Anda di halaman 1dari 78

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring berkembangnya zaman dan bertambah pesatnya ilmu pengetahuan serta

teknologi mendorong munculnya berbagai macam industri baik dalam skala besar

maupun dalam skala kecil. Adanya berbagai macam industri akan berpengaruh pada

perekonomian masyarakat dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi

lebih baik. Salah satu upaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya

adalah dengan mengembangkan industri tekstil (Achmad,2004). Keberadaan industri

tekstil selain berdampak positif juga menimbulkan dampak negatif pada lingkungan

karena sebagian zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan tekstil akan

terbuang sebagai limbah.

Limbah cair industri tekstil berasal dari proses pencucian tekstil meliputi

desizing, boiling, degreasing dan mercerizing. Proses lainnya yaitu pencelupan dan

sistem pewarnaan lain serta pengolahan akhir yaitu pencucian kembali.

Pada industri tekstil, zat warna banyak digunakan pada proses pencelupan dan

sistem pewarnaan lain. Zat warna yang banyak digunakan dalam industri tekstil yaitu

zat warna reaktif. Menurut Kirk dan Othmer(1992), zat warna reaktif untuk serat

selulosa mempunyai angka penjualan yang tinggi dengan kecepatan kenaikan

permintaan zat warna reaktif mencapai empat kali lipat daripada zat warna lain untuk

serat selulosa.

Salah satu jenis zat warna reaktif yang banyak digunakan dalam industri tekstil

adalah zat warna RemazolYellow FG menjadi pilihan karena tergolong murah

1
2

sementara gugus kromofornya mudah sekali dalam memberikan warna-warna yang

cerah dan tahan uji(Rasjid dkk, 1976). Zat warna ini banyak digunakan karena

sifatnya yang mudah larut dalam air dan tidak terdegradasi pada kondisi aerob biasa

(Pavlostathis, 2001).Zat warna ini tergolong limbah senyawa organik B3 yang

mengandung zat kimia dengan air sebagai media pelarutnya. Kehadiran zat warna

jenis ini dilingkungan memiliki sifat non-biodegradable atau susah diuraikan.

Sulitnya penguraian zat warna ini disebabkan oleh komponen zat warna Remazol

Yellow FG sebagian besar tersusun atas zat warna azo dan turunannya merupakan

turunan dari benzena yang sulit terdegradasi. Senyawa azo yang terlalu lama berada

di lingkungan akan menjadi sumber penyakit karena bersifat karsinogen dan

mutagenik (Sugiharto, 1987). Oleh karena itu limbah dari zat warna Remazol Yellow

Fg sangat berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak dilakukan pengolahan

terlebih dahulu.Sementara itu, lingkungan memiliki kemampuan terbatas dalam

mendegradasi limbah zat warna. Akibatnya air menjadi tercemar ( berwarna) dan

kualitas air semakin memburuk dan tidak layak digunakan(Sugiharto, 1987). Oleh

karena itu, limbah zat warna tekstil perlu diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke

lingkungan.

Untuk menghilangkan dampak negatif dari limbah zat warna, diperlukan suatu

perlakuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan limbah pewarna dengan

cara tertentu agar tidak membahayakan dan mencemari lingkungan sekitar. Salah satu

cara yang dapat dilakukan adalah dengan pengolahan biologi untuk


3

mengurangikonsentrasi limbah pewarna agar tidak membahayakan dan mencemari

lingkungan saat dibuang di alam (Manurung dkk, 2004).

Banyak usaha yang telah dilakukan untuk meminimalisasi dan mengatasi

pencemarandari zat warna azo. Salah satunya dengan cara kimia yaitu dengan

menambahkan zat kimia sebagai koagulan, akan tetapi cara ini memiliki kelemahan

yaitu dihasilkannya lumpur kimia ( sludge) yang cukup bayak. Pengelolaan sludge

lebih lanjut perlu dilakukan, namun memerlukan biaya relatif tinggi dan lumpur yang

dihasilkan ini juga akan menimbulkan masalah baru bagi unit pengolahan limbah (

Arifin, 2008). Oleh karena itu perlu dicari teknologi pengolahan limbah yang lebih

ramah lingkungan.

Saat ini teknologi pengolahan limbah tekstil yang berkembang adalah

pengolahan limbah secara biologi, yaitu dengan memanfaatkan mikroorganisme

untuk mendegradasi molekul zat warna tekstil yang memiliki struktur kompleks

menjadi molekul yang lebih sederhana (Manurung dkk, 2004).Pengolahan ini sangat

berpotensi untuk dikembangkan karena limbah tekstil dengan kandungan bahan

organik yang tinggi dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung oleh

mikroorganisme sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya.Akan tetapi, tidak semua

mikroba mampu merombak zat warna tekstil, maka mikroba yang banyak dikaji dan

berpotensi untuk dikembangkan adalah bakteri dan jamur. Kelebihan perombakan

menggunakan bakteri adalah bekerjanya pada substrat yang spesifik sehingga

aktivitasnya pada spectrum yang spesifik ( Zee, 2002).


4

Metode biodegradasi diterapkan untuk melenyapkan bahan pencemar yang

terkontaminasi dalam perairan.Metodenya dilakukan dengan menambahkan bahan

pencemar kedalam suatu bioreaktor yangtelah berisi media cair untuk pertumbuhan

mikroba.Keberhasilan biodegradasi dari limbah pencemar bergantung pada

keberhasilan mikroba dalam mendegradasi senyawa pencemar. Keunggulan dari

proses pengolahan air limbah dengan biodegradasi ini adalah pengolahannya sangat

mudah, biaya operasi yang rendah dibandingkan dengan proses lumpur aktif, dan

lumpur yang dihasilkan relatif sedikit.

Sungai Serangan dipilih sebagai sumber suspensi aktif untuk proses

pembibitan mikroorganisme, hal ini dilihat dari warna air sungai yang selalu berubah-

ubah setiap minggunya dan menimbulkan bau yang tidak sedap dan jauh dari nilai

estetika yang baik. Maka dari itu, Sungai Serangan memberikan kontribusi besar

dalam pertumbuhan mikroorganisme zatwarnatekstil yang mengandung zatwarna

sintetik khususnya Remazol Yellow FG, dimana Sungai Serangantersebut banyak

mengandung sampah, baik sampah organik maupun anorganik yang berasal dari

dapur, pencelupan, percetakan, kamar mandi, laundry, dan lainnya.

Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini bertujuan untuk : (1)

memperoleh waktu optimum pertumbuhan mikroorganisme dalam proses

biodegradasi Remazol Yellow FG, (2) memperoleh komposisi optimum dalam

menurunkan kadar Remazol Yellow FG, (3) mengetahui laju penurunan kadar

Remazol Yellow FG dan sistem mikrobial yang berperan dalam proses biodegradasi.
5

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, dapat ditarik suatu permasalahan yaitu :

1. Berapakah waktu optimum pertumbuhan mikroorganisme dalam suspensi aktif

pada media yang mengandung Remazol Yellow FG?

2. Bagaimana pengaruh komposisi terbaik suspensi aktif, larutan glukosa dan

larutan Remazol Yellow FG dalam penurunan kadarRemazol Yellow FG?

3. Bagaimana laju penurunan kadarRemazol Yellow FG, dan sistem mikrobial

yang berperan dalam proses biodegradasinya?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka dapat ditentukan tujuan dari penelitian ini

adalah :

1. Menentukan waktu optimum pertumbuhan mikroorganisme dalam suspensi

aktif pada media yang mengandung Remazol Yellow FG.

2. Menentukan pengaruh komposisi terbaik suspensi aktif, larutan glukosa dan

larutanRemazol Yellow FGdalam penurunan kadarRemazol Yellow FG.

3. Menentukan laju penurunan kadarRemazol Yellow FG, dan sistem mikrobial

yang berperan dalam proses biodegradasinya.


6

1.4 Manfaat Penelitian

Dari tujuan di atas, maka dapat ditentukan manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan referensi terhadap pengembangan atau penggunaan sistem

mikrobial dalam pengolahan air limbah yang mengandung zat warna.

2. Memberikan arah pada pengembangan sistem atau teknik biologis yang lebih

ramah lingkungan dalam pengolahan air limbah.

3. Memberikan informasi bahwa konsorsium mikroorganisme yang berperan

dalam biodegradasi dapat diidentifikasi lebih lanjut.


7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Air

Air merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang dibutuhkan oleh makhluk

hidup untuk menopang kelangsungan hidupnya.Oleh karena itu, apabila air tidak

dikelola dengan baik maka dapat menimbulkan kerusakan maupun kehancuran bagi

makhluk hidup. Secara alami sumber air merupakan kekayaan alam yang dapat

diperbaharui dan mempunyai daya regenerasi mengikuti suatu daur ulang yang

disebut daur hidrologi( Syahdiash,2008).

Pencemaran air merupakan suatu perubahan keadaan di suatu tempat

penampungan air seperti danau, sungai, lautandan air tanah akibat aktivitas manusia.

Pemanfaatan terbesar danau, sungai, lautan dan air tanah adalah untuk irigasi

pertanian, bahan baku air minum, dan sebagai saluran pembuangan air hujan dan air

limbah ( Kristianto,1995).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomer 23 tahun 1997 tentang

pengelolaan lingkungan hidup, yang dimaksud dengan pencemaran air yaitu

masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain

kedalam air dan berubahnya tatanan (komposisi) air oleh kegiatan manusia atau

proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan

air menjadi tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

2.2 Limbah Cair

Limbah merupakan buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik

industri maupun domestik. Menurut Allaby(1997), limbah adalah zat baik berupa

7
8

padatan, cair maupun gas yang dihasilkan oleh organisme atau sistem yang dibuang

ke lingkungan dan tidak digunakan oleh organisme atau sistem yang

menghasilkannya. Limbah cair merupakan gabungan atau campuran dari air dan

bahan-bahan pencemar yang terbawa oleh air baik dalam keadaan terlarut maupun

tersuspensi yang terbuang dari sumber pertanian, sumber industri, dan sumber

domestik dan pada saat tertentu tercampur dengan air tanah, air permukaan, atau air

hujan( Zain, 2005).

Limbah cair lebih dikenal sebagai sampah yang seringkali tidak dikehendaki

kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis.Bila ditinjau secara kimiawi,

limbah cair terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Limbah

cair ini umumnya dibuang melalui saluran/got menuju sungai maupun laut(

Siregar,2005).

Komposisi dari air limbah sebagian besar terdiri dari air ( 99,9%) dan sisanya

terdiri dari partikel-partikel terlarut dan tidak terlarut sebesar 0,1%. Partikel partikel

padat terdiri dari zat organik( 70%) dan zat anorganik ( 30%). Zat organik terdiri dari

protein, karbohidrat dan lemak, sebagian besar mudah terurai serta merupakan

sumber makanan dan media yang baik untuk bakteri dan mikroorganisme lain.

Sedangkan zat zat anorganik terdiri dari frit, salt, dan logam berat yang merupakan

bahan pencemar ( Siregar,2005).

Menurut Kristanto, 2012 dalam menentukan karakteristik air limbah maka ada

tiga jenis sifat yang harus diketahui, yaitu :


9

a. Sifat fisik

1. Warna, air limbah yang baru biasanya berwarna abu-abu. apabila bahan-bahan

organik mengalami dekomposisi oleh bakteri, maka DO (dissolved oxygen)

turun sampai nol dan warna menjadi hitam

2. Temperature ( suhu), umumnya temperature air limbah lebih tinggi daripada

temperature air minum, sebab adanya proses di dalam kegiatan industri maupun

rumah tangga yang dapat menambah temperatur air menjadi lebih tinggi(

panas). Temperatur merupakan salah satu parameter penting.

3. Zat tersuspensi, bahan padat tersuspensi adalahbahan padat yang dihilangkan

pada penyaringan melalui media standar halus dengan diameter 1 mikron.

4. Bau, sifat bau air limbah disebabkan karena zat zat organikyang berurai di

dalam air limbah mengeluarkan gas-gas seperti sulfide atau amoniak yang

menimbulkan bau yang tidak enak disebabkan adanya campuran dari nitrogen,

sulfur dan fosfor yang berasal dari permukaan protein yang dikandung limbah.

b. Sifat kimia

Karakteristik kimia air limbah ditentukan oleh biochemical oxygen demand(

BOD), chemical oxygen demand ( COD ) dan logam logam beratyang terkandung

dalam air limbah.

1. BOD, pemeriksaan BOD dalam limbah didasarkan atas reaksi oksidasi zat zat

organik dengan oksigen dalam air dimana proses tersebut dapat berlangsung

karena ada sejumlah mikroorganisme.


10

2. COD, pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain dari

pengukuran kebutuhan oksigen dalam air limbah. Metode ini lebih singkat

waktunya dibanding dengan menganalisa BOD. Pengukuran COD menekankan

kebutuhan oksigen akan senyawa kimia dimana senyawa senyawa yang diukur

adalah bahan bahan yang tidak terurai secara biokimia.

