Anda di halaman 1dari 16

PENATALAKSANAAN NYERI

Pendahuluan
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan
atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang
menunjukkan kerusakan jaringan.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal
nyeri, yaitu:
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak
menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul
adanya kerusakan jaringan yang nyata ("pain with nociception").
Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapatjuga terjadi tanpa di sertai
dengan kerusakan jaringan yang nyata ("pain without nociception").
Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai
mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai
mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk
bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat
menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme
defensif, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang
mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan
mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan
adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang
pasien dapat diketahui, misalnya nyeri yang dirasakan oleh seseorang
pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita
radang usus buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan,
mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda
bahwa proses per-salinan sudah mulai.
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah
menyebar ke berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang,
nyeri yang dirasakannya tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi,
defensif atau diagnostik, tetapi akan menambah penderitaannya semakin
berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaaan yang sangat berat bagi pasien pada
hakikatnya tidak saja tertuju kepada usaha untuk mengurangi atau
memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau
peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat kembali menikmati
kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.

Mekanisme Nyeri
Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada
reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada
beberapa jaringan di dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi,
otot rangka dan pulpa gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung
bebasserat saraf aferen A delta dan C. Re-septor-reseptor ini diaktifkan
oleh adanya rangsang-rangsang dengan intensitas tinggi, misalnya berupa
rangsang termal, mekanik, elektrik atau rangsang kimiawi.
Zat-zat algesik yang akan mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H,
asam laktat, serotonin, bradikinin, histamin dan prostaglandin.
Selanjutnya, setelah reseptor-reseptor nyeri diaktifkan oleh zat-zat algesik
tersebut, impuls nyeri disalurkan ke sentral melalui beberapa saluran saraf.
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan (sebagai
sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu
proses elektro- fisiologik, yang disebut sebagai nosisepsi ("nociception").
Ada 4 (empat) proses yang jelas yang terjadi mengikuti suatu proses
elektro- fisiologik nosisepsi, yakni:
1. Transduksi ("transduction"), merupakan proses stimuli nyeri ("naxious
stimuli") yang diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktivitas listrik
pada ujung-ujung saraf.
2. Transmisi ("transmission"), merupakan proses penyaluran impuls
melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan
disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron
pertama dari perifer ke medulla spinalis.

3. Modulasi ("modulation"), adalah proses interaksi antara sistem


analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior
medula spinalis. Sistem analgesik endogen meliputi, enkefalin,
endorfin, serotonin dan noradrenalin yang mempunyai efek menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dengan demikian
kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang bisa
tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. Proses
tertutupnya atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem
analgesik endogen tersebut di atas.
4. Persepsi ("perception"), adalah hasil akhir dari proses inte-raksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi dan
modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang
subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Respons Tubuh Terhadap Nyeri


Respons tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi
endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi
immunologik, yang secara umum disebut sebagai respons stres. Respons
stres ini sangat merugikan pasien, karena selain akan menurunkan
cadangan dan daya tahan tubuh, juga meningkatkan kebutuhan oksigen
otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala
konsekuensinya, serta akan mengundang risiko terjadinya tromboemboli,
yang pada gilirannya meningkatkan morbidibitas dan mortalitas.

Respons endokrin
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya
terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol,
angiotensin II, ADH, ACTH, GH dan Glukagon, sebaliknya terjadi
penekanan sekresi hormon anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan
menyebabkan hiperglikemia melalui meka-nisme resistensi terhadap insulin
dan proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan
lipolisis. Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif.
Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan air.
Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri
bertambah. Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.
Efek nyeri terhadap kardiovaskular dan respirasi
Pelepasan Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiotensin II akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-
hormon ini mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh
darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II menimbulkan
vasokonstriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular perifir, sehingga terjadilah
hipertensi. Takikardia serta disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard.
Ditambah dengan retensi Na dan air, maka timbullah risiko gagal jantung
kongesti.
Bertambahnya cairan ekstra seluler di paru-paru akan menimbulkan
kelainan ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan
menimbulkan peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat
muncul risiko hipoventilasi, kesulitan ber-nafas dalam dan mengeluarkan
sputum, sehingga penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan
hipoksemia.

Efek nyeri terhadap sistem organ yang lain.


Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhi-bisi
fungsi saluran cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita
nyeri. Terhadap fungsi immunologik; nyeri akan menimbulkan limfopenia,
leukositosis, dan depresi RES. Akibatnya resistensi terhadap kuman
patogenrnenurun. Kemudian, terhadap fungsi koagulasi; nyeri akan
menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi platelet. Terjadi
peningkatan adesivitas trombosit. Ditarnbah dengan efek katekolamin yang
menimbulkan vasokonstriksi dan immobilisasi akibat nyeri, maka akan
mudah terjadi komplikasi trombosis.
Efek nyeri terhadap mutu kehidupan.
Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu
bergerak, tidak mampu bernafasdan batuk dengan baik, susah tidur, tidak
enak makan/cTan minum, cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong
dan putus asa. Keadaan seperti ini sangat menggangu kehidupan normal
penderita sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat rendah, bahkan sampai
tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya oarng sehat. Oleh karena itu
penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya tidak saja tertuju kepada
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud
menjangkau peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat
kembali menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun
lingkungannya.

PENILAIAN NYERI
Derajat Nyeri.
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang
sederhana dengan menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai
berikut:
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas ter-ganggu,
yang hanya hilang apabila penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus
sepanjang hari, penderita tak dapat tidur atau sering ter-jaga oleh
gangguan nyeri sewaktu tidur.
Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi-
kuantitatif dengan menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala
0 yang berarti tidak nyeri sampai 10 untuk nyeri yang maksimal. Cara ini
popular sebut: Numerical Rating Score" ( NRS.). Disini secara subyektif
penderita diberi penjelasan terlebih dahulu bahwa bila tidak ada nyeri
diberi angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak tertahankan lagi diberi
angka 10. Kemudian penderita diminta menentukan derajat nyerinya
dalam cakupan antara 0 sampai 10. Untuk mempermudah biasanya
disodorkan gambar skala dari 0-10 pada penderita untuk diminta
menentukan tempat derajat nyeri yang dideritanya.
Cara lain yang sudah popular terlebih dahulu adalah mempergunakan
"Visual Analogue Scale".
Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subjektif,
penderitaan nyeri pasien perlu dievaluasi secara berkala.
Penggolongan Nyeri
Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu:
1. Menurut jenisnya: nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri
psikogenik
2. Menurut timbulnya nyeri: nyeri akut dan nyeri kronik
3. Menurut penyebabnya: nyeri onkologik dan nyeri non-onkologik
4. Menurut derajat nyerinya: nyeri ringan, sedang, dan berat

Penatalaksanaan Nyeri.
Landasan-landasan yang dianjurkan dalam penatalaksanaan nyeri:
1. Mengutamakan pendekatan klinis, termasuk pendekatan psikoterapi
dalam arti kata yang seluas-luasnya.
2. Mengikutsertakan pasien dan keluarganya, serta menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan terapi klinis yang tersedia.
3. Menganjurkan pasien dan keluarganya untuk memberikan laporan
yang benar dan terperinci tentang rasa nyeri dan Iain-Iain yang
dianggapnya penting untuk diketahui oleh dokter, sehingga kerjasama
antara dokterdan pasien dapat tercipta dalam suasana saling
mempercayai yang handal.
Kendala-kendala dalam penatalaksanaan nyeri. Beberapa kesulitan yang
dijumpai diantaranya:
1. Dari pihak dokter:
a. Kurang pengetahuan tentang nyeri sehingga kurang tepat menilai
sifat dan beratnya nyeri.
b. Hnooicf terhadap penggunaan morfin, karena adanya peraturan-
peraturan mengenai narkotika yang dirasakan terlalu kaku.
c. Kekhawatiran terhadap "ketergantungan" dan ketakutan terhadap
efek-efek samping.
2. Dari pihak pasien:
a. Kurang terbukanya pasien untuk melaporkan mengenai sifat dan
beratnya nyeri.
b. "Phobia" terhadap penggunaan morfin, disertai katakutan bahwa ia
dianggap sebagai seorang "morfinis" juga takut efek samping lain.
3. Dari pihak pelayanan medis (termasuk asuransi medis):
a. Sistem ganti pembiayaan (restitusi) yang kurang memadai,
sehingga memberatkan sekali keluarga pasien.
b. Peraturan yang terlampau ketat, sehingga penyediaan,
pengadaan, dan medikasi khususnya narkotika jenis opioid
(golongan II dan III) sangat kurang dan susah didapat.

Prinsip umum penatalaksanaan nyeri.


Sebelum dilakukannya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter
harus memahami tata laksana pe,igelolaan nyeri dengan seksama. Di
dalam pengelolaan nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu:
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab & derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Hal-hal lain yang juga harus diperhatikan nyeri adalah.


1. Jangan memberi obat apapun sebelum benar-benar memerlukan.
2. Tentukan diagnosis nyeri dengan tepat.
3. Memakai modalitas pengobatan dengan benar
4. Memakai modalitas pengobatan ganda atau multi-modal.
5. Harus konsisten tak boleh berubah-ubah dan terputus-putus.
6. Usahakan per oral
7. Pada nyeri kronis, ikuti "3-Step ladder analgesic" WHO.
8. Tentukan jenis obat dan dosis secara individual.
9. Cermati dengan seksama perubahan keadaan penderita.

Berbagai Modalitas Pengobatan Nyeri.


Setelah diagnosis nyeri ditetapkan, perencanaan pengobatan harus
disusun. Untuk itu berbagai modalitas pengobatan nyeri harus dipilih
dengan tepat. Berbagai alternatif modalitas pengobatan nyeri yang
beraneka ragam pada dasarnya dapat digolongkan dalam:
1. Modalitas Fisik pada unit rehabilitasi medik
2. Modalitas Kognitif-Behavioral melalui pendekatan psiko-sosial.
3. Modalitas Invasif melalui pendekatan perioperatif dan ra-dioterapi
4. Modalitas Psikoterapi
5. Modalitas Farmakoterapi

Modalitas farmakoterapi.
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti "WHO Three-Step
Analgesic Ladder". Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk
pengobatan nyeri itu terdiri dari:
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat
analgesik non opiat.
2. yaitu ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip "Three Step Analgesic Ladder" dapatditerapkan
untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu:
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga keatas 1-2-3 (WHO
Three-Step Analgesic Ladder), dan
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah
3-2-1 (WHO Three-Step Analgesic Ladder)
Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambahkan
adjuvan atau obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvants) . dapat
bermanfaat dalam masing-masing taraf penanggulangan nyeri, khususnya
untuk lebih meningkatkan efektivitas anaigesik, memberantas gejala-gejala
yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat tersendiri
terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat opioid dikategorikan menjadi, agonis parsial, agonis/antagonis
dan antagonis.
1. Agonis seperti morfin menghasilkan respons maksimum untuk
mengatasi nyeri. Preparatagonis parsial menghasilkan efek kurang dari
respons maksimum dan mungkin terjadi efek kemunduran (withdrawa)
untuk pasientoleran opioid. Morfin dipertimbangkan sebagai standar
keaktifan opioid agonis, berlawanan dengan opioid lainnya yang diukur.
2. Campuran Agonis/Antagonis memperlihatkan batas efek dari pereda
nyeri, peningkatan dosistidakakan menambah kemampuan
menghilangkan nyeri. Ada juga efek plateau (tanpa peningkatan)
berkenaan dengan depresi respirasi. Pemberian obat agonis/antagonis
juga mungkin mem-percepat efek kemunduran (withdrawal) untuk
pasien yang toleran opioid.
Cara Pemberian Opioid.
1. Pemberian oral jarang dilakukan pasca bedah karena
umumnya pasien dipuasakan. Stasis lambung yang sering menyertai
pembedahan akan mengganggu absorbsi sehingga kemampuan
menghilangkan nyeri berkurang.
2. Pemberian rektal mungkin sedikit menguntungkan karena ektraksi
melalui hati yang minimal dan tidak bergantung pada pengosongan
lambung serta tidak dipengaruhi oleh mual dan muntah. Kelemahan
cara ini, termasuk resisten, mula kerja lambat dan absorbsi bervariasi.

