Anda di halaman 1dari 10

I.

Pendahuluan

AKDR merupakan kepanjangan dari alat kontrasepsi dalam rahim atau IUD (Intra
Uterine Device). IUD merupakan metode kontrasepsi reversibel, penggunaannya di Amerika
sekitar 7,1% dan 1,3% pada usia 15 hingga 44 tahun pada Tahun 2002. AKDR post plasenta
adalah AKDR yang dipasang dalam waktu 10 menit setelah lepasnya plasenta pada persalinan
pervaginam. Hal ini mempunyai beberapa alasan untuk dilakukan, yaitu (a) ovulasi setelah
kehamilan tidak dapat diprediksi dan CuT merupakan kontrasepsi yang berguna saat
puerperium, (b) wanita memiliki motivasi yang tinggi untuk menerima kontrasepsi dan
mendapatkan insersi IUD di pusat kesehatan, (c) Di Negara berkembang, persalinan mungkin
merupakan waktu dimana wanita sehat datang dan bertemu dengan paramedis dan
kesempatan untuk memberikan nasihat tentang kontrasepsi menjadi tidak jelas. Program
keluarga berencana dapat menjadi kesempatan yang bagus pada masa antepartum untuk
konseling dan masa post partum untuk insersi IUD.1,2,3

Insersi AKDR post plasenta telah direkomedasikan oleh WHO sebagai metode yang
aman dan efektif. Masa post plasenta merupakan masa dimana wanita memiliki motivasi
tinggi dan merupakan metode efektif dmana anak dapat dirawat dengan pikiran yang relax
tanpa adanya kecemasan untuk hamil. Insersi alat kontrasepsi dalam rahim (akdr) selama
masa ini merupakan metode yang ideal untuk beberapa wanita, karena tidak mempengaruhi
pemberian air susu ibu (ASI).4,5

II. Jenis

Ada dua jenis IUD, yaitu IUD dengan tembaga disekeliling gagangnya seperti copper
T 380 A dan IUD yang dengan silinder yang mengandung progestogen seperti
levonorgestrel.6

T380 A merupakan alat IUD yang direkomendasikan oleh WHO dengan bentuk
seperti T terbuat dari polyethylene densitas rendah dengan barium sulfat ditambahkan untuk
opasitas X-ray. Alat ini memiliki panjang 36 mm dan diameter 32 mm dengan bola pastik
pada bagian bawah tangkai vertikal untuk mencegah terjadinya penetrasi servikal. Sebuah
lubang kecil terdapat pada tangkai vertikalnya dekat pertemuan dengan kedua lengan
horizontalnya yang bertindak sebagai jangkar untuk kawat tembaga. IUD memiliki kerah
tembaga pada kedua tangan horizontal. Setiap kerah tersebut memiliki permukaan 35mm 2.
Kawat tembaga dengan permukaan 310 mm2 berikatan disekitar tangkai vertikal dan

1
mengandung 380 mm2 tembaga. Dua benang monofilamen melekat pada tangan vertikal. T
380 A dapat bertahan hingga 10 tahun, bahkan ada literature yang mengatakan hingga 12
tahun.6,7

Mekanisme pastinya IUD ini masih belum diketahui, meskipun beberapa teori
mengatakan aktifitas spermisidal, mengganggu perkembangan ovum, dan aktivitas
endometrium yang menyebabkan fagositosis sperma dan mengganggu migrasi sperma atau
kapasitas. Angka kegagalan IUD ini sekitar 0,6 kehamilan per 100 wanita pertahun.6

