Anda di halaman 1dari 37

PROMOSI K3 DI

PERUSAHAAN TAMBANG
BATU BARA

KELOMPOK 2

Adinda Octhalia B.Y


Bunga Indah Natalia
Deci Sartika
Erica Munendra E.Y

i
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan hidayah serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada
junjungan nabi besar kita, Rasulullah SAW, serta kepada para sahabatnya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu selama pembuatan makalah
ini, adapun rasa terima kasih ini penulis sampaikan kepada :
1. Ir. Syarif Usman, MK.K.K ,selaku dosen mata kuliah Promosi kesehatan
dan keselamatan kerja.
2. Teman-teman dan tim yang banyak membantu sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan tepat waktu.
3. Orangtua kami yang membantu dalam hal materil maupun moril.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah


wawasan bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya.Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya
dari dosen pembimbing guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami
untuk lebih baik di masa yang akan datang. Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah
ini.

Jakarta, Juli 2018

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang............................................................................................ 1
1.2 Tujuan........................................................................................................ 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Kesehatan dan KeselamatanKerja........................................ 10
2.2 Pengertian Pertambangan Batubar.......................................................... 11
2.3 Prinsip..................................................................................................... 13
2.4 Karakteristik ........................................................................................... 13
2.5 Masalah Kesehatan Dan Keselamatan.................................................... 14
2.6 Kecelakaan Kerja Tambang.................................................................... 15
2.7 Tindakan Setelah Kecelakaan Kerja....................................................... 16

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Program promosi K3 “ELIMINATION IMPACT EXPOSURE
CHEMICAL PROGRAM (ELIEXCHEM)”.......................................... 17
3.1.1 Pendahuluan……………………………………………................. 17
3.1.2 TUJUAN PROGRAM..................................................................... 23
3.1.3 METODE DAN AKTIVITAS......................................................... 24
3.1.4 SUMBER DAYA DAN HAMBATAN........................................... 30
3.1.5 RENCANA PELAKSANAAN; PLAN OF ACTION (POA)......... 31
3.1.6 RENCANA EVALUASI PROGRAM............................................ 32

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara


umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati
posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand.
Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di
dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi pasar
global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja
(produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat
ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian
perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan
perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat
manusiawi atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis
sejak lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait
dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin
tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja.

Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku
tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu
prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa
antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa
Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan
masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu
gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam
lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

1
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu
bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian


materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi
secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak
pada masyarakat luas.

Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan


petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam
dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan
peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya
kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai.
Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-
alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor
23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat
kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan
kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan


hidupnya. Dalam bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan
faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami
sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan
lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan
dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan
untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan
penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja.

Indonesia memiliki berbagai sektor industri yang salah satunya yaitu


pertambangan. Pertambangan memiliki peran yang sangat penting dalam

2
pembangunan nasional. Pertambangan memberikan peran yang sangat signifikan
dalam perekonomian nasional, baik dalam sektor fiscal, moneter, maupun sektor
riil. Peran pertambangan terlihat jelas dimana pertambangan menjadi salah satu
sumber penerimaan negara; berkontribusi dalam pembangaunan daerah, baik
dalam bentuk dana bagi hasil maupun program community development atau
coorporate social responsibility; memberikan nilai surplus dalam neraca
perdagangan; meningkatkan investasi; memberikan efek berantai yang positif
terhadap ketenagakerjaan; menjadi salah satu faktor dominan dalam menentukan
Indeks Harga Saham Gabungan; dan menjadi salah satu sumber energy dan bahan
baku domestik.

Salah satu karakteristik industri pertambangan adalah padat modal, padat


teknologi dan memiliki risiko yang besar. Oleh karena itu, dalam rangka
menjamin kelancaran operasi, menghindari terjadinya kecelakaan kerja, kejadian
berbahaya dan penyakit akibat kerja maka diperlukan implementasi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) pada kegiatan pertambangan.

Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar


bagi kelangsungan suatu usaha. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa
kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban
jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini
merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya
sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun.

Upaya pencegahan dan pengendalian bahaya kerja yang dapat


menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dilakukan
dengan penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja. Secara
keilmuan K3, didefinisikan sebagai ilmu dan penerapan teknologi tentang
pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dari aspek hukum K3
merupakan kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Melalui peraturan yang jelas dan sanksi yang tegas, perlindungan K3 dapat
ditegakkan, untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang K3. Bahkan ditingkat internasionalpun telah disepakati adanya konvensi-

3
konvensi yang mengatur tentang K3 secara universal sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang dikeluarkan oleh
organisasi dunia seperti ILO, WHO, maupun tingkat regional.

Ditinjau dari aspek ekonomis, dengan menerapkan K3, maka tingkat


kecelakaan akan menurun, sehingga kompensasi terhadap kecelakaan juga
menurun, dan biaya tenaga kerja dapat berkurang. Sejalan dengan itu, K3 yang
efektif akan dapat meningkatkan produktivitas kerja sehingga dapat meningkatkan
hasil produksi. Hal ini pada gilirannya kemudian dapat mendorong semua tempat
kerja/industri maupun tempat-tempat umum merasakan perlunya dan memiliki
budaya K3 untuk diterapkan disetiap tempat dan waktu, sehingga K3 menjadi
salah satu budaya industrial.

Dengan melaksanakan K3 akan terwujud perlindungan terhadap tenaga kerja


dari risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi pada
waktu melakukan pekerjaan di tempat kerja. Dengan dilaksanakannya
perlindungan K3, diharapkan akan tercipta tempat kerja yang aman, nyaman,
sehat dan tenaga kerja yang produktif, sehingga akan meningkatkan produktivitas
kerja dan produktivitas perusahaan. Dengan demikian K3 sangat besar peranannya
dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama dapat mencegah
korban manusia. Oleh karena itu, kami membahas tentang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di salah satu industri yaitu industri pertambangan batubara
yang merupakan industri besar diwilayah Indonesia.

Mineral dan produk mineral merupakan tulang punggung dari sebagian besar
industri dan beberapa bentuk pertambangan atau penggalian dilakukan di hampir
setiap negara di dunia. Pertambangan memiliki nilai penting dalam ekonomi,
lingkungan, lapangan pekerjaan dan dampak sosial. Meskipun telah banyak upaya
yang dilakukan dalam meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja serta
pencegahan kecelakaan pada sektor pertambangan di berbagai negara, tingkat
kematian, cedera dan penyakit di antara penambang di dunia masih tetap tinggi,
sektor pertambangan masih menjadi sektor kerja yang paling berbahaya,
mengingat jumlah orang yang terdapak atau terkena risiko begitu besar. (ILO,
2014) Menurut International Labor Organization (ILO), sektor pertambangan

4
mempekerjakan sekitar 1% dari angkatan kerja secara global, dan berkontribusi
sebesar 8% terhadap kejadian kecelakaan fatal.