3. Opioid sublingual mencegah aliran pertama ekstraksi melalui hati


seperti yang terlihat pada cara peroral. Boprenorfen telah banyak
dipakai dengan cara ini karena sangat lipofilik, tidak merangsang
mukusa dan rasanya masih enak.
4. Narkotik intranasal cepat diabsorbsi karena mukosa hidung kaya
dengan pembuluh darah opioid yang dapat dipergunakan dengan cara
ini antara lain, butorfanal dan sufentanil.
5. opiod transdermal dapat memasuki sirkulasi sistemik melalui kulit yang
utuh (intac). Cara ini cocol untuk obat yang lepas lambat (susteined
release). Analgesia pasca bedah dapat diberikan oleh fentanyl
transdermal, jika tempelan (putch) diletakkan 3 jam sebelumnya. TTS
fentanyl telah terbukti baik untuk nyeri kronik dan lama efek
berlangsung sampai 3 jam.
6. opioid yang diberikan dengan suntkikkan intramuskular untuk analgesia
pasca bedah kurang efektif. Tetapi kemudian , setelah pasien ada di
bangsal terjadi depresi sekunder karena tercapai kadar serum toksis
setelah absorbsi.
7. pemberian opioid melalui suntikan subkutan menunjukkkan absorbsi
yang paling lambat. Hal ini mengakibatkan analgesia yang tidak
adekuat pasca bedah dan kemudian mungkin potensial dapat terjadi
dosis berlebihan di bangsal.
8. pemberian opioid intravena menghasilkan mula kerja cepat dan efek
dapat diramaikan. Metode pemberian intravena mempunyai 2 prinsip
yaitu bolus dan infus kontinu.
a) Bolus.
Opioid agonis dosis kecil (misalnya morfin 0,05-0,1 mg/kg)
diberikan intravena setiap 10-15 menit secara titrasi sampai
mendapat efek analgesia.

b) infus kontinu.
Pemberian dimulai dengan muatan permulaan (loading) dan
kemudian pethidin 50-100 mg diberikan selama 30-60 menit: morfin
5-15 mg: fentanyl 150 mg. Infus pemeliharaan pethidin 15-50 mg;
morfin 1-5 /jam dan fentanyl 39-120 mg/jam. Kecepatan infus
pemeliharaan perlu disesuaikan untuk menghasilkan analgesia
adekuat dengan dampak samping minimal.

Opioid intratekal dan epidural


Opioid intratekal (IT) dan epidural (ED) cukup efektif dan relatif aman
kalau diberikan dengan hati-hati dan tepat untuk kontrol nyeri pasca bedah.
Tidak ada blokade simpatikus sensorik atau motorik dan resiko hipotensi
sangat minimal. Dosis lebih kecil dibanding pemberian parenteral. Pada
pemberian epidural, opioid berdifusi meralalui dura dan masuk ke cairan
serebrospinal.
1. Opioid intratekal diberikan dosis tunggal sendiri (morfin 0,1-0,2 mg atau
spuit cukup dibilas saja) atau dikombinasi dengan anestetik lokal.
Morfin IT dapat memberikan analgesia yang baik setelah 15-45 menit
dengan masa kerja 24 jam. Komplikasi opioid IT dapat terdiri dari
retensi urin, pruritus, mual dan muntah serta depresi napas berkisar
antara 0,4-7% dan umumnya terjadi 6 jam kemudian setelah obat yang
masuk ke cairan cerebrospinal menyebar ke pusat pernafasan
dengan lambat. Nnalakson 0,1-0,4 mg intravena akan dapat
menawarkan hampir semua komplikasi opioid.
2. Opioid epidural pada mulanya memasuki radiks saraf ruang epidural,
kemudian melalui duramater masuk ke cairan serebrospinal dan
menembus medula spinalis untuk mencapai reseptor opioid. Efek ED
opioid ini tergantung kelarutan lemak (lipid solubility), berat molekul,
kadar plasma sebelumnya, atminet dan caprer dinding, volume suntikan
. narkotika yang sedikit larut lemak mempunyai mula kerja lebih lambat,
penyebaran dermatom lebih banyak dan efek analgesia lebih lama
daripada narkotik yang mudah larut dalam lemak. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam pemberian opioi epidural :
a. Obat pilihan. Morfin sangat bermanfaat untuk mengatasi nyeri
pasca bedah yang luas seperti torakotomi; laparotomi. Morfin dapat
menyebar ekstensif dalam cairan serebrospinal karena karakter
hidrofilik. Obat yang hidrofilik menyebar terbatas dan lebih
bermanfaatuntuk kontrol nyeri segmental saja.
b. Metode pemberian. Bolus atau infus kontinu dapat dipergunakan
untuk pemberian opioid ED. (lihat tabel)
c. Penting untuk diperhatikanagar selalu melakukan titrasi untuk
kedua dosis inisial dan volume infus.
Tabel INFUS OPIOID EPIDURAL