Gambar 1. IUD tembaga8

Levonorgestrel-releasing intrauterine device atau LNG-20 IUD memiliki bentuk


seperti T dengan tabung di tangan vertikalnya yang mengeluarkan progestin levonorgestrel
tiap harinya. Dua benang monofilamen melekat pada tangan vertikalnya. Perbedaan IUD ini
dengan T 380 A adalah LNG-20 IUD dapat bertahan hingga 5 tahun. Mekanisme primernya
adalah membuat mucus servikal menjadi tebal yang mengganggu aktifitas dari sperma dan
mengubah cairan uterotubal sehingga mengganggu migrasi sperma. IUD ini menyebabkan
anovulasi sekitar 10-15% siklus dan mengganggu karakteristik dari endometrium untuk
menurunkan implantasi. Angka kehamilan sekitar 0,1 kehamilan per 100 wanita pada tahun
pertama dan angka kumulatif kehamilan menjadi 0,7 kehamilan per 100 wanita setelah 5
tahun.6

2
Gambar 2. IUD hormonal9

III. Cara Pemasangan IUD

Cara pemasangan IUD bisa didapatkan pada pembungkus IUD. Berikut adalah cara
pemasangan IUD: 10

 Dilakukan pemeriksaan bimanual terlebih dahulu untuk memeriksa apakah ada


abnormalitas pada organ pelvis (terutama adanya kehamilan dan infeksi pada pelvis)
dan untuk menentukan posisi uterus. IUD dapat di insersi dalam uterus pada berbagai
posisi, tetapi perforasi biasa terjadi pada uterus dengan posisi retroverted.
 Masukkan speculum, kemudian bersihkan serviks dengan menggunakan cairan
antisepptik.
 Pegang bibir anterior serviks dengan menggunakan tenakulum dan tentukan arah
uterus dan kedalaman kavitasnya. Untuk membuat insersi lebih nyaman, dapat
diinjeksi 1 ml lidokain 1% (Xylocaine) kedalam serviks sebelum menggunakan
tenakulum dan 5 ml kedalam paraservikal pada arah jam 4 dan jam 8.
 Kemudian memasukkan IUD kedalam introduser dalam kondisi steril.
 Dengan daya tarik dari tenakulum, masukkan introduser IUD melalui kanalis serviks
kedalam uterus.
 Kemudian lepaskan benang IUD dari introduser dan tarik alat pemasuknya, sehingga
IUD tetap berada di uterus.
 Potong benangnya sekitar 1 inci.

3
Gambar. Cara pemasangan IUD5

IV. Mekanisme Kerja

Mekanisme IUD dapat diklasifikasikan menjadi setelah dan sebelum fertilisasi.


Mekanisme prefertilisasi yang mungkin meliputi penghambatan migrasi sperma dan viabilitas
dari serviks, endometrium dan tuba; memperlambat atau mempercepat transpor ovum melalui
tuba falopi; dan merusak atau menghancurkan ovum sebelum fertilisasi. Bukti secara
hormonal mengindikasikan bahwa IUD tidak menghambat ovulasi secara umum. Mayoritas
wanita menggunakan IUD hormonal aktif yang menurunkan atau mengeliminasi menstruasi
masih memiliki siklus ovulatori yang diukur menggunakan pengukuran secara hormonal dan
ultrasonography follicular. Mekanisme post fertilisasi yang mungkin terjadi meliputi

4
perlambatan atau percepatan transpor embrio awal melalui tuba falopi, merusak atau
menghancurkan embrio awal sebelum mencapai uterus dan mencegah terjadinya implantasi.10

Mekanisme prefertilisasi dan postfertilisasi tidak beroperasi secara bersamaan.


Mekanisme postfertilisasi terjadi hanya jika mekanisme prefertilisasi tidak mencegah
fertilisasi. Meskipun mekanisme prefertilisasi terjadi pada sebagian besar siklus, hal itu tidak
cukup untuk mencapai efisasi IUD dalam mencegah kehamilan.10

IUD dapat menyebabkan timbulnya reaksi radang lokal yang non-spesifik didalam
cavum uteri sehingga implantasi sel telur yang telah dibuahi terganggu. Oleh karena reaksi
radang itu, maka muncullah sel-sel inflamasi seperti leukosit PMN, makrofag, dan lain-lain.
Dikarenakan munculnya leukosit PMN, makrofag, foreign body giant cells, sel mononuclear
dan sel plasma yang dapat mengakibatkan lysis dari spermatozoa/ovum dan blastocyst.
AKDR bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun AKDR membuat
sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma
untuk fertilisasi. Sehingga memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.10,11