China memiliki industri pertambangan terbesar di dunia, dengan produksi


hingga tiga miliar ton batubara setiap tahun. Meskipun China menyumbang 40%
dari produksi batubara global, namun China juga bertanggung jawab terhadap
80% kematian yang terjadi pada sektor pertambangan di seluruh dunia setiap
tahun, baik itu akibat penyakit maupun kecelakaan akibat kerja (Lang, 2010).
Tidak melulu kecelakaan kerja, masalah penyakit akibat kerja pada sektor
pertambangan pun perlu mendapatkan perhatian serius terkait keselamatan dan
kesehatan pekerja. ILO menyatakan bahwa pneumoconiosis merupakan penyakit
akibat kerja yang paling banyak diderita oleh pekerja tambang. Berdasarkan data
ILO tahun 2013, 30% hingga 50% pekerja tambang di negara berkembang
menderita Pneumoconiosis. Indonesia merupakan negara berkembang yang salah
satu penopang ekonominya terdapat pada sektor industri pertambangan.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

Akibat terus menerus menghirup udara tercemar debu batubara pekat tersebut,
paru-paru pekerja penambangan akan terkontaminasi partikel batubara hingga
kondisinya menghitam, yang otomatis mengganggu fungsi normal paru-
paru.(Yulianto, 2012) Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi
tambang terbesar di dunia, terutama pada sektor pertambangan mineral dan
batubara. Hingga kini, industri pertambangan masih menjadi tulang punggung
perekonomian nasional. Sektor pertambangan telah memberikan kontribusi sekitar
4,54 % dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2009, meningkat
menjadi 5,16 % pada tahun 2010, 5,37 % pada tahun 2011 dan meningkat lagi
menjadi 5,63 % pada tahun 2012. (The Directorate General of Mineral and Coal,
2015) Safety practice merupakan sistem pendekatan untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi dan mengontrol bahaya ditempat kerja untuk meminimalisasi risiko
yang mungkin terjadi. Safety practice memiliki peran penting dalam pencegahan
kecelakaan kerja.

Oleh sebab itu, manajemen safety practice harus dikelola sedemikian rupa,
agar dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. (Wachter & Yorio, 2014). Sama

5
halnya dengan negara-negara industri tambang lainnya, keselamatan dan
kesehatan kerja masih menjadi masalah yang belum terselesaikan di dunia
pertambangan Indonesia, Hal ini dibuktikan dengan kejadian kecelakaan kerja
yang masih kerap terjadi pada proses penambangan logam, batu-batu mineral,
maupun batu bara, hal ini dibuktikan oleh beberapa peristiwa kecelakaan kerja
sektor pertambangan di berbagai wilayah Indonesia dari tahun ke tahun yang
menimbulkan akibat yang tidak ringan, bahkan hilangnya nyawa pekerja, yang
menunjukkan bahwa manajemen keselamatan dan kesehatan kerja atau penerapan
safety practice pertambangan belum berjalan seperti yang diharapkan.(Kehutanan,
2015)

Sederet kasus kecelakaan tambang terus terjadi di hampir sepanjang tahun.


Membuktikan bahwa penerapan safety practice pada sektor pertambangan belum
menunjukkan adanya perbaikan yang berarti. Pada 14 Mei 2013, terjadi
kecelakaan tambang di PT Freeport, Papua, yang disebut sebagai kecelakaan
tambang terburuk di Indonesia. Atap fasilitas pelatihan tambang bawah tanah PT
Freeport di area Big Gasson, Timika Papua runtuh menimpa 38 orang pekerja
yang tengah mengikuti pelatihan di area tersebut. Akibat peristiwa tersebut,
sebanyak 28 pekerja tewas tertimbun reruntuhan terowongan, sedangkan 10
pekerja lainnya mengalami luka berat dan ringan.(Waluyo, 2013) Tahun
berikutnya, pada 24 Januari 2014, terjadi insiden runtuhnya tambang batubara
yang diikuti dengan terbakarnya gas CH4 pada sebuah terowongan No.3 pada
tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Empat orang dinyatakan tewas
akibat peristiwa tersebut.(Ramadhan, 2014) Pada 12 September di tahun yang
sama, kecelakaan tambang kembali terjadi di PT Freeport Indonesia. Tambang
bawah tanah Grasberg Block Cave mengalami longsor dan mengakibatkan
seorang pekerja tewas tertimbun material yang berjatuhan.(Rusadi, 2014)
Selanjutnya, pada 22 Mei 2015, terjadi kecelakaan pada area pertambangan PT
KPC di Kutai Timur, Kaltim. Sebuah mobil penumpang tertabrak dump truck
(truk ungkit) di lokasi loading point area pertambangan. Akibat peristiwa tersebut,
seorang sopir tewas terlindas.(Sarita, 2015) Melansir data yang dikeluarkan oleh
Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kutai Timur, untuk wilayah Kutai
Timur sendiri, tercatat 14 kasus kecelakaan kerja di sektor pertambangan pada

6
tahun 2015, dengan rincian 12 kasus terjadi di PT KPC, 1 kasus di PT Tambang
Damai dan 1 kasus di PT Indominco Mandiri. Dimana mengakibatkan 2 pekerja
tewas dari seluruh kasus yang terjadi.(Prokal.co, 2015) Tahun 2016 pun tak luput
dari kecelakaan tambang. 16 Februari 2016, Mursalin, seorang pekerja tambang
bawah tanah PT Nusa Halmahera Mineral di Gosowong, Halmahera Utara,
Maluku Utara berhasil di evakuasi setelah terjebak selama 9 hari akibat runtuhnya
tambang.(Hidayat, 2016)

Selanjutnya, pada 4 November 2016, seorang sopir pekerja tambang PT KPC


tewas, akibat terkubur masuk kedalam danau bekas galian tambang KPC di pit
J.(Warta Kutim, 2016) Sedangkan kasus kecelakaan tambang terbaru terjadi pada
27 Desember 2016. Diberitakan oleh Liputan 6, sebanyak 5 orang pekerja
tambang bawah tanah PT Antam UBPE Pongkor, Bogor, Jawa Barat di duga
menghirup gas beracun yang mengakibatkan satu diantaranya tewas (Sudarno,
2016). Beberapa peristiwa diatas hanya sebagian kecil kecelakaan tambang yang
tecatat dan diketahui oleh masyarakat luas. Masih banyak peristiwa terkait
kecelakaan tambang yang mungkin belum diketahui, terlebih mengingat
banyaknya jumlah pertambangan di Indonesia baik legal maupun ilegal. Secara
keseluruhan, kasus kecelakaan tambang mengalami penurunan dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir (2010-2015). Namun tingkat kekerapan kecelakaan
tambang yang ditunjukkan dalam FR (Frequency Rate) mengalami peningkatan di
tahun 2015.

Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 153 korban akibat kecelakaan
tambang, dengan rincian 49 korban mengalami cidera ringan, 79 korban
mengalami cidera berat dan 25 korban tewas (The Directorate General of Mineral
and Coal, 2015). Buruh atau pekerja tambang menjadi pihak yang paling
dirugikan atas lemahnya penerapan safety practice, karena tidak jarang nyawa
buruh tambang menjadi taruhan akibat kegagalan penerapan safety practice.
Keresahan terhadap lemahnya penerapan safety practice juga disadari oleh buruh
tambang. Unjuk rasa terkait kecelakaan tampang yang terjadi serta tuntutan
keselamatan kerja kerap dilakukan sebagai bentuk pernyataan akan keresahan
yang dirasakan. Salah satu tuntutan yang masih terus diperjuangkan adalah terkait
ratifikasi Konvensi ILO No.176 mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.

