Anda di halaman 1dari 7

KEKERASAN OLEH & KEPADA SIAPA?

Menyoal Fakta Kekerasan oleh Kaum Laki-laki Menuju Budaya Nir-kekerasan

Oleh:
Sefnat A. Hontong

Abstrak
Tulisan ini mempersoalkan mengapa ada fakta kekerasan dalam masyarakat. Jika pada
lazimnya orang berpandangan bahwa kaum laki-lakilah sang pelaku kekerasan, maka
saya dalam tulisan ini hendak berpendapat bahwa kekerasan sebenarnya dilakukan oleh
orang yang ‘kuat’ dan punya ‘kedudukan’ tertentu. Oleh karena itu, ia (kekerasan) bisa
saja dilakukan baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Dimana pembuktian ide itu
saya buat dengan cara melihat pengalaman secara pribadi lalu menganalisanya
berdasarkan beberapa pemikiran yang sedang bergulir sekarang ini (metode komparatif).

Kata kunci: kekerasan, kuasa, kedudukan. laki-laki, dan perempuan

Abstract
This article questioned why there is a fact of violence in society. If people believe that
men are the perpetrators of violence, then I thought: violence can be done by a man or
woman, specifically a 'place' within the community. With this comparative method
argument is true.

Keywords: violence, power, status, male and female

Pendahuluan tidak mampu melihat perbuatan atau fakta


Menurut Johan Galtung ada dua (2) yang penuh kekerasan, atau setidak-
hal mendasar yang perlu kita cermati tidaknya sebagai perbuatan atau fakta
ketika berbicara tentang kekerasan atau yang keras. Contohnya adalah abortus
budaya kekerasan dalam masyarakat, provocatus.2
yakni; penggunaan kekerasan dalam Berdasarkan pemikiran itu, saya
masyarakat dan legitimasi terhadap berkesimpulan ternyata soal dan fakta
penggunaan kekerasan itu. 1 Sedangkan kekerasan dalam masyarakat sungguh
studi budaya kekerasan dalam masyarakat, sangat rumit dan kompleks untuk
menurutnya dapat disoroti dengan cara dideskripsikan. Berangkat dari apa yang
melihat bagaimana suatu perbuatan saya anggap sebagai sesuatu yang sungguh
kekerasan langsung dan fakta kekerasan sangat rumit dan kompleks untuk
struktural dilegitimasi dan menjadi bisa dideskripsikan itu-lah, saya dalam tulisan
diterima oleh masyarakat. Contoh: ini hanya mau berdiskusi di sekitar soal
pembunuhan atas nama Negara atau kekerasan; dilakukan oleh dan kepada
‘tuhan/agama’. Sedangkan cara yang lain siapa?. Topik ini saya pilih untuk
adalah dengan membuat realitas menjadi menjadikannya sebagai ‘pintu masuk’
tidak jelas atau samar-samar, sehingga kita untuk melihat apa sebenarnya yang sedang
terjadi dengan realitas kekerasan itu.
1
Sedangkan metode yang akan saya
Johan Galtung, Kekerasan Budaya, dalam: Thomas
Santoso (editor), Teori-teori Kekekarasan, Jakarta,
2
Ghalia Indonesia, hlm. 183. Johan Galtung, Kekerasan Budaya,. hlm. 184.
gunakan untuk membangun diskusi ini actual secara sosiologis. Berdasarkan
adalah metode komparatif, yaitu sebuah pada sejumlah alasan seperti itulah, saya
metode analisa yang dilakukan dengan lalu memberi judul tulisan ini
cara memperbandingkan dua (2) atau sebagaimana adanya.
beberapa fakta (ide) yang berbeda, untuk
selanjutnya berusaha menemukan sebuah Saya Orang Merdeka; Pengalaman
kesimpulan baru yang kiranya bisa Kekerasan dalam Keluarga
menjadi pegangan baik secara filosofis
maupun sosiologis.3 Ketika saya kecil dulu, kedua
Berangkat dari metodologi seperti orang tua saya sangat alergi melihat saya
itu, maka sebagai ide pertama yang saya bermain di saat jam istirahat siang. Suatu
pilih untuk diperbandingkan dengan ide kali, ketika mereka sedang istirahat (tidur)
yang lain dalam tulisan ini adalah siang, saya pergi tanpa mereka tahu dan
bersumber dari pengalaman secara pribadi, bermain di sungai dengan sebuah rakit.
sebagaimana yang terjadi pada 30 tahun Tanpa sadar saya tiba-tiba terbawa arus
yang silam. Dalam tulisan ini ide itu saya sungai, hingga akhirnya tersangkut pada
sebut dengan sub-judul: ‘Saya Orang serumpun bambu. Peristiwa ini kemudian
Merdeka; Pengalaman Kekerasan dalam menyebabkan seluruh tubuh saya penuh
Keluarga. Ide ini saya pilih, oleh karena dengan luka goresan bambu.
saya merasa ia sangat bertentangan dengan Saya pasti tidak bisa
ide umum yang dianut oleh orang menyembunyikan insiden itu kepada
kebanyakan. Selanjutnya ide dalam kedua orang tua saya! Ketika saya
pengalaman secara pribadi ini kemudian ditanyai tentang luka-luka itu, saya lalu
saya perbandingkan dengan beberapa berterus terang. Harapan saya dengan
pemikiran secara teoretik yang sikap berterus terang ini adalah agar
mendukungnya; yang dalam tulisan ini dikasihani dan tidak kenah marah. Tetapi
saya beri sub-judul Dari Pengalaman ternyata tidak, akhir dari keterus-terangan
Pribadi ke Realitas Sosial. Tujuan yang itu, saya malah dicubit oleh ibu dan
ingin saya capai di sini adalah agar ide dipukul oleh ayah dengan ikat
dalam pengalaman pribadi itu bisa pinggangnya. Saya pasti menangis dan
menjadi sebuah ide baru untuk dipikirkan terasa sakit hati ini, lalu menjadi trauma
oleh orang kebanyakan. Dalam hal ini, yang berkepanjangan. Saya ingat, ketika
saya berusahan untuk melihat sejauh mana saya dicubit dan dipukul (saat itu), tiba-
fakta dalam pengalaman pribadi itu bisa tiba terlontar dari mulut saya sebuah
bermakna social, supaya bisa melahirkan ungkapan: “Papa-mama! Saya orang
beberapa kesimpulan dan rekomendasi merdeka, jangan dijajah seperti ini”.
untuk dipikirkan. Demikian pengalaman masa silam
Mudah-mudahan dengan saya ketika berumur 10 tahun. Kini, sudah
menggunakan metode seperti ini saya 30 tahun berlalu. Awalnya saya berpikir
akhirnya akan menemukan apa yang saya bahwa pengalaman yang menyakitkan itu
cari. Sehingga impian untuk menciptakan hanya menjadi pengalaman pribadi saja.
budaya nir-kekerasan (tanpa kekerasan) Namun setelah menjadi dewasa dan
dalam masyarakat bisa menjadi fakta yang mempelajari kehidupan keluarga secara
umum, saya menemukan ternyata
3
pengalaman pada 30 tahun yang silam itu,
Lihat: Anton Bakker & Achmad Charis Zubair,
Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, masih ada dan malah seringkali dianggap
1990, hlm. 50 & 83-90.
sebagai metode yang dipercaya dapat dingin dalam 4:17-22, memberi sebuah
membentuk karakter anak oleh hampir kesimpulan yang menarik untuk kita
semua orang tua. simak dalam kaitannya dengan pandangan
Saya lalu bertanya: mengapa bahwa kekerasan hanya dilakukan oleh
metode yang menyakitkan ini masih kaum laki-laki. Yael menurut Singgih,
digunakan? Apakah tidak ada metode bahkan melakukan tindak kekerasan ganda
yang lain? Apakah para orangtua tidak dalam narasi tersebut. Pertama, ia
tahu metode mendidik anak yang lebih menjadi citra yang negative dalam konteks
manusiawi; yang nir-kekerasan? Atau perempuan, karena terkesan membangun
jangan-jangan hal ini berhubungan erat perselingkuhan dalam konteks politik
dengan ideologi tertentu yang sudah kekuasaan dan menjadikan objek
berurat akar dan dianut sebagai sebuah selingkuhnya sebagai ‘kambing hitam’
kebenaran dalam masyarakat, yakni: keharmonisan palsu demi kekuasaan
‘kekerasan’ dapat membentuk karakter politik bersama Israel. Kedua, dan oleh
baik seorang anak? Lihat saja, ada banyak karena karaktek negative ganda itulah ia
anak di dalam keluarga yang ‘diajar’ oleh disebut sebagai seorang perempuan culas
orang tuanya dengan rotan, dan ada pula dan tidak dapat dipercaya bahkan
banyak anak didik di sekolah yang ‘diajar’ pembunuh berdarah dingin dalam konteks
oleh gurunya dengan rotan. Pertanyaan tindak kekerasan terhadap laki-laki.4
saya selanjutnya adalah: mengapa bisa Berdasarkan kesimpuan itu,
begitu? Saya menduga hal itu bisa terjadi Singgih menegaskan secara empiris kita
karena dilegitimasi oleh pepatah tidak bisa membuktikan bahwa hanya laki-
(nasehat?) yang mengatakan: ‘di ujung laki-lah sang pelaku kekerasan, oleh
rotan ada emas’. karena kekerasan selalu adalah kekerasan
terhadap perempuan (sekalipun hal itu
Dari Pengalaman Pribadi ke Realitas kelihatannya sangat dominan). Maka dari
Sosial pada berpikir mencari-cari ‘penyebab
gender’ dari realitas kekerasan itu, maka
Dari uraian di atas menjadi jelas menurut Singgih; akar dari semua fakta
bahwa praktek dan tindak kekerasan, tidak kekerasan sebenarnya adalah ‘kekuatan’
saja dilakukan oleh kaum laki-laki (papa), dan ‘kekuasaan’. Kekuatan dan kekuasaan
namun juga oleh oleh kaum perempuan; itu akan membuat orang rela melakukan
mama saya. Dalam hal ini, pengalaman kekerasan dengan menjadikan orang lain
pribadi saya berbicara atau menunjukkan sebagai korban, dan yang terlibat itu bisa
sesuatu yang berbeda dengan yang dianut laki-laki, namun bisa juga perempuan. 5
oleh orang kebanyakan, yakni: kekerasan Akhirnya sebagai penutup analisanya,
adalah kekerasan oleh kaum laki-laki, dan Singgih kemudian mengajak kita semua
terhadap kaum perempuan; kekerasan baik laki-laki maupun perempuan untuk
adalah kekerasan kepada perempuan, berhenti melakukan perang ontologi, yaitu
bukan oleh perempuan. antara ontologi berwujud kekerasan
Dalam kaitan dengan hal itu, sebagai kekerasan terhadap laki-laki, dan
Imanuel Gerrit Singgih dalam analisanya
terhadap teks Hakim-hakim 4 - 5 yang
4
menceritakan tentang Debora dan Barak, Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks; Tafsir-tafsir
dan mengedepankan kisah Yael sebagai Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan
Reformasi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia,
seorang perempuan pembunuh berdarah 2009. hlm.26.
5
Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks; hlm.18.
ontologi berwujud kekerasan terhadap kecenderungan feminisme yang eksklusif
perempuan.6 dan kurang proporsional tadi.
Dalam kesadaran yang sama, Memperkuat hal yang sangat
seorang teolog perempuan Indonesia: penting tersebut, Daniel K. Listijabudi
Basilica Dyah Putranti ketika membahas ketika mempelajari pemikiran Rene Girard
‘Konflik antaragama: Sebuah Pendekatan seorang kritikus sastra asal Perancis dalam
Sosialogis Feminis’, menilai bahwa dalam analisanya terhadap kisah Kain dan Habel,
masyarakat kita sedang terjadi sebuah menyimpulkan bahwa peristiwa
kecenderungan feminisme eksklusif dan pembunuhan Kain terhadap Habil adiknya
kurang proporsional dalam melihat fakta itu justru dipengaruhi oleh system dan
kekerasan dan paham feminisme yang mekanisme: orang ‘kuat’ dan punya
inklusif. Dimana kecenderungan ‘kuasa’ melawan orang ‘lemah’ yang tidak
feminisme eksklusif dan kurang punya ‘kuasa’. Dimana Habel yang
proporsional itu menurut Putranti ditandai adalah ‘adik’ Kain, tentu tidak ‘berdaya’
oleh adanya paham dan kecenderungan menghadapi ‘kekuatan’ dan ‘kekuasaan’
struktur analisa sosial yang selalu Kain sebagai ‘kakaknya’. Dalam hal ini
menempatkan laki-laki sebagai pelaku Habel sebagai yang ‘adik’ telah berfungsi
kekerasan dan perempuan adalah korban sebagai korban pengganti (the surrogate
dalam segala persoalan ketimpangan victim) dari ‘status’ dan ‘kewajaran’ Kain
gender dalam masyarakat.7 sebagai ‘kakak’ yang ‘berkuasa’ dan yang
Kesadaran sosiologis Putranti dan sedang marah akibat persembahannya
penegasan Singgih di atas, pada dasarnya tidak diterima Tuhan. Dimana the
telah membantu saya untuk membaca surrogate victim itu selalu berpihak
fakta kekerasan yang saya alami pada 30 kepada yang kecil dan lemah serta yang
tahun yang silam. Dimana oleh karena gampang diserang.8
saya adalah ‘anak’ dan biasanya anak Berdasarkan seluruh pemikiran
(apalagi anak yang masih kecil) selalu seperti di atas, saya merasa agak kurang
dianggap sebagai orang yang ‘lemah’ setuju (senang?) dengan kecenderungan
(bahkan terkadang juga ‘bukan orang’, pengkutuban gender dalam rangka
alias tidak punya kekuatan dan kuasa), membahas realitas kekerasan dalam
maka kedua orang tua saya yang masyarakat, sebagaimana yang lazim
menganggap dirinya sebagai ‘orang’ (yang dilakukan selama ini. Seolah-olah menurut
kuat dan punya ‘kuasa’ sebagai orang kecenderungan ini, yang menjadi pelaku
tua), merasa ‘layak’ mencubit dan utama dan yang bersalah adalah kaum
memukuli saya dengan ikat pinggang. laki-laki, sedangkan yang menjadi korban
Hasil pembacaan seperti ini sungguh- dan yang wajib dibela adalah kaum
sungguh memperlihatkan dengan jelas perempuan. Memang kita tidak bisa
bahwa ‘kekuatan dan kekuasaan’ adalah menutup mata terhadap fakta dimana laki-
‘penyebab’ dari segala realitas kekerasan laki sering berlaku ‘keras’ dan melakukan
dan kritik terhadap pemahaman dan kekerasan terhadap perempuan. Oleh
karena itu, ada benarnya juga apa yang
6 ditegaskan oleh badan pengurus
Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks; hlm.32.
7
Basilica Dyah Putranti, Konflik Antaragama: Sebuah PERUATI (Persekutuan Perempuan
Pendekatan Sosiologis Feminis, dalam: Basilica Dyah
Putranti & Asnath Niwa Natar (Editor), Perempuan,
8
Konflik dan Rekonsiliasi; Perspektif Teologi dan Daniel K. Listijabudi, Tragedi Kekerasan; Menelusuri
Praksis, Yogyakarta, PSF UKDW Yogyakarta, 2004, Akar dan Dampaknya dari Balada Kain-Habel.
hlm. 88. Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 1997, hlm.70.
Berpendidikan Teologi di Indonesia) masalah apartheid di Afrika Selatan.
ketika memberi pengantar dalam suratnya Bahwa apartheit secara konstitusi sudah
tertanggal 15 Februari 2012 kepada para dinyatakan tidak berlaku sejak tahun
penulis Jurnal SOPHIA Edisi I tahun 1986, tetapi dalam kesadaran masyarakat
2012, yakni: gerak keberpihakan agama Afrika Selatan masalah apartheit itu justrtu
bagi dominasi patriarki semakin masih menjadi pola dan live style
memperindah “tarian kekerasan” dalam masyarakat. Terutama dari sudut
lenggak-lenggok diskriminasi yang penguasaan fasilitas-falisitas Negara yang
memarginalkan karena keperempuanannya masih dikuasai oleh kaum kulit putih.
sebagai hal yang wajar diterima. 9 Namun Maka menurut Kwok Pui-Lan ada tiga (3)
demikian, menurut saya fakta laki-laki hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat
sebagai pelaku utama tindak kekerasan di Afrika Selatan agar bisa (betul-betul)
dalam masyarakat dan penegasan badan bebas dari kungkungan ideology
pengurus PERUATI tersebut di atas, tidak apartheid. Antara lain: Pertama,
bisa dibaca sebagai fakta antara laki-laki melakukan Imagination Historical, yaitu
terhadap perempuan, melainkan harus menyadari bahwa ada kultur-kultur masa
dibaca sebagai fakta antara orang yang lalu, yang buruk, yang telah dianut oleh
punya ‘kuasa’ terhadap orang yang ‘tidak’ masyarakat dan sudah dianggap sebagai
punya kuasa, alias orang yang lemah. sebuah kebenaran. Kedua, melakukan
Sedangkan baik orang yang punya dan Imagination Dialogical, yaitu sikap
orang yang ‘tidak’ punya kuasa, biasanya terbuka pada tradisi-tradisi baru yang
tidak saja kaum perempuan, tetapi juga membebaskan dan memberdayakan
kaum laki-laki. Karena itu, menurut saya masyarakat. Dan yang ketiga, melakukan
adalah kurang seimbang jika soal Imagination Diasporical, yaitu proses
kekerasan itu dibaca dengan ontology memasukkan tradisi-tradisi luar yang
antara gender. dianggap dapat memberdayakan
Berkaitan dengan hal itu, Kwok kehidupan masyarakat.11
Piu-Lan, seorang teolog feminis asal Berangkat dari pemikiran tersebut,
Hongkong dalam penelitiannya tentang menurut hemat saya pembicaraan/diskusi
metode tafsir Alkitab mengemukakan di sekitar upaya mengatasi masalah
bahwa masalah bias gender dalam Alkitab kekerasan dalam masyarakat sebenarnya
sebaiknya jangan dipahami (ditafsirkan) haruslah diorientasikan kepada
dalam rangka pengkutuban kategori- pembentukan kesadaran masyarakat
kategori oposisi, seperti: antara laki-laki bahwa ternyata yang sering dan cenderung
dan perempuan, antara budak dan hamba, melakukan praktek/tindak dan budaya
antara kulit putih dan kulit hitam, kekerasan dalam masyarakat adalah orang-
melainkan semua kategori-kategori orang yang mempunyai ‘kekuatan’ dan
pengkutuban dan oposisi itu harus ‘kekuasaan’, baik secara ekonomi, politik,
didekolonisasikan (ditafsir ulang secara social, budaya, bahkan agama, dan mereka
baru dalam konteks pasca kolonialisme, itu selalu terdiri dari baik laki-laki maupun
tafsir postcolonial). 10 Contoh yang perempuan.
dikemukakan oleh Kwok Pui-Lan adalah
9
Lampiran surat PERUATI Nomor: 24/BPP
PERUATI/II/2012, tanggal 15 Februari 2012.
10
Kwok Pui-Lan, Postcolonial Imagination & Feminist
11
Theology. Louisville Kentrucky, Westminster John Knox Kwok Pui-Lan, Postcolonial Imagination……….p. 29-
Press, 1989, p. 29-51 51
Penutup berkata: ‘ada emas di ujung rotan’ menjadi
‘ada rotan dimata orang tua/guru’. Revisi
Demikianlah uraian saya mengenai semacam ini bertujuan agar ideology
fakta kekerasan dalam masyarakat. kekerasan fisik yang diakibatkan oleh
Sekedar mengingatkan kembali dan pepata ‘ada rotan di ujung emas’ perlahan-
menjadi kesimpulan untuk dipikirkan perlahan dielimir untuk disangkali sebagai
dalam kerangka membangun diskusi dan sebuah kebenaran.
relasi sosial di tengah masyarakat, secara Kedua, melakukan Imagination
khusus dalam konteks budaya kekerasan Dialogical, yaitu sikap terbuka pada
adalah mengingat nasehat Singgih di atas, tradisi-tradisi baru yang membebaskan dan
yakni: kita semua baik laki-laki maupun memberdayakan masyarakat. Memang
perempuan harus berhenti melakukan saya sadari bahwa untuk merubah sebuah
perang ontologi, yaitu antara ontologi tradisi bukanlah ibarat kita membalik
berwujud kekerasan sebagai kekerasan telapak tangan. Namun hal itu bukan
terhadap laki-laki, dan ontologi berwujud berarti tidak bisa dilakukan. Salah satu
kekerasan terhadap perempuan, sambil yang mungkin dan bisa dikerjakan dalam
bersikap terbuka terhadap pemahaman kerangka berpikir seperti itu adalah:
bahwa yang melakukan kekerasan menyediakan sarana dan media informasi
sesungguhnya adalah orang-orang yang dan komunikasi di ruang publik agar
punya ‘kuasa’ dan ‘kedudukan’ tertentu proses pertukaran berbagai informasi
dalam masyarakat, dan mereka itu termasuk informasi tentang kultur dan
biasanya adalah baik laki-laki maupun tradisi baru yang memberdayakan
perempuan. masyarakat cepat mendarat dan diterima
Selanjutnya, agar ide tersebut bisa secara luas. Misalnya dengan cara
menjadi sebuah karakter (tabiat) menulis atau mendukung kegiatan ‘Koran
masyarakat dalam relasi social untuk masuk desa’.
berupaya membangun sebuah tradisi dan Ketiga, melakukan Imagination
budaya nir-kekerasan, saya berdasarkan Diasporical, yaitu proses memasukkan
tiga (3) langkah yang diusulkan oleh tradisi-tradisi luar yang dianggap dapat
Kwok Piu-Lan di atas, merekomendasikan memberdayakan kehidupan masyarakat.
hal-hal sebagai berikut: Hal ini hampir sama posisinya dengan
Pertama, melakukan Imagination yang kedua di atas. Apalagi di zaman dan
Historical, yaitu menyadari bahwa ada era globalisasi seperti sekarang ini, saya
kultur-kultur masa lalu, yang buruk, yang merasa sekalipun tidak diusulkan ia
telah dianut oleh masyarakat dan sudah sementara berlangsung dan terus akan
dianggap sebagai sebuah kebenaran. terjadi. Usulan yang sangat mungkin
Salah satunya adalah melakukan kajian dikerjakan adalah: mempraktekkan
untuk mengkritisi berbagai ideology lama sesuatu yang baru dan dirasa akan
serta membangun wacana-wacana baru memberdayakan itu mulai dari diri sendiri.
yang segar seperti: merevisi pepata yang
Pustaka

Bakker, A., & Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta,
Kanisius. 1990.
Galtung, J., Kekerasan Budaya, dalam: Thomas Santoso (editor), Teori-teori
Kekekarasan, Jakarta, Ghalia Indonesia. 2002.
Kwok Pui-Lan, Postcolonial Imagination & Feminist Theology. Louisville Kentrucky,
Westminster John Knox Press, 1989.
Lefebure, L.D. Revelation The Religious and Violence. Maryknoll, New York, 1989.
Listijabudi, D.K., Tragedi Kekerasan; Menelusuri Akar dan Dampaknya dari Balada
Kain-Habel. Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 1997.
Putranti, B.D., & Asnath Niwa Natar (Editor), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi;
Perspektif Teologi dan Praksis, Yogyakarta, PSF UKDW Yogyakarta. 2004.
Singgih, E.G., Dua Konteks; Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas
Perjalanan Reformasi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia. 2009.
Lampiran surat PERUATI Nomor: 24/BPP PERUATI/II/2012, tanggal 15 Februari 2012.

Anda mungkin juga menyukai