Anda di halaman 1dari 3

Air irigasi dan produksi padi di NTT, antara harapan dan kenyataan

(Memperingati Hari Air Dunia, 22 Maret 2018)

Oleh: Hamdan In’ami, STP, MPSDA*)

Ketersediaan air adalah prasyarat utama kehidupan. Begitu pentingnya ketersediaan air sehingga
sejak tahun 1992 diperingati seluruh dunia. Pemasalahan air di NTT juga tidak pernah sepi sehingga
alangkah baiknya apabila momen ini untuk mengkaji ulang sejauh mana pengelolaan air di NTT di
berbagai sektor.

Di sektor pertanian, sub sektor tanaman pangan khususnya padi sawah sangat bergantung pada
kinerja pengelolaan irigasi. Sarana produksi padi sebaik apapun tidak akan berarti apa-apa ketika
pengelolaan irigasi buruk. Tanaman padi sawah membutuhkan air pada saat tertentu, dalam jumlah
yang tepat, dan kualitas air yg memenuhi syarat. Kekurangan air, kelebihan air, air berlumpur,
adalah hanya beberapa contoh kondisi irigasi yang bisa menghancurkan tanaman padi. Itu lah
sebabnya pengelolaan irigasi memang bukan perkara mudah. Disamping itu, pengelolaan pola tanam
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan irigasi.

Sesuai Permen PUPR Nomor 14/ 2015 tentang Status Kewenangan Daerah Irigasi, Provinsi NTT
memiliki total daerah irigasi seluas 280.858 Ha. Luasan potensi irigasi ini terdiri dari irigasi
permukaan dan Daerah Irigasi Air Tanah (DIAT). Daerah irigasi permukaan terbagi 3 kewenangan,
yaitu 181.540 Ha kewenangan kabupaten, 60.328 Ha kewenangan provinsi, dan 31.577 Ha
kewenangan pusat. Adapun DIAT seluas 7.413 Ha.

Harapan

Beras masih menjadi pangan pokok utama masyarakat NTT. Sawah beririgasi teknis tentunya
menjadi tumpuan dan harapan untuk dapat memproduksi padi sehingga mencukupi kebutuhan
beras. Jika bersumsi bahwa 50% saja dari potensi irigasi, maka luas lahan sawah NTT adalah 140.429
Ha. Dengan memasang target produktivitas padi secara moderat pada angka 4,5 Ton/ Ha, maka
produksi padi NTT adalah 631.931 Ton. Jika pada lahan sawah tadah hujan bisa punya indeks
pertanaman (IP) 150, atau 1,5 kali tanam dalam setahun, maka pada sawah irigasi setidaknya IP 200,
hasilnya produksi padi bisa 1.263.861 Ton.

BPS merilis angka konversi dari padi ke beras sebesar 62,74%. Artinya, apabila 100 Kg padi (GKG)
diselep akan menghasilkan 62,74 Kg beras. Dengan demikian, NTT memiliki beras sebanyak 792.946
Ton, dari lahan sawah irigasi saja. Jumlah ini belum dari sawah tadah hujan.

Konsumsi beras rata-rata nasional ditetapkan 114 kg/kapita/tahun. Dengan jumlah penduduk NTT
sebesar 5.203.514 jiwa, maka NTT membutuhkan beras sebesar 593.201 Ton/tahun. Dari angka
produksi dikurangi konsumsi terdapat surplus beras sebesar 199.746 Ton/tahun.

Berdasarkan Data

Menurut angka BPS 2017, lahan sawah di NTT seluas 214.790 Ha dimana 15,74% atau 33.817 Ha
lahan sawah yang sementara tidak diusahakan. Sisanya sebesar 180.973 Ha lahan padi sawah
dimana hanya terdapat 18,69% atau 67,707 Ha yang bisa 2 kali panen. Sisanya 1 kali panen.
Produksi padi di NTT adalah sebesar 924.403 Ton. Jika dikonversi ke beras menjadi 579.970 Ton.
Angka ini jika disandingkan dengan kebutuhan beras di Provinsi NTT maka terjadi defisit beras
sebesar 13.230 Ton.

Kenyataan di Lapangan

Secara perhitungan, angka defisit beras di NTT memang tidak telalu besar. Tapi perlu diingat bahwa
perhitungan tersebut hanya salah satu metode pendekatan. Fakta di lapangan tentu membutuhkan
data riil berapa ton beras dari luar masuk ke NTT dalam setahun. Informasi bahwa Bulog NTT masuk
kategori defisit sehingga harus beberapa kali dikirim ribuan ton beras dari Bulog NTB. Program impor
beras 500 ribu ton dari vietnam belum lama ini juga sudah memberikan jatah untuk NTT sebesar 10
ribu ton. Bahkan BI merilis data pada April 2017 bahwa NTT defisit beras sebesar 150 ribu ton per
tahun. Angka yang cukup tinggi tapi bisa dipahami mengingat tugas BI sebagai pengendali inflasi.

Kinerja pengelolaan Irigasi

Salah satu tujuan pengelolaan irigasi adalah mengoptimalkan luas tanam. Infrastruktur irigasi bukan
barang murah. Contoh jaringan Irigasi Raknamo, untuk luasan 1.250 Ha menghabiskan Rp. 98 Milyar.
Berarti per Ha menghabiskan dana Rp. 78,4 juta. Belum lagi biaya konstruksi bendungan yang
sebesar 710 milyar (termasuk untuk air baku dan pembangkit listrik). Masih ditambah lagi dengan
biaya operasi dan pemeliharaan jaringan irgasi.

Dengan nilai aset infrastruktur irigasi yang begitu besar tentu harus diikuti dengan peningkatan
produksi pertanian yang signifikan. Apabila produktivitas sawah irigasi teknis tidak jauh berbeda
dengan sawah tadah hujan, jelas ini kerugian finansial.

Kondisi yang ada berdasarkan data BPS, hanya seluas 67.707 Ha saja lahan padi sawah yang bisa 2
kali tanam. Luasan ini hanya 48,21% dari ekspektasi. Apalagi produktivitas padi di NTT masih rendah,
yaitu rata-rata 3,6 ton/Ha. Meskipun tidak serta merta ini adalah indikasi rendahnya pengelolaan
irigasi, tapi juga kinerja pengelolaan usaha tani padi sawah punya andil. Setidaknya, IP yang kecil ini
patut dikaji kembali apa permasalahannya. Apakah faktor ketersediaan air, masalah sarana produksi
pertanian atau petani yang malas.

Rumusan Permasalahan

Salah satu permasalahan yang mendasar adalah lemahnya Kelembagaan Pengelola Irigasi (KPI). KPI
terdiri dari; (1) unsur instansi pemerintah yang membidangi irigasi, (2) Komisi Irigasi dan (3)
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Permasalahan ini menimbulkan berbagai permasalahan di
lapangan, diantaranya yaitu : (1) Banyak sawah irigasi kurang terlayani karena kondisi jaringan irigasi
yang buruk. (2) Di lokasi yang lain, banyak saluran irigasi yang kurang dimanfaatkan. (3) Rehab
jaringan pada saat yang tidak tepat dan menutup air irigasi berbulan-bulan sehingga menyebabkan
terhentinya kegiatan usaha tani. (4) Tidak ada singkronisasi petugas-petugas di lapangan padahal
ada kaitan dengan usaha tani, yaitu penyuluh, Petugas OP (Operasi Pemeliharaan), TPM (Tenaga
Pendamping Masyarakat), Tenaga Pendamping Anggur Merah, dan Tenaga Pendamping (Dana)
Desa. (5) Kerusakan jaringan irigasi baik oleh alam maupun manusia tidak cepat ditangani bahkan
hingga bertahun-tahun. (6) Kerusakan oleh manusia boleh jadi karena ada petani yang tidak
terakomodir (dalam desain jaringan) atau karena pembiaran terhadap pelanggaran sehingga terus
berulang. (7) Tidak adanya sinergitas perencanaan pola tata tanam dan pola operasi jaringan irigasi,
karena komisi irigasi tidak berfungsi. (8) Rasa memiliki jaringan irigasi dari petani sangat rendah.

Rekomendasi

Langkah awal yang harus dilakukan adalah membenahi Kelembagaan Pengelola Irigasi. Langkah ini
setidaknya melibatkan tiga instansi yaitu, Dinas PU, Bappeda dan Dinas Pertanian. Tiga instansi ini
harus memiliki persepsi, visi dan misi yang sama terhadap pengelolaan irigasi. Kemudian menata
kembali lembaga Komisi Irigasi, dimana tersusun dari keterwakilan unsur pemerintah dan P3A
dengan porsi 50:50. Langkah berikutnya adalah menata kembali P3A terutama di daerah irigasi yang
sangat berpotensi. Dengan sistem kerja yang handal, harapannya setiap langkah pembangunan
memberikan peningkatan hasil yang signfikan. Semoga.

*)
- Magister Pengelolaan Sumber Daya Air, ITB Bandung
- Staf pada Dinas Pertanian Provinsi NTT

Anda mungkin juga menyukai