Anda di halaman 1dari 12

BAB VI

PERANAN MODAL DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN

Modal dalam usahatani diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, baik berupa


uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu secara
langsung atau tak langsung dalam suatu proses produksi. Pembentukan modal
bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani, serta
menunjang pembentukan modal lebih lanjut. Bab ini akan menjelaskan beberapa
pokok bahasan, yaitu pembiayaan pertanian jangka panjang, modal usaha tani,
dan koperasi sebagai lembaga perekonomian.

A. Pembiayaan Pertanian Jangka Panjang

Pertanian memegang peranan penting dalam ekonomi lndonesia. Secara


konvensional, peran tersebut terkait fungsi menjaga gawang ketahanan pangan
(food security), menyerap tenaga kerja, penghasil devisa, penyedia bahan baku
industri, dan penjaga kelestarian lingkungan. Meskipun industri dalam jangka
panjang akan menjadi engine of growth, tetapi besarnya jumlah penduduk yang
hidup di sektor semi tradisional tersebut membuat pertanian sebagai sumber
penghasilan yang tak akan pernah berakhir.

Pembangunan yang terpaku pada pertumbuhan dan terlalu urban bias dengan
mengandalkan industri padat modal berteknologi tinggi terbukti memiliki
kemampuan yang sangat rendah dalam mengatasi problematika ekonomi yang
bersifat struktural, seperti mengatasi pengangguran dan memberantas kemiskinan.
Industri semacam ini memang penting karena dengan cepat memberikan hasil
berupa devisa yang besar, namun karena kurang memperhatikan aspek
keterkaitannya dengan komunitas lokal, akhirnya menghasilkan aliansi. Tuntutan
sejumlah daerah kaya sumber daya alam atas alokasi manfaat ekonomi yang lebih
adil pada era otonomi sekarang setidaknya mencerminkan pentingnya penguatan
pembangunan berbasis sumber daya lokal yang secara langsung terkait komunitas
setempat.

Setelah belajar dari pengalaman ketidakmulusan industri dalam menopang arah


pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pemerintah ternyata menyadari
ketidakmungkinan bagi Indonesia untuk mengabaikan pertanian begitu saja.
Revitalisasi pertanian (juga perikanan dan perhutanan) dicanangkan dengan
harapan mampu mewujudkan peningkatan kesejahteraan para stakeholder nya
secara berkesinambungan. Model pembiayaan jangka panjang yang mampu
memungkinkan revitalisasi berjalan simultan berikut restrukturisasi kelembagaan
petani dengan sendirinya harus dipertimbangkan secara cermat.
Pembiayaan pertanian tidak terlepas dan isu baru (current issues) yang terus
bergulir pada tataran global. Isu tersebut menyangkut:

1. Semakin ketatnya kompetisi di antara para produsen, baik pada level


negara, korporasi, maupun pelaku ekonomi lain. Sebagai konsekuensinya,
tuntutan ke arah efsiensi dan terwujudnya precision agriculture bersifat
mutlak.
2. Berkurangnya subsidi, insentif, stimulus, dan proteksi. Tekanan
masyarakat internasional dan organisasi perdagangan dunia (WHO)
terhadap industri gula Uni Eropa untuk segera menghentikan subsidi, baik
terhadap subsidi langsung kepada petani maupun negara-negara bekas
koloninya yang menjadi pengekspor gula, yang tergabung dalam Afro-
Carribean Pacific (ACP) dapat disebut sebagai salah satu contoh.
3. Pentingnya kegiatan pertanian ramah lingkungan, termasuk penggunaan
biofertilizer dari limbah pertanian dan industri tanaman tanpa pestisida.
4. Pertanian yang lebih berbasis pada pengetahuan (knowledge based).
5. Peluang pertanian menghasilkan bioenergi yang bersifat terbarukan
(renewable) dan kemungkinan menggantikan bahan bakar fosil.

Harus dipikirkan kembali (rethinking) pola pembiayaan budi dayasejumlah


komoditas dalam rangka revitalisasi pertanian dan peningkatan kesejahteraan
petani secara keseluruhan. Skema pinjaman harus mudah dipahami petani dengan
aturan sederhana.

Hendaknya disadari bahwa pada saat liberalisasi perdagangan diterapkan secara


menyeluruh, tidak ada lagi subsidi atau proteksi yang dapat diberikan kepada
petani dan industri lokal. Ini berarti, selama masa transisi menuju liberalisasi
perdagangan harus diciptakan prakondisi khusus yang memungkinkan
terjadinyapeningkatan daya saing produk pertanian. Salah satu ukuran daya saing
adalah produktivitas, efisiensi, dan unit cost bersaing secara bertahap. Diperlukan
back up berupa kebijakan makro yang kondusif dan memberdayakan pelaku usaha.
Belajar dari inovasi gula, kebijakan tersebut berupa perlindungan dari masuknya
produk impor secara membabi-buta (bea masuk atau perbatasan impor secara
ketat), adanya harga dasar untuk petani, dukungan perkreditan, serta konsistensi
pemerintah dalam memberantas penyelundupan dan praktek manipulasi impor.

Pada saat liberalisasi perdagangan diterapkan, mekanisme pembiayaan lebih


banyak mengacu pada perbankan komersil tanpa subsidi. Kelayakan usaha
menjadi pertimbangan bagi bank ketika memutuskan bersedia membiayai atau
tidak. Skala ekonomi (economic of scale) akan sangat menentukan keberhasilan
usaha tani.
Pentingnya skala usaha mengharuskan perlunya restrukturisasi kelembagaan
petani. Mungkin saja petani bergabung dalam koperasi, namun bukan pola seperti
masa lalu yang lebih banyak menjadi kepanjangan tangan pemerintah, tetapi
benar-benar lembaga ekonomi yang mampu melayani kepentingan anggota.

Investasi baru untuk proyek-proyek pertanian dengan menarik investor


memerlukan konsistensi kebijakan dan iklim usaha kondusif. Tersedianya
infrastruktur fisik (jalan, jembatan, listrik, air besih, pelabuhan), lahan yang bebas
okupasi, kepastian hukum, dll merupakan sejumlah instrumen mutlak yang harus
dipenuhi.

Pengembangan industri hilir dalam kerangka diversifikasi dapat dilakukan


melaluia aliansi strategis dengan mitra usaha yang memiliki modal, teknologi lebi
maju, dan pasar. Industri hilir diyakini mampu mengurangi ketergantungan
perusahaan pada harga produk tunggal yang fluktuasi.

Keseluruhan mata rantai pembiayaan mencerminkan integrasi implementasi


sistem agribisnis secara utuh, mulai dari industri hulu (bibit, mesin/peralatan,
agroindustri), budi daya (on-farm), pemasaran, penunjang (bank, riset) sampai
agribisnis hilir (diversifikasi). Walaupun demikian, polanya harus mengacu pada
karakteristik dan siklus usaha (3-4 bulan, 1 tahun, 5 tahun, dll).

Pembiayaan sesuai dengan karakter dan jenis dalam pola produksi pertanian
menjadi syarat yang penting bagi keberhasilan revitalisasi pertanian. Pola
pembiayaan jangka panjang yang bankable hanya mungkin dilakukan bila usaha
pertanian memiliki skala usaha yang memadai, berdaya saing tinggi, dan memiliki
prospek usaha pasar cukup kompetitif.

Untuk memotivasi petani dan pelaku ekonomi agribisnis lain agar lebih fokus
pada upaya peningkatan daya saing, diperlukan kebijakan proteksi dan promosi
selama masa transisi menuju liberalisasi perdagangan-mengingat hampir semua
produk pertanian masih harus diimpor. Kebijakan proteksi menyangkut
perlindungan dari masuknya produk impor secara membabi-buta dan yang masuk
secara ilegal, sedangkan kebijakan promosi berupa insentif bagi petani yang
berkomitmen meningkatkan produktivitas.

Pengembangan agroindustri hilir harus menjadi perhatian korpporasi sebagai


bagian value creation yang mampu mensejahterakan stakeholder secara
berkesinambungan. Diversivikasi hanya terwujud bila didukung oleh kebijakan
litas sektoral yang saling menguatkan.

B.Modal Usaha Tani


Bagi petani di daerah pedesaan, pembentukan modal sering dilakukan dengan cara
menabung (menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk keperluan masa yang
akan datang). Pemerintah membantu dengan memberikan berbagai macam kredit
produksi (KUT, KCK, KMKP, IDT, dan lain-lain), namun belum semuanya
dimanfaatkan dengan baik, baik dari segj sasaran maupun pengelolaannya.

Sehubungan dengan pemilikan modal, petani diklasifikasikan sebagai:

1. Petani besar: kaya, kecukupan, dan komersial


2. Petani kecil: miskin, tidak kecukupan dan tidak komersial.

Sumber pembiayaan tersebut dapat berasal dari lembaga keuangan perbankan dan
nonperbankan. Sumber pembiayaan nonperbankan yang telah berkembang, antara
lain taskin agribisnis, modal ventura, laba BUMN, pegadaian, lembaga keuangan
mikro, pola kontrak investasi kolektif (KIK) dan lain-lain.

Dari beberapa informasi yang diperoleh, petani dan pelaku agribisnis memiliki
usaha yang feasible, bahkan ada yang mampu membayar harga modal 5-20% per
bulan, namun seringkali petani dan pelaku agribisnis tidak bankable. Pada
prinsipnya, petani dan pelaku agribisnis lebih mengharapkan mekanisme
pembayaran yang mudah jika dibandingkan dengan pembiayaan yang murah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan petani dan pelaku agribisnis tidak
bankable, antara lain:

1. Tidak adanya kolateral (jaminan), terutama jika berhubungan dengan


lembaga keuangan formal. Jaminan yang umum dimiliki adalah tanah,
sementara kenyataannya masih banyak permasalahan berkaitan dengan
tanah. Secara umum tidak adanya pengakuan terhadap aset yang dimiliki
petani karena tidak adanya bukti hukum terhadap aset-aset tersebut.
2. Adanya track record yang buruk terhadap lembaga pembiayaan yang
pernah ada, misalnya KUT (kredit usaha tani).
3. Sulitnya petani dan pelaku agribisnis lain secara langsung mengikuti
formalitas yang diharapkan pihak bank.
4. Lembaga keuangan formal kebanyakan tidak mampu - mungkin juga tidak
mau atau tidak mengerti dan tidak memahami sitat nature dari kegiatan
pertanian, misalnya gestate period, hubungannya dengan musim dan lain-
lain.

Berdasarkan beberapa faktor penyebab tidak bankable-nya petani dan pelaku


agribisnis tersebut maka kendala utama pembiayaan usaha agribisnis adalah
sebagai berikut:
1. Belum adanya perbankan yang khusus untuk membiayai pertanian (Bank
Pertanian).
2. Kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit ke sektor agribisnis.
3. Proses pembelajaran dari pola channeling ke pola executing.
4. Adanya program pemerintah yang sifatnya bantuan menghambat
penyaluran kredit.
5. Kesan perbankan bahwa sektor agribisnis masih high risk.

Sehubungan dengan itu, strategi pengembangan pembiayaan non perbankan


dalam rangka pengembangan pertanian dapat dilakukan dengan cara:

1. Menyempurnakan kebijakan pembiayaan non perbankan yang ada


sehingga dapat dimanfaatkan lebih baik lagi oleh petani dan pelaku
agribisnis.
2. Meningkatkan aksesibilitas petani dan pelaku agribisnis terhadap sumber
pembiayaan non perbankan.
3. Mensosialisasikan sumber pembiayaan nonperbankan yang telah ada.
4. Menjalin kerja sama dengan sumber pembiayaan nonperbankan, baik
dalam negeri maupun luar negeri.

C .Sumber Pembiayaan Perbankan

1. Bimbingan Massal (BIMAS) dan lntensifikasi Massal (INMAS).

Diberlakukan tahun I964-1984 untuk para petani padi. Tujuannya untuk


mengingatkan produksi beras dengan cara menyediakan input-input pertanian,
seperti pupuk, benih, pestisida dengan harga murah, serta memberikan bantuan
teknis kepada para petani. Dalam pelaksanaannya, tingkat pembayaran kembali
kredit ini sangat buruk, bukan hanya karena disebabkan oleh kegagalan panen,
serangan hama, atau penyakit pada tanaman, tetapi juga karena adanya anggapan
bahwa kredit ini merupakan dana dari pemerintah sehingga tidak perlu
dikembalikan.

2. Kredit umum pedesaan (KUPEDES)

Merupakan suatu kebijaksanaan kredit yang diberikan dalam rangka


pengembangan dan peningkatan usaha kecil yang sudah ada atau kegiatan proyek
baru yang ada di pedesaan, termasuk usaha yang pernah dibiayai dari fasilitas
kredit mini, kredit midi, atau jenis kredit lainnya.kredit umum merupakan kredit
yang tidak ditunjang oleh kredit likuiditas Bank Indonesia atau kredit yang
dibiayai oleh bank pemberi kredit. Bidang usaha yang dibiayai kredit umum ini,
yaitu semua usaha atau kegiatan komersil yang tidak dibiayai kredit program.
Salah satu bentuk kredit umum, yaitu kredit usaha kecil (KUK) yang merupakan
penyempurnaan dari kredit yang sudah ada. Untuk melaksanaknnya, bank
diberikan likudiditas dari pemerintah. Kredit ini mulai dijalankan tahun 1984 oleh
BRI Unit Desa dengan menyediakan modal kerja dan modal investasi untuk tiap
jenis usaha yang ada di daerah pedesaan, dengan penerapan tingkat bunga yang
lebih tinggi daripada sebelumnya. Rasionalisasi suku bunga ini merangsang
munculnya tabungan-tabungan masyarakat di daerah pedesaan dan bank unit desa
mulai memobilisasikannya.

3. Kredit investasi kecil (KIK) dan kredit modal kerja permanen (KMKP)

kredit ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1973 dengan tujuan untuk
memberikan KIK dan KMKP kepada usaha-usaha kecil di segala sektor dalam
perekonomian. Tujuan lain dari program ini adalah penciptaan lapangan kerja,
penyebaran investasi secara geografis, dan pengembangan sektor pertanian
tertentu, misalnya perikanan, tembakau, peternakan ungags, peternakan domba,
dan cengkeh. KIK dan KMKP merupakan suatu kebijaksanaan kredit yang
bersifat jangka menengah atau jangka panjang dan diberikan kepada pengusaha
perorangan atau perusahaan kecil pribumi dengan persyaratan dan prosedur kusus
atau dengan pertimbangan kelayakan. Preogram KIK iini biasanya digunakan
untuk pembiayaan investasi barang modal dan jasa yang diperlukan dalam rangka
perluasan proyek lama atau baru, serta rehabilitasi aset yang sudah ada. Program
KMKP hanya diberikan untuk pembiayaan modal secara terus-menerus digunakan
untuk kelancaran usaha.

4. Kredit candak kulak (KCK)

Merupakan kebijaksanaan pemberian kredit untuk meningkatkan dan meratakan


pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat golongan ekonomi lemah atau
usaha kecil. Tujuan lain program ini yaitu untuk meningkatkan fungsi perkreditan
koperasi dan KUD (sebagai pelaksana), serta meningkatkanarus pemasaran dan
distribusi barang-barang konsumsi yang diperlukan masyarakat. Fasilitas KCK
berupa modal kerja yang bersifat jangka pendek (jk waktu 3 bulan),
persyaratannya mudah tanpa jaminan, serta prosedurnya mudah dan cepat.
Program ini dimulai pada tahun 1976 dengan tujuan untuk memberikan kredit
kepada para pedagang kecil yang ada di daerah pedesaan dalam rangka
membebaskan mereka dari para lintah darat—melalui BUUD.

5. Kredit usaha tani (KUT)


Diberlakukan pada tahun 1997 dengan beberapa tujuan, yaitu membantu petani
yang belum mampu membiayai sendiri usaha taninya, meningkatkan pendapatan
petani, membantu pengembangan koperasi, serta meningkatkan produksi padi,
palawija dan hortikultura. Kredit program ini disalurkan apabila ada beberapa
komponen, yaitu petani dengan pemilikan lahan maksimum 2 Ha yang tergabung
dalam kelompok tani, penyuluh pertanian lapangan (PPL), koperasi/LSM, dan
bunga penyalur. KUT merupakan kredit yang murah dan mudah dengan tingkat
bunga 10,5 %, jangka waktu 1 tahun, serta jaminan tanaman yang di biayai dan
maksimum kredit berdasarkan area yang dikelola maksumum 2 Ha sesuai dengan
komoditas yang diusahakan.

KUT merupakan salah satu kredit program yang diberikan oleh bank untuk
membiayai suatu usaha atau kegiatan tertentu dengan jumlah maksimal, serta
persyaratan dan prosedur pemberian kredit yang diatur oleh pemerintah. Dalam
rangka pemerataan pembangunan, serta usaha peningkatan dan pemerataan
pendapatan masyarakat (khususnya masyarakatyang bergerak dibidang usaha
kecil), pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan mengenai penyediaan fasilitas
kredit program.. sumber dana fasilitas kredit program ini berasal dari pemerintah,
yang dalam hal ini Departemen Keuangan, BI, Bank Umum, dan Bank
Perkreditan Rakyat yang ditunjuk sebagai bank pelaksana. Jenis kredit program
ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan usaha dibidang agribisnis dan
industri ikutannya, baik yang pernah ada maupun yang masih berjalan saat ini,
misalnya KUT. KUT merupakan kredit modal kerja untuk membiayai usaha tani
dalam rangka peningkatan inensifikasi padi, tanaman holtikultura, dan tanaman
obat-obatan.

D. Sumber Pembiayaan Nonperbankan

1. Kredit tunda jual pola gadai gabah

Pegadaian meluncurkan pembiayaan yang dikenal dengan nama “kredit tunda jual
pola gadai gabah". Latar belakang peluncuran kredit tersebut, antara lain:

a) Harga gabah yang rendah pada saat panen raya.

b) petani terpaksa menjual gabah karena kebutuhan yang mendesak.

c) petani tidak memilki fasilitas pengeringan dan penyimpanan gabah sehingga


penundaan penjualan gabah akan sangat merugikan karena akan berdampak pada
penurunan harga jual.

Intinya petani membutuhkan kredi yang cepat dan mudah dengan agunan gabah
untuk memenuhi kebutuhannya yang mendesak. Tujuan kredit tunda jual pola
gadai gabah adalah memberikan kesempatan kepada petani untuk menunda
menjual gabahnya dengan mendapatkan kredit dari perum pegadaian dan jaminan
adalah gabah miliknya.

2. Modal ventura

Merupakan alternative pembiayaan yang berbentuk penyertaan modal kepada


perusahaan pasangan usaha (PPU) dalam jangka waktu tertentu Karakteristik
modal vertura, antara lain:

a) Bersifat risk capital, yaitu memiliki tingkat risiko atas modal yang ditanamkan

karena bertindak sebagai investor

b) merupakan active investment, yaiu dipandang perlu melibatkan diri dalam


pengelolaan PPU

c) investasi bersitat sementara waktu (tidak permanen)

d) dapat membiayai pada berbagai tingkat pertumbuhan usaha.

e) mengharapkan capital gain/bagi hasil atas investasi yang ditanamkan

3. Dana laba BUMN,

sejak tahun 1994, BUMN wajib menyisihkan sebagian labanya untuk program
PUKK(SK Menkeu No.13/KMK.0l6/94 tanggal 27 juni 1994, jo No
60/KMK,0l6/1996 tanggal 9 Februari 1996, jo No 266/KMK.0l6/1997 tanggal ll
Juni I997. Setiap tahun BUMN menetapkan alokasi dana PUKK untuk setiap
Provinsi/daerah istimewa. Keberhasilan pelaksanaan program PIKK merupakan
salah satu penilaian kinerja BUMN sesuai SK Menkeu No 198/KMK.0l6/1998
tanggal 24 maret 1998 tentang penilaian kesehatan BUMN.

4. Kontrak investasi kolektif (KIK),

pola ini dilatar belakangi oleh masih besarnya minat masyarakat untuk
menanankan modalnya dalam perusahaan agribisnis. Tentu saja hal tersebut
dilakukan dalam rangka menjamin keamanan modal yang berasal dari
penyertaan/penarikan dana masyarakat (investor) yang dilakukan oleh perusahaan
agribisnis. KIK ini dilakukan setelah terbit surat keputusan bersama (SKB)
Menteri Pertanian (Mentan) dan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
No. 392.1/Kpts/SR.330/8/2003 KEP 29/PM/2003.
5. lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-A),

adalah lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berasal dari kelompok tani
yang memberikan pelayanan jasa keuangan kepada masyarakat tani dan pelaku
agribisnis. Bentuk LKM nonbank yang saat ini sudah berkembang di masyarakat,
antara lain:

a) Baitul Maal wa Tanwil (BMT)

b) Credit Union (CU) yang dikembangkan oleh PUSKOPDIT


c) Kelompok swadaya masyarakat (KSM)yang dikembangkan oleh Bina Swadaya

d) koperasi simpan pinjam (KSP) agribisnis.

Adapun karakteristik KLM-A, antara lain:

a) Tidak menggunakan pola pelayanan keuangan perbankan konvensional


b) Mensyaratkan adanya penjaminan non agunan.
c) Menerapkan proses administratif yang sederhana dan bertanggung jawab.

Pertimbangan pertumbuhan LKM-A menjadi pusat pelayanan keuangan bagi


petani antara lain:

a. Adanya kelompok tani yang sudah mengelola dana penguatan modal usaha,
terutama BPLM.
b. Adanya kebutuhan pembiayaan spesifik untuk pengembangan usaha tani
sesuai dengan komoditas yang diusahakan.
c. Adanya keterkaitan sosial-budaya yang diwujudkan dalam ikatan emosional
antara petani dengan LKM-A untuk menghindari penyalahgunaan dalam
pembiayaan.

Dasar hukum pelaksanaan LKM-A adalah UU No. 25/1992. UU tentang LKM-A


sedang dalam proses. Sementara itu, prinsip-prinsip umum LKM-A adalah
sebagai berikut:

a. Modal awal LKM-A haruslah bersumber dari pendiri dan anggota melalui
pola penghimpunan dana dari simpanan pokok pendiri.
b. Modal usaha bersumber dari dana penyiapan modal usaha, terutama BPLM
yang saat ini dikelola.
c. Modal LKM-A secara otimatis akan bertambah dari simpanan pokok anggota,
simpanan wajib, simpanan sukarela, dll.
d. Pelayanan pembiayaan dan simpanan hanya diberikan kepada anggota.

E. Koperasi Sebagai Lembaga Perekonomian

Salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia selama bertahun-
tahun adalah memperkuat koperasi Sejak tahun 1940-an, pendirian koperasi telah
diatur dalam undang-undang, direvisi, dan kemudian diatur kembali dengan
berbagai macam keputusan presiden dan peraturan pemerintah. Sejak akhir tahun
1960-an, gagasan yang muncul adalah untuk membuat gerakan koperasi menjadi
sebuah instrumen penting dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Pada tahun 1970, pemerintah membentuk organisasi desa baru yang kemudian
dikenal dengan nama Badan Usaha Unit Desa (BUUD), yang bertugas menangani
pengolahan dan pemasaran padi, serta distribusi input. Program BIMAS baru yang
dijalankan oleh BUUD dengan intruksi membeli padi dari petani dengan harga
rendah menghilangkan kepercayaan petani terhadap program BIMAS, yang
dianggap lebih memperlihatkan kepentingan konsumen daripada kepentingan
petani selaku produsen.

Pada tahun 1978, KUD disahkan secara resmi oleh pemerintah dan berhak
menerima bantuan. Fungsi utama BUUD/KUD adalah memberikan kredit dan
input pertanian kepada petani, serta mengumpulkan padi ketika panen tiba yang
bekerja sama dengan BULOG. Sampai sejauh itu terjadi peningkatan jumlah
kredit yang disalurkan, serta penjualan pupuk dan pestisida. Pada tahun 1980,
BULOG meningkatkan peranan KUD dengan mendirikan penggilingan padi yang
dilengkapi dengan alat pengering otomatis, lantai pengering, serta gudang pupuk
dan padi. Dalam perkembangan selanjutnya, diharapkan KUD dapat menangani
semua aktivitas ekonomi dan kebutuhan yang ada di pedesaan.

Anda mungkin juga menyukai