Askep Adi GGK
Askep Adi GGK
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal
yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan
peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap.
Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan,
sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan ditegakkan bila
konsentrasi ureum plasma meningkat.
Setiap orang dalam segala usia bisa terkena gagal ginjal kronik. Namun beberapa golongan orang
mempunyai risiko lebih tinggi terkena gagal ginjal kronis apabila masuk dalam salah satu kriteria
berikut ini:
• Penderita diabetes
• Penderita hipertensi
• Mempunyai riwayat keluarga penderita gagal ginjal kronis
• Berusia 50 tahun ke atas
Semakin dini gangguan ginjal dapat dideteksi, semakin besar pula kemungkinan untuk
memperlambat perkembangan atau bahkan menghentikan penyakit gagal ginjal kronis. Hal
lainnya yang mempengaruhi adalah selain treatment yang tepat juga kesungguhan penderita
untuk mengikuti petunjuk dari dokter.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap
(Doenges, 1999; 626)
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan
internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan
individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan
menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal
yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya
berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang
menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2 hal 1448).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal
yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan
peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap.
Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan,
sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan ditegakkan bila
konsentrasi ureum plasma meningkat.
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga
utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai
¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang
bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah
nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C
Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke
dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala
uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
2 pendekatan teoritis yang biasanya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada
Gagal ginjal Kronis:
Perjalanan klinis
Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % – 75 %). Tahap inilah yang paling ringan,
dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan
pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam batas normal. Selama tahap ini
kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban
kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR
yang teliti.
Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas
tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan
harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan
pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah
ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih
berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari
kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal.
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas
tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan
harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan
pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah
ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih
berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari
kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang
tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya
ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % – 25 % . faal ginjal jelas
sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, , aktifitas
penderita mulai terganggu.
Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %)
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat melakukan tugas
sehari hair sebaimana mestinya. Gejal gejal yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan
berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang
dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 %
dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin
mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok
sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang
cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit
dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari
karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal,
kompleks menyerang tubulus gijal, kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang
dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi
ginjal atau dialisis.
1. Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urine (hipothenuria)
dan kehilangan cairan yang berlebihan (poliuria). Hipothenuria tidak disebabkan atau
berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan beban zat tiap nefron.
Hal ini terjadi karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk
nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi osmotik diuretik, menyebabkan
seseorang menjadi dehidrasi.
Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat maka ginjal tidak mampu menyaring urine
(isothenuria). Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan
mudah melalui tubulus. Maka akan terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium.
2. Ketidaseimbangan Natrium
Ketidaseimbangan natrium merupakan masalah yang serium dimana ginjal dapat mengeluarkan
sedikitnya 20-30 mEq natrium setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq perhari. Variasi
kehilangan natrium berhubungan dengan “intact nephron theory”. Dengan kata lain, bila terjadi
kerusakan nefron maka tidak terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium
sehingga menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium lebih meningkat pada
gangguan gastrointstinal, terutama muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia
dan dehidrasi. Pada CRF yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi
kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Orang sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari.
Bila GFR menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka ekskresi natrium kurang lebih 25 mEq/hari,
maksimal ekskresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet dibatasi 1-1,5
gram/hari.
3. Ketidakseimbangan Kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolik terkontrol maka hiperkalemia jarang terjadi
sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi aldosteron. Selama
output urine dipertahankan kadar kalium biasanya terpelihara. Hiperkaliemia terjadi karena
pemasukan kalium yang berlebihan, dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau
hiponatremia. Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada penyakit tubuler ginjal, nefron
ginjal, meresorbsi kalium sehingga ekskresi kalium meningkat. Jika hipokalemia persisten,
kemungkinan GFR menurun dan produksi NH3 meningkat. HCO3 menurun dan natrium
bertahan.
5. Ketidakseimbangan Magnesium
Magnesium pada tahap awal CRF adalah normal, tetapi menurun secara progresif dalam ekskresi
urine menyebabkan akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan
mengakibatkan henti napas dan jantung.
7. Anemia
Penurunan Hb disebabkan oleh:
• Masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma.
• Peningkatan kehilangan sel darah merah karena ulserasi gastrointestinal, dialisis, dan
pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
• Defisiensi folat
• Defisiensi iron/zat besi
• Peningkatan hormon paratiroid merangsang jaringan fibrosa atau osteitis fibrosis, mengambil
produksi sum-sum menurun.
8. Ureum kreatinin
Urea yang merupakan hasil metabolik protein meningkat (terakumulasi). Kadar BUN bukan
indikator yang tepat dari penyakit ginjal sebab peningkatan BUN dapat terjadi pada penurunan
GFR dan peningkatan intake protein. Tetapi kreatinin serum adalah indikator yang lebih baik
pada gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah yang diproduksi tubuh.
D. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah
tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik
waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi
mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada
lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
a. Sistem kardiovaskuler
• Hipertensi
• Pitting edema
• Edema periorbital
• Pembesaran vena leher
• Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
• Krekel
• Nafas dangkal
• Kusmaull
• Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
• Anoreksia, mual dan muntah
• Perdarahan saluran GI
• Ulserasi dan pardarahan mulut
• Nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal
• Kram otot
• Kehilangan kekuatan otot
• Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
• Warna kulit abu-abu mengkilat
• Pruritis
• Kulit kering bersisik
• Ekimosis
• Kuku tipis dan rapuh
• Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
• Amenore
• Atrofi testis
g. Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila terdapat
penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal Akut
atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi. Hemolisis
merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik sering disertai
pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi
leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga
pada penderita Gagal Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.
h. Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal Ginjal
Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai aminore. Toleransi glukosa
sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan
etiologi.
2. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa
pembesaran ginjal.
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan
gangguan elektrolit
4. Pemeriksaan Laboratorium
Penilaian CRF dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan pemerikasaan laboratorium,
seperti : Kadar serum sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar
Hb, hematokrit, kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin,
urinalisis.
Pada stadium yang cepat pada insufisiesi ginjal, analisa urine dapat menunjang dan sebagai
indikator untuk melihat kelainan fungsi ginjal. Batas kreatinin urin rata-rata dari urine tampung
selama 24 jam. Analisa urine rutin dapat dilakukan pada stadium gagal ginjal yang mana
dijumpai produksi urin yang tidak normal. Dengan urin analisa juga dapat menunjukkan kadar
protein, glukosa, RBCs/eritrosit, dan WBCs/leukosit serta penurunan osmolaritas urin. Pada
gagal ginjal yang progresif dapat terjadi output urin yang kurang dan frekuensi urin menurun.
Monitor kadar BUN dan kadar creatinin sangat penting bagi pasien dengan gagal ginjal. Urea
nitrogen adalah produk akhir dari metabolisme protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh
ginjal. Normal kadar BUN dan kreatinin sekitar 20 : 1. Bila ada peningkatan BUN selalu
diindikasikan adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein.
5. Pemeriksaan Radiologi
Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan utntuk mengetahui gangguan fungsi
ginjal antara lain:
• Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, uereter dan vesika urinaria untuk
mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari ginjal. Pada gambaran ini akan
terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
• Computer Tomograohy (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara jelas sturktur anatomi
ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras atau tanpa kontras.
• Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal dengan
memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh
trauma, pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
• Aortorenal Angiography digunakan untum mengetahui sistem aretri, vena, dan kepiler pada
ginjal dengan menggunakan kontras . Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri
stenosis, aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
• Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan
oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
6. Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu
dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit
ginjal bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi ginjal.
F. PENCEGAHAN
Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering kali tidak
menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Penurunan kejadian yang
sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap peningkatan kesehatan.
Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan urinalisis.
Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi
sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis
dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress (infeksi,
kehamilan). (Barbara C Long, 2001)
H. PENATALAKSANAAN
Pada umunya keadaan sudah sedemikian rupa sehingga etiologi tidak dapat diobati lagi. Usaha
harus ditujukan untuk mengurangi gejala, mencegah kerusakan/pemburukan faal ginjal yang
terdiri :
1. Pengaturan minum
Pengaturan minum dasarnya adalah memberikan cairan sedemikian rupa sehingga dicapai
diurisis maksimal. Bila cairan tidak dapat diberikan per oral maka diberikan perparenteral.
Pemberian yang berlebihan dapat menimbulkan penumpukan di dalam rongga badan dan dapat
membahayakan seperti hipervolemia yang sangat sulit diatasi.
2. Pengendalian hipertensi
Tekanan darah sedapat mungkin harus dikendalikan. Pendapat bahwa penurunan tekanan darah
selalu memperburuk faal ginjal, tidak benar. Dengan obat tertentu tekanan darah dapat
diturunkan tanpa mengurangi faal ginjal, misalnya dengan beta bloker, alpa metildopa,
vasodilator. Mengurangi intake garam dalam rangka ini harus hati-hati karena tidak semua renal
failure disertai retensi Natrium.
3. Pengendalian K dalam darah
Mengendalikan K darah sangat penting, karena peninggian K dapat menimbulkan kematian
mendadak. Yang pertama harus diingat ialah jangan menimbulkan hiperkalemia karena tindakan
kita sendiri seperti obat-obatan, diet buah,dan lain-lain. Selain dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat didiagnosa dengan EEG, dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia maka
pengobatannya dengan mengurangi intake K, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus
glukosa.
4. Penanggulangan Anemia
Anemia merupakan masalah yang sulit ditanggulangi pada CRF. Usaha pertama harus ditujukan
mengatasi faktor defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat
diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi darah
hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada insufisiensi koroner.
5. Penanggulangan asidosis
Pada umumnya asidosis baru bergejala pada taraf lebih lanjut. Sebelum memberi pengobatan
yang khusus faktor lain harus diatasi dulu, khususnya dehidrasi. Pemberian asam melalui
makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan per oral atau
parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan. kalau
perlu diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
6. Pengobatan dan pencegahan infeksi
Ginjal yang sakit lebih mudah mengalami infeksi dari pada biasanya. Pasien CRF dapat
ditumpangi pyelonefritis di atas penyakit dasarnya. Adanya pyelonepritis ini tentu memperburuk
lagi faal ginjal. Obat-obat anti mikroba diberi bila ada bakteriuria dengan perhatian khusus
karena banyak diantara obat-obat yang toksik terhadap ginjal atau keluar melalui ginjal.
Tindakan yang mempengaruhi saluran kencing seperti kateterisasi sedapat mungkin harus
dihindarkan. Infeksi ditempat lain secara tidak langsung dapat pula menimbulkan permasalahan
yang sama dan pengurangan faal ginjal.
7. Pengurangan protein dalam makanan
Protein dalam makanan harus diatur. Pada dasarnya jumlah protein dalam makanan dikurangi,
tetapi tindakan ini jauh lebih menolong juga bila protein tersebut dipilih.
Diet dengan rendah protein yang mengandung asam amino esensial, sangat menolong bahkan
dapat dipergunakan pada pasien CRF terminal untuk mengurangi jumlah dialisis.
8. Pengobatan neuropati
Neuropati timbul pada keadaan yang lebih lanjut. Biasanya neuropati ini sukar diatasi dan
meurpakan salah satu indikasi untuk dialisis. Pada pasien yang sudah dialisispun neuropati masih
dapat timbul.
9. Dialisis
Dasar dialisis adalah adanya darah yang mengalir dibatasi selaput semi permiabel dengan suatu
cairan (cairan dialisis) yang dibuat sedemikiam rupa sehingga komposisi elektrolitnya sama
dengan darah normal. Dengan demikian diharapkan bahwa zat-zat yang tidak diinginkan dari
dalam darah akan berpindah ke cairan dialisis dan kalau perlu air juga dapat ditarik kecairan
dialisis. Tindakan dialisis ada dua macam yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis yang
merupakan tindakan pengganti fungsi faal ginjal sementara yaitu faal pengeluaran/sekresi,
sedangkan fungsi endokrinnya tidak ditanggulangi.
10. Transplantasi
Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pembuluh darah pasien CRF maka seluruh faal
ginjal diganti oleh ginjal yang baru. Ginjal yang sesuai harus memenuhi beberapa persaratan, dan
persyaratan yang utama adalah bahwa ginjal tersebut diambil dari orang/mayat yang ditinjau dari
segi imunologik sama dengan pasien. Pemilihan dari segi imunologik ini terutama dengan
pemeriksaan HLA
H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pada dasarnya pengkajian yang dilakukan menganut konsep perawatan secara holistic.
Pengkajian dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Pada kasus ini akan dibahas
khusus pada sistim tubuh yang terpengaruh :
1. Ginjal (Renal)
Kemungkinan Data yang diperoleh :
• Oliguria (produksi urine kurang dari 400 cc/ 24jam)
• Anuria (100 cc / 24 Jam
• Infeksi (WBCs , Bacterimia)
• Sediment urine mengandung : RBCs ,
5. Pemeriksaan fisik
• Peningkatan vena jugularis
• Adanya edema pada papelbra dan ekstremitas
• Anemia dan kelainan jantung
• Hiperpigmentasi pada kulit
• Pernapasan
• Mulut dan bibir kering
• Adanya kejang-kejang
• Gangguan kesadaran
• Pembesaran ginjal
• Adanya neuropati perifer
Aktifitas / istirahat :
Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise
Gangguan tidur (insomnia / gelisah atau somnolen)
Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
Sirkulasi
Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpatasi, nyeri dada (angina)
Hipertensi, DUJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak tangan.
Nadi lemah, hipotensi ortostatikmenunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap
akhir.
Pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.
Kecenderungan perdarahan
Integritas Ego :
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
Eliminasi :
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap lanjut)
Abdomen kembung, diare, atau konstipasi
Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, oliguria.
Makanan / cairan :
Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan (malnutrisi).
Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernapasan amonia)
Penggunaan diuretik
Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir)
Perubahan turgor kulit/kelembaban.
Ulserasi gusi, pendarahan gusi/lidah.
Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur.
Kram otot / kejang, syndrome “kaki gelisah”, rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan
kelemahan, khususnya ekstremiras bawah.
Gangguan status mental, contah penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor.
Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.
Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
Nyeri / kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaki.
Perilaku berhati-hati / distraksi, gelisah.
Pernapasan
Napas pendek, dispnea, batuk dengan / tanpa sputum kental dan banyak.
Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman.
Batuk dengan sputum encer (edema paru).
Keamanan
Kulit gatal
Ada / berulangnya infeksi
Pruritis
Demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara aktual terjadi peningkatan pada pasien
yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal.
Ptekie, area ekimosis pada kulit
Fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi
Seksualitas
Penurunan libido, amenorea, infertilitas
Interaksi sosial
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran
biasanya dalam keluarga.
Penyuluhan / Pembelajaran
Riwayat DM (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis heredeter, kalkulus
urenaria, maliganansi.
Riwayat terpejan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan.
Penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini / berulang.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada
pasien CKD adalah:
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume
cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan.
J. INTERVENSI
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas
normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin
(disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume
cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak
ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor
kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan
haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
3.Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB
stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan
pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat
mempengaruhi masukan makanan
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan
dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan
integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada
area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat.
BAB III
KESIMPULAN
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung perlahan-
lahan, karena penyebab yang berlangsung lama dan menetap ,
yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (Toksik uremik) sehingga ginjal tidak dapat
memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit.
Toksik uremik adalah bahan yang dituduh sebagai penyebab sindrom klinik uremia. Toksik
uremik yang telah diterima adalah : H2O, Na, K, H, P anorganik dan PTH Renin. Sedangkan
yang belum diterima adalah : BUN, Kreatinin, asam Urat, Guanidin, midlle molecule dan
sebagainya.
Pada umumnya CRF tidak reversibel lagi, dimana ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan diet makanan dan minuman
untuk orang normal.
Banyak penderita ginjal tidak merasakan gejala penyakitnya sampai kemudian bertambah parah.
Untuk itu Anda dapat merasakan berupa gejala dibawah ini yang dapat saja merupakan tanda
penyakit gagal ginjal :
• Perubahan urin – seperti adanya darah dalam urin, terlalu banyak atau terlalu sedikit urin
dibanding biasanya, dan kecenderungan bangun di tengah malam untuk kencing.
• Bengkak di tangan dan/ atau kaki – kelebihan cairan yang tidak dapat dibuang akan bertumpuk
di dalam tubuh.
• Sesak Nafas – kelebihan cairan yang tidak dapat dibuang dapat memenuhi paru – paru sehingga
menyebabkan sesak nafas. Selain itu anemia juga menjadi sebab dari gangguan sesak nafas.
• Gatal – gatal penumpukan racun dalam darah menyebabkan gatal – gatal yang sangat
mengganggu.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3.
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI
LAMPIRAN
CONTOH KASUS