Anda di halaman 1dari 7

Penelitian : Persiapan Uji Kompetensi Bidan

Catatan Lapangan : No. 16


Observasi/ Wawancara : Observasi berperanserta
Waktu : Tanggal : 11 Februari 2017
Pukul : 14:00 WIB
Disusun pukul : 18:30 WIB
Tempat : Ruang Diskusi Gedung RS. Pendidikan
Universitas Padjadjaran Bandung
Subjek Penelitian : Pemateri (Rachmad Sarwo Bekti Tim
pengembanng Program Pembinaan Retaker
APKI), Ketua Yayasan Pendidikan Tenaga
Kesehatan, Dosen/ Tenaga Pengajar Tenaga
Kesehatan di Indonesia (Dokter, Bidan, Perawat,
Farmasi, Gizi dll)
Judul : Workshop (Prinsip Penangan Peserta yang Tidak
Lulus)
Gambaran diri subjek :
Subjek seorang laki-laki, tinggi badan sedang, agak gemuk, memakai batik
berwarna biru terang, berjanggut dengan rambut dipotong sedang. Informan
berdiri tegap dan menyampaikan materi dengan penyampaian yang lugas dan
santai.

Rekonstruksi dialog :
Sketsa Ruang Workshop

Flip Laptop
Chart layar
J
e
LCD Pengamat n
d
e
l
a

Pintu
Saya memasuki ruang pada pukul 14:05 WIB. Workshop sudah dimulai sejak
pukul 14:00 WIB sesuai jadwal yang diberikan dan peserta lain sudah duduk
memenuhi ruangan dan saya segera menempati kursi yang tersedia yaitu berada di
sebelah operator dan moderator, dari posisi ini saya bisa mengamati peserta dan
pemateri secara leluasa. Workshop ini dilaksanakan dari pukul 14:00 sampai
17:00 WIB.
Saat saya datang, perkenalan pemateri telah selesai dan baru dimulai pendahuluan
dari materi yaitu persamaan persepsi peserta tentang pengertian KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi). Pemateri menjelaskan kembali salah satu artikel Lancet
yang dipaparkan Prof Tri pada seminar sehari sebelumnya yaitu, ”di artikel itu ada
berbunyi KBK itu nama lainnya adalah assessment driven curriculum, jadi yang
membedakan kalau yang terlibat dalam kurikulum jadi terasa. Yang membedakan
kalau dulu kurikulumnya TO TO dulu, deskripsi dulu, pembelajaran jalan lalu
assessment terakhir tapi mestinya ini dibalik. Kita tahunya kalau kompetensi itu
dari mana? Kita tentukan dulu, assessmentnya ditentukan dulu, kriterianya
ditentukan dulu baru teaching learningnya dari mana bagaimana caranya dia bisa
mencapai itu”. Kemudian pemateri melanjutkan, “kalau misal sama saja hasilnya,
maka muncul pertanyaan Benarkah menerapkan KBK?”. Pak Rachmad selaku
pemateri menjelaskan, “proses sekolah medis adalah proses development, proses
fasilitasi dari yang nggak ngerti apa-apa misal dia nggak ngerti pengetahuan
kompetensi yang terkait profesi itu masih novice menjadi expertice atau sekarang
ngetrand nya dia adopt professional identity. Mulai dari identitas gak jelas sampai
nanti lulusan itu diharapkan identitasnya jelas. Melabelkan identitas profesi itu ke
mahasiswa”, kemudian melanjutkan, “kalau prosesnya maka ini ada sekat-sekat
ada tahapannya. Proses assessmentnya adalah processment yang drive learning,
jadi bertahap. Jadi di sini Institusi di masing-masing tahap ini institusi itu
mestinya sudah tahu bahkan punya alat prediksi dia ini bisa terus apa tidak,
konsekuensinya begitu dan ini yang mungkin tidak banyak didiskusikan. Jadi
pokoknya ujian ya ujian. Tidak deprogram sejak awal sejak waktu semester
berjalan di awal”.
Pak Rachmad menambahkan, “uji kompetensi itu sebenarnya bisa diprediksi.
Kenapa? Karena kita wajib punya ujian tahap. Karena kita wajib mempertanggung
jawabkan proses kompetensi development itu on the right path”. Kemudian Pak
Rachmad melanjutkan, “pendidikan kesehatan di Belanda menjadi contoh. Gak
ada ujian di akhir bahkan. Yang ada progress test. Untuk menunjukkan sejauh
mana dia progress. Setahun empat kali”.
Pak Rachmad selaku pemateri kemudian memberikan waktu bagi peserta
workshop untuk berdiskusi dengan sebelumnya mengarahkan peserta untuk
membentuk kelompk Sembilan sampai 10 orang setiap kelompok dan total ada 5
kelompok. Saya membentuk kelompok dengan peserta yang duduk disekitar saya
yaitu total berjumlah sepuluh orang dihitung dengan saya. Kelompok saya yaitu
kelompok satu yang terdiri dari tenaga pengajar atau dosen dari institusi-institusi
kesehatan dari berbagai profesi yaitu Dokter, Bidan, Nurse, Farmasi dan Gizi.
Diskusi bertema tentang “Identifikasi Masalah Retaker dari Peserta Uji
Kompetensi dan Apa penyebab Kegagalan dalan Uji Kompetensi” yang kemudian
menghasilkan kesimpulan tiga atau lima penyebab paling serius mahasiswa tidak
lulus uji kompetensi. Waktu yang diberikan untuk berdiskusi adalah dua puluh
menit.
Setelah waktu diskusi habis, setiap ketua kelompok membacakan hasil diskusi
dari kelompok masing-masing. Salah satu ketua kelompok membacakan hasil
diskusi, “… yang pertama yaitu masalah psikologis peserta yang dapat
mempengaruhi saat ujian, yang kedua yaitu memang kemampuan dari kognitif
dia, yang ketiga ada minat dari profesi yang rendah contohnya mahasiswa
sebenarnya tidak mau tapi dipaksa kulaih profesi itu, ada masukan lain yaitu
untuk mahasiswa ahli jenjang profesi yang istilahnya gaptek saat mau ujian CBT”.
Pemateri kemudian memberhentikan ketua kelompok tersebut untuk memberikan
waktu kepada kelompok lain membacakan hasil diskusinya dikarenakan
keterbatasan waktu. Kelompok selanjutnya membacakan hasil diskusi yang
berbunyi, “kelompok kami dalam mengindentifikasi masalah kegagalan uji
kompetensi yaitu yang pertama tidak mengikuti persiapan, kemudian biasanya
anak-anak yang tidak lulus memang karena kemampuan nya yang rendah IPKnya
memang rendah. Kenapa mereka tidak lulus, pada masa pendidikan, institusi tidak
memberikan kompetensi yang sesuai atau istilahnya salah asuhan”. Kelompok
selanjutnya menambahkan, “Ada dari faktor mahasiswa dan ada dari faktor
penyelenggara pendidikan. Dari faktor mahasiswa dilihat dari kesiapan
mahasiswanya yaitu dari proses belajar maupun dari psikologis dari mahasiswa
dalam menghadapi ujikom. Kemudian yang kedua, mahasiswa tidak pandai
dengan model soal strategi-strategi penyelesaian masalah itu mereka gak tau gitu
loh. Dari faktor penyelenggara pendidikan, yang pertama adalah proses persiapan
ukom terutama adalah bagaimana mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi
uji kompetensi adalah belum maksimal terutama adalah dalam proses pembekalan
materi ujian ukom. Yang kedua mungkin waktu pelaksanaan dari ukom adalah
mendadak. Itu seringnya rekan-rekan menanyakan kapan akan dilakukan ukom
tapi belum ada informasi”. Kemudian peserta lain menyela dengan mengatakan
bahwa sudah ada jadwal tersebut yang kemudian diiyakan oleh peserta lainnya.
Pembacaan hasil diskusi dilanjutkan oleh kelompok selanjutnya. Ketua dari
kelompok terakhir membacakan hasilnya, “yang pertama adalah karena faktor
individu yaitu mahasiswanya.dan individu itu tidak lepas dari raw inputnya. Jadi
ini memang sesuatu hal yang khusus buat pembuat kebijakan untuk kalau bisa
membatasi raw input terutama untuk… mohon maaf swasta. Saya juga dari swasta
yang saringanya itu.. maaf. Sebenarnya kompleks masalah ini. Kemudian dari
proses. Proses saudara kita di profesi kedokteran sudah lebih bagus prosesnya.
Disini saya melihat dokter itu mengajar di kampus dan dia juga yang
membimbing diklinik. Dan kepengen saya seperti itu juga pada kebidanan,
keperawatan dan profesi lain. Nah kenapa kita itu sangat lambat dalam
perkembangan karena itu tidak terjadi. Lain yang ngajar lain yang bombing. Itu
gak nyambung sekali. Yang ngajar A, prakteknya B.Yang terakhir yaitu
standarnya harus jelas”. Hasil diskusi selanjutnya dibacakan oleh kelompok
terakhir, “bahwa ternyata kita memang sudah bisa memprediksi hasil dari uji
kompetensi. Yang pertama adalah dari mahasiswa. Ada satu hal yang menarik
adalah ketika saya tanya kepada mahasiswa tentang anda kesini itu karena apa?
Keinginan sendiri, karena tersesat artinya tidak sengaja keterima, suruhan orang
tua. Yang kedua adalah tentang institusi. Kalau di keperawatan itu sama dengan di
kebidanan. Kami institusi terlibat dalam pembuatan soal. Ada beberapa institusi
yang memang tidak aktif. Otomatis ketika dosen tidak membuat soal maka soal
tidak masuk ke portal. Secara otomatis juga mahasiswanya kemungkinan
mahasiswanya belum tersiapkan belum terpapar dengan soal. Kemudian yang
ketiga adalah motivasi terutama kepada mahasiswa. Lalu time management atau
manajemen waktu terutama kepada mahasiswa yang sudah berkeluarga sehingga
ia tidak bisa membagi waktu antara keluarga dan pendidikan”.
Pemateri akhirnya menyimpulkan, “Penyebabnya ada dua. Yang pertama adalah
mahasiswa. Yang kedua adalah tempat dia belajar. Karena yang diuji ini
merupakan wadah interaksi antara institusi dengan peserta ujian. Komponen
terbesar dari institusi ini adalah yang mengasuh”. Kemudian pemateri
malanjutkan, ”Masalah yang paling sering muncul pada mahasiswa adalah
competency problem, psychological dan technical. Masalah Institusi adalah
Missed Curriculum, design assessment high stake minimalis, tidak ada early
warning system dan student support termasuk feedback konstruktif ” dan pemateri
menjelaskan secara rinci dari masing-masing problem tersebut. Di akhir
penjelaskan pemateri menekannkan, “yang berkaitan dengan aspek teknis. Ini
masalah yang gak boleh muncul. Ini persiapan yang nomor satu ini. Kalau
berkaitan dengan persiapan sebelum ujian yang ini harus beres tidak muncul
masalahnya terutama berkaitan dengan gak kenal dengan blue printnya. Nah itu
bermasalah karena ini penting untuk strategi”.
Pak Rachmad selaku tim pengembangan program pembinaan retaker AIPKI
menjelaskan, “secara umum kira-kira saya sampaikan disini kalau masalahnya itu
di awal maka mestinya ini programnya itu adalah melalui program assessment
yang memicu persiapan termasuk progress test. Jangan deket-deket ujian. jangan
mengandalkan bimbingan bapak ibu sekalian. Bahkan secara akademik program
bimbingan itu sebenarnya banyak dicibir. Opo itu bimbingan?ini sekolah apa
bimbingan. Dari pada lama-lama sekolah mending bimbingan aja.”. Pak
Rachmad melanjutkan, “maka mohon bapak ibu sekalian saya pesan. Oke kita ada
di kedokteran ada program remidiasi tapi tolong institusinya mulai dari jauh hari,
mulai dari seleksi awal”.
Kemudian pemateri melanjutkan dengan menjelaskan program remediasi untuk
peserta retaker pada peserta ukom kedokteran dilanjutkan sesi tanya jawab.
Workshop selesai pada pukul 17:00 WIB sesuai jadwal.

Catatan tentang peristiwa khusus:


Tidak ada

Perilaku Pengamat:
Pengamat berperilaku sebagai pengamat berperan serta secara penuh. Pengamat
berusaha mencatat dan melaporkan apa adanya sesuai dengan apa yang pengamat
lihat dan pengamat dengar dan rasakan. Pengamat berusaha membuang sejauh
mungkin segala penilaian yang bersifat subjektif dari diri pengamat.

Refleksi mengenai analisis:


(Lihat: Analisis di Lapangan untuk Catatan Lapangan 16)

Refleksi mengenai metode:


Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan/ observasi
berperan serta secara penuh. Triangulasi belum dilakukan.

Refleksi mengenai dilema etik dan konflik:


Dalam pengamatan ini pengamat harus membuat catatan apa adanya, sehingga ada
potensi konflik atau dilema etik antara peneliti dengan pihak tertentu.

Refleksi mengenai kerangka berfikir peneliti:


Meskipun seorang peneliti kualitatif tidak boleh membawa pemikirannya ke
dalam penelitian, namun itu tidak mungkin pengamat kesampingkan sepenuhnya.
Asumsi pengamat semula bahwa mahasiswa retaker uji kompetensi belum
mendapatkan penanganan khusus baik dari pemerintah dan institusi, nampaknya
ada benarnya meskipun pengamat tahu bahwa simpulan sementara ini mungkin
dipengaruhi asumsi yang telah ada sebelumnya.
Klarifikasi:
Dalam pengamatan ini peneliti memberikan refleksi analisis bahwa masalah siswa
retaker ini ternyata merupakan salah satu permasalahan yang menjadi pemikiran
bagi institusi-institusi profesi kesehatan di Indonesia, baik yang telah melakukan
uji kompetensi maupun yang baru akan menjalankan uji kompetensi. Temuan ini
harus dicek lagi secara triangulasi sehingga dapat diketahui apakah hal tersebut
benar menjadi suatu permasalahan. Dari hasil wawancara diharapkan hal ini bisa
terungkap.

Anda mungkin juga menyukai