3. pH, air limbah memiliki pH yang tinggi atau rendah menyebabkan

mikroorganisme air yang dibutuhkan untuk keperluan biota tertentu mati.

4. Logam logam berat yang terkandung dalam air limbah, misalnya besi dan

magnesium yang teroksidasi dalam air akan berwarna kecoklatan dan tidak larut

mengakibatkan penggunan air menjadi terbatas.

c. Sifat biologis

Pemeriksaan biologis didalam air limbah diperlukan untuk memisahkan bakteri

bakteri patogen di dalam air limbah.Mikroorganisme yang penting dalam air limbah

diklasifikasikan menjadi protista, tumbuhan kecil, binatang kecil.

Limbah yang dihasilkan harus memenuhi standar baku mutu limbah dan sesuai

dengan baku mutu lingkungan yang berlaku bagi kondisi lingkungan dimana kegiatan

industri sedang berlangsung. Karena itu setiapparameter harus tersedia nilainya

sebelum masuk sistem pengolahan dan setelah limbah keluar sistem pengolahan harus

ditetapkan nilai-nilai parameter yang harus dicapai. Artinya harus diungkapkan

kualitas limbah sebelum dan sesudah limbah diolah dan apakah limbah ini memenuhi

syarat baku mutu ( Ginting, 2007).


11

2.3 Sumber Limbah Cair

Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan.

Limbah cair ini bersumber dari aktivitas manusia dan aktivitas alam,yang dapat

dibedakan menjadi 3 yaitu :

a. Limbah Domestik merupakan limbah yang berasal dari usaha dan/atau

kegiatan pemukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan

asrama.

b. Limbah pertanian, merupakan limbah yang berasal dari aktivitas manusia

dalam kegiatan pertanian.

c. Limbah industri, merupakan limbah yang berasal dari industri yang bervariasi

tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, jenis bahan baku yangdiolah

dan jenis barang/bahan jadi yang dihasilkan serta kebijakan manajemen

industrinya.

Dipandang dari jenis zat pencemar dan dampak yang ditimbulkannya pada

lingkungan atau ekosistem perairan, maka limbah industri dapat digolongkan seperti

Tabel 2.1 (Ghalib,1994 dan Zain 2005).


12

Tabel 2.1 Penggolongan limbah industri ditinjau dari jenis zat pencemar dan dampak
yang ditimbulkan
Jenis zat pencemar Dampak terhadap ekosistem
Zat padat terlarut Menurunkan oksigen terlarut
Zat padat tersuspensi Menimbulkan endapan, bau busuk, dan
menimbulkan kualitas air yang buruk
Nitrogen dan Fosfor Eutrofikasi
Minyak, lemak dan benda terapung Mengganggu penetrasi sinar matahari ke
dalam air
Warna dan kekeruhan Menurunkan kualitas air
Logam berat dan senyawa toksik Merusak ekosistem air dan membahayakan
kesehatan

2.4Klasifikasi limbah industri dan Karakteristik Limbah

Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saatdan tempat tertentu

mengandung bahan tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai

ekonomi.Limbah yang mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan

berbahaya dikenal dengan limbah B-3, yang dinyatakan sebagai bahan dalam jumlah

relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan sumber daya.

Bila ditinjau secara kimiawi, bahan-bahan ini terdiri dari bahan kimia organik dan

anorganik ( Kristanto, 2012).

Sebagai limbah B-3 kehadirannya mengkhawatirkan terutama yang bersumber

dari pabrik/industri, dimana B-3 banyak digunakan sebagai bahan baku maupun

bahan tambahan industri. Sifat beracun dan berbahaya dari limbah ditunjukkan oleh

sifat fisik dan kimia bahan itu dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Beberapa

kriteria berbahaya dan beracun telah ditetapkan antara lain, mudah terbakar, mudah

meledak, korosif, bersifat oksidator dan reduktor yang kuat, mudah membusuk, dan

lainnya. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu kehadirannya dapat berdampak


13

negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia dan kehidupan lainnya,

sehingga perlu ditetapkan batas batas yang diperkenankan dalam lingkungan untuk

waktu tertentu.Adanya batasan kadar/konsentrasi dan kuantitas B-3 pada suatu ruang

dan waktu tertentu dikenal dengan istilah ambang batas, yangmengandung makna

bahwa dalam kuantitas tersebut masih dapat ditoleransi oleh lingkungan, sehingga

tidak membahayakan lingkungan atau pemakai.Karena itu untuk setiap jenis B-3 telah

ditetapkannilai ambang batasnya.

Kualitas limbah menunjukkan spesifikasi limbah yang diukur dari jumlah

kandungan bahan pencemar di dalam limbah.Kandungan pencemar didalam limbah

terdiri dari beberapa parameter.Semakin kecil jumlah parameter dan semakin kecil

konsentrasinya, hal ini menunjukkan semakin kecil peluang untuk terjadinya

pencemaran lingkungan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas

limbah adalah : volume limbah, kandungan bahan pencemar, frekuensi pembuangan

limbah ( Kristanto, 2012 ).

Berdasarkan karakteristinya, limbah industri dapat digolongkan menjadi tiga

bagianyaitu :

a. Limbah Cair

Limbah cair bersumber dari pabrik yang biasanya banyak menggunakan air dalam

proses produksinya. Disamping itu, adapula bahan baku yang banyak mengandung

air, sehingga dalam proses pengolahannya air tersebut harus dibuang. Misalnya

ketika digunakan untuk mencuci suatu bahan sebelum diproses lanjut, pada air

tersebut ditambahkan bahan kimia tertentu, kemudian diproses dan setelah itu
14

dibuang.Semua jenis perlakuan ini mengakibatkan adanya air buangan.Air limbah

tekstil buangan pabrik kerap kali berwarna keruh dan bersuhu tinggi.Air limbah

tekstil yang tercemar mempunyai ciri yang dapat diidentifikasi secara visual dari

kekeruhan, warna, rasa, bau yang ditimbulkan dan indikasi lainnya.Sedangkan

identifikasi secara laboratorium ditandai dengan perubahan sifat kimia air.

Mungkin air telah mengandung B-3 dalam konsentrasi yang melampaui batas

yangdianjurkan ( Kristanto, 2012 ).

b. Limbah gas dan partikel

Limbah gas dan partikel merupakan limbah yang banyak dibuang ke udara.

Gas/asap, partikulat, dan debu yang dikeluarkan oleh pabrik ke udara akan dibawa

angin sehingga akan memperluas jangkauan paparannya.

c. Limbah padat

Limbah padat adalah hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, dan

bubur yang berasal dari sisa hasil pengolahan. Limbah ini dapat dikategorikan

menjadi dua bagian yaitu limbah padat yang dapat di daur ulang dan limbah padat

yang tidak memiliki nilai ekonomis ( Kristanto, 2012).

Karakteristik limbah cair yang dihasilkan industri tekstil sangat erat

hubungannya dengan bahan-bahan yang digunakan dalam tahapan prosespembuatan

tekstil. Karakteristik dan baku mutu limbah cair industri tekstil disajikan seperti pada

Tabel 2.2 di bawah ini.


15

Tabel 2.2 Karakteristik dan Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil
Parameter Satuan Kadar Maksimum menurut
KepMen LH No.
51/MENLH/10/1995
Biochemical oxygen demand (BOD) mg/L 60,0
Chemical oxygen demand (COD) mg/L 150,0
Total suspended solid (TSS) mg/L 50,0
Ph - 6,0-9,0
Warna Pt-Co -
(Sumber : KepMen LH No.51/MENLH/10/1995)

Karakteristik air limbah tekstil adalah mempunyai intensitas warna berkisar 50-

2500 skala Pt-Co,nilai COD 150-12000 mg/L dan nilai BOD mencapai 80- 6000

mg/L. Tingginya intensitas warna pada air limbah tekstil disebabkan karena sekitar

40% dari zat warna reaktif azo yang digunakan dalam proses pencelupan kain

terbuang sebagai limbah sedangkan kandungan bahan organik sangat tinggi terkait

dengan bahan-bahan yang digunakan dalam proses tekstil seperti enzim, detergen, zat

warna dan bahan-bahan tambahan lainnya. Parameter COD dan BOD yang dimiliki

air limbah tekstil jauh di atas baku mutu jika ditinjau dari KepMen LH

No.51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri yaitu

100-300 mg/L untuk COD dan 50-150 mg/L untuk BOD.

2.5 Zat Warna Sintetik

Limbah tekstil mengandung bahan-bahan yang berbahaya bila di buang ke

lingkungan, terutama daerah perairan.Sebagian besar bahan yang terdapat dalam

limbah tekstil adalah zat warna, terutama zat warna sintetik.Zat warna sintetik

merupakan molekul dengan sistem elektron terdelokalisasi dan mengandung dua

elektron, sedangkan auksokrom sebagai pemberi elektron yang mengatur kelarutan

dan warna. Gugus kromofor yang penting yaitu gugus azo (-N=N-), gugus karbonil (-
16

C=O), gugus etilen (-C=C-), dan gugus nitro (-NO2). Sedangkan beberapa gugus

auksokrom yang penting adalah –NH2, -COOH, -SO3H dan –OH (Ramachandran et

al., 2009).

Saat ini, terdapat bermacam-macam jenis zat warna sintetik yang penggunaannya

disesuaikan dengan jenis serat yang akan dicelup, ketahanan warna yang dikehendaki,

faktor-faktor teknis dan ekonomis lainnya. Penggolongan zat warna tekstil

berdasarkan cara pencelupannya disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3.Penggolongan Zat Warna Menurut Sifat dan Cara Pencelupannya


NO Golongan Zat Warna Sifat
1 Zat warna direct Mempunyai daya ikat dengan serat selulosa,
pencelupan dilakukan secara langsung dalam larutan
dengan zat-zat tambahan yang sesuai.
2 Zat warna mordant Mempunyai daya ikat yang lemah dengan serat. Pada
proses pencelupan biasanya dilakukan dengan
penambahan krom pada zat warna sehingga
membentuk kompleks logam.
3 Zat warna reactive Mempunyai gugus reaktif yang dapat membentu
ikatan kovalen kuat dengan serat selulosa, protein,
poliamida dan polyester, dilakukan pada suhu rendah
dan tinggi.
4 Zat warna penguat Mempunyai daya ikat yang kuat dengan serat
selulosa, warna terbentuk dalam serat setelah
ditambahkan garam penguatnya.
5 Zat warna asam Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat protein
dan poliamida. Pencelupan dilakukan pada kondisi
asam dan secara langsung ditambahkan pada serat
6 Zat warna basa Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat protein.
Pencelupan dilakukan pada kondisi basa dan secara
langsung ditambahkan pada serat.
7 Zat warna belerang Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat selulosa.
Pada gugus sampingnya mengandung belerang yang
mampu berikatan kuat dengan serat.
(Sumber: Zille, 2005)

Zat warna merupakan senyawa organik yangkeberadaanya dalam perairan

dapat mengganggu ekosistem didalamnya. Zat warna dapat digolongkan menurut


17

caradiperolehnya, yaitu zat warna alami dan zat warna sintetis. Penggolongan zat

warna berdasarkanpemakaiannya, misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai

serat disebut sebagai zatwarna substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat

pembantu supaya dapat mewarnai serat disebut zat reaktif ( Manurung et al, 2004).

Zat warna merupakan senyawa organik yang mengandung gugus kromofor

terkonjugasi.Zat warna golongan reaktifmerupakan zat warna yang banyak digunakan

untuk pewarnaan tekstil. Zat warna reaktif sangat larut dalam air dan tidak

terdegradasi pada kondisi aerobbiasa ( Manurung et al, 2004).

Penggolongan lainnya berdasarkan susunan kimia atau inti zat warna

tersebut, yaitu zat warna nitroso, nitroazo, poliazo,indigoido, antrakuinon,

ptalosianin ( Manurung et al, 2004).

Zat warna reaktiftermasuk zat warna yang larut dalam air, reaktif terhadap

serat selulosa, dan sering dipakai dalam industri tekstil.Zat warna reaktif adalah

kromofor yang mengandung gugus yang aktif dan reaktif terhadap permukaan pada

bahan tertentu.Zat warna ini memiliki gugus reaktif monoklorotriazina dan vinil

sulfon yang juga dapat diaplikasikan untuk serat protein, yaitu wol dan nilon. Zat

warna reaktif seperti zat warna azo umunya memiliki sifat sulit terbiodegradasi(

Manurung et al, 2004).

Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakuinon

dengan berat molekul relatif kecil. Daya serap terhadap serattidak besar sehingga zat

warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan.Gugus-gugus

penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan terhadap asam atau
18

basa.Pada umumnya agar reaksi dapat berjalan dengan baik maka diperlukan

penambahan alkali atau asam sehingga mencapai pH tertentu ( Mnurung et al, 2004).

Golongan senyawa azo adalah golongan senyawa yang banyak digunakan

dalam industri tekstil, kertas, farmasi maupun di laboratorium. Hal ini disebabkan

karena senyawaazo sangat berguna dan mudah untuk disintesis. Kebanyakan zat

warna azo bersifat karsinogenik dan termasuk senyawa non-biodegradable( Andayani

dan Sumartono, 1999).

Salah satu pencemar organikyang bersifat non-biodegradable adalah zat warna

tekstil.Zat warna tekstil umunya dibuat dari senyawa azo dan turunanya dari gugus

benzene.Gugus benzene sangat sulit didegradasi, kalaupun dimungkinkan dibutuhkan

waktu yang lama. Senyawa azobila terlalu lama dilingkungan, akan menjadi sumber

penyakit karena sifatnya karsinogenik dan mutagenik. Zat warna azo adalah senyawa

yang paling banyak terdapat dalam limbahtekstil yaitu sekitar 60-70%. Senyawa azo

memiliki struktur umum R-N=N-R’, dengan R dan R’ adalah rantai organik yang

sama atau berbeda. Senyawa ini memiliki gugus –N=N- yang dinamakanstruktur azo(

Al-kdasi, 2004).

2.6Zat Warna Remazol Yellow FG

Zat warna adalah senyawa organik berwarna yang digunakan untuk memberi

warna pada suatu objek atau kain.Terdapat banyak sekali senyawa organik berwarna

namun hanya beberapa yang sesuai untuk digunakan sebagai zat warna, senyawa itu

harus tidak luntur. Zat tersebut harus dapat terikat pada objek atau kain ( Indrawati,

2008 )
19

Zat warna pada umumnya mengandung gugus kromofor yang stabil. Gugus –

gugus kromofor dapat menyebabkan limbah cair industri tekstil hasil pengolahan

yang sudah jernih dapat menjadi berwarna kembali dalam beberapa menit kontak

dengan udara (teroksidasi). Gugus kromofor senyawa azo (monoazo, disazo, trisazo)

sukar diuraikan dan bersifat karsinogenik sehingga berbahaya bagi makhluk hidup

sekitar (Priyo dkk, 1999).

Zat warna Remazol Yellow FG merupakan salah satu zat warna reaktif yang

banyak digunakan dalam industri batik.Gugus reaktif pada zat warna reaktif

merupakan bagian dari zat warna yang mudah lepas sehingga zat warna mudah

bereaksi dengan serat. Struktur molekul zat warna Remazol Yellow FG ditunjukkan

pada Gambar 2.1

Gambar 2.1. Struktur kimia Remazol Yellow FG

Zat pewarna Remazol Yellow FG sebagai zat pewarna batik, pada prosesnya tidak

boleh langsung dibuang ke lingkungan, tetapi harus melalui proses pengolahan


20

terlebih dahulu agar tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Zat warna reaktif

yang banyak digunakan untuk proses pencelupan tekstil ( Indrawati, 2008 ).

Limbah zat warna Remazol Yellow FG bersifat karsinogenik yaitu merangsang

tumbuhnya kanker, dapat membahayakan bagi kesehatan, mempengaruhi kandungan

oksigen dalam air, mempengaruhi pH air lingkungan yang menjadikan gangguan bagi

mikroorganisme dan hewan air ( Nirmasari, 2008 ). Remazol Yellow FG dapat

menimbulkan iritasi kulit, mata dan saluran pernafasan, saluranpencernaan dan

berbahaya jika tertelan atau terhirup.Jika terjadi iritasi pada kulit, gejala yang timbul

yaitu kulit menjadi berwarna kemerahan, gatal dan nyeri.Jika terjadi iritasipada

saluran pernafasan gejala yang yang timbul yaitu batuk dan sesak nafas, dan jika

terjadi iritasi saluran pencernaan gejala yang timbul yaitu mual.

2.7 Biodegradasi

Biodegradasi didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi senyawa organik dan

anorganik oleh mikroorganisme, baik di tanah, perairan, atau pada pengolahan air

limbah. Biodegradasi merupakan salah satu pengolahan limbah secara biologi yang

sering dipilih karena efektif untuk pengolahan limbah organik terlarut dan

membutuhkan biaya yang sedikit.Keberhasilan pengolahan limbah secara biologi

sangat tergantung pada aktivitas dan kemampuan mikroorganisme pendegradasi

bahan organik dalam limbah.Prinsip pengolahan limbah secara biologi adalah

pemanfaatan aktivitas mikroorganisme seperti bakteri, fungi, dan

protozoa.Mikroorganisme tersebut merombak limbah organik menjadi senyawa


21

organicsederhana dan mengkonversikannya menjadi gas karbondioksida (CO2), air

(H2O) dan energi untuk pertumbuhan dan reproduksinya (Sastrawidana, 2009).

Substrat merupakan sumber makanan bagi pertumbuhanmikroorganisme.Dalam

hal ini substrat adalah limbah itu sendiri yang mengandung unsur karbon, hidrogen,

oksigen, nitrogen, dan phosphor. Konsentrasi substrat mempengaruhi proses kerja

mikroorganisme, bila konsentrasi substrat tinggi akan memerlukan waktu

penyesuaian awal yang panjang bagi kehidupan pertumbuhan mikroorganisme.

Semakin cukup nutrien yang tersediasemakin baik pertumbuhan dan

perkembangbiakan mikroorganisme (Ginting, 2007).

Beberapa bakteri pada kondisi anaerob dilaporkan mampu untuk mendegradasi

zat warna azo di antaranya Aeromonas sp., Pseudomonas sp., dan Flavobacterium sp.

Sebaliknya, ada beberapa bakteri yang dilaporkan mampu mendegradasi zat warna

azo pada kondisi aerob diantaranya adalah Plesiomonas sp. dan Vibrio sp.

(Sastrawidana, 2009).

Pada kondisi anaerob degradasi zat warna tekstil menggunakan bakteri lebih

cepat dibandingkan dengan kondisi aerob, namun kelemahannya yaitu menghasilkan

amina aromatik yang bersifat lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo itu

sendiri (Van der Zee, 2002).Hasil uji toksisitas menunjukkan degradasi limbah tekstil

pada kondisi anaerob lebih toksik dibandingkan dengan limbah awal (Sastrawidana,

2009).
22

2.8 Degradasi Zat Warna

Limbah cair industri tekstil dari proses pewarnaan mengandung warna yang

cukup pekat. Zat warna ini berasal dari sisa-sisa zat warna yang tak larut dan juga

dari kotoran yang berasal dari serat alam. Beberapa penelitian tentang biodegradasi

zat warna khususnya zat warna azo telah dilaporkan (Seshadri dkk., 1994; Carliell

dkk. 1995; Kenapp dan Newby, 1995 ; Nigam dkk. 1996; Oxspring dkk. 1996). Zat

warna azo ini banyak digunakan dalam industri tekstil, makanan, obat-obatan dan

kosmetika.Pada tahun 1990 di negara Amerika Serikat penjualan zat warna azo

menduduki nomor teratas daripada golongan zat warna lain (Heaton, 1994).

Penelitian perombakan zat warna ini berawal dari penemuan hasil metabolisme

hewan mamalia yang diberi makanan campuran zat warna azo.Zat warna azo yang

masuk ke dalam pencernaan hewan ini direduksi oleh mikroflora yang berada di

dalam saluran pencernaan pada kondisi anaerobik.Ikatan azo yang direduksi ini

menghasilkan produk samping yaitu turunan amino azo benzen yang dikhawatirkan

bersifat karsinogen. (Heaton, 1994) menjelaskan bahwa reduksi azo dikatalisa oleh

enzim azo reduktase di dalam liver sama dengan reduksi azo oleh mikroorganisme

yang ada di dalam pencemaan pada kandisi anaerobik. Dari hasil penelitian-penelitian

inilah berkembang penelitian lanjutan perombakan zat warna secara

anaerobik.Selanjutnya biodegradasi zat warna dengan kondisi anaerobik ini cukup

potensial untuk merombak zat warna tekstil.

Perlakuan secara anaerobik pada dasarnya sebagai pengolahan pendahuluan

untuk limbah cair yang mengandung bahan organik kompleks dan sukar untuk
23

didegradasi. Pada proses anaerobik terjadi pemutusan molekul-molekul yang sangat

kompleks menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana, sehingga mudah

terbiodegradasi oleh proses aerobik menjadi CO2, H2O, NH3 dan Biomassa.

Gambar 2.2.Biodegradasi zat warna secara anaerabik-aerobik.

Proses anaerobik dapat digunakan untuk mendegradasi senyawa aromatik

berantai panjang menjadi senyawa aromatik berantai pendek. Senyawa aromatik

dapat didegradasi lebih lanjut dalam kondisi aerob.Peneliti menunjukkan bahwa

kondisi aerob lebih ditujukan untuk mineralisasi, dengan sedikit atau tidak ada

degradasi senyawa seperti yang terjadi pada kondisi anaerob.Perlakuan aerob lebih

layak untuk mineralisasi produk degradasi (Brown dan Hamburger, 1987).

2.9Peranan Mikroorganisme dalam Pengolahan Biologi

Menurut Metcalf & Eddy (2003) dalam pengolahan biologis, keberadaan

mikroorganisme sangat dibutuhkan karena proses tidak akan berlangsung tanpa

kehadiran mikroorganisme pengurai. Bakteri, jamur, alga, protozoa, crustacea dan

virus adalah mikroorganisme yang berperan penting dalam proses pengolahan air

buangan. Bakteri juga termasuk mikroorganisme yang memiliki peranan penting


24

karena paling banyak digunakan dalam proses pengolahan air buangan, sehingga

struktur sel mikroorganisme lainnya dapat disamakan dengan bakteri.

Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari suatu proses pengolahan air

limbah secara biologis diperlukan desain sistem pengolahan yang efektif. Untuk

mendapatkan desain yang efektif diperlukan faktor-faktor berikut :

1. Kebutuhan nutrisi mikroorganisme.

2. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.

3. Metabolisme mikroorganisme.

2.10 Kurva Pertumbuhan Mikroba

Pertumbuhan mikroba merupakan proses peningkatan jumlah sel mikroba

akibat dari proses pembelahan sel. Apabila mikroba ditumbuhkan dalam media yang

sesuai dan dalam kondisi yang optimum maka pertumbuhannya akan meningkat

dengan waktu yang relatif singkat. Pada umumnya bakteri mampu membelah diri

antara waktu 1 hingga 3 jam. Adapula beberapa bakteri yang membutuhkan waktu 10

menit hingga beberapa hari untuk membelah diri. Kurva pertumbuhan bakteri dibagi

menjadi 4 fase (Suyasa, 2015), yaitu :

1. Fase adaptasi atau fase log

Fase log merupakan fase adaptasi bakteri terhadap lingkungan tempat

pertumbuhannya. Pada fase ini belum terjadi pertambahan jumlah sel.

2.2. Fase eksponensial

Pada fase eksponensial terjadi pembelahan sel dimulai dengan

peningkatanjumlah sel dengan kecepatan lambat kemudian meningkat


25

dengan kecepatan cepat sehingga terjadi peningkatan jumlah sel yang luar

biasa.

3. Fase stasioner

Fase stasioner membatasi pertumbuhan eksponensial sehingga tidak terjadi

peningkatan maupun penurunan jumlah sel. Hal ini terjadi karena nutrien

yang dibutuhkan oleh bakteri telah berkurang.

4. Fase kematian

Pada fase kematian jumlah sel akan berkurang karena nutrisi dalam media

cair dan cadangan makanan dalam sel telah habis. Kecepatan kematian sel

jauh lebih lambat daripada kecepatan pertumbuhannya.

Gambar 2.3 Kurva Perumbuhan Bakteri

2.11 VSS (Volatile Suspended Solid)

VSS merupakan konsentrasi padatan tersuspensi yang menguap pada suhu ±

550oC. Umumnya digunakan sebagai perkiraan konsentrasi mikroorganisme dalam

unit penanganan biologi. Dalam penentuannya, VSS diperoleh dengan memanaskan


26

residu hasil analisa zat padat total pada suhu ± 550oC. Bagian yang terbakar atau

hilang selama pemanasan disebut sebagai residu volatile (Volatile Suspended Solid)

atau zat padat organik sedangkan bagian yang tersisa disebut residu terikat atau zat

padat anorganik (Suyasa, 2015).

Peningkatan nilai VSS menyatakan peningkatan jumlah biomassa, semakin

tinggi jumlah biomassa yang tumbuh, maka akan semakin tinggi aktivitas

mikroorganisme dalam mengolah bahan organik atau anorganik.Penurunan nilai VSS

dapat terjadi karena adanya kompetisi untuk mendapatkan nutrien antar mikroba

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akan menyebabkan menurunnya

aktivitas mikroorganisme yang digambarkan dengan penurunan nilai VSS (Atlas and

Bartha, 1987).

Dalam melangsungkan hidupnya, mikroorganisme akan berkembang pesat

apabila waktu dan komponen yang dibutuhkan tersedia dengan cukup seperti halnya

nutrien untuk pertumbuhannya (Soeparno, 1992). Nutrien merupakan salah satu

faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan sel. Jumlah mikroorganisme yang

dapat tumbuh pada proses pembibitan dipengaruhi oleh faktor aerasi dan nutrien.

