Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS MATARAM
2018
“HASIL OBSERVASI LAPANGAN & PROSES PEMBUATAN TAHU-TEMPE
DI WILAYAH KEKALIK GRISAK”
A. PELAKSANAAN OBSERVASI
1. Tempat pelaksanaan
Tempat observasi ini dilaksanakan di wilayah Kekalik Grisak kelurahan Kekalik
Jaya, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat
.
2. Waktu pelaksanaan
a) Observasi Lapangan
Waktu observasi lapangan dilaksanakan dari tanggal 09 April 2018 sampai 7 Mei
2018
b) Praktikum Hasil Observasi
Praktikum hasil observasi dilaksanakan pada tanggal 7-12Mei 2018
C. PROSEDUR OBSERVASI
Tahap awal
Pembuatan surat izin observasi ke
kelurahan kekalik jaya
Tahap kedua
Pengantaran surat ke kelurahan, pengambilan data
penduduk dan pembuatan surat izin ke kepala lingkungan
kekalik grisak
Tahap ketiga
Wawancara kepala lingkungan mengenai hal
yang ingin diobservasi dan meminta izin
observasi ke pabrik industri tahu tempe
Tahap keempat
Observasi lansung pembuatan tahu
tempe yang berada di kekalik grisak dan
proses pembuangan limbahnya
Tahap keenam
Menganalisis dan mengelolah data dari
hasil praktikum produk dan limbah tahu
tempe
D. HASIL OBSERVASI
1. Proses Pembuatan Tahu di Kekalik Grisak
1.1 Menyiapkan kedelai
Perebusan kedelai
g. Memanaskan filtrat tahu yang telah ditambahkan fehling A dan fehling B pada
penangas
4.2 Tempe
a. Menyiapkan semua alat dan bahan yang digunakan
b. Menghaluskan sampel tempe menggunakan mortal
d. Memanaskan larutan formalin yang telah ditambahkan fehling A dan fehling B pada
penangas
d. Mengocok perlahan larutan sampai larutan Mn SO4 dan KOH-KI homogen dengan
air dan kemudian didiamkan ± 2 menit atau sampai timbul endapan berwarna coklat
atau setidaknya sampai cairan supernatan berwarna jernih
Ditambahkan H2SO4
f. Kemudian, mengambil 100ml larutan sampel yang telah tercampur dan dimasukkan
kedalam erlenmeyer
g. Menambahkan indikator amilum hingga larutan berubah menjadi warna biru tua
Setelah dititrasi
i. Volume titran yang digunakan untuk titrasi dicatat dan dimasukkan kedalam rumus
untuk menghitung kadar oksigen terlarut (DO-0)
j. Kemudian sisa sampel air tahu pada langkah b disimpan selama 7 hari untuk menguji
BOD
k. Setelah 7 hari diukur oksigen terlarutnya sebagai DO-7
d. Mengocok perlahan larutan sampai larutan MnSO4 dan KOH-KI homogen dengan air
dan kemudian didiamkan ± 2 menit atau sampai timbul endapan berwarna coklat atau
setidaknya sampai cairan supernatan berwarna jernih
Ditambahkan H2SO4
f. Kemudian, mengambil 100ml larutan sampel yang telah tercampur dan dimasukkan
kedalam erlenmeyer
g. Menambahkan indikator amilum hingga larutan berubah menjadi warna biru tua
Setelah dititrasi
i. Volume titran yang digunakan untuk titrasi dicatat dan dimasukkan kedalam rumus
untuk menghitung kadar oksigen terlarut (DO-0)
j. Kemudian sisa sampel air tempe pada langkah b disimpan selama 7 hari untuk
menguji BOD
k. Setelah 7 hari diukur oksigen terlarutnya sebagai DO-7
= 240 mg/ml
= 0,24 mg/L
= 560 mg/ml
= 0,56 mg/L
= 240 mg/ml
= 0,24 mg/L
= 224 mg/ml
= 0,224 mg/L
BOD = DO0 - DO7
= 0,24 mg/L – 0,224 mg/L
= 0,016 mg/L
= 560 mg/ml
= 0,56 mg/L
𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 8 𝑥 1000
DO7 =
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
= 368 mg/ml
= 0,368 mg/L
BOD = DO0 - DO7
= 0,56 mg/L - 0,368 mg/L
= 0,192 mg/L
2. Pembahasan
2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di bagian hilir Sungai Ancar. Tempat pengambilan
sampel ada satu titik. Adapun deskripsi mengenai lokasi pengambilan sampel ini
berada di tengah-tengah pemukiman penduduk yang memproduksi tahu-tempe.