7
Kepala Sub Bidang Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara, Eko
Gunarto manyatakan, sesuai hasil evaluasi data kecelakaan di tahun 2014,
diketahui terdapat beberapa faktor penyebab kecelakaan di sektor pertambangan
yang dikategorikan berdasarkan tindakan tidak aman (TTA), kondisi tidak aman
(KTA), faktor individu dan faktor pekerjaan. Untuk kategori TTA, diantaranya
disebabkan oleh tidak patuh prosedur (38%), tidak menggunakan APD (12%),
posisi kerja yang tidak benar (11%) dan menggunakan alat yang salah (11%).
Sementara untuk kategori KTA, diantaranya disebabkan oleh pengaman yang
tidak lengkap (16%), peralatan yang rusak (15%), rambu-rambu yang tidak
lengkap (13%), dan kondisi kerja atau jalan yang tidak memadai (10%).
Selanjutnya untuk faktor individu, hasil evaluasi menunjukkan tiga aspek yang
menyebabkan kecelakaan tambang, yaitu kurangnya pengetahuan (33%), motivasi
yang keliru (24%) dan kurangnya kemampuan mental (24%). Sedangkan untuk
faktor pekerjaan diantaranya disebabkan oleh kualitas kepemimpinan dan
pengawasan yang kurang (34%), standar kerja yang kurang (31%) dan rekayasa
kurang (7%) (Himawan, 2015).

Berbagai penyebab kecelakaan kerja, baik langsung maupun tidak langsung


menggambarkan adanya kelemahan atau kegagalan pada penerapan safety
practice. Seperti yang disebutkan dalam teori Domino, dalam kejadian kecelakaan
kerja, sebab langsung hanyalah sekedar gejala bahwa ada sesuatu yang tidak baik
dalam organisasi yang mendorong terjadinya kondisi tidak aman. Karena itu,
dalam konsep pencegahan kecelakaan, adanya sebab langsung harus dievaluasi
lebih dalam untuk mengetahui faktor dasar yang turut mendorong terjadinya
kecelakaan. Disamping faktor manusia, ada faktor lain yaitu ketimpangan sistem
manajemen seperti perencanaan, pengawasan, pelaksanaan, pemantauan dan
pembinaan.

Dengan demikian penyebab kecelakaan tidak selalu tunggal tetapi bersifat


multi causal sehingga penangana nya harus secara terencana dan komprehensif
yang mendorong lahirnya konsep sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja (Rochsyid, 2016). Sejumlah regulasi terkait keselamatan tambang
diberlakukan di Indonesia dengan tujuan memerbaiki pengelolaan dan
meningkatkan penerapan safety practice pada sektor pertambangan. Termasuk

8
Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (SMKP), sebuah sistem
manajemen keselamatan yang secara spesifik diperuntukan bagi dunia
pertambangan, dengan harapan dapat membawa safety practice sektor
pertambangan menjadi lebih baik dan terarah. Faktanya, implikasi berbagai
regulasi keselamatan tambang tersebut masih dipertanyakan. Berdasarkan uraian
diatas, maka peneliti tertarik untuk mencari tantangan dalam penerapan safety
practice pada sektor pertambangan di Indonesia.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui promosi K3 (Kesehatan dan Keselamatan
Kerja) di Pertambangan Batu bara
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran promosi K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja)
2. Mengetahui gambaran Pertambangan Batubara
3. Mengetahui promosi K3 di Pertambangan Batubara

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga
kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya
menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan
adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses
produksi baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah
Indonesia merdeka menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja
yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja.

Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam
mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis
kecelakaannya. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang
dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-
pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi
UU No.12 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.
Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau
buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat
dan martabat serta nilai-nilai agama. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut,
maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-undangan di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids
Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai
menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.
Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan
kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat,

10
didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam
wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang tersebut juga
mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan,
pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi
yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.

Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada pelaksaannya


masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya personil
pengawasan, sumber daya manusia K3 serta sarana yang ada. Oleh karena itu,
masih diperlukan upaya untuk memberdayakan lembaga-lembaga K3 yang ada di
masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan kerjasama dengan mitra sosial guna
membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan baik.

2.2 Pengertian Pertambangan Batubara

Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian,


penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian
(mineral, batubara, panas bumi, migas) .

Sektor pertambangan, khususnya pertambangan umum, menjadi isu yang menarik


khususnya setelah Orde Baru mulai mengusahakan sektor ini secara gencar. Pada
awal Orde Baru, pemerintahan saat itu memerlukan dana yang besar untuk
kegiatan pembangunan, di satu sisi tabungan pemerintah relatif kecil, sehingga
untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah mengundang investor-investor
asing untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya di Indonesia.

Adanya kegiatan pertambangan ini mendorong pemerintah untuk mengaturnya


dalam undang-undang (UU). UU yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan,
UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pengusahaan Pertambangan. Dalam UU
tersebut pemerintah memilih mengembangkan pola Kontrak Karya (KK) untuk
menarik investasi asing. Berdasarkan ketentuan KK, investor bertindak sebagai
kontraktor dan pemerintah sebagai prinsipal. Di dalam bidang pertambangan tidak
dikenal istilah konsesi, juga tidak ada hak kepemilikan atas cadangan bahan galian

11
yang ditemukan investor bila eksploitasi berhasil. Berdasarkan KK, investor
berfungsi sebagai kontraktor.

Batu bara adalah batuan yang berasal dari tumbuhan yang mati dan tertimbun
endapan lumpur, pasir dan lempung selama berjuta-juta tahun lamanya. Adanya
tekanan lapisan tanah bersuhu tinggi serta terjadinya gerak tektonik
mengakibatkan terjadinya pembakaran atau oksidasi yang mengubah zat kayu
pada bangkai tumbuh-tumbuhan menjadi batuan yang mudah terbakar yang
bernama batubara.

Penambangan batu bara sendiri berarti pekerjaan pencarian dengan cara


penggalian yang dilakukan untuk tujuan pengambilan batu bara. Di Indonesia
terdapat tambang besar batubara seperti tambang umbilin di sawahlunto sumatera
barat dan tambang bukit asam di sumatra selatan. Beberapa macam / jenis metoda
penambangan barubara :

• Penambangan Terbuka
Melakukan kegiatan menambang batubara tanpa melakukan penggalian berat
karena karena letak batubara yang dekat dengan permukaan bumi.
• Penambangan Dalam
Untuk menambang batubara dengan teknik tersebut harus dibuat terowongan
yang tegak hingga mencapai lapisan batubara. Selanjutnya dibuat terowongan
datar untuk melakukan penambangan.
• Penambangan Jauh
Pertambangan ini dilakukan ketika area batubara berada di bawah bukit di
mana dibuat terowongan miring hingga mencapai lapisan batu bara.
• Penambangan Di Atas Permukaan
Jenis kegiatan menambang batubara ini dilakukan jika batubara yang diincar
berada pada perut bukit, yang di mana perlu terowongan datar untuk dapat
mulai menambang batubara tersebut.