Pemberian aerasi dan nutrien yang seimbang akan memenuhi kebutuhan

mikroorganisme untuk tumbuh, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan yang

akan berbanding lurus dengan jumlah bahan pencemar yang akan diturunkan atau

dihilangkan (Sudaryati et al., 2011).


27

2.12 Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometri merupakan metode pengukuran banyaknya serapan energi

cahaya oleh suatu sistem kimia sebagai fungsi gelombang radiasi pada panjang

gelombang tertentu (Day and Underwood, 1999).Spektrofotometer UV-Vis memiliki

dua daerah pengukuran yaitu daerah radiasi ultraviolet pada panjang gelombang 220-

380 nm dan daerah radiasi sinar tampak pada panjang gelombang 380 – 780 nm.

Metode Spektofotometri UV-Vis berlaku hukum Lambert-Beer, yang menyatakan

bahwa penyerapan energi radiasi sebanding dengan jumlah molekul yang menyerap.

Hukum Lambert- Beer dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:

A= 𝜀.b.c

dengan A adalah intensitas serapan, 𝜀= absorptivitas molar, b = tebal kuvet (cm), c =

konsentrasi (Khopkar, 1990).

Hukum Lambert-Beer menjadi dasar aspek kuantitatif spektrofotometri dan

konsentrasi dapat dihitung berdasarkan rumus di atas.Absorptivitas (a) merupakan

konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet dan intensitas radiasi

yang mengenai larutan sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur

molekul, dan panjang gelombang radiasi ( Mulja dan Suharman, 1995).

Spektrofotometer adalah alat pengukur yang didasarkan pada interaksi cahaya

atau sinar monokromatis dengan materi, yaitu pada saat sejumlah cahaya atau sinar

monokromatis dilewatkan pada sebuah larutan, ada sebagian sinar yang diserap,

dihamburkan, dipantulkan dan sebagian lagi diteruskan.Namun karena jumlah sinar

yang dihamburkan dan dipantulkan sangat kecil, maka dianggap tidak ada. Apabila
28

radiasi atau cahaya putih dilewatkan melalui larutan berwarna, maka radiasi dengan

panjang gelombang tertentu akan diserap (absorpsi) secara selektif dan radiasi lainnya

akan diteruskan (transmisi). Absorpsi maksimum dari larutan berwarna terjadi pada

daerah warna yang berlawanan, misalnya larutan warna merah akan menyerap radiasi

maksimum pada daerah warna hijau. Dengan perkataan lain warna yang diserap

adalah warna komplementer dari warna yang diamati. Jika ditinjau secara mikro,

maka ketika cahaya monokromatis melewati larutan sampel, elektron-elektron yang

terdapat di dalam sampel akan mendapatkan energi dari cahaya yang dilewatkan dan

kemudian tereksitasi ke orbital yang lebih tinggi. Besarnya perpindahan elektron

sama dengan energi radiasi yang berinteraksi dengan molekul. Eksitasi elektron

ketingkat energi yang lebih tinggi tergantung pada senyawa penyerapnya (kromofor

penyerap). Pada saat kondisi tereksitasi dan energinya habis, maka elektron tersebut

akan kembali ke keadaan semula dengan melepaskan sejumlah energi berupa cahaya

dengan panjang gelombang tertentu. Cahaya inilah yang kemudian diterima oleh

detektor.Cahaya ini disebut cahaya komplementer.Semua senyawa organik mampu

mengabsorbsi cahaya, sebab senyawa organik mengandung elektron valensi yang

dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi.Pengabsorbsian sinar ultra violet

dan sinar tampak yang panjang gelombangnya lebih besar, terbatas pada sejumlah

gugus fungsional (chromophore) yang mengandung elektron valensi dengan energi

eksitasi rendah.
29

2.13 Kurva Kalibrasi

Kurva kalibrasi atau disebut juga kurva standar diperoleh dengan mengukur

absorbans dari sederatan konsentrasi larutan standar.Untuk senyawa atau zat yang

mengikuti hukum Lambert-Beer, plot antara absorbans terhadap konsentrasi

merupakan garis lurus.Kurva kalibrasi atau kurva standar, konsentrasi larutan sampel

dapat dengan mudah diketahui atau dihitung dari pembacaan absorbans sampel. Jika

jumlah sampel banyak, perhitungan konsentrasi dapat dilakukan dengan

menggunakan regresi linier y= a + bx, y adalah absorbans, x adalah konsentrasi, a

adalah intersep dan b adalah kemiringan. Nilai serapan larutan sampel diekstrapolasi

memotong sumbu x, sehingga kadar sampel dapat ditentukan (Ewing, G. W., 1985).

∑ 𝑥 2 ∑ 𝑦− ∑ 𝑥 ∑ 𝑦 𝑛 ∑ 𝑥𝑦 − ∑ 𝑥 ∑ 𝑦 𝑛 ∑ 𝑥𝑦 − ∑𝑥∑𝑦
a= b= r=
𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑥)2 𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑥)2 √{𝑛 ∑𝑥 2 −(∑𝑥)2 }{𝑛 ∑𝑦 2 −(∑𝑦)2 }
30

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Peralatan dan Bahan

3.1.1 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pipa plastik berukuran

panjang 90 cm dengan diameter 12 cm, kain kasa, aerator, gelas ukur Approx, bola

hisap, kertas saring Whatman 42 dari Ajax Chemical, neraca analitik,

spectrofotometer UV-Visible, pipet volume dari Socorex, pipet tetes, stopwatch, gelas

beker Pyrex, spektrofotometer UV-VIS 1800 Shimadzu, tanur, gelas beker Pyrex,

oven dari Memmert, desikator, labu ukur Approx, neraca analitik Pioneer, wadah

seperti toples memiliki kapasitas volume 10 L.Sistem pengolahan biodegradasi secara

anaerob-aerob disajikan pada gambar 3.1

Pretreatment Anaerobic Chamber

HasilAnaerobic Treatment

Aerobic Chamber

Efluen/Air Hasil
Aerator
rrr
Gambar 3.1 Sistem pengolahan biodegradasi secara anaerob-aerob

30
31

3.1.2 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :sedimen yang

berasal dari Sungai Serangan, zat warna tekstil buatan (Remazol Yellow FGteknis) ,

KH2PO4 , K2HPO4, NH4NO3, MgSO4.7H2O, Sodium Benzoat, aquadest, gula pasir.

3.2Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Udayana dan Laboratorium Bersama FMIPA Universitas Udayana di

Kampus Bukit Jimbaran.Penelitian dilakukan selama dua bulan dengan beberapa

tahapan penelitian yaitu, sampling sedimen, pembuatan media cair, pembibitan, dan

menyiapkan unit pengolahan biodegradasi. Selanjutnya dilakukan pengolahan dalam

wadah pengolahan biodegradasi dan analisis laboratorium.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksperimental, yaitu penelitian

yang bertujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat dengan cara menggunakan

suatu kelompok eksperimental dengan kondisi perlakuan tertentu. Pada penelitian ini

akan dianalisis penurunan kadar Remazol Yellow FG, efektivitas biodegradasi serta

sistem mikrobial yang berperan dalam proses biodegradasi. Untuk memperoleh hasil

yang diinginkan, dilakukan pengolahan data konsentrasi zat warna Remazol Yellow

FG setiap 12 jam, dimana untuk memperoleh efektivitas biodegradasi dalam

menurunkan konsentrasi zatwarna Remazol Yellow FGditentukan oleh persentase

efektivitas biodegradasi dalam menurunkan konsentrasi zat warna.


32

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Penentuanwaktu optimum pertumbuhan mikroorganisme dalam membuat


suspensi aktif yang ditambahkan dalam media yang mengandung Remazol
Yellow FG.

Sampel sedimen / tanah diambil dari sungai yang berlokasi di

Serangan.Sampling sedimen dilakukan di tempat tercemar yang terkontaminasi

limbah organik rumah tangga maupun limbah industri tekstil. Metode yang

digunakan untuk sampling sedimen adalah metode grab yaitu dengan mengambil

bagian dari suatu material yang mengandung mineral secara acak dan dilakukan

sekali pada saat pengambilan sample. Sedimen Sungai Serangan diambil

menggunakan sekop dengan kedalaman 5 - 10 cm dari permukaan dasar sebanyak

±100 gram.Sedimen lumpur diambil dengan menentukan tiga titik sesuai arah mata

angin yaitu pada bagian utara, selatan dan barat sungai lalu diletakkan sementara pada

kantong plastik klip dan disimpan pada cooler box.

Kemudian media selektif yang mengandung Remazol Yellow FG atau

penumbuh bakteri pendegradasi limbah disiapkan yaitu 1,0 gram sampel tanah; 0,5

gram KH2PO4; 0,5 gram K2HPO4; 0,5 gram NH4NO3 ; 0,1 gram MgSO4.7H2O; 1,0

gram Sodium Benzoat dan 0,01 gram Remazol Yellow FG kemudian semua bahan

dimasukkan kedalam gelas beaker 2 L kemudian ditambahkan akuades sebanyak

1000mL. Media pada gelas beaker diaerasi dengan menggunakan aerator yang diberi

selang yang diletakan didasar gelas beaker.Gelas beaker ditutup dengan kain kasa dan

diikat dengan karet lalu didiamkan selama 48 jam. Pada jam ke 6, 12, 28 dan 48

aerator dimatikan dan didiamkan beberapa saat selama 10-15 menit untuk mengetahui
33

perkembangan isolat bakteri dengan mengukur nilai VSS (Volatile Suspended Solid).

Kemudian ditentukan waktu optimum pertumbuhan biomassa.

3.4.1.1.Pengukuran biomassa (VSS)

Prinsip pengukuran VSS dilakukan dengan metode gravimetri (metode berat

kering sel) yaitu :

a. Bahan uji berupa larutan bibit diambil sebanyak 25 mL kemudian disaring

menggunakan kertas saring. Kertas saring berisi endapan dimasukkan ke

dalam cawan bebas VSS yang telah ditentukan beratnya.

b. Cawan dan kertas saring yang berisi endapan dikeringkan selama 3 jam di

dalam oven bertemperatur 105°𝐶, setelah itu didinginkan dalam desikator dan

ditimbang beratnya (sebagai X gram).

c. Cawan dan kertas saring dimasukan ke dalam tanur dengan temperatur 600°C

selama 2 jam sampai menjadi abu, kemudian didinginkan dalam desikator dan

ditimbang beratnya (sebagai Y gram).

d. Perhitungan VSS

(𝑥−𝑦)𝑔 3
VSS= x 10
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 10−3

(𝑥−𝑦)106 𝑚𝑔
= 𝐿 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

X adalah materi lumpur kering (mg) dan Y adalah kadar abu (mg)

(Sastrawidana, 2009).
34

3.4.2 Penentuan pengaruh komposisi bibit mikroorganisme, larutan gula dan


Remazol Yellow FG49,126 mg/L terhadap penurunan kadar Remazol
Yellow FG.

Tiga buah ember berukuran 5 Liter, disiapkan dalam kondisi bersih. Sebanyak

150 mL suspensi aktif dimasukkan ke dalam masing-masing ember yang

dikomposisikan menjadi 3 yaitu :

- Komposisi media I berisi 900 mL larutan gula dan 1950 mL larutan

Remazol Yellow FG 49,126 mg/L

- Komposisi media II berisi 600 mL larutan gula dan 2250 mL larutan

Remazol Yellow FG49,126 mg/L

- Komposisi media III berisi 300 mL larutan gula dan 2550 mL larutan

Remazol Yellow FG49,126 mg/L

Media pada masing-masing ember ditumbuhkan dan diaerasi sampai waktu

optimum tercapai.Konsentrasi dari larutan RemazolYellow FG masing-masing ember

diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Kemudian akan diperoleh komposisi

optimum yang akan digunakan dalam proses biodegradasi dalam sistem mikrobial.

3.4.3 Penentuan laju penurunan kadarRemazol Yellow FG, dan sistem mikrobial
yang berperan dalam proses biodegradasinya.

Pipa plastik disiapkan sebagai media pengolahan secara anaerob. Pada pipa

plastik dimasukkan sebanyak 3,9 L air limbah yang mengandung Remazol Yellow FG

49,126 mg/L dan suspensi aktif sebanyak 1 L kemudian ditutup selama 3 hari.