Lingkungan ini dikenal dengan Kekalik Gerisak dan termasuk Kelurahan Kekalik
Jaya. Masukan limbah berasal dari Kekalik Gerisak sendiri dan Kekalik Timur.
2.2 Karakteristik Limbah Tahu
Karakteristik Limbah Cair Tahu Tahun 1970an industri rumahan pembuatan
tahu-tempe mulai bermunculan di wilayah Kekalik. Industri rumahan ini tiap
tahunnya semakin berkembang. Sungai Ancar mempunyai kontribusi yang besar
dalam perkembangan industri ini, yaitu sebagai sumber air pada awalnya. Pembuatan
tahu-tempe selain menghasilkan produk juga menghasilkan limbah. Limbah
pembuatan tahu berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah padat biasanya
dimanfaatkan untuk bahan baku tempe gembus dan makanan ternak (Kastyanto
1994), sedang limbah cair biasanya tidak dimanfaatkan lagi dan dibuang ke
lingkungan. Jumlah limbah cair diperkirakan 15-20 liter per kg kedelai (Haryono
1997).
Proses pembuatan tahu di Lombok berbeda dengan yang ada di Jawa.
Perbedaannya ada pada bahan penggumpal. Bila di Pulau Jawa bahan penggumpal
berupa asam cuka, sedang dalam pembuatan tahu di pulau Lombok menggunakan
”air tua”. Air tua merupakan air laut yang tidak mengkristal pada pembuatan garam.
Dewasa ini badan sungai Ancar telah berubah fungsi menjadi tempat
membuang limbah industri pembuatan tahu-tempe yang dahulu badan air mulanya
digunakan sebagai sumber air. Limbah cair yang dibuang ke sungai mencapai
volume maksimum pada waktu produksi tahu maksimun pula. Produksi tahu
mencapai maksimum atau minimum berkaitan dengan banyaknya hasil tangkapan
nelayan. Bila hasil tangkapan nelayan minimum atau ikan laut mempunyai harga jual
yang tinggi maka permintaan akan tahu-tempe di pasaran lokal Lombok meningkat.
Saat ini pula para pengrajin akan meningkatkan produksinya. Namun bagi pengrajin
yang telah mempunyai saluran pemasaran tetap maka produksi sehari-hari tetap
maksimum. Setiap pengrajin tahu-tempe mempunyai kemampuan pengolahan
sebanyak 40 - 100 kg kedelai perhari.
2.6 Uji DO dan BOD untuk Sampel Limbah Air Tahu dan Tempe
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup
untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian
menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen
juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses
aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi
dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut
(SALMIN, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa
faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti
arus, gelombang dan pasang surut. ODUM (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen
dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang
dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan
lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya
proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar
oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen
yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan
anorganik Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada
jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam
relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau
memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara
bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen
terlarut (WARDOYO, 1978). Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2
ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme (SWINGLE, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh
Berdasarkan hasil uji DO dan BOD terhadap sampel limbah air tahu dan tempe
di dapatkan hasil yaitu DO dan BOD untuk sampel air limbah tahu sebesar 0,24
mg/L dan 0,016 mg/L, sedangkan untuk air limbah tempe nilai DO dan BOD nya
sebesar 0,56 mg/L dan 0,192 mg/L. Ditinjau dari tabel tingkat pencemaran perairan
berdasarkan nilai DO dan BOD maka dapat diketahui bahwa tingkat pencemaran
sampel air limbah tahu dan tempe masih pada wilayah kekalik gerisak tergolong
rendah dan sedang.
Tahapan dalam pengujian ini yaitu pertama sampel yang akan kita uji di
haluskan terlebih dahulu dengan menggunakan mortar sehingga tekstur yang
didapatkan lebih halus, seperti bubur agar memudahkan dalam melarutkannya
dengan aquades. Fungsi pelarutan ini adalah agar proses pengujiannya lebih mudah
yakni dalam bentuk cair (larutan) dan kemudian disaring untuk memisahkan larutan
sampel (filtrat) dengan endapan-endapannya sehingga yang terambil hanya
larutannya saja. Karena apabila endapannya juga ikut dalam proses pengujian, akan
sangat berpengaruh dalam proses pengamatan selanjutnya. Setelah diambil filtratnya,
kemudian ditambahkan fehling A dan fehling B pada masing-masing sampel.
Selanjutnya, dilakukan proses pemanasan dimana tujuan dari pemanasan ini adalah
agar gugus aldehid yang mungkin ada pada sampel dapat cepat bereaksi dengan
fehling sehingga membentuk suatu asam karboksilat.
Dimana pada reaksi ini, gugus aldehid pada formalin akan bereaksi dengan
gugus OH dari pereaksi Fehling dengan membentuk asam karboksilat. Sedangkan
Cu2O yang terbentuk merupakan hasil samping dari pembentukan asam karboksilat
dimana apabila terdapat endapan Cu2O yang terbentuk dengan warna merah bata,
mengindikasikan bahwa memang dalam sampel makanan yang kita uji positif
mengandung formalin. Hal ini terjadi karena, senyawa aldehid (formaldehid) yang
ada dalam sampel makanan dapat mereduksi Cu2+ dari pereaksi fehling menjadi Cu+
membentuk Cu2O berupa endapan merah bata sehingga apabila tidak terbentuk
endapan merah bata maka memang di dalam sampel makanan yang kita uji tidak
mengandung formalin karena tidak terbentuk endapan Cu2O atau Cu2+ tidak
tereduksi. Sampel yang kita uji ini juga dibandingkan dengan formalin standar untuk
membandingkan hasil yang didapat dengan standarnya. Berdasarkan hasil uji
formalin yang dilakukan pada sampel tahu dan tempe didapatkan hasil negatif
terhadap formalin ditunjukkan dengan warna larutan tahu dan tempe setelah
dipanasakan kedua sampel tersebut menghasilkan warna kuning keruh, jika
dibandingkan dengan formalin standar setelah dipanaskan berwarna biru bening.
Sehingga warna larutan standar formalin dan sampel tahu dan tempe berbeda.
Sehingga menandakan sampel tahu dan tempe yang di uji menghasilkan uji negatif.
Anonimous. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. No. 5 1 Tahun 2004. Tentang
: Baku Mutu Air Laut. 2004. 11 hal.
Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
Huet, H.B.N. 1970. Water Quality Criteria for Fish Life Bioiogical Problems in Water Pollution.
PHS. Publ. No. 999-WP-25. 160-167 pp.
Jones, H.R.E. 1964. Fish and River Pollution. Buther Worth. London : 203 pp.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp. PESCOD,
M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical
Countries. A.I.T. Bangkok, 59 Pp
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan
Teluk Banten. Dalam : Foraminifera Sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil Studi di
Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang (Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari dan S.
Hadi Riyono, eds.) P3O - LIPI hal 42 - 46
Sawyer, C.N and P.L., MC Carty, 1978. Chemistry for Environmental Engineering. 3rd ed. Mc
Graw Hill Kogakusha Ltd.: 405 - 486 pp.
Swingle, H.S. 1968. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond Muds. F.A.O.
Fish, Rep. 44, 4 , 379 - 406 pp.
Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Dalam :
Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air. (eds Dirjen Pengairan Dep. PU.), hal
293-300.
Winarno F.G, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Wirosarjono, S. 1974. Masalah-masalah yang dihadapi dalam penyusunan kriteria kualitas air
guna berbagai peruntukan. PPMKL-DKI Jaya, Seminar Pengelolaan Sumber Daya Air. ,
eds. Lembaga Ekologi UNPAD. Bandung, 27 - 29 Maret 1974, hal 9 - 15
Yulisa, Nadya. dkk. 2014. Uji Formalin pada Ikan Asin Gurami di Pasar Tradisional Pekanbaru.
Pekanbaru: Universitas Pekanbaru.