12
2.3 Prinsip

Prinsip pertambangan menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2009


1) Merupakan energi tidak terbarukan karena itu dikuasai negara dan
pengembangan serta pendayagunaan dilaksanakan pemerintah, pemda dan
pelaku usaha
2) Diberikan kesempatan kepada badan usaha, koperasi, perseorangan
3) Dalam rangka desentralisasi dengan prinsip eksternalitas, akuntabilitas,
efisiensi
4) Harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia
5) Mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan
ekonomi masyarakat dan tumbuhnya industri penunjang
6) Terciptanya pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip
lingkungan hidup, transparansi, partisipasi masyarakat

2.4 Karakteristik Pertambangan

Pertambangan mempunyai beberapa karakteristik, yaitu (tidak dapat


diperbarui), mempunyai risiko relatif lebih tinggi, dan pengusahaannya
mempunyai dampak lingkungan baik fisik maupun sosial yang relatif lebih tinggi
dibandingkan pengusahaan komoditi lain pada umumnya. Karena sifatnya yang
tidak dapat diperbarui tersebut pengusaha pertambangan selalu mencari (cadangan
terbukti) baru. Cadangan terbukti berkurang dengan produksi dan bertambah
dengan adanya penemuan.

Ada beberapa macam risiko di bidang pertambangan yaitu (eksplorasi) yang


berhubungan dengan ketidakpastian penemuan cadangan (produksi), risiko
teknologi yang berhubungan dengan ketidakpastian biaya, risiko pasar yang
berhubungan dengan perubahan harga, dan risiko kebijakan pemerintah yang
berhubungan dengan perubahan pajak dan harga domestik. Risiko-risiko tersebut
berhubungan dengan besaran-besaran yang mempengaruhi keuntungan usaha
yaitu produksi, harga, biaya dan pajak. Usaha yang mempunyai risiko lebih tinggi
menuntut pengembalian keuntungan (Rate of Return) yang lebih tinggi.

13
2.5 Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja

Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan


resultante dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja
dan lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila
ketiga komponen tersebut serasi maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja
yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak
serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun
kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja

Kapasitas Kerja

Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum


memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40%
masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35%
kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak
memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang
optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada
sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang
mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya
mungkin sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan
kecelakaan kerja.

Beban Kerja

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi
8 – 24 jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada
laboratorium menuntut adanya pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja
yang berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat
terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain yang turut
memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja
yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja
tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan stres.

14
Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi


kesehatan kerja dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident),
Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational
Disease & Work Related Diseases).

2.6 Kecelakaan Kerja Tambang


Yang dimaksud kecelakaan tambang yaitu :
1. Kecelakaan Benar Terjadi
2. Membuat Cidera Pekerja Tambang atau orang yang diizinkan di tambang oleh
KTT
3. Akibat Kegiatan Pertambangan
4. Pada Jam Kerja Tambang
5. Pada Wilayah Pertambangan
Penggolongan Kecelakaan tambang
1. Cidera Ringan (Kecelakaan Ringan)
Korban tidak mampu melakukan tugas semula lebih dari 1 hari dan kurang dari 3
minggu.

1. Cidera Berat (Kecelakaan Berat)


Korban tidak mampu melakukan tugas semula lebih dari 3 minggu.

1. Berdasarkan cedera korban, yaitu :


Retak Tengkorak kepala, tulang punggung pinggul, lengan bawah/atas,
paha/kaki
Pendarahan di dalam atau pingsan kurang oksigen
Luka berat, terkoyak
Persendian lepas
1. Berdasarkan penelitian heinrich:
Perbuatan membahayakan oleh pekerja mencapai 96% antara lain berasal dari:
1. Alat pelindung diri (12%)
b. Posisi kerja (30%)

c. Perbuatan seseorang (14%)

15
d. Perkakas (equipment) (20%)

e. Alat-alat berat (8%)

f. Tata cara kerja (11%)

g. Ketertiban kerja (1%)

Sumberlainnya diluar kemampuan dan kendali manusia.

2.8 Tindakan Setelah Kecelakaan Kerja


Manajemen K3
1. Pengorganisasian dan Kebijakan K3
2. Membangun Target dan Sasaran
3. Administrasi, Dokumentasi, Pelaporan
4. SOP
Prosedur kerja standar adalah cara melaksanakan pekerjaan yang ditentukan,
untuk memperoleh hasil yang sama secara paling aman, rasional dan efisien,
walaupun dilakukan siapapun, kapanpun, di manapun. Setiap pekerjaan Harus
memiliki SOP agar pekerjaan dapat dilakukan secara benar, efisien dan aman

1. Rekrut Karyawan & Kontrol Pembelian


2. Inspeksi dan Pengujian K3
3. Komunikasi K3
4. Pembinaan
5. Investigasi Kecelakaan
6. Pengelolaan Kesehatan Kerja
7. Prosedur Gawat Darurat
8. Pelaksanaan Gernas K3
Manajemen K3 memiliki target dan sasaran berupa tercapainya suatu kinerja K3
yang optimal dan terwujudnya “ZERO ACCIDENT” dalam kegiatan Proses
Produksi .

16
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Program promosi K3“ELIMINATION IMPACT EXPOSURE


CHEMICAL PROGRAM (ELIEXCHEM)”

3.1.1 Pendahuluan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan suatu sistem program yang


dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif)
timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dalam lingkungan kerja
dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja
dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila hal-hal tersebut terjadi
di suatu tempat kerja. (Yusra, www.indonusa.ac.id, diakses 22 April 2009, dalam
Elly, smoking cessation dan hearing conservation program (hcp)).
Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kesehatan pekerja, yaitu beban
kerja (fisik dan mental), kapasitas kerja (ketrampilan, kesegaran jasmani dan
rohani, status kesehatan/gizi, jenis kelamin, ukuran tubuh, dll) dan lingkungan
kerja (fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial).

Saat ini sudah lebih dari 400 juta ton bahan kimia yang diproduksi tiap
tahunnya dan lebih dari 1000 bahan kimia baru diproduksi setiap tahunnya.
Penggunaan bahan kimia ini selain membawa dampak yang positif bagi kemajuan
dunia industri juga memiliki dampak negatif terutama bagi kesehatan pekerja,
salah satunya adalah dermatitis. Sejak 1982, penyakit dermatitis telah menjadi
salah satu dari sepuluh besar penyakit akibat kerja (PAK) berdasarkan potensial
insidens, keparahan dan kemampuan untuk dilakukan pencegahan (NIOSH 1996).
Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit
menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan.

PT Inti Pantja Press Industri (IPPI) sebagai perusahaan yang bergerak


dibidang otomotif khususnya dalam bidang pressing body dan chasis mobil, juga
menggunakan bahan kimia dalam prosesnya. Bahan kimia yang digunakan antara
lain minyak tanah, anti karat, dan beberapa jenis bahan kimia lain untuk

17
perawatan. Bahan-bahan tersebut berpotensi menimbulkan gangguan pada kulit
pekerja. Berdasarkan hasil pemeriksaan berkala tahun 2005 kasus dermatitis
menempati urutan keempat terbesar di PT Inti Pantja Press Industri, dengan ratio
23,73% dari jumlah populasi pekerja tetap. Pekerja yang paling sering terpajan
oleh bahan kimia adalah pekerja di bagian produksi khususnya yang menangani
pekerjaan handwork, bagian maintenance yaitu plant service dan die shop, bagian
quality control, dan bagian inventory finish part khususnya yang menangani
pekerjaan pemberian anti rust. Berdasarkan hasil pemeriksaan berkala tahun 2005
pada keempat bagian tersebut memiliki kurang lebih 25% pekerja yang menderita
dermatitis.

Dermatitis Kontak adalah respon dari kulit dalam bentuk peradangan yang
dapat bersifat akut maupun kronik, karena paparan dari bahan iritan eksternal
yang mengenai kulit. Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergik. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi
inflamasi lokal pada kulit yang bersifat non imunologik, ditandai dengan adanya
eritema dan edema setelah terjadi pajanan bahan kontaktan dari luar. Bahan
kontaktan ini dapat berupa bahan fisika atau kimia yang dapat menimbulkan
reaksi secara langsung pada kulit. Pada beberapa literatur membagi jenis DKI ini
dalam dua tipe yaitu tipe akut dan tipe kronis.

Banyak literatur yang menyatakan faktor-faktor penyebab dermatitis


kontak. Pernyataan-pernyataan tersebut mengarah pada dua kategori penyebab
dermatitis kontak yaitu direct causes/influence dan indirect causes/influences
(literatur lain menyebutnya sebagai faktor predisposisi). Secara garis besar faktor-
faktor tersebut antara lain:

 Direct Causes antara lain bahan kimia, mekanik, fisika, racun tanaman,
dan biologi
 Indirect Causes yaitu faktor genetik (alergi), penyakit yang telah ada
sebelumnya, usia, lingkungan, personal hygiene, jenis kelamin, ras, tekstur
kulit (ketebalan kulit, pigmentasi, daya serap, hardening) musim, keringat,
obat/pengobatan, dan musim.

18
Berdasarkan hasil penelitian dilakukan kepada pekerja di PT Inti Pantja
Press Industri (IPPI), dari 80 perkerja terdapat 39 orang (48,8%) yang mengalami
dermatitis kontak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis
kontak pada pekerja yaitu jenis pekerjaan, usia pekerja, lama bekerja, riwayat
dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya dan penggunaan APD. Berikut hasil
penelitiannya :

1. Jenis pekerjaan dalam penelitian ini digolongkan pada dua jenis proses kerja
yaitu proses realisasi dan proses pendukung. Pada proses realisasi terlihat
bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak (60,4%) lebih banyak
dibandingkan dengan pekerja yang tidak terkena dermatitis kontak (39,6%).
Hal ini berbanding terbalik dengan proses pendukung yang pekerjanya lebih
banyak tidak terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (68,8%) dari total
pekerja 32 orang.
Dermatitis kontak akan muncul pada permukaan kulit jika zat kimia
tersebut memiliki jumlah, konsentrasi dan durasi (lama pajanan) yang cukup.
Dengan kata lain semakin lama besar jumlah, konsentrasi dan lama pajanan,
maka semakin besar kemungkinan pekerja tersebut terkena dermatitis kontak.
Pekerjaan pada proses realisasi menggunakan bahan kimia dalam jumlah yang
cukup besar dalam waktu yang lama (8 jam kerja). Sehingga terlihat jelas
bahwa proses realisasi memiliki potensi terkena dermatitis kontak yang lebih
besar. Hal ini karena pada proses realisasi pekerja terpajan bahan kimia
dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan dalam waktu yang lama.

Proses pendukung melakukan dua jenis pekerjaan yaitu perawatan dan


perbaikan. Perawatan dilakukan secara rutin setiap hari, sedangkan perbaikan
dilakukan jika terdapat kerusakan pada peralatan saja. Penggunaan bahan
kimia dalam proses perawatan dan perbaikan digunakan dalam jumlah yang
tidak terlalu banyak namun bervariasi. Jadi pada proses pendukung, bahan
kimia digunakan dalam konsentrasi yang kecil dan dalam durasi pajanan (per
bahan kimia) yang lebih singkat, sehingga potensi untuk terkena dermatitis
kontak menjadi lebih kecil. Namun karena penggunaan bahan kimia yang
lebih bervariasi menyebabkan kemungkinan untuk terkena dermatitis kontak
sama besar dengan pekerjaan pada proses realisasi. Campuran bahan kimia ini

19
banyak ditemukan pada dunia industri dan menyebabkan kesulitan dalam
menentukan penyebab kelainan kulit akibat kerja atau kelainan kulit di tempat
kerja. Penggunan yang sesuai kebutuhan ini perlu dikontrol agar tidak terjadi
penggunaan secara berlebihan yang dapat memungkinkan timbulnya
dermatitis kontak pada pekerja.

2. Usia pekerja pada kelima bagian objek penelitian memiliki rata-rata (mean)
31 tahun. Namun jika dilihat dari data tunggal. Tidak terdapat pekerja dengan
usia tepat 31 tahun. Maka distribusi umur pekerja dikelompokan menjadi usia
dibawah rata-rata (≤30 tahun) dan usia diatas atau sama dengan rata-rata (>30
tahun). Hasil analisis hubungan antara usia pekerja dengan kejadian dermatitis
kontak diperoleh bahwa sebanyak 26 (60,5%) dari 43 pekerja yang berusia
≤30 tahun terkena dermatitis kontak, sedangkan diantara pekerja yang berusia
>30 tahun hanya sekitar 13 orang (35,1%) yang terkena dermatitis kontak. Hal
ini dapat diambil kesimpulan bahwa pekerja muda lebih mudah terkena
dermatitis kontak.
Pada beberapa literatur menyatakan bahwa kulit manusia mengalami
degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan
lemak diatasnya dan menjadi lebih lebih kering. Kekeringan pada kulit ini
memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi
lebih mudah terkena dermatitis. Pada dunia industri usia pekerja yang lebih
tua menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut
terjadi kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul
dermatitis kronik. Dapat dikatakan bahwa dermatitis kontak akan lebih mudah
menyerang pada pekerja dengan usia yang lebih tua. Namun pada
kenyataannya (berdasarkan hasil penelitian ini) pekerja dengan usia yang lebih
muda justru lebih banyak yang terkena dermatitis kontak.

Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab fenomena ini adalah
bahwa pekerja dengan usia yang lebih muda memiliki pengalaman yang lebih
sedikit dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua. Sehingga kontak bahan
kimia dengan pekerja masih sering terjadi pada pekerja muda. Pada pekerja
tua yang berpengalaman dalam menangani bahan kimia, kontak bahan kimia
dengan kulit semakin lebih sedikit. Selain itu kebanyakan pekerja tua lebih

20
menghargai akan keselamatan dan kesehatannya, sehingga dalam penggunaan
APD pekerja tua lebih memberi perhatian dibandingkan pekerja muda.

Selain itu pekerja muda dengan tenaga yang prima banyak


ditempatkan pada posisi pekerjaan yang lebih kasar atau dalam penelitian ini
pada area yang banyak menggunakan bahan kimia. Pekerja muda lebih banyak
ditempatkan pada pekerjaan yang berhubungan langsung dengan pelayanan
(service). Sehingga potensi untuk terkena dermatitis kontak lebih besar
dibandingkan dengan pekerja (pekerja tua) yang berada pada pekerjaan yang
tidak menggunakan banyak bahan kimia.

3. Lama bekerja dikategorikan menjadi dua bagian yaitu ≤2 tahun dan >2
tahun. Hal ini berdasarkan masa kontrak terlama di PT IPPI yaitu selama 2
tahun. Analisis hubungan antara lama bekerja dengan kejadian dermatitis
kontak menunjukan bahwa pekerja yang memiliki lama bekerja ≤2 tahun lebih
banyak yang terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (66,7%),
dibandingkan dengan 17 orang (36,2%) dari 47 pekerja yang telah bekerja di
PT IPPI selama >2 tahun.
Hampir sama seperti pernyataan pada bagian hubungan antara usia
dengan dermatitis kontak. Pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun dapat
menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa pekerja tersebut belum
memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan pekerjaannya. Jika
pekerja ini masih sering ditemui melakukan kesalahan dalam prosedur
penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi meningkatkan angka
kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun.
Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati sehingga kemungkinan
terpajan bahan kimia lebih sedikit.

Faktor lain yang memungkinkan pekerja dengan lama bekerja ≤ 2


tahun lebih banyak yang terkena dermatitis kontak adalah masalah kepekaan
atau kerentanan kulit terhadap bahan kimia. Pekerja dengan lama bekerja ≤ 2
tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat kimia. Pada pekerja dengan
lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan telah memiliki resistensi terhadap
bahan kimia yang digunakan oleh perusahaan. Resistensi ini dikenal sebagai

21
proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih tahan terhadap
bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terus-menerus. Untuk itulah
mengapa pekerja dengan lama bekerja >2 tahun lebih sedikit yang mengalami
dermatitis kontak.

4. Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan kulit
lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Analisis hubungan antara
riwayat alergi dengan dermatitis kontak menunjukkan bahwa pekerja dengan
riwayat alergi yang terkena dermatitis sebanyak 15 orang (57,7%) dari 26
orang yang memiliki riwayat alergi. Sedangkan pekerja yang tidak memiliki
riwayat alergi terkena dermatitis sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar
44,4% dari 54 orang pekerja.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa dermatitis kontak (terutama
dermatitis kontak alergi) akan lebih mudah timbul jika terdapat riwayat alergi
sebelumnya. Dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi
termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan atau tempat kerja,
sejarah alergi (misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu), dan riwayat lain
yang berhubungan dengan dermatitis .

Pada pemeriksaan dermatitis kontak terkadang sulit membedakan


antara kelainan kulit yang disebabkan alergi dengan dermatitis kontak akibat
kerja. Jika riwayat alergi telah diketahui, maka dapat ditelusuri penyebab
gangguan kulit tersebut apakah akibat alergen yang telah diketahui ataukah
akibat kerja. Pihak perusahaan sebaiknya mempunyai daftar riwayat kesehatan
pekerja termasuk riwayat alergi yang terdapat pada pekerja. Daftar riwayat
kesehatan ini dapat diperoleh sebagai salah satu syarat penerimaan pekerja.

5. Penggunaan APD adalah salah satu cara yang efektif untuk menghindarkan
pekerja dari kontak langsung dengan bahan kimia. Analisis hubungan antara
penggunaan APD dengan dermatitis kontak memperlihatkan hasil bahwa
pekerja dengan penggunaan APD yang baik sebanyak 10 orang (41,7%) dari
24 orang pekerja terkena dermatitis kontak.

22
Sedangkan dengan penggunan APD yang kurang baik, pekerja yang
terkena dermatitis sebanyak 29 orang (51,8%) dari 56 orang pekerja. Hasil uji
statistik yang dilakukan menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi
kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara penggunaan APD yang baik
dengan penggunaan APD yang kurang baik. Hal ini terlihat dari hasil p value
sebesar 0,588.

Melihat perbedaan yang tidak terlalu jauh antara pekerja yang


menggunakan APD dengan baik tetapi terkena dermatitis kontak dengan yang
tidak terkena dermatitis kontak, maka selain masalah perilaku pekerja,
kesesuaian APD juga perlu untuk diperhatikan. APD yang baik seharusnya
dapat mengurangi potensi pekerja untuk terkena dermatitis kontak. Jika
pekerja masih merasakan adanya kontak dengan bahan kimia walaupun telah
mengenakan APD, hal ini menunjukan bahwa APD yang digunakan tidak
sesuai untuk melindungi kulit dari material bahan kimia. Pemilihan APD tidak
hanya berdasarkan harga dan kualitasnya saja. Tetapi yang lebih penting
adalah kesesuaiannya dengan proses kerja (penggunaan bahan kimia). Pada
pekerjaan yang menggunakan variasi bahan kimia yang banyak sebaiknya
menggunakan APD yang sesuai dengan seluruh material bahan kimia.

Melihat gambaran permasalah diatas maka perlu suatu program promosi


Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam rangka untuk menurunkan angka
kesakitan dermatitis kontak pada pekerja PT Inti Pantja Press Industri (IPPI).

3.1.2 TUJUAN PROGRAM

1. Tujuan Jangka Pendek


a. Sasaran pada pekerja, bertujuan untuk :
 Meningkatkan pemahaman tentang bahaya bahan kimia yang
menyebabkan terjadinya dermatitis bagi pekerja yang bekerja di area
proses realisasi.
 Meningkatkan kedisiplinan penggunaan alat pelindung diri (APD)
ketika bekerja di area proses realisasi.

23
b. Sasaran pada manajemen, bertujuan untuk :
 Meningkatkan kegiatan – kegiatan yang berkaitan dan mendukung
upaya pengurangan keterpaparan bahan kimia pada pekerja.
 Meningkatkan monitoring pada area proses realisasi secara berkala.
 Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan alat pelindung diri
(APD) pada pekerja yang bekerja di area proses realisasi.
 Meningkatkan manajemen/pengaturan yang berkaitan dengan upaya
meminimalkan paparan bahan kimia pada pekerja.
 Meningkatkan kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan yang
berkaitan dengan upaya pencegahan terjadinya dermatitis pada pekerja
yang terpapar bahan kimia.

2. Tujuan Jangka Menengah


Tujuan jangka menengah dari program nini adalah meningkatkan kesadaran
pekerja terhadap faktor penyebab dermatitis dan melindungi pekerja dari
paparan bahan kimia di tempat kerja.

3. Tujuan Jangka Panjang


Tujuan jangka panjang dari program ini adalah untuk menurunkan angka
kesakitan dermatitis pada pekerja PT. Inti Pantja Press Industri (IPPI).

3.1.3 METODE DAN AKTIVITAS

Program promosi kesehatan di tempat kerja yang dirumuskan merupakan


suatu program yang ditujukan kepada kedua kelompok sasaran, yaitu pekerja itu
sendiri sebagai obyek yang terkena dampak dari paparan bahan kimia dan pihak
manajemen sebagai pemegang kebijakan pelaksanaan program. Adapun program
promosi kesehatan dan sasaran yang direncanakan adalah sebagai berikut :

24
Program Promosi Kesehatan

dan

Sasaran Program

Elimination Impact

Exposure Chemical Program

Training Medical
Chemical Substitution Safe work Practices
Knowledge Program Program Program Program
Program

Berikut akan diuraikan program tersebut diatas beserta metode dan


aktivitasnya masing-masing :

1. Elimination Impact Exposure Chemical Program


Merupakan sebuah program yang melibatkan pekerja secara keseluruhan,
dikarenakan fokus sasaran adalah pekerja itu sendiri terutama para pekerja
yang bekerja pada proses realisasi yang secara langsung terpapar dengan
bahan kimia dengan jumlah yang besar.
Fokus Kegiatan
Fokus kegiatan dari program tersebut adalah sebagai berikut :
a. Berkaitan dengan upaya pemahaman tentang keterpaparan bahan kimia
secara bagi kesehatan secara umum dan risikonya terhadap gangguan pada
kulit pada khususnya.
b. Berkaitan dengan penyampaian kebijakan oleh pihak manajemen tentang
program pengurangan keterpaparan bahan kimia (elimination impact
expusure chemical program ).

25
c. Berkaitan dengan upaya peningkatan kesadaran untuk hidup sehat dan
lebih positif serta perubahan perilaku untuk selalu menggunakan APD
dengan benar selama bekerja.
Strategi dan Metode
Strategi dan metode yang digunakan adalah terbagi atas beberapa kegiatan
beserta masing-masing sasarannya :
A. Sasaran pada pekerja
1. Chemical Knowledge Program
Chemical Knowledge Program merupakan suatu program yang bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan pekerja mengenai bahan kimia dan
dampak keterpaparannya.
Sasaran Pada Pekerja Di Area Produksi
Fokus Kegiatan
a. Berkaitan dengan infomasi mengenai bahan kimia dan dampak
keterpaparannya
b. Berkaitan dengan penggunaan APD di area produksi
Strategi dan Metode
Strategi dan metode yang digunakan yaitu melalui penyuluhan, lomba
cerdas cermat, dan poster.
Aktivitas
a. Melakukan penyuluhan tentang bahaya bahan kimia secara umum dan
bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi perusahaan
khususnya.
b. Melaksanakan lomba cerdas cermat bagi para pekerja sebagai salah
satu parameter keberhasilan program untuk mengetahui tingkat
pengetahuan dan pemahaman pekerja tentang bahan kimia..
c. Pembuatan pesan-pesan kesehatan seperti : poster-poster bahaya
kontak langsung terhadap bahan kimia, poster-poster pelaksanaan kerja
yang baik sesuai prosedur, dan poster-poster pentingnya pemakaian
APD.
Target

26
a. 100 % pekerja mengetahui tentang bahan kimia dan dampak
keterpaparannya
b. 100 % pekerja di area produksi menggunakan APD
c. Terbentuk kebijakan yang berkaitan dengan pemberian reward bagi
pekerja yang mendukung program chemical knowledge.

2. Training Program
Training program merupakan suatu program untuk meningkatkan
keterampilan dan kinerja pekerja serta keterampilan untuk menghindari
atau mengurangi keterpaparan bahan kimia di area produksi
Fokus Kegiatan
a. Berkaitan dengan upaya peningkatan keterampilan pekerja dalam
proses produksi
b. Berkaitan dengan upaya peningkatan keterampilan pekerja dalam
menghindari atau mengurangi keterpaparan bahan kimia.
Strategi dan Metode
Strategi dan metode yang dilakukan melalui kegiatan workshop dan
pelatihan pada pekerja.
Aktivitas
a. Melakukan workshop pada pekerja mengenai keterampilan dalam
proses produksi dan menghindarai atau mengurangi keterpaparan
bahan kimia.
b. Melakukan pelatihan melalui praktek-praktek proses bekerja yang baik
dan praktek upaya menghindari atau mengurangi keterpaparan bahan
kimia.
Target
a. 100 % pekerja mengetahui cara proses kerja yang baik
b. 100 % pekerja mengetahui cara menghindari atau mengurangi
keterpaparan bahan kimia selama di area produksi

27
B. Sasaran Pada Manajemen
1. Substitution Program
Substitution program merupakan program untuk mengganti bahan kimia
yang beresiko tinggi untuk menimbulkan dampak bagi kesehatan, terutama
dermatitis dengan bahan kimia yang memiliki resiko yang rendah, serta
mengganti APD sebelumnya dengan APD yang mampu memprotect
keterpaparan bahan kimia secara langsung, khususnya pada kulit (APD
yang sesuai dengan bahan kimia
Fokus Kegiatan
a. Berkaitan dengan upaya mengganti bahan kima yang beresiko tinggi
dengan bahan kimia yang beresiko rendah
b. Berkaitan dengan upaya mengganti mengganti APD sebelumnya
dengan APD yang mampu memprotect keterpaparan bahan kimia
secara langsung, khususnya pada kulit (APD yang sesuai dengan bahan
kimia
Strategi dan Metode
Strategi dan metode yang dilakukan melalui kegiatan Chemical
Substitution dan APD Substitution
Aktivitas
a. Chemical Substitution , yaitu dengan mengganti bahan kimia yang
beresiko tinggi untuk menimbulkan gangguan kesehatan, khususnya
dermatitis dengan bahan kimia lain yang memiliki resiko yang rendah.
b. APD Subtitution, yaitu mengganti APD sebelumnya dengan APD yang
mampu memprotect keterpaparan bahan kimia secara langsung,
khususnya pada kulit (APD yang sesuai dengan bahan kimia).
Target
a. 75 % bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi merupakan
bahan kimia yang aman bagi kesehatan.
b. 100 % APD yang digunakan adalah APD yang efektif untuk
memproteksi keterpaparan bahan kimia secara langsung, khususnya
pada kulit (APD yang sesuai dengan bahan kimia)..

28
2. Medical Program
Medical Program merupakan program yang bertujuan untuk pemeriksaan
kesehatan pada pekerja secara dini bagi pekerja yang baru dan berkala (6
bulan sekali) bagi pekerja yang lama.
Fokus Kegiatan
a. Berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan secara dini (awal
perekrutan).
b. Berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan secara berkala (6 bulan
sekali) bagi pekerja yang lama.
Strategi dan Metode
Strategi dan metode yang dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan
kesehatan pada para pekerja.
Aktivitas
a. Melakukan pemeriksaan kesehatan dini kepada calon tenaga kerja
baru, guna mengetahui riwayat penyakit.
b. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala (6 bulan sekali)
untuk mengetahui sejauh mana keterpaparan bahan kimia dan dampak
dari bahan kimia tersebut terhadap pekerja.
Target
100 % pihak menejeman mengetahui kondisi kesehatan dari seluruh
pekerja.

3. Safe Work Practices Program


Safe Work Practices Program adalah program untuk menjaga pekerja dari
keterpaparan bahan kimia dalam waktu yang lama.

Fokus Kegiatan

a. Berkaitan dengan penetapan system rolling pada pekerja di area


produksi
b. Berkaitan dengan penetapan system shift pada seluruh pekerja.
Strategi dan Metode
Strategi dan metode yang dilakukan melalui sistem rolling dan shift
kerja.

29
Aktivitas

a. Melakukan system rolling bagi pada pekerja di area produksi (4 bulan


sekali).
b. Melakukan system shif kerja dengan metode 2-2-3
Target
Dilaksanakannya system rolling dan shift kerja dengan baik dan
sustainable.

3.1.4 SUMBER DAYA DAN HAMBATAN

 Sumber Daya

Sumber daya yang diperlukan untuk menunjang kesuksesan program


promosi kesehatan di tempat kerja tersebut antara lain :

1. Sumber daya manusia , meliputi


a. Pihak Manajemen
b. Serikat Pekerja
c. Lintas Sektoral
- Dinas Kesehatan
- Ahli kimia
- Teknik Design (Design APD)
2. Ketersediaan Dana
3. Ketersediaan media promosi
4. Struktur pengawasan oleh supervisor

Beberapa sumber daya tersebut diharapkan dapat dimaksimalkan guna


mendukung terlaksananya program Elimination Impact Exposure
ChemicalProgramdalam pengurangan keterpaparan bahan kimia terhadap pekerja
di Industri PT. Inti Pantja Press

 Hambatan

Hambatan yang mungkin akan ditemui dalam pelaksanaan program


promosi kesehatan kerja ini adalah adanya kurangnya kesadaran pekerja terhadap
keterpaparan bahan kimia, pentingnya penggunaan APD, dan kurangnya

30
pengawasan oleh ahli kimia terhadap penggunaan bahan kimia yang berisiko
tinggi di perusahaan tersebut. Serta ketersediaan dana yang terbatas yang dimiliki
perusahaan dalam pelaksanaan program.

3.1.5 RENCANA PELAKSANAAN; PLAN OF ACTION (POA)

Jenis Tempat Metode dan


No Tujuan Sasaran Waktu
Kegiatan Pelaksanaan Media

1 Chemical Meningkatkan Para pekerja Januari , Aula Penyuluhan


Knowledge pengetahuan dan yang kontak April, Juli, perusahaan dan LCC
Program pemahaman
langsung Oktober dan area-area
pekerja terhadap Media: Poster
keterpaparan dengan 2010 strategis
bahan kimia bahan kimia, (Triwulan)
khususnya
pada proses
realisasi

2 Substitution Mengurangi Para pekerja Januari Area - Mengganti


Program keterpaparan yang kontak 2010 produksi bahan kimia
bahan kimia
langsung
terhadap pekerja - Disaign
dengan
APD yang
bahan kimia,
aman dan
khususnya
sesuai
pada proses
realisasi

3 Training - Meningkatkan Tenaga kerja 3 bulan PT. Inti - Pelatihan


Program keterampilan dibawah Pantja Press dan praktek
pekerja dalam
masa kerja 2
proses kerja - APD
yang aman tahun
dan sehat

- Mengetahui
tingkat

31
sensitivitas
pekerja baru
terhadap
paparan bahan
kimia

4 Medical - Mengetahui Tenaga - Awal Poliklinik - Pemeriksaan


Program riwayat Kerja baru perekrutan perusahaan kesehatan
penyakit
dan Seluruh
pekerja - 6 bulan - Uji
Pekerja
- Mengetahui sekali Laboratoriu
tingkat m
keterpaparan
bahan kimia

5 Safe work - Untuk Seluruh - 6 bulan PT. Inti - Rolling


practices meminimalisir tenaga kerja sekali Pantja Press
program keterpaparan - Shift Kerja
di bagian
bahaya kimia
produksi
- Untuk
menghindari
efek kumulatif
bahan kimia
pada perkerja

3.1.6 RENCANA EVALUASI PROGRAM

Evaluasi program direncanakan secara bertahap yaitu selama rentang waktu


program dilaksanakan. Evaluasi program tersebut diuraikan sebagai berikut :

1. Evaluasi Proses (2009)


Evaluasi proses dilihat berdasarkan terlaksananya kegiatan yang telah disusun
sesuai rencana program. Ukuran keberhasilannya adalah terlaksananya
kegiatan promosi kesehatan kerja kepada sasaran program sesuai dengan
rencana, ketepatan waktu pelaksanaan dan anggaran yang direncanakan.
2. Output (2009)
Evaluasi pada output dapat dilihat dari :

32
Pelaksanaan penyuluhan, dan pelatihan tentang penggunaan bahan kimia yang aman
kepada pekerja dapat berjalan dengan baik.
 Pelaksanaan monitoring dari pihak manajeman dapat berjalan dengan
baik.
3. Impact (2009)
 Observasi pada pekerja di area produksi mengenai keterpaparan bahan
kimia selama bekerja.
 Observasi terhadap penggunaan APD bagi pekerja
4. Outcome (2010)
 Sebanyak 80% pekerja bebas dari penyakit dermatitis.
 Program inidapat terlaksana dengan optimal berjalan secara
berkelanjutan.

33
DAFTAR PUSTAKA

https://apitswar.wordpress.com/pertambangan/
https://brainly.co.id/tugas/8345153

Fatma Lestari, Hari Suryo Utomo. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Dermatitis Kontak Pada Pekerja Di PT Inti Pantja Press Industri. Jurnal
Makara, Kesehatan, Vol. 11, No. 2, Desember 2007: 61-68

Thaha MA. 1997 Gambaran Klinik Dermatosis Akibat Kerja. In Kumpulan


Makalah Simposium Dermatosis Akibat Kerja dalam Rangka Pertemuan
Ilmiah Tahunan IV PERIDOSKI, Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Vol. 9 Agustus 1997 No. 2. 1997: 73-76.

Firdaus U. Dermatitis Kontak Akibat Kerja: Penyakit Kulit Akibat Kerja


Terbanyak di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat, Vol. II no.5.
2002: 16-18.

Putro HH. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak. Majalah Dokter Keluarga.


Volume 5 Nomor 1, Desember 1985: 4-7.

Priatna B. Peraturan Pemerintah Tentang Dermatosis Akibat Kerja. In Kumpulan


Makalah Simposium Dermatosis Akibat Kerja dalam Rangka Pertemuan
Ilmiah Tahunan IV PERIDOSKI, Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Vol. 9 Agustus 1997 No. 2. 1997: 63-66.

34

Anda mungkin juga menyukai