Selanjutnya setelah didiamkan selama tiga hari, kadar air limbah Remazol Yellow FG

diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Selanjutnya air limbah hasil

pengolahan secara anaerobik dalam pipa paralon dipindahkan ke dalam wadah


35

bervolume 10 L yang telah berisi larutan gula sebanyak 1,8 L serta media cair yang

mengandung bibit mikroorganisme sebanyak 300 mL. Selanjutnya mikroorganisme

kembali ditumbuhkan dengan cara diberi suplai oksigen (aerasi). Proses pengolahan

biodegradasi Remazol Yellow FGdalam sistem microbial secara aerob dilakukan

selama 96 jam. Setiap selang waktu 12 jam pengolahan, dilakukan pengambilan

sampel air sebanyak 100 mL untuk analisis penurunan konsentrasi Remazol Yellow

FG. Sebanyak 100 mL sampel pada awal pengolahan, pertengahan dan diakhir

pengolahan diambil untuk mengetahui jumlah serta jenis koloni mikroorganisme

selama proses biodegradasi. Analisis jenis dan jumlah mikroorganisme yang berperan

dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Udayana pada tanggal 9 November

2016. Sampling kadar awal konsentrasi Remazol Yellow FG ditentukan pada waktu 0

jam, kemudian dilakukan sampling pada hasil pengolahan anaerob pada waktu 72

jam. Selanjutnya dilakukan sampling pada pengolahan aerob dengan variasi waktu

selang 12 jam sampai 168 jam. Sampling kadar akhir konsentrasi Remazol Yellow FG

ditentukan dengan memplot grafik antara waktu pengolahan dan penurunan

konsentrasi. Kurva yang mengalami penurunan konstan dianggap sebagai kadar akhir

Remazol Yellow FG berdasarkan baku mutu air limbah domestik.

3.4.3.1 Penentuan Kadar Remazol Yellow FG


36

a. Pembuatan larutan induk

Larutan induk zat warna Remazol Yellow FG 1000 ppm dibuat dengan cara

menimbang 1 gram Remazol Yellow FG kemudian dilarutkan dengan akuades di

dalam labu ukur 1000 mL sampai tanda batas.

b. Pembuatan larutan standar

Sebanyak 5 buah labu ukur 100 mL disiapkan. Larutan standar dibuat dari larutan

induk 1000 ppm yang diencerkan menjadi 100 ppm dengan cara sebanyak 10 mL

larutan Remazol Yellow FG 1000 ppm diencerkan dengan akuades menggunakan labu

ukur 100 mL hingga tanda batas, kemudian diencerkan lagi menjadi 10; 15; 20; dan

30 ppm.

c. Penentuan panjang gelombang maksimum zat warna

Larutan Remazol Yellow FG15 ppm dibuat dengan cara mengencerkan sebanyak

15 mL Remazol Yellow FG100 ppm dalam labu ukur 100 mL dengan akuades sampai

tanda batas. Larutan Remazol Yellow FG15 ppm selanjutnya diukur absorbansinya

dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang sinar tampak berkisar

antara 300-600nm untuk ditentukan panjang gelombang maksimumnya.

d. Pembuatan kurva kalibrasi

Larutan Remazol Yellow FG dengan variasi 10; 15; 20; dan 30 ppm dibuat dengan

cara mengencerkan masing-masing 10, 15, 20 dan 30 mL larutan Remazol Yellow

FG100 ppm dalam labu ukur 100 mL dengan akuades sampai tanda batas. Masing-

masing larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang

gelombang maksimumnya. Setelah didapatkan hasil absorpsi dari masing-masing


37

larutan, dibuat kurva kalibrasi dengan memplot konsentrasi larutan ( sumbu x) dan

absorbansi ( sumbu y). Pekerjaan ini diulangi 3 kali.

3.4.3.2 Penentuan efektivitas biodegradasi zat warna Remazol Yellow FG

Efektivitas pengolahan dari biodegradasi zat warna Remazol Yellow FG dalam

sistem mikrobial dihitung berdasarkan efektivitas proses yang terjadi, yakni

penurunan persentase kadarRemazol Yellow FG yang terkandung pada saat proses

pengolahan. Hasil pengolahan kurang efektif apabila persentase efektivitas<50%,

efektif 50% - 80%, dan sangat efektif apabila hasil >80%. Penurunkan kadar limbah

zat warna azo ditentukan berdasarkan persamaan berikut (Metcalf dan Eddy, 2003).:

(𝐴−𝐵)
% Efektivitas = x 100% ..........................(1)
𝐴

Dimana, A = kadarRemazol Yellow FG awal (mg/L) dan B = kadar Remazol

Yellow FG akhir.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
38

4.1 Waktu optimum Pertumbuhan Mikroorganisme dalam Suspensi Aktif yang


Ditambahkan dalam Media yang Mengandung Remazol Yellow FG.
Penentuan waktu optimum pertumbuhan mikroorganisme dalam suspensi

aktif diperoleh dari sampel sedimen sungai yang diawali dengan proses pembibitan.

Pembibitan dilakukan dalam larutan media selama 48 jam. Dalam mengamati

pertumbuhan mikroorganisme, parameter yang digunakan yaitu VSS ( Volatile

Suspended Solid) yang merupakan nilai dari konsentrasi padatan tersuspensi yang

menguap dan umum digunakan sebagai perkiraan konsentrasi mikroorganisme dalam

unit penanganan biologi (Suyasa, 2015). Adapun nilai VSS yang diperoleh disajikan

pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Nilai VSS Suspensi Aktif di Sungai Serangan

Waktu perlakuan ( jam ) Nilai VSS ( mg/L )

6 10.400
12 28.000
28 28.000
48 26.000

Pada Tabel 4.1 diperoleh bahwa selama proses pembibitan, nilai VSS tertinggi

yaitu pada jam ke 12 dan 28 yaitu sebesar 28000 mg/L. Berdasarkan nilai VSS yang

diperoleh, diketahui bahwa sumber suspensi aktif mengandung mikroorganisme.

Sedimen Sungai Serangan memiliki pertumbuhan mikroorganisme yang baik. Kurva

pertumbuhan mikroorganisme ditentukan untuk mengetahui kecepatan

pertumbuhanmikroorganisme . Adapun kurva pertumbuhan biomassa suspensi aktif

disajikan pada Gambar 4.1


38
39

Nilai VSS di Sungai Serangan


30000
25000
Nilai VSS (mg/L)

20000
15000
10000
5000
0
6 12 28 48
Waktu Perlakuan (jam)

Gambar 4.1Kurva Nilai VSS pada Sungai Serangan

Dari Gambar 4.1, dapat dilihat bahwa pembibitan selama 48 jam terjadi

peningkatan nilai VSS yang tajam pada waktu 6 sampai 12 jam yaitu dari 10400

menjadi 28000 mg/L. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme, yang

didukung oleh adanya media cair berupa nutrien yang cukup serta adanya aerasi

sebagai sumber suplai oksigen. Aktivitas mikroorganisme ditandai dengan adanya

pembelahan sel sehingga terbentuk sel baru pada sistem suspensi aktif

(Soeparno,1992). Semakin tinggi aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan

bahan organik maka semakin tinggi pula biomassa yang dihasilkan. Peningkatan

biomassa ini menyatakan jumlah bahan organik yang telah didegradasi oleh

mikroorganisme ( Atlas dan Bartha, 1987).

Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan tajam nilai VSS

terjadi pada jam ke 6 sampai jam ke 12. Peningkatan nilai VSS terjadi karena adanya

ketersediaan nutrisi ( bahan organik) yang diberikan serta pemberian oksigen dalam

proses aerasi yang dapat menunjang ketersediaan oksigen terlarut dalam lumpur aktif.
40

Penelitian ini didukung oleh Sudaryati, dkk (2011) bahwa peningkatan pertumbuhan

mikroorganisme dan aktivitas mikroorganisme didukung oleh adanya cadangan

makanan dan proses aerasi serta semua komposisi lumpur yang dibibit mengandung

agen oksidator, sehingga akan memiliki kemampuan mengoksidasi bahan organik,

baik secara kimia dan biologi. Jika dilihat dari kurva pertumbuhan nilai VSS yang

diperoleh jam ke 12, tidak terjadi peningkatan maupun pertumbuhan mikroorganisme

yang disebut dengan fase stasioner. Hal ini disebabkan karena nutrien yang

dibutuhkan oleh mikroorganisme mulai berkurang.Nutrien merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sel mikroorganisme. Pada jam ke 28 sampai

48 terjadi penurunan kurva nilai VSS yang disebut dengan fase kematian. Hal ini

terjadi akibat nutrisi dalam media cair sudah habis, sehingga pada fase ini terjadi

kematian dari mikroorganisme tersebut.

Sumber bibit yang diambil dari sedimen tanah Sungai Serangan yang

merupakan perairan tercemar yang mengandung limbah domestik dan kandungan

bahan organik yang tinggi, yang dapat memberikan suasana yang baik bagi

mikroorganisme dalam melakukan proses metabolisme. Dibuktikan dengan hasil

pengamatan sebagian besar penduduk di sekitar sungai tersebut membuang sampah

atau limbah ke sungai Serangan tersebut.

4.2 Pengaruh Komposisi Bibit Mikroorganisme, Larutan Gula, dan Remazol


Yellow FG dalam Penurunan Kadar Remazol Yellow FG.
41

Pada penelitian ini ditentukan komposisi optimal dalam menurunkan

kadarRemazol Yellow FG dengan membandingkan hasil penurunan kadar Remazol

Yellow FG pada 3 sampel dengan komposisi yang berbeda pada waktu perlakuan 12

jam dengan aerasi. Waktu 12 jam merupakan waktu optimum pertumbuhan

mikroorganisme pada sedimen Sungai Serangan. Dalam penelitian ini, limbah yang

digunakan merupakan limbah dengan konsentrasi 49,126 mg/L. Adapun penurunan

kadar Remazol Yellow FG selama 12 jam dengan komposisi yang berbeda disajikan

pada Tabel 4.2 di bawah ini :

Tabel 4.2 Penurunan Konsentrasi Remazol Yellow FGdengan Komposisi Media


yang Berbeda

Konsentrasi Awal Konsentrasi Akhir Penurunan


( mg/L) ( mg/L) Konsentrasi
Sampel ( mg/L)
Komposisi media I 49,126 34,573 14,553
Komposisi media II 49,126 44,682 4,444
Komposisi media III 49,126 48,462 0,664
Berdasarkan Tabel 4.2 pada komposisi media I terlihat bahwa kadarRemazol Yellow

FGmengalami penurunan yang pesat pada perlakuan 12 jam. Hal ini dikarenakan

kebutuhan nutrien bagi mikroorganisme masih mencukupi untuk berkembang biak

dan mengalami penguraian sehingga pada waktu 12 jam, terjadi penurunan sebesar

14,553 mg/L. Pada komposisi media I merupakan komposisi yang mengandung

glukosa lebih banyak dibandingkan dengan komposisi media II dan III. Pada

komposisi media I terdiri dari 30% glukosa, 65% limbah dan 5%

bibit.Mikroorganisme dengan bantuan kosubstrat seperti glukosa berfungsi sebagai


42

donor elektron ke zat warna azo yang dikatalisis oleh enzim azoreductase sehingga

terjadi pemutusan ikatan azo menghasilkan amina aromatik. Penurunan konsentrasi

yang besar menandakan bakteri mampu mendegradasi zat warna dari awal

konsentrasi 49,126 mg/L menjadi 34,573 mg/L. Proses perombakan zat warna azo

oleh bakteri pada dasarnya merupakan suatu reaksi redoks yang dikatalisis oleh

enzim. Pada proses glikolisis glukosa koenzim nikotinamida adenine dinukleotida

(NAD+) dibebaskan dengan bantuan enzim dehidrogenase yang berperan sebagai

pembawa electron dan terlibat dalam reaksi enzimatik. Pada kondisi tidak ada

oksigen, NADH mengalami reaksi oksidasi menghasilkan NAD+ sedangkan zat

warna azo mengalami reaksi reduksi menghasilkan amina-amina aromatik yang tidak

berwarna.Putusnya ikatan azopada zat warna azo menyebabkan warna menjadi

hilang.Namun, jika terdapat oksigen, maka zat warna azo dan oksigen berkompetisi

sebagai penerima electron dari NADH. Ion hidrogen pada NADH lebih mudah

ditransfer ke oksigen melalui rantai transfer electron. Dengan demikian, pada kondisi

aerobik zat warna azo sulit direduksi sehingga warnanya tetap. Berikut merupakan

perombakan zat warna azo dengan adanya kosubstrat yang dilaporkan oleh Van der

Zee (2002) yang disajikan pada Gambar 4.2

R-N=N-R’ R-NH2+R’-NH2
43

2 NADH
2 NAD+

Dehidrogenas
e

Glukosa Asetil CoA Asetat

Gambar 4.2 Mekanisme perombakan zat warna azo secara direct enzymatic

Pada komposisi media II terlihat bahwa kadarRemazol Yellow FG mengalami

penurunan yang lambat dibandingkan dengan komposisi I pada perlakuan 12 jam.

Pada komposisi II, merupakan komposisi yang terdiri dari 20% glukosa, 75% limbah

dan 5% bibit. Pada komposisi media II, penurunan konsentrasi zat warna sebesar

4,444 mg/L. Hal ini terjadi karena kebutuhan nutrien bagi mikroorganisme kurang

mencukupi untuk berkembang biak sehingga kemampuan mikroorganisme dalam

mendegradasi zat warna Remazol Yellow FG kurang maksimal.