Perubahan secara biokimia pada mukus di serviks terjadi pada semua tipe IUD.
Progestin oral maupun sistemik diketahui dapat merubah mukus servikal dan secara teoritis
seharusnya menghambat transpor sperma melalui serviks. Pada studi tentang penggunaan
IUD levonorgestrel jangka panjang, 69% siklus ovulatori memiliki mukus servikal yang baik
untuk transpor sperma. Sebaliknya, IUD tembaga meningkatkan konsentrasi tembaga secara
substanstial pada mukus servikal dan hal ini menghambat motilitas sperma. Secara kontras
pada mukus servikal, terdapat bukti yang menunjukkan adanya perubahan endometrial yang
menyebabkan spermisidal, menghambat migrasi sperma melalui endometrium. Hal ini terjadi
pada semua tipe IUD. Tingginya reaksi inflamasi di endometrium pada pemakaian IUD
tembaga menunjukkan bahwa IUD tembaga memiliki efek spermisidal yang tinggi pada
endometrial. Pada studi in vitro didapatkan bahwa ion-ion tembaga menghambat motilitas
sperma tetapi tidak mempengaruhi kapasitas fertilisasi. Pada IUD levonorgestrel, atrofi dan
desidualisasi kelenjar dapat menghambat survival dari sperma.10

V. Keuntungan dan Kerugian

Waktu insersi, konseling, dan pelatihan dari paramedis merupakan faktor yang
penting pada insersi IUD pada masa post partum. Dalam hal ini, waktu insersi mempengaruhi
resiko terjadinya ekspulsi. Idealnya insersi post-parum seharusnya dilakukan dalam waktu 10

5
menit setelah kelahiran plasenta (post-plasenta) atau hingga 48 jam kelahiran plasenta.
Semakin lama insersi IUD, semakin tinggi resiko terjadinya ekspulsi.12

Insersi IUD tembaga (Cu T) post plasental direkomendasikan pada ibu menyusui
dibandingkan yang tidak. Hal ini dikarenakan aman dan efektif. Insersi post plasental
berhubungan dengan rendahnya angka terjadinya expulsi dibandingkan insersi delayed post-
partum. Pemasangan IUD post-plasental pada saat operasi sesar memiliki angka expulsi yang
lebih rendah dibandingkan insersi pervaginam post-plasental.4

Keuntungan pemasangan IUD adalah:13

 Efektifitas tinggi.
 Aman bagi wanita.
 Reversibel dan ekonomis.
 Aman digunakan bagi wanita laktasi dan post partum.
 Pilihan yang baik untuk wanita tua.
 Dapat digunakan untuk waktu yang lama. Berdasarkan penelitian terakhir
menunjukkan T Cu 380 A efektif untuk 12 tahun.
 Satu pertemuan untuk insersi dan follow up setelah satu, tiga hingga enam minggu
untuk cek.
 IUD menjaga privasi wanita dan mengontrol fertilitasnya.
 Tidak berinteraksi dengan medikasi.
 Dapat dikeluarkan sesuai keinginan pasien.

Kerugian pemasangan IUD:13

 Tidak mencegah terjadinya infeksi menular seksual atau HIV.