hidromorfin morfin fentanil petidin


Dosis bolus (mg) 0,5 – 1,0 2,0 – 3,0 0,05 – 0,1 15 – 30
Mula kerja (menit) 10 – 30 30 – 60 4 – 10 10 – 30
Lama kerja (menit) 6 – 12 6 – 24 2–4 4–8
Infus (mg/jam) 0,1 – 0,3 0,1 – 0,5 0,03 – 0,1 10 – 20
Dampak samping opioid ED terdiri dari pruritus, mual muntah, retensi
urine dan depresi nafas. Insiden dampak samping bervariasi antara 10-
30%kecuali depresi nafas mendekati 0,1-0,2%. Permulaan terjadi depresi
nafas tergantung opioid yang dipergunakan; 1 jam untuk absorbsi sistemik.
Nalokson infus 5-10 mikrogram/kg/jam akan menghilangkan depresi nafas
dan juga mungkin berguna untuk mual dan pruritus. Mual dan muntah juga
dapar d obati dengan dromperidol 0,6-1,25 mg i.v tiap 3-4 jam. Pada pasien
yang mendapat terapi anti koagulan, pemasangan ED atau IT kateter dapat
meningkatkan resiko terjadi hematom apidural atau subarakhnoid dan dpat
berakibat sequelae neurologik permanen.

Analgesik non-narkotik
1. Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) terkenala karena memiliki
kemampuan analgesia, antiimflamasi dan antipeuretik. Obat ini dapat
menginhibisi prostatglandin, zat endogen yang potensial hiperalgesik.
Sampai sekarang NSAID ada yang dapat diberikan secara peroral,
rektal, intramuskular atau intravena.
2. Ketorolak, telah di akui oleh ahli bedahmaupun anestesiologi dapat
dipergunakan untuk analgesik pasca bedah. Keaktifan ketorolak 30 mg
intramuskular equnpalen dengan 10 mg morfin atau 100 petidin. Efek
analgesia dimulai 10 menit setelah penyuntikan dan berlangsung
sampai 4-6 jam.
3. Klonidin. Mulai banyak dipergunakan pasca bedah, tetapi
dikombinasikan dengan opioid atau analgesik atau dengan anestetik
lokal sehinggakualitas analgesia dan lama analgesia yang didapat
meningkat signifikan. Pemberian klonidin 4-6 mcg/kg i.v sesaat
sebelum selesai operasi , menghasilkan analgesia pasca bedah dan
mencegah mengigil pasca bedah yang setara dengan pemberian
pethidin 0,3 mg i.v.
Efek analgesia opiod IT dan ED atau opioid IT atau anestetik lokal
ED atau IT dapat diperpanjang bermakna apabila ditambah klonidin 75-100
mcg ED atau IT. Klonidin dapat diberikan peroral, intramuskular, intravena
dan transdermal.

Obat-obat pembantu (adjuvant) antara lain :


1. Kortikosteroid
Obat ini dapat bersifat mempertinggi taraf alam perasaan yang sedang
menurun dan selanjutnya bersifat antiinflamasi , anti emetik,
meningkatkan nafsu makan, membantu mengatasi kaheksia dan
anoreksia. Perlu diketahui pula, bahwa obat-obat ini dapat mengurangi
tekana intrakranial dan kompresi epidural dan susunan saraf spinal.

2. Anti-konvulsan.
Obat ini dapat bermanfaat untuk meringankan nyeri neuropatik yang
sifatnya menusuk dan membakar. Sebaiknya, harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien yang sedang menjalani terapi kimia (khemoterapi)
dan terapi radiasi.
3. Anti-Depresan
Bermanfaat dalam mengurangi nyeri neuropatik, karena memiliki sifat
analgesik, sehingga dapat bertindak memperkuat sifat analgetik dari
morfin.
4. Neuroleptik.
Bermanfaat untuk membantu sindrom nyeri kronis dan memiliki sifat-
sifat anti emetik, anticiolitik, dan anti konstipasi. Sebagai suatu anciolitik
ringan dapat bermanfaat bagi pasien yang kurang tenang.
5. Psikostimulan.
Digunakan untuk mengurangi sedasi yang diakibatkan oleh opioid
terutama bila program pengurangan dosis atau frekuensi pemberian
obat opioid tidak berhasil mengurangi sedasi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai