. Kemat ian sang ibu, Kemala Yunus—yang

dari Nadira
dikenal sangat ekspresif, berpikiran bebas, dan selalu bert arung mencari
diri—sungguh mengej ut kan.

Tewasnya Kemala kemudian mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai


seorang anak (“ Melukis Langit ” ); seorang wart awan (“ Tasbih” ); seorang
kekasih (“ Ciuman Terpanj ang” ); seorang ist ri, hingga akhirnya membawa
Nadira kepada sebuah penj elaj ahan ke dunia yang baru, dunia seksualit as
yang t ak pernah disent uhnya (“ Kirana” ).

Kendat i pot ongan kisah dalam kumpulan ini dit ulis dengan j eda yang lama,
pada hakikat nya pot ongan ini bukan kumpulan cerpen (kecuali “ Kirana” ),
namun sebuah novel yang ut uh mengenai sebuah keluarga dari dua generasi—yang
karena zamannya masing-masing—t ampaknya mempunyai permasalahan berbeda t api
pada hakikat nya sama. Permasalahan keset iaan, harga diri, dan pengorbanan
mengikat semua pot ongan ini menj adi sebuah kesat uan.
Budi Darma, sastrawan dan Guru Besar UNESA (Universitas Negeri Surabaya)

Cint a it u membahagiakan at au menyakit kan? Hmm .


Namun Leila t akhanya berkisah t ent ang hubungan cint a romant ik, melainkan bet apa
manusia menj alani kehidupannya dengan rasa, dengan hat i, yang t akselalu dimanj akan
oleh dunia kit a sekarang ini. Bila sast ra dianggap menyirat kan dunia di balik
permukaan, kisah-kisah Nadira dalam buku ini memberikannya.
Seno Gumira Ajidarma, sastrawan dan wartawan

Set elah Malam Terakhir menandai sat u fase dalam sast ra Indonesia mut akhir, kini Leila
kembali dengan 9 dari Nadira. Kekuat an cerit a kumpulan ini t erlet ak pada kerumit an
psikologis dan masalah yang dihadapi t okoh-t okohnya. Ia bagai pusaran air, merenggut
lalu menarik kit a sampai ke dasar. Alur yang t ak t erduga, t api t erasa waj ar.
Linda Christanty, penulis dan jurnalis

KPG: 895 04 09 0303


ISBN 13: 978-979-91-0209-6

KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA)


Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3362-3364
Fax. 53698044
9 789799 102096
pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai