Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PEMBAHASAN

1. Kegawat-Daruratan Urologi Non-Trauma

 Urosepsis

Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh mikrobakteria yang berasal dari

saluran urogenitalia. Bakteri lebih mudah masuk ke dalam peredaran darah

terutama jia pasien mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh, diantaranya

adalah pasien: diabetes melitus, lansia, penderita keganasan, HIV, dan gangguan

imunitas lainya.

Bakteri yang berada dalam peredaran darah akan mengeluarkan endotoksin yang

dapat memacu terjadinya rangkaian septic cascade. Keadaan ini menimbulkan

sindroma respon inflamasi sistemik (systemic inflamation response syndrome)

American College of Chest Physicians and the Society of critical Care Medicine

memberikan batasan tentang sepsis dan syok septik. SIRS merupakan respon tubuh

terhadap inflamasi sistemik yang disebabkan oleh berbagai macam kelainan, antara

lain:

 Infeksi

 Trauma

 syok hemoragik

 Kombustio

 Kerusakan jaringan

 Iskemia akibat multipel trauma

 pankreatitis
Kuman penyebab sepsis paling sering adalah bakteri gram negatif yang hidup

secara komensalisme di saluran cerna, yaitu + 30% - 80%; sedangkan kuman gram

positif merupakan penyebab + 5% - 24% sepsis. E.coli adalah kuman yang paling

sering menyebabkan sepsis, kemudian disusul Klebsiella, Enterobacter, Serratia,

Pseudomonas, dll. Kuman yang paling virulen adalah Pseudomonas serta

Klebsiella, dan dalam hal ini pseudomonas seringkali menunjukkan resistensi

terhadap berbagai antibiotik.

Urosepsis timbul karena adanya obstruksi saluran kemih sehingga kemampuan

urine untuk mengeliminasi kuman dari saluran kemih terganggu. Keadaan ini

menyebabkan kuman dengan mudah berkembang biak didalam saluran kemih,

menembus mukosa saluran kemih, dan masuk kedalam sirkulasi darah, sehingga

menyebabkan bakterimia.

Keadaan urologi yang dapat mengakibatkan urosepsis antara lain batu saluran

kemih, hiperplasia prostat, dan keganasan saluran kemih yang menyebabkan

timbulnya hidronefrosis dan bahkan pionefrosis.

Gejala klinis pasien urosepsis tergantung pada kelainan organ urogenitalia yang

menjadi sumber infeksi dan sampai seberapa jauh proses sepsis telah berlangsung.

Gambaran klinis yang didapat antara lain : Demam, Mengigil, Hipotensi,

Takikardi, Takipneu, yang sebelumnya didahului oleh gejala kelainan saluran

kemih; sistitis, pielonefritis, epididimitis, prostattitis akut, nyeri pinggang, keluhan

miksi, pasca kateterisasi uretra, atau pasca pembedahan saluran kemih.

Sepsis yang telah berlanjut memberi gejala atau tanda-tanda gangguan bebrapa

fungsi organ tubuh, antara lain gangguan pada fungsi ginjal, kardiovaskuler,

pencernaan, pernafasan, dan susunan saraf pusat.


Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem hemodinamik dimulai dari fase pre syok, fase syok awal,

atau warm shock, dan syok lanjut atau cold shock. Timbulnya syok ini adalah

akibat dari menurunya resistesi arteriol. Hingga pada fase syok awal pasien masih

demam dan curah jantung normal, tetapi pada syok lanjut tampak pasien dalam

keadaan letargi, dingin, dan curah jantung menurun.

Ginjal
Syok yang berkelanjutan akan menimbulkan nekrosis akut pada tubulus ginjal

yang ditandai dengan azotemia, oliguria, hingga anuria. Tampak adanya gangguan

elektrolit dan asidosis metabolik

Pencernaan
Terjadi disfungsi hepar yang ditandai dengan ikterus akibat kolestasis, peningkatan

serum bilirubin sampai 10 g/dl dengan 80% berupa bilirubin direk, dan peningkatan

fosfatase alkali. Manifestasi lain pada saluran cerna adalahperdarahan saluran

cerna akbat stress ulcer dan gangguan perfusi pada mukosa saluran cerna.

Pernafasan
Tanda awal dari gangguan pernafasan adalah takipneu, bila tidak segera ditangani

dapat terjadi distres nafaas hingga acute respiratory distress syndrome

SSP
Perubahan status mental antara lain asien menjadi bingung, letargi, dan akhirnya

sopor dan koma.


Untuk menegakkan diagnosis dari urosepsis harus dibuktikan bahwa bakteri yang

beredar didalam darah (kultur darah) sama dengan bakteri yang ada dalam saluran

kemih (kulltur urine).

Penanganan urosepsis harus dilakukan secara komperhensif dan ditujukan terhadap

poin-poin berikut:

 Penanganan infeksi (eradikasi kuman penyebab infeksi & menghilangkan

sumber infeksi)

 Sebelum dilakukan pemberian antibiotik, lebih baik diambil contoh urine

dan contoh darah untuk pemeriksaan kultur guna mengetahui jenis kumn

penyebab urosepsis, hal ini bermanfat jika pemberian antibiotik secara

empirik tidak berhasil.

 Secara empirik diberikan antibiotik yang sensitif terhadap bakteri gram

negatif, yaitu:

 Aminoglikosida (gentamycin, amikasin, atau tobramycin)

 Ampicilin

 Cefalosporin generasi III

 Floroquinolon

 Sumber-sumber infeksi lainnya harus segera dihilangkan, misalnya:

 Pemakaian kateter uretra harus diganti dengan yang baru atau

dilakukan cystostomy

 Abses pada ginjal, perirenal, dan abses prostat dilakukan drainase

 Hidronefrosis yang terinfeksi dilakukan diversi urine atau drainase

pus dengan nefrostomy


 Akibat lanjut dari infeksi (SIRS, syok sepsis, multiple organ failure)

 Jenis terapi suportif yang diberikan tergantung pada organ yang

mengalami gangguan. Kematian akibat sepsis biasanya disebabkan karena

kegagalan dalam memberikan terapi suportif terhadap multiple organ

failure.

 Disfungsi multiorgan yang paling sering menyebabkan kematian adalah

gagal napas (18%) dan gagal ginjal (15%), sedangkan sisanya adalah

kegagalan sistem kardiovaskular, hematologi, metabolisme, dan

neurologi.

 Toksin atau mediator yang dikeluarkan oleh bakteri.

 Retensio Urine

Definisi

 Definisi dari retensio urine adalah keadaan penderita yang tidak dapat

berkemih walaupun kandung kemih penuh.1

 Pada sumber lain disebutkan bahwa definisi retensio urine adalah

ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urine yang terkumpul

didalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli terlampaui.2

 Proses miksi terjadi karena koordinasi harmonik antara otot destrusor buli

sebagai penampung dan pemompa urine dengan uretra yang bertindak sebagai

pipa untuk menyalurkan urine.2


Etiologi

Adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi buli-buli yang tidak adekuat, atau

adanya miskoordinasi antara buli-buli dengan uretra dapat menimbulkan terjadinya

retensi urine.

Komplikasi

Pada kasus retensio urine, harus segera dilakukan tindakan untuk mengeluarkan

ureine dari dalam buli-buli. Urine yang tertahan lama didalam buli-buli jika

dibiarkan akan menimbulkan beberapa kondisi yaitu:

 Resiko terjadinya ISK (Infeksi Saluran Kemih)


 Kontraksi otot buli melemah

 Hidroureter dan hidronefrosis

 Renal failure

Tindakan

 Tujuan utama tindakan pada retensio urine adalah untuk mengeluarkan urine

dai dalam buli-buli. Urine dapat dikeluarkan dengan cara pemasangan kateter

atau cystostomy. Intertvensi penyakit primer dikerjakan setelah kondisi pasien

stabil.

 Untuk kasus tertentu tidak perlu pemasangan kateter terlebih dulu, melainkan

dapat langsung dilakukan tindakan definitif terhadap penyebab utama retensio

urine, misalnya batu di meatus uretra eksternum atau meatal stenosis, fimosis

dan parafimosis dilakukan sirkumsisi atau dorsumsisi.


 Strangulasi

Torsio
Testis

Strangulasi

Parafimosis Priapismus

 Torsio Testis

Torsio testis adalah kondisi terpuntirnya funikulus sprematikus yang berakibat

terjadinya gangguan aliran darah pada testis. Keadaan ini diderita oleh 1

diantara 4000 ribu pria yang berumur kurang dari 25 tahun, dan paling banyak

diderita oleh anak pada masa pubertas (12-20 tahun). Disamping itu tidak

jarang janin yang masih berada dalam uterus atau bayi baru lahir menderita

torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan testis

baik unilateral maupun bilateral.


Testis normal dibungkus oleh tunika albuginea. Pada permukaaan anterior dan

lateral, testis dan epididimis dikelilingi oleh tunika vaginalis yang terdiri atas

dua lapis, yaitu lapisan viseralis yang langsung menempel ke testis dan di

bagian luarnya adalah lapisan parietalis yang menempel ke muskulus dartos

pada dinding skrotum.

Pada masa janin dan neonatus lapisan parietal yang menempel pada muskulus

dartos masih belum banyak terdapat jaringan pengangga sehingga testis,

epididimis, dan tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan

untuk terpuntir pada sumbu funikulus spermatikus. Terpuntirnya pada keadaan

ini disebut torsio testis ekstra vaginal.

Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan

sistem penyangga testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi

sebagian dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada kelainan

ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi

epididimis ke dinding skrotum.

Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan mudah bergerak di

kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus spermatikus.

Kelainan ini dikenal dengan anomali bell-clapper. Keadaan ini akan

memudahkan testis mengalami torsio testis intravaginal.

Patofisiologi
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekat dan

menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis.

Adanya kelainan penyangga testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio

jika bergerak secara berlebihan.


Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pergerakkan yang berlebihan

antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak, ketakutan, latihan fisik

yang berlebihan, batuk, celana yang telalu ketat, defekasi, atau trauma yang

mengenai skrotum. Terpuntirnya funikulus spermatikus menyebabkan

obstruksi aliran darah testis sehingga tesitis mengalami hipoksia, edema testis,

dan iskemia, yang akhirnya testis akan menjadi nekrosis.

Tanda & Gejala


Pasien mengeluh nyeri hebat didaerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan

diikuti pembekakan pada testis. Keadaan ini dikenal sebagai akut skrotum.

Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut bagian bawah sehingga jika

tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Pada bayi

gejalanya tidak khas, yakni gelisah, rewel, atau tidak mau menyusu.

Pada pemeriksaan fisik, testis membengkak, letaknya lebih tingi dan lebih

horizontal daripada testis sisi kontralateral. Kadang pada torsio testis yang

baru terjadi, dapat diraba adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus.

Keadaan ini biasanya tidak disertai dengan demam.

Pemeriksaan penunjang yang dapat membedakan torsio testis dengan keadaan

skrotum lainnya adalah dengan memakai stetoskop doppler, USG doppler, dan

yang kesemuanya bertujuan menilai aliran darah ke testis. Pada torsio testis

tidak didapatkan aliran darah ke testis sedangkan ada peradangan akut testis ,

terjadi peningkatan aliran darah ke testis.


Tindakan
 Detorsi Manual
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu

dengan cara memutar testis kearah berlawanan dengan arah torsio. Karena

arah torsio biasanya ke medial maka dianjurkan untuk memutar testis

kearah lateral terlebih dulu, bila tidak terjadi perubahan dilakukan

pemutaran kearah sebaliknya.

Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi telah berhasil.

Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan.

 Operasi
Tindakan operasi ditujukan untuk mengembalikan posisi testis pada arah

yang benar dan setelah itu dilakukan penilaian viabilitas testis yang

mengalami torsio, mungkin masih viable atau sudah mengalami nekrosis.

Jika testis masih viable dilakukan orkdopeksi (fiksasi testis) pada tunika

dartos kemudian dilanjutkan orkidopeksi pada testis kontralateral.

 Parafimosis

Parafimosis adalah preputium enis yang diretraksi sampai sulkus koronarius

dan tidak dapat dikembalikan pada kondisi semula sehingga timbul jeratan

pada penis dibelakang sulkus koronarius. Retraksi preputium kearah proksimal

biasanya dilakukan saat bersenggama atau masturbasi atau setelah dilakukan

pemasangan kateter.
Jika preputium tidak secepatnya dikembalikan ke tempat semula, dapat

menyebabkan gangguan aliran balik vena superfisial sedangkan aliran arteri

berjalan normal. Hal ini menyebabkan edema glans penis dan terasa nyeri.

Jika dibiarkan bagian penis di bagian distal jeratan makin membengkak yang

akhirnya dapat mengalami nekrosis glans penis.

Tindakan
Preputium diusahakan untuk dikembalikan secara manualdengan cara memijat

glans selama 3-5 menit, diharapkan edema berkurang dan secara perlahan-

lahan preputium dikembalikan pada tempatnya.

Jika usaha ini tidak berhasil, dilakukan dorsum insisi pada jeratan sehingga

reputium dapat dikembalikan pada ttempatnya. Setelah edema dan proses

inflamas menghilang, pasien dianjurkan untuk dilakukan sirkumsisi.

 Priapismus

Priapismus adalah ereksi penis yang berkepanjangan tanpa diikuti dengan

hasrat seksual dan sering disertai dengan rasa nyeri. Istilah priapismus berasal

dari kata Yunani priapus yaitu nama dewa kejantanan pada Yunani kuno.

Priapismus merupakan salah satu kedaruratan urologi karena jika tidak

ditangani dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kecacatan yang menetap

berupa disfungsi ereksi.


Etiologi
Menurut etiologinya priapismus dibedakan dalam 2 kategori yaitu: priapismus

primer atau idiopatik yang belum jelas penyebabnya sebanyak 60% dan

priapismus sekunder. Priapismus sekunder dapat disebabkan oleh :

 Kelainan pembekuan darah

 Trauma paraperineum atau genitalia

 Gangguan neurogenik (pengaruh anestesi regional atau paraplegia)

 Penyakit keganasan

 Pemakaian obat-obatan tertentu (alkohol, psikotropika)

 Pasca injeksi intrakavernosa dengan zat vasoaktif

Klasifikasi
Ereksi penis yang berkepanjangan pada pr0iapismus dapat terjadi karena:

kegagalan penis untuk melemas kembali ini dapat terjadi karena : gangguan

mekanisme veno-oklusi (“outflow”) sehingga darah tak dapat keluar dari

jaringan erektil, atau akibat peningkatan aliran darah ke jaringan erektil

(“inflow), sehingga dibedakan 2 jenis priapismus yaitu:4

1. “Low-flow” Priapismus (statis=Ischemic) yaitu berupa ereksi

berkepanjangan dan diikuti rasa nyeri.

2. “High-Flow” Priapismus (non-ischemic) yang sering tanpa rasa nyeri dan

prognosanya baik.

Lue dkk (1986) membedakan keduanya dengan mengukur tekanan dan

memeriksa gas darah intrakavernosa. Ereksi berkepanjangan 4-6 jam harus

dicurigai priapismus. Nyeri biasanya terjadi 6-8 jam. Spycher & Hauri (1986)
menyatakan bahwa akibat kegagalan hemodinamik pada korpora kavernosa

pertama-tama akan terjadi edem jaringan pada interstitiel trabekula, yang

kemudian setelah 24 jam terjadi kerusakan dan nekrosis sel-sel yang luas. > 48

jam terjadi pembekuan darah dalam kaverne dan destruksi endotel sehingga

jaringan-jaringan trabekel kehilangan daya elastisitasnya.

Jika tidak diterapi, detumesensi terjadi setelah 2-4 minggu dan otot polos yang

mengalami nekrosis diganti oleh jaringan fibrosa sehingga kehilangan

kemampuan untuk mempertahankan ereksi maksimal.

Priapismus jenis non-iskemik banyak terjadi setelah suatu trauma pada daerah

perineum atau setelah operasi rekonstruksi arteri pada disfungsi ereksi.

Prognosisnya lebih baik daripada jenis iskemik dan ereksi dapat kembali

seperti semula.

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti diharapkan dapat

mengungkapkan etiologi priapismus. Pada pemeriksaan lokal didpatkan

corpus penis yang menegang tanpa diikuti oleh ketegangan pada glans penis.

USG doppler yang dapat mendeteksi adanya pulsasi arteri kavernosa dan

analisis gas darah yang diambil intrakavernosa dapat membedakan priapismus

jenis iskmeik atau non-iskemik

Terapi
Pada prinsipnya terapi priapismus adalah secepatnya mengembalikan aliran

darah pada korpus kavernosum yang dicapai dengan cara medika mentosa

maupun operatif. Aspirasi darah kavernosa diindikasikan pada priapismus

noniskemik atau priapismus iskemik yang masih baru saja terjadi.


Priapismus iskemik derajat berat yang sudah terjadi beberpa hari tidak

memberikan respon terhadap aspirasi dan irigasi obat intrakavernosa, untuk itu

diperlukan tindakan operatif.

Aspirasi dilakukan dengan memakai jarum scalp vein no. 21. Aspirasi

sebanyak 10-20 ml darah intrakavernosa, kemudian dilakukan instilasi 10-20

μg epinefrin atau 100-200 μg fenilefrin yang dilarutkan dalam 1ml NaCl 0.9%

setiap 5 menit hingga penis detumesensi. Jika dilakukan sebelum 24 jam

setelah serangan, hampir semua kasus dapat dengan cara ini.

Selain obat-obatan tersebut, dapat pula dipakai instilasi streptokinase pada

priapismus yang telah berlangsung 14 hari yang sebelumnya telah gagal

dengan instilasi α adrenergik.

Shunting korpus kavernosum, tindakan ini harus difikirkan terutama pada

priapismus veno-oklusif atau yang gagal setelah terapi medikamentosa; hal ini

untuk mencegah timbulnya sindroma kompartemen dapat menekan arteri

kavernosa dan berakibat iskemia pada korpus kavernosa. Beberapa jenis shunt

antara lain:

• Shunt korpo-glanular

• Shunt korpo-spongiosum (k. spongiosum-k. Kavernosum)

• Shunt safeno-kavernosum (anatomosis k. Kavernosum – vena safena)

2. Kegawat-Daruratan Urologi Trauma

 Trauma Ginjal

Sebagian besar trauma (ruptur) ginjal terjadi akibat trauma tumpul. Secara

umum, trauma ginjal dibagi dalam tiga kelas : laserasi ginjal, kostusio ginjal, dan
trauma pembuluh darah ginjal. Semua kelas tersebut memerlukan indeks

pengetahuan klinik yang tinggi dan evaluasi serta penanganan yang cepat.

Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal, yaitu

1. Trauma tajam

2. Trauma iatrogenik

3. Trauma tumpul

Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 % penyebab

trauma pada ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian

atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria

merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.

Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau

radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography,

percutaneous nephrostomy dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin

meningkatnya popularitas dari teknik-teknik di atas, insidens trauma iatrogenik

semakin meningkat, tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi

ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal.

Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya

pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma

akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.

Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma

langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau

perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai

organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang

menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum.


Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima

arteri renalis yang menimbulkan trombosis.

Patofisiologi Trauma Ginjal

Trauma ginjal tumpul diklasifikasikan sesuai keparahan luka dan yang paling

sering ditemukan adalah kontusio ginjal. Trauma tumpul pada region costa ke 12

menekan ginjal ke lumbar spine dan akan mengakibatkan cedera pada pinggang

atau bagian bawah ginjal. Ditempat costa 12 memberi impak.

Ginjal juga dapat rusak akibat dari tekanan dari bagian anterior abdomen sering

kali dalam kecederaan dalam kecelakaan lalu lintas. Trauma penetrasi yang sering

kali disebabkan oleh luka tusuk atau luka tembak sering ditemukan juga.

Walaupun sering ditemukan hematoma peri-renal, pasien mungkin tidak

menunjukkan hematuria kecuali luka mencapai calyx atau pelvis.

Trauma ginjal dapat terjadi oleh karena beragam mekanisme. Kecelakaan motor

merupakan penyebab terbanyak dari trauma tumpul abdominal yang menyebabkan

trauma ginjal. Selain itu, jatuh dari ketinggian, luka tembak, merupakan penyebab

lainnnya. Pada kasus jarang, trauma ginjal terjadi oleh karena penyebab iatrogenic

yang dapat bermanifestasi dengan perdarahan setelah trauma minor.

Sebagian besar trauma (ruptur) ginjal muncul dengan gejala hematuria (95%),

yang dapat menjadi besar pada beberapa trauma ginjal yang berat. Akan tetapi,

trauma vaskuler ureteropelvic (UPJ), hematuria kemungkinan tidak tampak. Oleh

karena, sebagian besar penanganan trauma, termasuk trauma ginjal, membutuhkan

sedikit prosedur invasif, maka pemeriksaan radiologi sangatlah penting. Dengan


pemeriksaan yang akurat dari radiologi pasien dapat ditangani dengan optimal

secara konservatif dari penanganan pembedahan.

Klasifikasi dan Manifestasi Trauma Ginjal

Klasifikasi Trauma Ginjal

Berdasarkan American Association for the surgery of Trauma (AAST),

trauma ginjal terbagi dalam beberapa derajat:

1. Grade 1

Ditandai dengan:

 Hematuria dengan pemeriksaan radiologi yang normal

 Kontusio

 Hematoma subkapsular non-ekspandin.

2. Grade 2

Ditandai dengan:

 Hematoma perinefrik non-ekspanding yang terbatas pada retroperitoneum

 Laserasi kortikal superficial dengan kedalaman kurang dari 1 cm tanpa adanya

trauma pada sistem lain

3. Grade 3

Ditandai dengan: Laserasi ginjal yang kedalamannya lebih dari 1 cm tidak

melibatkan sistem lainnya.

4. Grade 4

Ditandai dengan:

 Laserasi ginjal yang memanjang mencapai ginjal dan sistem lainnya

 Melibatkan arteri renalis utama atau vena dengan adanya hemoragik


 Infark segmental tanpa disertai laserasi

 Hematoma pada subkapsuler yang menekan ginjal

5. Grade 5

Ditandai dengan:

 Devaskularisasi ginjal

 Avulse ureteropelvis

 Laserasi lengkap atau thrombus pada arteri atau vena utama

Gambar 3. Klasifikasi Trauma Ginjal

Manifestasi Trauma Ginjal

Pada trauma tumpul dapat ditemukan jejas di daerah lumbal, sedangkan

pada trauma tajam tampak luka. Pada palpasi didapatkan nyeri tekan daerah lumbal,

ketegangan otot pinggang, sedangkan massa jarang teraba.

Nyeri abdomen umumya ditemukan di daerah pinggang atau perut bagian

atas, dengan intenitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa
ditemukan adanya tanda perdarahan dalam perut. Bila terjai cedera traktus.

digestivus ditemukan adanya tanda rangsang peritoneum.

Fraktur costae bagian bawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini

ditemukan sebaiknya diperhatikan keadaan paru apakah terdapat hematothoraks

atau pneumothoraks

Hematuria makroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih.

Derajat hematuria tidak berbanding dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu

diperhatikan bila tidak ada hematutia, kemungkinan cedera berat seperti putusnya

pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal. Pada pemeriksaan fisik dapat

ditemukan tanda shock.

Tanda kardinal dari trauma ginjal adalah hematuria, yang dapat bersifat massif

atau sedikit, tetapi besarnya trauma tidak dapat diukur dengan volume hematuria

atau tanda-tanda luka. Tanda lainnya ialah adanya nyeri pada abdomen dan lumbal,

kadang-kadang dengan rigiditas pada dinding abdomen dan nyeri lokal. Jika pasien

datang dengan kontur pinggang yang kecil dan datar, kita dapat mencurigai dengan

hematoma perinefrik. Pada kasus perdarahan atau efusi retroperitoneal, trauma

ginjal kemungkinan dihubungkan dengan ileus paralitik, yang bisa menimbulkan

bahaya karena membingungkan untuk didiagnosis dengan trauma intraperitoneal.

Dokter harus memperhatikan fraktur iga, fraktur pelvis atau trauma vertebra

yang dapat berkembang menjadi trauma ginjal. Nausea dan vomiting dapat juga

ditemukan. Kehilangan darah dan shock kemungkinan akan ditemukan pada

perdarahan retroperitoneal.
Pemeriksaan Diagnostik

Laboratorium

Pemeriksan urinalisis diperhatikan kekeruhan, warna, pH urin, protein,

glukosa dan sel-sel. Pemeriksaan ini juga menyediakan secara langsung informasi

mengenai pasien yang mengalami laserasi, meskipun data yang didapatkan harus

dipandang secara rasional. Jika hematuria tidak ada, maka dapat disarankan

pemeriksaan mikroskopik.

Meskipun secara umum terdapat derajat hematuria yang dihubungkan

dengan trauma traktus urinarius, tetapi telah dilaporkan juga kalau pada trauma

ginjal dapat juga tidak disertai hematuria. Akan tetapi harus diingat kalau

kepercayaan dari pemeriksaan urinalisis sebagai modalitas untuk mendiagnosis

trauma ginjal masih didapatkan kesulitan.

Radiologi

Cara-cara pemeriksaan traktus urinarius dapat dilakukan dengan berbagai cara,

yaitu: foto polos abdomen, pielografi intravena, urografi retrograde, arteriografi

translumbal, angiografi renal, tomografi, sistografi, computed tomography (CT-

Scan), dan nuclear Magnetic resonance (NMR).

 Intravenous Pyelography (IVP)

Tujuan pemeriksaan IVP adalah untuk melihat fungsi dan anatomi kedua ginjal dan

ureter. Sedangkan kerugian dari pemeriksaan ini adalah

(1) pemeriksaan ini memerlukan gambar multiple untuk mendapatkan informasi

maksimal, meskipun tekhnik satu kali foto dapat digunakan;


(2) dosis radiasi relative tinggi (0,007-0,0548 Gy)

(3) gambar yang dihasilkan tidak begitu memuaskan.

 Ultrasonografi (USG)

Keuntungan pemeriksaan ini adalah

1. non-invasif,

2. dapat dilakukan bersamaan dengan resusitasi, dan

3. dapat membantu mengetahui keadaan anatomi setelah trauma.

Kerugian dari pemeriksaan ini adalah

1. memerlukan pengalaman sonografer yang terlatih,

2. pada pemeriksaan yang cepat sulit untuk melihat mendeskripsikan anatomi

ginjal, dimana kenyataannya yang terlihat hanyalah cairan bebas,

3. trauma bladder kemungkinan akan tidak dapat digambarkan.

 Computed Tomography (CT)

Computed Tomography (CT) merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang

dapat digunakan untuk menilai traktus urinarius. Pemeriksaan ini dapat

menampakan keadaan anatomi traktus urinarius secara detail. Pemeriksaan ini

menggunakan scanning dinamik kontras.

Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah

1. memeriksa keadaan anatomi dan fungsional ginjal dan traktus urinarius,

2. membantu menentukan ada atau tidaknya gangguan fungsi ginjal dan

3. membantu diagnosis trauma yang menyertai

Kerugian dari pemeriksaan ini adalah


1. pemeriksaan ini memerlukan kontras untuk mendapatkan informasi yang

maksimal mengenai fungsi, hematoma dan perdarahan;

2. pasien harus dalam keadaan stabil untuk melakukan pemeriksaan scanner;

dan

3. memerlukan waktu yang tepat untuk melakukan scanning untuk melihat

bladder dan ureter.

 Angiography

Keuntungan pemeriksaan ini adalah

1. memiliki kapasitas untuk menolong dalam diagnosis dan penanganan

trauma ginjal

2. lebih jauh dapat memberikan gambaran trauma dengan abnormalitas IV

atau dengan trauma vaskuler.

Kerugian dari pemeriksaan ini adalah

1. pemeriksaan ini invasif

2. pemeriksaan ini memerlukan sumber-sumber mobilisasi untuk

melakukan pemeriksaan, seperti waktu

3. pasien harus melakukan perjalanan menuju ke ruang pemeriksaan.

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk membantu penanganan trauma ginjal ketika terdapat

kontraindikasi untuk penggunaan kontras iodinated atau ketika pemeriksaan CT-


Scan tidak tersedia. Seperti pada pemeriksaan CT, MRI menggunakan kontas

Gadolinium intravena yang dapat membantu penanganan ekstravasasi sistem

urinarius. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksan terbaik dengan sistem lapangan

pandang yang luas.

Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :

Grade I

 Hematom minor di perinephric, pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran

ginjal yang abnormal

 Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak

 Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim

atau terlihat mirip dengan kontusi ginjal

 Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat

menunjukkan gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan

masalah karena penderit grade I memang tidak memerlukan tindakan operasi .

 Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan

diantara parenkim ginjal

Grade II

 Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi

 Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai

ke daerah perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.

 Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.

 Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats


 Akumulasi masif dari kontras, terutama pada ½ medial daerah perinefron,

dengan parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter, merupakan

duggan kuat terjadinya avulsi ureteropelvic junction

Grade III

 Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi

shock dan sering teraba massa pada daerah flank.dapt diertai dengan hematuria.

 Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana

terlihat gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total

 Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A.

Renalis. Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.

 Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi

memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel

akan terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik. Fragmen

diantaranya berarti merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.

Grade IV

 Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.

 Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada

derah perinefron tanpa pengisian ureter.

Manajemen Trauma ginjal

 Emergensi

Penanganan segera dari syok, perdarahan, resusitasi lengkap dan evaluasi cedera

lainnya. Jika kondisi pasien tidak stabil oleh karena trauma / cedera intra abdomen

maka diperlukan tindakan bedah laparotomi eksplorasi untuk resusitasi bedah. Jika
didapatkan hematoma retroperitoneal yang meluas dan pulsatil diindikasikan untuk

melakukan eksplorasi renal. , Urutan eksplorasi laparotomi:

(1) Mencari cedera/kelainan pembuluh darah besar intra abdomen,

(2) Eksplorasi organ Visceral dan intra abdomen lainnya harus dikerjakan dahulu

sebelum

(3) Eksplorasi renal, kecuali terjadi perdarahan ginjal yang masif dan persisten

maka harus dilakukan eksplorasi renal dahulu.

Eksplorasi renal dimulai dengan kontrol pembuluh darah renalis,

dengan cara insisi peritoneum posterior (white line) di atas aorta, sebelah

medial ke arah interior vena mesenterika. Vena renalis kiri mudah dikenali,

terletak anterior aorta; merupakan landmark untuk identifikasi pembuluh darah

renal yang lain. Setelah pembuluh renal teridentifikasi maka lakukan kontrol-

kendali pembuluh darah, guna mngurangi blood loss (pada kasus perdarahan).

Hal ini menurunkan angka nefrektomi, dari sekitar 56% menjadi 18%. Kadang

oklusi pembuluh darah ini diperlukan (20%) pada staging bedah cedera ginjal

atau pada repair ginjal.

Operatif

 Trauma tumpul

Cedera ginjal minor (85%) biasanya tidak memerlukan tindakan operasi.

Perdarahan berhenti spontan dengan tirah baring dan hidrasi. Operasi dilakukan

pada kasus perdarahan retroperitoneal persisten, ekstravasasi urin (drainase),

kematian parenkim ginjal dan cedera pedikel ginjal (<5% dari cedera ginjal).

Penilaian staging cedera pra bedah harus dilakukan secara lengkap sebelum

operasi.
Evaluation of blunt renal trauma in adults

 Luka tusuk/tembus

Luka tusuk harus dilakukan eksplorasi, kecuali dari pemeriksaan yang

lengkap hanya didapat cedera parenkim minor tanpa ekstravasasi urin. Delapan

puluh persen luka tembus disertai cedera organ lain yang memerlukan operasi

segera.

Indikasi eksplorasi renal dibagi menjadi indikasi absolut dan relatif.

Perdarahan ginjal yang terus menerus, ditandai dengan hematoma yang meluas

di daerah atas retroperitoneal atau hematoma yang paliatif dan konsisten, serta

berhubungan dengan laserasi parenkim renal mayor atau pembuluh darah ginjal

merupakan indikasi absolut eksplorasi renal.

Sedangkan adanya ekstravasasi urin oleh karena laserasi pelvis renal

akibat ekstensi laserasi parenkim hingga sistem pengumpul adalah indikasi


relatif. Indikasi relatif lainnya adalah ditemukannya nonviable tissue,

incomplete staging dan adanya trombosis arteri yang biasanya menyertai

perdarahan dan kombinasi dari kombinasi hal-hal di atas.

Salah satu prinsip yang menyebabkan dilakukannya nefrektomi setelah

trauma adalah perdarahan ginjal, kerusakan masif. Sedangkan kerusakan ginjal

lainnya dapat dilakukan repair atau rekonstruksi.

Prinsip-prinsip repair pada trauma ginjal :

(1) total renal exposure penting untuk mengamati cedera secara penuh,

(2) debridement,

(3) hemostasis,

(4) collecting system closure dengan cara-cara seperti penutupan defek (defect

coverage), nefrektomi parsial, dan renorrhaphy.

Evaluation of penetrating renal trauma in adults


 Ruptur Buli

Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen, namun

seiring bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis;

sehingga kemungkinan mendapat trauma dari luar jarang terjadi

Kurang lebih 90% trauma adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli pada tulang

pelvis oleh fascia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga cedera

deselerasi terutama jika titik fiksasi fascia bergerak pada arah berlawanan (seperti

pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli.

Robekan buli-buli karena fraktur elvis juga dapat terjadi akibat fragmen tulang

pelvis merobek dinding buli. Dalam kondisi terisi penuh oleh urine, buli-buli

mudah sekali robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan pada perut

bagian bawah. Buli-buli aka robek pada daerah fundus dan menyebabkan

ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum.

Tindakan endourologi dapat menyebabka trauma buli-buli iatrogenik antara lain

pada reseksi buli-buli transuretral atau pada litotripsi. Demikian pula partus atau

tindakan operasi didaerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-

buli.

Ruptur buli-buli dapat terjadi secara spontan; hal ini biasanya terjadi jika

sebelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-buli. Tumor buli, atau obstruksi

infravesikal kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang

menyebabkan kelemahan dinding buli-buli.


Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi kontusio buli cedera buli

ekstraperitoneal, dan cedera buli intraperitoneal. Pada kontusio buli hanya terdapat

memar pada dindingnya, mungkin terdapat hematom periversikal, namun tidak

terjadi ekstravasasi urine ke luar buli. Cedera intraperitoneal merupakan 25-45%

dari seluruh kejadian trauma buli . Sedangkan cedera buli ektraperitoneal + 45-

60% dari seluruh trauma buli.

Terkadang cedera buli intraperitoneal terjadi bersama dengan cedera buli

ekstraperitoneal (2-12%). Jika tidak mendapat perawatan dengan segera 10-20%

trauma buli dapat berakibat kematian karena peritonitis atau sepsis.

Tanda & gejala


 Riwayat trauma pada bagian bawah abdomen
 Nyeri supra simfisis
 Hematuria
 Retensi urine
Gambaran klinis lain tergantung dari etiologi trauma, nagian buli yang mengalami

cedera (intra/ekstra), adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit yang

terjadi akibat trauma (fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, sepsis, peritonitis,

atau abses perivesika).

Pemeriksaan radiologis
Cystography
 Foto abdomen AP saat buli teri kontras
 Foto abdomen oblik
 Foto abdomen saat kontras dikeluarkan (wash out film)
Terapi
Terapi pada cedera buli tergantung dari jenis cedera yang dialami. Pada kontusio

buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan

istirahat ada buli. Dengan cara ini diharapkan buli sembuh dalam 7-10 hari

Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari

robekan ada buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi,

ekstravasasi urine ke ronga peritoneum dapat mengakibatkan peritonitis

Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal)

dianjurkan untuk dipasang kateter selama7-10 hari, namun sebagian ahli

menganjurkan untuk dilakukan penjahitan buli dan pemasangan kateter

cystostomy.

 Ruptur Uretra

Ruptur Uretra Posterior


Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur

yang mengenai simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis ,

menyebabkan robekan uretra pars prostato-membranasea.

Klasifikasi
Melalui gambaran uretrogram McCollum membagi derajat cedera uretra dalam 3

jenis:
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami streching (peregangan).

Foto uretrogram tidak menunjukkan ekstravasasi, dan uretra hanya tampak

memanjang.

2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato-membranasea. Foto

uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras diatas diafragma urogenitalia.

3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosasebelah

proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras

meluas dibawah diafragma urogenitalia

Tanda & Gejala

• Perdarahan melaui OUE

• Retensi urine

• Floating prostate pada rectal toucher

• Adanya gambaran ekstravasasi kontras pada uretrografi retrogard.

Tindakan

• Hindari tindakan invasif melaui uretra

• Cystostomy

• Primary Endoscopic Realignment.

• Uretropalsty

Ruptur Uretra Anterior


Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah

straddle injury, uretra terjepit tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan

yang bisa terjadi berupa:

 Kontusio dinding uretra


 Ruptur parsial dinding uretra

 Ruptur total dinding uretra

Pada kontusio uretra , pasien mengeluh adanya perdarahan melalui uretra atau

hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya

hematom pada penis.

Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi. Pemeriksaan uretrografi

retrogard pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ekstrvasasi kontras.

Sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars

bulbosa.

Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat

menimbulkan striktur uretra dikemudian hari. Maka setelah 4-6 bulan perlu

dilakukan pemeriksaan uretrografi ulang. Pada ruptur uretra dengan ekstravasasi

ringan dapat dilakukan cystostomy untuk mengalihkan aliran urine.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, R. 2010. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidayat-de jong. Jakarta: EGC.

2. Purnomo, B Basuki. 2011. Dasar-dasar UROLOGI. Jakarta: SAGUNG SETO

3. F. Charles Brunicardi, 2010. Schwartz’s Principles Of Surgery Tenth Edition. New

York, Mc Graw Hill

4. Summertom D.J et all. Renal Trauma in Guidelines on Urological Trauma. European

Association of Urology. 2013. p 9-23.

Anda mungkin juga menyukai