Pada komposisi media III terlihat pada tabel bahwa penurunan konsentrasi

terjadi sangat kecil bahkan dapat dikatakan tidak terjadi penurunan.Komposisi media

III terdiri dari 10% glukosa, 85% limbah, dan 5% bibit. Pada komposisi ini,

penurunan konsentrasi terjadi sebesar 0,664 mg/L. Hal ini terjadi karena nutrien yang

tersedia sangat minim dengan jumlah mikroorganisme yang besar. Hal ini semakin

memperbesar persaingan antar mikroorganisme untuk mendapatkan nutrien, sehingga

kemampuan mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi air limbah Remazol

Yellow FG semakin menurun (Soeparno,1992).


44

Komposisi media I merupakan komposisi optimum untuk menurunkan

kadarRemazol Yellow FGkarna dalam waktu 12 jam dapat menurunkan kadar

Remazol Yellow FG sebesar 14,553 mg/L. Pengaruh glukosa sangat berperan dalam

proses pertumbuhan mikroorganisme. Semakin banyak kandungan glukosa, maka

semakin banyak sumber nutrien bagi mikroorganisme untuk berkembangbiak dan

semakin maksimal mikroorganisme melakukan degradasi terhadap zat warna azo.

4.3 Penurunan Kadar Remazol Yellow FG dan Sistem Mikrobial yang Berperan
dalam Proses Biodegradasi.

4.3.1 Penentuan penurunan kadarRemazol Yellow FG

Pada penelitian ini ditentukan penurunan kadarRemazol Yellow FG dengan

membandingkan hasil penurunan kadar Remazol Yellow FG dengan baku mutu air

limbah domestik yang sudah ditetapkan. Adapun kurva penurunan kadarRemazol

Yellow FG selama 168 jam disajikan pada Gambar 4.3

Penurunan Kadar Limbah Remazol Yellow FG

60
Kadar Remazool Yellow FG (ppm)

50 y1= -0,412x + 50,97


r2= 0,914
40
30
y2= -0,081x + 15,04 y3= -0,008x + 4,948
20 r2=0,979 r2= 1,00
10
0
0 72 84 96 108 120 132 144 168
169
Waktu Perlakuan (jam)

baku mutu

Gambar 4.3 Kurva Kadar Remazol Yellow FG


45

Keterangan : y1 = persamaan garis laju penurunan cepat


y2 = persamaan garis laju penurunan lambat
y3 = persamaan garis laju penurunan stagnan

Berdasarkan Gambar 4.3menunjukkan bahwa karakteristik limbah Remazol

Yellow FG sebelum dan sesudah didegradasi dengan sistem kombinasi anaerobik-

aerobik dalam waktu 168 jam. Konsentrasi awal limbah Remazol Yellow FG sebesar

49,126 mg/L. Setelah diolah selama 168 jam, konsentrasi limbah Remazol Yelow FG

menjadi 3,6039 mg/L.

Pada Gambar 4.3 terjadi proses penurunan konsentrasi limbah Remazol Yellow

FG yang cepat dari jam ke-0 hingga jam ke-96. Dimana terjadi penurunan yang

berlangsung cepat dengan persamaan y = -0,412x + 50,97 dengan koefisien regresi

linier (R2) sebesar 0,914. Koefisien regresi linier menunjukkan tingkat linearitas

persamaan garis yang diperoleh.Nilai slope yang menunjukkan tetapan laju

penurunan konsentrasi limbah Remazol Yellow FG adalah -0,412, dari nilai tersebut

dapat dinyatakan bahwa laju penurunan konsentrasi limbah Remazol Yellow FG dari

jm ke-0 hingga jam ke-96 adalah sebesar 0,412 mg/L/jam.Pada sistem pengolahan

diawali dengan pengolahan secara anaerobik selama 72 jam.Pada penelitian ini,

pengolahan anaerobik merupakan pengolahan pendahuluan untuk mendegradasi

senyawa-senyawa organik kompleks berantai panjang menjadi senyawa yang lebih

sederhana agar mudah terdegradasi dalam kondisi aerob. Pada proses anaerob terjadi

degradasi zat warna yang ditandai dengan perubahan warna dari kuning pekat

menjadi tak berwarna. Penghilangan zat warna terjadi karena pemutusan ikatan

kromofor gugus azo pada zat warna Remazol Yellow FG. Terjadinya penghilangan
46

warna membuat senyawa aromatik berantai panjang ( zat warna) menjadi senyawa

aromatik berantai pendek ( Kun dkk,1992). Hasil penelitian ini sesuai dengan

pernyataan Brohm dan Frowein (1997) yang ditunjukkan pada Gambar 4.4

Gambar 4.4 Biodegradasi Zat Warna Azo dengan Proses Anaerob dan Aerob

Pada jam ke 84 dan jam ke 96 merupakan hasil pengolahan secara aerob, terjadi

degradasi senyawa aromatik berantai pendek yang dihasilkan dari pengolahan

anaerob. Hal ini ditunjukkan oleh konsentrasi dari zat warna Remazol Yellow FG

mengalami penurunan setelah pengolahan.Hal ini juga disebabkan oleh kebutuhan

nutrien bagi mikroorganisme masih mencukupi untuk berkembang biak serta

melaksanakan aktivitas penguraian.

Ketika memasuki waktu pengolahan ke 108 jam hingga 132 jam, laju kurva

penurunan kadarRemazol Yellow FG mulai melambat. Dari Gambar 4.3 terjadi proses

penurunan konsentrasi limbah Remazol Yellow FG dari jam ke 108 sampai 132

dengan persamaan y = -0,081x + 15,04 dengan koefisien regresi linier ( R2) sebesar

0,979. Koefisien regresi linier menunjukkan tingkat linearitas persamaan garis yang
47

diperoleh.Nilai slope yang menunjukkan tetapan laju penurunan konsentrasi limbah

Remazol Yellow FG adalah -0,081 dari nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa laju

penurunan konsentrasi limbah Remazol Yellow FG dari jam ke 108 hingga jam ke

132 adalah sebesar 0,081 mg/L/jam.Hal ini disebabkan kondisi mikroorganisme

mulai kehabisan sumber nutrien dan tidak ada tambahan nutrien lagi sehingga

mikroorganisme tidak bisa melakukan pertumbuhan dan proses penguraian akan

semakin menurun yang disebut dengan keadaan stationary phase.

Pada jam ke 144 sampai jam ke 168 penurunan kurva kadar Remazol Yellow FG

mulai stabil. Dari Gambar 4.3 terjadi proses penurunan konsentrasi limbah Remazol

Yellow FG yang sangat lambat atau bisa dikatakan stagnan. Dimana terjadi

penurunan yang berlansung sangat lambat dengan persamaan y = -0,008x +

4,948dengan koefisien regresi linier (R2) sebesar 1,00. Koefisien regresi linier

menunjukkan tingkat linearitas persamaan garis yang diperoleh.Nilai slopeyang

merupakan tetapan laju penurunan konsentrasi limbah Remazol Yellow FG adalah -

0,008 dari nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa laju penurunan konsentrasi limbah

Remazol Yellow FG dari jam ke 144 hingga jam ke 168 adalah sebesar 0,008

mg/L/jam.Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme sudah tidak mampu

melakukan aktivitasnya dalam menguraikan Remazol Yellow FG akibat kekurangan

nutrien sehingga lama kelamaan akan mencapai endogenous phase yaitu suatu

kondisi mikroorganisme mengalami kematian. Terjadinya penurunan kadar Remazol

Yellow FG disebabkan karena zat warna terdegradasi menjadi senyawa-senyawa

yang lebih sederhana yaitu CO2 dan H2O oleh aktivitas mikroorganisme, dimana
48

terjadi perombakan zat warna azo yang merupakan reaksi redoks. Mikroorganisme

memerlukan kosubstrat berupa senyawa karbon organik seperti glukosa untuk

mempercepat perombakan zat warna azo. Glukosa dalam sistem biologi mengalami

proses glikolisis dengan bantuan enzim dehydrogenase menghasilkan

koenzimnikotinamida adenine dinukleotida (NADH). Koenzim NADH yang

dihasilkan dari proses glikolisis glukosa mentransfer elektron ke zat warna azo yang

dikatalisis oleh enzim reductase. Koenzim NADH mengalami reaksi oksidasi

menghasilkan NAD+ sedangkan zat warna azo mengalami reduksi menghasilkan

senyawa amina aromatik yang tidak berwarna.Selanjutnya pada tahap perombakan

aerob, amina aromatik diuraikan lebih lanjut menghasilkan senyawa yang lebih

sederhana.

Kadar Remazol Yellow FG jika dibandingkan dengan hasil baku mutu air

limbah domestik yang ditentukan, setelah mengalami pengolahan selama 168 jam

secara anaerob dan aerob, kadar Remazol Yellow FG sudah berada dibawah baku

mutu. Kadar Remazol Yellow FG setelah pengolahan sebesar 3,6039 mg/L. Hal ini

menandakan bahwa kemampuan mikroorganisme dalam memutuskan ikatan azo

mampu menurunkan kadar zat warna dibawah baku mutu yang ditetapkan. Hal ini

sesuai dengan Manurung (2004) yang menyatakan bahwa lumpur atau sedimen

sungai berpotensi sebagai bahan lumpur aktif yang mampu menurunkan logam berat

dan limbah domestik dalam limbah cair.

4.3.2 Efektivitas biodegradasi zat warna Remazol Yellow FG dalam sistem


mikrobial
49

Efektivitas dari biodegradasi zat warna Remazol Yellow FG dalam

menurunkan kadarRemazol YellowFG ditunjukkan dalam Tabel 4.3

Tabel 4.3 Efektivitas Biodegradasi dalam Menurunkan Konsentrasi limbah Remazol


Yellow FG

Waktu Konsentrasi Konsentrasi akhir Efektivitas ( % )


( jam) Awal ( mg/L) Rata-rata( mg/L)
0 49,126 49,126 0
72 49,126 28,408 42,17
84 49,126 16,875 65,65
96 49,126 9,533 80,59
108 49,126 6,353 87,07
120 49,126 5,137 89,54
132 49,126 4,404 91,03
144 49,126 3,796 92,27
169 49,126 3,604 92,66

Pada Tabel 4.3 efektivitas dari biodegradasi zat warna Remazol Yellow FG dalam

sistem mikrobial terbesar pada saat waktu pengolahan jam ke 168. Hal ini

menunjukkan bahwa pada waktu jam ke 168 mikroorganisme dapat bekerja optimum

dalam mendegradasi limbah zat warna Remazol Yellow FG.

4.3.3 Identifikasi mikroorganisme yang berperan dalam menurunkan


kadarRemazol Yellow FG

Pada tahapan penelitian ini dilakukan identifikasi bakteri pada air saat

pengolahan secara aerob di awal perlakuan pada jam ke 84, pada jam ke 120 dan pada

jam ke 168. Menurut Chojnacka (2010) Bakteri yang diisolasi dari lingkungan

tercemar zat warna tekstil sangat berpotensi sebagai agen biodegradasi zat warna,

sebab bakteri tersebut akan memiliki daya resistensi dan toleransi pada zat warna

yang ada di sekitarnya.


50

Dari hasil uji identifikasi diperoleh hasil jumlah total mikroorganisme sebagai

berikut :

Tabel 4.4 Hasil Identifikasi Jumlah Total Mikroorganisme

Kode Sampel TPC( Total Plate Count ) (


CFU/mL)
I 2,84 x 102
II 1,24 x 102
III 2,08 x 102

Ket :
I : Sampel air awal pengolahan biodegradasi
II : Sampel air pertengahan pengolahan biodegradasi
III : Sampel air akhir pengolahan biodegradasi

Dari Tabel 4.4 diketahui bahwa TPC untuk sampel I, II, III secara berturut-

turut adalah 2,84x102CFU/mL, 1,24x102CFU/mL, 2,08x102CFU/mL. TPC ( Total

Plate Count ) merupakan jumlah total mikroorganisme. Pada sampel I, nilai TPC

lebih besar dari sampel II dan III dimungkinkan karena pada sampel I masih tersedia

nutrien yang berlimpah, sehingga pertumbuhan mikroorganisme menjadi maksimal.

Pada sampel ke II yang merupakan sampel air yang diambil pada pertengahan

waktu pengolahan, nilai TPC mengalami penurunan.Hal ini dikarenakan

mikroorganisme telah mengalami kontak dengan zat warna sehingga pertumbuhan

mikroorganisme terganggu. Selain itu, kemungkinan kompetisi antar mikroorganisme

untuk mendapatkan nutrien telah berlangsung sehingga dengan semakin

berkurangnya nutrien mengakibatkan mikroorganisme yang kurang mampu

berkompetisi akan mati.

Pada sampel III, yang merupakan sampel air yang diambil pada akhir

pengolahan, terlihat nilai TPC meningkat. Hal ini dikarenakan mikroorganisme yang
51

mampu berkompetisi dan bertahan memperoleh sumber energi kembali dari proses

penguraian oleh senyawa-senyawa yang terjadi pada proses biodegradasi, sehingga

nilai TPC mengalami kenaikan. Hasil identifikasi dari TPC (Total Plate Count )

disajikan pada Gambar 4.5

Gambar 4.5Hasil identifikasi TPC (Total Plate Count )

Adapun hasil identifikasi bentuk sel disajikan pada Gambar 4.6 dan Gambar 4.7

Staphylococcus sp

Gambar 4.6 Hasil Pewarnaan Staphylococcus sp


52

Bacillus sp

Gambar 4.7 Hasil Pewarnaan Bacillus sp

Dari Gambar 4.6 dan Gambar 4.7 diketahui bahwa bakteri yang terdapat pada

proses biodegradasi adalah Bacillus sp, Coliform, Pseudomonas sp, Staphylococcus

sp. Bakteri-bakteri inilah mampu mendegradasi limbah zat warna Remazol Yellow

FG.

Bakteri Bacillus sp merupakan genus dari Bacillus. Bakteri Bacillus sp dapat

digolongkan ke dalam bakteri sel berbentuk batang mempunyai ukuran 0,3-2,2µm x

1,27-7,0 µm, dapat bergerak (motil), membentuk endospore, tidak lebih dari satu

dalam satu sel sporangium, gram positif, aerobic dan anaerobic fakultatif, serta

umumnya dijumpai di tanah ( Waluyo, 2007).

Bakteri Staphylococcus sp merupakan genus dari Staphylococcus. Bakteri ini

berbentuk bulat berdiameter 0,7 – 1,2 µm. Tidak membentuk spora dan tidak

mempunyai flagella. Letak sel satu sama lain yang karakteristik bergerombol seperti

buah anggur (Waluyo, 2007).

Bakteri Coliform merupakan bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik

lain. Bakteri ini berbentuk batang pendek, Gram negative, aerob dan fakultatif
53

anaerob, tidak membentuk spora. Contoh Bakteri Coliform adalah Escherichia Coli

dan Enterobacter aerogenes( Waluyo,2007).

Bakteri Pseudomonas sp merupakan bakteri yang tersebar luas di alam, sifat

saprofit di air dan tanah. Bakteri ini berbentuk batang, Gram negative, ukuran 0,6 x 2

µm, motil, tunggal (Waluyo, 2007)

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik suatu

kesimpulan sebagai berikut :

1. Waktu pembibitansuspensi aktif optimum yaitu 12 jam dengan perolehan nilai

VSS tertinggi sebesar 28000 mg/L.


54

2. Komposisi terbaik dalam menurunkan kadar Remazol Yellow FGyaitu

Komposisi media I yang terdiri dari 30% larutan glukosa, 65% limbah

Remazol Yeellow FG, dan 5% bibit dari suspensi aktif.

3. Laju penurunan kadar Remazol Yellow FG terjadi sangat cepat pada jam ke 0

sampai 96 jam. Laju penurunan kadar Remazol Yellow FG mulai lambat pada

jam ke 108 sampai 168 jam sehingga memiliki efektivitas sebesar 92,66 %.

4. Bakteri yang dominan berperan dalam menurunkan kadar Remazol Yellow

FG teridentifikasi yaitu Bacillus sp, Coliform, Pseudomonas sp dan

Staphylococcus sp. Jumlah koloni di awal pengolahan sebesar 2,84 x

102CFU/mL, diwaktu pertengahan pengolahan diidentifikasi sebesar

1,24x102CFU/mL, dan di akhir proses degradasi diperoleh sebesar

2,08x102CFU/mL.

54
55

5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa hal yang menarik

untuk lebih lanjut, antara lain

1. Perlu dilakukan penelitian menggunakan limbah zat warna langsung dari

industri tekstil.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai nilai VSS pada rentang

waktu 0 sampai 12 jam.


56

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Edisi 1.Yogyakarta. Andi Offset.

Allaby,M., 1997, Dictionary of Envoriment, The Camelot Press Ltd, Southompson

Al-Kdasi, A., Saed, K., and Guan, C. T, 2004, Treatment of Textile Wastewater by
Advanced Oxidation Process, A Review, International Journal, 6: 222-230

Andayani W, Sumartono A, 1999, Aplikasi radiasi pengion dalam penguraian limbah


industry I. Radiolisis larutan standar zatwarna reaktif cibacron violet 2r,
Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi-Batan, Majalah Batan Vol.XXXII No 1,
Batan.

Arifin, 2008, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan,


Jurnal:http://www.pontianakpost.com, 13 Desember 2016.

Atlas, R. M and R. Bartha, 1987, Microbial Ecology :Fundamentals and


Applications, 2nd ed, Menlo Park : The Benjamin/ Cummings Pibl, Co., Inc.

Brown, D. dan Hamburger, B., 1987, The degradation of dyestuffs.investigation of


their ultimate degradability, Chemosphere16:1539–1553

Chojnacka, K.2010. Biosorption and nioaccumulation, The prospects for practical


applications. Environment International, 36, 299-307.

Day, R.A. & Underwood, A.L., 1999, Analisis Kimia Kuantitatif Edisi 6, Erlangga,
Jakarta

Ewing, G.W., 1985, Instrumental Methods of Chemical Analysis , McGraw-Hill Book


Co., Singapore

Ghalib, P., 1994, Kimia Lingkungan, Fak.Farmasi, Universitas Gajah Mada,


Yogyakarta

Ginting, P, 2007, Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri, Yrama


Widya, Bandung.

Heaton, Alan.,The Chemical Industry, Second eition, Blackie Academic and


Profesional, Chapman & Hal London, 1994.

Indrawati, 2008, Dekolorasi Larutan Remazol Brilliant Blue Menggunakan Ozon


Hasil Elektrolisis, Makalah Penelitian UNDIP, Semarang.
57

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Keputusan 51 Tahun 1995


tentang Baku Mutu Air Limbah Industri

Khopkar, S.M, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, Jakarta : UI Press.

Kirk dan Othmer, 1992, Encyclopedia of Chemical Technology, 4 th ed, John Willey
and Sons. New York

Kristianto, P., 1995, Ekologi Industri, Penerbit IKAPI, Yogyakarta

Kristanto, Philip, 2012, Ekologi Industri Edisi Kedua, Andi, Yogyakarta.

Manurung, Renita.,2004, Perombakan Zat Warna Azo Reaktif Secara Anaerob-


Aerob, Jurusan Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara

Metcalf And Eddy, 2003, Wastewater Engineering, Treatment and Reuse, Fourth
Edition, McGraw Hill Higher Education, New York.

Mulja, M & Suharman, 1995, Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga University


Press.

Nirmasari, A., 2008, Pengaruh pH Terhadap Elektrodekolorisasi Zat Warna


Remazol Black B Dengan Elektroda PbO2-, Makalah Penelitian UNDIP,
Semarang.

Pavlostathis, G., 2001, Biological Decolorization and Reuse of Spent Reactive


Dyebaths, Annual Report FY 01

Priyo, A. Purwanto, W., dan Pramono E.P., 1999, Daur Ualng Limbah Hasil
Pewarnaan Indsutri Tesktil, Jurnal Sains and Teknology Indonesia, Vol(1). 4

Rahmacandran, Ganesan, P., Hariharan, S. 2009. “Decolorization of Textile Effluent-


An Overview”.EI (I) Journal, Volume 90

Rasjid D, G.A. Kosoenarno, Astini S, Arifin L., 1976, Teknologi Pengelantangan,


Pencelupan, dan Pencapan, Institut Teknologi Tekstil. Bandung

Sastrawidana, I D. K., 2009, Isolasi bakteri dari Lumpur Limbah Tekstil dan
Aplikasinya untuk Pengolahan Limbah Tekstil Menggunakan System
Kombinasi Anaerob-Aerob, Disertasi Doktor Ilmu Lingkungan(Spesialisasi
Pencemaran Lingkungan), IPB: Bogor.

Sastrohamidjojo, H, 2001, Dasar-Dasar Spektroskopi, Yogyakarta : Liberty

Siregar, Sakti. A, 2005, Instalasi Pengolahan Air Limbah, Kanisius, Yogyakarta.


58

Soeparno, 1992, Ilmu dan Teknologi Daging, Gajah Mada University, Yogyakarta.

Sudaryati, YS., Rahayu, SH., Setianingrum, N., Niola, E, 2011, Kemampuan Bacillus
licheniformis dalam Memproduksi Enzim Protease yang Bersifat Alkalin dan
Termofilik, Artikel, Media Litbang Kesehatan Volume 21 Nomor 2 Tahun
2011.

Sugiharto, 1987, Dasar – Dasar Pengolahan Air Limbah, Universitas Indonesia,


Jakarta

Suyasa, Wayan Budiarsa, 2015, Pencemaran Air dan Pengolahan Air Limbah,
Udayana University Press, Denpasar.

Syahdiash, Aug. 16, 2008, Siklus Air, <http://syahdiashare.com/siklus-air.html>, 8-


06-2016

Van der Zee, 2002, Anaerobic Azo Dye Reduction, Thesis Wageningen University,
Netherlands

Waluyo, L., 2007. Mikrobiologi Umum. UPT Penerbitan UMM. Malang.

Zain, Z., 2005, Pengolahan Limbah Pencelupan dengan Sistem Saringan Pasir-
Tanaman ( SPT), Skripsi, Universitas Udayana, Denpasar

Zille, A., 2005, Laccase Reaction for Textile Apllication, Disertasi, Textile
Department Universidade do
59

LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja

1.1 Penentuanwaktu optimum pertumbuhan mikroorganisme

1,0gram sampel tanah + 0,5gram KH2PO4 +0,5gram K2HPO4 +


0,5 gram NH4NO3 + 0,1 gram MgSO4.7H2O + 1,0 gram Sodium
Benzoat + 0,01 gram Remazol Yellow FG.

- Dimasukkan ke dalam beaker 2L

- Ditambahkan 1000mL akuades

Media Selektif

Diaduk sampai larut

Ditumbuhkan

- Diaerasi selama 48 jam

- Ditutup dengan kain kasa

Bibit Mikroorganisme

VSS diamati selama waktu sampling 6,


12, 28 dan 48jam

Waktu Optimum
60

1.2 Pengukuran Biomassa

Larutan bibit

- Diambil dengan pipet volume sebanyak 25 mL


- Disaring menggunakan kertas saring

Kertas saring berisi endapan

Dimasukan kedalam cawan bebas VSS yang


telah ditimbang sebelumnya

Cawan dan kertas saring berisi endapan

- Dikeringkan selama 3 jam di dalam oven bertemperatur


105°𝐶
- Didinginkan dalam desikator dan ditimbangberatnya
sebagai X gram

Cawan dan kertas saring berisi endapan

- Dimasukan ke dalam tanur dengan temperatur 600°C


selama 2 jam sampai menjadi abu
- Didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya
- Dihitung VSS

Nilai VSS
61

1.3 Penentuan pengaruh komposisi bibit, larutan gula dan limbah Remazol Yellow

FG dalam proses biodegradasi

Bibit Larutan gula Remazol Yellow


Mikroorganisme fg49,126 ppm

Campuran dikomposisikan

- Komposisi I berisi 150 mL bibit mikrooganisme + 900 mL larutan


gula + 1950 mL larutan Remazol Yellow FG 50 ppm
- Komposisi II berisi 150 mL bibit mikrooganisme + 600 mL larutan
gula + 2250 mL larutan Remazol Yellow FG 50 ppm
- Komposisi III berisi 150 mL bibit mikrooganisme + 300 mL larutan
gula + 2550 mL larutan Remazol Yellow FG 50 ppm
-

Ditumbuhkan

- Diaerasi

- Diamati selama waktu optimum


Konsentrasi Remazol
Yellow FG

Komposisi optimum
ditentukan
62

1.4 Penentuan laju penurunan kadarRemazol Yellow FG, dan sistem mikrobial
yang berperan dalam proses biodegradasinya.

3,9 Liter Remazol YellowFG 49,126 ppm + 1 L Suspensi


Aktif dimasukkan ke dalam pipa paralon berukuranpanjang
90 dan diameter 12 cm

Ditutup selama 72 jam

• Ditambahkan
Konsentrasi limbah larutan
pengolahan awalremazol
(anaerob)ditentukan dengan spektrofotometer
10ppm UV-Vis

• Disiapkan wadah bervolume 10 L

• Ditambahkan larutan dengan komposisi optimum


optimum 10ppm
Limbah Remazol YellowFG 49,126 ppm 3,9
Liter + 1,8 Liter larutan gula + media
mengandung bibit 300 mL

Mikroorganisme ditumbuhkan

• Diaerasi selama 96 jam

Pengukuran Konsentrasi akhir Remazol Yellow


FGdilakukan pada 84, 96, 108, 120, 132, 144, dan 169
jam

Konsentrasi Remazol Yellow FG diukur dengan


Spektrofotometer UV-Vis
Dimasukkan kedalam persamaan
%efektivitas
Persentase Efektivitas (%E)

Dianalisis secara biologi


Jenis dan koloni
Mikroorganisme
63

1.5 Penentuan Kadar Zat Warna Remazol Yellow FG


A. Pembuatan Larutan Induk Zat Warna

1 gram remazol yellow fg

Dilarutkan dengan akuades di dalam


labu ukur 1000 mL sampai tanda batas.

Larutan induk 1000 ppm

B. Pembuatan larutan standar

Larutan induk 1000 ppm

- - Dipipet 10 mL
- - Dipindahkan kedalam labu ukur 100 mL
- Ditambahkan aquades hingga tanda batas
-

Konsentrasi 100 ppm

- Dipipet masing-masing sebanyak 10 mL, 15 mL, 20 mL, dan 30


mL
- Dipindahkan kedalam labu ukur 100 mL
- Ditambahkan aquades hingga tanda batas

Larutan standar dengan konsentrasi


10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, dan

30 ppm
64

C. Penentuan panjang gelombang maksimum zat warnaRemazol Yellow FG

Larutan standar 15 ppm

Larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis


pada panjang gelombang antara 300-600 nm
-
Panjang gelombang maksimum
Remazol Yellow FG

D. Penentuan Kurva Kalibrasi

Larutan standar 10 ppm, 15


ppm, 20 ppm,30 pm

- Diukur absorbansi larutan standar 10 ppm, 15 ppm, 20


ppm, 30 ppm pada panjang gelombang maksimum
- Diplot konsentrasi dan absorbansi

-
Kurva kalibrasi
-

Ditentukan persamaan regresi liniernya

Kadar Remazol Yellow FG


65

Lampiran 2. Pembuatan larutan

2.1 Pembuatan Larutan Remazol Yellow FG 10, 15, 20, 30 ppm

1. Pembuatan larutan induk

Larutan induk Remazol Yellow FG dibuat dengan cara melarutkan 1 gram

serbuk Remazol Yellow FG dengan akuades sebanyak 250 ml hingga larut

kemudian ditambahkan dengan akuades dalam labu ukur 1 liter hingga tanda

batas sehingga diperoleh larutan Remazol Yellow FG 1000 ppm sebanyak 1000

ml.

2. Pembuatan larutan standar

Larutan standar dibuat dari larutan induk 1000 ppm yang diencerkan menjadi

100 ppm sebanyak 100 mL.

Diketahui :

V2 = volume larutan pengenceran

M1 = konsentrasi larutan yang diencerkan

M2 = konsentrasi larutan pengenceran

Ditanya :

V1 = volume larutan standar yang diencerkan

Jawab :

Rumus pengenceran : M1 x V1 = M2 x V2

1000 ppm x V1 = 100 ppm x 100 mL


100 𝑝𝑝𝑚 𝑥 100 𝑚𝐿
V1 = 1000 𝑝𝑝𝑚

V1 = 10 mL
66

Kemudian, 10 ml larutan Remazol Yellow FG 1000 mL diencerkan dengan

akuades menggunakan labu takar 100 mL hingga tanda batas. Sehingga diperoleh

larutan Remazol Yellow FG 100 ppm sebanyak 100 ml. Larutan 100 ppm tersebut

digunakan sebagai larutan induk untuk membuat larutan standar. Dengan cara yang

sama dibuat larutan dengan konsentrasi 10; 15; 20; 30 ppm dengan volume akhir

larutan 100 ml sebagai berikut :

No Konsentrasi larutan (ppm) Jumlah larutan yang dipipet (mL)

1 10 10
2 15 15
3 20 20
4 30 30

2.2 Pembuatan Larutan gula pasir

Sebanyak 100 gram gula pasir ditimbang kemudian dilarutkan dengan akuades

sebanyak 1000 mL dalam gelas beaker 2 L.


67

Lampiran 3.Perhitungan Biomassa (Nilai VSS)

a. Sedimen Tanah Sungai Serangan

Diketahui :

Berat Cawan dan residu sebelum pembakaran 6000 C (x) = 35,65 gram

Berat Cawan dan residu sesudah pembakaran 6000 C (y) = 35,39 gram

Volume sampel = 25 mL

Ditanya : nilai VSS = ….?

Jawab :

(35,65−35,39) 𝑔𝑟𝑎𝑚 103


Nilai VSS = × 10−3
25 𝑚𝐿

(35,65−35,39) 𝑔𝑟𝑎𝑚
= x 106 g/ml
25 𝑚𝐿

(0,26) 𝑚𝑔
= x 106 g/ml
25 𝐿

= 10400 mg/L

Dengan cara yang sama, maka diperoleh data sebagai berikut :


Waktu ( Jam) Berat cawan & Berat cawan & VSS VSS rata-rata
residu sebelum residu sebelum ( mg/L) (mg/L)
pembakaran 6000 pembakaran
C (gram) 6000 C (gram)
35,65 35,39 10400
6 35,65 35,39 10400 10400
35,65 35,39 10400
34,36 33,66 28000
12 34,36 33,66 28000 28000
34,36 33,66 28000
34,44 33,74 28000
28 34,44 33,74 28000 28000
34,44 33,74 28000
34,40 33,74 26000
48 34,40 33,74 26000 26000
34,40 33,74 26000
68

Lampiran 4.Perhitungan Persamaan Linier dan Kurva Kalibrasi

4.1 Penentuan Panjang Gelmbang Maksimum Larutan Standar Remazol Yellow


FG

Panjang gelombang (nm) Absorbansi


576,20 0,0010
555,20 0,0012
546,00 0,0012
415,40 0,3844

Panjang gelombang maksimum yang diperoleh adalah 415,40dengan nilai

absorbansi 0,3844. Kemudian absorbansi sampel dan larutan standar diukur pada

panjang gelombang tersebut.


69

4.2 Data Absorbansi Hasil Pengukuran Larutan Standar Remazol Yellow FG

Konsentrasi ( ppm) Absorbansi


0 0,0000
10 0,2564
15 0,3847
20 0,5106
30 0,7673

4.3 Perhitungan Persamaan Linier dari Larutan Standar

Dengan menggunakan persamaan regresi y = bx + a

Dimana y = Absorbansi larutan yanb diukur


x = Konsentrasi larutan standar yang diukur
b = Kemiringan (slope)
a = Titik potong pada sumbu y (intersep)
r = Koefisien korelasi
Dengan :

𝑛 ∑𝑥𝑦−∑ 𝑥 ∑ 𝑦
b = 𝑛 ∑ 𝑥 2 − (∑ 𝑥)2

∑𝑦 −𝑏 ∑ 𝑥
a= 𝑛

𝑛 ∑ 𝑥𝑦 − ∑𝑥∑𝑦
r=
√{𝑛 ∑𝑥 2 −(∑𝑥)2 }{𝑛 ∑𝑦 2 −(∑𝑦)2 }

Nilai b, a, dan r dapat dihitung sebagai berikut :

X Y X2 Y2 Xy
0 0,0000 0 0,0000 0,0000
10 0,2564 100 0,0657 2,5640
15 0,3847 225 0,1480 5,7705
20 0,5106 400 0,2607 10,212
30 0,7673 900 0,5887 23,019
∑x = 75 ∑y = 1,919 2
∑𝑥 = 1625 2
∑𝑦 = 1,0631 ∑xy = 41,5655

𝑛 ∑𝑥𝑦−∑ 𝑥 ∑ 𝑦
b=
𝑛 ∑ 𝑥 2 − (∑ 𝑥)2

5 (41,5655) −(75)(1,919)
= 5 (1625)−(5625)
70

20,8275 − 143,925
= 8125 −5625

63,9025
= 2500

= 0,0255

∑𝑦 −𝑏 ∑ 𝑥
a= 𝑛

1,919−0,0255(75)
=
5

1,919−1,9125
=
5

0,0065
= 5

= 0,0013

𝑛 ∑ 𝑥𝑦 − ∑𝑥∑𝑦
r=
√{𝑛 ∑𝑥 2 −(∑𝑥)2 }{𝑛 ∑𝑦 2 −(∑𝑦)2 }

5 (41,5655)−(75)(1,919)
=
√(5 (1625)−5625)(5 (1,0631)−3,6825)

207,8275−143,925
=
√(8125−5625)(5,3155−3,6825)

63,9025
=
√(2500)(1,633)

63,9025
=(
√4082,5

63,9025
= 63,8944

= 1,0000

Jadi persamaan regresi larutan standar Remazol Yellow FG adalah y = 0,0255

x + 0,0013 dengan r = 1,0000


71

4.4 Gambar Kurva Standar Remazol Yellow FG

Kurva Kalibrasi
0.9
0.8 y = 0,0255x + 0,0013
0.7 R² = 1,0000
0.6
Absorbansi

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Konsentrasi ( ppm)
72

Lampiran 5. Hasil Pengukuran Kadar Remazol Yellow FG pada 3 komposisi


yang berbeda

Dengan persamaan regresi linier yang diperoleh y = 0,0255 x + 0,0013, maka

kadar limbah Remazol Yellow FGpada 3 sampel dengan komposisi yang berbeda

adalah sebagai berikut :

Diketahui : y = 0,0255 x + 0,0013

y = 0,8829

Ditanya : x ( kadar limbah Remazol Yellow FG) mg/L…?

Jawab :

y = 0,0255 x + 0,0013
0,8829 = 0,0255 x + 0,0013
0,0255x = 0,8829 – 0,0013
0,8816
x = = 34,573mg/L
0,0255

Jadi dengan absorbansi sebesar 0,8829, maka kadar limbah Remazol Yellow FG

adalah sebesar 34,573 mg/L

Dengan cara yang sama, maka diperoleh tabel kadar limbah Remazol yellow FG

sebagai berikut :

No Sampel Absorbansi Konsentrasi Konsentrasi rata-rata


( mg/L) ( mg/L)
Komposisi I (bibit 0,8829 34,5725
1 5% + glukosa 30% 0,8829 34,5725 34,573
+ limbah 65%) 0,8829 34,5725
Komposisi I (bibit 1,1407 44,6824
2 5% + glukosa 20% 1,1407 44,6824 44,682
+ limbah 75%) 1,1407 44,6824
Komposisi I (bibit 1,2371 48,4627
3 5% + glukosa 10% 1,2371 48,4627 48,463
+ limbah 85%) 1,2371 48,4627
73

Lampiran 6. Pengukuran kadarRemazol Yellow FG selama proses biodegradasi

Dengan persamaan regresi linier yang diperoleh y = 0.0255 x + 0.0013, maka kadar

limbah Remazol Yellow FGadalah sebagai berikut :

Diketahui : y = 0,0255 x + 0,0013

y = 0,7257

Ditanya : x ( kadar limbah Remazol Yellow FG) mg/L…?

Jawab :

y = 0,0255 x + 0,0013
0,7257 = 0,0255 x + 0,0013
0,0255x = 0,7257 – 0,0013
0,7244
x = 0,0255

x = 28,408 mg/L
Jadi dengan absorbansi sebesar 0,7257, maka kadar limbah Remazol Yellow FG

adalah sebesar 28,408 mg/L

Dengan cara yang sama, maka diperoleh tabel kadar limbah Remazol yellow FG

sebagai berikut :

Konsentrasi
No Sampel ( Jam) Absorbansi Konsentrasi rata-rata
( mg/L) ( mg/L)
1,2539 49,126
1 0 1,2539 49,126 49,126
1,2539 49,126
0,7257 28,408
2 72 0,7257 28,408 28,408
0,7257 28,408
0,4316 16,875
3 84 0,4316 16,875 16,875
0,4316 16,875
74

0,2444 9,533
4 96 0,2444 9,533 9,533
0,2444 9,533
0,1633 6,353
5 108 0,1633 6,353 6,353
0,1633 6,353
0,1323 5,137
6 120 0,1323 5,137 5,137
0,1323 5,137
0,1136 4,404
7 132 0,1136 4,404 4,404
0,1136 4,404
0,0955 3,796
8 144 0,0955 3,796 3,796
0,0955 3,796
0,0932 3,604
9 168 0,0932 3,604 3,604
0,0932 3,604
75

Lampiran 7. Penentuan Efektivitas Biodegradasi Remazol Yellow FG

Diketahui :

Konsentrasi remazol awal (A) = 49,126 ppm

Konsentrasi remazol akhir (B) = 28,408 ppm

Ditanya : % efektivitas ?

Jawab :

(𝐴−𝐵)
% efektivitas = × 100%
𝐴

49,126
= 28,408 × 100%

= 42,17 %

Dengan cara yang sama, maka diperoleh tabel efektivitas biodegradasi dari waktu 0

jam hingga 168 jam sebagai berikut :

Waktu Konsentrasi Awal Konsentrasi Akhir Efektivitas


( Jam) ( mg/L) ( mg/L) (%)
0 49,126 49,126 0
72 49,126 28,408 42,17
84 49,126 16,875 65,65
96 49,126 9,533 80,59
108 49,126 6,353 87,07
120 49,126 5,137 89,54
132 49,126 4,404 91,03
144 49,126 3,796 92,27
168 49,126 3,604 92,66
76

Lampiran 8. Dokumentasi

Lokasi Pengambilan Sampel

Dokumentasi VSS ( Volatile Suspended Solid )

Dokumentasi Penentuan Komposisi Optimum


77

Dokumentasi pada saat Biodegradasi


78

Anda mungkin juga menyukai