 Pelvic Inflammatory Disease (PID) mungkin dapat terjadi ketika pada saat insersi
wanita tersebut memiliki infeksi Chlamydia atau gonore.
 Tergantung kemampuan paramedis.
 Dapat terjadi sakit, kram, atau perdarahan minor pada saat insersi.
 Waktu menstruasi yang lebih lama, meningkatkan kram, perdarahan pada tiga bulan
pertama.
 Dapat menyebabkan anemia apabila sebelum insrsi wanita tersebut rendah zat besi
dan IUD menyebabkan menstruasi yang lebih berat setiap bulannya.
VI. Kontraindikasi

Ada beberapa wanita yang kontraindikasi untuk dilakukan pemasangan IUD


tembaga. Seperti adanya riwayat penyakit keganasan tropoblastik, kanker endometrial
atau TB pelvis dan wanita yang sedang menderita IMS atau PID merupakan 4 kondisi
berdasarkan WHO. Wanita dengan resiko terkena IMS dan wanita dengan HIV atau

6
AIDS dapat menggunakan IUD tembaga tetapi seharusnya berhati-hati dan konsul
tentang keamanan seks dan pemakaian kondom sebaiknya dipromosikan. Perdarahan
vaginal yang tidak jelas seharusnya diinvestigasi sebelum insersi IUD.1,14
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
Aktif atau adanya riwayat infeksi pelvis Penyakit liver (jika IUD hormonal)
Diduga hamil Adanya resiko terjadi PID, seperti terkena
Kondisi dimana terjadi kavitas uteri distorsi
penyakit infeksi menular seksual, meliputi
berat, seperti leiomyomata, polip
infeksi post-abortal sbelumnya atau
endometrium, atau uterus bikornuatum.
endometritis puerperal, pasangan seksual
Perdarahan vaginal abnormal yang tifak
yang berganti-ganti, tidak ada perbaikan
terdiagnosa, diduga ada keganasan genital,
respon terhadap infeksi seperti mengidap
HIV.
Tabel 1. Kontraindikasi absolute dan relatif pemasangan IUD14

VII. Efek Samping dan Komplikasi

IUD dapat menyebabkan beberapa efek samping dan komplikasi, Efek samping dan
komplikasi dari IUD antara lain:

 Gangguan Menstruasi

Efek IUD- berefek pada prostaglandin lokal- pada endometrium yang menyebabkan
perdarahan menstruasi dan dismenore. Perdarahan dapat menjadi lebih berat dan lebih lama
selama 3 hingga 6 bulan penggunaan IUD. Pada percobaan klinis 15 % wanita tidak
melanjutkan penggunaan IUD karena alasan ini. Tingkat kesakitan dan perdarahan pada
wanita yang menggunakan IUD tembaga dan hormonal adalah sama.12

 Dismenore

Adanya IUD didalam uterus berhubungan dengan tingginya insidensi dismenore. Tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan IUD hormonal lebih sedikit menderita
dismenore dibanding IUD tembaga.12

 Kehamilan Ektopik

Sebuah studi case control menggunakan meta-analisis menunjukkan tidak ada peningkatan
resiko terjadinya kehamilan ektopik pada pengguna IUD. Resiko absolute untuk segala
macam kehamilan sangat rendah pada pengguna IUD dan angka kehamilan ektopik berkisar

7
0,02 per 100 wanita pertahun dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi sekitar 0,3-0,5 per 100 wanita.12

 Infeksi Pelvis

Sebuah studi meta-analisis menunjukkan bahwa resiko terjadinya infeksi pelvis telah
menurun setengah sejak tahun 1980. Infeksi biasa terjadi pada 20 hari pertama setelah insersi.
Hal ini dapat dihindari dengan menggunakan teknik aseptik pada saat insersi dan dengan
mencegah wanita untuk memiliki banyak pasangan atau pasangan yang memiliki banyak
pasangan. Skrining untuk IMS direkomendasikan pada daerah dimana prevalensi infeksi
tinggi dan diantara wanita yang memiliki resiko (termasuk wanita dibawah umur 25 tahun).
Pelvic actinomyscosis jarang terjadi berhubungan dengan penggunaan IUD. Actinomyscosis-
like organisms (ALOs) kadang terlihat pada apusan tetapi jika pasien tidak menunjukkan
gejala, hal itu dapat dibiarkan dan apusan dapat dilakukan ulang setelah 6-12 bulan
kemudian. Jika ada gejala, maka IUD harus dilepas. Hal itu dilakukan untuk menghindari
kontaminasi dari vagina dan setelah itu dilakukan kultur.12

 Ekspulsi

Resiko terjadinya ekspulsi berkisar antara 1 hingga 20. Hal ini sering terjadi dalam 3 bulan
pertama penggunaan IUD dan biasanya terjadi selama menstruasi. Resiko terjadinya ekspulsi
adalah umur muda, nulipara, dan perdarahan berat. Banyak klinisi berpendapat bahwa
pengguna IUD sebaiknya datang secara regular untuk mengecek IUDnya.1,12

 Perforasi

Perforasi pada uterus dapat terjadi pada saat insersi IUD meskipun hal ini jarang disadari.
Pada percobaan klinis yang besar didapatkan 1,3 setiap 1000 insersi. Follow up rutin
dilakukan 6 minggu setelah insersi. Panjang cavitas uteri harus diukur untuk dan digunakan
tenakulum saat insersi untuk mengurangi resiko terjadinya perforasi.12

8
Daftar Pustaka

1. Memmel L, Gilliam M. Contraception. Eds Gibbs et Al. In Danforth’s Obstetrics and


Gynecology. 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: 2008. Ch.32
2. Yudianti I. Poltekkes Malang. Pemasangan AKDR Setelah Persalinan. 2011. Available
in http://www.poltekkes-malang.ac.id/artikel-196.html.
3. Kittur S, Kabadi YM. Research Article: Enhancing Contraceptive Usage by Post-
Placental Intrauterine Contraceptive Devices (PPIUCD) insertion with Evaluation od
Safety, efficacy, and Expulsion. International Journal of Reproduction,
Contraception, Obstetrics and Gynecology. 2012 Dec;1(1):26-32
4. Suri V. Post Placental Insertion of Intrauterine Contraceptive Device. Indian J Med
Res. 2012 September; 136(3): 370–37.
5. Kapp. N, Curtis KM. Review Article: Intrauterine Device Insertion during The
Postpartum Period. Elsevier; Contraception 80: 2009. Hal. 327-336)
6. DeCherney et al. Contraception. In: Current Diagnosis and Treatments in Obstetrics
and Gynecology. 10th Edition. Mc Graw-Hill Companies: 2006. Ch. 36.
7. WHO. WHO/UNFPA TCU 380 A Intrauterine Device (IUD) Specification. In: The
TCU 380 A Intrauterine Contraceptive Device (IUD): Specification, Prequalification
and Guidelines for Procurement, 2010. P.17
8. Health Central. Birth Control Options for Women- Intrauterine Devices (IUDs). 2013.
Available in http://www.healthcentral.com/ency/408/guides/000091_5.html
9. Bradford Clinic Obstetrics & Gynecology. Contraception. 2013. Available in
http://www.bradfordclinic.com/home/bradford_clinic-contraception.php
10. Stanford JB, Mikolajczyk RT. Reviews: Mechanisms of action of intrauterine devices:
Update and estimation of postfertilization effects. Am J Obstetric Gynecology 2002;
187: 1699-708
11. Glasier A. Contraception. In Eds: Edmonds KA.Dewhurts’s Textbook of Obstetrics &
Gynaecology. 7th Edition. Blackwell Publishing: 2007. P 309-310
12. Shukla M, Qureshi S, Chandrawati. Post-placental intrauterine device insertion- A
five year experience at a tertiary care center in north India. Indian J Med Res 136,
September 2012. P 432-435
13. Solter C. Advantages and Disadvantages. In Participants Guide: Intrauterine Devices
(IUDs). Pathfinder International: 2008. P 10
14. Mackay HT. Contraception, Sterilization, and Abortion. Evans AT. In Manual of
Obstetrics. 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: 2007. Ch 5

9
10

Anda mungkin juga menyukai