Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Udang

Crustacea adalah hewan akuatik (air) yang terdapat di air laut dan air tawar.

Kata Crustacea berasal dari bahasa latin yaitu kata Crusta yang berarti cangkang yang

keras. Ilmu yang mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi (Demarjati et al.,

1990 ). Jumlah udang di perairan seluruh dunia diperkirakan sebanyak 343 spesies

yang potensial secara komersil. Dari jumlah itu 110 spesies termasuk didalam famili

Penaidae. Udang digolongkan kedalam Filum Arthropoda dan merupakan Filum

terbesar dalam Kingdom Animalia (Fast dan Laster, 1992).

Menurut Sterrer (1986), udang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustaceae
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Palaemonoidae
Penaeidae
Genus : Macrobranchium
Caridina
Penaeus
Metapenaeus

5
Universitas Sumatera Utara
6

2.2 Morfologi Udang

Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan bagian

badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang

terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian

badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang

anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat

ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing (Rizal , 2009),seperti

Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi Udang


Keterangan:
a = alat pembantu rahang g = kaki jalan
b = kerucut kepala h = kaki renang
c = mata i = anus
d = cangkang kepala j = telson
e = sungut kecil k = ekor kipas
f = sungut besar
(http://rizal-bbapujungbatee.blogspot.com/2009/05/semua-tentang-udang-
windu.html)

Universitas Sumatera Utara


7

Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau carapace. Bagian depan

meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau

rostrum. Pada bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3

gerigi untuk P. monodon. Bagian kepala lainnya adalah:

a. Sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan dapat digerakkan.

b. Mulut terletak pada bagian bawah kepala dengan rahang (mandibula) yang

kuat.

c. Sepasang sungut besar atau antena.

d. Dua pasang sungut kecil atau antennula.

e. Sepasang sirip kepala (scophocerit).

f. Sepasang alat pembantu rahang (maxilliped).

g. Lima pasang kaki jalan (periopoda), kaki jalan pertama, kedua dan ketiga

bercapit yang dinamakan chela.

h. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung dan insang.

Bagian badan dan perut (abdomen) tertutup oleh 6 ruas, yang satu sama

lainnya dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang (pleopoda) yang

melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan pada ruas keenam,

kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Di antara

ekor kipas terdapat ekor yang meruncing pada bagian ujungnya yang disebut telson.

Organ dalam yang bisa diamati adalah usus (intestine) yang bermuara pada anus yang

terletak pada ujung ruas keenam.

Universitas Sumatera Utara


8

Ciri-ciri morfologi udang menurut Fast dan Laster (1992), mempunyai tubuh

yang bilateral simetris terdiri atas sejumlah ruas yang dibungkus oleh kintin sebagai

eksoskleton. Tiga pasang maksilliped yang terdapat dibagian dada digunakan untuk

makan dan mempunyai lima pasang kaki jalan sehingga disebut hewan berkaki

sepuluh (Decapoda). Tubuh biasanya beruas dan sistem syarafnya berupa tangga tali.

Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian

belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian

kepala dan dada yang menyatu. Bagian kepala tertutup kerapak, bagian perut terdiri

dari lima ruas yang masing-masing ruas mempunyai pleopod dan ruas terakhir terdiri

dari ruas perut, dan ruas telson serta uropod (ekor kipas). Tubuh udang mempunyai

rostrum, sepasang mata, sepasang antena, sepasang antenula bagian dalam dan luar,

tiga buah maksilipied, lima pasang cholae (periopod), lima pasang pleopod, sepasang

telson dan uropod.

