Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan Nyeri
Pendahuluan
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan
atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang
menunjukkan kerusakan jaringan.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal
nyeri, yaitu:
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak
menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul
adanya kerusakan jaringan yang nyata ("pain with nociception").
Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapatjuga terjadi tanpa di sertai
dengan kerusakan jaringan yang nyata ("pain without nociception").
Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai
mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai
mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk
bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat
menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme
defensif, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang
mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan
mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan
adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang
pasien dapat diketahui, misalnya nyeri yang dirasakan oleh seseorang
pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita
radang usus buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan,
mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda
bahwa proses per-salinan sudah mulai.
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah
menyebar ke berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang,
nyeri yang dirasakannya tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi,
defensif atau diagnostik, tetapi akan menambah penderitaannya semakin
berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaaan yang sangat berat bagi pasien pada
hakikatnya tidak saja tertuju kepada usaha untuk mengurangi atau
memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau
peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat kembali menikmati
kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.
Mekanisme Nyeri
Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada
reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada
beberapa jaringan di dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi,
otot rangka dan pulpa gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung
bebasserat saraf aferen A delta dan C. Re-septor-reseptor ini diaktifkan
oleh adanya rangsang-rangsang dengan intensitas tinggi, misalnya berupa
rangsang termal, mekanik, elektrik atau rangsang kimiawi.
Zat-zat algesik yang akan mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H,
asam laktat, serotonin, bradikinin, histamin dan prostaglandin.
Selanjutnya, setelah reseptor-reseptor nyeri diaktifkan oleh zat-zat algesik
tersebut, impuls nyeri disalurkan ke sentral melalui beberapa saluran saraf.
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan (sebagai
sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu
proses elektro- fisiologik, yang disebut sebagai nosisepsi ("nociception").
Ada 4 (empat) proses yang jelas yang terjadi mengikuti suatu proses
elektro- fisiologik nosisepsi, yakni:
1. Transduksi ("transduction"), merupakan proses stimuli nyeri ("naxious
stimuli") yang diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktivitas listrik
pada ujung-ujung saraf.
2. Transmisi ("transmission"), merupakan proses penyaluran impuls
melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan
disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron
pertama dari perifer ke medulla spinalis.
Respons endokrin
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya
terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol,
angiotensin II, ADH, ACTH, GH dan Glukagon, sebaliknya terjadi
penekanan sekresi hormon anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan
menyebabkan hiperglikemia melalui meka-nisme resistensi terhadap insulin
dan proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan
lipolisis. Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif.
Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan air.
Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri
bertambah. Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.
Efek nyeri terhadap kardiovaskular dan respirasi
Pelepasan Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiotensin II akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-
hormon ini mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh
darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II menimbulkan
vasokonstriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular perifir, sehingga terjadilah
hipertensi. Takikardia serta disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard.
Ditambah dengan retensi Na dan air, maka timbullah risiko gagal jantung
kongesti.
Bertambahnya cairan ekstra seluler di paru-paru akan menimbulkan
kelainan ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan
menimbulkan peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat
muncul risiko hipoventilasi, kesulitan ber-nafas dalam dan mengeluarkan
sputum, sehingga penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan
hipoksemia.
PENILAIAN NYERI
Derajat Nyeri.
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang
sederhana dengan menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai
berikut:
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas ter-ganggu,
yang hanya hilang apabila penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus
sepanjang hari, penderita tak dapat tidur atau sering ter-jaga oleh
gangguan nyeri sewaktu tidur.
Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi-
kuantitatif dengan menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala
0 yang berarti tidak nyeri sampai 10 untuk nyeri yang maksimal. Cara ini
popular sebut: Numerical Rating Score" ( NRS.). Disini secara subyektif
penderita diberi penjelasan terlebih dahulu bahwa bila tidak ada nyeri
diberi angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak tertahankan lagi diberi
angka 10. Kemudian penderita diminta menentukan derajat nyerinya
dalam cakupan antara 0 sampai 10. Untuk mempermudah biasanya
disodorkan gambar skala dari 0-10 pada penderita untuk diminta
menentukan tempat derajat nyeri yang dideritanya.
Cara lain yang sudah popular terlebih dahulu adalah mempergunakan
"Visual Analogue Scale".
Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subjektif,
penderitaan nyeri pasien perlu dievaluasi secara berkala.
Penggolongan Nyeri
Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu:
1. Menurut jenisnya: nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri
psikogenik
2. Menurut timbulnya nyeri: nyeri akut dan nyeri kronik
3. Menurut penyebabnya: nyeri onkologik dan nyeri non-onkologik
4. Menurut derajat nyerinya: nyeri ringan, sedang, dan berat
Penatalaksanaan Nyeri.
Landasan-landasan yang dianjurkan dalam penatalaksanaan nyeri:
1. Mengutamakan pendekatan klinis, termasuk pendekatan psikoterapi
dalam arti kata yang seluas-luasnya.
2. Mengikutsertakan pasien dan keluarganya, serta menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan terapi klinis yang tersedia.
3. Menganjurkan pasien dan keluarganya untuk memberikan laporan
yang benar dan terperinci tentang rasa nyeri dan Iain-Iain yang
dianggapnya penting untuk diketahui oleh dokter, sehingga kerjasama
antara dokterdan pasien dapat tercipta dalam suasana saling
mempercayai yang handal.
Kendala-kendala dalam penatalaksanaan nyeri. Beberapa kesulitan yang
dijumpai diantaranya:
1. Dari pihak dokter:
a. Kurang pengetahuan tentang nyeri sehingga kurang tepat menilai
sifat dan beratnya nyeri.
b. Hnooicf terhadap penggunaan morfin, karena adanya peraturan-
peraturan mengenai narkotika yang dirasakan terlalu kaku.
c. Kekhawatiran terhadap "ketergantungan" dan ketakutan terhadap
efek-efek samping.
2. Dari pihak pasien:
a. Kurang terbukanya pasien untuk melaporkan mengenai sifat dan
beratnya nyeri.
b. "Phobia" terhadap penggunaan morfin, disertai katakutan bahwa ia
dianggap sebagai seorang "morfinis" juga takut efek samping lain.
3. Dari pihak pelayanan medis (termasuk asuransi medis):
a. Sistem ganti pembiayaan (restitusi) yang kurang memadai,
sehingga memberatkan sekali keluarga pasien.
b. Peraturan yang terlampau ketat, sehingga penyediaan,
pengadaan, dan medikasi khususnya narkotika jenis opioid
(golongan II dan III) sangat kurang dan susah didapat.
Modalitas farmakoterapi.
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti "WHO Three-Step
Analgesic Ladder". Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk
pengobatan nyeri itu terdiri dari:
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat
analgesik non opiat.
2. yaitu ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip "Three Step Analgesic Ladder" dapatditerapkan
untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu:
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga keatas 1-2-3 (WHO
Three-Step Analgesic Ladder), dan
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah
3-2-1 (WHO Three-Step Analgesic Ladder)
Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambahkan
adjuvan atau obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvants) . dapat
bermanfaat dalam masing-masing taraf penanggulangan nyeri, khususnya
untuk lebih meningkatkan efektivitas anaigesik, memberantas gejala-gejala
yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat tersendiri
terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat opioid dikategorikan menjadi, agonis parsial, agonis/antagonis
dan antagonis.
1. Agonis seperti morfin menghasilkan respons maksimum untuk
mengatasi nyeri. Preparatagonis parsial menghasilkan efek kurang dari
respons maksimum dan mungkin terjadi efek kemunduran (withdrawa)
untuk pasientoleran opioid. Morfin dipertimbangkan sebagai standar
keaktifan opioid agonis, berlawanan dengan opioid lainnya yang diukur.
2. Campuran Agonis/Antagonis memperlihatkan batas efek dari pereda
nyeri, peningkatan dosistidakakan menambah kemampuan
menghilangkan nyeri. Ada juga efek plateau (tanpa peningkatan)
berkenaan dengan depresi respirasi. Pemberian obat agonis/antagonis
juga mungkin mem-percepat efek kemunduran (withdrawal) untuk
pasien yang toleran opioid.
Cara Pemberian Opioid.
1. Pemberian oral jarang dilakukan pasca bedah karena
umumnya pasien dipuasakan. Stasis lambung yang sering menyertai
pembedahan akan mengganggu absorbsi sehingga kemampuan
menghilangkan nyeri berkurang.
2. Pemberian rektal mungkin sedikit menguntungkan karena ektraksi
melalui hati yang minimal dan tidak bergantung pada pengosongan
lambung serta tidak dipengaruhi oleh mual dan muntah. Kelemahan
cara ini, termasuk resisten, mula kerja lambat dan absorbsi bervariasi.
b) infus kontinu.
Pemberian dimulai dengan muatan permulaan (loading) dan
kemudian pethidin 50-100 mg diberikan selama 30-60 menit: morfin
5-15 mg: fentanyl 150 mg. Infus pemeliharaan pethidin 15-50 mg;
morfin 1-5 /jam dan fentanyl 39-120 mg/jam. Kecepatan infus
pemeliharaan perlu disesuaikan untuk menghasilkan analgesia
adekuat dengan dampak samping minimal.
Analgesik non-narkotik
1. Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) terkenala karena memiliki
kemampuan analgesia, antiimflamasi dan antipeuretik. Obat ini dapat
menginhibisi prostatglandin, zat endogen yang potensial hiperalgesik.
Sampai sekarang NSAID ada yang dapat diberikan secara peroral,
rektal, intramuskular atau intravena.
2. Ketorolak, telah di akui oleh ahli bedahmaupun anestesiologi dapat
dipergunakan untuk analgesik pasca bedah. Keaktifan ketorolak 30 mg
intramuskular equnpalen dengan 10 mg morfin atau 100 petidin. Efek
analgesia dimulai 10 menit setelah penyuntikan dan berlangsung
sampai 4-6 jam.
3. Klonidin. Mulai banyak dipergunakan pasca bedah, tetapi
dikombinasikan dengan opioid atau analgesik atau dengan anestetik
lokal sehinggakualitas analgesia dan lama analgesia yang didapat
meningkat signifikan. Pemberian klonidin 4-6 mcg/kg i.v sesaat
sebelum selesai operasi , menghasilkan analgesia pasca bedah dan
mencegah mengigil pasca bedah yang setara dengan pemberian
pethidin 0,3 mg i.v.
Efek analgesia opiod IT dan ED atau opioid IT atau anestetik lokal
ED atau IT dapat diperpanjang bermakna apabila ditambah klonidin 75-100
mcg ED atau IT. Klonidin dapat diberikan peroral, intramuskular, intravena
dan transdermal.
2. Anti-konvulsan.
Obat ini dapat bermanfaat untuk meringankan nyeri neuropatik yang
sifatnya menusuk dan membakar. Sebaiknya, harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien yang sedang menjalani terapi kimia (khemoterapi)
dan terapi radiasi.
3. Anti-Depresan
Bermanfaat dalam mengurangi nyeri neuropatik, karena memiliki sifat
analgesik, sehingga dapat bertindak memperkuat sifat analgetik dari
morfin.
4. Neuroleptik.
Bermanfaat untuk membantu sindrom nyeri kronis dan memiliki sifat-
sifat anti emetik, anticiolitik, dan anti konstipasi. Sebagai suatu anciolitik
ringan dapat bermanfaat bagi pasien yang kurang tenang.
5. Psikostimulan.
Digunakan untuk mengurangi sedasi yang diakibatkan oleh opioid
terutama bila program pengurangan dosis atau frekuensi pemberian
obat opioid tidak berhasil mengurangi sedasi tersebut.