2.3 Daur Hidup Udang

Daur hidup udang meliputi beberapa tahapan yang membutuhkan habitat yang

berbeda pada setiap tahapan. Udang melakukan pemijahan di perairan yang relatif

dalam. Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis terapung-apung dibawa

arus, kemudian berenang mencari air dengan salinitas rendah disekitar pantai atau

muara sungai. Di kawasan pantai, larva udang tersebut berkembang. Menjelang

dewasa, udang tersebut beruaya kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki

tingkat salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian memijah. Tahapan-tahapan

Universitas Sumatera Utara


9

tersebut berulang untuk membentuk siklus hidup. Udang penaeid dalam

pertumbuhan dan perkembangannya mengalami beberapa fase, yaitu nauplius, zoea,

mysis, post larva, juvenile (udang muda), dan udang dewasa (Fast dan Laster, 1992).

Menurut Rizal (2009), setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas

menjadi bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva bergerak ke daerah dekat

pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah estuari dangkal. Perairan dangkal

ini memiliki kandungan nutrisi, salinitas dan suhu yang sangat bervariasi

dibandingkan dengan laut lepas. Setelah beberapa bulan hidup di daerah estuari,

udang dewasa kembali ke lingkungan laut dalam dimana kematangan sel kelamin,

perkawinan dan pemijahan terjadi. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 2.

Siklus Hidup
Udang

Laut
Gambar 2.Daur Hidup Udang
(http://www.ucmp.berkeley.edu/arthropoda/crustacea/crustaceamorphamm.html)

Universitas Sumatera Utara


10

2.4 Habitat dan Penyebaran Udang

Udang hidup disemua jenis habitat perairan dengan 89% diantaranya hidup di

perairan laut, 10% diperairan air tawar dan 1% di perairan teresterial (Abele, 1982).

Udang laut merupakan tipe yang tidak mampu atau mempunyai kemampuan terbatas

dan mentolerir perubahan salinitas. Kelompok ini biasanya hidup terbatas pada

daerah terjauh pada estuari yang umumnya mempunyai salinitas 30% atau lebih.

Kelompok yang mempunyai kemampuan untuk mentolerir variasi penurunan salinitas

sampai dibawah 30% hidup di daerah terestrial dan menembus hulu estuari dengan

tingkat kejauhan bervariasi sesuai dengan kemampuan spesies untuk mentolerir

penurunan tingkat salinitas. Kelompok terakhir adalah udang air tawar. Udang dari

kelompok ini biasanya tidak dapat mentolerir salinitas diatas 5%. Udang menempati

perairan dengan berbagai tipe pantai seperti: pantai berpasir, berbatu ataupun

berlumpur. Spesies yang dijumpai pada ketiga tipe pantai ini berbeda-beda sesuai

dengan kemampuan masing-masing spesies menyesuaikan diri dengan kondisi fisik-

kimia perairan (Nybakken, 1992).

2.5 Tingkah Laku Udang

2.5.1 Sifat Nokturnal

Menurut Powers dan Bliss (1983), udang memiliki mata yang besar dan

bersifat seperti lapisan pemantul cahaya, fakta yang menguatkan dugaan bahwa

udang bersifat nokturnal dimana udang lebih suka muncul pada malam hari. Jika

terganggu udang dapat melompat sejauh 20-30 cm menghindar dari gangguan.

Universitas Sumatera Utara


11

2.5.2 Pergantian Kulit (Molting)

Pada peristiwa pergantian kulit ini, proses biokimia yang terjadi, yaitu

pengeluaran (ekskresi) dan penyerapan (absorbsi) kalsium dari tubuh hewan. Kulit

baru yang terbentuk berwarna pucat dan setelah 2-3 hari kemudian barulah warna

semula kembali, sebabnya adalah berubahnya kualitas air ataupun karena makanan

serta proses pengeluaran zat tertentu di tubuh udang (Romimohtarto dan Juwana,

2007).

2.5.3 Tingkah Laku Makan

Udang termasuk golongan omnivora ataupun pemakan segalanya. Beberapa

sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, copepoda,

polichaeta, larva kerang dan lumut. Untuk mendeteksi sumber pakan, udang berenang

menggunakan kaki jalan yang memiliki capit.

Makanan ditangkap dengan capit kaki jalan (periopod) dan masukkan

kebagian mulut. Bagian makan yang kecil ditempatkan langsung disuatu tempat

didalam mulut sementara bagian makanan yang besar dibawa kedalam mulut oleh

maxilliped atau alat-alat pembantu rahang (Fast dan Lester, 1992).

2.6 Ekologi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir yang dimaksud di Indonesia adalah daerah pertemuan antara

darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering

maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang, angin

laut, dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup

Universitas Sumatera Utara


12

bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat

seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan

manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto dalam

Wibisono, 2005).

Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil

dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit.

Wilayah ini disebut zona intertidal yang mempunyai kisaran geografis seperti pantai

berbatu,pantai berpasir dan pantai berlumpur (Nybakken, 1992). Dalam wilayah

pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya. Ekosistem pesisir dapat

bersifat alami dan buatan manusia antara lain berupa tambak, kawasan wisata,

industri atau pemukiman (Dahuri et al., 2004).

a. Pantai Berbatu

Zona pesisir yang tersusun dari bahan keras, mangandung keragaman flora

dan fauna serta organisme monoseluler lainnya. Zona ini bersifat khas dan

kekhasannya bergantung pada geografis. Fenomena pesisir dan bentuk terjadinya

zona ini dapat menjadi refleksi toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaan

komponen abiotik seperti udara terbuka, suhu yang ekstrim dan kekeringan. Selain itu

terdapat faktor biologis yang dominan diantaranya persaingan dan pemangsa.

b. Pantai Berpasir

Zona ini bukan zona habitat tetapi tidak terpisahkan dari keseluruhan zona

pesisir. Pantai pesisir intertidal terdapat di seluruh zona pesisir seluruh dunia.

Universitas Sumatera Utara


13

c. Pantai Berlumpur

Pantai berlumpur terdapat pada zona pesisir yang terlindung dari aktifitas

gelombang laut. Pantai berlumpur adalah habitat bagi makrofauna yang secara

dominan terdiri dari mollusca dan crustaceae diantaranya adalah udang. Daerah ini

sangat subur bagi tumbuhan pantai seperti bakau (mangrove). Guguran daun dan

ranting sebagai bahan organik mempersubur perairan pantai sehingga banyak dihuni

hewan antara lain jenis ikan dan udang. Habitat ini rentan terhadap pencemaran yang

dilakukan oleh aktifitas manusia di daratan yang membuang limbah ke sungai

diteruskan ke pantai dan secara signifikan mencemari perairan laut dan kawasan

pesisir.

2.7 Pencemaran Pesisir

Perairan pesisir adalah zona daratan yang paling akhir dan zona lautan paling

awal (transisi). Seperti sebuah keranjang sampah, setiap limbah yang diangkut oleh

sungai dari daratan dimuntahkan di kawasan ini. Pencemaran pesisir mempunyai

dampak negatif bagi kehidupan biota, sumber daya dan kenyamanan (amanities)

ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1993). Estetika dan kualitas biotik

pasti menurun dan terancam sebagai akibat pencemaran dan aktifitas (ekploitasi)

yang tidak terkontrol. Kerugian besar sesungguhnya mengancam kehidupan manusia

jika kelestarian dan keseimbangan dalam keseluruhan zona diabaikan. Bentuk

dampak dari pencemaran adalah berupa sedimentasi, eutrofikasi, anaxia (kekurangan

Universitas Sumatera Utara


14

oksigen), masalah kesehatan umum, kontaminasi element berbahaya dalam rantai

makanan, keberadaan spesies asing, dan kerusakan fisik habitat (Dahuri et al., 2004).

Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri et al., (2004), sebagian besar (kurang

dari 80% pencemaran darat oleh aktifitas manusia berpengaruh besar terhadap

pencemaran di pesisir dan lautan. Limbah dan pencemaran oleh aktifitas penduduk

dan limbah rumah tangga yang terdistribusi secara sembarangan ternyata

mengandung mikroorganisme, diantaranya bakteri, virus, fungi dan protozoa yang

bersifat patogen ini menyebar dengan cepat dapat bertahan pada perubahan faktor

kimia dan fisik yang ekstrim.

Eishert (1990) mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat

mencemari wilayah pesisir, yaitu: pencemaran limbah industri, limbah sampah

domestik (swage pollutin) yang umumnya mengandung bahan organik, pencemaran

sedimentasi (sedimentation pollution) akibat erosi di daerah hulu sungai, dan

pencemaran oleh aktifitas pertanian yakni oleh penggunaan pestisida.

2.8 Faktor Fisik Kimia Perairan

a. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses

kehidupan dan penyerapan organisme. Proses kehidupan vital yang disebut proses

metabolisme, hanya berfungsi dalam kisaran suhu yang relatif sempit, biasanya 00C –

40C (Nybakken, 1992).

Universitas Sumatera Utara


15

Suhu perairan sangat mempengaruhi kehidupan udang karena makin tinggi

suhu, maka kelarutan oksigen makin rendah (Manik dan Djunaidah, 1980).

Bersamaan dengan itu peningkatan suhu juga mengakibatkan peningkatan aktifitas

metabolisme organisme akuatik sehingga kebutuhan oksigen juga akan meningkat

(Sastrawijaya, 1991). Fast dan Lester (1992) mengatakan bahwa 90% dari juvenile

udang akan bertahan hidup pada suhu air 240C, dan selanjutnya akan berkembang ke

fase dewasa dimana udang membutuhkan suhu air kurang lebih 280C.

b. Penetrasi Cahaya

Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan

mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air di badan perairan.

Cahaya sangat dibutuhkan oleh fitoplankton serta membantu proses fotosíntesis.

Semakin dalam air intensitas cahaya akan semakin berkurang (Brower et al., 1990).

Menurut Koesbiono (1979) pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan

penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis

fitoplankton dan alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.

Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar

perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya

cahaya matahari disebabkan karena banyaknya faktor antara lain adanya bahan yang

tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisma air yang mengakibatkan

air menjadi keruh.

Universitas Sumatera Utara


17

c. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-

sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian

lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan terbentuknya ke dalaman

lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik

secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang

paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan dasar air yang jernih akan

terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah

menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi

dalam air sampai ke lapisan dasar (Barus, 2004).

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2007), banyaknya cahaya yang

menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang

peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut,

cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses

fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.

d. Total Dissolved Solid (TDS)

Total Dissolved Solid merupakan jumlah kandungan zat padat terlarut dalam

air juga mempengaruhi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan perairan.

Jika nilai TDS tinggi maka penetrasi cahaya matahari akan berkurang, akibatnya

proses fotosintesis juga akan berkurang yang akhirnya mengurangi tingkat

produktifitas perairan (Sastrawijaya, 1991).

Universitas Sumatera Utara


18

e. Total Suspended Solid (TSS)

Tingkat kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan suspensi

massa air yang berasal dari sungai. Kandungan zat padat tersuspensi yang tinggi

dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan (Prayitno et al.,

2003). Tingginya kekeruhan di suatu badan perairan dalam jangka waktu yang

lama akan menurunkan produktivitas dari suatu ekosistem estuari sehingga menurun

kan aktivitas fotosintesis (http://www.ourlake.org/html/turbidity.html).

f. Kandungan Bahan Organik Substrat

Kandungan bahan organik substrat menggambarkan tipe substrat dan

kandungan bahan nutrisi dalam perairan. Tipe substrat berbeda-beda, seperti pasir,

lumpur dan tanah liat. Umumnya semua tipe substrat yang ada tersebut sesuai dengan

kehidupan semua spesies udang (Boyd, 1989 dalam Fast dan Lester, 1992).

Konsentrasi bahan organik yang tinggi akan membutuhkan oksigen dalam

jumlah besar. Melalui prosedur secara kimia dapat dilihat bahan-bahan organik yang

terkandung di dalam substrat yang di lakukan dengan metode Black dan Walley

(Michael, 1984)

g. Derajat Keasaman(pH)

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan.

Kemampuan air untuk mengikat dan melepas sejumlah ion hidrogen akan

menunjukkan apakah larutan bersifat asam atau basa (Wibisono, 2005). Tingkat pH

yang dapat mendukung kehidupan udang penaeid berkisar pada pH 7,8 - 8,1 (Suadji,

Universitas Sumatera Utara


19

1984). Menurut Moosa (1989) kisaran normal pH air untuk udang berkisar antara 7,5

– 8,5 tetapi pH 6,4 menurunkan laju pertumbuhan sebesar 60%, sebaliknya pH tinggi

( 9 – 9,5) menyebabkan peningkatan kadar amoniak sehingga tidak langsung

membahayakan udang.

h. Salinitas

Menurut Nontji (1993), nilai salinitas rata-rata tahunan terendah di temukan di

Selat Malaka sebesar 300/00, karena mendapat pengenceran dari sungai-sungai di

Sumatera dan Malaysia. Menurut Fast dan Lester (1992), bahwa kadar garam

merupakan salah satu sifat kualitas air yang sangat penting, karena mempengaruhi

kecepatan pertumbuhan udang. Telur udang menetas pada salinitas 200/00 sampai

300/00. Pada fase juvenile salinitas yang baik bagi pertumbuhan udang adalah antara

250/00 - 300/00 namun dapat juga bertahan sampai 340/00. pada kadar garam lebih tinggi

dari 400/00 udang tidak akan tumbuh lagi

i. Kandungan Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen = DO)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam ekosistem

akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar

organisme (Suin, 2002). Sumber oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan

fotosintesis tumbuhan hijau. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung

dipermukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air

tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam

(Michael, 1984).

Universitas Sumatera Utara


20

j. BOD (Biologycal Oxygen Demand)

Biologycal Oxygen Demand yaitu suatu harga yang menyatakan kebutuhan

oksigen oleh mikroorganisme untuk melakukan metabolisme senyawa organik

terlarut (Wibisono, 2005). Pengukuran BOD yang umum dilakukan adalah

pengukuran selama lima hari (BOD5), karena dari hasil penelitian diketahui bahwa

setelah pengukuran selama lima hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah

mencapai lebih kurang 70%. Faktor-faktor yang mempengaruhi BOD adalah jumlah

senyawa organik yang diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob dan tersedianya

sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut (Barus, 2004).

k. COD (Chemical Oxygen Demand)

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah total oksigen yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik diperairan yang dinyatakan

dalam mg/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai menyatakan

jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa

organik, baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun yang sukar atau tidak

bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

l. Kandungan Nitrat Dan Fospat

Banyaknya unsur hara mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan, terutama

makrophyta dan fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul

yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalah nitrit

dan fospat (Nybakken, 1992). Fospat merupakan unsur penting dalam air. Fospat

terutama berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltrasi dalam air tanah dan

Universitas Sumatera Utara


21

akhirnya masuk kedalam sistem perairan terbuka. Selain itu juga dapat berasal dari

atmosfer bersama air hujan masuk ke sistem perairan ( Barus, 2004).

Komponen nitrit (NO2-) jarang ditemukan pada badan air permukaan karena

langsung dioksidasi menjadi nitrat (NO3-). Di wilayah perairan neritik yang relatif

dekat dengan buangan industri umumnya nitrit bisa dijumpai, mengingat nitrit sering

digunakan sebagai inhibitor terhadap korosi pada air proses dan pada sistem

pendingin mesin. Bila kadar nitrit dan fospat terlalu tinggi bisa menyebabkan perairan

bersangkutan mengalami keadaan eutrof sehingga terjadi blooming dari salah satu

jenis fitoplankton yang mengeluarkan toksin. Kondisi seperti itu bisa merugikan hasil

kegiatan perikanan pada daerah perairan tersebut (Wibisono, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai